E-MODUL INTERAKTIF BERBASIS KONSTRUKTIVISME PADA MATERI GENETIKA UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI GURU BIOLOGI SLTP.

(1)

1

DAFTAR ISI

JUDUL Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN ... i

PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan masalah ... 7

C. Batasan Masalah ... 8

D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 10

F. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Konstruktivisme ... 12


(2)

2

C. Modul On Line Berbasis Konstruktivisme ... 18

D. Kompetensi Guru ... 22

E. Pembelajaran Genetika ... 25

F. Penelitian yang Relevan ... 34

BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 38

B. Lokasi dan subjek Penelitiam ... 39

C. Prosedur Penelitian ... 40

D. Instrumen Penelitian ... 41

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 44

B. Pembahasan ... 60

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 87

B. Keterbatasan ... 87

C. Saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... ... 89


(3)

3

DAFTAR TABEL

JUDUL Halaman

3.1 Desain Penelitian ... 39 4.1 Penguasaan konsep genetika guru sebelum dan setelah

pembelajaran ... 53 4.2 Rata-rata nilai guru untuk setiap sub-konsep ... 54 4.3 Rata-rata nilai guru untuk setiap indikator jenjang kognitif ... 55 4.4 Persentase dan pola pilihan proposisi pada kelompok eksperimen dan kelompok pembanding ... 56 4.5 Perbandingan standar kompetensi dan kompetensi dasar SLTP

dan SMA ... 74 4.7 Kemampuan guru dalam mengidentifikasi proposisi berdasarkan prinsip

pengembangan materi ajar ... 78 4.8 Pola pilihan proposisi guru pada kelompok Pembandinga dan kelompok

eksperimen... 80 4.9 Perbedaan pilihan proposisi mikro pada kelompok pembanding dan


(4)

4

DAFTAR GAMBAR

3.1 Alur Penelitian... 40

4.1 Struktur global buku Biology: Concept and Connection karya Campbell, et al. (2006) ... 45

4.2 Struktur makro buku Biology: Concept and Connection karya Campbell, et al. (2006) ... 52

4.3.a. Tampilan aplikasi eksplorasi pengetahuan awal ... 60

4.3.b Tampilan aplikasi eksplorasi pengetahuan awal ... 61

4.4. Tampilan evaluasi akhir pokok bahasan ... 64


(5)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. latar Belakang

Banet & Ayuso (2000) mengemukakan bahwa genetika merupakan materi yang sulit dimengerti oleh sebagian besar siswa sekolah menengah. Hasil observasi awal menunjukkan bahwa siswa mengalami beberapa miskonsepsi mengenai materi genetika, dari kesulitan membedakan antara kromosom, DNA dan gen (56%) sampai mengenai rekayasa genetika. Kesulitan materi genetika tidak hanya diungkapkan siswa tetapi juga oleh guru. Menurut beberapa tokoh (Osborne & Cosgrove, 1993; Bar & Travis, 1991) miskonsepsi pada siswa disebabkan beberapa hal, antara lain dari guru atau dari tutor sebaya. Kesalahan informasi yang diberikan guru disebabkan oleh penguasaan konten keilmuan guru yang tidak memadai dan/atau terjadinya miskonsepsi pada guru. Menurut Banet & Ayuso (2000) metode dan strukur penyampaian materi genetika juga merupakan faktor penyebab sulitnya mengubah miskonsepsi pada siswa.

Hasil penelitian Sitompul (2007) tentang penguasaan konsep genetika pada guru SMA di kota Pangkal Pinang diketahui bahwa hanya 20% dari 26 guru yang penguasaan materi genetikanya tinggi. Dari penelitian ini juga terungkap bahwa 80% guru mengakui bahwa materi genetika merupakan materi yang sulit diajarkan dan dipahami siswa. Menurut guru hal tersebut karena keterbatasan sarana pendukung berupa bantuan media dalam penerapan pembelajarannya dan kurangnya informasi yang terkait dengan materi yang diajarkan. Hal ini senada dengan hasil angket yang disebarkan oleh Pridi (2004) kepada para guru sekolah


(6)

2 menengah pertama (SMP) yang merupakan peserta penataran tertulis pendidikan dan latihan jarak jauh di kota/kabupaten Bandung angkatan tahun 1999 dan 2000. Menurut Herlanti (2005) kesulitan ini disebabkan karena konsep genetika bersifat esoteric dan abstrak. Abstrak karena meliputi obyek-obyek yang mikroskopis dan proses-proses di luar pengalaman siswa maupun guru sedangkan esoteric karena keterkaitannya dengan aturan probabilitas (Campbell, et al, 2006).

Upaya agar guru mampu menguasai materi genetika ini harus terus dilakukan, Mengingat bahwa guru pada tingkatan SLTP dan SLTA di Indonesia masih merupakan sumber informasi yang utama. Menurut Sidi (2000) berdasarkan hasil studi di negara-negara berkembang, guru memberikan sumbangan terbesar terhadap prestasi belajar siswa yaitu 36%, sementara itu sumbangan manajemen sekolah sebesar 23%, waktu belajar sebesar 22%, sumbangan sarana fisik 19% dan sumbangan lainnya sebanyak 10%. Guru-guru yang berkualitas merupakan faktor kunci untuk meningkatkan kualitas pendidikan sains, karena itu guru dituntut untuk memiliki beberapa kompetensi. Kompetensi secara umum merupakan kemampuan secara utuh yang menggambarkan potensi, pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai yang dimiliki seseorang yang terkait dengan profesi tertentu yang berkenaan dengan bagian-bagian yang dapat diaktualisasikan atau diwujudkan dalam bentuk tindakan atau kerja untuk menjalankan profesi tersebut (Depdiknas, 2007).

Kompetensi guru sebagai agen pembelajaran meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi professional dan kompetensi sosial (Depdiknas, 2007). Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan guru


(7)

3 dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi pemahaman terhadap peserta didik, pemahaman wawasan atau landasan pendidikan, perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis, pemanfaatan teknologi pembelajaran, evalusi proses dan hasil belajar dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasi berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara mendalam dan luas, kemampuan membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang telah ditetapkan dalam standar nasional pendidikan, memiliki kemampuan dalam menguasai dan mengemas materi sesuai tingkat perkembangan kemampuan peserta didik serta jenjang dan jenis pendidikannya (Mulyasa, 2008). Secara lebih khusus bisa dikatakan bahwa salah satu kompetensi yang harus dimiliki guru dalam menguasai bidang studi biologi adalah mampu menjelaskan konsep-konsep genetika dan mampu mengemas materi genetika tersebut sesuai tingkat perkembangan kemampuan peserta didik serta jenjang dan jenis pendidikannya (Depdiknas, 2007).

Dalam praktiknya program peningkatan kompetensi guru sudah banyak dilakukan baik berupa keterampilan mengajar maupun penguasaan materi ajar. Salah satunya dalam bentuk penataran dan pembekalan peserta dengan modul penataran tertulis, tetapi program tersebut tidak memberikan perubahan berarti dan tidak dapat menyentuh semua lapisan guru (Widodo, 2006). Menurut Widodo (2007) ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan program pelatihan guru. pertama menjadikan guru refleksif, bisa mengarahkan guru agar menyadari dan menemukan “kelemahan” dan “kelebihan” yang dimilikinya dalam


(8)

4 mengajar. Kedua, memperhatikan prinsip-prinsip perubahan konsepsi. Analog dengan prinsip dasar konstruktivisme, bahwa setiap orang memiliki pengetahuan awal, program peningkatan kompetensi guru juga harus memperhatikan pengetahuan awal yang dimiliki guru. Apalagi penelitian tentang perubahan konsepsi menyatakan bahwa perubahan konsepsi berlangsung sangat sulit. Ketiga, memperhatikan aspek emosi, pandangan, dan keyakinan guru. Suatu perubahan yang mendasar bukan hanya sekedar melibatkan aspek kognitif tetapi juga aspek non kognitif. Keempat, memberikan contoh nyata yang ada di lapangan. Kelima, memberikan dukungan pada saat pelaksanaan dilapangan karena perubahan bukanlah suatu loncatan, namun merupakan suatu proses yang bertahap. Oleh karena itu guru harus tetap mendapatkan dukungan/bantuan pada saat menerapkan apa yang telah dirancangnya.

Berdasarkan yang telah diuraikan di atas maka dibuat modul pembelajaran genetika yang bisa dipelajari semua guru dan memperhatikan aspek-aspek penting dalam proses pelatihan guru. Modul pembelajaran tersebut berupa ”e-modul berbasis konstruktivisme”. Modul merupakan salah satu bahan ajar yang dapat dimanfaatkan untuk membantu proses pembelajaran. Modul merupakan alat atau sarana pembelajaran yang berisi materi, metode, batasan-batasan, dan cara mengevaluasi yang dirancang secara sistematis untuk mencapai kompetensi yang diharapkan Depdiknas (2003). Modul dikonstruksi dalam bentuk multimedia interaktif berbasis website. Multimedia interaktif lebih mampu memfasilitasi alat indera manusia dalam belajar karena sifatnya yang audio visual, De Porter (2000) mengungkapkan bahwa manusia dapat menyerap materi 10% dari membaca, 20%


(9)

5 dari mendengar, 30% dari melihat, dan 50% dari apa yang dilihat dan didengar (audio visual). Berbagai program komputer (software) yang terkombinasi pada multimedia interaktif, membantu memperjelas gambaran proses biologi dalam bentuk animasi dan video. Hal demikian menjadikan komputer sebagai tools dan tutor bagi penggunanya.

Prinsip dasar dan langkah-langkah pembelajaran modul berbentuk konstrukstivisme. Konstruktivisme merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dalam pembelajaran biologi dan sains (Depdiknas, 2003). Konstruktivisme memliki banyak bentuk, Matthew (2000) mengindentifikasikan bahwa ada tiga macam konstruktivisme, yaitu: konstruktivisme pendidikan (Educational Constructivism), konstruktivisme filosofis (philosophical constructivism), dan konstruktivisme Sosiologis atau konstruktivisme sosial (Sociological Constructivism).

Teori konstruktivisme sosial yang dikembangkan dalam pembuatan modul ini, berdasarkan teori konstruktivisme sosial Vygotsky. Terdapat dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997) yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan Scaffolding. Zone of Proximal Development merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya dengan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan sesungguhnya diartikan sebagai kemampuan mengkonstruk secara mandiri, sedangkan tingkat perkembangan potensial adalah kemampuan mengkonstruk pengetahuan di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui teman sejawat yang lebih mampu (The More Knowledgable Other). Scaffolding merupakan pemberian bantuan kepada peserta didik selama


(10)

tahap-6 tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang makin besar setelah dapat melakukannya sendiri.

Proses pembelajaran konstruktivisme menurut Widodo (2007) memiliki lima hal penting yang harus diperhatikan yaitu bahwa pembelajar telah memiliki pengetahuan awal, tidak ada pembelajar yang otaknya benar-benar kosong. Pengetahuan awal yang dimiliki pembelajar memainkan peranan penting pada saat dia belajar tentang suatu hal yang ada kaitannya dengan apa yang telah diketahuinya. Belajar merupakan proses pengkonstruksian suatu pengetahuan berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki. Belajar merupakan perubahan konsepsi pembelajar. Karena pembelajar telah memiliki pengetahuan awal, maka belajar adalah proses mengubah pengetahuan awal pembelajar sehingga sesuai dengan konsep yang diyakini ”benar” atau agar pengetahuan awal pembelajar bisa berkembang menjadi suatu konstruk pengetahuan yang lebih besar. Proses pengkonstruksian pengetahuan berlangsung dalam suatu konteks sosial tertentu. Pelajar bertanggung jawab terhadap proses belajarnya, guru/fasilitator menyiapkan kondisi yang memungkinkan pembelajar untuk belajar, namun proses belajar benar-benar tergantung sepenuhnya pada diri pembelajar itu sendiri.

Berdasarkan hal tersebut, e-modul interaktif berbasis konstruktivisme memuat lima unsur penting dalam lingkungan pembelajaran konstruktivisme. Menurut Widodo (2007) hal tersebut adalah memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal pembelajar, memanfaatkan teknik-teknik untuk mendorong terjadinya perubahan konsepsi pada diri guru sebagai pembelajar. Pengalaman


(11)

7 belajar yang autentik dan bermakna dengan cara mengaitkan pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari, penggunaan sumber daya dari kehidupan sehari-hari, dan penerapan konsep. Adanya lingkungan sosial yang kondusif dengan cara memberikan kesempatan pada guru untuk saling berinteraksi secara produktif dengan sesama guru maupun dengan fasilitator secara on line maupun temu muka. Adanya dorongan agar pembelajar bisa belajar secara mandiri dengan cara memberikan kesempatan untuk melakukan refleksi dan mengatur kegiatan belajarnya. Adanya usaha mengenalkan guru tentang dunia ilmiah melalui kehidupan ilmuwan sebagai upaya menegaskan bahwa sains merupakan suatu proses (Widodo, 2007).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka masalah yang diteliti dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana media pembelajaran genetika E-Modul Interaktif berbasis konstruktivisme untuk meningkatkan kompetensi profesional guru biologi SLTP?.

Untuk lebih rincinya masalah tersebut akan dijabarkan kedalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik e-modul interaktif yang dapat mengaplikasi teori konstruktivisme ?.

2. Bagaimana penguasaan konsep materi ajar genetika guru SLTP yang mengikuti pelatihan e-modul interaktif berbasis konstruktivisme?


(12)

8 tingkat perkembangan kemampuan peserta didik serta jenjang pendidikannya setelah mengikuti pelatihan e-modul interaktif berbasis konstruktivisme?

C. Batasan Masalah

Mengingat keterbatasan dalam berbagai hal dan menghindari meluasnya masalah maka penelitian ini dibatasi pada hal-hal berikut :

1. Kompetensi profesional guru biologi yang diukur dalam penelitian ini adalah penguasaan konsep dan kemampuan mengidentifikasi materi ajar bagi siswa SLTP. Kompetensi penguasaan konsep diukur dengan tes pertanyaan pilihan ganda yang diukur berdasarkan taxonomi Bloom yang direvisi (Anderson &Krathwohl, 2001). Kompetensi kemampuan mengidentifikasi materi ajar diukur dengan menggunakan hasil identifikasi pilihan guru terhadap proposisi yang ditawarkan, kemudian dianalisis berdasarkan prinsip pengembangan bahan ajar diknas (Depdiknas, 2008).

2. Landasan teori konstruktivisme utama yang dipakai adalah teori kontruktivisme sosial Vygotsky (ZPD dan Scaffolding).

3. Konsep genetika yang digunakan berdasarkan buku acuan standar “Biology Concepts and Connections” karangan Campbell et al. (2006) yang dikemas dalam bentuk e-modul interactive online. materi genetika yang digunakan tercantum dalam unit II buku acuan standar yang cakupannya meliputi, dasar reproduksi seluler dan hereditas, pola-pola hereditas makhluk hidup, biologi molekuler genetika dan kontrol ekspresi gen.


(13)

9

D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu variabel independen berupa pembuatan e-modul interaktif berbasis konstruktivisme, dan variabel dependen berupa peningkatan kompetensi profesional guru dalam pembelajaran Biologi materi genetika.

2. Definisi Operasional

Dalam penelitian ini terdapat beberapa istilah yang diinterprestasikan berikut ini

a. Pembuatan e-modul interaktif berbasis konstruktivisme merupakan sarana

atau media pembelajaran bagi guru berbentuk modul multimedia interaktif online yang dibuat berdasarkan acuan teori belajar konstruktivisme sosial Vygotsky. Modul ini memiliki dua prinsip pembelajaran yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan Scaffolding (Slavin, 1997).

b. Peningkatan kompetensi profesional guru diartikan kemampuan guru

dalam menguasai bahan ajar dan mengemas materi pembelajaran yang diampu secara kreatif. Penguasaan bahan ajar guru diukur berdasarkan kemampuan guru dalam menguasai konsep genetika melalui tes pilihan berganda dan mengemas materi ajar diukur berdasarkan kemampuan guru mengidentifikasi materi ajar yang sesuai bagi siswa SLTP.

c. Penguasaan Konsep adalah kemampuan guru dalam mengingat,


(14)

10 sesuatu, berdasarkan indikator proses kognitif Bloom. (Anderson & Krathwohl, 2001). Untuk mengukur peningkatan penguasaan konsep

dilakukan dengan cara mengukur gain ternormalisasi yang dihitung membandingkan selisih post test dan pre test dengan selisih skor ideal dan pretest (Meltzer, 2002).

e. Kemampuan mengemas materi pembelajaran diukur dengan cara

membandingkan pengembangan materi ajar pada RPP dan proposisi yang ditawarkan dengan menggunakan prinsip-prinsip pengembangan materi ajar (Depdiknas, 2008). Prinsip yang dijadikan dasar pengembangan materi ajar adalah: a) relevansi atau kesesuaian proposisi materi dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar, b) konsistensi proposisi atau kesesuaian penjabaran jumlah proposisi materi dengan jumlah kompetensi dasar yang muncul, c) adequacy atau kecukupan proposisi materi yang dipilih dari sisi keluasan dan kedalamannya berdasarkan kompetensi dasar.

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengkaji teori konstruktivisme, dan aplikasinya pada pembuatan modul pembelajaran genetika yang berbentuk website on line. Modul tersebut diujicobakan pada guru SLTP untuk membandingkan peningkatan kompetensi profesional guru.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap peningkatan kualitas proses dan hasil pembelajaran Biologi di SMP. Manfaat yang akan dipetik dari hasil penelitian ini antara lain :


(15)

11 1. Penelitian ini menghasilkan modul pembelajaran genetika berbasis web interaktif buat guru-guru SLTP dengan landasan teori belajar konstruktivisme. 2. Penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan penguasaan konsep guru terhadap materi genetika secara lebih luas dan dalam. karena pada tataran lapangan guru mengajarkan genetika pada materi pola-pola hereditas tanpa melihat hubungannya dengan konsep lain seperti pembelahan sel.

3. Memperluas wawasan guru dalam mengembangkan bahan ajar materi genetika bagi siswanya.

4. Dapat dijadikan alternatif media pembelajaran bagi guru dan berbagai pihak yang berkepentingan terhadap peningkatan kualitas pembelajaran terutama untuk materi genetika.

5. Dapat menjadi acuan bagi guru dan siswa dalam proses belajar mengajar materi genetika.


(16)

38

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan metode eksperimen semu (quasi eksperimental design). Disebut demikian karena eksperimen jenis ini belum memenuhi persyaratan peraturan-peraturan eksperimen seharusnya (Arikunto, 2006). Metode penelitian ini diambil karena dari sisi latar belakang akademik, gender, maupun pengalaman mengajar guru pada kelompok pembanding maupun kelompok ekperimen berbeda.

Uji coba media e-modul interaktif berbasis konstruktivisme dilakukan pada dua kelompok guru, yaitu kelompok guru pengguna media e-modul dan kelompok guru penggguna hasil print out e-modul yang merupakan kelompok pembanding. Pada masing-masing kelompok dilakukan pre test dan Post test untuk melihat perbedaan penguasaan konsep pada kedua kelompok perlakuan. Pre test dilakukan sebelum pembelajaran dimulai, Post test dilakukan setelah proses pembelajaran berakhir.

Bentuk desain penelitiannya adalah pre test - post test control group design. Menurut Ruseffendi (1998), desain ini dapat digambarkan dalam Tabel 3.1.


(17)

39

Tabel 3.1 Desain Penelitian

Kelompok Pre Test Perlakuan Post Test

Eksperimen O1 X1 O2

Kontrol O1 X2 O2

Keterangan.

O1 = Tes awal sebelum perlakuan diberikan pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

O2 = Tes akhir setelah perlakuan diberikan pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

X1 = Perlakuan dengan pembelajaran menggunakan media e-modul interaktif berbasis konstruktivisme.

X2 = Perlakuan dengan pembelajarn menggunakan media cetak hasil printout dari media e-modul.

B. Lokasi dan Subyek Penelitian

1) Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di kabupaten Ogan Ilir, Lokasi yang dijadikan tempat penelitian adalah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sriwijaya (FKIP UNSRI) Jl. Raya Palembang-Prabumulih km 33,5 Indralaya kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan. Kelompok eksperimen menggunakan fasilitas ruang internet, sedangkan kelompok pembanding menggunakan ruang laboratorium biologi yang berdekatan lokasinya dengan ruang internet.

2) Subyek Penelitian

Subyek uji coba e-modul dilakukan pada guru anggota MGMP Sains biologi. Jumlah guru MGMP sains biologi beranggotakan 25 orang, guru tersebut mengajar mata pelajaran biologi di sekolahnya masing-masing. guru yang menjadi subyek dalam penelitian ini sebanyak 22 orang dengan komposisi kelompok eksperimen 12 orang dan kelompok pembanding 10 orang.


(18)

40 Pengambilan sampel dan pengelompokan dilakukan secara random. Profil guru subjek penelitian seperti pada Lampiran B.3.

C. Prosedur Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian ini, ada beberapa tahapan prosedur yang harus ditempuh. Berikut ini adalah alur penelitian yang menjadi acuan dalam pelaksanaan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1

G

ada tiga tahapan dalam prosedur penelitian ini, yaitu: a. Tahapan persiapan.

Sebelum melaksanakan penelitian, ada beberapa hal yang disiapkan oleh peneliti, yaitu: peneliti melakukan studi pendahuluan berupa:

Studi Pendahuluan Kajian terhadap teori Vygotsky

dan Pembelajaran Konstruktivisme

Kajian terhadap materi genetika dari buku Biology Concept and Connection

Perumusan model pembelajaran Pembuatan soal, lembar observasi, Angket, rubrik penilaian RPP, proposisi konsep genetika dan pedoman wawancara

Pembuatan e-modul untuk materi genetika

Test Item Angket, rubrik penilaian RPP, Proposisi konsep genetika, dan pedoman wawancara Judgment Validasi Instrumen Pretest Kelompok Kontrol Kelompok eksperimen Pembelajaran Genetika dengan modul cetak

cetak Pembelajaran dengan

e-modul Post test

Observasi, Identifikasi Proposisi

Wawancara, identifikasi proposisi, dan angket Kesimpulan


(19)

41 1) Pengkajian terhadap teori konstruktivisme Vygotsky dan langkah

pembelajaranya dalam media e-modul

2) Identifikasi konsep genetika pada buku Biology; Concept and Connection edisi ke-6 (Campbell et al., 2006).

3) Tahapan pembuatan media sekaligus pembuatan instrumen penelitian.

b. Tahapan pelaksanaan

Pada tahapan pelaksanaan peneliti melakukan uji coba media di tempat yang telah ditentukan, untuk selanjutnya mengumpulkan data dari kelompok kontrol dan kelompok ekperimen

c. Tahap analisis dan penyusunan laporan

Setelah pelaksanaan pembelajaran selesai dan data yang diperlukan terkumpul, maka tahapan selanjutnya, pengolahan data hasil penelitian sekaligus menyusun laporan penelitian.

D. Instrumen Penelitian

1. Jenis Instrumen

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a) Media e-modul interaktif berbasis konstruktivisme

b) Instrumen tes penguasaan konsep dalam bentuk tes obyektif/pilihan ganda c) Rubrik penilaian untuk RPP dan proposisi materi genetika

d) Angket pendapat atau tanggapan guru terhadap e-modul e) Pedoman Wawancara


(20)

42 sedangkan assesmen pendukung berupa data Pribadi guru.

2. Uji Instrumen Penguasaan Konsep

Langkah penyusunan soal penguasaan konsep diawali dengan penyusunan kisi-kisi, konsultasi dengan pembimbing, dan ujicoba soal. Kisi-kisi yang disusun mencakup sub konsep, indikator, sub indikator dan jenjang kognisi. Butir soal dibuat dalam bentuk pilihan ganda yang difokuskan pada pengetahuan konseptual. Penyusunan butir soal berpedoman pada taksonomi Bloom yang telah direvisi. Konsultasi dengan pembimbing dilakukan untuk mendapatkan validasi isi. Aspek yang telah ditelaah meliputi kesesuaian indikator dengan butir soal, aspek bahasa dan materi.

Uji coba instrumen dilakukan pada 21 guru SLTP yang ada di kota bandung, untuk memperoleh harga-harga validitas, reabilitas, indeks kesukaran dan daya pembeda butir soal digunakan program ANATES pilihan ganda versi 4.0.9. Dari hasil ujicoba soal didapatkan sebanyak 30 butir soal yang valid dengan koefisien reabilitas 0,75, ini berarti instrumen yang digunakan tergolong memiliki reabilitas tinggi. Hasil Uji coba soal dapat dilihat pada Lampiran C.1.

e) Analisis Data Penelitian

Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari dua jenis, yaitu secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif dilakukan untuk menguji perbedaan penguasaan konsep, penyusunan RPP dari kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dan kecenderungan guru dalam memilih proposisi konsep.

Analisis data secara kualitatif dilakukan untuk mengetahui besarnya peningkatan hasil pengusaan konsep untuk masing-masing kelompok berdasarkan


(21)

43 perhitungan dengan menggunakan gain skor ternormalisasi. Perhitungan ini dilakukan untuk menghindari kesalah interprestasi terhadap selisih skor pre test-post test masing-masing kelompok penelitian. Untuk memperoleh skor gain yang ternormalisasi perhitungan digunakan rumus Meltzer.

Perbedaan hasil test penguasaan konsep dengan menggunakan uji statistik, menguji apakah terdapat perbedaan hasil test akibat perlakuan yang diberikan pada kedua kelompok penelitian, untuk itu terlebih dahulu dilakukan uji persyaratan analisis statistik yaitu uji normalitas dan homogenitas sampel dengan bantuan program analisis statistik SPSS for windows, masing-masing menggunakan uji One sample Kolgorov-smirnov test dan Levene Test.

Karena data yang diperoleh terdistribusi normal dan tidak homogen maka dilakukan uji Mann-Whitney U test. Uji signifiksi perbedaan kedua kelompok ini dilakukan dengan bantuan program analisis statistik SPSS for windows versi 16.

Analisis data secara kualitatif dilakukan dengan cara melihat pencapaian indikator baik pada penyusunan RPP maupun hasil observasi, angket persepsi, dan wawancara pada masing-masing kelompok.


(22)

60

BAB V

PEMBAHASAN

1. Struktur Materi dan Aplikasinya pada Media E-Modul Interaktif Berbasis Konstruktivisme

Aplikasi teori konstruktivisme pada media e-modul interaktif berbasis konstruktivisme berupa pengendalian ZPD dengan eksplorasi pengetahuan awal pengguna dan evaluasi setiap akhir sub bab. Tampilan aplikasi eksplorasi pertanyaan awal dalam bentuk media e-modul interaktif berbasis konstruktivisme bisa dilihat pada Gambar 4.3a dan 4.3b


(23)

61


(24)

62

Gambar 4.3.b. Tampilan aplikasi eksplorasi pertanyaan awal

Eksplorasi pengetahuan awal bertujuan mengidentifikasi pengetahuan awal guru, dalam mengidentifikasi pengetahuan awal guru dibuat pertanyaan berbentuk pilihan ganda beralasan. Pertanyaan yang dibuat merupakan konsep yang terdapat dalam pokok bahasan yang diperkirakan rentan terhadap terjadinya miskonsepsi atau ketidakpahaman guru atas konsep konsep tersebut. Konsep adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematik, atau gagasan yang bermakna dan disepakati diantara para ilmuwan. Konsepsi sering dianggap sebagai “cara menerima” yang bersifat subyektif (Rustaman & Widodo, 2001), sedangkan miskonsepsi dinyatakan dalam Hasan et al. (1999) berbeda dengan kurang atau tidak memahami konsep. Jika kurang atau tidak memahami konsep dapat diperbaiki dengan pengajaran dan pengetahuan sesudahnya, maka miskonsepsi bersifat tahan lama dan sulit diubah serta cenderung menghalangi penerimaan atau bergabungnya suatu pengetahuan baru. Kesalahan konsep


(25)

63 pengetahuan awal yang muncul secara terus menerus dapat mengganggu pembentukan konsepsi ilmiah. Sehingga Howe (1996) Menyatakan pembelajaran yang tidak memperhatikan konsepsi awal dapat menyebabkan pembelajar mengalami kesulitan dan akan bermuara pada rendahnya prestasi belajar mereka.

Ausabel menyatakan konsepsi awal merupakan sesuatu yang tertanam kuat dan tidak mudah dihilangkan. Oleh karena itu Ausabel (Driver, 1986) menegaskan bahwa dalam menerapkan setiap kegiatan pembelajaran, harus selalu diawali dari hal-hal yang telah diketahui pelajar, karena menurut Rustaman & Widodo (2001) konsepsi awal pelajar merupakan modal untuk mengembangkan konsepsinya. Proses pembelajaran yang memperhatikan konsepsi awal pengguna memiliki keunggulan komparatif terhadap model belajar konvensional dan tidak ada efek interaksi yang signifikan antara intelegensi dengan model belajar. Hal ini terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Sadia (1996) pada pembelajaran fisika konsep energi, usaha, dan suhu. Penempatan pertanyaan awal pada setiap konsep yang berkaitan berguna untuk mendeteksi pengetahuan awal guru dan pembatas materi. Pembatas materi artinya jika guru dapat memilih jawaban yang tepat dari pertanyaan pilihan ganda yang diajukan, maka guru tidak mesti masuk dalam materi itu karena guru dianggap telah menguasai materi tersebut. Strategi penyusunan seperti ini membuat media e-modul interaktif berbasis konstruktivisme bersifat individual dan tidak membosankan. Hal ini sesuai dengan karakteristik modul yang menurut Munawar (2000) merupakan salah satu bentuk media bahan ajar yang dibuat dengan tujuan memudahkan orang untuk belajar sesuai dengan kecepatan belajarnya tanpa tergantung pada orang lain.


(26)

64 Pada pertengahan hari kedua pembelajaran, dua orang peserta dari kelompok eksperimen telah selesai melakukan proses belajarnya. Hal ini dikarenakan guru tersebut berhasil melewati pertanyaan awal dengan baik. Berdasarkan hasil angket diketahui bahwa sebagian besar (84%) menyatakan media modul tidak membosankan karena tidak mengulangi materi yang telah diketahui oleh guru. Walaupun demikian berdasarkan hasil observasi dan wawancara, beberapa guru hanya menebak pilihan yang tepat jawaban dari pertanyaan awal, akibatnya mereka tidak mendapatkan penjelasan tentang materi yang sebenarnya tidak mereka ketahui. Hal ini menyebabkan skor hasil tes evalusi akhir setiap pokok bahasan rendah. Hasil skor evaluasi yang rendah menurut mereka menjadi umpan balik yang cukup positif bagi mereka untuk kembali mempelajari materi tersebut. Evaluasi pada media e-modul interaktif berbasis konstruktivisme dibuat pada setiap akhir pokok bahasan. Tampilan evaluasi setiap akhir pokok bahasan dapat dilihat pada Gambar 4.4.


(27)

65

Gambar 4.4. Tampilan evaluasi akhir pokok bahasan

Evaluasi didesain agar dapat menjadi umpan balik secara langsung bagi proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru, maksudnya begitu guru selesai menjawab semua soal maka skor dari jawaban guru akan diperoleh saat itu juga. Evaluasi yang demikian dapat menjadi ZPD bagi guru antara nilai yang diperoleh dari konsep yang dipelajarinya saat ini dan nilai ideal. Menurut Ahmadi et al. (2003) salah satu tujuan khusus dari evaluasi adalah merangsang kegiatan belajar peserta, menemukan sebab-sebab kemajuan dan kegagalan, dan memberikan bimbingan yang sesuai dengan kebutuhan, perkembangan dan bakat peserta. Pada hasil observasi yang dilakukan peneliti, guru yang mendapat skor kecil pada saat evaluasi cenderung untuk kembali mempelajari kembali konsep sebelumnya dengan lebih teliti dan tanpa paksaan. Scaffolding atau pemberian bantuan kepada peserta didik selama tahap-tahap awal


(28)

66 pembelajaran pada media e-modul interaktif berbasis konstruktivisme dilakukan dengan beberapa tahap yaitu: a) restrukturisasi materi, dan b) diskusi. Aplikasi restrukturisasi materi pada media e-modul interaktif berbasis konstruktivisme dapat dilihat pada Gambar 4.5

Gambar 4.5. Tampilan restrukturisasi materi pada media e-modul

Restrukturisasi materi dalam media e-modul dibuat dengan penambahan ilustrasi gambar, animasi dan video. Vygotsky (1979) menekankan bahwa semua proses mental tingkat tinggi, seperti berpikir dan pemecahan masalah dimediasi dengan alat-alat psikologi seperti bahasa, lambang dan simbol. Penambahan simbol berupa ilustrasi gambar, animasi dan video yang dilakukan bertujuan membantu guru memahami materi. Menurut Lowe (2001) animasi dan video mampu menjelaskan perubahan-perubahan keadaan tiap waktu secara lebih


(29)

67 eksplisit sehingga sangat membantu siswa dalam menjelaskan prosedur urutan kejadian. Animasi cocok untuk menciptakan realitas dari sesuatu yang semu sedangkan video cocok untuk menyajikan realitas (Puspita, 2008). Karena itu peletak animasi dan video pada media ini diupayakan sesuai dengan fungsi tersebut, misalnya untuk menjelaskan tentang kloning, pembelahan sel, dan stem sel digunakan video sedangkan untuk proses transkripsi, translasi dan proses lainnya yang abstrak dalam konsep genetika digunakan animasi. Ilustrasi gambar pada media ini lebih banyak menggunakan ilustrasi gambar yang terdapat pada buku biology concept and connection (Campbell, 2006) karena menurut Ginting (2005) penempatan ilustrasi gambar pada buku Biology: Concept and Connection karya Campbell et al. telah sesuai dengan kaidah pedagogi yang ada.

Diskusi dilakukan setelah guru selesai melakukan proses pembelajaran melalui media e-modul interaktif berbasis konstruktivisme. Materi diskusi hanya dibatasi pada materi-materi yang guru mengalami kesulitan dalam memahami konsep atau konsepsi yang dimiliki guru kurang tepat. Identifikasi miskonsepsi ataupun ketidakpahaman guru terhadap konsep dilihat dari alasan yang diberikan guru dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan awal. Terdapat empat (4) topik yang dijadikan pertanyaan besar untuk didiskusikan. Keempat topik tersebut adalah :1) perbedaan reproduksi seksual dan aseksual secara genetik; 2) proses terjadinya variasi yang melibatkan peristiwa meiosis dan pindah silang; 3) perbedaan gen, DNA dan kromosom; 4) perbedaan proses replikasi transkripsi dan translasi. Selain kemungkinan terjadinya miskonsepsi, faktor lain yang membuat guru tidak bisa memberikan alasan yang cukup baik mengenai keempat topik


(30)

68 tersebut adalah lupa. Menurut Purwanto (1995) ada beberapa hal yang dapat membuat orang lupa, diantaranya karena apa yang dipelajari tidak pernah dilakukan atau dilatih lagi (1), atau lupa yang disebabkan oleh tekanan berupa kesan atau tanggapan yang kurang menyenangkan (2). Menurut Sitompul (2007) guru yang bertahun-tahun mengajar di kelas X dan XI akan lupa dengan konsep-konsep genetika karena konsep-konsep tersebut hanya diajarkan di kelas XII. Proses lupa juga terjadi karena ada kesan bahwa salah satu konsep yang dianggap sulit dalam biologi adalah konsep genetika (Sitompul, 2007; Pridi, 2002; Herlanti, 2005; Tsui

& Tregust, 2001). Menurut Vygotsky

(Slavin, 1997) perkembangan fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan atau kerjasama antar individu. Dalam proses diskusi terjadi interaksi, komunikasi, dan pertukaran informasi. Dengan cara diskusi diperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai pengetahuan dan konsep-konsep yang perlu dikuasai. Klicckmann (1969) menyatakan “there is another reason why discussion of a certain kind can be valuable mean to developing understanding of the prosses of biological science. It is that discussion can utilized the “energy of wanting” in the pursuit of educational goals” dalam diskusi akan terungkap konsep-konsep yang akan dipelajari maupun yang telah dipelajari.

2. Penguasaan Konsep Genetika

Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan Mann-Whytney u test didapat perbedaan signifikan penguasaan konsep pada kelompok eksperimen terhadap pembanding. Taraf signifikasi pada post test didapat 0,011 dan taraf signifikasi pada N-Gain didapat 0,000. Lebih unggulnya penguasaan konsep guru


(31)

69 pada kelompok eksperimen diperkirakan disebabkan beberapa hal diantaranya rancangan media yang memperhatikan pengetahuan awal guru, adanya gabungan animasi dan video bersuara sehingga membuat proses pembelajaran menjadi lebih menarik dan konkret serta memfasilitasi alat indra guru.

Menurut Lowe (2001), pengetahuan awal (Prior of Knowledge) mengenai konsep yang akan dijelaskan mempengaruhi tingkat keefektifan penggunaan media. Pemula yang tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu secara baik akan cenderung untuk lebih memperhatikan media dan animasi di dalamnya dibanding yang telah mengetahui tentang materi tersebut. Menurut Hamalik (2008) jika pelajar sudah merasa tertarik akan sesuatu, maka akan timbul minat untuk mengkaji materi ajar. Pernyataan ketertarikan guru terhadap materi ajar yang mereka tidak ketahui sebelumnya dapat dilihat dari pernyataan guru yang ketika dari penelitian dilihat cukup lama memperhatikan video dan penjelasan tentang stem sel.

“Ternyata ini yang dimaksud sel stem, sebelumnya saya tidak mengerti sama sekali dan ketika ada siswa yang bertanya di kelas tentang sel stem yang dilihatnya dari acara televisi saya tidak bisa menjawabnya” (Wawancara E.1).

Guru lainnya menyatakan: “saya

awalnya berpikir bahwa kloning itu hanya pada hewan tidak pada tumbuhan padahal pada tumbuhan juga bisa dilakukan cuma namanya lebih dikenal dengan kultur jaringan. Ternyata kultur jaringan dan kloning secara prinsip sama” (Wawancara E.4).

Ausabel menyatakan konsepsi awal merupakan sesuatu yang tertanam kuat dan tidak mudah dihilangkan. Oleh karena itu Ausabel (Driver, 1986)


(32)

70 menegaskan bahwa dalam menerapkan setiap kegiatan pembelajaran, harus selalu mengawali dari hal-hal yang telah diketahui pelajar karena menurut Rustaman (2000) konsepsi awal pelajar merupakan modal untuk mengembangkan

konsepsinya Hal lain yang diperkirakan

membuat kelompok eksperimen lebih unggul dari kelompok kontrol adalah peranan adanya animasi dan video yang digabungkan dengan audio. De Porter (2000) mengungkapkan bahwa manusia dapat menyerap materi 10% dari membaca, 20% dari mendengar, 30% dari melihat, dan 50% dari apa yang dilihat dan didengar (audio visual). Materi genetika merupakan materi abstrak (Herlanti, 2004) keabstrakannya karena meliputi obyek-obyek yang mikroskopis dan proses-proses di luar pengalaman siswa maupun guru. Beberapa konsep genetik yang abstrak menurut beberapa penelitian adalah meiosis dan kaitannya dengan permasalahan genetik (Wynne, 2001) materi genetik meliputi struktur dan letak kromosom, DNA, gen, alel serta karakteristiknya (Banet et al, 1998; Treagust et al, 1998), sintesis protein (Utami, 2007), pola-pola penurunan sifat dan variasinya (Herlanti, 2004). Sel kanker dan faktor-faktor penyebabnya (Bockholt, 2003), Replikasi DNA (Thacher, 2006). Menurut Redjeki (1997) konsep gen yang abstrak dapat dipahami bila adanya model/alat peraga dapat membantu siswa atau guru memahaminya.

Banyak penelitian (Herlanti, 2004; Hegarty, 2004; Utami, 2007; O'Day, 2006; O'Day, 2007; Mc Clean, 2005; Puspita, 2008) yang menunjukkan bahwa animasi membantu proses pembelajaran yang melibatkan peristiwa komplek dan abstrak dalam biologi. Menurut beberapa pakar animasi (Puspita,2008) hal ini


(33)

71 disebabkan beberapa hal, pertama animasi dapat membantu siswa yang memiliki pengetahuan awal yang rendah untuk dapat memahami materi yang disampaikan. Kedua, animasi dapat lebih informatif, karena animasi secara sederhana dapat lebih jelas menampilkan materi subjek. Ketiga, animasi dapat lebih dekat dengan karakteristik materi subjek yang sebenarnya karena animasi mengarahkan langsung penggambaran aspek-aspek dinamis. Keempat animasi dapat lebih eksplisit karena setiap aspek dinamik diperjelas secara langsung kepada siswa sehingga lebih sedikit kesalah pahaman konsep yang dibuat. Kelima, animasi dapat lebih menjelaskan, karena animasi menawarkan kesempatan untuk menyediakan multiple visual dan perspektif konseptual terhadap materi subjek. Keenam, animasi dapat lebih jelas karena tidak memerlukan simbol tambahan(seperti anak panah atau garis putus-putus) untuk menggambarkan materi subjek yang dinamis dengan demikian siswa tidak perlu melakukan dekoding untuk menginterprestasikan simbol-simbol agar dapat memahami materi. Ketujuh, animasi mampu menjelaskan perubahan keadaan setiap waktu sehingga membantu dalam menjelaskan prosedur dan urutan kejadian. Kedelapan, animasi menyediakan sejumlah peranan pengajaran yaitu menarik dan mengarahkan perhatian, menggambarkan domain pengetahuan mengenai perpindahan, dan menjelaskan fenomena pengetahuan komplek. Kesembilan, menurut teori animasi mental, siswa yang secara mental menganimasikan proses dinamis mampu mencapai suatu pemahaman yang kokoh terhadap materi pelajaran. Kesepuluh, animasi dapat membantu sisa yang memiliki pengetahuan awal yang rendah untuk memahami materi yang disampaikan.


(34)

72 Restrukturisasi media dalam bentuk animasi menurut Asni (2006) dalam penelitiannya tentang pembelajaran kimia, dapat membuat siswa lebih mampu berdiskusi tentang pencairan atau pengembunan air dan dapat memberikan penjelasan yang benar dan lengkap tentang proses yang disajikan sehingga akhirnya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat konseptual. Dengan kata lain pada penelitian ini, restrukturisasi media dalam bentuk animasi bisa membuat guru memahami materi dengan baik dan membantu guru berdiskusi (scaffolding) dengan lebih baik. Hal ini diungkapkan oleh guru dengan pernyataan “Diskusi yang dilakukan di akhir pembelajaran lebih ramai karena hal-hal yang tadinya tidak saya mengerti dengan baik bisa saya jelaskan dengan baik setelah melihat media dan saya juga mendapatkan penjelasan tentang hal lainnya dari sisi berbeda dari teman-teman saya” (Wawancara E.6).

Hal ini sesuai dengan pendapat Vygotsky (Slavin, 1997) bahwa perkembangan fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan atau kerjasama antar individu. Hal lain yang membuat animasi lebih efektif ialah ketika animasi tersebut memiliki atribut-atribut pedagogis yang lengkap seperti bernarasi verbal dan visual, kombinasi kata-kata dan gambar, dan narasi yang disampaikan dalam bentuk percakapan (O'day, 2006). Karena keterbatasan maka dalam animasi yang dimasukkan dalam media tidak semua narasi verbalnya dialihkan dalam bahasa Indonesia. Dampaknya pada pembahasan tentang konsep materi genetik dan genetik mikroba nilai rata-rata kelompok pembanding (30,00) memiliki berbeda tidak terlalu jauh dengan kelompok eksperimen (33,33) bahkan pada materi genetik mikroba kelompok pembanding memiliki nilai rata-rata yang lebih unggul (40,00) dibanding kelompok eksperimen (00,00). Penyebab lainnya adalah guru tidak


(35)

73 menganggap materi tersebut penting bagi mereka karena tidak diajarkan pada siswa SLTP. sebagaimana yang dikemukakan Thorndike bahwa pada pola berpikir orang dewasa proses belajar akan berlangsung efektif ketika hal tersebut dirasakan berguna baginya (Poejiadi, 1979). Pengaruh video dalam media sesuai dengan fungsinya lebih pada menampilkan sesuatu yang realitas (Puspita, 2008). Pada media ini video ditempatkan untuk memperjelas tentang peristiwa pembelahan sel, stem sel, dan kloning sedangkan untuk prosesnya sendiri dijelaskan dengan animasi. Dalam hal ini Erna (2006) menyimpulkan bahwa penggunaan berbagai bentuk media dapat memotivasi siswa. Menurut Hamalik (2008) motivasi dapat menentukan keberhasilan atau gagalnya belajar siswa. Penggunaan video secara eksplisit dari hasil observasi mampu membangkitkan rasa ingin tahu guru dan keinginannya untuk melakukan eksplorasi lebih lanjut, penempatan video dalam media salah satu hal yang membuat wawasan guru dalam mempelajari genetika berkembang (91,17%) sehingga guru merasa tidak bosan dalam mengikuti pembelajaran dengan menggunakan media (83,33%).

3. Kemampuan Guru dalam Mengidentifikasi Materi Ajar

Data mengenai kompetensi guru dalam mengidentifikasi materi ajar pada pembelajaran genetika awalnya diharapkan diperoleh dari hasil observasi kinerja guru melalui kemampuan guru dalam merencanakan pembelajaran berdasarkan penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan kemampuan guru mengidentifikasi materi ajar yang sesuai bagi siswa.


(36)

74 Kemampuan ini diukur berdasarkan instrumen lembar penilaian rencana pembelajaran. Instrumen lembar penilaian rencana pembelajaran memuat beberapa aspek yang diamati yaitu: 1) Penulisan kolom identitas, 2) Perumusan tujuan Pembelajaran, 3) Pengidentifikasian materi ajar, 4) Penentuan metode pembelajaran, 5) Perumusan langkah-langkah pembelajaran, 6) Penentuan alat dan bahan serta sumber belajar yang digunakan serta 7) penyusunan kriteria penilaian. Skor untuk masing-masing aspek yang diamati mempunyai skala 1-4 yang diberikan sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan pada instrumen. Hasil dari penilaian kinerja guru dalam merencanakan pembelajaran secara umum sebelum perlakuan memiliki skor yang sama dengan kategori baik. Hal ini dikarenakan hampir dalam setiap pertemuan MGMP yang dilakukan oleh guru selalu dibahas tentang pembuatan RPP.

Dalam penilaian RPP ada kesulitan mengetahui kemampuan guru dalam mengidentifikasi materi ajar dari segi keluasan maupun kedalamannya karena semua guru hanya menulis judul/tema materi pada bagian materi pokok yang diajarkan. Menurut beberapa orang guru yang diwawancarai, penulisan judul/tema materi pada bagian materi pokok yang diajarkan karena mereka mendapati contoh dari hasil pelatihan guru yang diselenggarakan diknas maupun MGMP sama seperti itu. Untuk mengidentifikasi kedalaman dan keluasan materi, guru cenderung melihatnya berdasarkan buku teks pegangan siswa. Padahal menurut penelitian Redjeki (1997), pengembangan materi ajar yang baik adalah materi yang disesuaikan dengan kurikulum, hakekat IPA dan pendidikan IPA, perkembangan siswa dan perkembangan ilmu dan teknologi. Berdasarkan hasil


(37)

75 penelitian Redjeki (1997) sebagian besar buku yang diterbitkan penerbit dari tahun 1945-1994 tidak memperhatikan hal tersebut.

Setelah diberikan pembelajaran genetika dengan media e-modul interaktif berbasis konstruktivisme terlihat bahwa guru mempunyai kecenderung memilih materi sebagaimana pada Tabel 4.5

Tabel 4.5. Persentase Pilihan Guru pada Proposisi Materi Ajar yang ditawarkan

N o

Proposisi Makro Kelompok

Pbdg Eksp

1 2.1.1. Hubungan antara pembelahan sel dan sel dan reproduksi 47% 86% 2 2.1.2. Siklus sel eukaryot dan mitosis sel 10% 6% 3 2.1.3. Meiosis dan proses pindah silang pada kromosom seks 65% 65% 4 2.1.4. Alterasi jumlah kromosom dan struktur 7% 67% 5 2.2.1. Gagasan mengenai hereditas : sejarah masa lalu hereditas 30% 100% 6 2.2.2. Genetik modern diawali sebagai sebuah sains hereditas dimulai dari penelitian kualitatif

Mendel

63% 65%

7 2.2.3. Hereditas menggambarkan aturan-aturan probabilitas 55% 100% 8 2.2.4. Terdapat sejumlah variasi-variasi dari prinsip sederhana Mendel 30% 83% 9 2.2.5. Ahli biologi yang melakukan penelitian dengan bunga-bunga dan lalat buah menemukan

bahwa gen-gen tertentu terhubung

20% 0%

10 2.2.6. Sepasang kromosom seks menentukan jenis kelamin pada banyak spesies 40% 83% 11 2.3.1. Struktur dari material genetik pada makhluk hidup 10% 0% 12 2.3.2. Proses replikasi DNA sebagai bagian dari proses pembelahan sel 0% 0% 13 2.3.3. Aliran informasi genetik dari DNA ke RNA menuju protein 0% 0% 14 2.3.4. Genetika pada virus dan bakteri 23% 52% 15 2.4.1. Regulasi gen pada kontrol ekspresi gen 0% 0% 16 2.4.2. Prinsip kloning pada hewan dan tumbuhan 0% 0% 17 2.4.3.kontrol gen pada pertumbuhan embrio 0.00% 0.00%

18 2.4.4. Dasar genetika pada kanker 18% 21%

22% 43%

.

Pola pada Tabel 4.5 dianalisis dengan menggunakan prinsip-prinsip pengembangan materi ajar (Depdiknas, 2008). Prinsip yang dijadikan dasar pengembangan materi ajar menurut Depdiknas (2008) adalah relevansi, konsistensi dan adequacy. Artinya kemampuan guru mengidentifikasi materi ajar pada penelitian ini diukur dengan membandingkan proposisi pilihan guru terhadap


(38)

76 a) relevansi atau kesesuaian proposisi materi dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar, b) konsistensi proposisi atau kesesuaian penjabaran jumlah proposisi materi dengan jumlah kompetensi dasar yang muncul, c) adequacy atau kecukupan proposisi materi yang dipilih dari sisi keluasan dan kedalamannya berdasarkan kompetensi dasar dasar. Untuk menentukan keluasan dan kedalaman materi maka akan dilihat perbandingannya berdasarkan SK dan KD pada SD, SLTP dan SMA. perbandingan SK dan KD SD, SMP, dan SMA dapat dilihat pada Tabel 4.6

Tabel 4.6. Perbandingan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SD, SLTP dan SMA

SK dan KD SD SK dan KD SLTP SK dan KD SMA

Memahami cara

perkembangbiakan makhluk hidup:

1)Mendeskripsikanperkembangan dan pertumbuhan manusia dari bayi sampai lanjut usia 2) Mendeskripsikan ciri-ciri perkembangan fisik anak laki-laki dan perempuan

3) Mengidentifikasi cara perkembangbiakan tumbuhan dan hewan

4) Mengidentifikasi cara perkembangbiakan manusia

Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup dengan kompetensi dasar :

1) Mengidentifikasi kelangsungan hidup makhluk hidup melalui adaptasi, seleksi alam, dan perkembangbiakan, 2) Mendeskripsikan konsep pewarisan sifat pada makhluk hidup,

3) Mendeskripsikan proses pewarisan dan hasil pewarisan sifat dan penerapannya.

4) Mendeskripsikan penerapan bioteknologi dalam mendukung kelangsungan hidup manusia melalui produksi pangan.

Memahami penerapan konsep dasar dan prinsip-prinsip hereditas serta implikasinya pada

Salingtemas:

1) Menjelaskan konsep gen, DNA, dan kromosom

2) Menjelaskan hubungan gen (DNA)-RNA-polipeptida dan proses sintesis protein

3) Menjelaskan keterkaitan antara proses pembelahan mitosis dan meiosis dengan pewarisan sifat 4) Menerapkan prinsip hereditas dalam mekanisme pewarisan sifat 5) Menjelaskan peristiwa mutasi

dan implikasinya dalam Salingtemas

Menurut Depdiknas (1999), Basic Competencies yang dikembangkan di Indonesia diperoleh dengan cara membandingkannya dengan kurikulum negara-negara lain. Berdasarkan Tabel 4.6. dapat dilihat bahwa materi genetika pada kurikulum tingkatan SLTP dan SMA mengacu pada standar kompetensi NSTA. Menurut NSTA (1996) materi genetik pada tingkatan 5-8K berada pada hereditas tingkat dasar, dan materi genetik pada tingkat 9-12K, berada pada tingkatan


(39)

77 hereditas molekuler dasar. Berdasarkan hal tersebut, maka KD ke-2 (Mendeskripsikan konsep pewarisan sifat pada makhluk hidup) tidak akan sedalam KD-1 pada tingkatan SMA (Menjelaskan konsep gen, DNA, dan kromosom), sehingga materi tentang kromosom, DNA, dan gen yang bersifat molekuler tidak harus diberikan pada siswa SLTP kecuali konsep-konsep sederhana dan bisa dimodelkan (Redjeki, 1997). Materi tentang struktur genetik menurut struktur keilmuan dalam buku Campbell et al.(2006), berada pada proposisi 2.3.1. (Struktur material genetik pada makhluk hidup). Turunan proposisi 2.3.1. yaitu proposisi 2.3.1.1. (Eksperimen menunjukkan bahwa DNA merupakan materi genetik), proposisi 2.3.1.2. (DNA dan RNA merupakan polimer dari nukleotida yang tersusun atas tiga unit asam amino) dan proposisi 2.3.1.3. (DNA berbentuk rantai heliks ganda yang saling berpasangan). Proposisi ini membahas materi genetik sampai pada tahapan molekuler. Hal ini tergambar dari judul awal pokok bahasan yaitu "Moleculer of the Gen". Bahasan sederhana tentang kromosom, DNA, dan gen telah terangkum secara umum dalam proposisi 2.1.2, 2.1.3, dan 2.1.4. Proposisi tersebut membahas tentang proses pembelahan sel dan pola-pola hereditas Mendel.

KD 2.3 pada tingkat SLTP (mendeskripsikan proses pewarisan dan hasil pewarisan sifat serta penerapannya), mengalami pendalaman pada KD SMA sehingga menjadi dua KD.kedua KD tersebut adalah, menjelaskan keterkaitan antara proses pembelahan mitosis dan meiosis dengan pewarisan sifat, dan menerapkan prinsip hereditas dalam mekanisme pewarisan sifat. Hal ini mengisyaratkan bahwa pada tingkat SLTP, bahasan meiosis dan mitosis yang


(40)

78 merupakan bagian dari standar kompetensi "memahami kelangsungan hidup makhluk hidup"pada KD 1 berhubungan dengan KD 3 dengan penghubung KD 2. Untuk mengetahui kemampuan guru dalam mengidentifikasi materi ajar berdasarkan prinsip pengembangan bahan ajar dapat dilihat pada Tabel 4.7. Berdasarkan Tabel 4.7, persentase pilihan kelompok pembanding dan eksperimen pada proposisi pengayaan dari KD SLTP, lebih besar pada kelompok eksperimen daripada kelompok pembanding. Kecuali pada proposisi 2.2.5. (Ahli-ahli biologi yang melakukan penelitian dengan bunga-bunga dan lalat buah menemukan bahwa gen-gen tertentu terhubung).

Tabel 4.7. Kemampuan Guru dalam Identifikasi Materi ajar Berdasarkan Prinsip Pengembangan Bahan Ajar

No Proposisi Materi KD Kelompok Ket.

SLTP SMA

R K A R K A Pbd Eks

1 2.1.1. Hubungan antara pembelahan dan reproduksi sel 1 1 1 0 0 0 47% 86% Sesuai 2 2.1.2. Siklus sel Eukaryot dan mitosis 1 1 1 3 3 3 10% 6% Sesuai 3 2.1.3. Meiosis dan proses pindah silang pada kromosom seks 2 2 2 3 3 3 65% 65% Sesuai 4 2.1.4. Alterasi jumlah kromosom dan struktur 2 2 0 5 5 5 7% 67% Penga Yaan 5 2.2.1. Gagasan mengenai hereditas: Sejarah masa lalu hereditas 2 2 2 0 0 0 30% 100

%

Sesuai

6 2.2.2. Genetik modern sebagai sebuah sains hereditas dimulai dari penelitian kualitatif Mendel

3 3 3 4 4 4 63% 65% Sesuai


(41)

79 %

8 2.2.4. Terdapat sejumlah variasi dari prinsip sederhana Mendel 3 3 3 4 4 4 30% 83% Sesuai 9 2.2.5. Ahli Biologi yang melakukan penelitian dengan

bunga-bunga dan lalat buah menemukan bahwa gen-gen tertentu terhubung

3 3 0 4 4 4 20% 0% Penga Yaan

10 2.2.6. Sepasang kromosom seks menentukan jenis kelamin pada banyak spesies

3 3 3 4 4 4 40% 83% Sesuai

11 2.3.1. Struktur material genetik pada makhluk hidup 0 0 0 1 1 1 10% 0% SMA

12 2.3.2. Proses replikasi DNA sebagai bagian dari proses pembelahan sel

0 0 0 2 2 2 0% 0% SMA

13 2.3.3. Aliran informasi genetik dari DNA ke RNA menuju protein

0 0 0 2 2 2 0% 0% SMA

14 2.3.4. Genetika pada virus dan bakteri 1 1 0 0 0 0 23% 52% Penga Yaan 15 2.4.1. Regulasi gen pada kontrol ekspresi gen 0 0 0 * * * 0% 0% SMA 16 2.4.2. Prinsip kloning pada hewan dan tumbuhan 4 4 4 * * * 0% 0% Materi

biotek 17 2.4.3. Kontrol gen pada pertumbuhan embrio 0 0 0 * * * 0% 0% Tidak sesuai 18 2.4.4. Dasar genetika pada kanker 0 0 0 5 5 5 18% 21% SMA

Keterangan R= Relevansi; K = Konsistensi; A = Adequacy; * = diajarkan pada tingkatan pendidikan tersebut tapi tidak masuk dalam SK yang sama

Dari Tabel 4.7. proposisi yang tidak sesuai KD SLTP ada pada proposisi 2.3.1 (Struktur material genetik), dengan perbandingan persentase pemilih pada kelompok pembanding eksperimen 10% dan 0%. Proposisi 2.4.4 (Dasar genetika pada kanker) pada subkonsep proposisi 2.4.4.4 (menghindar hal-hal penyebab kanker dapat menghindari diri dari penyakit kanker). Subkonsep proposisi 2.4.4.4 lebih banyak dipilih kelompok eksperimen (18 dan 20%) karena dianggap merupakan proposisi lanjutan 2.1.2.7 (Sel tumor yang tumbuh diluar kendali menyebabkan kanker yang berbahaya). Anggapan ini terjadi karena aplikasi proposisi 2.4.4.4 pada media emodul, merupakan animasi lanjutan dari proposisi 2.1.2.7.

Proposisi yang sesuai dengan relevansi, konsistensi dan adequasi pada KD SLTP, memiliki persentase pemilih yang lebih besar pada kelompok


(42)

80 eksperimen dibanding kelompok pembanding (74% dan 43%). Hal ini karena pengembangan konsep genetika pada media e-modul berdasarkan tes penguasaan konsep lebih dipahami guru kelompok eksperimen daripada kelompok kontrol, sehingga sejalan dengan hasil penelitian Sitompul (2007) yang menyatakan bahwa para guru cenderung menghindari mengajar konsep-konsep yang dianggap sulit dan menyuruh siswa menghafalkannya saja atau memberikannya pada guru yang lebih kompeten. Sedangkan Shulman (1987) menyatakan bahwa guru yang memahami materi subjek akan lebih mampu mengajarkan materi secara efektif, mengetahui materi apa yang akan lebih mudah atau lebih sukar dipahami siswa, lebih mudah mengorganisir, mengurutkan dan menampilkan materi sesuai dengan tingkat kemampuan siswanya.

Hal lain yang dapat dianalisis dari kemampuan guru dalam mengidentifikasi materi ajar adalah pola pilihan proposisi guru berdasarkan perlakuan. hal ini bisa dilihat pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8. Pola Pilihan Proposisi pada Kelompok Pembandinng dan Kelompok Eksperimen

N o

Proposisi makro

Proposisi mikro Klpk

Pembg Klpk Eksp

1 2.1.1 Hubungan antara pembelahan dan reproduksi sel 3/3 3/3

2 2.1.2. Siklus sel eukaryot dan mitosis 3/8 6/8

3 2.1.3. Meiosis dan pindah silang 4/6 6/6

N o

Proposisi makro

Proposisi mikro Klpk

Pembg Klpk Eksp

4 2.1.4. Alterasi Jumlah kromosom dan struktur 1/3 3/3

5 2.2.1 Gagasan mengenai hereditas di masa lalu 1/1 1/1

6 2.2.2 Genetika modern sebagai sebuah sains hereditas dimulai dari penelitian

kuantitatif Mendel


(43)

81

7 2.2.3. Hereditas menggambarkan aturan-aturan probabilitas 2/2 2/2

8 2.2.4. Terdapat sejumlah variasi-variasi dari prinsip sederhana Mendel 2/2 2/2

9 2.2.5 Ahli-ahli biologi yang melakukan penelitian dengan bunga-bunga dan

lalat buah menemukan bahwa gen-gen tertentu terhubung

2/2 0

10 2.2.6 Sepasang kromosom seks menentukan jenis kelamin pada berbagai

spesies

2/2 2/2

11 2.3.1 Struktur material genetic 1/3 0

12 2.3.2 Replikasi DNA

: Melihat dari dekat replikasi DNAus dan bakteri

0 0

13 2.3.3 Aliran genetik dari DNA ke RNA kemudian protein 0 0

14 2.3.4 Genetik pada virus dan bakteri 3/4 3/4

15 2.4.1. Regulasi gen pada kontrol ekspresi gen 1/4 0

16 2.4.2 Kloning pada hewan dan tumbuhan 1/2 1/2

17 2.4.3 Kontrol gen pada pertumbuhan embrio 0 0

18 2.4.4 Dasar genetika pada kanker 3/4 1/4

Jumlah Rata-rata 32/62 33/62

Berdasarkan Tabel 4.8 dapat diketahui bahwa jumlah proposisi yang dipilih kelompok pembanding dan kelompok eksperimen tidak terlalu berbeda (32 dan 33), tetapi terdapat perbedaan jenis proposisi yang dipilih kelompok pembanding dengan kelompok kontrol. Perbedaan pilihan kelompok pembanding dan kelompok eksperimen berdasarkan Lampiran C.2 dapat dilihat pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9. Perbedaan pilihan proposisi mikro pada kelompok pembanding dan kelompok eksperimen.

Kelompok pembanding Kelompok Eksperimen

Proposisi % Proposisi %

2.3.1.1. Eksperimen menunjukkan bahwa DNA merupakan material genetic

20 2.1.2.4. Sitokinesis pada sel tumbuhan berbeda dengan sitokinesis sel hewan dalam proses pembentukkan dinding atau membrannya

8

2.4.1.4. kromosom mengendalikan regulasi gennya dengan banyak cara

10 2.1.2.8. Tinjau ulang fungsi mitosis

sebagai proses pertumbuhan sel,

penggantian sel, dan reproduksi

aseksual


(44)

82

2.4.4.1. Kanker berasal dari mutasi yang terjadi pada gen yang mengendalikan pembelahan

10 2.1.3.4. Orientasi kromosom bebas

dalam meiosis dan pembuahan acak

menghasilkan keturunan yang

bervariasi

50

2.4.4.3. Banyak perubahan dalam sel dan lingkungan yang mendasari pertumbuhan sel

20 2.1.3.5. Kromosom homolog membawa

versi gen yang berbeda pada setiap selnya

25

2.1.4.1. gambaran dari kromosom seseorang dinyatakan dengan karyotipe

58

2.1.4.3. Sindrom Down merupakan contoh akibat perubahan jumlah dan struktur kromosom seseorang

100

Pilihan proposisi kelompok pembanding pada Tabel 4.9, berdasarkan Tabel 4.7, bukan merupakan bagian dari KD SLTP, kecuali pada proposisi 2.4.4.3 yang merupakan materi pengayaan. Pilihan proposisi ini didominasi oleh guru K3, berdasarkan data pendukung diketahui bahwa K3 merupakan guru dengan pengalaman mengajar 1 tahun, mengajar di kelas VII dan masih honorer sehingga cenderung untuk memilih proposisi yang sesuai dengan pelajaran yang ia dapat dari bangku perkuliahan. Hal ini senada dengan pendapat Hewson &Hewson (1989) yang menyatakan bahwa guru-guru sains memiliki konsep dan pengetahuan sains berdasarkan apa yang mereka dapatkan selama belajar di sekolah atau di universitas sehingga Simmons et al.(1999) menyatakan bahwa guru-guru sains cenderung akan memberikan pembelajaran yang sama seperti

yang selama ini mereka peroleh di bangku kuliah. Pilihan berbeda kelompok ekperimen pada proposisi 2.1.4.3 dan 2.1.4.1

pada Tabel 4.9 berdasarkan Tabel 4.7 merupakan materi penggayaan, sedangkan proposisi 2.1.3.4 dan 2.1.3.5 pada Tabel 4.9 berdasarkan Tabel 4.7. masih termasuk dalam KD tingkatan SLTP, demikian juga proposisi 2.1.2.8, 2.1.2.3,


(45)

83 dan 2.1.2.4. Pada proposisi 2.1.4.1 dan 2.1.4.3 walaupun merupakan materi pengayaan tetapi dipilih oleh 58% dan 100% kelompok eksperimen. Hal ini karena menurut hasil wawancara, guru menyatakan bahwa proposisi 2.1.4.1 dan 2.1.4.3 yang menjelaskan tentang alterasi kromosom dan sindrom down merupakan materi kontekstual yang ada dalam lingkungan keseharian siswa. Materi tentang proses memperoleh alterasi kromosom menurut para guru dijelaskan dengan cukup baik pada e-modul, sehingga dipahami oleh guru dan dijadikan sebagai bagian dari materi pembelajaran. Dari media e-modul yang dipelajari, para guru juga baru mengetahui bahwa ternyata sindrom down bukan hanya penyakit yang diturunkan tetapi bisa juga disebabkan oleh faktor lingkungan dan usia calon ibu yang menyebabkan terjadinya ekstra kromosom 21. Berikut petikan wawancara dengan guru:

Peneliti : pada Media ini materi apa yang baru ibu ketahui dan menarik utuk disampaikan di kelas?

Guru : Banyak hal yang baru saya ketahui dari e-modul dan menurut saya

baik untuk disampaikan pada siswa setingkat SLTP, salah satunya adalah

tentang sindrom down, saya baru tahu kalau sindrom down bukan hanya

disebabkan oleh faktor keturunan tapi juga oleh lingkungan dan dan usia calon ibu. Saya tadinya berpikir bahwa faktor satu-satunya penyebab sindrom down adalah keturunan sehingga ketika ada anak teman yang kena sindrom down tanpa adanya faktor keturunan saya cukup bingung dengan fenomena tersebut, sekarang saya mengerti dan menurut saya ini menarik untuk disampaikan pada siswa karena cukup

kontekstual. (Wawancara guru E.12)

Hal lain yang dapat dianalisis dari pola guru dalam mengidentifikasi materi ajar adalah latar pendidikan, dan riwayat mengajar guru. Dari lampiran B.3 dapat dilihat bahwa guru yang tidak mengajar di kelas IX ((E5 dan E12)


(46)

84 cenderung memilih proposisi lebih banyak (29 dan 26 proposisi mikro). guru yang latar pendidikannya bukan dari biologi (E7), tetapi masih berhubungan dengan biologi dan mengajar dikelas IX juga cenderung memilih proposisi yang lebih banyak (29 proposisi). Berbeda dengan guru yang memiliki latar belakang bukan biologi (E10 dan E11), dan tidak berhubungan dengan biologi. Pilihan proposisi guru lebih sedikit (15 dan 16) dan dilakukan secara acak tanpa melihat hubungan konsep antar proposisi. Proposisi dipilih karena menurut pengakuan guru penjelasannya dalam media e-modul cukup lengkap dan berhubungan dengan sesuatu yang real dalam kehidupan (proposisi 2.1.2. dan 2.4.4 tentang tumor dan dasar genetika kanker). Hal ini sejalan dengan Bodenhousen (1988) dalam Sitompul (2007) yang menyatakan bahwa latar belakang pendidikan guru yang tidak sesuai dengan bidang yang diajarkan berpengaruh terhadap kemampuan akademis. Seringkali guru dengan tipe ini memiliki materi subyek yang dangkal,

tidak lengkap, salah, serta tidak memiliki struktur keilmuan yang baik. Guru yang memahami materi subjek dan melihat dengan lebih baik

hubungan antar proposisi pada materi akan lebih mampu mengajarkan materi secara efektif, mengetahui materi apa yang akan lebih mudah atau lebih sukar dipahami siswa, lebih mudah mengorganisir, mengurutkan dan menampilkan

materi sesuai dengan tingkat kemampuan siswanya. Pemahaman struktur keilmuan yang tidak baik itu pula menyebabkan

guru-guru pada kelompok pembanding cenderung memilih proposisi secara acak tanpa melihat keterkaitan antar konsep. Media cetak yang mereka pelajari menurut pengakuan hasil wawancara tidak memperlihatkan dengan jelas hubungan antar


(47)

85 konsep sehingga mereka memilih proposisi berdasarkan pengetahuan mereka saja. Hal ini sejalan dengan pernyataan Simon (1999) yang menyatakan bahwa guru-guru sains cenderung memberikan pembelajaran yang sama seperti apa yang

selama ini mereka peroleh dibangku kuliah. Sayangnya pengetahuan guru tentang hubungan antar proposisi tersebut

tidak terlihat dari penjabaran materi RPP yang disusun. RPP yang disusun setelah perlakuan tetap seperti semula. Ketika hal ini dikonfirmasi kepada responden, sebagian guru mengatakan bahwa mereka telah terbiasa menuliskan tema materi saja pada materi pokoknya. Hal ini karena pengembangan materi pada materi

pokok tidak dianggap terlalu penting oleh kepala sekolah maupun pengawas. Hasil wawancara lanjutan terlihat bahwa pembelajaran dengan e-modul

berpengaruh terhadap pemahaman guru tentang materi genetika. Guru yang mendapat perlakuan dengan media e-modul cenderung bisa melihat hubungan konsep perkembangbiakan, meiosis dan pola-pola pewarisan sifat. Berbeda dengan kelompok pembanding yang mengatakan bahwa materi genetika hanya pada KD 2.3 tidak berhubungan dengan KD yang lainnya (Lihat Tabel 4.6) sehingga guru pada kelompok pembanding cenderung memilih proposisi dengan

tidak melihat hubungan antar konsep (Lampiran C.2). Selama ini biasanya menurut guru, mereka mengajarkan konsep

pola-pola pewarisan sifat seolah-olah terpisah dengan perkembangbiakan dan meiosis. Awalan mengajar genetika langsung pada Mendel dan penelitiannya pada kacang ercis, beberapa guru memulai dengan praktikum menggunakan kacang ercis dan beberapa yang lain memulai dari variasi yang terjadi pada manusia. Konsep


(48)

86 kromosom, DNA dan gen hanya disinggung pada materi tentang meiosis dengan abstrak dan tidak menyentuh pada pola-pola pewarisan sifat. Sejalan hasil penelitian Banet & Ayuso (2000), yang mengatakan bahwa guru sekolah menengah cenderung mengajarkan materi genetika dengan titik awal hukum Mendel dengan penelitian pada kacang ercisnya. Padahal kacang ercis bukanlah sesuatu yang dikenal oleh siswa, sehingga tidak menarik perhatian mereka. Beberapa siswa sekolah menengah tidak mengetahui bahwa kacang ercis adalah tumbuhan yang tersusun atas banyak sel, dan setiap sel itu mengandung kromosom dan gen. Beberapa guru memulai dari meiosis tetapi tidak menghubungkannya dengan konsep pewarisan sifat padahal peristiwa meiosis merupakan pangkal mula terjadinya pewarisan sifat. Kondisi tersebut menurut beberapa tokoh (Banet & Ayuso,1995; Collins & Stewart,1989 dalam Banet & Ayuso, 2000) membuat pengajaran genetika yang dilakukan guru hanya memberikan efek yang sedikit terhadap perubahan konsepsi siswa. Agar terjadi perubahan yang signifikan, Banet & Ayuso(2000) menganjurkan agar pembelajaran genetika diperbaiki dari sisi perencanaan pembelajaran dan strategi pembelajaran. Hal ini sejalan tesis yang diajukan oleh Ibadiyati (2002) bahwa peranan struktur subtansi fokus dalam PBM menentukan dalam membangun pengetahuan siswa.


(49)

89

Daftar Pustaka

Ally, M. (2004). Foundation of Educational Theory for Online Learning. Canada; Athabasca University.

Anderson, L. W. & Krathwolh, D.R. (2001). A Taxonomy for Learning Teaching and Assesing. New York: Addison wesley longman, Inc.

Arikunto, S. (2003). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Arikunto,S. (2006). Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka cipta.

Asni. (2006). Animasi Komputer pada Pembelajaran Hidrokarbon dengan metode inkuiri untuk meningkatkan kompetensi siswa. Tesis Magister pada SPs UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Banet, E. Ayuso, E. (2000). Teaching Genetics at Secondary School: Strategy for Teaching about the Location of Inheritance Information. Journal of Research in Science Teaching, 3: 313-315.

Bockholt, S.M. et al., (2003). Cancer Cell Biology: Student-Centered `Instructional Module Exploring The Use of Multimedia to Enrich Interctive, Contructivist Learning of Science. Journal of the Cell Biology Education, 2: 35-50.

Boughman, J. et al., (2007). Essay contest Reveals Misconception of high school student in Genetics Content. Journal of Genetics Society of America, 3: 205-230.

Campbell, N.A. et al., (2006). Biology: Concept&Connections. 6th. SanFrancisco: Benjamin Cummings Publishing Company. Inc.

Carpi, Anthony. (2001). Improvements in Undergraduated Science Education Using Web-Based Instructional Modules: The Natural Science Pages. Journal of Chemical Education, 5: 211-222.

Dahar, R.W. (1996). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

Depdiknas. (1999). Potret Kurikulum 1994 . Jakarta: Balitbang, Depdiknas.

Depdiknas. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Jakarta: Balitbang, Depdiknas.


(50)

90 Depdiknas. (2007). Pedoman Penyusunan Bahan ajar Formal. Jakarta.

Depdiknas. (2008). Perangkat Pembelajaran: Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP SMA. Jakarta: Dirjen MenDikDasMen.

Driver, R. & Bell B. (1986). Student Thinking and the Learning of Science: A Constructivist View.

Ginting,R.(2005). Analisis Representasi Teks dan Gambar Topik Sel di Buku SMA dan Biologi Umum: Studi Analisis Wacana Pedagogi Materi Subjek. Tesis PPS UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Hasan, S. et al. (1999). Misconception and the Certain of Response Index (CRI) . Journal Physics Education, 34 (5): 294-299.

Herlanti, Y. (2005). Analisis Pemahaman dan Retensi Siswa SLTP Pengguna Wacana Multimedia “Berpetualang Bersama Mendel”. Tesis PPS UPI. Tidak diterbitkan.

Hewson, P.W., & Hewson, M.G. (1989). Analysis and use of the task for identifying conception of teaching science. Journal of Education for Teaching, 15 (3), 191-209.

Ibayati, Y. (2002). Analisis Strategi Mengajar pada Topik Sistem Syaraf di SMU: Studi Deskriptif Terhadap Proses Belajar Mengajar Berdasarkan Pedagogi Materi Subjek pada Salah satu SMU di kota Bandung. Tesis. SPS UPI. Tidak Diterbitkan.

Hamalik, O. (2008) Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.

Lowe, R.(2001). Animation and Learning: Value for Money? In Beyond the Comport Zone: Proceeding of the 21th ASCILITE Conference. (Online). Tersedia: http://www.ascilite.org.au/conference/pert04/procs/lowe-r-html (10Juli 2009).

Meltzer. (2002). The Relationship Between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gain in Physic: A Posible”Hidden Variable in Diagnostic Pretest Scores” American Journal Physics. 70(12), 1259-1268 Mulyasa, E. (2008). Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Munawar. (2000). Sistem Penulisan Modul Pendidikan dan Latihan Penulisan Modul Bahan Ajar Mandiri. Jakarta: Pustekom Depdiknas.


(51)

91 NRC. (1996). National Science Education Standards. (1996). Washington.D.C:

National Academic. Press.

O'Day. D.,(2006) Animated Cell Biology: A Quick and Easy Method for Making Effective, High-Quality Teaching Animation. CBE-Life Sciences education, 5: 255-263.

O'Day.D., (2007). The Value of Animation in Biology Teaching: A Studi of Long-Term Memory Retention. CBE-Life Sciences Educationa, 6: 217-233. Roestiyah. (2007). Strategi Belajar Mengajat Biologi. Jakarta: Rineka Cipta Roshayanti, F. (2002). AnalisiS Fungsi Representasi Topik Metabolisme Buku

Tortora dengan Biologi Umum. Tesis. PPS UPI Bandung. Tidak diterbitkan.

Ruseffendi, H.E.T. (1998). Statistik Dasar Untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: IKIP Bandung Press.

Shulman, L.(1987). Knowledge and Teaching Foundation of The New Reform. Harvard Education Review, 57: 1-22.

Simmons, P.E., et al. (1999). Beginning teacher: Beliefs and Classroom Actions. Journal of Research in Science Teaching, 36 (8): 930-954.

Slavin, R.A. (1997). Educational Psycology. Theory and Practice. MA: Allyn& Bacon.

Stith.B.J., (2004). Use of Animation in Teaching Cell Biology. Journal of Cell Biology Education, 3: 181-188.

Suratno, T.(2004). Model Hiperteks Berbasis Wacana Argumentatif pada Topik Fotosintesis. Tesis. PPS UPI. Tidak Diterbitkan.

Poejiadi, H.A. (1979). Pengaruh Media Visual Gambar Terhadap Peningkatan Status Gizi Anak Balita :Studi tentang Pendidikan Gizi Bagi Keluarga yang Berpenghasilan Rendah di Kotamadya dan Kabupaten Bandung). Disertasi, Sekolah Pascasarjana. IKIP Bandung. Tidak Diterbitkan.

Purwanto, M.N. (1995). Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosdakarya.

Depdiknas. (2006a). Kurikulum 2006 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Biologi Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Puskur Depdiknas. .

Depdiknas. (2006b). Kurikulum 2006 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Biologi Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Puskur Depdiknas


(1)

86 kromosom, DNA dan gen hanya disinggung pada materi tentang meiosis dengan abstrak dan tidak menyentuh pada pola-pola pewarisan sifat. Sejalan hasil penelitian Banet & Ayuso (2000), yang mengatakan bahwa guru sekolah menengah cenderung mengajarkan materi genetika dengan titik awal hukum Mendel dengan penelitian pada kacang ercisnya. Padahal kacang ercis bukanlah sesuatu yang dikenal oleh siswa, sehingga tidak menarik perhatian mereka. Beberapa siswa sekolah menengah tidak mengetahui bahwa kacang ercis adalah tumbuhan yang tersusun atas banyak sel, dan setiap sel itu mengandung kromosom dan gen. Beberapa guru memulai dari meiosis tetapi tidak menghubungkannya dengan konsep pewarisan sifat padahal peristiwa meiosis merupakan pangkal mula terjadinya pewarisan sifat. Kondisi tersebut menurut beberapa tokoh (Banet & Ayuso,1995; Collins & Stewart,1989 dalam Banet & Ayuso, 2000) membuat pengajaran genetika yang dilakukan guru hanya memberikan efek yang sedikit terhadap perubahan konsepsi siswa. Agar terjadi perubahan yang signifikan, Banet & Ayuso(2000) menganjurkan agar pembelajaran genetika diperbaiki dari sisi perencanaan pembelajaran dan strategi pembelajaran. Hal ini sejalan tesis yang diajukan oleh Ibadiyati (2002) bahwa peranan struktur subtansi fokus dalam PBM menentukan dalam membangun pengetahuan siswa.


(2)

89 Daftar Pustaka

Ally, M. (2004). Foundation of Educational Theory for Online Learning. Canada; Athabasca University.

Anderson, L. W. & Krathwolh, D.R. (2001). A Taxonomy for Learning Teaching and Assesing. New York: Addison wesley longman, Inc.

Arikunto, S. (2003). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Arikunto,S. (2006). Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka cipta.

Asni. (2006). Animasi Komputer pada Pembelajaran Hidrokarbon dengan metode inkuiri untuk meningkatkan kompetensi siswa. Tesis Magister pada SPs UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Banet, E. Ayuso, E. (2000). Teaching Genetics at Secondary School: Strategy for Teaching about the Location of Inheritance Information. Journal of Research in Science Teaching, 3: 313-315.

Bockholt, S.M. et al., (2003). Cancer Cell Biology: Student-Centered `Instructional Module Exploring The Use of Multimedia to Enrich Interctive, Contructivist Learning of Science. Journal of the Cell Biology Education, 2: 35-50.

Boughman, J. et al., (2007). Essay contest Reveals Misconception of high school student in Genetics Content. Journal of Genetics Society of America, 3: 205-230.

Campbell, N.A. et al., (2006). Biology: Concept&Connections. 6th. SanFrancisco: Benjamin Cummings Publishing Company. Inc.

Carpi, Anthony. (2001). Improvements in Undergraduated Science Education Using Web-Based Instructional Modules: The Natural Science Pages. Journal of Chemical Education, 5: 211-222.

Dahar, R.W. (1996). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

Depdiknas. (1999). Potret Kurikulum 1994 . Jakarta: Balitbang, Depdiknas.

Depdiknas. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Jakarta: Balitbang, Depdiknas.


(3)

90 Depdiknas. (2007). Pedoman Penyusunan Bahan ajar Formal. Jakarta.

Depdiknas. (2008). Perangkat Pembelajaran: Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP SMA. Jakarta: Dirjen MenDikDasMen.

Driver, R. & Bell B. (1986). Student Thinking and the Learning of Science: A Constructivist View.

Ginting,R.(2005). Analisis Representasi Teks dan Gambar Topik Sel di Buku SMA dan Biologi Umum: Studi Analisis Wacana Pedagogi Materi Subjek. Tesis PPS UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Hasan, S. et al. (1999). Misconception and the Certain of Response Index (CRI) . Journal Physics Education, 34 (5): 294-299.

Herlanti, Y. (2005). Analisis Pemahaman dan Retensi Siswa SLTP Pengguna Wacana Multimedia “Berpetualang Bersama Mendel”. Tesis PPS UPI. Tidak diterbitkan.

Hewson, P.W., & Hewson, M.G. (1989). Analysis and use of the task for identifying conception of teaching science. Journal of Education for Teaching, 15 (3), 191-209.

Ibayati, Y. (2002). Analisis Strategi Mengajar pada Topik Sistem Syaraf di SMU: Studi Deskriptif Terhadap Proses Belajar Mengajar Berdasarkan Pedagogi Materi Subjek pada Salah satu SMU di kota Bandung. Tesis. SPS UPI. Tidak Diterbitkan.

Hamalik, O. (2008) Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.

Lowe, R.(2001). Animation and Learning: Value for Money? In Beyond the Comport Zone: Proceeding of the 21th ASCILITE Conference. (Online). Tersedia: http://www.ascilite.org.au/conference/pert04/procs/lowe-r-html (10Juli 2009).

Meltzer. (2002). The Relationship Between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gain in Physic: A Posible”Hidden Variable in Diagnostic Pretest Scores” American Journal Physics. 70(12), 1259-1268 Mulyasa, E. (2008). Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Munawar. (2000). Sistem Penulisan Modul Pendidikan dan Latihan Penulisan Modul Bahan Ajar Mandiri. Jakarta: Pustekom Depdiknas.


(4)

91 NRC. (1996). National Science Education Standards. (1996). Washington.D.C:

National Academic. Press.

O'Day. D.,(2006) Animated Cell Biology: A Quick and Easy Method for Making Effective, High-Quality Teaching Animation. CBE-Life Sciences education, 5: 255-263.

O'Day.D., (2007). The Value of Animation in Biology Teaching: A Studi of Long-Term Memory Retention. CBE-Life Sciences Educationa, 6: 217-233. Roestiyah. (2007). Strategi Belajar Mengajat Biologi. Jakarta: Rineka Cipta Roshayanti, F. (2002). AnalisiS Fungsi Representasi Topik Metabolisme Buku

Tortora dengan Biologi Umum. Tesis. PPS UPI Bandung. Tidak diterbitkan.

Ruseffendi, H.E.T. (1998). Statistik Dasar Untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: IKIP Bandung Press.

Shulman, L.(1987). Knowledge and Teaching Foundation of The New Reform. Harvard Education Review, 57: 1-22.

Simmons, P.E., et al. (1999). Beginning teacher: Beliefs and Classroom Actions. Journal of Research in Science Teaching, 36 (8): 930-954.

Slavin, R.A. (1997). Educational Psycology. Theory and Practice. MA: Allyn& Bacon.

Stith.B.J., (2004). Use of Animation in Teaching Cell Biology. Journal of Cell Biology Education, 3: 181-188.

Suratno, T.(2004). Model Hiperteks Berbasis Wacana Argumentatif pada Topik Fotosintesis. Tesis. PPS UPI. Tidak Diterbitkan.

Poejiadi, H.A. (1979). Pengaruh Media Visual Gambar Terhadap Peningkatan Status Gizi Anak Balita :Studi tentang Pendidikan Gizi Bagi Keluarga yang Berpenghasilan Rendah di Kotamadya dan Kabupaten Bandung). Disertasi, Sekolah Pascasarjana. IKIP Bandung. Tidak Diterbitkan.

Purwanto, M.N. (1995). Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosdakarya.

Depdiknas. (2006a). Kurikulum 2006 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Biologi Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Puskur Depdiknas. .

Depdiknas. (2006b). Kurikulum 2006 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Biologi Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Puskur Depdiknas


(5)

92 Puspita,G.N. (2008). Penggunaan Multimedia Interaktif pada Pembelajaran Konsep Reproduksi Hewan Untuk Meningkatkan penguasaan Konsep, Berpikir Generik dan Berpikir Kritis Siswa Kelas IX. Tesis Jurusan Pendidikan IPA. Sekolah Pascasarjana Universitas Indonesia. Tidak diterbitkan.

Pridi, H.L.(2002). Kajian atas wacana penurunanan sifat pada modul penataran tertulis guru SLTP bidang studi IPA Pusat. Tesis Jurusan Pendidikan IPA. Sekolah Pascasarjana Universitas Indonesia. Tidak diterbitkan.

Redjeki,S. (1997). Telaah Perkembangan Konsep Biologi dalam Pendidikan di Indonesia 1945-1994. Studi Tentang Konsep Biologi dalam Buku Ajar Pendidikan Dasar dan Menengah. Disertasi. Program Pascasarjana. IKIP Bandung. Tidak diterbitkan.

Rustaman, N.Y. et al. (2003) Strategi Belajar Mengajar Biologi. Bandung. Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI.

Rustaman, N.Y. & Widodo, A. (2001). “Konsepsi Calon Guru Biologi Tentang IPA, Belajar dan Mengajar”. Jurnal Pengajaran MIPA. FPMIPA-UPI. .

Sadia, W.I. (1996). Pengembangan Model Belajar Konstruktivis dalam Pembelajaran IPA di Sekolah Menengah Pertama (SMP): Suatu Studi Eksperimental dalam Pembelajaran Konsep Energi, Usaha dan Suhu di SMP Negeri di Singaraja).

Suparno, P. (1996). Filsafat Konstruktivism dalam Pendidikan.Yokyakarta: Penerbit Kanisius.

Sitompul, A. (2007). Kompetensi Guru Biologi SMA dalam Pembelajaran Genetika. Tesis Jurusan Pendidikan IPA. Sekolah Pascasarjana Universitas Indonesia. Tidak diterbitkan.

Tsui, C.-Y.et al., (2003). Genetics reasoning with multiple external representations. Research in Science Education.Paper Presented at the Australian Association of Research in Education (On line). Tersedia :

http://www.aare.edu.au/01pap/tsu01462 (10 Juli 2009).

Kwen, B.H. (2005). Teachers’Misconecptions of Biological science concepts as revealed in science Examination papers. International Education Research Conference. 5: 233-245


(6)

93 Warsita, B. (2008). Teknologi Pembelajaran: Landasan& Aplikasinya. Jakarta.

Penerbit Rineka Cipta.

Widodo, A. (2007). Konstruktivisme dan Pembelajaran Sains. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No.064 Tahun ke-13.

Widodo, A. et al., (2006). Video Based Coaching to Improve Teachers Teaching Skills. Proceeding of The First International seminar on Science Education. Vygotsky. L.S.(1978). Mind in Society: The Development of higher psychological