Mitos dan ideology di dalam maxim bahasa Jawa yang digunakan elit local di Desa Wonosari Kecamatan Wonosari, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta - USD Repository

  

MITOS DAN IDEOLOGI DI DALAM MAXIM BAHASA JAWA YANG

DIGUNAKAN ELIT LOKAL DI DESA WONOSARI ,

KECAMATAN WONOSARI, GUNUNG KIDUL,

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

  TESIS Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar

  Magister Humaniora (M.Hum) pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Oleh:

  AGUSTINA DWISATI MALVINI NIM. 076322004

  

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2010 PDF Create! 4 Trial www.nuance.com

  PDF Create! 4 Trial www.nuance.com

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Dengan ini menyatakan bahwa tesis ini adalah penulisan sendiri dari AGUSTINA DWISATI MALVINI/076322004 dan tidak berisi pekerjaan orang lain, kecuali teori-teori dari para sarjana yang digunakan untuk mendukung dan membantu penulisan tesis ini.

  Yogyakarta, 7 Mei 2010 Agustina Dwisati Malvini

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa program Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta: Nama : Agustina Dwisati Malvini Nomor Mahasiswa : 076322004 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

  MITOS DAN IDEOLOGI DI DALAM MAXIM BAHASA JAWA YANG DIGUNAKAN ELIT LOKAL DI DESA WONOSARI , KECAMATAN WONOSARI, GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

  Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lainnya demi kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan rolyalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

  Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : Juni 2010 Yang menyatakan ( Agustina Dwisati Malvini)

KATA PENGANTAR

  Penelitian ini bukan bercerita mengenai gaplek sebagai produk pangan unggulan Desa Wonosari. Namun, penelitian ini berisi maxim bahasa Jawa yang digunakan oleh elit lokal di Desa Wonosari yang di dalamnya sarat dengan mitos yang dipakai para elit untuk memuluskan ideologi yang ingin mereka gulirkan. Dalam perjalanannya, harapan elit tersebut melahirkan kepatuhan dan penolakan dari warganya yang tergambar secara jelas dalam kehidupan sehari-hari warga masyarakat Desa Wonosari.

  Semua hal di atas dirasa penulis tidak dapat tertulis dan terwujud dengan baik tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Pertama-tama, penulis panjatkan puji syukur dan terimakasih atas berkat, rahmat dan bimbingan Tuhan Yesus dalam penyusunan tesis ini. Tanpa penyertaanNya, tesis ini mungkin hanya sekedar setumpuk kertas di atas meja yang tidak pernah tersentuh.

  Ucapan terima kasih juga penulis haturkan kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan tesis ini, yakni:

  1. Dr. Praptomo Baryadi Isodarus, M.Hum sebagai pembimbing utama yang dengan penuh kesabaran dan ketelatenan membimbing penulis dari tahap awal penyusunan tesis sampai tahap penyempurnaannya. Terima kasih telah memberikan semangat dan dorongan agar tidak putus asa dalam menyelesaikan tesis ini dan tak lupa terima kasih untuk selalu mengingatkan pentingnya menjaga kesehatan dan selalu berdoa demi kelancaran penyusunan tesis.

  2. Dr. G. Budi Subanar, S.J., selaku pembimbing kedua. Terima kasih atas waktu yang diberikan, masukan-masukan, dan omelannya demi kemajuan penyusunan tesis.

  3. Dr. St. Sunardi yang memberikan banyak masukan dan coretan demi perkembangan tesis penulis.

  4. Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo yang berkenan untuk mengomentari tesis ini dengan waktunya yang sangat terbatas.

  5. Ibu F.R. Rusmiyati Suyitno dan Theresia Astanti Rorik Wahyudanti atas segala perhatian, nasehat dan dananya untuk menyelesaikan tesis ini.

  Martinus Mulus Prilaksono atas bantuannya memberikan tesis kepada 6.

  para pembimbing di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan mengirimkannya kembali kepada penulis.

  7. Seluruh keluarga besar Poedjosoedarmo, Hadi Sutopo, Sakidjo, dan

  Pujosumakno yang mendukung penulisan tesis ini dengan segala

  bantuannya baik moril, keuangan, dan tumpangannya. Secara khusus kepada Mas Joko yang bersedia menemani dan memberikan boncengan kepada penulis demi kelancaran penelitian ini.

  8. Romo Gregorius Kriswanto P.R., Romo Santo P.R. dan para romo lainnya baik di Yogyakarta dan di Samphran, Thailand atas doa, berkat dan spiritnya kepada penulis untuk selalu optimis dalam penyelesaian tesis.

  9. Bapak Suwondo selaku kepala desa Wonosari dan Bapak Agus Darmanto selaku sekretaris desa Wonosari yang memberikan izin dan kemudahan kepada penulis untuk melakukan penelitian di Desa Wonosari.

  10. Pamong desa, kepala dusun, ketua RT, ketua RW, tokoh masyarakat dan tokoh agama di Desa Wonosari yang telah menyediakan waktu dan memberikan informasinya demi penulisan tesis ini.

  11. Semua teman-teman mahasiswa IRB angkatan 2007 yakni Novel, Karin,

  Mas Dedi, dan Tia yang memberikan pinjaman buku, mendukung penulisan

  tesis ini dan memberikan semangat dan doa untuk menyelesaikan tesis dengan penuh keoptimisan.

  12. Noon dan Sakda my best students, yang membantu penulis dalam penyimpanan data, memberikan spirit dan doa untuk penyelesaian tesis ini.

  Yogyakarta, 7 Mei 2010 Agustina Dwisati Malvini

  

ABSTRAK

  Penelitian ini diarahkan untuk mengumpulkan dan memaparkan maxim yang digunakan elit lokal Desa Wonosari, menganalisis mitos-mitos yang terbentuk oleh maxim itu dan ideologi di balik mitos tersebut, serta mengeksplorasi pengalaman penduduk ketika dihadapkan dengan mitos yang ada.

  Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan etnografi yang dilakukan di Desa Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sumber data yang digunakan adalah sumber tertulis yang diperoleh dari kamus peribahasa bahasa Jawa dan kamus idiom Jawa, serta sumber lisan dari 32 elit lokal Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam memperoleh data, penulis menerapkan teknik rekaman melalui wawancara langsung untuk mengumpulkan maxim yang dipakai oleh elit lokal Desa Wonosari. Wawancara diterapkan untuk mencatat dan memahami mitos yang terbentuk oleh maxim elit lokal, realitasnya di lapangan dan ideologi yang melatarbelakangi mitos tersebut. Setelah data maxim terkumpul, penulis mengelompokkannya ke dalam nilainya masing-masing. Penulis kemudian menganalisis mitos-mitos yang terbentuk oleh maxim tersebut dan ideologi yang melatarbelakanginya.

  Hasil penelitian menunjukkan 23 maxim yang membentuk 16 mitos. Dua dari 16 mitos ini yang mendukung ideologi politik elit lokal Desa Wonosari. Dikaitkan dengan praktik mitos, penulis menemukan bahwa masyarakat Desa Wonosari mematuhi mitos yang bermanfaat bagi kehidupan mereka. Sedangkan, untuk mitos yang merugikan, masyarakat Desa Wonosari menolak mitos tersebut.

  Kata-kata kunci: maxim, mitos dan ideologi

  

ABSTRACT

  This study aimed to collect and explain the use of local elite Maxim Wonosari Village, analyzing the myths created by Maxim's and the ideology behind these myths, and explores the experience residents when faced with an existing myth.

  This study is a descriptive qualitative and ethnographic approach taken in Wonosari Village, Gunung Kidul Regency, Yogyakarta Special Region. Source data used were derived from written sources Javanese proverb dictionaries and dictionaries of idioms of Java, as well as oral sources from the local elite 32 Wonosari Village, District Wonosari Gunung Kidul Regency, Yogyakarta Special Region. In obtaining the data, the authors apply the technique of recording through a direct interview to collect Maxim used by local elites Wonosari Village.

  Interview applied to record and understand the myths that are formed by local elites Maxim, the reality on the ground and the ideology behind the myth. After Maxim data collected, the author breaks it down into the value of each. The author then analyzes the myths created by Maxim and ideologies that lie behind them.

  Results showed that shape Maxim 23 16 myths. Two of these 16 myths that support the political ideology of local elites Wonosari Village. Practices associated with the myth, the authors found that people comply with the Village Wonosari myth that benefit their lives. Meanwhile, for the myth of harm, the village of Wonosari reject these myths.

  Key words: Maxim, myth and ideology

  DAFTAR ISI

JUDUL ....................................................................................................................i

HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................ ii

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................iv

LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI KARYA ...........................................v

KATA PENGANTAR ..........................................................................................vi

ABSTRAK ......................................................................................................... viii

ABSTRACT.......................................................................................................... ix

DAFTAR ISI ..........................................................................................................x

DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

  1. Latar Belakang...........................................................................................1

  2. Pertanyaan Penelitian ................................................................................5

  3. Tujuan Penelitian .......................................................................................6

  4. Signifikansi Penelitian ...............................................................................6

  5. Tinjauan Pustaka........................................................................................7

  6. Kerangka Konseptual...............................................................................11

  7. Metodologi Penelitian..............................................................................16

  8. Lokasi .....................................................................................................16

  7.1. Jenis Penelitian ................................................................................16

  7.2. Sumber Data Penelitian ...................................................................17

  7.3. Teknik Pengumpulan Data...............................................................17

  7.4. Teknik Analisis Data .......................................................................19

  9. Struktur Penulisan Tesis ..........................................................................19

  BAB II KONDISI UMUM DAN KONDISI SOSIAL BUDAYA DESA WONOSARI...........................................................................................21

  1. Kondisi Umum...........................................................................................21

  1.1. Kondisi Geografis Desa Wonosari......................................................21

  1.2. Keadaan Penduduk..............................................................................23

  2. Kondisi Sosial dan Budaya ........................................................................26

  2.1. Paguyuban Sebagai Basis Kehidupan .................................................26

  2.2. Tradisi di Desa Wonosari....................................................................34

  2.3. Perubahan Sosial di desa Wonosari ....................................................38

  2.4. Penggunaan Bahasa Jawa di Desa Wonosari......................................39

  

BAB III MAXIM ELIT LOKAL DESA WONOSARI.....................................43

  1. Aja Sok Rumangsa Bisa Nanging Bisa Rumangsa ....................................44

  2. Ajining Diri Dumunung Ana Ing Lathi......................................................46

  3. Ana Dina Ana Upa .....................................................................................49

  4. Dadia Wong Sing Tepa Selira....................................................................50

  5. Dupak Bujang Mantri Esem Bupati ...........................................................52

  6. Giri Lusi Jalma Tan Kena Kinira ...............................................................54

  7. Gusti Maha Adil.........................................................................................56

  8. Gusti Ora Sare ............................................................................................58

  9. Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani...................................................................................................60

  10. Jer Basuki Mawa Beya...............................................................................63

  11. Kacang Lali Marang Kulite........................................................................68

  12. Kacang Mangsa Ninggala Lanjaran ...........................................................70

  13. Kena Iwake Ora Buthek Banyune..............................................................72

  14. Mangan Ora Mangan Anggere Kumpul.....................................................74

  15. Mikul Dhuwur Mendhem Jero ...................................................................77

  16. Nglumpuke Balung Pisah...........................................................................78

  17. Ngluruk Tanpa Bala Menang Tanpa Ngasorake ........................................80

  18. Rawe-Rawe Rantas Malang-malang Putung..............................................81

  19. Rawe-rawe Rantas Malang-malang putung Marang Sing Bener ...............85

  20. Rukun Agawe Santosa Crah Agawe Bubrah..............................................87

  21. Sak Sumur Sak Dapur Sak Kasur...............................................................90

  22. Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe...............................................................92

  BAB IV MITOS DAN IDEOLOGI DI DALAM MAXIM ELIT LOKAL DESA WONOSARI ...............................................................................97

  1. Mitos Yang Terbentuk Oleh Maxim Elit Lokal Desa Wonosari................98

  1.1. Mitos Butuh Pengorbanan ....................................................................98

  1.2. Mitos Penempatan Diri.........................................................................99

  1.3. Mitos Kasih Sayang ...........................................................................100

  1.4. Mitos Kebersamaan............................................................................101

  1.5. Mitos Keikhlasan................................................................................101

  1.6. Mitos Kedamaian................................................................................102

  1.7. Mitos Kepekaan..................................................................................102

  1.8. Mitos Kerukunan ................................................................................103

  1.9. Mitos Keyakinan ................................................................................103

  1.10. Mitos pantang Menyerah atas Pengharapan.....................................105

  1.11. Mitos Pengakuan atas Jasa Orang Lain............................................105

  1.12. Mitos Pengendalian Tingkah Laku ..................................................105

  1.13. Mitos Perjuangan atas Kebenaran....................................................107

  1.14. Mitos Penghargaan atas Martabat Individu......................................107

  1.15. Mitos Persamaan atas Persamaan Senasib .......................................107

  1.16. Mitos Ketulusan dalam Persaudaraan ..............................................108

  2. Ideologi : Menuju Kesuksesan Kepentingan Elit.....................................108

  

BAB V KESIMPULAN .....................................................................................111

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................114

LAMPIRAN........................................................................................................117

  DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Usia Pendidikan ....................24Tabel 1.2. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Usia Tenaga Kerja .................24Tabel 1.3. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Mata Pencaharian .......................25

BAB I PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

  Awal dari penulisan latar belakang ini, peneliti tertarik dengan pemikiran

  1 Lakoff mengenai bahasa yang digunakan sebagai alat ekspresi dan komunikasi.

  Salah satu dari bahasa itu adalah bahasa Jawa. Bahasa Jawa menjadi alat ekspresi dan komunikasi bagi masyarakat yang tinggal di DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sebagai alat ekspresi dan komunikasi, khususnya ekspresi dan komunikasi dalam politik, bahasa Jawa sangat kaya dengan ungkapan Jawa. Dalam semiotika, ungkapan itu dinamakan maxim.

  Menurut Gracian, maxim adalah sebuah perkataan bijaksana yang

  2

  digunakan untuk menyarankan suatu tindakan wacana tertentu. Dari definisi ini, maxim merupakan sebuah aturan ataupun prinsip untuk bertindak. Definisi lain dari maxim adalah ungkapan-ungkapan ringkas yang indah (maxima propotitio). Dengan ungkapan indah yang dilebih-lebihkan, ungkapan tersebut menjadi tidak

  3

  masuk akal. Hal ini disebabkan karena maxim tersebut mempunyai kekuatan untuk menjadi mitos.

  1

) Lakoff, “Cognitive semantics. In the heart of language”, Forum Linguistico, Volume 1 No. 1,

2 1998, p. 83-118.

  

) Gracian, Balthasar, The Art of Worldly Wisdom, hal. xxvii. London: Macmillan And Co.

3 Limited, 1982.

  Menurut Barthes, mitos merupakan bahasa rampokan (myth as stolen

  4

language) yang diambil dari sistem linguistik (sistem semiotik tingkat pertama).

  5 Tujuannya adalah untuk melandasi bahasa lain yang landasannya belum kuat.

  Barthes menambahkan bahwa mitos merupakan cara berbicara (a type of speech) yang berfungsi untuk menaturalisasikan konsep yang historis. Dengan

  6

  naturalisasi, mitos menyembunyikan kepentingan-kepentingan individu tertentu yang tidak sesuai dengan realita sebenarnya. Mitos digunakan seolah-olah tidak terkait dengan kepentingan apapun walaupun pada akhirnya mitos digunakan untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan tertentu. Dengan kata lain, mitos berusaha untuk menyukseskan jalannya ideologi seseorang melalui pernyataan- pernyataan yang berubah dalam realitanya.

  Ideologi yang dimaksud di atas merupakan ide-ide atau gagasan dari kelas penguasa terhadap kelas sosial lainnya untuk bertindak dan bertingkah laku sesuai dengan kepentingan kelas penguasa tersebut. Dalam bertindak dan bertingkah laku itu, terdapat kesadaran palsu (False consciousness) sebagai hasil dari realitas yang dipalsukan oleh kepentingan dan mekanisme tertentu. Akibatnya adalah kelas sosial atau individu berhasil dipengaruhi oleh suatu kepentingan dan

  7 harapan kelas penguasa tertentu.

  4

) Sebagai bahasa rampokan, mitos tidak digunakan sebagaimana mestinya. Representasi dari

5 mitos juga tidak sesuai dengan tujuan dan kenyataan sebenarnya . 6 ) Dikutip dari Sunardi dalam Semiotika Negativa ( 1ed) , hal 111. Yogyakarta: Kanal, 2008

) Dalam naturalisasi, terdapat perubahan fungsi mitos. Fungsi mitos yang seharusnya berfungsi

sebagai linguistic function digunakan sebagai social function untuk menutupi maksud dari

7 ideologi sebenarnya. Barthes, Roland, Mithologies, hal 109. London: Vintage, 2000.

  

) Jones, Peter E., “Cognitive Linguistic and the Marxist Approach to Ideology” in Language and

Ideology (Vol 1: Theoretical Cognitive Approach) by Rene Dirven. Philadelphia: JOHN

  Berdasarkan penjelasan di atas, hubungan antara maxim, mitos dan ideologi dapat dilukiskan dalam gambar di bawah ini.

  3

  2

  2

  1

  4

  33

  8 Gambar 1. Hubungan antara maxim, mitos dan ideologi

  Maxim di atas juga menjadi bentuk ungkapan yang sering dipakai untuk kepentingan yang tidak dapat dipersoalkan lagi. Penggunaan bentuk maxim tersebut membuat penerima maxim itu tidak akan menolaknya melainkan mematuhinya. Dengan kata lain, ada ideologi yang harus dipatuhi kebenarannya oleh penerima maxim walaupun maxim tersebut tidak menunjuk kenyataan sebenarnya.

  Apabila maxim dikaitkan dengan mitos, salah satu maxim Jawa yang memiliki kekuatan menjadi mitos adalah Wani ngalah dhuwur wekasane. Secara denotasi, maxim Wani ngalah dhuwur wekasane berarti “berani mengalah akan

  9 8 mendapatkan hidup yang luhur kelak di kemudian hari”. Dari maxim tersebut

) Keterangan gambar 1: (1) Maxim, (2) : Perubahan maxim menjadi mitos (3) Mitos

dan (4) Ideologi. Hubungan ketiganya dapat diuraikan sebagai berikut; Maxim berubah menjadi

mitos ketika maxim tersebut digunakan dalam konsep yang berbeda. Sedangkan dalam mitos

tersebut, ada suatu ideologi tertentu yang ingin disampaikan. Ideologi ini tidak tampak dari luar

karena dia terbungkus rapi dalam mitos. Ketika seorang individu menerima dengan baik sebuah

9 mitos, individu tersebut telah menerima ideologi suatu elit tertentu tanpa dia sadari.

  

) Soepanto, Wibowo H.J., Suhatno, Sumarsih, S., dan Moeljono, Ungkapan Tradisional Yang Ada

Kaitannya dengan Sila-sila dalam Pancasila di Daerah Istimewa Yogyakarta, hal. 202. Yogyakarta: terdapat dua kata yang memperlihatkan hubungan kausalitas (hubungan sebab akibat), yaitu antara ngalah (mengalah) dan wekasane (akhir, kelak dan kemudian hari). Maxim Wani ngalah dhuwur wekasane menjadi sebuah mitos ketika diterapkan dalam konteks yang berbeda. Dapat dikatakan bahwa Wani ngalah

  dhuwur wekasane menjadi mitos karena memiliki konsep baru.

  Konsep baru dari Wani ngalah dhuwur wekasane dapat terlihat dalam

  10

  menahan diri untuk kebaikan bersama. Ini terlihat dengan jelas ketika seseorang berada dalam masalah tertentu dan dalam posisi apapun (benar atau salah), dia memilih untuk tidak terlibat dalam masalah itu. Karena orang itu tidak terlibat dalam masalah yang sedang terjadi, semuanya menjadi baik kembali. Di dalam kehidupan sehari-hari, maxim Wani ngalah dhuwur wekasane diucapkan orang- orang penting mulai dari para pamong praja sampai para elit politik tingkat atas kepada bawahan mereka ataupun kepada masyarakat. Pengucapan maxim Wani

  

ngalah dhuwur wekasane dimaksudkan agar seakan-akan tidak ada persoalan

  sehingga para bawahan atapun masyarakat cenderung untuk memberikan legitimasi dan dukungan terhadap maxim tersebut. Situasi seperti ini juga yang sering muncul dalam kehidupan masyarakat Jawa. Ungkapan-ungkapan bijak yang digunakan bukannya untuk memberikan petunjuk dan saran yang benar dari seorang pemimpin melainkan untuk menegaskan kepatuhan yang penuh dengan tekanan untuk melakukan tindakan yang digariskan oleh pemimpin itu.

  Bagi peneliti, maxim bahasa Jawa merupakan alat komunikasi sehari-hari. 10 Di sini dapat dikatakan bahwa peneliti sesungguhnya menjadi pengguna dan korban dari maxim bahasa Jawa dalam komunikasi sehari-hari. Maxim-maxim bahasa Jawa yang dimaksud adalah alon-alon waton kelakon, cebol nggayuh

  

lintang, dadia godhong emoh nyuwek, dadia suket emoh nyenggut dan esuk tempe

sore dele. Dengan kondisi ini, peneliti menjadi tergelitik untuk mengkaji lebih

  jauh mengenai maxim dan mitos yang terbentuk oleh maxim tersebut beserta ideologi yang melatarbelakanginya. Penelitian ini difokuskan pada penggunaan maxim bahasa Jawa pada elit lokal desa Wonosari, kecamatan Wonosari di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

  Penelitian ini berjudul MITOS DAN IDEOLOGI DI DALAM MAXIM BAHASA JAWA YANG DIGUNAKAN ELIT LOKAL DI DESA WONOSARI, KECAMATAN WONOSARI, GUNUNGKIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Judul tersebut adalah topik utama penelitian ini yang membutuhkan elaborasi lebih lanjut. Judul itu juga dipakai untuk memperoleh data-data mengenai hubungan antara mitos dan ideologi yang juga berkaitan dengan maxim elit lokal Desa Wonosari dan realisasinya dalam kehidupan warga masyarakat Desa Wonosari.

2. Pertanyaan Penelitian

  Penelitian ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan bagaimana maxim

  

digunakan dalam kehidupan sehari-hari elit lokal Desa Wonosari hingga

terbentuk berbagai macam mitos?

  Secara khusus, pertanyaan di atas dapat dijabarkan ke dalam tiga persoalan:

  1. Maxim apa saja yang dipakai oleh elit lokal Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul?

  2. Mitos-mitos apa saja yang terbentuk oleh maxim yang digunakan elit lokal Desa Wonosari Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul dan ideologi dibalik mitos-mitos tersebut?

  3. Bagaimana realitas pengalaman penduduk ketika dihadapkan dengan mitos yang ada?

  3. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk:

  1. Mengumpulkan dan memaparkan maxim yang dipakai oleh elit lokal di Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul.

  2. Menganalisis mitos-mitos yang dibentuk oleh maxim tersebut dan ideologi di balik mitos itu.

  3. Mengeksplorasi pengalaman penduduk ketika dihadapkan dengan mitos yang terbentuk.

  4. Signifikansi Penelitian

  Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

  1. Kajian Budaya

  Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan penelitian lebih jauh mengenai budaya Jawa, khususnya ideologi dalam penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa di kalangan elit lokal dalam kerangka kajian budaya.

  2. Elit lokal desa Wonosari Dengan penelitian ini, para elit lokal Desa Wonosari diharapkan mampu menggunakan maxim bahasa Jawa secara benar dan transparan untuk membantu warga masyarakat desa Wonosari dalam hal kebijakan-kebijakan dan peraturan pemerintah desa Wonosari baik di dalam pemahaman maupun praktik di lapangan.

  3. Peneliti sendiri Peneliti diharapkan dapat memberikan data-data empiris mengenai perbendaharaan maxim bahasa Jawa di kalangan elit lokal Desa Wonosari dalam komunikasi sehari-hari.

5. Tinjauan Pustaka

  Pembahasan mengenai ungkapan atau lebih dikenal dengan maxim dalam semiotika sedikit jumlahnya dan kurang mendalam. Misalnya dalam Gunarwan (1996), Kadarisman (2007), Sartini (2009), dan Soeharto (1987). Gunarwan (1996)

  11

  dalam The Speech Act of Critizing among Speakers of

  

Javanese, memaparkan bagaimana maxim digunakan untuk memberikan kritik

  dalam konteks komunikasi antara penutur Jawa Timur dan Jawa Tengah, bagaimana realisasinya apabila dikaitkan dengan tingkat umur, pendidikan dan 11

  

) Gunarwan, Asim, “The Speech Act of Criticizing among Speakers of Javanese” in Sixth jenis kelamin serta apakah ada perbedaan realisasinya antara Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sebagai hasilnya, Gunawan menemukan bahwa ada perbedaan dalam penggunaan maxim antara penutur Jawa Timur dan Jawa Tengah. Penutur bahasa Jawa di Jawa Timur sering merasa kurang aman menggunakan maxim dibandingkan penutur bahasa Jawa di Jawa Tengah.

  Apabila dihubungkan dengan tingkat umur dan pendidikan, penutur bahasa Jawa di Jawa Timur juga kadang kurang pas dalam menggunakan maxim dibandingkan dengan penutur bahasa Jawa di Jawa Tengah. Akan tetapi, dikaitkan dengan kualitas penguasaan maxim, kualitas penutur bahasa Jawa di Jawa Timur sama dengan kualitas penutur bahasa Jawa di Jawa Tengah. Keduanya mengalami penurunan jumlah dalam penguasaan maxim. Ini disebabkan oleh orang-orang berusia muda yang tidak tertarik dengan penggunaan maxim. Di samping kualitas yang sama, jenis kelamin ternyata tidak ada hubungannya dengan realisasi penggunaan maxim di antara penutur asli Jawa Timur dan Jawa Tengah. Jenis kelamin tidak menghalangi seseorang dalam menyampaikan kritik kepada orang lain.

  12 Pembahasan yang kedua adalah menurut Kadarisman. Dalam On

Diminishing Local Expressions in Javanese, Kadarisman membahas keakraban

penutur bahasa Jawa usia muda dengan maxim yang digunakan masyarakat Jawa.

  Berdasarkan hasil penelitiannya, Kadarisman menemukan bahwa penutur bahasa Jawa usia muda kurang memahami ungkapan yang mereka gunakan dalam 12 kehidupan sehari-hari. Penutur bahasa Jawa usia muda juga kurang mengenal

  

) Kadarisman, Effendi Achmad, “On Diminishing Local Expressions in Javanese” in The ungkapan itu karena mereka jarang mendengar dan menggunakannya dalam komunikasi sehari-hari. Ungkapan yang dimaksud antara lain mburu uceng

  

kelangan dheleg, rindhik asu digitik, dhandhang diunekake kuntul, kuntul

diunekake dhandhang, dan kaya nggoleki tapake kuntul nglayang, galihe

kangkung, isine bumbung wang-wung.

  13 Pembahasan yang ketiga adalah menurut Sartini. Melalui “Menggali

  Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa lewat Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)”, Sartini mengungkapkan ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Ungkapan-ungkapa itu mengandung nilai-nilai ajaran moral Jawa yang dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Menurutnya, ungkapan itu dapat diklasifikasikan ke dalam 5 kelompok, yakni ungkapan yang menggambarkan sikap dan pandangan hidup (alon-alon waton

  

kelakon, hamangku, hamengku, hamengkoni, ing ngarso sung tuladha, ing madya

mangun karsa, tut wuri handayani dan weweh tanpa kelangan), ungkapan yang

  mencerminkan sikap buruk (adigang, adigung, adiguna, anggentong umos,

  

mbuwang tilas, nabok nyilih tangan, keplok ora tombok, dan kemladeyan ngajak

sempal), ungkapan yang berhubungan dengan tekad kuat ( opor bebek, mateng

awake dhewek dan sura dira jayaningrat, pangruwating diyu, lebur dening

pangastuti), ungkapan yang menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan

  (manunggaling kawula Gusti, golekana susuhing angin, dan golekana tapake 13

kontul nglayang), dan ungkapan yang menggambarkan hubungan manusia dengan

  

) Sartini, Ni Wayan, “Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat Ungkapan (Bebasan,

Saloka, dan Paribasa),” Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra Logat, Volume V No.1, 1 April 2009, sesama (nguyahi segara, dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan, aja dumeh, dan ngono ya ngono, ning aja ngono).

  14 Pembahasan yang terakhir adalah menurut Soeharto (1987). Dengan

  buku Butir-butir Budaya Jawa, Soeharto memaparkan maxim-maxim bahasa Jawa yang bisa digunakan sebagai pegangan hidup baik dalam keluarga, pemerintahan maupun dalam masyarakat. Maxim-maxim itu dapat dikelompokkan ke dalam 6 butir (kelompok). Butir pertama adalah maxim-maxim yang berhubungan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, butir kedua adalah maxim- maxim yang berhubungan dengan kerohanian, butir ketiga mencakup maxim- maxim yang berhubungan dengan kemanusiaan, butir keempat meliputi maxim- maxim yang berhubungan dengan kebangsaan, sedangkan butir kelima dan keenam meliputi maxim-maxim yang berhubungan dengan kekeluargaan dan kebendaan.

  Dari tulisan Gunarwan (1996), Kadarisman (2007), dan Sartini (2009), aspek yang dibahas hanya aspek linguistik dalam maxim bahasa Jawa. Aspek lain yang penting , yakni kajian ideologi tidak diketemukan dalam ketiga tulisan itu kecuali pada Soeharto (1987). Dalam tulisan Soeharto, penjelasan mengenai ideologi politik tercermin dari maxim-maxim yang sudah dikategorikannya ke dalam 6 butir. Maksud dari penjelasan ideologi melalui maxim-maxim Jawa adalah untuk mengukuhkan kekuasaan Soeharto sendiri dan membuat rakyat patuh terhadapnya serta memandangnya sebagai seorang pemimpin yang layak 14 untuk dihormati, pemimpin yang tidak pernah melakukan kekejaman dan kesalahan kepada rakyat dan keluarganya, dan seorang pemimpin yang patut dipatuhi dengan segala perintah dan peraturan yang dibuatnya.

  Dengan keterbatasan tulisan kajian ideologi di atas, kajian ideologi dalam maxim bahasa Jawa sangat penting untuk dilakukan. Penyebabnya adalah maxim bahasa Jawa merupakan sarana efektif untuk menggulirkan ideologi penguasa. Penggunaan maxim bahasa Jawa oleh penguasa dapat membuat penerima maxim tidak menyadari bahwa tindakan dan tingkah laku mereka sedang dikendalikan untuk mematuhi keinginan dan kepentingan seorang penguasa.

  Dengan demikian, kajian ideologi dalam bahasa Jawa memerlukan pembahasan lebih mendalam. Penelitian ini difokuskan pada ideologi dalam maxim bahasa Jawa. Secara khusus, penelitian ini menitikberatkan pada ideologi dalam maxim bahasa Jawa dari elit lokal ketika mereka berkomunikasi dengan warga masyarakat mereka.

6. Kerangka Konseptual

  Signifier, Signified dan Signification

  Sebelum signifier, signified, dan signification dibahas lebih lanjut, peneliti terlebih dahulu menjelaskan definisi maxim, mitos dan ideologi.

  Pengertian dari maxim adalah ungkapan-ungkapan ringkas yang indah yang

  15

  dilebih-lebihkan sehingga ungkapan itu menjadi tidak masuk akal. Pengertian

  16

  selanjutnya adalah mengenai mitos. Mitos adalah cara berbicara (a type of 15

speech) yang berfungsi untuk menaturalisasikan konsep yang historis. Ketika 16 ) Sunardi, Semiotika Negativa (1ed), hal. 108. Yogyakarta: Kanal, 2008. mitos ternaturalisasi, ada perubahan fungsi mitos dari fungsi linguistik menjadi fungsi sosial yang bertujuan untuk menutupi maksud dari ideologi sebenarnya.

  Untuk pengertian ideologi, ideologi dipahami sebagai gagasan kelas penguasa terhadap kelas sosial tertentu untuk bertindak dan bertingkah laku sesuai dengan

  17 kepentingan kelas penguasa yang bersangkutan.

  Selanjutnya adalah pembahasan mengenai signifier, signified, dan

  18

  signification. Signifier, signified, dan signification dipakai untuk melihat letak maxim yang digunakan oleh elit lokal Desa Wonosari, mitos dan ideologinya.

  

Signifier disebut juga dengan penanda yang mewakili elemen bentuk (form).

  Keberadaan signifier ini tidak dapat dipisahkan dari signified. Signified sering disebut dengan petanda. Bila signifier mewakili element bentuk (form), maka

  

signified mewakili elemen konsep. Signifier dan signified merupakan kesatuan

  tak terpisahkan yang membentuk signification (tanda). Apabila signifier, signified, dan signification dihubungkan dengan letak mitos, maxim, dan ideologi dalam lapisan makna, maka maxim berada dalam tataran signifier (lapis makna tingkat pertama). Kemudian, mitos ada di signified dalam lapis makna tingkat kedua.

  Untuk letak ideologi, ideologi ada di level signification dalam lapis makna tingkat ketiga.

  Hegemoni lewat Bahasa

  Penelitian ini menggunakan pemikiran mengenai hegemoni lewat bahasa 17 yang dikaji oleh Raymond Williams di samping teoritikus lain seperti Gramsci

  

) Jones, Peter E., “Cognitive Linguistic and the Marxist Approach to Ideology” dalam Language

and Ideology (Vol 1: Theoretical Cognitive Approach) . Philadelphia: JOHN BENJAMINS 18 PUBLISHING COMPANY, 2000.

  dan Peter Ives. Kajian mengenai hegemoni lewat bahasa dipilih karena hegemoni secara riil dapat dioperasionalkan melalui bahasa dengan bentuknya yang tidak kelihatan. Sedangkan Raymond Williams digunakan sebagai teoritikus utama dalam penelitian ini karena Williams mengembangkan kembali gagasan Gramsci mengenai hegemoni yang terbentuk melalui bahasa dalam penulisan yang lebih sederhana.

  Pengkajian mengenai hegemoni lewat bahasa tidak bisa lepas dari konsep awal hegemoni yang dicetuskan oleh Gramsci. Menurut Gramsci, hegemoni dimaknai untuk menguatkan kedudukan kelompok sosial tertentu sebagai

  19

  dominasi dan sebagai kepemimpinan moral dan intelektual. Hegemoni sendiri

  20 berlangsung dalam negara (State) dan masyarakat sipil (Civil society).

  Hubungan negara dan masyarakat dengan hegemoni adalah negara merupakan tempat hegemoni, sedangkan masyarakat sipil menjadi ruang pengalaman hegemoninya.

  Dalam penerapan hegemoni, negara berusaha agar masyarakat sipil menerima nilai moral, politik dan kultural mereka. Negara berupaya agar masyarakat sipil sebagai kelompok yang didominasi mematuhi kehendak mereka bukan karena paksaan melainkan sebagai sebuah kewajaran. Dengan kewajaran

  19

) Gramsci, Antonio, Selection of Prison Notebook, hal. 57-58. London: Lawrence and Wishart,

20 1971.

  

) Menurut Gramsci, negara meliputi masyarakat politik (political society) dan masyarakat sipil

(civil society). Masyarakat politik merupakan aparatus negara yang menggunakan sarana

kekerasan, misalnya polisi, militer, pamong praja, dan hokum. Sementara itu, masyarakat sipil

adalah wilayah tanpa adanya sarana kekerasan dan tempat berlangsungnya pendidikan moral dan

intelektual. Lewat sarana kekerasan yang dimiliki oleh masyarakat politik dan prinsip-prinsip ini, masyarakat sipil tunduk pada negara yang akhirnya menjadi kelompok yang dikuasai (subordinate).

  Berdasarkan pengertian hegemoni di atas, ada dua hal yang menjadi intisari hegemoni Gramsci yaitu dominasi dan kekuasaan. Dominasi dan kekuasaan inilah yang dikaji lebih mendalam oleh Williams untuk melihat bagaimana dominasi dan kekuasaan terjadi lewat bahasa.

  Menurut Williams, hegemoni terjadi dalam masyarakat. Dalam pandangannya, masyarakat dinamakan sebagai society yang menjadi proses berlangsungnya pemenuhan kebutuhan individu dan peletakan batas-batas sosial yang diikuti dengan penekanan-penekanan dan diekspresikan dalam bentuk politik,

  21

  ekonomi dan budaya yang pada akhirnya menjadi kepentingan individu. Untuk mewujudkan kepentingan ini, individu dalam masyarakat menggunakan bahasa

  22

  sebagai sarananya. Dengan menggunakan bahasa, seorang individu dengan mudah melakukan hegemoni terhadap masyarakat.

  Untuk mempermudah proses hegemoni ini, Ives menambahkan bahwa pengekspresian bahasa disertai dengan penyeleksian kosakata agar pilihan kosakata individu sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Selain itu, penggunaan gaya yang kadang dibuat-buat oleh individu yang bersangkutan

  23

  diperlukan agar masyarakat memahami maksud individu tersebut. Di samping itu, individu tersebut berharap agar masyarakat menerimanya tanpa adanya 21 penolakan. Dengan tidak adanya penolakan, hegemoni berhasil dioperasionalkan 22

) Williams, Raymond, Marxism and Literature, hal. 87. Oxford: Oxford University Press, 1977.

  

) Bahasa merupakan kemampuan manusia untuk mengontrol seseorang dengan tekanan dan 23 meletakkan batas-batas sosial dengan cara-cara tertentu. Ibid, 43. melalui bahasa. Proses hegemoni tersebut kemudian diikuti dengan dominasi, peletakan batas dan tekanan sosial, dan determinasi dalam pengalaman hidup masyarakat sehari-hari. Ini membuat masyarakat mudah untuk dikontrol, dipengaruhi dan dikuasai, menerima nilai-nilai, keyakinan-keyakinan dan kepentingan individu sebagai kelompok yang dominan.

  Walaupun hegemoni dapat dijalankan, pada suatu saat hegemoni juga mendapatkan perlawanan. Perjuangan melawan hegemoni ini muncul baik dari individu yang menguasai maupun masyarakat yang dikuasai. Dari pihak yang menguasai yaitu dengan memberikan kebebasan untuk beraspirasi kepada masyarakat dan memenuhi kebutuhan yang mereka butuhkan. Sedang dari pihak masyarakat yang dikuasai, perjuangan terhadap hegemoni dapat dilakukan dengan menolak kepentingan individu yang merugikan mereka dengan kesadaran dan rasionalitas mereka. Mereka bisa menggunakan aspirasi yang diberikan oleh penguasa untuk menilai tindakan penguasa itu sendiri bahwa apa yang dilakukannya tidak sesuai dengan keinginan masyarakat.

  Berdasarkan penjelasan di atas dan dikaitkan dengan penelitian ini, hegemoni lewat bahasa terjadi melalui praktik hidup sehari-hari elit lokal desa Wonosari. Praktik hidup itu adalah penggunaan maxim bahasa Jawa dalam komunikasi politik mereka. Praktik hegemoni melalui maxim bahasa Jawa ini digunakan untuk menguasai pemikiran masyarakat desa Wonosari, mengatur dan mengendalikan pengalaman hidup mereka sehari-hari.

7. Metodologi Penelitian

  7.1. Lokasi

Dokumen yang terkait

Peranan wanita dan Konsumsi Pangan Petani (Kasus pada Keluarga Petani Lahan Kering di Desa Hargosari, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta)

0 8 169

Pemanenan Air untuk Menciptakan Sistem Usahatani yang Berkelanjutan (Pengalaman di Wonosari, Daerah Istimewa Yogyakarta)

0 12 9

Pendampingan orang tua terhadap anak dalam mengikuti kegiatan Misdinar di Paroki Santo Petrus dan Paulus Kelor, Wonosari, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

0 2 138

Evaluasi implementasi kuriulum 2013 di SD Negeri Karangrejek II Wonosari Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta

0 0 7

Peran film video untuk memperlancar proses pembinaan iman kaum muda di wilayah ST. Paulus Sambeng, Paroki St. Petrus dan Paulus Kelor, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta - USD Repository

0 0 183

Kerjasama apotek di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menurut persepsi apoteker pengelola apotek yang tergabung dalam apotek jaringan dalam rangka peningkatan pelayanan kefarmasian - USD Repository

0 0 111

Hubungan antara pengetahuan dan tingkat ekonomi dengan tindakan pengobatan mandiri pada penyakit batuk di Desa Argomulyo Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta - USD Repository

0 0 168

Persepsi konsumen terhadap pembelian sepeda motor Hokaido dan Sanex : studi kasus di Daerah Istimewa Yogyakarta - USD Repository

0 0 123

Persepsi konsumen terhadap pembelian sepeda motor Hokaido dan Sanex : studi kasus di Daerah Istimewa Yogyakarta - USD Repository

0 0 123

Isolasi dan identifikasi saccharomyces cerevisiae yang diperoleh dari PG-PS Madukismo Yogyakarta yang digunakan dalam proses fermentasi alkohol - USD Repository

0 0 106