PERANAN PETANI PENDERES DALAM MENGEMBANGKAN INDUSTRI GULA KELAPA DI PANGANDARAN TAHUN 1960-2005.

(1)

No. Daftar FPIPS : 2019/UN.40.2.3/PL/2014

PERANAN PETANI PENDERES DALAM MENGEMBANGKAN INDUSTRI GULA KELAPA DI PANGANDARAN TAHUN 1960-2005

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Jurusan Pendidikan Sejarah

Oleh

Ahmad Toni Harlindo 0608875

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA


(2)

PERANAN PETANI PENDERES DALAM MENGEMBANGKAN GULA KELAPA DI PANGANDARAN TAHUN 1960-2005

Oleh

Ahmad Toni Harlindo

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

© Ahmad Toni Harlindo 2014 Universitas Pendidikan Indonesia

Desember 2014

Hak Cipta dilindungi undang-undang.


(3)

(4)

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

PERANAN PETANI PENDERES DALAM MENGEMBANGKAN INDUSTRI GULA KELAPA DI PANGANDARAN TAHUN 1960-2005

Disusun Oleh : Ahmad Toni Harlindo

(0608875)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH Pembimbing I

Dra. Murdiyah Winarti, M.Hum. NIP. 19600529 198703 2 002

Pembimbing II

Dra. Yani Kusmarni, M.Pd. NIP. 19660113 199001 2 002

Mengetahui,

Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

Universitas Pendidikan Indonesia

Prof. Dr. H. Dadang Supardan, M.Pd. NIP. 19570408 198403 1 003


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR BAGAN ... ix

DAFTAR FOTO ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan dan Batasan Masalah Penelitian ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Manfaat Penelitian ... 10

1.5. Metode dan Teknik Penelitian ... 11

1.5.1. Metode Penelitian ... 11

1.5.2. Teknik Penelitiaan ... 13

1.6. Struktur Organisasi Skripsi ... 14

BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN ... 19

2.1. Sejarah Lokal Sebagai Wahana Pendidikan ... 20

2.2. Gula Kelapa Rakyat ... 26

2.3. Industri Kecil atau Industri Rumah Tangga (Home Industri) ... 33


(6)

2.5. Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat ... 41

2.6. Kehidupan Petani di Indonesia ... 45

BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN ... 51

3.1. Persiapan Penelitian ... 54

3.1.1. Penentuan Tema Penelitian ... 54

3.1.2. Penyusunan Rancangan Penelitian ... 55

3.1.3. Bimbingan dan Konsultasi ... 56

3.1.4. Mengurus Perizinan ... 57

3.1.5. Menyiapkan Perlengkapan Penelitian ... 58

3.2. Pelaksanaan Penelitian ... 58

3.2.1. Heuristik ... 58

3.2.2. Kritik Sumber ... 61

3.2.2.1. Kritik terhadap Sumber Tertulis ... 63

3.2.2.2. Kritik terhadap Sumber Lisan ... 64

3.2.3. Interpretasi (Penafsiran) ... 67

3.2.4. Laporan Penelitian (Historiografi) ... 68

BAB IV KEHIDUPAN PETANI PENDERES GULA KELAPA DI PANGANDARAN 1960-2005 ... 71

4.1. Gambaran Umum Daerah Pangandaran ... 72

4.1.1. Potensi Alam dan Administratif ... 72

4.1.2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pangandaran ... 80

4.1.2.1. Perkembangan Masyarakat ... 80 4.1.2.2. Perkembangan Pendidikan Masyarakat Pangandaran . 89


(7)

4.1.2.3. Kondisi Matapencaharian Masyarakat Pangandaran .. 96

4.2. Bangkitnya Petani Penderes Gula Kelapa Pangandaran 1960-1968 .. 101

4.3. Upaya Petani Penderes Dalam Meningkatkan Produktifitas Gula Kelapanya di Pangandaran 1960-2005 ... 113

4.3.1. Permodalan ... 113

4.3.2. Proses Produksi ... 137

4.3.3. Pemasaran ... 162

4.3.4. Peranan Asosiasi Gula Kelapa Priangan (AGKP) ... 180

4.4. Perubahan Sosial Ekonomi Petani Penderes Pangandaran 1960-2005 ... 186

4.4.1. Hubungan Sosial ... 187

4.4.2. Pendidikan Petani Penderes ... 188

4.4.3. Kesejahteraan Petani Penderes ... 189

4.5. Peranan Pemerintah Bagi Petani Penderes Gula Kelapa Pangandaran ... 196

4.5.1. Pembentukan Sub Terminal Agribisnis (STA) ... 197

4.5.2. Sikap Petani Penderes Gula Kelapa ... 200

4.5.3. Tugas Kerja STA ... 201

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 205

5.1. Kesimpulan ... 205

5.2. Saran ... 211

DAFTAR PUSTAKA ... 213


(8)

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 220 RIWAYAT HIDUP PENULIS


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Kabupaten Ciamis Menurut Jenis Kelamin

Tahun 1971-2002 ... 82 Tabel 4.2 Pertumbuhan Penduduk Pangandaran Dalam Kajian

Tahun 1993-2002 ... 85 Tabel 4.3 Jumlah Murid dan Sekolah di Pangandaran Berdasarkan Tingkat

Pendidikannya Pada Tahun 2000 ... 94 Tabel 4.4 Matapencaharian Penduduk Pangandaran Tahun 2000 ... 99 Tabel 4.5 Permodalan Awal Para Petani Penderes di Pangandaran

Tahun 2004/2005 ... 119 Tabel 4.6 Perolehan Modal Pohon Kelapa Sadapan Petani Penderes

Gula Kelapa Pangandaran Tahun 1960 – 2005 ... 133 Tabel 4.7 Harga Kayu Bakar Untuk Industri Gula Kelapa Di Pangandaran

Tahun 2000 – 2005 ... 136 Tabel 4.8 Perkiraan Jumlah Rata-Rata Petani Penderes Gula Kelapa dan

Pohon Kelapa Sadapannya di Pangandaran Tahun 1960-2005 ... 140 Tabel 4.9 Hari Pasaran Untuk Pasar-pasar di Daerah Pangandaran

Tahun 1950 – 1985 ... 164 Tabel 4.10 Tempat-tempat Pemasaran Gula Kelapa Hasil Produksi Petani

Penderes di Pangandaran Tahun 1950 – 2005 ... 177 Tabel 4.11 Kisaran Harga Gula Kelapa di Pangandaran Tahun 1973 – 2005 .. 178 Tabel 4.12 Rata - Rata Harga Eceran Sembilan Bahan Pokok Daerah Ciamis

Tahun 1993 – 2002 ... 190 Tabel 4.13 Pendapatan Petani Penderes Gula Kelapa Selama Sehari/


(10)

DAFTAR BAGAN

Bagan 4.1 Proses Standar Pembuatan Gula Kelapa ... 150 Bagan 4.2 Proses Pemasaran Gula Kelapa di Pangandaran

Tahun 1950-1970 ... 167 Bagan 4.3 Proses Pemasaran Gula Kelapa Petani Penderes di Pangandaran

Tahun 1968-2005 ... 174 Bagan 4.4 Susunan Pengurus AGKP Tahun 2003 ... 182 Bagan 4.5 Farm Gate Market Sistem ... 202


(11)

DAFTAR GAMBAR FOTO

Gambar 4.1 Peta Kabupaten Ciamis, Daerah Persebaran Petani Penderes


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pertumbuhan petani penderes di Pangandaran tidak dapat dilepaskan dari buah kelapa (Cocos Nucifera) sebagai komoditas di tanah air. Perkembangan komoditas buah kelapa di tanah air, dipicu dengan tingginya kebutuhan minyak goreng pada sekitar tahun 1960, yang didukung dengan program pemerintah yang membuat Perkebunan Inti Rakyat (PIR) di berbagai daerah. Buah kelapa berupa dagingnya sangat dibutuhkan untuk dibuat kopra dijadikan sebagai bahan baku utama pembuatan minyak goreng (AGKP, 2007 : 2).

Namun, setelah ditemukannya bahan baku (bahan dasar) minyak goreng yang lebih efisien dengan kelapa sawit komoditas buah kelapa mengalami penurunan secara drastis. Buah kelapa tidak lagi diutamakan sebagai bahan baku pembuatan minyak goreng. Hal ini menyebabkan pasokan buah kelapa menjadi berkurang dan berdampak pada harga buah kelapa yang mulai melemah (murah). Akan tetapi, seiring berkembangnya industri makanan di Indonesia seperti pabrik-pabrik kecap di nusantara, baik skala kecil maupun nasional yang kian tumbuh. Kebutuhan akan gula kelapa untuk bahan baku pembuatan kecap meningkat tajam, sehingga banyak masyarakat Pangandaran mendayagunakan pohon kelapa sebagai pohon deresan untuk memperoleh nira sebagai bahan baku gula kelapa (AGKP, 2007 : 2). Petani penderes pun kian tumbuh sebagai kreatifitas usaha warisan yang awalnya hanya dimiliki oleh sedikit orang-orang Pangandaran.


(13)

karakter yang unik. Tenaga petani penderes tumbuh pesat secara alamiah, tidak adanya rekruitment dan penataran khusus terhadap petani penderes (AGKP, 2003 : 2). Proses regenerasinya pun berjalan secara alami dengan pembelajaran petani penderes kepada warga lingkungan sekitarnya. Salah satu ciri bahwa petani penderes tumbuh pesat, dari sekitar tahun 2000 pohon-pohon kelapa di sepanjang tepi pantai-pantai Pangandaran telah banyak yang dideres/disadap. Hal ini juga menjadikan daya tarik tersendiri bagi daerah Pangandaran yang sudah cukup terkenal sebagai daerah kunjungan wisata di Jawa Barat.

Pada awalnya, penderes membuat gula kelapa hanya untuk memenuhi kebutuhan dapurnya saja. Kemudian mengalami kemajuan, gula kelapa di pasarkan lewat warung-warung di desa-desa dan meluas ke pasar-pasar. Lambat laun petani penderes terus berkembang dan gula kelapa semakin banyak di produksi sehingga muncul pula bandar-bandar gula yang menyetok gula kelapa untuk di pasarkan ke kota-kota serta pabrik-pabrik kecap.

Kegiatan menderes tidak lagi menjadi usaha sampingan semata, namun sebagai matapencaharian yang mandiri untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Para penderes memiliki alasannya tersendiri dalam memilih usaha menderes. Bagi yang sudah berumah tangga alasannya lebih baik mencukupi kebutuhan anak istri sehari-hari di kampung dari pada pergi merantau ke kota. Bagi para pemuda yang belum menikah, alasannya karena kebutuhan ekonomi dengan menjadi penderes tidak tertekan dibanding dengan pekerjaan-pekerjaan lain.


(14)

pada perkembangannya dikenal istilah sewa pohon, nge-ons dan menggadai pohon kelapa. Para penyadap tidak lagi hanya menyadap pohon kelapa miliknya, bahkan mulai dari tahun 2000 kebanyakan pohon kelapa sadapannya adalah milik orang lain, tetangganya, maupun perusahaan perkebunan kelapa. Ada beberapa perkebunan kelapa di Pangandaran yang menyewakan pohon kelapanya untuk dideres seperti, PT. Start Trust dan PT. Perkebunan Nusantara VIII Batu Lawang (PTPN VIII). Menurut penuturan penduduk penderes di PTPN VIII sudah ada dari tahun 1990-an.

Aktifitas rutin yang dikerjakan oleh penderes sehari-hari biasanya ialah memanjat pohon kelapa, memangkas mayang (bunga kelapa) untuk diambil niranya dengan sabit khusus yang dinamakan pisau deres. Pekerjaan ini tidak semudah seperti kelihatannya. Dalam memanjat dan memangkas diperlukan fisik yang sehat dan tenaga yang kuat bagi penderes. Keuletan, ketelatenan dan keterampilannya adalah kehebatannya yang sudah cukup terlatih setiap hari. Setelah nira di dapat harus dimatangkan dengan cara dimasak dalam waktu tertentu yang biasanya dikerjakan oleh sang istri penderes, dengan menggunakan alat-alat serta keterampilan menitis atau mencetak gula kelapa supaya laku di jual di pasaran sebagai pemanis padat alami (organik). Hasil produktivitas industrinya penderes ini berperan sebagai sumber pangan masyarakat luas berupa gula kelapa/gula merah yang juga dijadikan sebagai bahan baku pembuatan kecap di pabrik-pabrik.

Rejeki para petani penderes ini tidak selalu berjalan mulus. Saat tiba musim kemarau contohnya, apabila musim kemarau sampai lama mencapai enam


(15)

bulan, maka penderes akan paceklik oleh karena bunga mayang yang biasa tumbuh dan dipangkas tidak tumbuh (mati) sehingga nira tidak keluar. Mereka menamakannya mati wala. Musim kemarau biasanya jatuh pada bulan Februari sampai Agustus, terkadang sampai bulan Oktober karena musim pancaroba (perubahan iklim). Apabila mati wala biasanya oleh penderes pohon sadapannya dibiarkan saja dulu sambil menanti musim penghujan tiba. Akan tetapi, persoalan lainnya juga akan timbul apabila musim hujan datang dan berlangsung lama, pohon kelapa sadapan akan licin untuk dipanjat yang dapat membahayakan bagi keselamatan penderes. Namun, penyebab kecelakaan yang biasanya terjadi bukan hanya karena licinnya batang pohon saja, yaitu akibat penderes lupa dengan bertumpu (memegang) pada batang kelapa yang telah kering saat naik/turun.

Persoalan lainnya yang dihadapi penderes (penyadap) saat musim hujan adalah nira dalam wadah akan tercampur dengan air hujan. Apabila nira tercampur dengan banyak air akan gagal untuk dicetak menjadi gula merah. Namun, menurut penderes dengan upaya-upaya tertentu yang dilakukannya untuk mempertahankan produktifitasnya hal ini tidaklah begitu menjadi soal, oleh karena kebanyakan penderes masih beruntung dapat mengolah niranya menjadi gula kelapa cetak.

Akan tetapi, oleh karena sebab-sebab yang tidak dapat dicegah nira yang telah dimasak bisa mengalami gagal cetak, apabila demikian penderes hanya bisa pasrah menyimpannya di baskom. Bila masih memungkinkan dicetaknya dalam ukuran yang lebih besar berdiameter sekitar sepuluh centimeter, dua kali lebih


(16)

Gula kelapa yang gagal dicetak dalam ukuran normal dinamakan gula gemblung, yang harga terimanya perkilogram rendah dari harga gula kelapa normal karena kualitasnya jelek. Apabila mengalami hal demikian, maka petani penderes merugi tenaga (capai) juga pengeluaran bahan industrinya karena dalam proses memasak nira kelapa sebanding dengan menghabiskan kayu bakar sebagaimana untuk mengolah gula kelapa cetak normal.

Tantangan lainnya yang dihadapi petani penderes dan menjadi salah satu persoalan klasik, yaitu naik turunnya harga gula kelapa (footloose) dari tahun ke tahun yang secara langsung berdampak pada kesejahteraan hidup sosial ekonomi para penderes dan penggunaaan bahan bakar kayu dalam skala besar untuk menjalankan industri rumah tangganya ini. Bahkan, saat petani penderes menghutang kepada bandar gula untuk keperluannya seperti, menggade pohon kelapa, membuat rumah maupun untuk keperluan sehari-hari, tiba-tiba saat piutang akan lunas harga gula kelapa turun drastis. Para penderes merasa kecewa, namun persoalan ini adalah persoalan yang telah berlalu dalam benak para penderes Pangandaran yang terjadi pada kisaran tahun 1993. Petani penderes berharap adanya patokan harga gula kelapa yang jelas.

Dari tahun 2000-an kebelakang para penderes masih sepenuhnya mengandalkan kayu bakar dari hasil mencari di sekitar lingkungannya (kebun-kebun tetangga). Namun seiring waktu berjalan, pekerjaan tersebut hanya menjadi sampingan semata. Kebutuhan akan kayu bakar dalam jumlah besar semakin langka karena bertambah banyaknya rumah penduduk, dan semakin banyaknya penderes yang tersebar di daerah Pangandaran. Adapun, jenis kayu bakar yang


(17)

masih dapat diambil dari lingkungan sekitar adalah kelari (pelepah daun kelapa yang kering), ranting-ranting dari sisa-sisa penebangan pohon besar, tepes (kulit kelapa) dan sisa-sisa kayu bangunan yang tidak terpakai.

Semenjak tahun 2000-an kedepan, para penderes pun terbiasa membeli kayu bakar (palet) dengan ukuran satu mobil kolbak, yang lebih kurang dapat digunakannya dalam jangka waktu satu bulan dengan proses tertentu agar kayu bakar yang dibeli dapat digunakan. Meskipun adanya tantangan-tantangan tersebut, para penderes terus tumbuh berkembang mendayagunakan potensi kekayaan sumber daya alam Pangandaran berupa pohon kelapa sebagai sumber nira untuk memproduksi gula kelapa.

Mengolah nira untuk membuat gula kelapa sudah merupakan matapencaharian utama bagi petani penderes Pangandaran yang sekian lama diminati untuk mencukupi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Namun disamping itu, selain menderes banyak juga yang menggarap lahan pertanian lain sebagai

petani biasa, mengolah sawah dan kebun sebagai pekerjaan musiman. Bagi penderes yang memiliki lahan pertanian lainnya seperti kebun dan sawah

adalah harta warisan dari ayah-ibunya. Banyak juga yang memiliki lahan pertanian dari hasil kerja kerasnya menabung (kukumpul) selama bertahun-tahun menjadi penderes. Meskipun petani penderes tumbuh pesat, namun tidak semua pohon kelapa yang ada di Pangandaran diambil niranya, masih banyak pohon kelapa yang tidak disadap. Dengan begitu, bunga akan menjadi buah kelapa muda yang dapat dijual sebagai kosumsi wisatawan atau warga, dan kelapa tua untuk bibit pohon kelapa baru, pembuatan nata de coco, santan kelapa, serta bahan baku


(18)

di pabrik yang masih bertahan membuat minyak goreng kelapa.

Eksistensi kehidupan sosial ekonomi petani penderes Pangandaran sudah berlangsung sekian lamanya, namun dalam perkembangannya pada tahun 2003, baru dibentuk Lembaga Swadaya Masyarakat berbentuk Asosiasi Gula Kelapa Priangan (AGKP) meliputi wilayah Ciamis, Tasikmalaya, dan Garut. Tugas asosiasi ini mengurusi persoalan-persoalan petani penderes, misalnya, untuk meringankan ketika penderes mengalami musibah kecelakaan, jatuh dari pohon atau terkena nira panas, maupun yang sampai meninggal dunia (AGKP, 2003 : 1). Namun, tidak semua penderes di Pangandaran masuk menjadi anggota AGKP. Oleh karena itu, data pertumbuhan petani penderes Pangandaran dari tahun ke tahun belum dapat dipastikan dengan jelas. Kemudian, sebagai kebijakan pemerintah pada tahun 2004 dibentuk pula Sub Terminal Agribisnis (STA) per-Gula Kelapaan di Pangandaran. Selama itu, tidak pernah ada pendirian sebuah lembaga, misalnya, sebuah Koperasi sebagai wadah penyerap aspirasi petani penderes.

Hal yang sebetulnya penting dan menjadi salah satu latar belakang penulis meneliti perkembangan petani penderes gula kelapa di Pangandaran dalam kajian sosial ekonominya ini ialah, karena jarangnya sumber-sumber tertulis yang dijumpai, utamanya dalam kajian kesejarahan yang berkaitan dengan lika-liku kehidupan petani penderes. Beberapa sumber tertulis yang masih tercecer yang peneliti dapatkan dari lembaga yang bergerak mengurus petani penderes yakni AGKP dan Sub Terminal Agribisnis (STA), juga surat-surat kabar lokal di website perlu disusun lagi sebagai bahan kajian ilmiah untuk memperkaya


(19)

khasanah ilmu pengetahuan.

Adapun sumber-sumber tertulis yang ada masih belum memenuhi syarat untuk dijadikan bahan penulisan tema penelitian sejarah, dalam hal ini sejarah lokal. Kebanyakan sumber-sumber tertulis yang ada hanya berisi tentang informasi kekinian mengenai gula kelapa Pangandaran. Oleh karena itu, untuk mengkaji lebih dalam lagi peneliti melakukan wawancara kepada para penderes, serta pengurus lembaga tersebut guna mendapatkan sumber lisan untuk memperoleh keobjektifan data kajian penelitian ini dengan mengacu pada periodisasi yang ada yang telah diambil oleh peneliti.

Dengan beberapa latar belakang tersebut peneliti merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai sejarah kehidupan sosial ekonomi petani penderes di Pangandaran sehingga diangkatlah judul : “Peranan Petani Penderes Dalam Mengembangkan Industri Gula Kelapa di Pangandaran Tahun 1960-2005”. Alasan peneliti membuat batasan penelitian dari tahun 1960 sebagai awal periode sampai tahun 2005 sebagai akhir priode, dikarenakan pada sekitar tahun 1960 diperkirakan mulai munculnya petani penderes di Pangandaran dan di sekitar tahun 1968 muncul pula bandar gula kelapa yang menerima gula kelapa dari petani penderes di Pangandaran. Meskipun masih kecil yang memasok gula kelapa dalam jumlah yang terbilang masih sedikit pada waktu itu, namun kemudian ada yang dapat bertahan menjadi bandar gula besar sampai sekarang.

Sementara, pembatasan periodisasi pada tahun 2005 ini adalah karena pada tahun tersebut adanya Asosiasi Gula Kelapa Priangan (AGKP) yang sudah bertugas dari tahun 2003 untuk meringankan beban petani penderes. Pada sekitar


(20)

tahun tersebut pula banyak bermunculan ranting-ranting mandiri yang bukan hanya ranting turunan dari Bandar gula kelapa di desa-desa di daerah Pangandaran yang secara langsung mempengaruhi faktor distribusi (pemasaran) gula kelapa secara lebih mudah, efektif dan efisien.

1.2Rumusan dan Batasan Masalah Penelitian

Adapun permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Peranan Petani Penderes Dalam Mengembangkan Industri Gula Kelapa di Pangandaran pada kurun waktu tahun 1960-2005?”.

Agar ruang lingkup pembahasan materi penelitian ini tidak meluas, untuk itu peneliti membuat rumusan dan batasan masalahnya berupa beberapa pertanyaan sebagai fokus kajian penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimana munculnya petani penderes gula kelapa di Pangandaran sebelum industri gula kelapa berkembang pesat?

2. Bagaimana upaya petani penderes di Pangandaran dalam meningkatkan produktifitas industri rumah tangga gula kelapanya tahun 1960- 2005?

3. Bagaimana perubahan sosial-ekonomi yang dialami oleh petani penderes gula kelapa Pangandaran tahun 1960-2005?

4. Bagaimana peranan Lembaga Swadaya Masyarakat dan pemerintah bagi petani penderes gula kelapa di Pangandaran?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarakan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka ada beberapa tujuan yang ingin digapai dari pelaksanaan penelitian ini adalah :


(21)

1. Mengungkapkan awal munculnya petani penderes gula kelapa di Pangandaran sebelum industri gula kelapa berkembang pesat,

2. Mengungkapkan upaya petani penderes di Pangandaran dalam meningkatkan produktifitas industri rumah tangga gula kelapa tahun 1960- 2005,

2. Mengungkapkan perubahan sosial-ekonomi yang dialami oleh petani penderes gula kelapa Pangandaran tahun 1960-2005,

3. Mengungkapkan peranan Lembaga Swadaya Masyarakat dan pemerintah bagi petani penderes gula kelapa di Pangandaran.

1.4 Manfaat Penelitian

Dengan mengkaji mengenai “Bagaimana Peranan Petani Penderes Dalam

Mengembangkan Industri Gula Kelapa di Pangandaran pada tahun 1960-2005?” ini ada beberapa manfaatnya yang diharapkan dapat diambil ialah :

1. Bagi dunia pendidikan, memberikan pemahaman (bacaan) mengenai perkembangan para petani penderes di Pangandaran yang telah eksis dalam rentang waktu yang cukup panjang. Juga, memperkaya dan menambah wawasan historiografi sejarah lokal, utamanya mengenai kehidupan sosial-ekonomi petani penderes gula kelapa di Pangandaran.

2. Bagi petani penderes, diharapkan para petani penderes Pangandaran dapat meningkatkan kualitas produk gula kelapanya (gula merah) sehingga gula kelapa rakyat dapat menjadi komoditas ekspor.

3. Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), diharapkan Asosiasi Gula Kelapa Priangan (AGKP) dapat memaksimalkan perannya sebagai lembaga sosial yang menangani persoalan-persoalan para petani penderes se-Priangan


(22)

(meliputi : Ciamis, Tasikmalaya, dan Garut) yang begitu rentan akan kecelakaan. Juga, AGKP dapat meningkatkan kerjasamanya dengan pemerintah dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam per-Gula Kelapaan untuk menggalakkan pelestarian lingkungan dan khususnya upaya penanaman bibit pohon kelapa unggul.

4. Bagi pemerintah, diharapkan pemerintah (baik kecamatan maupun kabupaten) tidak hanya terfokus mengutamakan pembangunan terhadap sektor Pariwisata Pangandaran saja. Perlu diingat bahwa potensi sektor industri gula kelapa rakyat Pangandaran yang diproduksi oleh petani penderes adalah lahan pajak perindustrian dan perdagangan yang juga cukup besar dan menjanjikan. Oleh karena itu, pemerintah harus memperhatikan sektor Usaha kecil dan Menengah (UKM) industri gula kelapa ini dan menentukan kebijakan-kebijakannya yang objektif dan progresif guna memajukan serta menciptakan tatanan sosial-ekonomi kerakyatan. Juga, pemerintah diharapkan dapat membantu para petani penderes dalam aspek permodalan awal yang selama ini belum ada.

5. Bagi peneliti, menambah wawasan tentang kehidupan para petani penderes gula kelapa di Pangandaran dalam rentang waktu yang cukup panjang.

1.5 Metode dan Teknik Penelitian 1.5.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang peneliti gunakan adalah metode historis atau metode sejarah. Metode sejarah merupakan proses menguji dan menganalisis secara kritis terhadap rekaman serta peninggalan masa lampau dan menuliskan


(23)

(Gottshalk, 1975 : 32).

Adapun tahapan dalam penelitian sejarah menurut Ismaun (2005: 48-50) terdiri dari empat langkah penting sebagai berikut :

1. Heuristik, yaitu upaya mencari, menemukan, dan mengumpulkan data yang digunakan sebagai sumber sejarah, baik berupa sumber tulisan maupun nara sumber lisan. Dalam kajian ini peneliti melakukan pencarian sumber tulisan berupa buku, dokumen maupun artikel. Realisasi tahap ini peneliti lakukan dengan mencari ke toko-toko buku, lembaga yang terkait dengan tema penelitian, serta searching lewat media internet yang saat ini sedang booming. Dalam mengumpulkan sumber lisan, peneliti langsung melakukan wawancara kepada beberapa petani penderes/ penyadap dan pengurus lembaga yang terkait dengan tema penelitian ini.

2. Kritik sumber, merupakan langkah selanjutnya setelah sumber-sumber sejarah (berupa tulisan dan lisan) telah ditemukan. Kritik sumber adalah analisis terhadap ontentisitas sumber-sumber sejarah, baik bentuknya (kritik eksternal) maupun isi-nya (kritik internal). Kritik eksternal melihat bentuk dari sumber sejarah, terutama untuk keaslian sumber dilihat dari : siapa penulisnya, kapan tahun terbitnya, cetakan ke berapa, edisi ke berapa, dan penerbitnya (instansi apa). Kritik internal ditujukan untuk menilai kredibilitas sumber dengan menganalisis isi yang terkandung. Dalam hal ini peneliti membandingkan isi dalam sumber-sumber sejarah dengan sumber lainnya dengan maksud agar fakta-fakta sejarah yang diperoleh valid untuk mendukung pembahasan yang akan dikaji.


(24)

3. Interpretasi, adalah proses pemberian penafsiran atas fakta-fakta sejarah yang dihasilkan melalui tahap kritik sumber. Proses interpretasi dilakukan untuk memberikan makna pada fakta-fakta sejarah agar mendukung peristiwa yang dikaji. Pada langkah ini peneliti mengkaji dan memahami dengan menghubungkan beberapa fakta menjadi suatu kesatuan makna yang sejalan dengan peristiwa tersebut.

4. Historiografi, merupakan tahap terakhir dari metode penelitian sejarah dalam skripsi ini. Historiografi adalah kegiatan penulisan sejarah setelah peneliti melakukan interpretasi terhadap fakta-fakta sejarah yang ditemukan dari sumber tulisan maupun lisan. Fakta-fakta yang telah melalui tahap interpretasi kemudian disusun menjadi satu kesatuan sejarah (dalam kajian ini sejarah lokal) yang utuh sehingga terbentuklah suatu historiografi. Dalam proses ini, penulis akan mengerahkan seluruh daya pemikiran dan menuangkannya ke dalam skripsi dengan tujuan untuk menghasilkan suatu sintesis dari seluruh penelitian yang telah dilakukan. Untuk mendukung hasil sintesis, peneliti menggunakan pendekatan interdisipliner yaitu pendekatan yang menggunakan disiplin ilmu serumpun yang relevan dan terpadu. Dalam hal ini, penulis mengambil disiplin ilmu sosial yang berupa ilmu ekonomi, sosiologi dan politik.

1.5.2 Teknik Penelitian

Adapun teknik-teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :


(25)

1. Studi kepustakaan, yaitu mencari sumber yang berupa buku dan artikel yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Setelah sumber-sumber tertulis di dapat kemudian dikaji untuk memperoleh solusi dalam memecahkan permasalahan penelitian.

2. Studi kearsipan/ dokumentasi. Studi kearsipan adalah mencari sumber arsip dan dokumen-dokumen mengenai tema penelitian kepada lembaga yang terkait dengan tema penelitian berupa catatan singkat maupun foto-foto masa lampau. Observasi adalah mengamati secara langsung proses kegiatan petani penderes mengolah nira menjadi gula kelapa di lapangan. Dari hasil observasi akan didapatkan foto-foto, dan keterangan-keterangan yang belum terdapat pada saat studi kepustakaan, studi kearsipan dan wawancara.

3. Wawancara yakni teknik pengambilan data dengan cara melakukan interview langsung kepada nara sumber yang mempunyai keterkaiatan dengan tema penelitian. Wawancara dapat dilakukan secara terstruktur dengan terlebih dahulu mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan maupun tidak terstruktur (tidak dipersiapkan atau secara spontan). Pertanyaan terstruktur digunakan agar peneliti lebih mudah dan fokus terhadap pokok bahasan penelitian. Sedangkan pertanyaan tidak terstruktur guna melengkapi data yang belum ada dalam pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya ketika peneliti mendapatkan inspirasi di saat melakukan wawancara.

1.6 Struktur Organisasi Skripsi


(26)

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab pertama ini menguraikan beberapa pokok pikiran yang berkaitan dengan latar belakang masalah sebagai suatu pengantar pembahasan, rumusan dan batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN

Bab kedua berisikan mengenai penjabaran literatur-literatur/sumber tertulis (sumber buku) yang berkaitan/menunjang dengan tema penelitian. Adapun beberapa sumber yang berhubungan dengan tema penelitian didapatkan dari disiplin ilmu-ilmu sosial seperti : sejarah sebagai pendidikan, sosiologi dan ekonomi. Beberapa sumber yang relevan yang peneliti dapatkan dijabarkan kedalam judul sub-sub bab seperti : sejarah lokal sebagai wahana pendidikan, gula kelapa rakyat, industri kecil atau industri rumah tangga (home industri), kebijakan pemerintah terhadap industri kecil, perubahan sosial-ekonomi masyarakat, dan kehidupan petani di Indonesia. Dalam tinjauan pustaka ini juga akan diimbuhkan pengetahuan peneliti terhadap bahasan dalam sub judul guna melengkapi penjelasan kajian.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ketiga menjelaskan mengenai langkah-langkah, metode dan teknik penelitian yang peneliti gunakan. Langkah-langkah awal penelitian yang dilakukan oleh peneliti ialah presentasi proposal penelitian, bimbingan kepada dosen pembimbing, mengurus surat-surat ijin penelitian sampai teknis penelitian. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian sejarah lokal ini adalah metode


(27)

historis. Penelitian historis (historical research) adalah suatu usaha untuk menggali fakta-fakta sejarah (khususnya sejarah lokal), yang kemudian dianalisis (diinterpretasikan) dan dijadikan bahan historiografi (penulisan sejarah) sampai menyusun kesimpulan dari hasil penelitian kehidupan masa lampau.

Untuk memudahkan penjelasan maka dalam bab ke tiga ini pemaparannya disusun secara sistematis dari mulai persiapan penelitian, menentukan tema, penyusunan rancangan penelitian, bimbingan dan konsultasi, mengurus perijinan, menyiapkan perlengkapan presentasi, dan pelaksanaan penelitian untuk mencari sumber-sumber (heuristik), baik sumber tertulis maupun sumber lisan. Setelah diperoleh sumber-sumber yang relevan (baik tertulis maupun lisan) dilakukan kritik/analisis terhadap sumber tersebut, selanjutnya peneliti melakukan interpretasi yang kemudian dituangkan dalam penulisan sejarah (historiografi).

BAB IV KEHIDUPAN PETANI PENDERES GULA KELAPA DI PANGANDARAN 1960-2005

Bab keempat berisi mengenai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam rumusan masalah pada bab pertama. Bab keempat ini merupakan hasil dari penelitian atau historiografi. Historiografi adalah hasil penulisan sejarah yang sebelumnya telah melewati beberapa tahapan metodologi penelitian sejarah, yakni heuristik, kritik/analisis sumber, dan interpretasi.

Adapun yang akan dipaparkan dalam bab empat ini adalah pertama, mengungkapkan awal munculnya petani penderes gula kelapa di Pangandaran sebelum industri gula kelapa berkembang pesat; kedua, mengungkapkan upaya petani penderes di Pangandaran dalam meningkatkan produktifitas industri rumah


(28)

tangga gula kelapanya tahun 1960-2005; ketiga, mengungkapkan perubahan sosial-ekonomi yang dialami oleh petani penderes Pangandaran tahun 1960-2005; dan keempat, mengungkapkan peranan Lembaga Swadaya Masyarakat dan pemerintah bagi petani penderes gula kelapa di Pangandaran.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab kelima atau bab terakhir merupakan kesimpulan peneliti dari hasil penelitian. Kesimpulan dapat diartikan sebagai interpretasi atau analisis peneliti dengan mengacu pada keseluruhan hasil penelitian (historiografi) yang juga merupakan interpretasi peneliti setelah melakukan kritik terhadap sumber-sumber data yang didapat. Kesimpulan bukan suatu ikhtisar atau rangkuman dari hasil penelitian. Kemudian pada bagian sub judul saran, peneliti akan mencoba untuk memberikan masukan atau rekomendasi yang mudah-mudahan dapat berguna bagi perkembangan industri gula kelapa di Pangandaran. Pemberian rekomendasi mengacu pada hasil kesimpulan yang berisi persoalan-persoalan penting yang masih perlu dipecahkan oleh pihak yang berkepentingan dalam bidang pergula kelapaan di Pangandaran.

DAFTAR PUSTAKA

Halaman daftar pustaka adalah halaman yang memuat daftar sumber-sumber yang digunakan oleh peneliti dalam pembahasan penelitian, baik sumber-sumber tertulis maupun nara sumber lisan. Pencantuman sumber tertulis memuat: nama penulis, tahun terbit, judul buku/makalah/artikel/karya tulis lainnya, kota tempat penerbit serta nama penerbit. Untuk nara sumber lisan pada umumnya mencantumkan : nama nara sumber, umur, pekerjaan, dan tanggal wawancara.


(29)

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Halaman lampiran adalah halaman yang memuat dokumen-dokumen yang menunjang untuk melengkapi hasil penelitian (historiografi). Pada umumnya halaman ini memuat surat-surat ijin penelitian, foto-foto, dan peta wilayah penelitian.


(30)

BAB III

METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

Bab ketiga ini menguraikan mengenai metode dan teknik penelitian yang penulis gunakan dalam mengkaji permasalahan penelitian skripsi yang berjudul

Peranan Petani Penderes Dalam Mengembangkan Industri Gula Kelapa Di Pangandaran Tahun 1960-2005.”

Sebagaimana judulnya kajian penelitian skripsi ini termasuk ke dalam sejarah lokal, yang mengkaji tentang kehidupan masyarakat pada masa lalu yang berada pada ruang lingkup lokal/kecil Pangandaran, yang secara administratif merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Meskipun ruang lingkup penelitian ini kecil yang dikategorikan sebagai sejarah lokal, namun metode dan teknik penelitiannya pada dasarnya sama dengan penelitian sejarah pada umumnya yang lebih luas. Selain itu dalam penelitian lokal ini penulis menggunakan disiplin ilmu-ilmu sosial lainnya yang menunjang untuk membahas permasalahan penelitian.

Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan pokok penelitian “Bagaimana Peranan Petani Penderes Dalam Mengembangkan Industri Gula Kelapa Di Pangandaran pada kurun waktu tahun 1960-2005,” adalah metode historis (metode sejarah). Metode historis menurut sejarawan Louis Gotschalk (1986 : 32) merupakan proses menguji dan menganalisa secara kritis, rekaman dan peninggalan masa lampau. Selanjutnya Abdurachaman Surjomihardjo (1979 : 133) menerangkan bahwa metode sejarah adalah proses yang dilaksanakan oleh


(31)

sejarawan dalam usaha mencari, mengumpulkan, dan menyajikan fakta sejarah serta tafsirannya dalam susunan yang teratur.

Lebih jauh lagi Siswojo (1987 : 75) mengutarakan bahwa penelitian historis (historical research) adalah suatu usaha untuk menggali fakta-fakta dan menyusun kesimpulan dari peristiwa-peristiwa masa lampau. Dari data dan fakta inilah akhirnya diusahakan untuk memahami situasi sekarang dan apa yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Pengertian tersebut sejalan dengan paradigma baru pendidikan sejarah yang dikemukakan oleh Ismaun ( 2005 : 241 -247), sejarah harus diarahkan ke masa depan dengan prediksi tentang perubahan apa yang akan mungkin terjadi nanti berdasarkan analisis kondisi dan kecenderungan yang dapat diamati dewasa ini. Wawasan sejarah harus terarah untuk lebih mengutamakan masa depan, tanpa mengabaikan wawasan masa lampau sebagai pelajaran dari pengalaman yang berharga.

Sementara menurut Gilbert J. Carraghan (Muhammad Nur, 2001 : 74) menyatakan bahwa metode penelitian sejarah, atau lazim disebut dengan metode sejarah, adalah seperangkat aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis, dan menyajikan sintesa dari hasil-hasil yang dipakai dalam bentuk tertulis.

Menurut Helius Sjamsuddin (2007, 85-239), tahapan dalam pelaksanaan metode historis mencakup langkah-langkah sebagai berikut :

1. Heuristik (kegiatan pengumpulan sumber-sumber sejarah), dalam hal ini

penulis mengumpulkan sumber-sumber yang diperlukan untuk bahan penelitian sejarah;


(32)

2. Kritik sumber, yaitu melakukan penyaringan secara kritis, baik terhadap

bahan materi (ekstern) sumber maupun terhadap substansi (isi) sumber; 3. Interpretasi, yaitu memberikan penafsiran terhadap data-data yang

diperoleh selama penelitian berlangsung secara kritis;

4. Historiografi, merupakan proses penyusunan dan penuangan seluruh hasil

penelitian ke dalam bentuk tulisan yang menghasilkan sintesis.

Adapun teknik penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah teknik studi kepustakaan, studi dokumentasi dan wawancara kepada beberapa nara sumber yang memiliki memori/ingatan sejarah tentang kehidupan petani penderes di Pangandaran pada kurun waktu kajian. Teknik wawancara terutamanya juga digunakan untuk menanyakan langsung kepada petani penderes mengenai kehidupan masalalu mereka dan para penderes-penderes lainnya yang merasakan langsung bagaimana kehidupan mereka berjalan. Peneliti juga menggunakan teknik browsing lewat media internet pada www.google.co.id guna mendapatkan informasi-informasi mengenai kajian penelitian.

Sementara dalam penelitian ini, peneliti juga menggunakan pendekatan interdispiliner dengan dibantu oleh disiplin ilmu-ilmu sosial lainnya yang menunjang untuk membahas permasalahan penelitian, seperti sosiologi, politik dan ekonomi. Dengan dibantu ilmu-ilmu sosial ini menjadikan sudut pandang dan permasalahan sejarah semakin menarik untuk dikaji karena memungkinkan suatu masalah dapat dikaji dari berbagai dimensi ilmu. Pendekatan interdisipliner ini dapat diartikan juga suatu gejala sejarah ditampilkan secara utuh dan menyeluruh. Berdasarkan pada pedoman tahapan metode penelitian historis yang telah


(33)

dipaparkan di atas, maka langkah kerja penelitian tersebut akan dijabarkan ke dalam tiga bagian tahapan, antara lain yaitu : persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian dan laporan penelitian.

3.1 Persiapan Penelitian

Tahap persiapan penelitian ini merupakan langkah awal yang dilakukan oleh penulis agar penelitian berjalan lancar dan sukses. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan peneliti pada tahap ini antara lain dijabarkan sebagai berikut :

3.1.1 Penentuan Tema Penelitian

Tema penelitian ini adalah kelanjutan dari sebuah tugas pada mata kuliah Seminar Penulisan Karya Ilmiah yang diberikan oleh Dosen Dra. Murdiyah Winarti, M.Hum dan Drs. Ayi Budi Santosa, M.Si untuk belajar menyusun proposal penelitian pada semester ganjil tahun 2010/2011, di Jurusan Pendidikan Sejarah UPI Bandung. Langkah awal yang penulis lakukan dalam menyusun tugas proposal penelitian adalah menentukan topik atau tema yang akan dikaji.

Setelah didapatkan tema penelitian yaitu tentang “Perkembangan kehidupan sosial ekonomi petani penderes dan industri gula kelapanya di

Pangandaran” untuk menyusun tugas proposal penelitian, penulis berusaha mencari sumber-sumber yang berkaitan dengan tema tersebut. Dalam pencarian sumber penulis melakukan wawancara sederhana kepada warga sekitar juga beberapa petani penderes gula kelapa di Pangandaran, yang kemudian menghantarkan penulis untuk mencari sumber-sumber tertulis di Lembaga Swadaya Masyarakat yang mengurusi petani penderes se-Priangan. Kemudian


(34)

setelah sumber-sumber lisan dan tulisan di dapatkan penulis berusaha menyusun tugas proposal penelitian yang dipresentasikan pada mata kuliah tersebut. Ketika presentasi tugas proposal peneliti mendapat masukan-masukan dan memperoleh motivasi dari kedua dosen yang bersangkutan bahwa proposal tersebut dapat dikembangkan sebagai sebuah skripsi.

Langkah selanjutnya penulis memperbaiki tugas proposal penelitian dan mengajukan tema penelitian ini ke Tim Pertimbangan Penulisan Skripsi (TPPS) untuk seminar proposal skripsi. Pengajuan tema penelitian ini disetujui oleh TPPS dengan Keputusan Nomor 070/ TPPS/ JPS/ 2010 dengan pembimbing Ibu Dra. Murdiyah Winarti, M.Hum dan Ibu Dra. Yani Kusmarni, M.Pd. Setelah disetujui penulis mempresentasikan dalam sebuah seminar yang telah dijadwalkan pada hari Rabu, 13 Oktober 2010 pukul 09.00 s.d selesai di Lab. Pendidikan Sejarah Lt. IV. Dalam presentasi proposal penelitian skripsi, penulis pun mendapatkan masukan-masukan dari dosen pembimbing Ibu Dra. Yani Kusmarni dan dosen-dosen jurusan pendidikan sejarah lainnya untuk memperbaiki proposal penelitian skripsi ini.

Usaha selanjutnya penulis pun memperbaiki judul, latar belakang, dan rumusan masalah proposal penelitian setelah mendapatkan masukan dari bimbingan Ibu Murdiyah Winarti yang kemudian di kembangkan ke dalam Bab I dalam skripsi ini. Namun oleh karena kendala-kendala teknis penulis sendiri pengerjaan skripsi ini menjadi tertunda.

3.1.2 Penyusunan Rancangan Penelitian


(35)

acuan dalam penyusunan laporan penelitian. Rancangan penelitian ini berupa proposal penelitian skripsi yang telah diajukan kepada TPPS untuk dipresentasikan dalam seminar proposal penelitian skripsi sebagaimana yang telah dipaparkan diatas. Rancangan penelitian berguna bagi penulis untuk memudahkan dalam menyusun pembahasan skripsi.

Adapun proposal skripsi yang dibuat oleh penulis pada dasarnya memuat bagian-bagian rancangan skripsi yang mencakup antara lain :

1. Judul Skripsi

2. Latar Belakang Masalah 3. Rumusan dan Batasan Masalah 4. Tujuan Penelitian

5. Manfaat Penelitian 6. Tinjauan Kepustakaan

7. Metode dan Teknik Penelitian 8. Sistematika Penulisan

9. Daftar Pustaka

3.1.3 Bimbingan dan Konsultasi

Bimbingan sangat diperlukan sebagai sarana konsultasi penulis dalam proses penelitian untuk menentukan langkah yang tepat dalam penyusunan skripsi. Sesuai dengan ketetapan TPPS, dalam proses bimbingan penulis dibimbing oleh dua dosen pembimbing yaitu, Ibu Dra. Murdiyah Winarti, M.Hum sebagai pembimbing I dan Ibu Dra. Yani Kusmarni, M.Pd sebagai pembimbing II secara berkelanjutan. Proses bimbingan ini dilakukan dalam jadwal bimbingan


(36)

yang sebelumnya diberitahukan oleh dosen pembimbing mengenai kapan hari biasanya membimbing, juga penulis mencaritahu sendiri mengenai jadwal bimbingan dosen pembimbing apabila belum diberitahukan sebelumnya. Sebelum melakukan bimbingan penulis juga menghubungi pembimbing dengan cara mengirim pesan supaya bimbingan berjalan efektif dan efisien.

Dalam pelaksanaannya sebelum melakukan bimbingan penulis menyusun kerangka bimbingan yang dibuat perbab untuk diserahkan kepada pembimbing. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal proses bimbingan ini dilakukan secara berkesinambungan antara pertemuan penulis dengan pembimbing sesuai dengan jadwal bimbingannya. Hasil bimbingan berupa koreksi, kritik dan saran dari pembimbing kemudian dicatat oleh penulis sebagai acuan dalam memperbaiki penyusunan penulisan skripsi ini. Selain itu hasil bimbingan juga dicatat oleh pembimbing dalam lembar frekuensi bimbingan dan ditandatangai oleh pembimbing sebagai bukti penulis telah melakukan bimbingan.

3.1.4 Mengurus Perizinan

Untuk memudahkan proses penelitian, penulis memerlukan surat perijinan untuk lembaga-lembaga dan instansi-instansi yang dikunjungi yang pada penelitian tugas proposal sebelumnya pun ditanyakan oleh lembaga terkait. Oleh karena itu dibuat surat izin pengantar dari Dekan FPIPS UPI Bandung yang ditujukan kepada :

1. Kepala Asosiasi Gula Kelapa Priangan (AGKP) di Kecamatan Pangandaran; 2. Kepala Dinas Sub Terminal Agribisnis (STA) di Kecamatan Parigi;


(37)

3.1.5 Menyiapkan Perlengkapan Penelitian

Untuk menunjang proses kelancaran dan kesuksesan penelitian serta untuk dokumentasi penelitian yang dilakukan peneliti terlebih dahulu menyiapkan perlengkapan penelitian.

Adapun perlengkapan penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini antara lain :

1. Surat izin penelitian dari Dekan FPIPS UPI Bandung; 2. Catatan Lapangan (Field Note);

3. Instrumen Wawancara; 4. Kamera Digital.

3.2. Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian merupakan faktor yang penting dari rangkaian proses penelitian dalam rangka mendapatkan data dan fakta yang dibutuhkan. Pada tahap ini penulis menjelaskan secara rinci mengenai heuristik, kritik, interpretsi dan historiografi. Pada dasarnya peneliti bekerja keras dalam mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang berhubungan dengan kajian penelitian ini, baik sumber tertulis maupun sumber lisan. Kemudian penemuan sumber tertulis di analisis serta ditafsirkan makna yang tersurat dan tersirat, yang kemudian dituliskan dalam bentuk laporan hasil penelitian, skripsi.

3.2.1 Heuristik

Heuristik merupakan tahap awal yang dilakukan penulis dalam melakukan penelitian ini. Pada tahap ini penulis berusaha mencari dan mengumpulkan


(38)

sumber-sumber baik tertulis maupun lisan yang berkaitan dengan perkembangan kehidupan sosial ekonomi petani penderes dan industri gula kelapanya di Pangandaran tahun 1960-2005.

Menurut pendapat Ernst Bernheim (dalam Muhammad Nur, 2001 : 75), dikatakan bahwa heuristik merupakan tahapan dalam mencari, menemukan dan mengumpulkan sumber-sumber yang berupa jejak-jejak sejarah. Heuristik (heuristics), ialah sebagai langkah awal dalam bahasa Jerman Quellenkunde, sebuah kegiatan mencari sumber-sumber untuk mendapatkan data-data, atau materi sejarah, atau evidensi sejarah (Carrad, 1992: 2-4; Cf, 1950: 281 dalam Helius Sjamsuddin, 2007 : 85-239).

Dalam mencari dan mengumpulkan sumber-sumber penulis juga menggunakan teknik penelitian seperti studi kepustakaan, studi dokumentasi dan teknik wawancara yang mengharuskan peneliti melakukan survei langsung ke lokasi penelitian untuk mengamati kondisi sosial ekonomi petani penderes.

Teknik studi kepustakaan peneliti lakukan dengan mencari sumber-sumber tertulis berupa buku-buku di Toko-toko buku di Bandung seperti di Palasari, Dewi Sartika, Toga Mas dan pusat perbukuan Gramedia. Dari perburuan literatur ini ada beberapa buku yang ditemukan yang menunjang kajian penelitian, namun selebihnya peneliti banyak tidak menemukan sumber-sumber yang relevan untuk mengungkapkan kehidupan sosial ekonomi petani penderes dan industri gula kelapanya di Pangandaran tahun 1960-2005. Penulis juga melakukan studi kepustakaan di perpustakaan daerah wilayah Jawa Barat Jalan Soekarno Hatta No. 629 dan perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung untuk


(39)

mencari literatur berupa buku serta kajian skripsi yang membahas mengenai daerah Pangandaran, dan industri kecil. Selain itu penulis juga melakukan studi kepustakaan lewat media internet dengan mencari artikel-artikel atau nsumber tertulis lainnya yang berhubungan dengan petani penderes gula kelapa di Pangandaran.

Hasil dari teknik studi kepustakaan ini juga telah dijabarkan dalam bab dua tinjauan pustaka dalam skripsi ini. Hasil dari studi kepustakaan tersebut di jelaskan dalam sub-sub judul yaitu : sejarah lokal sebagai wahana pendidikan, gula kelapa rakyat, industri kecil atau industri rumah tangga (home industri), kebijakan pemerintah terhadap industri kecil, perubahan sosial ekonomi masyarakat, dan kehidupan petani di Indonesia.

Sementara dalam studi dokumentasi peneliti berusaha mencari catatan-catatan yang ada di lembaga yang bergerak di bidang sosial ekonomi yang mengurus petani penderes gula kelapa seperti : Lembaga Swadaya Masyarakat Asosiasi Gula Kelapa Priangan (AGKP) di Jalan Raya Cikembulan dalam pasar Cikembulan Pangandaran, lembaga dinas yang didirikan oleh pemerintah Sub Terminal Agribisnis Pergulakelapaan (STA) di Kecamatan Parigi dan PT. Perkebunan Nusantara VIII Batu Lawang (PTPN VIII) yang terkait dengan kehidupan penderes di Kecamatan Cimerak. Pada awalnya peneliti mendapatkan informasi tersebut dari para penderes serta warga sekitar dan kemudian menanyakan alamatnya juga peranan lembaga tersebut. Teknik dokumentasi juga dilakukan penulis sendiri dengan mengambil foto-foto para petani penderes di Pangandaran oleh karena dalam lembaga tersebut tidak ditemukan dokumentasi


(40)

mengenai hal ini. Apabila ada dokumentasi foto-foto dari sumber tertulis lainnya yang masih relevan dengan kajian penelitian ini, peneliti juga mengambil dokumentasi tersebut sebagai lampiran dalam skripsi ini.

Untuk mengetahui perkembangan petani penderes dan dampaknya bagi industri gula kelapa di Pangandaran tahun 1960-2005, sumber utama yang digunakan oleh penulis lebih ke arah sumber lisan (oral histori) yang diperoleh melalui teknik wawancara kepada orang-orang yang terlibat ataupun mengetahui kondisi petani penderes dan industri gula kelapanya. Sedangkan sumber-sumber tertulis lebih digunakan sebagai pendukung sumber-sumber lisan untuk menjawab hal-hal yang bersifat umum pada penellitian ini. Selaian mendapatkan sumber-sumber lisan dari hasil wawancara sendiri, peneliti juga mengambil sumber-sumber lisan dari sumber tertulis yang telah dilakukan peneliti lainnya, yang masih berhubungan atau nbisa dipakai dalam kajian penelitian skripsi ini.

3.2.2. Kritik Sumber

Setelah mendapatkan sumber tertulis dan sumber lisan dari lapangan, tahap selanjutnya penulis harus terlebih dahulu melakukan kritik sumber atau analisis. Dalam melakukan kritik sumber penulis harus berpikir kritis dalam menganalisis sumber-sumber untuk memecahkan permasalahan penelitian. Kritik sumber dilakukan dengan cara kritik eksternal maupun internal. Kritik eksternal biasanya untuk melakukan verifikasi atau pengujian atau menilai otentisitas sumber sejarah. Sedangkan kritik internal adalah untuk menilai kredibilitas sumber dengan mempersoalkan aspek “dalam” yaitu isi dari sumber: kesaksian testimoni, kemampuan pembuatnya, tanggungjawab dan moral penulisnya. Kritik sumber


(41)

pada umumnya dilakukan terhadap sumber-sumber pertama. Kritik ini meliputi verifikasi sumber yaitu pengujian mengenai kebenaran atau ketepatan dari sumber itu (Sjamsuddin, 2007 : 130-154). Pada tahap kritik sumber ini penulis berusaha menganalisis sumber-sumber yang ditemukan yang menunjang terhadap kajian penelitian seperti buku-buku sosiologi, ekonomi, dan industri.

Menurut Helius Sjamsuddin (2007 : 131-154), fungsi kritik sumber bagi sejarawan erat kaitannya dengan tujuan sejarawan itu dalam mencari kebenaran. Pada tahap ini, sejarawan seringkali dihadapkan pada kondisi untuk membedakan apa yang benar dan apa yang salah serta apa yang mungkin dan apa yang meragukan. Pada dasarnya kritik eksternal merupakan upaya untuk mengkaji otensitas dan integritas sumber sejarah. Sedangkan kritik internal merupakan kebalikan dari kritik eksternal. Kritik internal lebih menekankan kritiknya pada isi (content) dari suatu sumber sejarah.

Kritik eksternal juga bisa diartikan sebagai suatu cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek luar dari sumber sejarah yang telah di dapat. Selanjutnya Helius Sjamsuddin (2007, 132-143) mengungkapkan bahwa kritik eksternal ialah suatu penelitian atas asal-usul dari sumber, suatu pemeriksaaan atas catatan atau peninggalan itu sendiri untuk mendapatkan semua informasi yang dibutuhkan. Fungsi utama dari kritik eksternal ialah memeriksa sumber sejarah atas otentisitas dan integritas dari sumber itu. Sumber sejarah dikatakan otentik atau asli jika itu benar-benar merupakan produk dari orang yang dianggap sebagai pemiliknya. Sedangkan integritas disini apakah sumber itu tetap terpelihara otentisitasnya selama tranmisi dari saksi mata aslinya sampai


(42)

kepadanya. Apakah kesaksian yang telah diberikan ketika ditransmisikan tidak mengalami perubahan-perubahan. Sedangkan kritik internal ialah sebagaimana yang disarankan oleh istilahnya lebih menekankan aspek dalam yaitu isi dari sumber yang meliputi kesaksian.

3.2.2.1 Kritik terhadap Sumber Tertulis

Setelah sumber-sumber tertulis terkumpul, maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah mengkritik atau menganalisis terlebih dahulu apakah sumber tersebut layak atau tidak untuk digunakan dalam memecahkan masalah penelitian. Adapun sumber-sumber tertulis yang penulis dapatkan ialah buku-buku, dokumen, dan artikel. Kritik terhadap sumber-sumber tertulis ini dilakukan dengan cara kritik eksternal dan kritik internal.

Menurut Ismaun (2005 : 50), kritik eksternal atau kritik luar untuk menilai otentisitas sumber sejarah. Sumber yang otentik tidak mesti harus sama dengan sumber dan isi tulisan dalam dokumen harus sembunyi dan sama dengan sumber aslinya, baik menurut isinya yang tersurat maupun yang tersirat. Jadi sumber otentik bisa juga salinan atau turunan dari aslinya. Dokumen otentik isinya tidak boleh dipalsukan, tetapi otentisitasnya belum tentu memberi jaminan untuk dapat dipercaya. Dalam kritik ekstern dipersoalkan bahan dan bentuk sumber, umur dan asal dokumen, kapan dibuat (sudah lama atau belum lama sesudah terjadi peristiwa yang diberitakan), dibuat oleh siapa, instansi apa, atau atas nama siapa. Sumber itu asli atau salinan, dan masih utuh seluruhnya atau sudah berubah. Pada dasarnya kritik eksternal ini mempertanyakan dimana, kapan dan oleh siapa sumber itu ditulis. Peneliti melakukan kritik eksternal untuk sumber tertulis


(43)

dengan cara mengetahui tahun terbit, penerbit, dan oleh siapa buku itu ditulis. Kritik eksternal juga bisa dilakukan dengan mencermati edisi buku, cetakannya, gaya bahasa, ejaan, kapan dan siapa pengarangnya. Dalam pelaksanaanya penulis tidak melakukan kritik ekstenal ini secara ketat karena sudah yakin akan keaslian buku atau dokumen tersebut.

Sementara kritik internal yang dilakukan oleh peneliti ialah dengan cara menilai kredibiltas dengan mempersoalkan isinya, apakah fakta-fakta yang tersurat itu dapat dijadikan sebagai sumber dalam memecahkan masalah kajian penelitian. Menurut Ismaun (2005 : 50), menerangkan bahwa kritik intern atau

“kritik dalam” untuk menilai kredibiltas sumber dengan mempersoalkan isinya, kemampuan pembuatannya, tanggung jawab dan moralnya. Isinya dinilai dengan membandingkan kesaksian di dalam sumber dengan kesaksian-kesaksian di dalam sumber lain. Kemudian dipungut fakta-fakta sejarah melalui perumusan data yang didapat, setelah diadakan penelitian terhadap evidensi-evidensi dalam sumber. Tahap Kritik Internal ini menilai isi atau fakta-fakta yang terkandung dalam sebuah sumber apakah relevan dan dapat diandalkan (reliable). Metode kritik sumber eksternal dan internal ini dirintis oleh sejarawan Jerman yang berasal dari Denmark, yaitu George Niebuhr (1746- 1831).

3.2.2.2 Kritik terhadap Sumber Lisan

Sumber lisan yang telah terkumpul dari lapangan, juga harus dikritik atau dianalisis mengenai kebenaran data dan informasinya. Sumber lisan ini diperoleh dari teknis wawancara yang dilakukan penulis kepada beberapa nara sumber, baik wawancara yang terstruktur maupun tidak terstruktur. Wawancara terstruktur


(44)

dilakukan penulis dengan cara mempersiapkan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada nara sumber. Sedangkan wawancara tidak terstruktur ialah teknis wawancara yang secara langsung dilakukan oleh penulis tanpa mempersiapkan pertanyaan terlebih dahulu. Wawancara tidak terstruktur ini sebagai pelengkap dalam memperoleh sumber lisan. Dalam wawancara tidak terstruktur sebaiknya dilakukan dengan tepat agar nara sumber dapat menangkap pertanyaan dengan jelas. Adapun kritik terhadap sumber lisan ini juga menggunakan teknik kritik eksternal dan kritik internal.

Dalam kritik eksternal terhadap sumber lisan, untuk mendapatkan sumber lisan yang relevan maka penulis terlebih dahulu mencari tahu dan menganalisis siapa saja orang yang akan dijadikan nara sumber untuk diwawancarai. Apakah calon nara sumber mengetahui atau mengalami mengenai kehidupan petani penderes dan industri gula kelapanya di Pangandaran dalam kurun waktu 1960-2005 yang menjadi fokus kajian skripsi ini. Kritik eksternal terhadap sumber lisan ini pada dasarnya mencermati dari indentitas nara sumber, riwayat hidupnya, usia, dan menganalisis apakah beliau ingatannya masih kuat atau tidak pikun sehingga informasi yang diberikannya itu adalah informasi yang utuh berdasarkan pengalaman atau pengetahuannya. Dalam melakukan kritik eksternal sumber lisan ini, penulis juga banyak dibantu oleh nara sumber yang telah diwawancarai yang menunjukkan siapa saja yang dapat diwawancarai lebih lanjut guna mendapatkan sumber lisan yang relevan.

Adapun beberapa nara sumber yang telah penulis wawancarai adalah petani penderes, pengurus AGKP, kepala STA, pengurus PTPN VIII di Cimerak


(45)

dan warga sekitar yang mengetahui kehidupan sosial ekonomi petani penderes. Wawancara kepada petani penderes sendiri dilakukan karena petani penderes adalah kajian utama dalam skripsi ini. Dalam memilih nara sumber ini peneliti menimbang secara ketat dengan mencermati riwayat hidup petani penderes, apakah sudah lama menekuni usahan membuat gula kelapa atau masih baru belajar. Oleh karena kajian penelitian ini adalah kajian sejarah, menganalisis riwayat hidup nara sumber sangat diperlukan guna mendapatkan fakta-fakta sejarah tentang kehidupan petani penderes Pangandaran di masalalu.

Dari tahap mencari dan memilih nara sumber yang tepat, akhirnya penulis menemukan petani penderes yang telah pensiun (mantan penderes) yang juga pernah menjadi ranting dari distributor bandar gula, petani penderes yang sudah lama menekuni usahanya bahkan sampai sekarang, dan penderes-penderes angkatan muda (awal mulai menderes tidak jauh dari akhir periode kajian penelitian ini). Sedangkan nara sumber dari pengurus-pengurus lembaga seperti AGKP dan STA adalah orang-orang yang berperan lewat lembaga tersebut yang didirikan untuk mengurus kelancaran usaha petani penderes. Sementara wawancara kepada pengurus PTPN VIII dikarenakan di perusahaan yang dikelola pemerintah tersebut banyak petani penderes/penyadap pohon-pohon kelapa sejak tahun 1990-an. Para pengurus lembaga-lembaga tersebut diantaranya adalah orang-orang yang berpendidikan dan juga memiliki memori sejarah tentang perkembangan petani penderes di Pangandaran. Wawancara kepada warga sekitar juga diperlukan untuk mengetahui pandangan mereka tentang petani penderes Pangandaran yang berada disekitar lingkungannya.


(46)

Sementara kritik internal terhadap sumber lisan yang dilakukan oleh penulis adalah dengan cara menganalisis hasil-hasil dari wawancara. Penulis menganalisis data-data yang telah didapat dari wawancara dengan ketat untuk memperoleh fakta-fakta sejarah yang objektif, atau setidaknya dapat mengurangi kesubjektifan fakta-fakta sumber lisan. Caranya adalah dengan membandingkan fakta-fakta sejarah yang diperoleh dari nara sumber yang satu dengan nara sumber- nara sumber yang lainnya. Terkadang pula informasi-informasi yang didapatkan dari para nara sumber isinya dapat saling melengkapi guna menjelaskan fakta sejarah yang utuh dalam penelitian skripsi ini.

3.2.3 Interpertasi (Penafsiran)

Interpretasi adalah tahap memberikan penafsiran terhadap fakta-fakta atau data-data yang telah dikumpulkan yang diperoleh dari sumber lisan maupun tulisan dan telah melewati tahap kritik sumber. Fakta-fakta dan data-data yang telah melewati tahap kritik sumber merupakan fakta-fakta yang teruji dan dapat dipercaya. Pada tahap interpretasi atau penafsiran ini fakta-fakta dipilih, dikumpulkan dan diklasifikasikan untuk menjawab permasalahan yang dikaji.

Pada tahap penafsiran ini juga dilakukan dengan mencermati apakah terdapat saling keterhubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lainnya. Selain itu, dapat juga dianalisis apakah fakta-fakta tersebut merupakan sebuah hubungan kausalitas (sebab-akibat). Dalam tahap interpretasi ini, penulis memberikan makna yang seobjektif mungkin terhadap data-data dan fakta-fakta yang kemudian disusun atau direkonstruksi yang menghasilkan sebuah rangkaian peristiwa sejarah yang utuh dan saling berhubungan. Untuk memberikan makna


(47)

terhadap fakta-fakta yang telah ada harus dilakukan dengan cara berpikir kritis dengan potensi indrawi, akal budi, logis dan etis.

Dalam melakukan interpretasi, penulis juga menggunakan pendekatan interdisipliner. Pendekatan interdisipliner dalam penelitian ini berarti ilmu sejarah dijadikan sebagai disiplin ilmu utama dalam mengkaji permasalahan dengan dibantu oleh disiplin ilmu sosial lainnya. Beberapa disiplin ilmu sosial yang dipakai sebagai ilmu bantu dalam penelitian ini yaitu sosiologi, ekonomi, dan politik. Pemilihan ketiga ilmu bantu tersebut disesuaikan dengan permasalahan penelitian sejarah yang memakai sudut pandang sosial ekonomi dan kebijakan pemerintah terhadap industri gula kelapa di Pangandaran.

Pendekatan dengan ilmu sosiologi dan ekonomi penulis gunakan untuk mencermati bagaimana perubahan sosial ekonomi yang terjadi pada petani penderes gula kelapa Pangandaran. Beberapa konsep yang dipinjam dari sosiologi anta lain : perubahan sosial, peranan sosial, mobilitas sosial, dan status sosial. Sedangkan ilmu ekonomi digunakan untuk menelaah aspek-aspek mata pencaharian, tenaga kerja, biaya produksi, pemasaran, harga barang, upah, modal, kewirausahaan, dan tingkat kesejahteraan. Sementara itu, ilmu politik digunakan untuk melihat peran dan kontribusi pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan perkembangan industri gula kelapa di Pangandaran.

3.3 Laporan Penelitian (Historiografi)


(48)

proses penelitian ini. Dalam metode historis, langkah ini dinamakan historiografi.

Istilah historiografi ini mempunyai arti “penulisan sejarah” karena ada pengertian

lain untuk istilah historiografi yaitu “sejarah penulisan sejarah” (Helius Sjamsuddin, 2007: 156). Historiografi adalah tahapan akhir dengan menyusun fakta-fakta yang telah di interpretasikan oleh penulis.

Pada tahap laporan penelitian ini penulis mengerahkan seluruh daya pikir dan kemampuan yang dimiliki untuk menuangkan hasil interpretasi sehingga menjadi sebuah narasi yang kronologis yang menggambarkan dinamika yang terjadi pada kehidupan sosial ekonomi petani penderes dan industri gula kelapanya di Pangandaran tahun 1960-2005. Laporan penelitian ini, disusun berdasarkan buku pedoman karya tulis ilmiah yang diterbitkan oleh Universitas pendidikan Indonesia (UPI). Dalam proses penyusunan laporan penelitian ini, penulis juga telah dibimbing oleh pembimbing I dan pembimbing II.

Adapun hasil penelitian ini dituangkan dalam sebuah karya tulis yang

dinamakan skripsi dengan judul “Peranan Petani Penderes Dalam

Mengembangkan Industri Gula Kelapa Di Pangandaran Kabupaten Ciamis Tahun 1960-2005.” Untuk memudahkan penulis dalam menyusun laporan penelitian atau historiografi ini maka bentuk skripsi ini disusun secara sistematis dalam lima bagian. Pada bab pertama sebagai pendahuluan menguraikan beberapa pokok pikiran yang berkaitan dengan latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Pada bab kedua tinjauan pustaka, berisikan mengenai penjabaran literatur-literatur/sumber tertulis (sumber buku) yang berkaitan dan menunjang kajian


(49)

penelitian.

Selanjutnya pada bab ketiga ini menguraikan mengenai metode dan teknik penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang terdapat dalam bab I, yang kemudian dituangkan dalam bab keempat yang diberi sub judul

“Kehidupan Petani Penderes Gula Kelapa di Pangandaran 1960-2005”. Bab keempat ini merupakan hasil dari penelitian atau historiografi. Historiografi adalah hasil penulisan sejarah yang sebelumnya telah melewati beberapa tahapan metodologi penelitian sejarah, yakni heuristik, kritik/analisis sumber, dan interpretasi. Langkah selanjutnya menyimpulkan hasil penafsiran yang telah disusun ke dalam bab kelima yaitu kesimpulan dan saran. Bab ini berisi poin-poin penting sebagai jawaban terhadap masalah yang dikemukakan dalam rumusan masalah. Kesimpulan bukan suatu ikhtisar atau rangkuman dari hasil penelitian. Pada bab ini juga penulis akan mencoba memberikan masukan-masukan atau rekomendasi sebagai saran yang diharapkan dapat berguna bagi perkembangan industri gula kelapa di Pangandaran selanjutnya.


(50)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Keberadaan petani penderes gula kelapa di Pangandaran sudah berlangsung sejak sekitar tahun 1950-an. Namun pada masa ini pembuatan gula kelapa dalam industri kecil ini belum sepenuhnya dijadikan sebagai lahan usaha mandiri untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga petani penderes/ penyadap. Usaha membuat gula kelapa masih dijadikan sebagai pekerjaan sampingan, disamping bekerja menjadi petani biasa seperti menyawah dan berkebun. Dari segi pendidikan petani penyadap pada masa awal ini ada yang tidak mengenyam pendidikan formal sama sekali, ada juga yang hanya duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).

Dalam aspek permodalan pada masa ini masih menggunakan peralatan-peralatan yang dibuat sendiri dengan bahannya yang berasal dari sekitar lingkungannya, seperti pencetak gula sengkang yang terbuat dari potongan-potongan bambu kecil berdiameter sekitar lima centimeter. Petani penderes yang membuat gula kelapa pun awalnya tidak begitu banyak dan tidak banyak menyadap pohon kelapa untuk menghasilkan nira sebagai sumber utama membuat gula kelapa. Oleh karena itu hasil produksi gula kelapa Pangandaran pun belum begitu banyak dan jangkauan pemasarannya belum begitu luas, hanya untuk disekitar lingkungannya atau dalam daerah Pangandaran untuk mencukupi kebutuhan akan gula masyarakatnya.


(51)

Perkembangan yang signifikan terjadi pada tahun 1968, dimana pada tahun tersebut muncul sebuah toko kelontongan yang diberinama PD. Samudra mi;lik Haji Yos, yang kemudian menjadi bandar gula kelapa yang menyetok dan memasarkan gula kelapa Pangandaran ke kota-kota besar. Sebelumnya gula kelapa juga telah diterima oleh took kelontongan milik Haji Odon, namun Bandar gula kelapa ini pada waktu itu tidak berkembang. Semenjak saat itu, usaha membuat gula kelapa bukan lagi sebagai matapencaharain sampingan semata, namun sudah menjadi usaha mendiri yang dapat mencukupi kebutuhan keluarganya. Kemudian seiring berjalannya waktu, petani penderes gula kelapa di Pangandaran pun semakin tumbuh dan berkembang. Produksi Gula kelapa rakyat Pangandaran pun semakin banyak digunakan oleh masyarakat luas sebagai pemenuhan akan gula dan sebagai bahan pembuatan kecap dalam industri-industri pabrik yang sudah cukup terkenal seperti Indofood, ABC dan Bango.

Pertumbuhan petani penderes di Pangandaran sendiri tidak terjadi serentak atau langsung, namun secara bertahap. Dalam pertahun bisa ada satu dua sampai limapuluh orang atau lebih yang belajar menderes dan kemudian menjadi penderes untuk mendapatkan penghasilan. Ada juga petani penderes gula kelapa yang sudah menjadi penyadap gula dalam beberapa bulan atau tahun namun kemudian berhenti menyadap. Biasanya penyadap yang berhenti dalam waktu tidak lama ini adalah para penyadap muda yang belum berkeluarga atau belum memiliki tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Dalam segi pendidikan petani penderes di Pangandaran pada tahun 2000-an banyak yang lulusan SMP dan ada juga beberapa yang lulusan SMA atau sederajatnya.


(52)

Ada banyak perubahan yang terjadi dalam eksistensi petani penderes gula kelapa dalam rentang waktu tahun 1968-2005. Pertama dari segi peralatan-peralatan industri gula kelapa dimana petani penderes dahulu masih menggunakan sengkang dengan potongan-potongan bambu, namun kemudian berganti dengan adanya inovasi baru, sengkang yang biasanya terbuat dari ptongan bambu berganti dengan papan yang diukir atau dengan cetakan yang terbuat dari bahan plastik.

Setelah pembuatan gula kelapa dijadikan lahan usaha mandiri sebagai matapencaharian warga dan dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, maka aspek permodalan pun harus dipersiapkan dengan baik. Hal ini berbeda dengan keberadaan awal petani penderes gula kelapa di Pangandaran yang dalam aspek permodalannya belum begitu diperhitungkan, karena penyadap dapat menggunakan keterampilannya dengan memanfaatkan bahan-bahan yang ada di sekitar lingkungannya. Untuk peralatan-peralatan petani penderes di Pangandaran sendiri mendapatkan dengan cara meminjam dari ranting-ranting gula kelapa atau bandara gula kelapa, namun tata cara peminjaman kepada ranting atau bandar gula tidaklah mudah yaitu seseorang harus betul-betul menjadi penderes membuat gula kelapa dulu baru mendapat pinjaman.

Untuk modal awal membeli peralatan-peralatan seperti sabit deres, membuat pawon gula kelapa petani penderes menggunakan simpananya dari hasil bekerja sebelum menjadi penyadap seperti saat menjadi tukang bangunan, petani dan sebagainya. Selanjutnya, untuk meningkatkan produksi gula kelapanya petani penderes pun memperbanyak pohon sadapannya dengan cara-cara yang berkembang di masyarakat antara lain :


(53)

1. Menggadai pohon Kelapa

Menggadai pohon kelapa dari pemilik pohon telah dilakukan dari semenjak tahun 1985-an. Pohon kelapa yang dimiliki oleh warga sekitar diperbolehkan diambil niranya dengan kesepakatan antar petani penderes dengan pemilik pohon. Biasanya satu pohon pada tahun 2004/2005 dapat dihargai sebesar dua ratus ribu rupiah atau lebih tergantung kesepakatan petani penderes dengan sang pemilik pohon kelapanya. Untuk mengadai pohon kelapa solusi mendapatkan modalnya petani penderes meminjam dari bandar gula kelapa atau ranting gula kelapa dimana biasanya petani tersebut menjual gula kelapa hasil produksinya. Dalam menggadai pohon kelapa penyadap melakukannya secara bertahap tidak langsung banyak, contohnya pada bulan ini sang penderes mengadai dua pohon kelapa sehingga pohon sadapannya bertambah, kemudian pada tiga bulan kedepan mengadai lagi 5 pohon kelapa dan selanjutnya hingga mencapai 40 pohon kelapa sadapan.

2. Sistem Ons

Cara selanjutnya adalah dengan sistem ons yang telah dilakukan petani penyadap sejak tahun 1985-an. Sistem nge-ons dilakukan antar petani penderes gula kelapa dengan pemilik pohon kelapa. Caranya satu pohon kelapa hasilnya harus dibagi dengan pemilik pohon kelapa tersebut, baik berupa gula kelapa maupun berbentuk uang cas. Satu pohon kelapa biasanya dibagi satu ons gula kelapa untuk pemilik pohon dalam satu kali pengolahan gula kelapa. Apabila sang pemilik pohon menginginkan agar bagiannya diberikan gulanya maka petani penderes memberikannya dalam tiap minggu atau sebulan sekali bertgantung pada


(54)

kesepakatan mereka. Jika sang pemilik pohon menginginkan setorannya dalam bentuk uang maka penyadap langsung menjual hasil gula kelapanya, setelah gula kelapa dijual maka bagian untuk pemilik pohon diserahkan berupa uang dengan ketentuan satu pohon kelapa yang diambil niranya mendapatkan satu ons gula kelapa setiap kali produksi.

3. Maro nira kelapa

Maro nira kelapa ini dilakukan petani penderes pada sekitar tahun 2000-an. Berbeda dengan cara-cara lainnya maro nira ini dilakukan oleh sang petani penderes dengan pemilik pohon yang sudah berhenti membuat gula kelapa, bisa karena sudah lanjut usia maupun sakit. Bentuk pembagiannya pun hanya berupa nira kelapa. Pembagian nira disepakati satu hari nira yang diambil oleh penderes sepenuhnya milik penderes yang dapat dijadikan bahan pembuatan gula kelapa. Sedangkan pembagian nira pada hari kedua nira yang didapat oleh sang petani penderes diserahkan kepada sang pemilik pohon. Oleh sang pemilik pohon bagian niranya kemudian diolah menjadi gula kelapa. Pembagian nira ini bisa satu hari sekali, atau dua hari sekalii, atau tiga hari sekali. Jadi dua hari atau tiga hari untuk penderes dan dua hari atau tiga hari nira yang diperoleh harus disetorkan kepada pemilik pohon untuk diolah.

Dalam aspek permodalam mendapatkan pohon kelapa yang menghasilkan nira memerlukan modal yang besar. Dengan cara-cara demikian maka petani penderes meningkatkan pohon sadapannya yang rata-rata mencapai empat puluh pohon sadapan pada tahun 2004/2005 untuk menghasilkan nira serta tidak harus mengeluarkan modal berupa uang sepenuhnya untuk mendapatkan pohon kelapa


(55)

deresan.

Dalam perubahan sosial ekonomi petani penderes sendiri dapat dicermati dari segi hubungan sosial. Dimana sebelum menjadi petani penderes gula kelapa mereka tidak terbiasa berhubungan dengan bandar guloa kelapa atau ranting-ranting gula kelapa. setelah menjadi penderes gula kelapa merekapun harus menjual gula kelapa kepada bandar atau ranting-ranting gula kelapa sehingga terjadilah hubungan sosial ekonomi antar sesama warga. Perubahan ekonomi juga terjadi, dimana setalah menjadi penyadap mereka mendapatkan penghasilan yang rutin sehari-hari yang dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya yang sebelumnya tidak mendapat pekerjaan atau menganggur atau bekerja namun pendapatnnya tidak menentu.

Peranan dari berbagai pihak juga mulai muncul pada tahun 2003 dan 2004 yang bergerak mengurusi persoalan petani penderes gula kelapa, baik dalam dukungan untuk produksi, dan distribusinya (pemasaran). Pada tahun 2003 telah dibentuk Lembaga Swadaya Masyarakat yaitu Asosiasi Gula Kelapa Priangan (AGKP) yang bertujuan meringankan beban petani penderes gula kelapa se-Priangan (Ciamis, Tasikmalaya dan Garut) khususnya Pangandaran. Alamat kantor AGKP berada di Pangandaran desa Cikeumbulan. Selain itu, pada tahun 2004 oleh pemerintah telah dibentuk Sub Terminal Agribisnis (STA) di Parigi Pangandaran. Tugas dari lembaga ini ialah mengurusi pemasaran gula kelapa, dengan membeli atau mengawasi perkembangan harga gula kelapa agar tidak merugikan petani penderes. Namun keberadaan baik AGKP maupun STA di Pangandaran ini belum diketahui oleh kebanyakan para petani penderes gula


(56)

kelapa di Pangandaran.

5.2 Saran

Ada beberapa saran yang ingin penulis sampaikan setelah melakukan penelitian mengenai sejarah petani penderes gula kelapa Pangandaran ini untuk berbagai pihak, antara lain :

1. Untuk petani penderes gula kelapa Pangandaran, diharapkan bagi petani penderes di Pangandaran dapat menjaga dan meningkatkan kualitas produk gula kelapanya sehingga gula kelapa Pangandaran dapat diproduksi dengan alami tanpa bahan pengawet yang mudah-mudahan dapat masuk ke dalam pasar ekspor.

2. Untuk Asosiasi Gula Kelapa Priangan, diharapkan para pengurusnya terus meningkatkan kinerjanya sebagai lembaga swadaya masyarakat yang bergerak mengurusi persoalan petani penyadap gula kelapa di Priangan (Ciamis, Tasikmalaya dan Garut) khususnya di Pangandaran. Dengan demikian usaha membuat gula kelapa sebagai matapencaharian khas petani penyadap Pangandaran dapat berlangsung dengan baik dalam rumah industrinya.

3. Bagi Pemerintah, adanya pendirian lembaga Sub Terminal Agribisnis yang bergerak mengurusi pergula kelapaan di Pangandaran adalah perhatian yang baik untuk kemajuan petani penyadap. Namun hendaknya STA sebagai lembaga pemerintah harus terus dapat mengontrol perkembangan harga gula kelapa untuk petani penderes di Pangandaran. Dengan demikian turunnya harga gula kelapa akibat permainan dari bandar gula dapat dicarikan solusinya


(57)

sehingga petani penyadap tidak merugi.

4. Bagi berbagai pihak yang berkepentingan dalam bidang pergulakelapaan di Pangandaran diharapkan dapat memperhatikan keadaan alam lingkungan Pangandaran sebagai sentra industri gula kelapa. Penggunaan kayu bakar yang berskala besar untuk produksi gula kelapa perlu diperhatikan atau dapat diinovasikan dengan bahan bakar seperti gas elpiji atau dengan pembuatan gas yang alamiah yang mudah tanpa petani penderes harus membelinya serta aman digunakan dalam kegiatan produksi sehari-hari.


(1)

Ada banyak perubahan yang terjadi dalam eksistensi petani penderes gula kelapa dalam rentang waktu tahun 1968-2005. Pertama dari segi peralatan-peralatan industri gula kelapa dimana petani penderes dahulu masih menggunakan sengkang dengan potongan-potongan bambu, namun kemudian berganti dengan adanya inovasi baru, sengkang yang biasanya terbuat dari ptongan bambu berganti dengan papan yang diukir atau dengan cetakan yang terbuat dari bahan plastik.

Setelah pembuatan gula kelapa dijadikan lahan usaha mandiri sebagai matapencaharian warga dan dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, maka aspek permodalan pun harus dipersiapkan dengan baik. Hal ini berbeda dengan keberadaan awal petani penderes gula kelapa di Pangandaran yang dalam aspek permodalannya belum begitu diperhitungkan, karena penyadap dapat menggunakan keterampilannya dengan memanfaatkan bahan-bahan yang ada di sekitar lingkungannya. Untuk peralatan-peralatan petani penderes di Pangandaran sendiri mendapatkan dengan cara meminjam dari ranting-ranting gula kelapa atau bandara gula kelapa, namun tata cara peminjaman kepada ranting atau bandar gula tidaklah mudah yaitu seseorang harus betul-betul menjadi penderes membuat gula kelapa dulu baru mendapat pinjaman.

Untuk modal awal membeli peralatan-peralatan seperti sabit deres, membuat pawon gula kelapa petani penderes menggunakan simpananya dari hasil bekerja sebelum menjadi penyadap seperti saat menjadi tukang bangunan, petani dan sebagainya. Selanjutnya, untuk meningkatkan produksi gula kelapanya petani penderes pun memperbanyak pohon sadapannya dengan cara-cara yang berkembang di masyarakat antara lain :


(2)

1. Menggadai pohon Kelapa

Menggadai pohon kelapa dari pemilik pohon telah dilakukan dari semenjak tahun 1985-an. Pohon kelapa yang dimiliki oleh warga sekitar diperbolehkan diambil niranya dengan kesepakatan antar petani penderes dengan pemilik pohon. Biasanya satu pohon pada tahun 2004/2005 dapat dihargai sebesar dua ratus ribu rupiah atau lebih tergantung kesepakatan petani penderes dengan sang pemilik pohon kelapanya. Untuk mengadai pohon kelapa solusi mendapatkan modalnya petani penderes meminjam dari bandar gula kelapa atau ranting gula kelapa dimana biasanya petani tersebut menjual gula kelapa hasil produksinya. Dalam menggadai pohon kelapa penyadap melakukannya secara bertahap tidak langsung banyak, contohnya pada bulan ini sang penderes mengadai dua pohon kelapa sehingga pohon sadapannya bertambah, kemudian pada tiga bulan kedepan mengadai lagi 5 pohon kelapa dan selanjutnya hingga mencapai 40 pohon kelapa sadapan.

2. Sistem Ons

Cara selanjutnya adalah dengan sistem ons yang telah dilakukan petani penyadap sejak tahun 1985-an. Sistem nge-ons dilakukan antar petani penderes gula kelapa dengan pemilik pohon kelapa. Caranya satu pohon kelapa hasilnya harus dibagi dengan pemilik pohon kelapa tersebut, baik berupa gula kelapa maupun berbentuk uang cas. Satu pohon kelapa biasanya dibagi satu ons gula kelapa untuk pemilik pohon dalam satu kali pengolahan gula kelapa. Apabila sang pemilik pohon menginginkan agar bagiannya diberikan gulanya maka petani penderes memberikannya dalam tiap minggu atau sebulan sekali bertgantung pada


(3)

kesepakatan mereka. Jika sang pemilik pohon menginginkan setorannya dalam bentuk uang maka penyadap langsung menjual hasil gula kelapanya, setelah gula kelapa dijual maka bagian untuk pemilik pohon diserahkan berupa uang dengan ketentuan satu pohon kelapa yang diambil niranya mendapatkan satu ons gula kelapa setiap kali produksi.

3. Maro nira kelapa

Maro nira kelapa ini dilakukan petani penderes pada sekitar tahun 2000-an. Berbeda dengan cara-cara lainnya maro nira ini dilakukan oleh sang petani penderes dengan pemilik pohon yang sudah berhenti membuat gula kelapa, bisa karena sudah lanjut usia maupun sakit. Bentuk pembagiannya pun hanya berupa nira kelapa. Pembagian nira disepakati satu hari nira yang diambil oleh penderes sepenuhnya milik penderes yang dapat dijadikan bahan pembuatan gula kelapa. Sedangkan pembagian nira pada hari kedua nira yang didapat oleh sang petani penderes diserahkan kepada sang pemilik pohon. Oleh sang pemilik pohon bagian niranya kemudian diolah menjadi gula kelapa. Pembagian nira ini bisa satu hari sekali, atau dua hari sekalii, atau tiga hari sekali. Jadi dua hari atau tiga hari untuk penderes dan dua hari atau tiga hari nira yang diperoleh harus disetorkan kepada pemilik pohon untuk diolah.

Dalam aspek permodalam mendapatkan pohon kelapa yang menghasilkan nira memerlukan modal yang besar. Dengan cara-cara demikian maka petani penderes meningkatkan pohon sadapannya yang rata-rata mencapai empat puluh pohon sadapan pada tahun 2004/2005 untuk menghasilkan nira serta tidak harus mengeluarkan modal berupa uang sepenuhnya untuk mendapatkan pohon kelapa


(4)

deresan.

Dalam perubahan sosial ekonomi petani penderes sendiri dapat dicermati dari segi hubungan sosial. Dimana sebelum menjadi petani penderes gula kelapa mereka tidak terbiasa berhubungan dengan bandar guloa kelapa atau ranting-ranting gula kelapa. setelah menjadi penderes gula kelapa merekapun harus menjual gula kelapa kepada bandar atau ranting-ranting gula kelapa sehingga terjadilah hubungan sosial ekonomi antar sesama warga. Perubahan ekonomi juga terjadi, dimana setalah menjadi penyadap mereka mendapatkan penghasilan yang rutin sehari-hari yang dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya yang sebelumnya tidak mendapat pekerjaan atau menganggur atau bekerja namun pendapatnnya tidak menentu.

Peranan dari berbagai pihak juga mulai muncul pada tahun 2003 dan 2004 yang bergerak mengurusi persoalan petani penderes gula kelapa, baik dalam dukungan untuk produksi, dan distribusinya (pemasaran). Pada tahun 2003 telah dibentuk Lembaga Swadaya Masyarakat yaitu Asosiasi Gula Kelapa Priangan (AGKP) yang bertujuan meringankan beban petani penderes gula kelapa se-Priangan (Ciamis, Tasikmalaya dan Garut) khususnya Pangandaran. Alamat kantor AGKP berada di Pangandaran desa Cikeumbulan. Selain itu, pada tahun 2004 oleh pemerintah telah dibentuk Sub Terminal Agribisnis (STA) di Parigi Pangandaran. Tugas dari lembaga ini ialah mengurusi pemasaran gula kelapa, dengan membeli atau mengawasi perkembangan harga gula kelapa agar tidak merugikan petani penderes. Namun keberadaan baik AGKP maupun STA di Pangandaran ini belum diketahui oleh kebanyakan para petani penderes gula


(5)

kelapa di Pangandaran.

5.2 Saran

Ada beberapa saran yang ingin penulis sampaikan setelah melakukan penelitian mengenai sejarah petani penderes gula kelapa Pangandaran ini untuk berbagai pihak, antara lain :

1. Untuk petani penderes gula kelapa Pangandaran, diharapkan bagi petani penderes di Pangandaran dapat menjaga dan meningkatkan kualitas produk gula kelapanya sehingga gula kelapa Pangandaran dapat diproduksi dengan alami tanpa bahan pengawet yang mudah-mudahan dapat masuk ke dalam pasar ekspor.

2. Untuk Asosiasi Gula Kelapa Priangan, diharapkan para pengurusnya terus meningkatkan kinerjanya sebagai lembaga swadaya masyarakat yang bergerak mengurusi persoalan petani penyadap gula kelapa di Priangan (Ciamis, Tasikmalaya dan Garut) khususnya di Pangandaran. Dengan demikian usaha membuat gula kelapa sebagai matapencaharian khas petani penyadap Pangandaran dapat berlangsung dengan baik dalam rumah industrinya.

3. Bagi Pemerintah, adanya pendirian lembaga Sub Terminal Agribisnis yang bergerak mengurusi pergula kelapaan di Pangandaran adalah perhatian yang baik untuk kemajuan petani penyadap. Namun hendaknya STA sebagai lembaga pemerintah harus terus dapat mengontrol perkembangan harga gula kelapa untuk petani penderes di Pangandaran. Dengan demikian turunnya harga gula kelapa akibat permainan dari bandar gula dapat dicarikan solusinya


(6)

sehingga petani penyadap tidak merugi.

4. Bagi berbagai pihak yang berkepentingan dalam bidang pergulakelapaan di Pangandaran diharapkan dapat memperhatikan keadaan alam lingkungan Pangandaran sebagai sentra industri gula kelapa. Penggunaan kayu bakar yang berskala besar untuk produksi gula kelapa perlu diperhatikan atau dapat diinovasikan dengan bahan bakar seperti gas elpiji atau dengan pembuatan gas yang alamiah yang mudah tanpa petani penderes harus membelinya serta aman digunakan dalam kegiatan produksi sehari-hari.