PENALARAN MORAL ANAK TUNAGRAHITA DITINJAU DARI KEMAMPUAN KOGNISI DAN POLA PENGASUHAN ORANGTUA.

(1)

iii

DAFTAR ISI

ABSTRAK ………... i

KATA PENGANTAR ……….. ii

DAFTAR ISI ……… iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Rumusan Masalah ……… 5

C. Tujuan Penelitian ……….. 6

D. Kegunaan Penelitian ………. 6

E. Metode Penelitian ………. 7

F. Lokasi dan subjek Penelitian ……….. 7

BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG KEMAMPUAN KOGNITIF DAN POLA PENGASUHAN ORANGTUA TERHADAP PENALARAN MORAL ANAK TUNAGRAHITA A. Teori Penalaran Moral Kohlberg ………...………... 8

1. Tingkat I: Pra-Konvensional ……….. 9

2. Tingkat II: Konvensional ………... 10

3. Tingkat III: Pasca-Konvensional ………... 12

B. Kemampuan Kognitif ………...……… 15

1. Pengertian Kognitif ……… 17

2. Perkembangan Struktur Kognitif ………... 16

3. Tahap Perkembangan Kognitif ………. 19

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kognitif ……….. 27

C. Pola Pengasuhan Orangtua ...………..…………. 29

1. Pola Asuh Otoritatif ………... 29

2. Pola Asuh Otoriter ………. 30

3. Pola Asuh Permisif ……… 31


(2)

iv

D. Peranan Kemampuan Kognisi dan Pola Pengasuhan

Orangtua terhadap Penalaran Moral Anak Tunagrahita …. 32

E. Kerangka Berpikir ……… 34

BAB III METODELOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Subjek Penelitian ………... 38

B. Definisi Operasional Variabel ……….. 39

C. Instrumen Penelitian ………. 41

1. Moral Judgement Interview ………... 41

2. Tes Konservasi Isi ………..………... 42

3. Angket Pola Pengasuhan Orangtua ……….. 43

D. Proses Pengembangan Instrumen ……… 43

E. Teknik Pengumpulan Data ……….. 47

F. Teknik Analisis Data ……… 48

G. Prosedur Penelitian ………... 49

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ………... 52

1. Hubungan Kualitatif Kemampuan Kognisi Terhadap Penalaran Moral Anak Tunagrahita ………..…… 53

2. Hubungan Kualitatif Pola Pengasuhan Orangtua Terhadap Penalaran Moral Anak Tunagrahita ………... 55

B. Pembahasan ……….. 57

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ……….. 63

B. Saran ……… 64

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN A. LAMPIRAN A (Alat Pengumpul Data ) ……… 69

B. LAMPIRAN B (Data Penelitian) ………. 97


(3)

(4)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pada saat anak-anak dilahirkan, mereka belum memiliki moral. Artinya ia belum memiliki pengetahuan dan pengertian akan apa yang diharapkan oleh kelompok sosial di mana ia hidup. Sehingga apabila kita melihat prilakunya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral, hal tersebut disebabkan karena ketidak tahuannya daripada kesengajaan melanggar aturan-aturan kelompok. Tetapi dalam diri mereka terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan (Gunarsa, 2008).

Pengembangan potensi moral seseorang diperoleh melalui interaksi antara anak dengan orangtua, saudara, teman sebaya, dan lingkungan sekitarnya. Pada saat anak berinteraksi, secara tidak langsung anak belajar berprilaku. Belajar berprilaku merupakan salah satu tugas perkembangan yang penting di masa kanak-kanak. Seorang anak tidak akan langsung mengerti prilaku tertentu tanpa ia belajar sebelumnya lewat pengalaman yang dialaminya secara langsung ataupun tidak langsung. Melalui pengalaman yang diperoleh dari lingkungan, ia akan mengetahui benar-salah, atau baik- buruk dari suatu perbuatan. Pemahaman seseorang terhadap konsep benar-salah atau baik-buruk sangat beragam. Hal tersebut dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya yaitu kemampuan kognisi dari masing-masing individu, kualitas interaksi yang mereka peroleh, budaya, dan lain sebagainya.


(5)

2

Pengembangan potensi moral sangat penting bagi kelangsungan hidup pada masa yang akan datang. Penelitian yang dilakukan Aryaputri (2008) menyebutkan bahwa Penalaran moral yang rendah dapat mengakibatkan juvenile delinquency pada remaja seperti perkelahian antar pelajar, penggunaan obat-obatan terlarang, seks bebas dan sebagainya. Pada saat remaja atau orang dewasa yang tahap penalaran moralnya rendah tidak melakukan hal-hal buruk, hal tersebut disebabkan bukan karena prinsip yang dimilikinya, melainkan karena takut pada atasan yang mengawasinya Setiono (2008).

Anak tunagrahita sebagai individu yang memiliki hambatan dalam perkembangan kecerdasan dan prilaku adaptif sering menunjukkan prilaku tidak lazim. Seperti adanya tunagrahita remaja bahkan dewasa masih berprilaku layaknya anak-anak. Mereka tidak mempunyai rasa malu saat ia menangis meraung-raung karena keinginannya tidak dipenuhi, atau tidak dapat menahan hasrat sexualnya sehingga ia melakukan onani atau masturbasi di tempat umum. Lalu apakah mereka disebut sebagai anak-anak yang tidak bermoral? Tentu tidak demikian, karena keganjilan tingkah laku anak tunagrahita tersebut berkaitan erat dengan kesulitan mereka memahami dan mengartikan norma (Alimin,2008).

Pengajaran tentang norma atau aturan diperoleh anak melalui proses belajar baik secara formal maupun informal. Pengajaran secara formal diperoleh anak dari sekolah, sedangkan pengajaran secara informal diperoleh anak dari lingkungan. Kehadiran lembaga pendidikan diharapkan membantu mengatasi permasalahan yang dialami oleh mereka yang tergolong tunagrahita. Salah satu fungsi pendidikan bagi anak tunagrahita sebagaimana yang dikemukakan oleh


(6)

3

Alimin (2008) adalah “ditujukan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki anak secara optimal, agar mereka dapat hidup mandiri dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana mereka berada”. Namun, sampai saat ini peran lembaga pendidikan belum optimal dalam mengembangkan potensi mereka terutama dalam aspek moral.

Ada beberapa hal yang diduga menjadi penyebab mengapa pendidikan moral di Negara kita kurang berhasil, diantaranya menyangkut masalah metode pembelajaran yang digunakan, dan faktor keteladanan yang ditunjukkan oleh orangtua dan guru sebagai figur yang dekat dengan anak dalam kesehariannya. Penjelasan dari ketiga hal tersebut diuraikan sebagai berikut:

Pertama, metode pembelajaran pendidikan moral di sekolah yang terintegrasi dalam Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) masih sebatas transfer ilmu, belum kearah pembelajaran yang mendidik. Sebagai Contoh: untuk mengajarkan materi “Kejujuran, Disiplin, dan Senang Bekerja” pada siswa kelas V SDLB-C semester 1, seorang guru SLB hanya menyuruh siswanya untuk mencatat dan atau membaca isi materi tersebut berikut latihan soalnya tanpa mengajak siswa tersebut untuk memahami lebih jauh arti dari kejujuran, disiplin, dan senang bekerja melalui pendekatan yang sesuai dengan karakteristik siswa.

Kedua, sikap yang ditunjukkan oleh guru di sekolah dalam berinteraksi dengan anak-anak terutama anak tunagrahita belum memberikan contoh teladan yang baik. Contoh sederhana yang sering kita temui di lapangan adalah adanya oknum guru yang sering berbicara kasar di depan murid-muridnya, memberi label


(7)

4

negatif pada salah satu muridnya, atau sering datang terlambat. Tanpa disadari perilaku guru-guru tersebut diperkirakan turut mempengaruhi pembentukkan perilaku siswa, terlebih lagi siswa tunagrahita yang secara kognitif mengalami hambatan sehingga apa yang dilakukan oleh orang lain akan lebih cepat ditiru tanpa proses penyaringan.

Ketiga, sikap orang tua dalam berinteraksi dan mendidik anak-anaknya di rumah. Lingkungan keluarga adalah lingkungan pertama yang dimasuki anak dalam kehidupannya. Seorang anak kecil sulit diharapkan untuk dengan sendirinya bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku, mengerti apa yang dituntut lingkungan terhadap dirinya, dan sebagainya. Aspek moral seorang anak merupakan sesuatu yang berkembang dan diperkembangkan. Artinya, bagaimana anak itu kelak akan bertingkah laku sesuai atau tidak sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku, semua itu banyak dipengaruhi oleh lingkungan kehidupan anak yang ikut memperkembangkan secara langsung ataupun tidak langsung aspek moral ini. Oleh karena itu faktor lingkungan besar sekali pengaruhnya terhadap perkembangan moral anak, namun karena lingkungan pertama yang dikenal anak dalam kehidupannya adalah orang tua, maka peranan orang tualah yang dirasa paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan moral anak, disamping pengaruh lingkungan lainnya seperti sekolah dan masyarakat.

Dengan kondisi anak tunagrahita seperti yang sudah dijelaskan, mengajarkan moral pada anak-anak tunagrahita tentunya bukan persoalan yang mudah, dan dibutuhkan pemahaman yang baik dari orangtua serta guru mengenai


(8)

5

kondisi mereka terutama dalam hal kemampuan kognisinya, sehingga guru dan orangtua akan lebih mudah dalam menentukan metode atau cara yang digunakan dalam mengajarkan moral pada mereka. Selain itu, guru dan orangtua pun diharapkan mengenal tahap penalaran moral anak tunagrahita. Dengan mengetahui tahap penalaran moral seseorang, maka baik guru maupun orangtua akan lebih mudah dalam menentukan metode dan materi yang akan disampaikan. Celakanya, apabila guru dan orangtua tidak paham tentang kondisi anak-anak mereka yang mengalami hambatan tersebut, sehingga pengajaran pendidikan moral bagi anak-anak tunagrahita tidak berpijak pada kebutuhan dan hambatan yang dialami mereka.

Berangkat dari permasalahan yang dikemukakan di atas penulis mencoba untuk melakukan penelitian tentang penalaran moral anak tunagrahita yang ditinjau dari kemampuan kognisi dan pola pengasuhan orang tua.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penalaran moral anak tunagrahita? Secara spesifik rumusan masalah tersebut dijabarkan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah penalaran moral anak tunagrahita ditinjau dari kemampuan kognisi?

2. Bagaimanakah penalaran moral anak tunagrahita ditinjau dari pola pengasuhan orang tua?


(9)

6

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan latar belakang permasalahan dan rumusan masalah yang telah disusun, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui penalaran moral anak tunagrahita berdasarkan kemampuan kognisi.

2. Mengetahui penalaran moral anak tunagrahita berdasarkan pola pengasuhan orang tua.

D. KEGUNAAN PENELITIAN

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah ditetapkan maka penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat diantaranya yaitu:

1. Mempermudah guru dalam menentukan program pengajaran pendidikan moral dan pendekatan pembelajaran yang dipilih dalam mengajarkan moral pada anak-anak tunagrahita.

2. Membantu orangtua dalam memilih pola pengasuhan yang tepat dalam berinteraksi dengan anaknya.

3. Membantu orangtua menentukan cara yang tepat dalam mendidik anak agar menjadi individu yang bermoral.

4. Bagi pengembangan ilmu, penelitian ini berguna untuk memperluas cakrawala ilmu pendidikan luar biasa, psikologi perkembangan, psikologi kognitif, dan psikologi sosial.


(10)

7

E. METODE PENELITIAN

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penalaran moral anak tunagrahita yang ditinjau dari kemampuan kognisi dan pola pengasuhan orangtua. Oleh karena itu, maka metode yang sesuai adalah metode deskriptif dengan pendekatan yang bersifat kuantitatif.

Untuk mendapatkan gambaran data yang sesuai dengan tujuan penelitian maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yang dianggap relevan dengan permasalahan peneliti, yaitu melalui:

a. Pengukuran penalaran moral dengan menggunakan tes penalaran moral dari Kohlberg melalui wawancara penalaran moral.

b. Pengukuran kemampuan kognisi dengan menggunakan tes perkembangan kognitif.

c. Penilaian pola pengasuhan orangtua diperoleh melalui penyebaran angket.

F. LOKASI DAN SUBJEK PENELITIAN

Lokasi penelitian ini berada di tiga Sekolah Luar Biasa (SLB) bagian C yang berada di Bandung. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah penalaran moral. Usia terendah yang diperkirakan cocok untuk memahami masalah penalaran moral adalah usia remaja. Sehingga dalam penelitian ini yang menjadi subjeknya adalah siswa tunagrahita yang berusia diantara 11 – 14 tahun yang diambil secara acak.


(11)

37 BAB III

METODELOGI PENELITIAN

Dalam melakukan penelitian, seorang peneliti membutuhkan sistematika yang jelas tentang langkah-langkah yang akan diambil sehubungan dengan tujuan penelitian yang ingin dicapainya. Sukmadinata (2005: 52) dalam Sartika (2009) menyebutkan bahwa “metode penelitian merupakan rangkaian cara atau kegiatan pelaksanaan penelitian yang berdasarkan pada asumsi-asumsi dasar, pandangan-pandangan filosofis dan ideologis, serta pertanyaan dan isu-isu yang dihadapai”. Dalam metode penelitian akan tergambar prosedur atau langkah-langkah yang harus ditempuh, waktu penelitian, sumber data, dan kondisi data yang dikumpulkan, serta dengan cara bagaimana data tersebut diperoleh dan diolah.

Data dalam penelitian ini terdiri dari data kuantitatif dan data kualitatif. Data penalaran moral dan data kemampuan kognitif berbentuk data kuantitatif, sedangkan data pola pengasuhan berbentuk data kualitatif. Berdasarkan jenis data yang diperoleh, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Sedangkan cara penyajian data yang diperoleh dari lapangan disajikan apa adanya tanpa adanya manipulasi. Sehingga berdasarkan cara penyajian data yang disampaikan, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi deskriptif . Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sukmadinata (2005: 54) dalam Sartika (2009) bahwa:

Penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian yang menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, yang berlangsung pada saat ini atau saat yang lampau. Penelitian ini tidak mengadakan manipulasi atau


(12)

38 pengubahan pada variabel-variabel bebas, tetapi menggambarkan suatu kondisi apa adanya.

Arikunto (1993: 208) menyebutkan bahwa pada umumnya penelitian deskriptif merupakan penelitian non hipotesis sehingga dalam langkah penelitiannya tidak perlu merumuskan hipotesis. Oleh karena itu, dalam penelitian ini tidak terdapat rumusan hipotesis.

A. LOKASI DAN SUBJEK PENELITIAN

Lokasi penelitian ini berada di tiga Sekolah Luar Biasa (SLB) yang berada di Bandung. Pemilihan ketiga SLB tersebut berdasarkan alasan praktis, dimana populasi anak tunagrahita yang merupakan subjek dalam penelitian ini dan sesuai dengan kebutuhan peneliti relatif mudah diperoleh di ketiga SLB tersebut.

Subjek dalam penelitian ini adalah anak tunagrahita ringan yang berusia antara 11 – 14 tahun. Alasan pemilihan usia ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan penalaran pada anak mulai berkembang pada usia remaja, yaitu sekitar usia 11 tahun. Walaupun perkembangan mental anak tunagrahita usia 11 tahun berbeda dengan perkembangan mental pada anak umumnya, tetapi dari batasan usia ini kita dapat melihat keberfungsian faktor kognitif terhadap perkembangan moral.

Penelitian ini melibatkan 10 orang anak tunagrahita yang terdiri dari sembilan orang anak tunagrahita laki-laki dan satu orang anak tunagrahita perempuan. Kesepuluh anak tersebut bersekolah pada kelas yang berbeda, mulai dari kelas 5 SDLB sampai kelas 2 SMPLB. Tingkatan kelas dan jenis kelamin tidak menjadi dasar pertimbangan dalam pemilihan subjek penelitian.


(13)

39

B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL

Variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang akan menjadi objek pengamatan penelitian (Suryabrata,1992:72) berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya.

Penelitian ini mengambil judul: “Penalaran Moral Anak Tunagrahita Ditinjau dari Kemampuan Kognisi dan Pola Pengasuhan Orang Tua”. Berdasarkan judul tersebut variabel dalam penelitian ini terdiri dari satu variabel terikat (dependen) dan dua variabel bebas (independen). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah Penalaran moral anak tunagrahita, sedangkan variabel bebasnya adalah kemampuan kognisi dan pola pengasuhan orang tua.

Untuk dapat mengukur variabel-variabel penelitian di atas maka diperlukan pendefinisian secara operasional dari variabel-variabel tersebut. Effendi (1995) menyebutkan bahwa definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Sehingga penting sekali bagi seorang peneliti untuk merumuskan hal tersebut.

Berikut ini penjelasan dari definisi opeasional variabel yang terdapat dalam penelitian:

1. Penalaran moral anak tunagrahita adalah pemahaman anak tunagrahita tentang konsep yang menunjukkan mengapa sesuatu dianggap baik atau buruk. Penalaran moral ditunjukkan oleh data kuantitatif dalam bentuk tingkatan atau tahapan moral. Data tersebut diperoleh dari hasil wawancara tentang cerita dilema yang disampaikan oleh peneliti.


(14)

40 2. Kemampuan kognisi adalah kemampuan individu dalam memahami sesuatu konsep yang diperoleh melalui suatu proses sensoris dan persepsi. Kemampuan kognisi ditunjukkan oleh deskripsi jawaban tentang pemahaman individu tentang konsep konservasi isi atau substansi yang kemudian dicocokkan dengan tahapan kognisi yang sesuai yang diperoleh dari hasil tes perkembangan kognitif yang merujuk kepada teori perkembangan kognitif dari Piaget. Tahap kemampuan kognisi merupakan data dalam bentuk skala ordinal, sehingga data kemampuan kognisi berbentuk data kuantitatif. Yang dimaksud konsep konservasi isi atau substansi dalam penelitian ini adalah kemampuan individu dalam melihat kekekalan isi atau substansi dari sebuah objek.

3. Pola pengasuhan orang tua adalah bagaimana cara orang tua melakukan hubungan atau interaksi dengan anaknya dalam kehidupan sehari-hari. Data pola pengasuhan orang tua ini diperoleh dari hasil penyebaran angket terhadap orangtua dari anak tunagrahita.

C. INSTRUMEN PENELITIAN

Menurut Suryabrata (1992) menyebutkan bahwa dalam sebuah penelitian, instrumen atau alat pengumpul data menentukan kualitas data yang akan dikumpulkan dan hal tersebut menentukan juga kualitas dari penelitiannya. Keputusan mengenai pemilihan instrumen yang akan digunakan ditentukan oleh variabel yang akan diamati atau diambil datanya. Dengan kata lain instrumen yang digunakan harus sesuai= dengan variabel penelitiannya.


(15)

41 Berdasarkan variabel dan tujuan dari penelitian ini, maka instrumen yang dipakai dalam penelitian ini terdiri dari Moral Judgement Interview (MJI) atau wawancara Penalaran Moral, instrumen tes konservasi isi, dan angket atau kuesioner pola pengasuhan orangtua.

1. Moral Judgement Interview

Moral Judgement Interview atau wawancara Penalaran Moral merupakan alat ukur yang disusun oleh Lawrence Kohlberg. MJI merupakan wawancara langsung antara pewawancara dan responden tentang resolusi tiga dilema moral (Colby, A., Kohlberg, L., dkk.: 1990). Dalam penelitian ini wawancara penalaran moral dilakukan dengan memakai cerita dilema yang terdapat dalam Form A yang sudah direvisi sesuai dengan kemampuan anak tunagrahita.

MJI yang sudah terstandar terdiri dari tiga bentuk paralel yaitu Form A, Form B, dan Form C. Masing-masing bentuk terdiri dari tiga cerita dilema dan masing-masing cerita dilemma terdiri dari 9 – 12 pertanyaan yang dirancang untuk mengungkap pembenaran, pengembangan, dan klarifikasi penalaran moral subjek. Bagi masing-masing dilema pertanyaan yang disampaikan terfokus pada dua isu moral. Sebagai contoh, dalam cerita Heinz (Dilema III) menyajikan konflik antara isu kehidupan dan hukum. Pendapat yang memilih untuk mencuri obat termasuk pendapat yang mendukung isu kehidupan dan pendapat untuk tidak mencuri dikelompokkan pada pendapat yang mendukung isu hukum.


(16)

42 Dari tes ini dapat dijaring bagaimana cara penyelesaian seseorang terhadap masalah sosial menyangkut moral yang dihadapinya sehingga dapat ditentukan tahapan atau stages moral orang tersebut pada saat ini.

2. Tes Konservasi Isi

Untuk mengetahui kemampuan kognisi anak tunagrahita, maka peneliti melakukan tes konservasi isi atau substansi. Kemampuan dalam memahami konservasi isi ini dilihat berdasarkan pemahaman subjek terhadap perubahan bentuk objek yaitu perubahan dari bentuk bola menjadi bentuk tabung atau bentuk seperti sosis berdasarkan isinya.

Untuk menentukan tahap kognisi subjek, maka komentar subjek dalam menjawab pertanyaan tentang perubahan bentuk dari plastisin bola menjadi plastisin bentuk tabung atau bentuk seperti sosis disesuaikan dengan karakteristik tahap kemampuan kognisi Piaget (Labinowicz:1980) (lihat lampiran 3.4).

3. Angket Pola Pengasuhan Orangtua

Angket atau kuesioner ini merupakan alat pengumpul data untuk mengungkap pola pengasuhan orangtua yang dilakukan dalam berhubungan atau berinteraksi dengan anaknya. Angket pola pengasuhan orangtua ini dikembangkan berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Baumrind (Berk, 2003). (lihat lampiran 3.5).

Angket ini berisi 36 pernyataan dengan tiga pilihan keberlakuan dari setiap pernyataan. Masing-masing pernyataan memiliki skor antara 1 – 3 sesuai dengan


(17)

43 pemilihan keberlakuan. Untuk pernyataan positif nilai 1 diberikan jika responden memilih “tidak pernah”, nilai 2 jika responden memilih “kadang-kadang”, dan nilai 3 jika responden memilih “selalu”. Sedangkan untuk pernyataan negatif nilai 1 diberikan jika responden memilih “selalu”, nilai 2 jika responden memilih “kadang-kadang”, dan nilai 3 jika responden memilih “tidak pernah”.

Penskoran dalam instrumen ini dilakukan dengan cara menjumlahkan semua nilai. Dan skor akhir yang diperoleh kemudian dicocokkan dengan kriteria skor pada angket pola pengasuhan orangtua.

D. PROSES PENGEMBANGAN INSTRUMEN

Dalam penelitian ini terdiri dari tiga instrumen. Pertama, instrumen wawancara untuk mengukur tahapan penalaran moral. Kedua, instrumen tes konservasi untuk mengukur tahapan kognisi. Dan ketiga, instrumen angket untuk mengetahui jenis pola pengasuhan yang dilakukan oleh orangtua.

Pertama, instrumen wawancara tentang penalaran moral. Instrumen ini diadaptasi dari instrumen wawancara penalaran moral yang disusun oleh Kohlberg. Instrumen tersebut berisikan tiga cerita dilemma yang harus diberikan pada anak. Berikut langkah-langkah pengembangan instrumen penalaran moral: 1. Dilakukan uji coba instrumen MJI terhadap seorang anak tunagrahita. Dari

hasil uji coba diperoleh data bahwa anak tunagrahita kurang memahami beberapa istilah dan pertanyaan-pertanyaan tertentu dalam instrumen tersebut. Beberapa istilah yang kurang dipahami anak adalah istilah penyakit kanker, radium, sepuluh kali lipat, apoteker, dan dosis. Sedangkan


(18)

pertanyaan-44 pertanyaan yang kurang dipahami diantaranya adalah ” Pentingkah bagi seseorang untuk melakukan apapun yang mereka dapat lakukan untuk menyelamatkan hidup orang lain?”, “Bagi Hendra mencuri obat perbuatan melawan hukum. Apakah itu membuatnya salah secara moral?”, “Secara umum, haruskah orang mencoba untuk melakukan apapun yang mereka dapat lakukan untuk menaati hukum?”,dan pertanyaan lainnya.

2. Melakukan penyesuaian terhadap kalimat-kalimat yang terdapat dalam cerita atau pertanyaan wawancara versi Kohlberg tanpa merubah inti dari ceritanya. 3. Seorang guru yang mengajar di sekolah luar biasa untuk anak-anak

tunagrahita melakukan penilaian terhadap cerita dan pertanyaan wawancara versi revisi. Cara yang digunakan yaitu dengan membandingkan cerita asli dengan cerita yang telah mengalami revisi atau penyesuaian. Guru tersebut diminta menilai apakah cerita dan pertanyaan wawancara yang telah mengalami penyesuaian memiliki isi dan tujuan yang sama dengan versi aslinya.

Kedua, instrumen tes konservasi isi. Instrumen ini merupakan salah satu instrumen yang dibuat oleh Piaget untuk mengetahui tahap kemampuan kognitif seseorang. Instrumen ini sifatnya universal, sehingga tidak diperlukan uji coba sebelum digunakan.

Ketiga, instrumen angket Pola Pengasuhan Orangtua. Instrumen ini dikembangkan berdasarkan jenis-jenis pola pengasuhan orangtua yang dikemukakan oleh Bamrind. Adapun langkah-langkah pengembangannya sebagai berikut:


(19)

45 1. Membuat kisi-kisi angket Pola Pengasuhan Orangtua berdasarkan milestone

pola pengasuhan orangtua.

2. Membuat item-item pernyataan berdasarkan kisi-kisi yang telah dibuat.

3. Instrumen yang telah dibuat lalu dinilai oleh tiga orang psikolog yang dalam kesehariannya sering berhadapan dengan anak berkebutuhan khusus.

4. Melakukan perbaikan instrumen berdasarkan masukan-masukan yang disampaikan oleh penilai.

5. Instrumen yang telah diperbaiki kemudian dinilai kembali oleh dosen psikologi yang pernah belajar mengenai pendidikan kebutuhan khusus.

6. Melakukan perbaikan instrumen berdasarkan masukan-masukan yang disampaikan oleh penilai.

Berikut ini kisi-kisi instrumen pola pengasuhan orangtua yang dikembangkan oleh peneliti.


(20)

46 Tabel 3.1

KISI-KISI INSTRUMEN POLA PENGASUHAN ORANGTUA

No. Pola

Pengasuhan

Penerimaan dan Keterlibatan

Kontrol Autonomy Granting

Jumlah Item pertanyaan

Nomor soal 01. Otoritatif

(Berwenang)

Hangat , responsif, penuh perhatian, sabar, dan ,sensitif pada kebutuhan anak.

Melakukan permintaan yang masuk akal bagi

kedewasaan, dan secara konsisten menguatkan dan menjelaskan permintaan-permintaan tersebut.

Mengijinkan anak untuk membuat keputusan dalam keadaan siap.

Mendukung anak untuk mengekspresikan pemikirannya, perasaannya, dan

keinginannya.

Ketika orang tua dan anak berbeda pendapat, jika memungkinkan libatkan anak dalam pengambilan keputusan.

9 1, 5, 9, 13,

17, 21, 25, 29, 33.

02. Otoriter Dingin dan

menolak serta seringkali merendahkan anak. Melakukan banyak pemaksaan permintaan, dengan berteriak, memerintah, dan mengkritik.

Membuat keputusan untuk anak. Jarang mendengar pandangan anak.

9 2, 6, 10,

14, 18, 22, 26, 30, 34.

03. Permisif (Serba membolehkan)

Hangat, tetapi terlalu baik atau ceroboh.

Melakukan sedikit

permintaan atau tidak sama sekali.

Mengijinkan anak membuat keputusan sebelum anak siap.

9 3, 7, 11,

15, 19, 23, 27, 31, 35. 04. Uninvolved

(Tidak dilibatkan)

Secara emosional terlepas dan menarik diri.

Melakukan sedikit

permintaan atau tidak sama sekali.

Pandangan dan keputusan yang dibuat anak berbeda.

9 4, 8, 12,

16, 20, 24, 28, 32, 36.


(21)

47

E. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Untuk memperoleh jawaban mengenai pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan pada BAB I, maka teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:

1. Wawancara.

Wawancara merupakan suatu teknik pengumpul data dengan jalan mengadakan komunikasi dengan sumber data. Komunikasi tersebut dilakukan dengan tanya jawab secara lisan baik langsung maupun tidak langsung (Djumhur: 1975). Wawancara dalam penelitian ini dilakukan terhadap anak tunagrahita tentang dilemma moral melalui cerita dilemma moral berdasarkan cerita yang dirancang oleh Kohlberg dengan sedikit penyesuaian mengenai nama tokoh dan beberapa istilah yang diperkirakan kurang dipahami oleh anak tunagrahita. Penyesuaian tersebut diperoleh melalui tahapan penilaian yang dilakukan peneliti terhadap guru anak tunagrahita.

2. Tes.

Tes sebagai alat pengumpul data dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tes buatan dan tes terstandar. Tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes konservasi isi atau substansi yang merupakan tes standar yang digunakan dalam eksperimen Piaget dalam mengukur kemampuan kognitif.

3. Angket.

Angket atau kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberikan seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada respon untuk dijawab. Angket yang digunakan dalam penelitian ini


(22)

48 bertujuan untuk memperoleh informasi tentang cara orangtua dalam berhubungan atau berinteraksi dengan anaknya sehingga dapat diketahui pola pengasuhannya.

F. TEKNIK ANALISIS DATA

Dalam penelitian kuantitatif, analisis data merupakan kegiatan setelah data dari seluruh responden atau sumber data lain terkumpul. Dalam penelitian ini teknik analisis data dilakukan dengan cara deskriptif analitik, yaitu dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi. Alasan pemilihan teknik deskriptif dalam proses analisis data pada penelitian ini berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, karena data hasil penelitian ini pada variabel kemampuan kognisi dan pola pengasuhan orangtua mayoritas memusat pada satu titik sehingga apabila dilakukan perhitungan statistik hasilnya kurang bermakna. Kedua, jumlah subjek dalam penelitian ini terdiri dari 10 orang anak tunagrahita yang diambil secara acak dan tidak mewakili sampel atau populasi tertentu.

Kegiatan yang dilakukan dalam menganalisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengelompokkan dan mentabulasi data berdasarkan variabelnya, menyajikan data setiap variabel dalam bentuk tabel, dan melakukan interpretasi data untuk menjawab masalah dalam penelitian ini.


(23)

49

G. PROSEDUR PENELITIAN

Prosedur penelitian merupakan langkah-langkah yang dilakukan oleh penelitian dalam menemukan data penelitiannya. Proses pengambilan data ke lapangan dilakukan sendiri oleh peneliti. Data pertama yang diambil adalah data penalaran moral melalui tes wawancara penalaran moral, kedua adalah data pola pengasuhan orangtua pada anak tunagrahita yang diperoleh melalui penyebaran angket, dan data ketiga adalah data kemampuan kognisi yang diperoleh dari tes konservasi isi pada anak tunagrahita.

Pertama, pengambilan data penalaran moral. Data penalaran moral diperoleh melalui tes wawancara penalaran moral yang dilakukan dengan cara wawancara langsung. Dokumentasi hasil wawancara dilakukan dengan cara merekam proses wawancara secara keseluruhan dengan menggunakan media elektronik. Langkah-langkah yang dilakukan pada saat tes wawancara penalaran moral adalah sebagai berikut:

1. Peneliti membacakan cerita dilema moral III versi revisi. Apabila anak tidak dapat menjawab pertanyaan, maka cerita tersebut dapat diulang beberapa kali sesuai dengan kebutuhan.

2. Peneliti mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan cerita dilema III yang sudah dibacakan secara berurutan. Apabila anak tidak dapat memahami pertanyaan, maka pertanyaan tersebut dapat diulang dengan kalimat yang sama atau dengan kalimat lain yang mengandung arti yang sama. Sebagai contoh: pertanyaan “jika Hendra tidak mencintai istrinya, haruskah dia mencuri obat untuknya?” dapat diganti dengan pertanyaan “jika Hendra tidak


(24)

50 sayang sama istrinya, haruskah dia mencuri obat untuk istrinya?”. Apabila jawaban anak tidak konsisten, maka peneliti mengulang pertanyaan atau mengulang membacakan cerita dilema sampai peneliti merasa yakin dengan jawaban yang disampaikan oleh anak.

3. Peneliti membacakan cerita dilema III’ dan cerita dilema I secara berurutan sesuai dengan prosedur yang dilakukan pada cerita dilema III.

4. Setelah proses wawancara dilakukan, peneliti melakukan pencatatan hasil wawancara untuk setiap cerita dilema pada setiap anak.

5. Menentukan isu dilema yang dipilih oleh anak. Untuk menentukan isu dilema kita dapat melihat dari jawaban yang dikemukakan oleh anak pada pertanyaan nomer 1 untuk cerita dilema III dan cerita dilema I, dan pertanyaan nomer 3 untuk cerita dilema III’. Sebagai contoh pada dilemma III, apabila jawaban anak pada pertanyaan nomer 1 adalah “tidak boleh mencuri”, artinya isu dilema yang dipilih anak adalah law (hukum), sedangkan apabila jawaban anak pada pertanyaan nomer 1 adalah “boleh mencuri”, artinya isu dilema yang dipilih anak adalah life (kehidupan).

6. Menentukan tahap penalaran moral. Untuk menentukan tahap penalaran moral, maka jawaban dari pertanyaan nomer 1a untuk cerita dilema III dan cerita dilema I, dan pertanyaan nomer 3a untuk cerita dilema III’ dicocokkan sesuai dengan kriteria penalaran moral berdasarkan isu dilema yang dipilih.

Kedua, pengambilan data pola pengasuhan orangtua. Data pola pengasuhan orangtua dilakukan dengan cara menyebarkan angket pada orangtua anak tunagrahita. Setelah angket terkumpul kemudian dilakukan skoring sesuai dengan


(25)

51 jenis pernyataan. Skor pada semua item kemudian dijumlahkan untuk selanjutnya dilakukan pencocokkan skor pada kriteria yang sesuai dengan kategori.

Ketiga, pengambilan data kemampuan kognisi. Data kemampuan kognisi diperoleh berdasarkan tes konservasi isi. Langkah-langkah yang dilakukan untuk memperoleh data ini adalah:

1. Peneliti memperlihatkan dua buah bola plastisin yang memiliki bentuk, ukuran, dan warna yang sama.

2. Peneliti merubah bentuk salah satu bola plastisin tersebut menjadi lebih panjang atau berbentuk seperti sosis.

3. Peneliti meminta anak untuk mengamati kedua plastisin tersebut. Lalu bertanya kepada anak “Bagaimana ukuran kedua plastisin ini sekarang?” jika reaksi yang ditunjukkan anak adalah diam, maka peneliti bertanya kembali “Apakah kedua plastisin ini ukurannya masih sama atau berbeda?” Semua anak menjawab berbeda. Peneliti bertanya kembali “Apa yang berbeda?” Kebanyakan anak menunjuk lingkaran. Peneliti bertanya lagi “kenapa lingkarannya?”. Anak menjawab “lebih besar”.

4. Untuk mengecek keajegan jawaban anak, maka plastisin bentuk sosis dirubah kembali bentuknya menjadi bentuk bola. Selanjutnya peneliti mengulang kembali tes ini mulai dari langkah pertama.

5. Peneliti mencatat semua jawaban yang disampaikan oleh anak.

6. Peneliti mencocokkan jawaban anak dengan karakteristik tahapan kognitif pada tabel (lihat lampiran 3.4). Apabila jawaban yang disampaikan oleh anak cocok dengan salah satu ciri-ciri pada tahapan kognitif tertentu, maka disimpulkan bahwa tahapan kognitif anakberada dalam tahap tersebut.


(26)

63

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bagian terakhir dari rangkaian penulisan tesis. Uraian yang akan dikemukakan pada bab ini meliputi dua bagian, yaitu simpulan dan saran.

A. SIMPULAN

Simpulan dalam penelitian ini merupakan hasil pencapaian dari tujuan penelitian. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan data penelitian diperoleh beberapa simpulan yang berkenaan dengan hasil penelitian tentang hubungan kemampuan kognisi dengan penalaran moral anak tunagrahita dan hubungan pola pengasuhan orangtua terhadap penalaran moral anak tunagrahita. Simpulan ini tidak berlaku umum, tetapi hanya berlaku bagi anak tunagrahita yang menjadi subjek dalam penelitian ini saja. Hal tersebut disebabkan karena jumlah subjek dalam penelitian ini belum mewakili populasi anak tunagrahita yang ada di Bandung. Oleh karena simpulan yang dihasilkan masih merupakan sebuah hipotesis yang muncul dari studi lapangan yang dilakukan oleh peneliti. Berikut ini simpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil analisis temuan data di lapangan.

Pertama, terdapat hubungan antara kemampuan kognisi dan penalaran moral pada anak tunagrahita usia 11 – 14 tahun. Tahap kognisi anak tunagrahita yang menjadi subjek dalam penelitian ini berada pada tahap kognisi


(27)

64 praoperasional dan tahap penalaran moralnya berada pada tingkat pra konvensional. Artinya, tahap kognisi anak tunagrahita paralel dengan tahap penalaran moralnya. Dalam penelitian ini pun tidak ditemukan adanya anak tunagrahita yang tahap penalaran moralnya lebih tinggi dari kemampuan kognisinya. Walaupun anak-anak tunagrahita tersebut berada pada tingkat penalaran moral yang sama, namun tahap penalaran moralnya bervariasi. Hal tersebut diperkirakan karena pengalaman belajar belajar mereka berbeda.

Kedua, terdapat hubungan antara pola pengasuhan orangtua dengan penalaran moral anak tunagrahita usia 11 – 14 tahun. Pola pengasuhan otoritatif sebagai pola asuh terbaik disimpulkan telah membantu perkembangan penalaran moral yang optimal pada anak tunagrahita yang menjadi subjek dalam penelitian ini. Sehingga 88% dari jumlah subjek yang berada dalam pola pengasuhan otoritatif dalam penelitian ini tahap penalaran moralnya berada di atas tahap 1.

2. SARAN

Terdapat dua buah simpulan yang dihasilkan dari penelitian ini. Pertama, terdapat hubungan antara kemampuan kognisi dan penalaran moral pada anak tunagrahita usia 11 – 14 tahun. Kedua, terdapat hubungan antara pola pengasuhan orangtua dengan penalaran moral anak tunagrahita usia 11 – 14 tahun. Berdasarkan simpulan tersebut, maka ada beberapa saran yang ingin peneliti sampaikan:

Pertama, sebelum guru membuat rancangan program pembelajaran moral, sebaiknya guru mengetahui tahap kognisi dan tahap penalaran moral anak


(28)

65 tunagrahita. Sehingga hal tersebut akan mempermudah guru dalam menentukan pemilihan materi dan metode yang sesuai dengan kebutuhan dan hambatan yang ada pada anak tunagrahita.

Kedua, untuk mengoptimalkan penalaran moral anak tunagrahita pihak orangtua disarankan untuk mengembangkan pola pengasuhan otoritatif. Jenis pola pengasuhan yang memberi kebebasan pada anak untuk berkreasi dan mengeksplorasi berbagai hal sesuai dengan kemampuan anak dengan pengawasan yang baik dari orangtua. Selain itu, dalam mendidik moral pada anak tunagrahita seharusnya dimulai dengan mengenal tahap penalaran moral anak, kemudian memberikan stimulus penalaran moral yang setahap lebih tinggi dalam dialog dengan anak. Orangtua perlu memberikan umpan balik kepada anak mengenai perasaan-perasaan dan pikira-pikiran orang lain yang terjadi sebagai akibat tindakan anak, yang berarti memberi kesempatan alih peran kepada anak. Dalam pendidikan moral orangtua seharusnya tidak memberikan keharusan atau larangan yang harus dipatuhi, atau mendiktekan apa yang baik atau buruk kepada anak, tetapi memberikan dasar-dasar pertimbangan mengapa suatu hal dianggap baik baik atau buruk. Anak dilatih untuk dapat menimbang-nimbang dan akhirnya dapat mengambil keputusan sendiri mengenai apa yang dianggap baik atau buruk.

Ketiga, bagi peneliti lainnya yang tertarik untuk melakukan penelitian ini disarankan untuk melakukan penelitian ini dengan subjek yang lebih banyak dari penelitian sekarang ini, sehingga diharapkan dapat menemukan temuan data lain yang berguna bagi pengembangan ilmu pendidikan luar biasa khususnya dan ilmu psikologi pada umumnya. Untuk mengungkap kemampuan kognisi anak


(29)

66 tunagrahita peneliti hanya menggunakan tes konservasi isi. Bagi peneliti lain yang berminat untuk melakukan penelitian serupa disarankan untuk menggunakan tes kognisi secara utuh agar kemampuan kognisi subjek dapat terukur secara menyeluruh.


(30)

67 DAFTAR PUSTAKA

(Tn). (2009) Interaksi Sosial.[online]. Tersedia:

http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009 [21-12-2010]

(Tn). (2011). Teori Kognitif Piaget. [online]. Tersedia:

http://kongkoh.blogspot.com/2011/01/teori-kognitif-piaget.html[28 januari

2011]

Alimin, Z. (2008). Hambatan Belajar dan Hambatan Perkembangan pada Anak-anak Tunagrahita. Tersedia: http/Zaenal Alimin [online]

Alimin, Z. (2008). Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita Menurut Teori Piaget. Tersedia: http/Zaenal Alimin [online]

Amin, M. (1995). Ortopedagogik Anak Tunagrahita. Jakarta: Depdikbud.

Arikunto, S. (1993). PROSEDUR PENELITIAN. Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi II. Jakarta: Rineka Cipta.

Berk, L.E. (2003). Child Development. Sixth Edition. Boston: Pearson Education, Inc.

Colby, A., Kohlberg, L., dkk. (1990). THE MEASUREMENT of MORAL JUDGMENT. Vol. II. Theoritical Foundations and Research Validation. New York: Cambridge University Press.

Colby, A., Kohlberg, L., dkk. (1990). THE MEASUREMENT of MORAL JUDGMENT. Vol. II. Standard Issue Scoring Manual. New York: Cambridge University Press.

Djumhur, I & Surya, M. (1975). BIMBINGAN DAN PENYULUHAN DI SEKOLAH. (Guidance & Conseling). Bandung: C.V. Ilmu.


(31)

68

Dwi K.S. (2007). Pentingnya Pendidikan Moral Bagi Anak Sekolah Dasar. Dalam

Dinamika Pendidikan [online], Vol. 15 (1), 13 halaman. Tersedia: http:// [21 Juli 2010]

Labinowicz, E. (1980). THE PIAGET PRIMER. Thinking. Learning. Teaching. California: Addison Wesley Publishing Company.

Maryati & Suryawati. (2003). _______ .[online]. Tersedia:

http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009 [21 Desember 2010]

Sartika, R. (2009). Pengaruh Pendidikan Kewarganegaraan Terhadap Pengembangan Kecakapan Partisipatoris Pemilih Pemula (Studi Deskriptif Pada Siswa SMA Negeri di Kota Bandung). Tesis.Bandung:UPI.

Setiono, K.. (2008). PERKEMBANGAN PENALARAN MORAL. Tinjauan dari Sudut Pandang Teori Sosio-Kognitif. Jakarta: Gramedia.

Singarimbun, Masri, & Effendi, S. (1995). METODE PENELITIAN SURVAI. Edisi Revisi. Jakarta: LP3ES.

Sjahrul, P.J. (1995). Telaah Peran Model Pengasuhan Orangtua dan Teman Sebaya terhadap Optimalisasi Perkembangan Penalaran Moral Remaja. Tesis pada FPS Unpad Bandung: tidak diterbitkan.

Suparno, P. (2001). Teori Perkembangan Kognitif Piaget. Yogyakarta: Kanisius.

Suryabrata, S. (1992). METODOLOGI PENELITIAN. Edisi 1, Cetakan 7. Jakarta: CV Rajawali.

Termini, K.A. & Golden J.A. (2007). Moral Behaviors: What Can Behaviorists Learn from the Developmental Literature? Dalam International Journal of Behavioral Consultation and Therapy [online], Volume 3 (4), 16 halaman.


(1)

63 BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bagian terakhir dari rangkaian penulisan tesis. Uraian yang akan dikemukakan pada bab ini meliputi dua bagian, yaitu simpulan dan saran.

A. SIMPULAN

Simpulan dalam penelitian ini merupakan hasil pencapaian dari tujuan penelitian. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan data penelitian diperoleh beberapa simpulan yang berkenaan dengan hasil penelitian tentang hubungan kemampuan kognisi dengan penalaran moral anak tunagrahita dan hubungan pola pengasuhan orangtua terhadap penalaran moral anak tunagrahita. Simpulan ini tidak berlaku umum, tetapi hanya berlaku bagi anak tunagrahita yang menjadi subjek dalam penelitian ini saja. Hal tersebut disebabkan karena jumlah subjek dalam penelitian ini belum mewakili populasi anak tunagrahita yang ada di Bandung. Oleh karena simpulan yang dihasilkan masih merupakan sebuah hipotesis yang muncul dari studi lapangan yang dilakukan oleh peneliti. Berikut ini simpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil analisis temuan data di lapangan.

Pertama, terdapat hubungan antara kemampuan kognisi dan penalaran moral pada anak tunagrahita usia 11 – 14 tahun. Tahap kognisi anak tunagrahita yang menjadi subjek dalam penelitian ini berada pada tahap kognisi


(2)

64 praoperasional dan tahap penalaran moralnya berada pada tingkat pra konvensional. Artinya, tahap kognisi anak tunagrahita paralel dengan tahap penalaran moralnya. Dalam penelitian ini pun tidak ditemukan adanya anak tunagrahita yang tahap penalaran moralnya lebih tinggi dari kemampuan kognisinya. Walaupun anak-anak tunagrahita tersebut berada pada tingkat penalaran moral yang sama, namun tahap penalaran moralnya bervariasi. Hal tersebut diperkirakan karena pengalaman belajar belajar mereka berbeda.

Kedua, terdapat hubungan antara pola pengasuhan orangtua dengan penalaran moral anak tunagrahita usia 11 – 14 tahun. Pola pengasuhan otoritatif sebagai pola asuh terbaik disimpulkan telah membantu perkembangan penalaran moral yang optimal pada anak tunagrahita yang menjadi subjek dalam penelitian ini. Sehingga 88% dari jumlah subjek yang berada dalam pola pengasuhan otoritatif dalam penelitian ini tahap penalaran moralnya berada di atas tahap 1.

2. SARAN

Terdapat dua buah simpulan yang dihasilkan dari penelitian ini. Pertama, terdapat hubungan antara kemampuan kognisi dan penalaran moral pada anak tunagrahita usia 11 – 14 tahun. Kedua, terdapat hubungan antara pola pengasuhan orangtua dengan penalaran moral anak tunagrahita usia 11 – 14 tahun. Berdasarkan simpulan tersebut, maka ada beberapa saran yang ingin peneliti sampaikan:

Pertama, sebelum guru membuat rancangan program pembelajaran moral, sebaiknya guru mengetahui tahap kognisi dan tahap penalaran moral anak


(3)

65 tunagrahita. Sehingga hal tersebut akan mempermudah guru dalam menentukan pemilihan materi dan metode yang sesuai dengan kebutuhan dan hambatan yang ada pada anak tunagrahita.

Kedua, untuk mengoptimalkan penalaran moral anak tunagrahita pihak orangtua disarankan untuk mengembangkan pola pengasuhan otoritatif. Jenis pola pengasuhan yang memberi kebebasan pada anak untuk berkreasi dan mengeksplorasi berbagai hal sesuai dengan kemampuan anak dengan pengawasan yang baik dari orangtua. Selain itu, dalam mendidik moral pada anak tunagrahita seharusnya dimulai dengan mengenal tahap penalaran moral anak, kemudian memberikan stimulus penalaran moral yang setahap lebih tinggi dalam dialog dengan anak. Orangtua perlu memberikan umpan balik kepada anak mengenai perasaan-perasaan dan pikira-pikiran orang lain yang terjadi sebagai akibat tindakan anak, yang berarti memberi kesempatan alih peran kepada anak. Dalam pendidikan moral orangtua seharusnya tidak memberikan keharusan atau larangan yang harus dipatuhi, atau mendiktekan apa yang baik atau buruk kepada anak, tetapi memberikan dasar-dasar pertimbangan mengapa suatu hal dianggap baik baik atau buruk. Anak dilatih untuk dapat menimbang-nimbang dan akhirnya dapat mengambil keputusan sendiri mengenai apa yang dianggap baik atau buruk.

Ketiga, bagi peneliti lainnya yang tertarik untuk melakukan penelitian ini disarankan untuk melakukan penelitian ini dengan subjek yang lebih banyak dari penelitian sekarang ini, sehingga diharapkan dapat menemukan temuan data lain yang berguna bagi pengembangan ilmu pendidikan luar biasa khususnya dan ilmu psikologi pada umumnya. Untuk mengungkap kemampuan kognisi anak


(4)

66 tunagrahita peneliti hanya menggunakan tes konservasi isi. Bagi peneliti lain yang berminat untuk melakukan penelitian serupa disarankan untuk menggunakan tes kognisi secara utuh agar kemampuan kognisi subjek dapat terukur secara menyeluruh.


(5)

67 DAFTAR PUSTAKA

(Tn). (2009) Interaksi Sosial.[online]. Tersedia: http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009 [21-12-2010]

(Tn). (2011). Teori Kognitif Piaget. [online]. Tersedia: http://kongkoh.blogspot.com/2011/01/teori-kognitif-piaget.html[28 januari 2011]

Alimin, Z. (2008). Hambatan Belajar dan Hambatan Perkembangan pada Anak-anak Tunagrahita. Tersedia: http/Zaenal Alimin [online]

Alimin, Z. (2008). Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita Menurut Teori Piaget. Tersedia: http/Zaenal Alimin [online]

Amin, M. (1995). Ortopedagogik Anak Tunagrahita. Jakarta: Depdikbud.

Arikunto, S. (1993). PROSEDUR PENELITIAN. Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi II. Jakarta: Rineka Cipta.

Berk, L.E. (2003). Child Development. Sixth Edition. Boston: Pearson Education, Inc.

Colby, A., Kohlberg, L., dkk. (1990). THE MEASUREMENT of MORAL JUDGMENT. Vol. II. Theoritical Foundations and Research Validation. New York: Cambridge University Press.

Colby, A., Kohlberg, L., dkk. (1990). THE MEASUREMENT of MORAL JUDGMENT. Vol. II. Standard Issue Scoring Manual. New York: Cambridge University Press.

Djumhur, I & Surya, M. (1975). BIMBINGAN DAN PENYULUHAN DI SEKOLAH. (Guidance & Conseling). Bandung: C.V. Ilmu.


(6)

68 Dwi K.S. (2007). Pentingnya Pendidikan Moral Bagi Anak Sekolah Dasar. Dalam

Dinamika Pendidikan [online], Vol. 15 (1), 13 halaman. Tersedia: http:// [21 Juli 2010]

Labinowicz, E. (1980). THE PIAGET PRIMER. Thinking. Learning. Teaching. California: Addison Wesley Publishing Company.

Maryati & Suryawati. (2003). _______ .[online]. Tersedia: http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009 [21 Desember 2010]

Sartika, R. (2009). Pengaruh Pendidikan Kewarganegaraan Terhadap Pengembangan Kecakapan Partisipatoris Pemilih Pemula (Studi Deskriptif Pada Siswa SMA Negeri di Kota Bandung). Tesis.Bandung:UPI.

Setiono, K.. (2008). PERKEMBANGAN PENALARAN MORAL. Tinjauan dari Sudut Pandang Teori Sosio-Kognitif. Jakarta: Gramedia.

Singarimbun, Masri, & Effendi, S. (1995). METODE PENELITIAN SURVAI. Edisi Revisi. Jakarta: LP3ES.

Sjahrul, P.J. (1995). Telaah Peran Model Pengasuhan Orangtua dan Teman Sebaya terhadap Optimalisasi Perkembangan Penalaran Moral Remaja. Tesis pada FPS Unpad Bandung: tidak diterbitkan.

Suparno, P. (2001). Teori Perkembangan Kognitif Piaget. Yogyakarta: Kanisius.

Suryabrata, S. (1992). METODOLOGI PENELITIAN. Edisi 1, Cetakan 7. Jakarta: CV Rajawali.

Termini, K.A. & Golden J.A. (2007). Moral Behaviors: What Can Behaviorists Learn from the Developmental Literature? Dalam International Journal of Behavioral Consultation and Therapy [online], Volume 3 (4), 16 halaman.