Peran sentral pemangku dalam agama hindu : studi kasus pada pura raditya dharma cibinong bogor

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S. ThI)

Oleh :

Deden Ruhyadi Anwar NIM : 101032121613

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk memenuhi Syarat-syarat mencapai Gelar Sarjana Theologi Islam

Oleh.

Deden Ruchyadi Anwar NIM : 101032121613

Di Bawah Bimbingan

Drs. Roswen Djafar,MA.

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

mengatur semua hambanya, membimbingnya, sekaligus menetapkan ketentuan hidup yang harus dilalui oleh kita sebagai makhlauk CiptaanNya. Hanyalah Dia yang dengan kekuasaanya senantiasa memberikan berbagai nikmat kepada insan semua. Semoga kenikmatan Iman, Islam, dan Ihsan selalu tersimpan dalam diri kita sebagai cerminan manusia yang bertaqwa.

Shalawat seiring Salam semoga selalu tercurah keharibaan Junjungan alam Nabi Besar Muhammad SAW, kepada para keluarga yang sangat menjaga dan mencintai beliau semasa hidupnya maupun sampai akhir hidupnya, para sahabat yang selalu konsisten di jalan dakwah juga kita sebagai umatnya semoga bisa meneladani kepribadian Rasulullah Muhammad SAW dalam kehidupan ini .

Penulis menyadari bahwa skripsi ini terselesaikan bukan semata-mata dari diri pribadi penulis, namun berkat pertolongan Allah Swt dan bantuan dari semua pihak yang turut andil dalam memberikan do’a, moril, materiil serta keikhlasan dalam membimbing penulis. Oleh karenanya penulis ingin kiranya menyampaikan penghormatan setinggi-tingginya kepada ayahanda tercinta bapak serta Ibunda yang telah mengasuh, menyayangi, serta


(4)

besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, MA, selaku Dekan Fakultas Ushhuluddin.

2. M. Nuh Hasan, MA, selaku Ketua Jurusan Perbandingan Agama 3. Maulana, MA, selaku Sekretaris Jurusan Perbandingan Agama 4. Prof. Dr. Ikhsan Tanggok, MA, selaku PUDEK I yang telah

memberikan kebijaksanaan kepada penulis untuk menyelasaikan skripsi ini.

5. Bapak Drs. H. Roswen Djafar selaku pembimbing, yang telah meluangkan waktunya kepada penulis untuk memberikan kemudahan dalam menyelasaikan skripsi ini.

6. Para dosen Fakultas Ushuluddin terutama jurusan Perbandingan Agama,

7. I Nyoman Susila. S. Ag. M. Si. Selaku Pemangku di Pura Raditya Dharma Cibinong yang telah membantu proses kelancaran dalam memperoleh data-data yang diperlukan


(5)

iii

materil serta semangat kepada penulis.

9. Teman-temanku semua angkatan tahun 2001 Jurusan Perbandingan Agama kau semua adalah teman terbaikku.

10. Sahabat-sahabatku, Uus badruzaman, Iman firmansyah, Ali Imron dan Unday yang selalu ada dikala duka maupun duka.

11. Terimakasih kepada Tuti Shofiah, A. Md (Shofi), Bay Aji Yusuf (Bang Ubs), Rita Nurseha dan Dede Hapit, yang telah memberikan dukungan dan membantu demi trerselesaikannya skripsi ini

12. Teman-temanku di perumahan Bumi Jagakarta Pertiwi dan di General Auto.

13. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuannya kepada penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan

Ciputat, 04 September 2010


(6)

DAFTAR ISI……… iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 5

C. Tujuan Penelitian... 6

D. Metode Penelitian ... 6

E. Sistematika Penulisan... 7

BAB II PEMANGKU DAN PURA RADITYA DHARMA CIBINONG BOGOR A. Pemangku ... 9

1. Pengertian dan Syarat Menjadi Calon Pemangku ... 9

2. Kehidupan Seorang Pemangku ... 13

a. Tempat tinggal... 13

b. Penghasilan seorang Pemangku... 15

3. Wewenang Seorang Pemangku... 16

B. Gambaran Pura Raditya Dharma Cibinong Bogor... 19

1. Pengertian, Fungsi dan pengelompokkan Pura... 19


(7)

5. Kegiatan Keagamaan dan Sosial di Pura Raditya Dharma ... 29

6. Kegiatan Sanggar Tari Bali di Pura Raditya Dharma ... 33

BAB III PERAN SENTRAL PEMANGKU DALAM MEMBIMBING UMAT HINDU A. Memimpin Umat Untuk Mencapai Kebahagiaan Lahir Batin ... 37

1. Pemangku Sebagai Guru Rohani Membimbing Umat Hindu... 37

2. Pemangku Sebagai Tempat Bertanya Mengadu Umat Hindu... 42

B. Melakukan Pemujaan dan Upacara ... 42

1. Mencari hari-hari yang baik... 47

2. Memimpin upacara-upacara Keagamaan... 47

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ... 53

B. Saran– saran... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 56


(8)

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Para pemuka agama seperti Kyai dalam agama Islam, Pendeta dalam agama Kristen, Bhikkhu dalam agama Budha, maupun Pemangku dalam agama Hindu, sepak terjang maupun keberadaannya sangat sentral sekali terhadap setiap umatnya, karena peranannya yang sangat penting terhadap kehidupan agamanya terlebih dalam hal pelaksanaan ibadah atau ritual keagamaan yang bersifat sakral dan suci. Seakan tak dapat di pungkiri lagi, tanpa keberadaannya, di tengah-tengah umat bisa jadi kegiatan-kegiatan yang bersifat sakral tersebut tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Agama Hindu yang ajaran dan pelaksanaan ibadahnya lebih banyak berupa upacara-upacara persembahan, tak terkecuali sangat membutuhkan keberadaan seorang rohaniawan untuk membantu pelaksanaan ritual-ritual tersebut. Rohaniwan dalam agama Hindu yang bertugas secara langsung mengantarkan suatu upacara di kenal dengan berbagai nama. Di lihat dari tingkat penyuciannya umumnya hanya di bedakan atas dua golongan yaitu rohaniwan yang tergolong Dvijati dengan sebutan


(10)

Pandita. Dan rohaniwan yang tergolong Ekajati dengan sebutan Pemangku. 1 Pemangku adalah seorang yang telah mencapai kesucian

diri lahir batin melalui proses ritual, Pemangku digolongkan sebagai orang yang mempunyai kedudukan mulia di dalam masyarakat Hindu. Tugas dan kewajiban seorang Pemangku setiap harinya adalah dalam hubungan dengan pembinaan kehidupan beragama, pemangku bertugas untuk menuntun umat dalam menciptakan ketertiban dan kehidmatan pelaksanaan upacara di pura tempatnya bertugas, serta mengatur persembahyangan, maupun mengatur sajen yang akan di persembahkan. Di luar kegiatan upacara di pura, Pemangku bertugas untuk menjaga dan memelihara kelestarian dan kesuian pura. 2

Pemangku adalah seorang yang sangat dihormati dan dipatuhi oleh umatnya, karena kedudukannya yang tinggi di dalam masyarakat Hindu. Selain itu juga karena Pemangku merupakan sebagai sesepuh bagi masyarakat Hindu yang selalu memberikan pelayanan membantu melaksanakan upacara-upacara keagamaan serta menuntun dan

1Departemen Agama, I Gst. MD Ngurah et al, Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk

Perguruan Tinggi, (Surabaya: PARAMITA, 1999), cet. I, h. 162


(11)

membimbing umat dalam mengajarkan ajaran agama maupun dalam pelaksanaan dharma dalam kehidupan sehari-hari.

Pemangku juga diharuskan menjaga kebersihan (lahiriah) dan kesucian diri (bathiniah) dengan cara setiap pagi mapeningan dan sudah selayaknya mempunyai perlengkapan pemujaan seperti sebuah dulang yang diatasnya ada genta, tempat dupa, pasepan, sangku, sesirat, dan daun lalang, caratan tempat air bersih, botol tetabuhan canting dan bunga. Sebuah kekasang, dan sebuah ganitri. 3

Adapun kewajiban yang diberikan kepada seorang Pemangku untuk membantu dan membimbing umatnya dalam melaksanakan ajaran agama Hindu adalah yaitu memimpin umat dalam hidupnya untuk mencapai kebahagiaan lahir batin. Juga dalam hal memimpin berbagai macam upacara dan menentukan tingkat upacara yang berhubungan dengan Panca Yadnya, nganteb upacara-upacara pada kahyangan yang di amongnya, dapat ngeloka para sraya sampai dengan madudus alit, sesuai dengan tingkat pawitenannya dan juga atas panugrahan sulinggih. Dan waktu melaksanakan tugas agar berpakaian serba putih, dandanan rambut wenang agotra, berambut panjang, anyondong, menutup kepala

3

Pura Simbolis Kesucian dan Keagungan Tuhan, artikel di akset dari www.google.com pada 16 Juli 2010


(12)

dengan destar juga menyelesaikan upacara rutin di dalam pura dengan nganteb/masehe serta memohon tirta kehadapan Ida Sang Hyang Widhi dan bhatara bhatari yang malinggih atau yang di istanakan di pura tersebut termasuk upacara yajna membayar kaul dan lain-lain. 4

Sarana yang digunakan oleh Pemangku dalam melaksanakan kegiatannya adalah di Pura. Karena Pura sebagai pusat kegiatan keagamaan umat Hindu yang dianggap tempat suci dan sakral. Selain digunakan sebagai tempat ibadah, Pura juga bisa digunakan dalam kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan Hindu seperti kegiatan belajar-mengajar, mahasaba, belajar menari, kegiatan sosial kemasyarakatan dan lain-lainnya.

Di dalam Pustaka Tutur Kasuskman di jelaskan secara gamblang bahwa Pemangku adalah perwujudan Sanghyang Dharma. Pemangku menjadi panutan umat Hindu karena kebenaran telah menjiwai dirinya. Nilai kebenaran (Dharma) pada diri seorang Pemangku sangat meresap di hati umat Hindu sehingga apa yang dikatakan dan ditetapkan oleh Pemangku maka dijadikannya perkataan dan ketetapannya itu sebagai pegangan hidup yang tidak boleh dilanggar. Dengan demikian peran

4 Departemen Agama, I Gst. MD Ngurah et al, Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk


(13)

Pemangku menjadi sentral dari pada tata keagamaan dan juga dalam aktivitas agama Hindu. Seorang Pemangku merupakan panutan umat Hindu. Ia bertanggungjawab penuh terhadap kegiatan yang dilakukan di pura, membimbing dan memimpin umat menuju ke arah yang lebih baik dalam sikap dan perbuatan, juga memberi wawasan pencerahan bagi umat merupakan bagian dari salah satu tugasnya. 5

Di daerah yang tidak jauh dari Penulis di ketahui ada sebuah Pura yang besar , yang jaraknya kurang lebih 15 KM dari tempat tinggal Penulis yang bernama Pura Raditya Dharma. Dan penulis mencoba menelitinya dari berbagai sudut dan akan di tuangkan dalam skripsi ini. Oleh karena alasan-alasan tersebut di atas, sehingga membuat penulis tertarik untuk membahas tentang Pemangku yang lebih khususnya lagi adalah mengenai “ Peran Sentral Pemangku Dalam Agama Hindu” (Studi kasus Pada Pura Raditya Dharma Cibinong Bogor).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Penulisan skripsi ini, penulis membatasinya pada ”Peran Pemangku dalam Membimbing dan Melakukan Upacara atau

5 Wawancara pribadi dengan I Nyoman Susila, Pemangku pada Pura Raditya


(14)

Pemujaan” Secara umum skripsi ini akan membahas tentang wewenang seorang Pemangku sebagai orang suci di dalam agama Hindu. Adapun rumusan secara khususnya yaitu, apa saja peranan Pemangku dalam agama Hindu ?

C. Tujuan Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini terdapat beberapa tujuan yang dianggap penting. Secara umum, tujuan penelitian ini untuk mendapatkan informasi yang benar tentang Pemangku dan peran sentralnya di Pura Raditya Dharma Cibinong Bogor.

Adapun tujuan secara khusus dari penelitian skripsi ini yaitu, untuk memenuhi syarat menjadi Sarjana (SI) di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.

D. Metode Penelitian

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah Field Research

(penelitian lapangan) terhadap pihak-pihak yang berkompeten dengan masalah yang sedang diteliti di Kelurahan Cikaret, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Ditambah dengan literatur yang menunjang sebagai pelengkap dalam penulisan (secoundary-sources).


(15)

Dengan metode penelitian tersebut di atas diharapkan mendapat data-data sehingga penelitian ini dapat ditemukan kesimpulan yang tepat dan objektif. Sedangkan pengumpulan data yang dipakai adalah Library

Research (penelitian pustaka) dengan cara mencari dan mengumpulkan

tulisan-tulisan mengenai Pemangku meliputi wewenangnya dan tentang peranan Pemangku dalam kehidupan keagamaan umat Hindu baik sumber primer maupun sumber skunder .

Adapun teknik penulisan yang kami gunakan dalam penulisan skripsi ini merujuk pada Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi UIN “Syarif Hidayatullah” (Jakarta : UIN Press, 2002)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika Penulisan yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan. Dalam bab ini berisikan sub-sub sebagai berikut : Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

Bab II menjelaskan tentang Pemangku, Pengertian dan syarat menjadi calon Pemangku, Kehidupan seorang Pemangku, Wewenang seorang Pemangku, Gambaran Pura Raditya Dharma Cibinong Bogor


(16)

yang meliputi Pengertian, fungsi dan pengelompokkan Pura, sejarah berdirinya, Struktur kepengurusan pada Pura Raditya Dharma Cibinong, kegiatan Pemangku di Pura Raditya Dharma, kegiatan keagamaan, dan kegiatan sanggar tari Bali di Pura Raditya Dharma.

Bab III merupakan inti dari skripsi ini yaitu tentang peran sentral Pemangku dalam membimbing umat Hindu yang terdiri dari : Pemangku sebagai guru rohani membimbing umat hindu , Pemangku sebagai tempat bertanya dan mengadu umat hindu, melakukan pemujaan yang meliputi; mencari hari-hari yang baik, memimpin upacara keagamaan.

Bab IV adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran. masukan bagi masyarakat secara umum dan khususnya bagi penulis sendiri. Terakhir adalah daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang merupakan referensi dalam penulisan skripsi ini.


(17)

BAB II

PEMANGKU DAN PURA RADITYA DHARMA CIBINONG BOGOR

A. Pemangku

1. Pengertian dan syarat menjadi seorang Pemangku

Pemangku adalah orang yang bertugas memimpin dan membimbing umat hindu dalam urusan keagamaan. Seperti memimpin sembahyang, maupun upacara keagamaan. Dalam tingkatannya, seorang Pemangku atau Pinandita berada di bawah seorang Pandita. Adapun syarat menjadi seorang Pemangku adalah :

1. Laki-laki, diutamakan yang sudah menikah 2. Umur sudah dewasa

3. Paham dalam bahasa kawi, sansekerta, dan Indonesia.

4. Memiliki pengetahuan umum, mendalami intisari ajaran-ajaran agama (filsafat, etika, dan Rituil)

5. Sehat lahir batin, ingatan tidak terganggu , tidak cedangga (cacat tubuh) serta berbudi luhur


(18)

6. Berperilaku baik. Artinya tidak pernah tersangkut dengan tindak pidana ringan dan berat yang surat keterangannya di keluarkan dari kepolisian 1

Secara formal terutama yang menyangkut prosedur administrasi Parisada Hindu Dharma menetapkan syarat-syarat bagi calon Pemangku hampir sama dengan calon Pandita/Sulinggih. Kecuali yang menyangkut hubungan dengan Nabe. Oleh karena seorang Pemangku dalam poses penyuciannya tidak memerlukan seorang Nabe seperti pada padiksaan seorang Sulinggih. Dalam aspek mental spiritual, seorang calon Pemangku juga sangat diperhatikan. Tindakan dan perilaku Pemangku yang tidak terpuji, tidak hanya mencemari dirinya sendiri tetapi di pandang akan menodai lingkungannya. Bilamana seorang Pemangku yang di resmikan melalui acara pawitenan, berbuat yang menyalahi aturan, ia wajib mengulang lagi melaksanakan upacara penyucian diri.

Yan hana pamanku widhi tammpak tali cuntaka dadi pamanku Wnan malih mapa rayasciita kadi nguni apakarania, wan dadi pamanku widhimalih.Yan nora wankara Phalania Tan mahyun batara Mahyan Rin kahyanan.


(19)

( Lontar kusuma Dewa). Artinya: Bilamana ada Pemangku yang pernah diikat (karena suatu kesalahan) dipandang cuntaka, wajib melaksanakan upacara prayascita seperti upacaranya semula (dengan demikian) ia berhak untuk menjadi Pemangku. Bila tidak demikian akibatnya tidak berkenan bhatara turun di kahyangan. Dalam prakteknya di masyarakat pemilihan calon Pemangku di tentukan oleh umat pengempon pura yang bersangkutan. Prosedur penetapannya maupun pemilihan calon itu sendiri dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan tradisi setempat. 2

Ada beberapa cara yang telah umum dilakukan dalam pemilihan pemangku/pinandita antara lain:

1) Melalui Nyanjan

Cara ini ditempuh dengan bantuan seorang mediator yang mampu menghubungkan diri dengan dunia ghaib, kemudian menerima petunjuk-petunjuknya secara langsung. Siapa yang akan di pilih untuk menjadi Pemangku di pura tersebut. Penyampaian petunjuk oleh mediator tersebut sering di lakukan dalam keadaan

2Departemen Agama, I Gst. MD Ngurah et al, Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk


(20)

instan. Pada akhirnya apakah petunjuk yang disampaikan oleh sang mediator itu dapat diterima atau tidak oleh umat yang mendukung pura tersebut. Sepenuhnya kembali kepada umat itu sendiri.

2) Melalui keturunan

Cara ini tidak melalui prosedur yang berbelit-belit. Oleh karena ini telah diterima secara tradisi, bilamana seorang pemangku yang tua, dan sudah tidak dapat lagi melaksanakan tugasnya, secara otomatis akan digantikan oleh keturunannya dalam hal ini adalah anaknya. Melalui cara ini proses kaderisasi umumnya berlaku secara alami, dan dipersiapkan dengan baik. Oleh karena itu telah di sadari pada saatnya nanti sang anak akan menerima tongkat estapet dari orang tuanya untuk melanjutkan tugasnya sebagai Pemangku di pura yang bersangkutan.

3) Melalui pemilihan

Cara ini sering dilakukan bilamana cara-cara lain tidak berhasil di laksanakan. Dan juga yang memang melaksanakan secara tradisi sehingga akan berlanjut untuk waktu yang berikutnya. Dalam proses pemilihan penentuan syarat-syaratnya di samping yang telah di tentukan secara umum sering masih ditambahi dengan syarat-syarat


(21)

yang di tetapkan secara khusus oleh umat yang bersangkutan.

Betapapun juga tugas seorang rohaniwan apakah yang tergolong ekajati (Pemangku) lebih-lebih yang tergolong Dvijati (Pandita) adalah cukup berat. Oleh karena itu pula timbal baliknya yaitu berupa perhatian dan penghargaan dari masyarakat umat itu sendiri juga patut di berikan sewajarnya agar rohaniwan yang dipercayakan dalam tugas-tugas keagamaan dapat melakanakan tugasnya dengan baik sesuai dengan pesanannya dan dapat berperan sebagai tokoh panutan. 3

2. Kehidupan Seorang Pemangku

Kehidupan seorang Pemangku di luar dari peranannya sebagai guru lokal adalah seperti halnya seorang hinduwan biasa yang melakukan kegiatan keseharian dengan wajar. Pemangku juga berkeluarga dan mempunyai isteri dan anak seperti halnya kebanyakan orang.

a) Tempat Tinggal

Seorang Pemangku kebanyakan tinggal di rumah pribadi walaupun ada Pemangku yang tinggal di Pura. Pemangku I

3 Ibid., h. 176-177


(22)

Nyoman Susila dalam hal ini Pemangku di Pura Raditya Dharma Cibinong ini tinggal di rumah pribadi yang tempatnya berdampingan dengan Pura Raditya Dharma itu sendiri. Rumah yang di tempati I Nyoman Susila sudah di buatkan oleh Batalyon yang berada di Cibinong ini agar Pemangku dapat menetap persis berdekatan dengan pura. Ini sangat memudahkan Pemangku jika tinggal dekat dengan Pura maka koordinasi pelaksanaan keagamaan akan lebih mudah. Sebagai contoh, jika ada kematian maka dapat segera ditangani lebih cepat, ketimbang jika Pemangku tinggal jauh dari pura. Pasalnya jika Pemangku tinggal sangat jauh dari pura di khawatirkan kegiatan keagamaan akan mengalami gangguan. Karena di samping seorang Pemangku sebagai tokoh agama yang di taati, ia pun sekaligus sebagai pemimpin dalam setiap ritual-rituil yang di adakan di pura seperti sembahyang tiga kali sehari dan lain sebagainya. 4

Namun jika dilihat secara umum yang tinggal di rumah pribadi adalah Pemangku yang sudah menikah atau berkeluarga, karena bagaimanapun juga ia harus bertanggungjawab atas kelangsungan hidup keluarganya. Lebih lanjut seorang Pemangku

4 Ibid., h.177


(23)

membutuhkan tempat tinggal yang nyaman agar kegiatan yang mereka kerjakan dapat berdampak baik bagi umat Hindu itu sendiri.

b) Penghasilan seorang Pemangku

Pemangku selain tugasnya melayani umat dalam membimbing dan menjadi pemimpin umat hindu, Pemangku juga ada yang bekerja sebagai pegawai (negeri/swasta). I Nyoman Susila Pemangku di Pura Raditya Dharma bekerja sebagai Pegawai Negeri di Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu yang bertempat di Lapangan Banteng Barat, Jakarta Pusat. Di tambah ia merangkap sebagai Dosen Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) di Rawamangun Jakarta. Ia pun untuk beberapa kali waktu selalu mengisi mimbar agama Hindu di TVRI dan RCTI jika pihak televisi membutuhkan penceramah dari kalangan Pemuka agama umat Hindu. Dengan demikian penghasilan yang di dapat seorang Pemangku dalam hal ini I Nyoman Susila sudah sangat mencukupi kebutuhannya. Hal ini dapat di lihat dengan hasil yang di dapat perbulannya sebagai Pegawai Departemen agama RI, di tambah dengan Dana yang di berikan oleh umat Hindu dalam pemberiannya kepada Pemangku.


(24)

Hal ini dapat dipahami bahwa jika seseorang sudah tidak lagi memikirkan harta dunia, maka ia akan konsen dan terasa lebih tenang di dalam dirinya sehingga akan berdampak baik di dalam peribadatannya, khususnya dalam memimpin dan membimbing umat Hindu dalam setiap kegiatan keagamaannya.

3. Wewenang Seorang Pemangku

Seorang Pemangku atau yang biasa disebut dengan Pinandita di beri wewenang sama seperti halnya dengan seorang Pandita seperti memimpin dan melaksanakan upacara kematian. Acara kematian pun tidak semua daerah sama tatacara pelaksanaanya. Pemangkulah yang biasanya mengetahui tata cara yang harus di lakukan. Sesuai dengan keputusan Seminar kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu bahwa seorang Sulinggih, Pandita/Pemangku berwenang dalam menyelesaikan segala upacara Panca Yajna yang dilaksanakan oleh umat Hindu. Kewenangan ini tidak terbatas pada upacara yang bersifat rutin maupun persembahan, melainkan juga termasuk penyelesaian upacara yang bermakna mengesahkan seperti upacara


(25)

perkawinan, upacara pengangkatan anak, upacara penyumpahan dan sejenisnya. 5

Selain itu juga wewenang Pemangku tidak terbatas sampai di situ saja, bahkan memberikan Dharma wacana juga bisa dilakukan oleh seorang Pemangku, mengingat seorang Pandita di Kabupaten Bogor ini seperti yang dituturkan oleh I Nyoman Susila hanya berjumlah 1 (satu) orang di daerah yang cukup jauh yaitu daerah Cilendek Bogor yang berjarak kurang lebih 20 Kilo meter dari kota Cibinong 6

Secara umum semua jenis Pemangku dengan berbagai sebutannya memiliki batas wewenang yang jauh lebih kecil dibandingkkan dengan Pandita dalam hal mengantarkan Yajna. Dalam keputusan seminar Kesatuan Tafsir terhadap aspek-aspek agaam Hindu batas kewenangan seorang Pemangku dijabarkan lebih lanjut adalah sebagai berikut :

Nganteb upakara upacara pada kahyangan yang di amongnya. Dapat ngeloka para sraya sampa dengan modudus alit sesuai dengan tingkat pawitenannya dan juga atas peanugrahan sulinggih waktu

5 I Gusti Made Ngurah, Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi,

( Surabaya: Paramta, 1999), Cet I h. 167


(26)

melaksanakan tugas agar berpakaian serba putih dandanan rambut wenag agotra, berambut panjang, anyondong, menutup kepala dengan Destar

Dalam hubungannya dengan Panca Yajna batas kewenangan tersebut di rinci sebagai berikut :

1) Menyelesaikan upacara puja wali piodalan sampai tingkat piodalan pada pura yang bersangkutan

2) Apabila Pemangku menyelesaikan upacara di luar pura yang di amongnya atau upacara/upakara. Upacara yajna itu dilangsungkan di luar pura atau jenis upacara. upakara yajna tersebut bersifat rutin seperi puja wali maka Pemangku boleh menyelesaikan dengan nganteb serta mempergunakan tirta sulinggih selengkapnya

Karena demikian besarnya wewenang seorang Pemangku dalam aktifitasnya, maka ia harus benar-benar menjadikan dirinya seorang yang mampu menguasai segala hal yang berkaitan dengan upacara Yadnya dan kemampuan penguasaan terhadap kitab suci. Selain itu Pemangku juga harus berwibawa dan menjaga perilaku agar umat memandang dirinya sebagai Pemangku yang di percayai dapat membimbing kerohanian dan memimpin dalam segala upacara


(27)

Yadnya, sehingga umat sering memanggilnya untuk membimbing dan memimpin sebagai guru loka.

B. Gambaran Pura Raditya Dharma Cibinong Bogor 1. Pengertian, fungsi , dan Pengelompokkan Pura

Sebelum dijabarkan lebih lanjut tentang historis berdirinya pura Raditya Dharma ini penulis akan terlebih dahulu memberikan sedikit pengetahuan tentang definisi dari pura.

Dalam kamus bahasa Kawi istilah pura di artikan sebagai : kubu, benteng, istana, kerajaan, kota atau puri. 7

Pura berarti candi kecil yang banyak terdapat di daerah Bali. Ada banyak jenis pura. Seperti pura Desa, Pura Dalem, pura Subak, Pura Dewa-dewa hutan, pura Gua, dan Pura Beji; memiliki pekarangan yang dikelilingi sebuah tembok dengan sebuah pintu gerbang dan terbagi atas dua atau tiga petak. 8

Pura seperti halnya meru atau candi (dalam pengertian peninggalan purbakala kini di jawa) merupakan simbol dari kosmos

7 Wojowasito, Kamus Kawi-Indonesia, h. 213

8 M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta, Lembaga Pengkajian


(28)

atau alam sorga. (kahyangan), seperti pula diungkapkan oleh DR. Soekmono pada akhir kesimpulan disertasinya yang menyatakn bahwa candi bukanlah sebagai makam , maka terbukalah sebuah perspekif baru yang menempatkan candi dalam kedudukan yang semestinya (sebagai tempat pemujaan /pura) Secara sinkronis candi tidak lagi terpencil dari hasil-hasil seni bangunan lainnya yang sejenis dan sejaman, dan secara diakronis candi tidak lagi berdiri di luar garis rangkaian sejarah kebudayaan Indonesia. Kesimpulan Soekmono ini tentunya telah menghapus pandangan yang keliru selama ini yang memandang bahwa candi di jawa atau pura di Bali adalah tempat pemakaman para raja, melainkan sebagian pura di Bali adalah tempat suci untuk memuja leluhur yang sangat berjasa yang kini umum di sebut Padharman. Untuk mendukung bahwa pura atau tempat pemujaan adalah replika kahyangan dapat di lihat dari bentuk struktur relief, gambar dan ornamen dari sebuah pura atau candi. Pada bangunan suci seperti candi di Jawa kita menyaksikan semua gambar, relief atau hiasannya menggambarkan makhluk-makhluk sorga , seperti arca-arca dewata wahana devata, dan pohon-pohon sorga (parijata dan lain-lain) juga makhluk-makhluk suci seperti


(29)

Vidadhara-Vidyadhari dan kinara kinari, yakni seniman sorga dan lain-lain. 9

Pura ialah bangunan suci tempat beribadah bagi umat Hindu, dan ditinjau dari sejarah dan perkembangannya serta status dan fungsinya secara garis besar Pura itu di bedakan menjadi 2 bagian. Yaitu:

1. Pura sebagai penyongsong umum yaitu tempat sembahyang untuk memuliakan dan memuja kebesaran Sang Hyang Widhi Wasa.

2. Pura sebagai penyongsong khusus yaitu tempat suci untuk memuliakan dan memuja arwah suci. 10

Pura adalah tempat suci untuk memuja Hyang Widhi Wasa dalam segala Prabhawa Nya dan atma Sidha Devata (roh suci leluhur) Selain istilah Pura untuk tempat suci atau tempat pemujaan di pergunakan juga istilah kahyangan atau Parhayangan. 11

9

Pura Simbolis Kesucian dan Keagungan Tuhan, artikel di akset dari www.google.com pada 16 Juli 2010

10 Ketut Subandi, Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali, (Denpasar : CV Kayumas)

1983), h.1

11 Departemen Agama, I Gst. MD Ngurah et al, Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk


(30)

Pura dibangun untuk memohon kehadiran Sang Hyang Uiva dan uakti dan kekuatan/prinsip dasar dan segala manifestasi atau wujud Nya dari elemen hakikat yang pokok, pathivi sampai kepada

Uaktinya. Wujud Konkrit materi (Sang Hyang Uiva merupakan sthana

Sang Hyang Vidhi hendaknya seseorang melakukan perenungan dan memujaNya. 12

Sedangkan fungsi pura adalah sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi Wasa dalam segala Prabhawanya dan roh suci Sidha Dewata (roh suci leluhur) dengan sarana upakara yajna sebagai perwujudan dari tri marga. 13

Berdasarkan karakterisasi fungsinya pura digolongkan menjadi 4 kelompok yaitu:

a. Pura kahyangan jagat

Yaitu pura tempat pemujaan Hyang Widhi Wasa dalam segala prabhawa-Nya seperti pura sad kahyangan dan pura jagat lainnya. b. Pura kahyangan Desa (teritorial)

Yaitu pura yang di sungsung oleh desa adat , contonya seperti pura kahyangan tiga.

12

Ibid. www.goole.com

13


(31)

c. Pura Swagina (pura fungsional)

Yaitu pura yang penyungsungnya terikat oleh ikatan swagina (kekayaannya) yang mempunyai propesi sama dalam sistem mata pencaharian hidup seperti pura subak, pura melanting dan lain sejenisnya. Dalam tingkatan hirarkis dari pura itu kita mengenal pura ulun carik, pura masceti , pura ulun Sewi dan pura ulun Danu. Apabila Petani basah mempunyai ikatan pemujaan seperti tersebut di atas, maka petani tanah kering juga mempunyai ikatan pemujaan yang disebut pura alas angker, alas harum, alas rasmini dan lain sebagainya. Berdagang merupakan salah satu sistem mata pencaharian hidup menyebabkan adanya ikatan pemujaan dalam wujud pura yang disebut melanting. Umumnya pura Melanting didirikan di dalam pasar yang di puja oleh para pedagang dalam lingkungan pasar tersebut.

d. Pura kawitan

Pura ini sering juga disebut padharman yang merupakan bentuk perkembangan yang lebih luas dari pura milik warga atau pura klen . Dengan demikian maka pura kawitan adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah suci dari masing-masing warga atyau kelompok kekerabatan. Klen kecil adalah kelompok kerabat


(32)

yang terdiri dari beberapa keluarga inti maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal dari nenek moyang yang sama. Klen ini mempunyai tempat pemujaan yang di sebut pura dadya sehingga mereka disebut tunggal dadya. Di kenal juga pura yang penyungsungnya di tentukan oleh ikatan wit atau leluhur garis kelahiran (genalogis) seperti sanggah, Merajan, pura ibu, pura panti, pura dadya, pura padharman, dan sejenisnya. 14

2. Sejarah Berdirinya Pura Raditya Dharma Cibinong Bogor

Adapun sejarah berdirinya Pura Raditya Dharma ini adalah, Pura Raditya Dharma yang terletak di Komplek DIT BEKANG Rt 01 Rw 05 No.10 ini dirintis sejak tahun 1983 atas dasar Surat Perintah dari kesatuan Batalyon ini bahwa Batalyon menginginkan komplek ini menjadi komplek pancasila sehingga dalam kawasan ini terdapat Pura, gereja, Wihara, Masjid. Dan memang jika di lihat, sekarang ini di areal wilayah komplek betul-betul di anggap menjadi komplek Pancasila. Jika sore kita dapat melihat umat hindu datang ke pura, masjid ramai dengan orang yang ingin menunaikan shalat, warga sangat rukun, ini menjadi pemandangan yang positif bagi kerukunan

14 Ibid.,h. 179


(33)

beragama, sangat luar biasa. maka atas dasar itulah Batalyon ini mengeluarkan surat perintah pada tahun 1984 yang silam agar bisa berdiri Pura . Dan berdirilah Pura Raditya Dharma ini.

Pada Bulan Agustus tepatnya pada tahun 1984 baru bisa peletakkan batu pertama untuk pembangunan Pura, yang ketika itu umat Hindu baru berjumlah 40 KK. Lambat laun seiring bertambahnya pengikut Hindu di daerah ini yang datang dari daerah lain, maka ada keinginan pengurus untuk memperluas sarana peribadatan. Maka disepakatilah renovasi sebagai jalan yang paling mungkin untuk dilakukan. Pura ini sudah mengalami 3 (tiga) kali renovasi. Alasan renovasi ini muncul karena ketika itu di wilayah ini sudah terdapat lebih dari 40 KK. Dan akhirnya pada tahun 1986 di lakukanlah renovasi karena umat hindu sudah banyak yang pindah dari berbagai daerah seperti Citayam, Bojong gede, dan daerah sekitar Cibinong, karena pada waktu itu terdengar kabar bahwa pusat pemerintahan Bogor akan di alihkan ke daerah Cibinong. Maka semakin banyaklah umat Hindu yang pindah ke daerah ini. Dan untuk daerah Kabupaten Bogor yang terdata sudah ada 125 KK pada waktu itu. Kemudian di renovasi kembali dan itu tidak bertahan lama.


(34)

Akhirnya pada tahun 2001 direnovasi kembali untuk yang ketiga kalinya dengan menggunakan pasir meleleh. Pasir meleleh adalah pasir laut yang di campur dengan semen yang di tata rapi seperti pura-pura yang ada di Bali. Dan tampaklah pura ini begitu megah karena sudah diperlebar dan di perluas ke kiri dan ke kanannya, yang luas keseluruhannya mencapai 1.300 M. Pura ini di bangun diatas lahan negara. Dan sampai hari ini yang menyokong Pura Raditya Dharma di daerah Cibinong sudah mencapai 200 KK . 15

3. Struktur Kepengurusan Pada Pura Raditya Dharma Cibinong

Dalam kepengurusan Pura, umat Hindu biasa menyebutnya dengan nama pengempon. Yang dimaksud dengan pengempon pura dalam hal ini adalah kelompok umat yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan pura baik secara fisik atau non fisik dari pura tersebut.


(35)

Adapun Bagan strukturnya seperti berikut ini :

KETUA WAKIL KETUA

SEKRETARIS BENDAHARA

KETUA SUKADUKA HINDU DHARMA KAB.BOGOR PARISADA HINDU DHARMA

INDONESIA

SIE. KEAGAMAAN

SIE.

KEPENDIDIKAN

SIE, KEPEMUDAAN


(36)

4. Kegiatan Pemangku di Pura Raditya Dharma Cibinong Bogor

Kegiatan Pemangku di Pura Raditya Dharma ini seperti diungkapkan oleh Pemangku I Nyoman Susila bahwa cukup banyak. Oleh karena itu di bagi tugas dalam setiap kegiatannya. Jumlah Pemangku di Pura ini seluruhnya berjumlah 6 (enam) orang. Namun satu-satunya Pemangku yang tinggalnya bersebelahan dengan Pura Raditya Dharma ini adalah I Nyoman Susila. Kegiatan beliau selain sebagai Pemangku di Pura Raditya Dharma ia juga menjabat sebagai Pegawai Tetap Departemen Agama RI sebagai Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu di Jakarta Pusat. Di samping sebagai Pegawai DEPAG, beliau juga duduk di Lembaga Keagamaan Majelis Agama Hindu sebagai Sekretaris Majelis Agama Hindu yang di sebut Parisada Hindu Dharma Kabupaten Bogor. Mengingat hal tersebut di atas maka Pemangku di Pura ini silih bergantian membimbing umat dan pada akhirnya bisa di harapkan memberikan nuansa positif dan ketenangan batin seraya bisa bersembahyang dengan damai dan tenteram yang di bimbing oleh seorang Pemangku. Dan inilah yang diharapkan oleh umat hindu itu sendiri jika beribadah di Pura Raditya Dharma ini.


(37)

5. Kegiatan Keagamaan dan Sosial di Pura Raditya Dharma

Pemangku yang ada di Pura Raditya Dharma ini menjadi pimpinan dalam melaksanakan upacara yadnya yang dilaksanakan di Pura ini. Karena pura Raditya Dharma ini adalah pura yang besar, maka kegiatan keagamaan yang dilakukan cukup beragam. Dari memimpin sembahyang pada pagi hari, siang, dan sore hari aktifitas inipun berlanjut karena di Pura ini ada sekolah keagamaan umat Hindu atau STAH ( Sekolah Tinggi Agama Hindu) Dharma Nusantara Rawamangun Jakarta yang membuka cabang di sebelah Pura ini. Adapun kegiatan sosial yang dilakukan umat hindu di Kecamatan Cibinong ini melakukan dana punya ke Panti Asuhan, maupun kerjabakti sosial ke masyarakat sekitar pura. 16

Dalam agama Hindu kegiatan dana punya adalah upaya positif untuk memberikan bantuan atau sumbangan berupa material atau sejenisnya kepada para umat Hindu yang membutuhkannya. Salah satunya di lakukan di Panti Asuhan. Oleh karena di tempat itu ada banyak umat yang di asuh, di bina, di tuntun oleh para pengelolanya untuk bisa melanjutkan hidupnya termasuk juga kegiatan belajar agama Hindu. Panti asuhan adalah salah satu bentuk atau wadah


(38)

untuk membina umat Hindu menuju peningkatan kualitas diri. Hal ini juga menjadi bagian bentuk kepedulian para umat hindu dalam hal ini para pemuda Hindu. Model lainnya selain dari pada Panti Asuhan, bisa saja berupa yayasan yang di upayakan oleh umat Hindu untuk menampung para generasi muda yang yatim, yatim piatu, anak yang cacat, anak yang terlantar, anak yang miskin, orangtua jompo, orang yang lemah fisiknya dan sebagainya. Bila para umat Hindu memiliki kepedulian terhadap kegiatan ini berarti adanya nilai kemanusiaan , nilai prihatin, serta kesusuilaan bagi umat hindu itu sendiri. Jadi perannya di sini adalah turut membantu dari pendidikan, bantuan ceramah agama Hindu, bantuan dana, serta bantuannya yang bernilai sangat positif. 17

Adapun kegiatan sosial yang lain yang dilakukan umat Hindu adalah melakukan kerja Bakti di Pura. Kerja bhakti di Pura merupakan kegiatan cinta dan peduli terhadap suasana, kondisi, serta keberadaan suatu pura. Wujud kecintaan umat Hindu terhadap tempat sucinya dapat dilakukan dengan melakukan kerja Bhakti, melakukan kebersihan, melakukan perbaikan, melakukan penanaman bunga dan perindang lainnya untuk menghijaukan lingkungan Pura. Adapun


(39)

kegiatan sosial yang lain adalah membantu masyarakat yang tertimpa bencana alam gempa bumi, bencana banjir, bencana gunung meletus, bencana tanah longsor, bencana angin ribut, bencana tabrakan kereta api/mobil dan yang sejenis lainnya. Upaya memberikan pertolongan kepada khalayak umum adalah perilaku susila dan terpuji bagi semua insan di dunia ini. Wujud bantuan sosial kepada masyarakat yang tertimpa bencana dapat di lakukan dengan cara memberikan bantuan berupa pakaian, makanan, uang, bantuan tenaga, bantuan ide atau pemikiran positif untuk memberikan solusi terbaik terhadap masalah yang dihadapinya. Semua jenis kegiatan itu selain bernilai relawan, bernilai persembahan atau yajna, bahwa hal itu adalah perilaku susila atau Subhakarma. Kebaikan itu akan mendatangkan kebaikan juga bagi pelakunya. Tidak ada salahnya umat Hindu berlaku baik kepada insan manusia di dunia ini, yang pada akhirnya juga dapat berpahala kebaikan. Umat Hindu meyakini bahwa berbuat kebaikan maka akan mendatangkan karma kebaikan. Hal ini telah di ajarkan dalam ajaran Yajna, Kharmapala, ajaran susila, ajaran

sradda, ajaran bhakti, serta ajaran suci lainnya dalam agama Hindu. 18

18 Ibid., h. 125


(40)

Selain itu juga yang tak kalah pentingnya adalah kegiatan di Pura Raditya Dharma ini melakukan Pasraman Brahmacarya. Pasraman

Brahmacarya artinya menggalang kelompok belajar dalam masyarakat

Hindu untuk di tuntun menuju peningkatan kualitas belajar agama Hindu serta materi lainnya yang terkait dengan ilmu pengetahuan, seni , dan teknologi. Kegiatan ini adalah sebagai bentuk dari umat Hindu untuk selalu belajar dan berguru untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan. 19

Dalam penerapan sistem belajar pada pasraman Brahmacarya ini maka wajib ada penuntun suci berupa Dang Acarya atau guru kerohanian, yang memiliki tugas spiritual atau tugas kesucian, guna menuntun mendampingi, mengawasi, memberikan keteladanan, serta panutan lainnya secara teori maupun praktis. Sistem ini memerlukan tempat khusus sebagai tempat tetap untuk melakukan kegiatan belajar dan Praktek keagamaan Hindu. Jadi tempat khusus itu berupa Ashram atau Pasraman, sejenis padepokan. Dalam masyarakat Hindu di Bali lebih populer dengan istilah serka Pasantian. Jadi ashram ini adalah secara khusus sebagai tempat belajar bagi umat Hindu tanpa memandang usia dan kedudukan sosialnya. Jika di Bali ada banyak


(41)

dilihat keberadaan ashram belakangan ini juga kalau di Jawa hal ini sudah dikenal baik oleh masyarakat Hindu. 20

4. Kegiatan Sanggar Tari Bali di Pura Raditya Dharma

Kesenian dalam perspektif Hindu di Bali yang universal identik dengan kehidupan religi masyarakatnya sehingga mempunyai kedudukan yang sangat mendasar. Para penganutnya dapat mengekspersikan keyakinan terhadap Hyang Maha Kuasa. Maka banyak muncul kesenian yang dikaitkan dengan pemujaan tertentu atau sebagai pelengkap pemujaan tersebut. Upacara di pura-pura (tempat suci) tidak lepas dari seni suara, karawitan, seni lukis, seni rupa dan sastra. Candi-candi dan pura-pura di bangun sedemikian rupa sebagai ungkapan rasa estetika, etika dan sikap religius dari pengamat Hindu di Bali. Pregina (penari) dalam semangat ngayah (bekerja tanpa pamrih) mempersembahkan tarian sebagai wujud Bhakti kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan yang Maha Esa)


(42)

bhakti dan pengabdian sebagai wujud kerinduan ingin bertemu dengan sumber seni itu sendiri. 21

Tari Bali diciptakan penciptanya berdasarkan insting atau naluri dalam berkesenian . Apakah dengan meniru gerakan manusia , air, pohon, dan sebagainya, sehingga terangkum dalam gerakan yang mempunyai nilai seni. Pada masyarakat berkebudayaan tinggi serta menjunjung nilai-nilai religius agraris dan mistis seperti da Bali, gerakan tari disertai aksen-aksen tertentu yang berkekuatan ghaib. Di sertai banten-banten dan mantra-mantra tertentu untuk mengundang kekuatan sekala dan niskala., sehingga mendukung dan menjunjung kesakralan tarian tersebut. Sakral atau tidaknya tarian atau pertunjukkan seni dapat diukur dengan beberapa kategori umum , yaitu tari sakral atau pertunjukkan seni sakral tidak pernah diupah atau di sewa untuk pertunjukkan hiburan atau komersial.

Yang Menarik dari Pura Raditya Dharma ini adalah adanya Sanggar Tari Bali. Kegiatan ini ada karena merupakan bagian dari pengamalan ajaran agama. Karena memuji Tuhan tidak hanya melalui pujian-pujian atau melalui sembahyang saja, namun juga bisa melalui seni lagu-lagu kekiduan namanya, juga melalui gerakan dalam sebuah

21 Perspektif Hindu dalam Tari Bali dan Tari Pendet, artikel diakset dari


(43)

tarian. Adapun kegunaan di bentuknya sanggar tari Bali, tari Bali ini juga bisa dipakai untuk mengiringi upacara-upacara keagamaan umat Hindu, dan sering di pentaskan dalam acara tersebut. Sanggar Tari Bali ini dinaungi oleh Yayasan Umat Hindu yang ada di Cibinong, dan saat ini di ketua oleh Bapak I Nyoman Tatat. Sedangkan pelatih dari Tari Bali yang ada di Pura Raditya Dharma adalah Wayan Arnawa beserta Istri, sedangkan pelatih penabuhnya adalah I Gede Dharmayasa. Sedangkan pembinanya I Nyoman Susila sendiri, selaku pemangku di Pura Raditya Dharma ini. Dalam kegiatan Sanggar tari Bali ini tidak hanya diikuti oleh umat Hindu saja tetapi diikuti oleh umat lain di luar umat Hindu. Karena dalam agama Hindu dikenal adanya Tritakarana, yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan alam sekitar, dan hubungan manusia dengan sesama. Dalam hal ini hubungan manusia dengan sesamanya yaitu menjaga kerukunan dengan semua orang. Maka melalui kegiatan tari bali inilah kiranya dapat mempererat tali kerukunan antar umat beragama. Selain dari pada itu tari Bali di nilai sangat unik dan di sebut sebagai tarian warisan bangsa karena selain nilai budayanya yang sangat kental, juga merupakan tari yang sudah sangat populer bukan hanya di daerah asalnya yaitu Bali, tetapi juga


(44)

sudah merupakan bagian dari budaya Indonesia. Atas dasar itulah banyak sekali yang belajar tari Bali ini dari kalangan dan umat yang beragam di Sanggar Tari Bali Pura Raditya Dharma 22


(45)

BAB III

PERAN SENTRAL PEMANGKU DALAM MEMBIMBING UMAT HINDU

A. Memimpin Umat Untuk Mencapai Kebahagiaan Lahir Batin 1. Pemangku Sebagai Guru Rohani Membimbing Umat Hindu

Sudah menjadi kewajiban seorang pemangku atau pinandita untuk membimbing umat untuk meningkatkan kesucian diri. Karena bagi umat seorang pemangku memegang peranan yang sangat penting dan bersifat penentu di dalam setiap keagamaan. Umat melihat bahwa pemangku setiap hari mengadakan sembahyang, memuja kebesaran sang Hyang Widhi memohon keselamatan dan kesejahteraan untuk masyarakat, maka umat mempunyai keyakinan penuh masalah kesucian itu. Para Pemangku merupakan ujung tombak dalam membina umat Hindu. Karena itu perlu diberikan bimbingan dari segi kesucian dan bekal dari segi kemampuan dalam melaksanakan tugas. Untuk mewujudkan hal tersebut sangat tergantung sekali kepada faktor mental orang tersebut. Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan saja tidaklah cukup namun ada yang lebih penting dari semuanya itu yaitu realisasi pengamalan hidup dalam masyarakat sikap kita terhadap sesama, dan selalu ingat


(46)

kepada Sang Yang Widhi dirasa merupakan pegangan hidup kesucian untuk mencapai kebahagiaan baik lahir maupun batin.

Berkenaan dengan Seorang Pemangku adalah sebagai guru rohani umat Hindu, ada beberapa kepercayaan-kepercayaan yang terpenting dalam agama Hindu yang di ajarkan oleh seorang Pemangku terhadap umatnya seperti karma, dan penjelmaan roh 1

1) Karma.

Undang-undang balasan dalam bahasa sansekerta adalah karma. Dan tidak seorangpun yang mengelak daripadanya. Di dalam kitab Yoga Vasistha ada terdapat tulisan “ Di dalam alam ini tidak ada suatu tempat, tidak ada gunung, langit, lautan, dan taman-taman indah yang menjadikan seseorang dapat melindungi dirinya dari balasan amalannya, baik yang baik ataupun yang buruk. Menurut undang-undang keadilan yang tegas, semua pekerjaan pilihan manusia yang memberi kesan pada orang lain baik yang baik ataupun yang jahat, haruslah menerima balasan pahala atau siksa. Susunan alam ini adalah susunan ketuhanan yang tegak di atas dasar keadilan semata-mata. Keadilan alam memerlukan balasan bagi tiap-tiap perbuatan Di dalam alam ini terdapat sejenis peraturan yang


(47)

tidak membiarkan perbuatan manusia baik perbuatan itu kecil atau besar, terjadi tanpa perhitungan. Sesudah dihitung tiap-tiap orang akan menerima balasannya menurut perbuatannya dan balasan itu terjadi pada masa hidup. 2

Karma artinya amal perbuatan. Dan bila di dunia ini banyak ber dosa dan banyak melanggar hukum –hukum karma maka ia akan lahir kembali sebagai manusia yang rendah derajatnya. Bahkan mungkin sebagai binatang yang hina. Sebaliknya bila mana hidupnya yang lampau berlaku baik sesuai dengan hukum-hukum karma maka ia akan lahir kembali sebagai makhluk yang lebih tinggi derajatnya . Dan apabila dalam hidupnya berturut-turut mengumpulkan karma yang baik . Sehingga tiap kali ia lahir kembali sebagai manusia yang sempurna dan tidak perlu kembali ke dunia lagi ia masuk dalam alam mokhsa sebab hidup di dunia ini adalah penderitaan (sengsara= samsara) 3

Radhakrishnan menyebut karma sebagai azas yang mengatur dunia ciptaan. Karma adalah hukum sebab akibat . “ ada hukum moral , rohani dan hukum yang bersifat lahiriah. Bila kita menelantarkan

2 Ibid., h. 41


(48)

aturan tentang kesehatan, kita kan merusak kesehatan kita, tetapi bila kita menelantarkan aturan moral, kita menghancurkan hidup kita yang lebih tinggi.

Karena itu hukum karma tidaklah berada diluar diri manusia. Hakimnya berada dari dalam diri kita sendiri. Kita sendirilah yang menentukan kelahiran kita, hidup kita, dan nasib kita. Buah karma

(Karmapala) bukan merupakan berkah atau kutukan Tuhan, tetapi

semata-mata merupakan hasil dari perbuatan kita sendiri. Jalannya karma adalah secara menyeluruh tanpa perasaan , adil, tiada kejam, maupun welas asih. 4

Kepercayaan kepada hukum karma atau karmapala , membuat umat Hindu menjadi tabah dan tetap optimis menghadapi masa depan. Bagi umat Hindu memang selalu tersedia kesempatan untuk memperbaiki diri. Yang terpenting adalah tumbuhnya kesadaran dan adanya usaha. Seperti nasabah yang sadar, bersedia hidup prihatin selama melunasi hutang-hutangnya di Bank, demikian pula umat Hindu yang sadar , mengetahui penderitaan yang di alaminya sekarang adalah “ bayaran “ atas karma buruknya di masa

4 Raka Santeri, Tuhan dan Berhala, (Denpasar :Yayasan Dharma Narada, 2000), Cet


(49)

lalu. Ini di sebut prarabdha karma. Yaitu karma yang sedang di bayar atau dinikmati akibatnya. Tidak ada cara untuk menghindar. Menyadari hal ini Dia akan tetap tegar , tetap berusaha berbuat baik ditengah-tengah penderitaan , karena perbuatan baik yang kita lakukan sekarang adalah tabungan hidup masa depan yang bahagia. 2) Penjelmaan roh

Agama Hindu mengajarkan bahwa orang yang mati itu untuk sementara waktu rohnya masuk ke syurga atau ke neraka . Kemudian roh itu lahir kembali (Reinkarnasi) ke bumi dalam wujud yang lain. Wujud itu bergantung kepada karmanya. 5

Roh berpindah dengan badan astral atau suksma sarira, atau linga-deha. Badan astral ini terjadi dari 19 tattwa atau prinsif yaitu : 5 organ penggerak , 5 organ pengetahuan, 5 prjna, pikiran , kecerdasan, Citta (bawah sadar) dan ahamkara atau keakuan(ego). Badan halus ini membawa segala jenis samskara atau kesan serta waaan atau kecenderungan-kecenderungan dari roh pribadi. Bila buah dari karma-karma baik telah dihabiskan, ia menggabungkan dirinya dengan badan fisik yang baru dan berinkanasi pasa tempat bumi ini. Yang perilakunya sudah baik mencapai kelahiran yang baik dan yang


(50)

perilakunya jahat ditarik ke dalam kandungan yang penuh dosa atau kelahiran yang lebh rendah. 6

2. Pemangku Sebagai Tempat Bertanya Mengadu Umat Hindu

Sudah sepatutnya seorang menjadi panutan umat Hindu. Pemangku sering kali menjadi tempat bertanya umat. Pemangku berkewajiban memberikan arahan kepada umat Hindu apabila mengalami kebingungan dalam menjalani roda kehidupannya karena dirudung masalah yang tak kunjung tak dapat terselesaikan. Sehingga umat tidak ragu mengambil sebuah keputusan yang berlandaskan ajaran agama sesuai dengan apa yang di ajarkan kitab weda.

B. Melakukan Pemujaan dan Upacara

Melakukan pemujaan maksudnya adalah seorang pemangku memimpin dalam hal penyelesaian Yadnya yaitu memimpin berbagai macam upacara dan menentukan tingkat upacara yang berhubungan

dengan permintaan umat antara lain yaitu hari raya di Pura, Pitra yadnya (berkaitan dengan penyelesaian upacara orang yang meninggal) seperti

ngaben, atma wedana dan lain sebagainya. Juga pemujaan yang berkaitan

6

Yayasan Sanatana Darmasrama Intisari ajaran Hindu, (Surabaya: Paramita: 1997) h.86


(51)

dengan upacara perkawinan. Hal ini begitu sangat diperlukan karena peran sentral seorang pemangku dalam melaksanakan tugasnya.

Perayaan besar Hindu yang dilakukan dengan disertai pemujaan merupakan alat regenerasi spiritual yang penting dalam agama Hindu. Dalam kalender Hindu, hari hari dalam seminggu di percaya di atur oleh Dewa. Seperti hari minggu diatur oleh Surya (Ravi) dan di sebut dengan ravivar ,senin disebut somavar dan di atur oleh bulan soma selasa atau (mangavar) diatur oleh mars (mangal) Rabu di atur oleh Mercuri (budh), sehinga bernama budhfar, kamis diatur oleh jupiter (Brhraspati) jum’at atau

sukravar diatur oleh venus(sukra) dan Sabtu diatur oleh Saturnus(sani) dan disebut Sanivar. Perayaan dalam agama Hindu selalu dihubungkan dengan dewa dewi dalam agama Hindu. Melalui perayaan yang disertai dengan pemujaan ini, hindu mengukuhkan kepercayaan mereka dalam agama, budaya dan warisan spiritual yang telah ada selama ribuan tahun 7

Mengapa umat Hindu sering sekali melakukan pemujaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa dengan sebuah wujud patung karena Patung merupakan lambang eksternal Tuhan untuk dipuja 8 Ia

7 Bansi Pandit, Pemikiran Hindu (Surabaya: Paramita:2006), h. 324

8 Sri Svami Silvananda, Hari Raya dan puasa dalam agama Hindu, (Denpasar:: Paramita


(52)

merupakan bantuan pencarian spiritualnya. Tak mungkin bagi semua orang untuk memusatkan pikirannya pada yang mutlak. Suatu bentuk konkrit sangat diperlukan bagi kebanyakan orang untuk melakukan konsentrasi. Untuk melihat Tuhan ada di mana-mana dan belajar merasakan kehadiran Nya, sangat sulit bagi orang-orang biasa. Pemujaan patung merupakan cara pemujaan termudah bagi orang-orang modern. Oleh karena itu meditasi atau konsentrasi tidak mungkin dilakukan tanpa bantuan simbol itu. 9

Diantara pemujaan dan upacara yang di pimpin oleh pemangku ialah upacara kuningan, ngaben dan lain segalanya.

a. Upacara Kuningan

Upacara hari raya kuningan jatuh pada hari Sabtu Kliwon Wuku Kuningan, yaitu setiap 6 bulan sekali atau 210 hari sekali, sepuluh hari setelah hari Raya Galungan, yaitu hari kembalinya sang Hyang Widhi diiringkan para Dewa dan pitar. Dimana umat menghaturkan bakti memohon kesentosaan dan panjang umur, serta perlindungan tuntunan lahir batin selalu. Upacara hari raya kuningan harus sudah selesai sebelum tengah hari.

9


(53)

Hari raya Kuningan berasal dari kata “kuning”, yang dapat diberikan arti selain warna adalah “Amertha” (air suci). Pandangan lain mengatakan bahwa kuningan berasal dari kata “Keuningan”, yang mengandung arti “Kepradnyanan” (Kebijaksanaan dan kepintaran). Dengan denimikan makna dan tujuan dari pelaksanaan hari suci kuningan adalah pada hari itu segenap umat Hindu memohon Amertha, berupa keprasnyanan (kebijaksanaan atau kepintaran) kehadapan Sang Hyang Widhi, dengan manisfestasinya sebagai Sang Hyang Mahadewa yang disertai para leluhur (Dewara-dewati).10

Persiapan-persiapan yang dilakukan seorang Pemangku adalah mulai dari asuci laksana, berbusana, nata perangkat upakara atau upacar di Pura dan lain sebagainya. Kegiatan tersebut telah tertuang dalam kitab Kusuma Dewa dan Gegelaran Pemangku, langkah persiapan yang dimaksid adalah:

1. Persiapan dirumah, sebelum berangkat ke Pura a. Mandi besar.

b. Gosok gigi.

c. Membersihkan mulut. d. Mencuci muka.

10


(54)

e. Berpakaian.

f. Memakai kampuh. g. Nyaluk kacawa. 2. Sampai di Pura.

a. Sampai di candi, Bentar/Gelung Agung dengan angungkab Dwara.

b. Memuja Padmasana, menghaturkan sembah tanpa bunga. c. Nyampat.

d. Nginsahin jun taneg. e. Ngisinin jun taneg. f. Ngalap Lawa. g. Makena ceniga.

h. Menaruh bebanten/sasaji dipelinggih-pelinggih. i. Menaruh toya anyar pada Palinggih.

j. Menaruh dupa pada Pelinggih dan Banten k. Mekebat tikar (menggelar tikar).11

11

I Ketut Jingga, Upadeca Tentang Ajaraj agama Hindu, (Singaraja : Parasida Yayasan Hindu Dharma Sarathi) h. 61


(55)

1. Mencari hari-hari yang baik

Dalam melaksanakan upacara yadnya, umat Hindu biasanya berkonsultasi terlebih dahulu kepada seorang Pemangku. Karena melaksanakan upacara yadnya umat tidak boleh sembarangan dalam melaksanakannya termasuk menentukan hari yang baik dalam melaksanakannya. Oleh karena itu peran Pemangku dalam hal menentukan hari yang baik dalam kegiatan keagamaan harus diutamakan. Karena Pemangku mampu membaca perhitungan hari dan bulan dalam hitungan Jawa dan Hindu.

2. Memimpin Upacara-upacara Keagamaan

Sesungguhnya penyelenggaraan upacara Dewa-Yadnya sudah tidak asing lagi bagi umat Hindu, tetapi mungkin masih ada yang belum memahami arti dan tujuan dari upacara tersebut. Demikian pula sesajen-sesajennya kebanyakan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang telah berlaku atau ingatan orang tua, tanpa berpegang pada suatu sumber tertulis. Hal-hal tersebut sering menyebabkan penambahan sesajen / banten yang tidak menentu baik mengenai jenis dan jumlahnya. Penambahan sesajen berarti pula penambahan bahan atau upacara yang dipergunakan. Yang lebih menyedihkan lagi ialah


(56)

sering terjadi tanggapan yang negatif terhadap penyelenggaraan upacara terutama mengenai sesajen yang di pergunakan. 12

Perlu dipahami betul oleh umat Hindu bahwa upacara telah di atur menjadi 3 tingkatan yang di sebut nista (kecil), Madia (sedang) dan utama (besar) yang bertujuan agar dapat di sesuaikan dengan: 1) Desa.

Desa adalah tempat upacara diselenggarakan, misalnya di perumahan kahyangan –desa, khayangan jagad, di Bali ataupun di luar Bali.

2) Kala.

Kala adalah waktu zaman, atau kapan upacara diselenggarakan.

3) Patta.

Patta adalah keadaan ekonomi (kemampuan) kedudukan sosial dan situasi lingkungan.

Berkenaan dengan Patta, atau kemampuan, Sudah menjadi kebiasaan yang di lakukan oleh umat Hindu sebelum umat hendak melaksanakan suatu upacara Yadnya biasanya mereka terlebih


(57)

dahulu memanggil seorang pemangku agar berkenan hadir ke tempat tinggalnya. Maksud umat memanggil seorang Pemangku adalah untuk melihat keadaan umat tersebut dari berbagai aspek, terutama keadaan ekonominya. Lalu barulah Pemangku dengan bijaksana dan atas beberapa pertimbangan dapat menentukan tingkat upacara yang akan di persembahkan dalam upacara Yadnya itu. Dan lebih diutamakan seharusnya umat tidak menutup-nutupi keadaannya saat akan di nilai oleh pemangku untuk menentukan besar kecilnya upacara yang akan di buat agar upacara yang akan di lakukan nanti benar-benar upacara yang baik dan sesuai dengan keinginan Pemangku. Upacara yang dilakukan umat Hindu, baik upacara yang besar (agung) yang dihadiri oleh orang banyak dan biasanya dilakukan di tempat yang terbuka maupun yang kecil (sederhana) tidak boleh sembarangan dalam menyelesaikannya. Oleh karena itu dibutuhkan seseorang yang pintar dan ahli dalam menafsirkan kitab suci Weda. Umat Hindu mempercayakan kepada seorang pemangku yang dianggap mampu memimpin upacara Yadnya yang akan dilaksanakan oleh umat itu sendiri.

Jikalau Pandita berhalangan hadir maka peran tersebut diambil alih oleh Pemangku. Dalam memimpin sebuah upacara


(58)

Pemangku biasanya menggunakan Dipa atau padamaran. Dipa atau Padamaran adalah lampu yang memakai minyak kelapa dengan bentuk tertentu yang selalu menyertai Pemangku memimpin upacara Yajna. Dalam buku Veda Parikrama disebutkan Dhupa lambang Akasa

Tattva dan dipa lambang Sakti Tattya Hal ini dimaksudkan bhakti

umat untuk mencapai akasa simbolis Sthana Hyang widhi. Sedangkan Dipa sebagai sakti tattya sebagai simbol kekuatan suci pemangku umat memantapkan bhakti umat kepada Hyang widhi 13

Tujuan dari penggunaan Dipa oleh Pemangku adalah untuk memantapkan pemujaan umat agar sampai pada alam Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan sarana Dipa itulah Pemangku menuntun umat untuk mendapatkan penerangan suci dari Hyang Widhi. Penerangan suci dari Hyang Widhi merupakan salah satu tujuan umat melakukan pemujaan. Dalam kitab Isa Upanisad 18 ada istilah Agni Naya yang artinya Agni sebagai penuntun. Dalam mantra Isa Upanisad tersebut dinyatakan dalam do’a semoga Hyang Widhi dengan sinar sucinya (Agni) menuntun umat pada jalan kebenaran. Semoga semua tingkah laku menuju pada pemujaan Sang Hyang Widhi yang Maha bijaksana dan terlepas dari perilaku yang tercela. Sebelum upacara di mulai

13 Wiana I Ketut, Makna upacara Yajna dalam Agama Hindu, Paramitha (Surabaya;


(59)

dhupa dan dipa (lampu) harus di hidupkan dan di mantrai dengan mantra

Mantra : Om.Am. Dhupa-dipa astraya namah

Artinya : Om Sujud kepada (Am), dhupa (dan) dipa,astra (itu). Penjelasan dari mantra tersebut adalah dupa atau wangi-wangian yang dipakai dalam upacara danu ntuk menyelesaikan upacara. Baik Dhupa maupun Dipa kedua-duanya mempunyai arti simbolis yang berarti dhupa (sarwa alam) dan dipa (bulan sabit) atau dengan istilah lain terwujudnya cipta pujaan itu akan dapat diintensifkan dengan mempergunakan Dhupa dan dipa itu. 14

Untuk menajamkan makna pemujaan pada Hyang Widhi ini umat awam (walaka) tidaklah semudah teorinya. Karena itu Pemangku pemimpin upacara setelah mengucapkan mantra atau puja selalu mengambil dhupa dan dipa. Hal ini mengandung makna Pemangkulah yang mempunyai kewajiban untuk mendekatkan umat pada Hyang Widhi terus menerus dan berulang-ulang. Dalam hal inilah umat dan pemangku harus memiliki niat yang sama untuk membangun kesucian diri secara terus-menerus. Upaya ini akan dapat

14 G. Pudja., Weda Parikrama, Lembaga penyelenggara Penterjemah Kitab Suci Weda


(60)

menghilangkan kabut kegelapan hati yang menutupi sinar suci atman mencapai sinar suci Brahman. Umat hindu di India selalu menyalakan dipa yang berbentuk lilin dan dhupa seperti umat Hindu di Indonesia dalam pemujaannya. Hal ini juga mempunyai makna yang sama dengan apa yang ada di Indonesia. 15

Pemangku untuk memimpin suatu upacara harus berpegang teguh pada ajaran kitab suci Weda karerna seorang Pemangku akan selalu memberikan petunjuk dari segi pelaksanaanya baik itu menyangkut upacaranya maupun ketika acara prosesinya. Bimbingan dan petunjuk dari seorang Pemangku harus ditaati. Oleh karena itu seorang pemangku harus pandai dan paham betul tentang ajaran Weda.


(61)

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam bagian ini akan dipaparkan beberapa kesimpulan yang dapat diambil oleh penulis, serta saran-saran yang berkaitan dengan masalah yang di temui dalam penelitian ini. Adapun kesimpulan yang Penulis peroleh tentang skripsi yang berjudul Peran Sentral Pemangku Dalam Agama Hindu. (Studi Kasus Pada Pura Raditya Dharma Cibinong Bogor)adalah sebagai berikut :

1. Pemangku adalah orang yang bertugas memimpin dan membimbing umat hindu dalam urusan keagamaan. Seperti memimpin sembahyang, maupun upacara keagamaan. Dalam tingkatannya, seorang Pemangku atau pinandita berada di bawah seorang pandita.

2. Seorang Pemangku yang berada di bawah Pandita, ia harus benar-benar menjadikan dirinya seorang yang mampu menguasai segala hal yang berkaitan dengan upacara Yadnya dan kemampuan penguasaan terhadap kitab suci. Selain itu Pemangku juga harus berwibawa dan menjaga perilaku agar umat


(62)

memandang dirinya sebagai pemangku yang dipercayai dapat membimbing kerohanian dan memimpin dalam segala upacara Yadnya, sehingga umat sering memanggilnya untuk membimbing dan memimpin sebagai guru loka.

3. Peran sentral Pemangku dalam kehidupan keagamaan umat Hindu adalah memimpin dan bertugas melayani umat Hindu dalam segala hal yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan seperti memberikan ajaran agama berdasarkan kitab weda yaitu melalui ceramah agama, memimpin upacara-upacara keagaman, dan lain sebagainya yang sifatnya dapat membimbing umat Hindu ke arah yang lebih baik dalam mendekatkan diri ke Sang Yang Widhi.

B. Saran – Saran .

Penulis menyadari bahwa skripsi ini banyak sekali kekurangan disana sini, baik dari segi materi ataupun teknis penyajian. Adapun saran-saran yang dapat penulis sampaikan setelah meneliti dan mempelajari berbagai hal dalam penyajian skripsi ini adalah, tulisan mengenai ajaran hindu atau mengenai agama dan kepercayaan


(63)

manapun, teramat penting sehingga penulis menyarankan agar para peneliti-peneliti yang lain dapat mencari pengetahuan seobjektif mungkin agar tulisan maupun penelitian yang dihasilkan berguna bagi masyarakat, dan dapat menjadi wawasan dalam memperluas pengetahuan bagi yang ingin mendalaminya lebih khusus untuk umat Hindu, dan masyarakat pada umumnya. Semoga skripsi ini bermanfaat dan menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang berguna kelak.


(64)

DAFTAR PUSTAKA

Dagun, M., Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 2002, Cet ke.II.

Departemen Agama, I Gst. MD Ngurah et al, Buku Pendidikan Agama Hindu

Untuk Perguruan Tinggi, Surabaya : PARAMITA, 1998, Cet. I

Dhavamony Mariasusai, Fenomenologi Agama, Yogyakarta : Kanisius,1995

G, Pudja, Pengantar agama Hindu II Sraddha, Mayasari : Jakarta, 1984

Hooykaas, C, Religion in Bali, Insitute of religion Iconografi State University, Leiden, 1973

I G Mas Putri, Upacara Dewa Yadnya.

I B Mantra, Bali di Persimpangan jalan, Denpasar : Nusa data indo Budaya, 1995

I Ketut, Wiana. , Makna upacara Yajna dalam Agama Hindu, Surabaya : Paramita , 2001.

I Ketut Jingga, Upadeca Tentang Ajaraj agama Hindu, Singaraja : Parasida Yayasan Hindu Dharma Sarathi.

________________, Kasta Dalam Hindu, Yayasan Dharma Narada, Denpasar: 2005, Cet. Ke-4

Pandit, Bansi., Pemikiran Hindu (Surabaya: Paramita:2006)

Perspektif Hindu dalam Tari Bali dan Tari Pendet, artikel diakset dari www.google.com

Pudja , Weda., Parikrama, Lembaga penyelenggara Penterjemah Kitab Suci

Weda, Jakarta : 1984


(65)

57

Pura Simbolis Kesucian dan Keagungan Tuhan, artikel di akset dari

www.google.com

Rifa’I, Moch., Perbandingan Agama , Jakarta: CV Jaya Murni, 1965, Cet ke II.

Santeri, Raka., Tuhan dan Berhala, Denpasar : Yayasan Dharma Narada, 2000, Cet ke I.

Shalaby, Ahmad., Agama-agama Besar di India, Jakarta: Bumi aksara, 1998) Smith, Houston Agama-agama Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

1999, Cet ke-5

Sri Svami Silvananda, Hari Raya dan puasa dalam agama Hindu, Denpasar: Paramita, 2002

Subandi, Ketut Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali, (Denpasar : CV Kayumas, 1983

Wawancara dengan Pemangku Pada Pura Raditya Dharma Cibinong Bogor Wojowasito, Kamus Kawi-Indonesia, h. 213

Yayasan Sanatana Darmaasmara, Intisari ajaran Hindu, Surabaya: Paramita: 1997.


(66)

Jabatan : Pemangku/Pinandita

Tempat : Komplek DIT BEKANG RT 01RW 05 NO .10 Pura Raditya Dharma Cibinong Bogor Tanggal Wawancara : 13 Juli 2010

P : Siapa nama bapak? J : I Nyoman Susila

P : Apa fungsi pura bagi umat Hindu?

J : Fungsi pura bagi umat hindu adalah sebagi kitab suci terbuka. Artinya tidak hanya di gunakan untuk sembahyang tetapi juga di gunakan untuk pendidikan, lebih jauh untuk mensejahterakan umat.

P : Selain bertugas sebagai pemangku apa kesibukan bapak kesehariannya?

J : Saya adalah Pegawai Tetap Departemen Agama RI dan duduk di DIRJEN Bimbingan masyarakat Hindu di Jakarta Pusat. Di samping sebagai Pegawai DEPAG saya juga duduk di Lembaga Keagamaan Majelis Agama Hindu sebagai


(67)

Nusantara yang terletak di daerah Rawa Mangun Jakarta.

P : Apa ada keharusan di dalam agama Hindu Setiap Pemangku harus tinggal di Pura?

J : Tidak ada aturan yang baku tentang hal itu. Namun jika tinggal dekat dengan Pura maka koordinasi pelaksanaan keagamaan akan lebih mudah. Sebagai contoh, jika ada kematian maka dapat segera di tangani lebih cepat, ketimbang jika Pemangku tinggal jauh dengan pura. Atas dasar itulah umat Hindu yang ada di Kabupaten Bogor pada Bulan September 1986 saya sudah di buatkan rumah ini bersebelahan dengan Pura.

P : Siapa yang bertanggungjawab atas kegiatan keagamaan di pura ini ?

J : Saya selaku Pemangku bertanggungjawab atas kegiatan keagamaan seperti memimpin sembahyang maupun memberikan ceramah agama kepada umat Hindu


(68)

dan mengikuti hal tersebut sekaligus memimpin dan membimbing jika diperlukan untuk sembahyang. Meskipun banyak sekali tugasnya di samping hal tersebut. memberikan gambaran-gambaran umum yang berkaitan dengan upacara keagamaan yang di lakukan di Pura ini seperti memberikan Petuah yang berkaitan dengan upacara keagamaan

P. : Sejak kapan Bapak bertugas menjadi Pemangku di Pura Raditya Dharma ini ?

J : Sejak Tahun 1984

P. : Bisa di jelaskan apa syarat-syarat untuk menjadi seorang Pemangku ?

J : Syarat-syarat untuk menjadi seorang pemangku itu memiliki pengetahuan agama, berbudi luhur dan di utamakan pada usia 40 Tahun ke atas.

P. : Berapa Jumlah Pemangku yang ada di Pura Raditya Dharma ini ?


(69)

berjumlah 6 orang

P. : Apa ada hukuman jika umat Hindu tidak sembahyang 3 kali dalam sehari ?

J : Tidak ada hukuman tentang hal itu, namun umat Hindu meyakini adanya hukum Karma. Semakin banyak ia melakukan kebaikan maka semakin banyak pula karma baik yang ia dapatkan

P. :Selain kegiatan keagamaan apa ada kegiatan yang lain di pura ini seperti kegiatan tari Bali misalnya?

J : Ya di sini ada sanggar tari Bali, Karena merupakan bagian dari pengamalan ajaran agama. Karena memuji Tuhan tidak hanya melalui pujian-pujian saja melalui sembahyang namun juga bisa melalui seni lagu-lagu kekiduan namanya, Adapun kegunaan di bentuknya sanggar tari Bali, tari Bali ini juga bisa di pakai untuk upacara-upacara keagamaan umat Hindu, dan sering di pentaskan dalam acara tersebut.


(70)

bertanggungjawab terhadap kesenian Tari Bali yang ada di Pura ini.

P. :Bagaimana sambutan masyarakat sekitar terhadap keberadaan Pura ini ?

J : Sampai saat ini belum ada hal-hal negatif yang di tunjukkan oleh warga terhadap keberadaan Pura ini. Karena tingkat toleransinya sangat tinggi. Bahkan Umat Hindu ketika hari raya Idul Fitri tiba mengucapkan selamat kepada umat Islam yang ada di sekitar pura ini. Secara garis besar sangat baik kerukunan yang di tunjukkan oleh masyarakat yang ada di sekitar pura ini.


(1)

57

Pura Simbolis Kesucian dan Keagungan Tuhan, artikel di akset dari www.google.com

Rifa’I, Moch., Perbandingan Agama , Jakarta: CV Jaya Murni, 1965, Cet ke II.

Santeri, Raka., Tuhan dan Berhala, Denpasar : Yayasan Dharma Narada, 2000, Cet ke I.

Shalaby, Ahmad., Agama-agama Besar di India, Jakarta: Bumi aksara, 1998) Smith, Houston Agama-agama Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

1999, Cet ke-5

Sri Svami Silvananda, Hari Raya dan puasa dalam agama Hindu, Denpasar: Paramita, 2002

Subandi, Ketut Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali, (Denpasar : CV

Kayumas, 1983

Wawancara dengan Pemangku Pada Pura Raditya Dharma Cibinong Bogor Wojowasito, Kamus Kawi-Indonesia, h. 213

Yayasan Sanatana Darmaasmara, Intisari ajaran Hindu, Surabaya: Paramita: 1997.


(2)

HASIL WAWANCARA

Nara Sumber : I Nyoman Susila, S.Ag., M.S.i

Jabatan : Pemangku/Pinandita

Tempat : Komplek DIT BEKANG RT 01RW 05 NO .10 Pura Raditya Dharma Cibinong Bogor Tanggal Wawancara : 13 Juli 2010

P : Siapa nama bapak? J : I Nyoman Susila

P : Apa fungsi pura bagi umat Hindu?

J : Fungsi pura bagi umat hindu adalah sebagi kitab suci terbuka. Artinya tidak hanya di gunakan untuk sembahyang tetapi juga di gunakan untuk pendidikan, lebih jauh untuk mensejahterakan umat.

P : Selain bertugas sebagai pemangku apa kesibukan bapak

kesehariannya?

J : Saya adalah Pegawai Tetap Departemen Agama RI dan duduk di DIRJEN Bimbingan masyarakat Hindu di Jakarta Pusat. Di samping sebagai Pegawai DEPAG saya juga duduk di Lembaga Keagamaan Majelis Agama Hindu sebagai


(3)

Sekretaris Majelis Agama Hindu yang di sebut Parisada Hindu Dharma Kabupaten Bogor. Selain itu saya juga mengajar di STAH ( Sekolah Tinggi Agama Hindu) Dharma Nusantara yang terletak di daerah Rawa Mangun Jakarta. P : Apa ada keharusan di dalam agama Hindu Setiap Pemangku

harus tinggal di Pura?

J : Tidak ada aturan yang baku tentang hal itu. Namun jika tinggal dekat dengan Pura maka koordinasi pelaksanaan keagamaan akan lebih mudah. Sebagai contoh, jika ada kematian maka dapat segera di tangani lebih cepat, ketimbang jika Pemangku tinggal jauh dengan pura. Atas dasar itulah umat Hindu yang ada di Kabupaten Bogor pada Bulan September 1986 saya sudah di buatkan rumah ini bersebelahan dengan Pura.

P : Siapa yang bertanggungjawab atas kegiatan keagamaan di pura ini ?

J : Saya selaku Pemangku bertanggungjawab atas kegiatan keagamaan seperti memimpin sembahyang maupun memberikan ceramah agama kepada umat Hindu


(4)

P : Apa saja kegiatan Pemangku di Pura ini?

J : Agama Hindu itu sembahyang 3 kali dalam sehari yaitu, Pagi, siang dan sore. Aktifitas pemangkunya otomatis menyesuaikan dan mengikuti hal tersebut sekaligus memimpin dan membimbing jika diperlukan untuk sembahyang. Meskipun banyak sekali tugasnya di samping hal tersebut. memberikan gambaran-gambaran umum yang berkaitan dengan upacara keagamaan yang di lakukan di Pura ini seperti memberikan Petuah yang berkaitan dengan upacara keagamaan

P. : Sejak kapan Bapak bertugas menjadi Pemangku di Pura Raditya Dharma ini ?

J : Sejak Tahun 1984

P. : Bisa di jelaskan apa syarat-syarat untuk menjadi seorang Pemangku ?

J : Syarat-syarat untuk menjadi seorang pemangku itu memiliki pengetahuan agama, berbudi luhur dan di utamakan pada usia 40 Tahun ke atas.

P. : Berapa Jumlah Pemangku yang ada di Pura Raditya Dharma ini ?


(5)

J : Jumlah Pemangku yang ada sejak Tahun 1984 yang pertamakali di tunjuk pemangku itu hanya saya sendiri dan sampai saat ini pada tahun 2010 jumlah pemangku sudah berjumlah 6 orang

P. : Apa ada hukuman jika umat Hindu tidak sembahyang 3 kali dalam sehari ?

J : Tidak ada hukuman tentang hal itu, namun umat Hindu meyakini adanya hukum Karma. Semakin banyak ia melakukan kebaikan maka semakin banyak pula karma baik yang ia dapatkan

P. :Selain kegiatan keagamaan apa ada kegiatan yang lain di pura ini seperti kegiatan tari Bali misalnya?

J : Ya di sini ada sanggar tari Bali, Karena merupakan bagian dari pengamalan ajaran agama. Karena memuji Tuhan tidak hanya melalui pujian-pujian saja melalui sembahyang namun juga bisa melalui seni lagu-lagu kekiduan namanya, Adapun kegunaan di bentuknya sanggar tari Bali, tari Bali ini juga bisa di pakai untuk upacara-upacara keagamaan umat Hindu, dan sering di pentaskan dalam acara tersebut.


(6)

P. : Siapa yang mengetuai sanggar Tari Bali ini Pak?

J : Sebuah Yayasan yang bergerak di dalam kesenian umat Hindu. Adapun ketuanya bernama I Nyoman Tatat beliau bertanggungjawab terhadap kesenian Tari Bali yang ada di Pura ini.

P. :Bagaimana sambutan masyarakat sekitar terhadap keberadaan Pura ini ?

J : Sampai saat ini belum ada hal-hal negatif yang di tunjukkan oleh warga terhadap keberadaan Pura ini. Karena tingkat toleransinya sangat tinggi. Bahkan Umat Hindu ketika hari raya Idul Fitri tiba mengucapkan selamat kepada umat Islam yang ada di sekitar pura ini. Secara garis besar sangat baik kerukunan yang di tunjukkan oleh masyarakat yang ada di sekitar pura ini.