Formalisasi agama : studi kasus pada religi balian dalam masyarakat adat Suku Dayak Meratus di Kalimantan Selatan 1970-1980 - USD Repository

  

FORMALISASI AGAMA

STUDI KASUS PADA RELIGI BALIAN

DALAM MASYARAKAT ADAT SUKU DAYAK MERATUS

DI KALIMANTAN SELATAN

1970-1980

SKRIPSI

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

  Program Studi Ilmu Sejarah

  

Disusun Oleh:

Nama Mahasiswa : Gusti Yasser Arafat

Nomor Mahasiswa: 024314006

  

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2007

  Persembahan

  Skripsi ini kupersembahkan buat: Almamaterku tercinta, kebanggaanku, dan takkan terlupakkan : Fakultas Sastra Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  Kedua orang tuaku: H. Gusti Abdul Hamid dan Hj. Rusna Yuda yang selalu memberikan yang terbaik buat putera-puteranya dan menyadarkanku akan Dunia.

  Kai dan Nini: H. Syamsul Bahri dan Hj. Noorsitah yang tak henti- hentinya mendoakanku dan menyadarkanku akan Akhirat.

  Kakakku: Gusti Muhammad Shadiq yang paling hebat. You are welcome and yes you loose your mind.

  

Kekasihku: Rong-rong yang selalu setia selamanya mendampingi hatiku.

Da Neuvre Hoctha Fo Velo Ut.

  Adik-adikku: Sarah, Anggela, Hanna, Ariska, Rini, Fensa, dan Lili. Kalian telah banyak mengisi hari-hariku, the story of my life.

  MOTTO: Tuhan Ada Dunia Fana

  Hidup Lurus

  

Halaman Pernyataan Keaslian Karya

  Skripsi ini merupakan karya sendiri dan belum pernah saya ajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi. Skripsi ini tidak memuat karya orang lain atau suatu lembaga atau bagian dari karya orang lain atau suatu lembaga, kecuali bagian-bagian tertentu yang dijadikan sumber.

  Penulis bertanggung jawab penuh atas kebenaran fakta-fakta berdasarkan sumber-sumber yang diperoleh dalam penulisan skripsi ini.

  Yogyakarta Penulis

  Gusti Yasser Arafat

  

ABSTRAK

  Penulisan skripsi dengan judul “Formalisasi Agama: Studi Kasus Pada Religi Balian Dalam Masyarakat Adat Suku Dayak Meratus Di Kalimantan Selatan 1970- 1980” ini berusaha mendeskripsi dan menganalisa tentang perkembangan religi Balian yang dipeluk oleh masyarakat adat suku Dayak Meratus sebagai puak dari suku Dayak ketika formalisasi agama berlangsung tahun 1970-1980 serta dampak-dampak yang diakibatkannya

  Sebagai sebuah penulisan sejarah maka metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini melalui tahapa-tahap: heuristik, pengumpulan sumber dari kepustakaan dan wawancara lisan; kritik sumber, memilah-milah dan menemukan sumber yang kredibel dan otentik; interpretasi, menafsirkan dan memaknai sumber- sumber tersebut; historiografi, penyajian dan merekonstruksi peristiwa yang dikaji.

  Kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa suku Dayak Meratus yang merupakan salah satu puak suku Dayak mempunyai identitasnya sendiri sebagai suatu entitas etnis, religi Balian adalah “agama” yang mempunyai konsep tersendiri yang sudah mapan meski kemudian telah terjadi pengaruh dan singkritisme di sana-sini, telah terjadi perubahan atau pengikisan nilai-nilai budaya serta beberapa dampak sosiokultural yang diakibatkan oleh formalisasi agama di Kalimantan Selatan, dan terdapat upaya perjuangan eksistensi religi Balian oleh pemeluknya yang terwujud dalam pembentukan beberapa lembaga keagamaan meskipun pada akhirnya harus melalui metode integrasi keagamaan (Hindu Kaharingan). Disamping itu terdapat juga masyarakat adat suku Dayak Meratus yang masih setia memegang teguh keyakinannya dengan tidak mengindahkan anjuran metode integrasi keagamaan.

  

ABSTRACT

  The writing of this thesis "Religion Formalization: A Study Case on Balian Religion in the Society of Dayak Meratus Tribe in South Kalimantan, 1970-1980" are

  describe

  aiming to and analyze the development of Balian religion that were held by the society of Dayak Meratus tribe, a sub-tribe of Dayak society, when governmental’s program called religion formalization conducted during 1970-1980, and also the cultural impacts of this programs.

  As a historiography, the steps of the research conducted for this thesis are the following: heuristic, collecting the sources form literature study and live interview; critics toward the sources, sorting the sources to find the one that credible and authentic; interpretation, interpreting the sources; historiography, presentation and reconstruct the events studied.

  The conclusion drawn from this research could be described as follow : as an ethnical entity, Dayak Meratus tribe have their own identity, Balian religion is a "Religion" that originally have its own established concepts though latter there are influnces from other religion and there is a sincretization toward its concepts, there have been a changes, or cultural value erotion and other sociocultural impacts caused by religions formalization program, and there’s a struggle within the Balian follower to survive their own existency. This struggle manifested in the foundation of several Balian religy institutions, though this foundations should passed through another govermental’s program called religion integration (Hindu Kaharingan), and in the rejection of Balian follower that still loyally hold Balian’s original concepts to follow those program.

KATA PENGANTAR

  Dengan mengucapkan segala puji dan memanjatkan rasa syukur luar biasa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Sempurna atas setiap cinta, jalan, pertolongan, kemudahan, rahmat dan hidayahNya, penulis berhasil mewujudkan skripsi dengan judul: “Formalisasi Agama: Studi Kasus Pada Religi Balian Dalam Masyarakat Adat Suku Dayak Meratus Di Kalimantan Selatan 1970-1980.”

  Penulis menghaturkan rasa hormat dan mengucapkan terimakasih kepada Bapak Drs. Hb. Hery Santosa, M. Hum. beserta Ibu Adriana Novijanti, selaku Ketua Program Studi Ilmu Sejarah sekaligus Pembimbing Tunggal yang sudah bersedia banyak meluangkan waktu dan kesempatan untuk membimbing dan mengoreksi skripsi ini sampai terwujud, motivasi, nasehat, hal-hal bijak, dan bertukar pikiran tentang banyak hal lintas ruang dan waktu.

  Dalam Penulisan skripsi ini penulis banyak sekali melibatkan bantuan, dukungan, bimbingan, masukan dan sumbangan pemikiran, baik itu moril maupun materil, secara langsung maupun tidak langsung dari segenap pihak. Oleh karena itu sudah sepantasnya pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan rasa terimakasih yang tak terhingga dan menjunjung hormat kepada:

  1. Bapak Dr. Fr. B. Alip, M. Pd., M. M. selaku Dekan beserta staf kerja yang sudah memberikan kesempatan serta ijin kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

  2. Bapak Drs. Silverio R. L. Aji. S. M. Hum. sebagai field soldier dan guru lapangan yang telah banyak membagi pengalaman fantastisnya buat penulis.

  3. Bapak Drs. Ign. Sandiwan Suharso yang telah memberikanku gambaran cara-cara berpikir logis dan sistematis untuk penulis.

  4. Bapak Drs. H. Purwanta, M. A. yang sudah menyumbangkan pemikiran-pemikiran filosofi hidup bagi penulis.

  5. Bapak G. Moedjanto yang mengajarkanku tentang sebuah pengabdian.

  6. Bapak Drs. Manu Joyoatmojo, Bapak Prof. Dr. P. Y. Suwarno, S. H., Bapak Drs.

  Anton Haryono, M. Hum., Bapak Paulus Suparmo, S. Ip., Romo Dr. F. X. Baskara T. Wardaya, dan Ibu Dra. Juningsih, M. Hum yang menekankanku kedisiplinan.

  7. Bapak Waluyo selaku “Rektor” Wisma A, yang susah payah menjaga dan memelihara kenyamanan Markas Besar (Mabes) Ilmu Sejarah.

  8. Mas Try di Sekretariat Fakultas Sastra yang banyak disibukkan keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah.

  9. Bapak Dr. St. Sunardi yang memberikanku pencerahan dalam menikmati ilmu pengetahuan.

  10. Bapak Dr. Budiawan yang mengenalkanku memorical history.

  11. Bapak Drs. Yohanes H. Mardiraharjo yang mengajarkanku asyiknya bertoleransi dalam segala bentuk kemajemukan

  12. Bapak Drs. Wahana yang memberikan kuliah dengan nuansa humoris.

  13. Bapak Yohanes Setiyanto, S. S. yang mengajarkanku cara hidup baik.

  14. Ibu Nila Riwut yang sudah memberikan masukan dan meminjamkan buku-buku koleksi perpustakaan pribadinya.

  15. Pimpinan UPT. Perpustakaan dan segenap staf kerja Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Jogjakarta yang telah banyak membantu dalam pengumpulan sumber literer.

  16. Paman Hassan selaku pegawai Kecamatan Loksado yang banyak membantu penelitian ini.

  17. Pimpinan dan staf kerja di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Loksado yang telah memberikan masukan dan data-data.

  18. Apin, Kapau, Julak Madi, Manan, Haji. Judin, Ari, Ahyar, Pandi, Ating, dan sejumlah responden yang memberikan keterangan (lisan) digunakan sebagai sumber dalam penulisan skripsi ini.

  19. Segenap warga Kecamatan Loksado dan Kandangan masyarakat adat suku Dayak Meratus yang bersedia menerima penulis untuk meneliti di daerah mereka.

  20. Guru-guruku sekolah yang telah banyak berjasa mencetak generasi-generasi mengagumkan.

  21. Sahabat-sahabatku: Markus “Renaldy”, Yosi “Bang Yos”, Eko “Mbah Darmo”, Daniel “Penjahat Kelon”, Yuda “Drunken Master”, Opet “Kutu Kopet”, Ella, Ririd, “Bunda Nana”, Eka “Britpop”, Devi, Vianey, Krisna, Bertha “Bams”, Eddi, Agus , Nanno, Mamik, Feny, Roger “Dower”, Ada, Dary, Keke, Atiek, Halim “Cino”.

  Yuhan “Bang Jo Tile”, Nanto “A’a Atto”, Elang, dan Vila. Kalian istimewa!

  22. Keluargaku tercinta di Kandangan: Datu, Kai Sapi, Kai Anggut, Paman Udin, Acil Ici, Paman Hassan, Acil Annie 1 dan 2, Incip, Acil Ijam, Ila, Ili, Acil Iris, Paman Uhit, dan Ipi.

  23. Keluargaku di Jogja Mama Yun, Tante Ie, Om Bas, Budhe Yani, Pakdhe Git, Pak Oyok, Mbah Kung, Dian Kasih, Ayu Manis, Dira ‘n Chicka, Mbak Oppie, Mbak Aik, Ibang, Ajeng, Mas Ilham dan Nana.

  24. Keluargaku di Glodogan Pak Dukuh dan Ibu, Yoga, Ipan, Mbah Ti, Mbah Kung, Ifen, Wawan Kodjrat, Nanang, Rury, Yani, Upik, Gea, Toko, Sary, Dewy, Elly, Ellia Tubruk, Danang, Babas, dan Pak Leo.

  25. Teman-temanku di workshop Dewa Aries, Tatam, H. Defa, Uji Pulis, Uji Kudung, Sarman, Syarifudin, Udin, Romili, Upik Parut, Kai Paku, Irwan, Rifki, Firman Murang, Meina, Diah, Yayan, Buval, Kaef, Acung Riswan, dan Mamas.

  26. Teman-temanku Hair, Humai, Iwit, Gandi, Adi, Tabri, Aban, Junai, A’an, A’an Jawa, Iwan gunung, Amal, Mary Amad, Mary Ahim, Taha, Babay, Om Udung, Santy, Sumy, Isan, Habibi, Yanur, Antun, Udin Asing, Rita, Atul, Masrita Itung, Yayan Araji, Rija, Febry, Rukiah, Nasir, Giping, Yuli, Dina, Idup, H. Ancah, Atat, dan Engkong.

  27. Dan masih banyak pihak lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang turut andil untuk tersusunnya skripsi ini.

  God created human perfectly not perfect human , Tuhan menciptakan manusia

  dengan sempurna bukan menciptakan manusia yang sempurna. Makna sempurna pada Tuhan berbeda dengan sempurna pada manusia. Sempurnanya Tuhan menciptakan manusia yang sempurna dengan kekurangannya sekalipun. Jadi penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dan terdapat kekuarangan- kekuarangan karena khilaf dan keterbatasan. Oleh karena itu kritik dan saran membangun sangat penulis harapkan agar karya ini bisa lebih baik lagi. Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis bercita-cita semoga hasil penelitian ini berguna bagi pembaca yang budiman.

  Yogyakarta, Penulis

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL.........................................................................................................i HALAMAN PERSETUJUAN………………………………………………………….ii HALAMAN PENGESAHAN…………………...……………………...…………..….iii HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………...…………...iv HALAMAN MOTTO……………………………………...…………...……………….v HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………………...……………….vi HALAMAN ABSTRAK……………………………………………………………....vii HALAMAN ABSTRACK…………………………………………………………....viii KATA PENGANTAR………………………………………………………………….ix DAFTAR ISI……………………………………...………………...……...…………xiii DAFTAR TABEL……………………………………………………………….……xvi DAFTAR PETA……………………………………………………………………...xvii DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………………...xviii BAB PERTAMA : PENDAHULUAN………………………….……………….……..1

  A. Latar Belakang Masalah …………………………….………………………….1

  B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah………………………….………………10

  1. Identifikasi Masalah…………………………………….………………….10

  2. Pembatasan Masalah………………………………………….………........11

  C. Perumusan Masalah………………………………………….………………...11

  D. Tujuan Penelitian………………………………….…………………………...12

  E. Manfaat Penelitian…………………………………………….……………….13

  F. Tinjauan Pustaka……………………………………………………….………13

  G. Landasan Teori………………………………………………………………...17

  H. Metode Penelitian…………………………………………….………………..31

  1. Tahap Heuristik……………………………………………………………32

  2. Tahap Kritik Sumber………………………………………………………34

  3. Tahap Interpretasi…………………………………………………….……34

  4. Tahap Historiografi……………………………………….……………….35

  I. Sistematika Penulisan…………………………………………………………35

  BAB KEDUA : SUKU DAYAK MERATUS……………………………….………...37

  g. Upacara Manyidat Banih……………………………………………..111

  a. Upacara Mancari Padang Hanyar……………...……..………………101

  b. Upacara Mamuja Tampa……………..……………………….………103

  c. Upacara Batilah……………………………………...………………..105

  d. Upacara Marandahakan Diyang Sanyawa…………...……………….105

  e. Upacara Bamula……………………...……………….………………107

  f. Upacara Basamu Ulang………………………………………...…….109

  h. Upacara Manajak Tihang Basungkul Atau Manatapakan Tihang Banua…………………………………………………………….…...113 i. Upacara Bawanang……….………………………….……………….114 j. Upacara Mamisit Banih……………………….…......……………….117

  C. Pelaksanaan Ibadah pada Upacara-Upacara Ritual Keagamaan (Ritus)……....99

  BAB KEEMPAT : FORMALISASI AGAMA…………………..…………………..120

  A. Negara dan Formalisasi Agama………………………..….………………….120

  1. Alasan dan Tujuan dalam Konteks Nasional……………………….…….120

  a. Alasan Kriteria (Syarat) suatu Agama……………………………….121

  b. Alasan Bahaya Laten Komunis atau Politik Pembeda antara Pemerintah Orde Lama dengan Orde Baru…………………………….………….122

  c. Alasan Pengalihan Medan Konflik Massa……………………………125

  d. Alasan Pemerintah sebagai “Nabi Perubahan” untuk Kemajuan…….126

  1. Upacara-Upacara Ritual yang Berhubungan dengan Kebudayaan Huma……...…………………………………………………………….100

  6. Balian sebagai Tokoh Spiritual dalam Religi Kaharingan……………..….95

  A. Suku Dayak……………………………………………………………….……38

  3. Jumlah Populasi Masyarakat Adat Suku Dayak Meratus dan Wilayah- Wilayah yang Didiami…………………………………………..…………56

  1. Penyebutan dan Penulisan Etimologi Istilah Dayak…………………….…39

  2. Asal-Usul Suku Dayak………………………………………...……….….41

  3. Puak-Puak dalam Suku Dayak……………………………..…...…………45

  B. Puak Suku Dayak Meratus…………………………………………….……….52

  1. Penyebutan dan Penulisan Etimologi Suku Dayak Meratus…………..…...52

  2. Asal Mula Suku Dayak Meratus…………………………………………...53

  4. Rumah Komunal Balai Adat…………………………….…………………61

  5. Malaikat-Malaikat dalam Religi Kaharingan………………….……….….95

  5. Mata Pencaharian Masyarakat Adat Suku Dayak Meratus………………..68 BAB KETIGA : RELIGI BALIAN…………………………………….……………...74

  A. Religi Balian Sebagai Religi Lokal Masyarakat Adat Suku Dayak Meratus….76

  B. Bentuk Kepercayaan……………………………………………….…………..82

  1. Konsep tentang Sang Maha Kuasa dalam Religi Kaharingan………...…...85

  2. Konsep Penciptaan tentang Alam Semesta, Pengatur-Pengaturnya, Ilah-Ilah, Nabi-Nabi dan Malaikat-malaikat………………………...……..87

  3. Konsep Penciptaan Manusia Pertama………………………….……….….90

  4. Nabi-Nabi dalam Religi Kaharingan………………………………..……..93

  e. Alasan “Agama” Lokal merupakan Mesianistik Dan Populistik…….127

  2. Dalil-Dalil tentang Kebebasan Beragama (Sikap Pemerintah terhadap Agama dan Aliran Kepercayaan)…………………………………......…..128

  B. Religi Kaharingan di tengah Proses Formalisasi Agama…………..…………134

  1. Proses Pengagamaan……………………………...……………………....136

  a. Misi dan Dakwah Agama-Agama Resmi Negara (Islam dan Kristen)….............................................................................................136 1) Penyebaran (Misi) Agama Kristen……………………………….138 2) Penyebaran (Dakwah) Agama Islam……………….…….………143

  a) Kilas Balik Sejarah Perkembangan Agama Islam di Kalimantan Selatan……………………………...………………………....143

  b) Penyuluh Agama Honorer (Pah) dan Da’i……………………149

  2. Hindu Kaharingan sebagai Manifestasi Equilibrium……………………..154

  C. Jumlah dan Konsentrasi Wilayah Pemeluk Agama-Agama………….………163

  1. Jumlah Penganut Agama-Agama…………………………………..……..163

  2. Konsentarsi Wilayah………………….……………………………….….164 BAB KELIMA : PENUTUP………………………………………………..………..168 GLOSARY THESAURUS……………………………………..……………………173 DAFTAR PUSTAKA……………………..……………………………….…………176 LAMPIRAN-LAMPIRAN………………………………………………………...…185

  

DAFTAR TABEL

  Tabel 1. Beberapa penyebutan Puak Suku Dayak…………………………………….49 Tabel 2. Profil Demografi dan Topografi Propinsi Kalimantan Selatan……………...56 Tabel 3. Bubuhan, Wilayah, Faktor Pembentuk, Tutuha, Tempat Tinggal dan

  Etnis………………………………………………………………………….66 Tabel 4. Perincian Persyaratan dan Fungsi Masing-masing Balian…………………...97 Tabel 5. Pelapisan dan Peranan Sosial………....……………………………………..98 Tabel 6. Lembaga-lembaga Pendidikan Islam……………………………………….149 Tabel 7. Jumlah Desa, RT, dan Penduduk…………………………………………...164 Tabel 8. Agama-agama/kepercayaan dan Jumlah Penganutnya……………………..165 Tabel 9. Tempat-tempat Ibadah……………………………………………………...166 Tabel 10. Jumlah Tempat-tempat Ibadah di Desa-desa di Kecamatan Loksado…….167

DAFTAR PETA

  Peta 1. Kalimatan Selatan dan Wilayah Masyarakat Adat suku Dayak Meratus……...61

DAFTAR LAMPIRAN

  Lampiran 1. Data Jumlah Desa, RT dan Penduduk; Data Agama dan Kepercayaan serta Sarana Ibadah; Data Pendidikan Keagamaan…………………….186 Lampiran 2. Data Kesejahteraan Sosial Kecamatan Loksado……………………….189 Lampiran 3. Data Nama Calon Penerima Bantuan Aruh Ganal……………………..192 Lampiran 4. Data Responden……………………………………………………...…201

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kebudayaan di masa klasik sudah pernah ditulis, bahkan untuk pertama

  kalinya dikenal istilah “sejarah” atau “history” dalam bahasa Inggris. Herodotus (484- 430 SM) The Father of History atau Bapak Sejarah ini menggunakan istoria yang berasal dari bahasa Yunani yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi historia dan dalam bahasa Inggris menjadi history. The Histories Karya Agung Herodotus adalah sebuah sejarah kebudayaan yang sangat komprehensif dengan skope spasial yang tidak tanggung-tanggung luasnya (kepulauan Ionia, Asia Minor, kepulauan Aegea, hingga pulau-pulau di Utara Laut Hitam). Begitu pula Essai Sur Les Moues et

  

L’spirit des Nations (On The Customs and The Spirit of Nation) karya Voltaire (1694-

  1778), Die Culture Der Renaissance in Italien karya Jacob Burckhardt (1818-1897), De

  

Herftstij Der Middeleuwen/ The Waning of The Middle Ages karya Huizinga (1872-

  1945), Kehidupan Dunia Keraton Surakarta (1830-1939) karya Darsiti Suratman dan

  

Kebudayaan Indies karya Djoko Sukiman adalah sejarawan-sejarawan dengan karya-

karya sejarah kebudayaannya.

  Penulisan sejarah kebudayaan sudah lama ada, tapi kemudian cenderung terlupakan dan tergeser seiring guliran waktu dan pergantian zaman karena topik di luar kebudayaan semakin dominan, seperti halnya sejarah politik, sejarah perang, sejarah peristiwa besar, sejarah orang-orang besar dan lain sebagainya. Sejarah kebudayaan semakin dilupakan ketika kerajaan-kerajaan dan negara-negara mulai berdiri, karena topik lain (misalnya politik) lebih menarik dan mempunyai tujuan tertentu dalam penulisannya.

  Negeri ini tidak boleh tenggelam dalam kekhilafannya mengesampingkan jati diri identitas budayanya sendiri. Lamprectht (1856-1915) seorang sejarawan profesional menyebutkan “sejarah kebudayaan ialah sejarah dari seeleleben, kehidupan

  1

  rohaniah sebuah bangsa”. Negara juga mempunyai keterkaitan dan peranan penting dengan budaya. Jadi sudah selayaknya negara bersahabat, ramah, tidak kejam, dan netral dengan budaya. Jacob Burckhardt (1818-1897) dalam karyanya Die Culture Der

  

Renaissance in Italien menulis “Negara mempunyai hubungan dengan budaya, sebagai

  pendorong munculnya bentuk budaya dan sebaliknya, negara adalah bagian dari sistem

  2

  budaya”. Sejarah kebudayaan juga dianggap perlu untuk dikaji karena sejarah kebudayaan merupakan bagian dari sejarah umum. Joseph H. Greenberg menuliskannya sebagai berikut: “Sejarah kebudayaan adalah bagian dari sejarah umum, mengenai perkembangan-perkembangan histories bangsa-bangsa yang belum mengenal

  3 tulisan, pada waktu sekarang dan masa lampau”.

  Indonesia bukan saja negeri yang kaya akan sumber daya alamnya dan jumlah penduduknya, tapi juga kaya akan keragaman, mulai dari suku, adat-istiadat, bahasa, agama dan kepercayaan, ras dan keturunan, hingga karakter tiap-tiap orang yang mendiami bentangan Nusantara ini. Oleh karena itu mengkaji untuk menyelami lebih dalam tentang keragaman yang ada pada negeri ini menjadi menarik, terlebih pada bagian-bagian yang sering menjadi bahan perdebatan dan masih kontroversial di 1 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogyakarta, 1994), hlm. 115. 2 3 Ibid . hlm. 117.

  Taufik Abdullah dan Abdul Surjomiharjo, Ilmu Sejarah dan Historigrafi: Arah dan Persepektif, (Jakarta: PT. Gramedia,1985) hlm. 213. kalangan peneliti dan juga bagi pemerhati budaya dan kaum intelektual, khususnya di Indonesia hingga sekarang ini. Selain itu, tulisan ini juga berupaya untuk menambah wawasan tentang khasanah budaya bangsa negeri sendiri yang hingga saat ini porsinya masih sedikit, yakni tentang sejarah kebudayaan.

  Dalam penulisan Sejarah Indonesia, terdapat dua kelompok besar, yakni Sejarah Indonesia yang ditulis dengan sudut pandang oleh orang-orang Indonesia sendiri (Indonesiasentrisme) dan sejarah Indonesia yang disajikan dengan perspektif oleh orang luar Indonesia. Penulisan Sejarah Indonesia yang Indonesiasentrime masih terbagi-bagi lagi ke dalam lokalitas kedaerahan. Salah satu yang sering terdengar dan diulas serta diperdebatkan adalah penulisan sejarah Indonesia yang Jawasentris.

  Dalam beberapa dekade ini banyak penulisan sejarah dengan sudut pandang dari Jawa atau Jawasentrisme, baik yang berupa sejarah politik, sejarah sosial hingga sejarah kebudayaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan kemajuan banyak terjadi di pulau Jawa. Misalnya dalam hal dunia intelektual yang maju pesat di pulau Jawa. Ilmu pengetahuan dan informasi dapat dengan mudah diakses di pulau Jawa.

  Kenyataan ini berbeda dengan di pulau Kalimantan misalnya, terlebih di daerah-daerah pedalaman di mana dunia pendidikan tidak semaju di pulau Jawa.

  Penulisan sejarah Indonesia kental dengan Jawasentrisme. Penulis-penulis sejarah Indonesia atau sejarawan Jawa nampak lebih dominan dalam mengulas sejarah Nasional Indonesia. Hal ini antara lain karena dukungan pemerintah, karena Pemerintah ikut “menikmatinya”, terlebih pada masa Pemerintahan rezim Orde Baru. Pada saat itu, banyak peristiwa sejarah yang dimanfaatkan sebagai sarana legitimasi kekuasaan.

  Penulisan sejarah lokal di Indonesia, dalam hal ini daerah-daerah di luar pulau Jawa masih sedikit porsinya. Sejarah lokal adalah sejarah yang mengambil topik pembahasan hanya pada skope spasial satu daerah saja. Kalau melihatnya secara administratif kewilayahan, sejarah lokal bermakna sejarah suatu Propinsi atau daerah

  4

  jika itu dilihat dari skala Nasional. Sejarah lokal atau sejarah daerah juga biasa disebut sebagai sejarah mikro.

  Peristiwa-peristiwa (sejarah) yang terjadi di pulau Jawa nampaknya juga lebih menonjol dalam penulisan sejarah di Indonesia. Seperti yang dimuat dalam buku

  

Sejarah Nasional Indonesia yang banyak memunculkan peristiwa-peristiwa sejarah di

pulau Jawa dengan tokoh-tokoh pergerakan dan pahlawan-pahlawan di pulau Jawa.

  Hal ini masih terbawa hingga sekarang, di mana peristiwa-peristiwa apapun akan lebih aktual dan disorot jika itu terjadi di pulau Jawa. Padahal ini bukan Negara Jawa, Negara Andalas, Negara Borneo, atau Negara Moluccas. Ini adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi sudah selayaknya dan memang harus, sejarah Nasional Indonesia memuat sejarah lokal dari daerah-daerah di bentangan Nusantara ini.

  Selama ini banyak dijumpai karya-karya tulis tentang sejarah yang mengangkat sejarah Nasional yang agak menyisihkan cerita-cerita lokal atau daerah atau malah banyak tulisan sejarah yang berpusat tentang sejarah di pulau Jawa saja, atau dengan kata lain pulau Jawa menjadi dominan dalam banyak penulisan sejarah. Maka dalam tulisan ini berusaha untuk kembali lebih memberikan ruang yang lebih besar bagi penulisan sejarah lokal atau daerah/mikro, agar bangsa ini juga akan lebih memahami turut sertanya sejarah lokal dalam membangun sejarah Nasional.

  Sejarah-sejarah lokal menjadi tenggelam di samudera sejarah nasional. Hanya segelintir penulis dan sejarawan yang tergugah minatnya dengan sejarah lokal atau sejarah dareah. Oleh karena itu penulisan sejarah dengan topik yang kedaerahan perlu dilakukan. Kesadaran akan penulisan sejarah lokal itu perlu ditumbuhkembangkan pada 4 J. J. Kusni, “ Tentang Sejarah Lokal dan Sejarah Nasional”, dalam majalah Kalimantan Review , nomer 3 tahun II Januari- April 1993, hlm. 40. penulis-penulis sejarah. Regenerasi sejarah lokal harus terus digugah pada setiap insan pemerhati sejarah di Bumi Pertiwi ini secara turun-temurun, agar sejarah lokal tidak pupus begitu saja atau keliru kebenarannya karena tidak ada perhatian dan minat melestarikannya.

  Kalimantan umumnya dan Kalimantan Selatan khususnya selaku (Propinsi) sebagai bagian dari wilayah republik ini juga mempunyai cerita atau sejarah lokal.

  Sejarah lokal Kalimantan (Selatan) seperti halnya sejarah lokal dari daerah-daerah lain juga turut membangun Sejarah Nasional Indonesia. Sejarah lokal di Kalimantan Selatan juga harus terus dikaji dan diteliti, bukan saja sifatnya yang dinamis tapi juga karena masih ada sejarah yang samasekali belum pernah diangkat, padahal topik- topiknya banyak yang menarik untuk diteliti.

  Dalam penulisan Sejarah Lokal Kalimantan Selatan yang berhubungan dengan kebudayaan masih sangat kurang jumlahnya dan jauh lebih sangat kurang lagi pendalamannya. Hanya beberapa saja yang tertarik dan tergugah minatnya untuk menulis tentang sejarah kebudayaan di Kalimantan Selatan.

  Salah satu kekayaan ragam bangsa ini adalah suku. Suku-suku yang jumlahnya mungkin mencapai ribuan yang tersebar di segala penjuru Nusantara ini. Suku Dayak adalah salah satunya. Suku Dayak terdapat di pulau terbesar ketiga di planet ini dan terbesar pertama di Republik ini, pulau Kalimantan. Suku Dayak menjadi sorotan penelitian atau menarik untuk diteliti karena beberapa alasan, mulai dari keunikan dan khasnya adat-istiadat, budaya dan tradisinya, alam mistiknya, eksotik alamnya, hingga masalah-maslah sosial politik yang kerap dibenturkan pada suku ini.

  Suku Dayak dalam pendapat umum yang terdapat di masyarakat Indonesia bahkan di dunia adalah suku yang diidentikkan dengan beberapa hal yang buruk, seperti keterbelakangannya, terasing, tidak beradab, buas, metode santet/tenung, dan lain sebagainya. Pendapat-pendapat ini tentu saja sangat naif. Image yang dilekatkan pada suku Dayak di atas tidak berlandaskan sisi obyektifitas faktanya. Memang benar bahwa suku Dayak hidup di alam yang buas, hutan yang rimba, komunitas-komunitas kecil di perkampungan-perkampungan terpencil, memuja roh-roh alam dan leluhur, terdapat istilah ngayau atau mamat (memotong kepala manusia), hidup sederhana dan jauh dari modern civilization. Akan tetapi bukan berarti bahwa mereka (suku Dayak)

  uncivilized.

  Suku Dayak masih terbagi-bagi lagi dalam beberapa puak atau sub-suku Dayak. Tiap-tiap puak atau sub suku Dayak juga masih terpilah menjadi sub-sub suku Dayak lagi. Tiap-tiap puak suku Dayak mempunyai ciri khas tersendiri meskipun sebenarnya mereka adalah sama, satu nenek moyang, satu rumpun, yakni suku Dayak. Tiap-tiap puak suku Dayak mempunyai alasan kriteria tertentu dalam hal pembagiannya, seperti daerah yang mereka diami. Misalnya puak suku Dayak Meratus yang mendiami kawasan Pegunungan Meratus di Propinsi Kalimantan Selatan dan sebagian di Kalimantan Tengah.

  Masyarakat adat suku Dayak Meratus adalah masyarakat yang masih setia menganut kepercayaan/religi lokal mereka, meskipun juga tidak sedikit yang sudah mulai meninggalkannya dengan alasan-alasan tertentu. Mereka menyebutnya dengan istilah “agama” Balian, yang juga biasa ditafsirkan sebagai Kaharingan-nya bagi puak suku Dayak Meratus. Masalah penyebutan nama kepercayaan suku Dayak Meratus ini pun juga mempunyai perdebatan. Seperti yang kemudian muncul penamaan agama Hindu (sekte) Kaharingan sebagai wujud dari perjuangan pengakuan terhadap eksistensi penganut “agama” Balian.

  Religi Balian pada intinya adalah “agama” yang sangat dekat dengan alam. Hal ini dapat dimaklumi dan mudah dipahami karena kelangsungan hidup dan kehidupan masyarakat adat suku Dayak Meratus banyak sekali bergantung pada alam. Oleh karena itu masyarakat adat suku Dayak Meratus sungguh sangat menghargai alam. Agama dan mitos sebagai bagian dari budaya yang kerap mempunyai gejala dan peristiwa yang

  5 tidak dapat dijelaskan secara rasional tapi hanya berdasarkan pengalaman iman saja.

  Setiap sesuatu yang ada dalam religi Balian mempunyai mitosnya sendiri-sendiri. Misalnya tentang terjadinya sesuatu, asal-muasal dan lain sebagainya. Kebanyakan dari mitos-mitos tersebut erat berhubungan dengan alam di mana mereka berpijak.

  Masyarakat adat suku Dayak Meratus percaya bahwa tiap-tiap unsur dan benda apapun itu di muka bumi mempunyai nyawa atau roh, perasaan, amarah, indera, kuasa, kehendak, dan sebagainya seperti halnya makhluk hidup. Termasuk di antaranya pohon, hutan, air, sungai, tanah, gunung, dan sebagainya. Masyarakat suku Dayak Meratus juga percaya terhadap adanya roh-roh nenek moyang dan mahkluk-makhluk halus. Sehingga religi Balian dapat dikatakan sebagai kepercayaan yang mempunyai

  6 unsur animisme, dinamisme, totemisme, fetisme, dan spiritisme serta animatisme.

  Jumlah total penganut “agama-agama asli” di seluruh dunia mencapai 237.386.000 orang atau setara 3,7% dari total jumlah penduduk dunia yang berjumlah kira-kira 6,3 milyar orang. Di Negara Indonesia “agama-agama asli” banyak terdapat di pedalaman Sumatera, pedalaman Kalimantan, Papua, pedalaman Sulawesi, dan Sumba. Menurut sensus aliran kepercayaan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003 di Indonesia setidaknya terdapat 245 Aliran Kepercayaan dengan jumlah total

5 Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, sunt. Kamdani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 132-133.

  6 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid I, (Jakarta: Penerbit Universitas

Indonesia, 1980), hlm. 62-65. Lihat juga Maria Susai Dhavanony, Fenomenologi Agama,

(Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm.24.

  7

  penghayatnya mencapat 400 ribu jiwa lebih. Di antaranya adalah: Ilmu Sejati, “agama” Buhun, Aliran Kepercayaan Mbah Suro, “agama” Parmalim, Kejawen, Aliran Mulajadi Nabolon, Purwoduksino, Budi Luhur, “agama” Pentrap, “agama” Traju Trisna, “agama” Balian atau Kaharingan, “agama” Pahkampetan, “agama” Bolin, “agama” Naurus, “agama” Basora, “agama” Tonaas Walian, “agama” Jawa-jawi Mulya, “agama” Sunda Wiwitan (“agama” Djawa Sunda/“agama” Cigugur), Penghayat Ajaran Mei Kartawinata, “agama” Tolottang, “agama” Kuring, “agama” Pancasila, “agama” Yakin Pancasila, “agama” Permai, “agama” Wetu Telu, dan masih banyak lagi.

  Bagi Pemerintah rezim Orde Baru mereka (penganut-penganut “agama” lokal/asli/suku/etnis) dianggap tidak atau belum beragama. Jadi sudah selayaknya mereka ini diberagamakan atau dipaksa memeluk agama-agama yang telah diresmikan

  8 atau diakui oleh Pemerintah.

  Pasca jatuhnya Pemerintahan rezim Orde Baru adalah saat yang tepat yang membuka peluang untuk kembali menggali dan menulis hal-hal yang dulunya dianggap sebuah dosa di zaman Orde Baru. Ini saatnya meluruskan kembali kebenaran sejarah bangsa dan negara dan membersihkan nama, citra, dan label buruk, yang telah lama melekat “di masa kegelapan” kemarin. Seiring waktu ini kembali mencuat ke permukaan tentang berbagai permasalahan yang dulu pernah “dinetralisir” oleh pemerintah rezim Orde Baru yakni tentang suatu identitas bangsa, budaya dan keyakinan

7 Anonim, “Agama Asli Nusantara”, dalam website http://id.wikipedia.org/wiki/ Agama _Asli_Nusantara.

  8 Anonim, “Fenomena Agama Asli”, dalam website http://tiranus.net/archives/ 2005/07/27 fenomena-agama-asli,

27 Juli 2005.

  Pertama kali berdiri pemerintah rezim Orde Baru telah menetapkan terdapat lima agama resmi yang diterima atau diakui di Republik ini, (setelah sebelumnya Sukarno menetapkan ada enam). Artinya bagi mereka yang merasa berpijak di Bumi Pertiwi ini, di luar dari agama yang lima yang disebutkan di atas harus meleburkan keyakinan dirinya ke dalam agama yang lima tersebut. Usaha pengagamaan (formalisasi agama) ini gencar dilakukan oleh Pemerintah rezim Orde Baru tentu saja dengan tujuan politis (salah satunya disandarkan pada alasan pemberantasan hawa Komunis yang saat itu dipandang anti Tuhan yang kemudian ditafsirkan sebagai anti

  9

  agama). Pemerintah rezim Orde Baru juga mempunyai tujuan agar dapat membuat pembedaan antara Orde Lama dengan Orde Baru yang dipimpinnya. Pada pemerintahan Orde Lama rakyat diperbolehkan menganut faham dan menjadi Komunis. Pemerintahan rezim Orde Baru mendoktrinasi bahwa Komunis itu salah, pengikut atau pemuja setan, tidak bertuhan (ateis), kafir, dosa besar, penyimpangan, aliran (kiri) sesat, musuh rakyat, harus dibasmi dan dibunuh, dan cap negatif lainnya. Selain itu, hal ini juga bertujuan untuk menguatkan legitimasi bahwa Pemerintah rezim Orde Baru layak dan pantas berkuasa karena benar dan Pemerintah Orde Lama telah salah. Dalam beberapa hal (misalnya tentang persoalan faham yang berkembang di Indonesia) Pemerintah rezim Orde Baru banyak mendiskreditkan Pemerintah Orde Lama sebagai Pemerintahan yang lalai, keliru, dan jahat.