TITIS IZATIN BAB II
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Hukum Acara Perdata 1. Pengertian dan Bentuk Hukum Acara Perdata Sebagai bagian dari hukum acara (formeel recht), maka hukum
acara perdata mempunyai ketentuan-ketentuan pokok yang bersifat umum dan dalam penerapannya hukum acara perdata mempunyai fungsi untuk mempertahankan, memelihara, dan menegakan ketentuan- ketentuan hukum perdata materil. Oleh karena itu eksistensi hukum acara perdata sangat penting dalam kelangsungan ketentuan hukum perdata materil.
Adapun beberapa pengertian hukum acara perdata menurut beberapa pakar hukum a.
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH Beliau mengemukakan batasan bahwa hukum acara perdata sebagai rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum perdata (dalam Halim, A. Ridwan. 1996:1).
b.
Prof. Dr. Sudikno Mertukusumo, SH
Memberi batasan hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata material dengan perantaraan hakim. Dengan perkataan lain, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menetukan bagaimana caranyamenjamin pelaksanaan hukum perdata material. Lebih kongkrit lagi dapatlah dikatakan bahwa hukum acara perdata mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya, dan pelaksanaan dari pada putusannya (dalam Prastiwi ,Intan Anggrarani, 2017 : 9).
c.
Prof. Dr. R. Supomo, SH Dengan tanpa memberikan suatu batasan tertentu, tapi melalui visi tugas dan peranan hakim menjelaskan bahwasanya dalam peradilan perdata tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum perdata (burgerlijk rechtsorde) menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara.
Berdasarkan pengertian
- –pengertian yang dikemukakan diatas serta dengan bertitik tolak kepada aspek toeritis dalam praktek peradilan, maka pada asasnya hukum acara perdata adalah : 1)
Peraturan hukum yang mengatur dan menyelenggarakan bagaimana proses seseorang mengajukan perkara perdata kepada hakim/pengadilan. Dalam konteks ini, pengajuan perkara perdata timbul karena adanya orang yang merasa haknya dilanggar orang lain, kemudian dibuatlah surat gugatan sesuai syarat peraturan perundang-undangan; 2)
Peraturan hukum yang menjamin, mengatur dan menyelenggarakan bagaimana proses hakim mengadili perkara perdata. Dalam mengadili perkara perdata, hakim harus mendengar kedua belah pihak berperkara (asas Audi Et Alterm Partem). Disamping itu juga, proses mengadili perkara, hakim juga bertitik tolak kepada peristiwanya hukumnya, hukum pembuktian dan alat bukti kedua belah pihak sesuai ketentuan perundang-undangan selaku positif (Ius
);
Constitutum
3) Peraturan hukum yang mengatur proses bagaimana caranya hakim memutus perkara perdata;
4) Peraturan hukum yang mengatur bagaimana tahap dan proses pelaksanaan putusan hakim (Eksekusi).
2. Asas-asas Hukum Acara Perdata
Dalam penerapan Hukum Acara Perdata dasar pegangan dalam praktik yaitu asas dan teori. Asas dapat berarti dasar, landasan, fundamen, prinsip, dan jiwa atau cita-cita. Asas hukum (Rechtbeginsellen) merupakan salah satu bagian dari kaidah hukum.
Asas hukum bersifat umum dan abstrak, sehingga menjadi suatu roh atau spirit dalam suatu Undang-undang. Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati menyebutkan asas-asas hukum merupakan disiplin yang mula-mula membentuk ajaran hukum umum (algemene ) (dalam Mertokusumo, Sudikno, 2006 : 36).
rechtsleer
Terdapat empat elemen substantif dalam asas Hukum Acara Perdata yaitu nilai yang mendasari sistem hukum (philosophic), adanya asas-asas hukum (legal principle), adanya norma atau peraturan perundang-undangan (legal rules) dan yang terakhir adalah masyarakat hukum pendukung sistem tersebut (legal society). Paton menyebutkan sebagai suatu sarana membuat hukum itu hidup, tumbuh dan berkembang ia menunjukkan, bahwa hukum itu bukan sekedar kumpulan dari peraturan-peraturan belaka. Kalau dikatakan, bahwa dengan adanya asas hukum, hukum itu bukan merupakan sekedar kumpulan peraturan- peraturan maka hal itu disebabkan oleh karena asas itu mengandung nilai- nilai tuntutan etis, apabila suatu peraturan hukum dipahami, mungkin tidak akan ditemukan pertimbangan etis di dalamnya dan dapat dirasa adanya petunjuk kearah yang diharapkan selama ini (Artikel Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata, t.t, tersedia di : http://www.bphn.go.id/data/documents/na_ruu_tentang_hukum_acara_pe rdata_(small_claims_court).p df).
Adapun asas-asas hukum acara perdata di Indonesia sebagai berikut (dalam Arrafi, Alfi Yudhistra, 2016 : 12-17) : 1)
Asas Peradilan Terbuka untuk Umum (Openbaarheid van
rechtspraak )
Asas ini merupakan aspek fundamental dalam praktik beracara di persidangan. Karena sebelum Majelis hakim mulai menyidangkan perkara perdata, Majelis Hakim harus menyatakan bahwa persidangan dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. Hal ini berpengaruh terhadap keabsahan dari pada putusan yang akan diputuskan Majelis Hakim dan dapat berpengaruh batalnya putusan demi hukum.
Dalam Pasal 13 ayat (1) sampai dengan ayat (3) Undang- undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa:
(1)
Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.
(2) Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. (3)
Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Sifat terbukanya pengadilan baik dalam tahap pemeriksaan maupun dalam tahap pembacaan putusan. Apabila putusan diucapkan dalam sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mana akan mengakibatkan batalnya putusan itu menurut hukum (Mertokusumo, Sudikno. 2009 : 20).
Secara formil asas ini membuka kesempatan soccial
control yang berarti persidangan tidak mempunyai arti apabila
dilangsungkan tidak secara terbuka untuk umum
). Namun dikecualikan apabila ditentukan lain oleh Undang- undang atau apabila berdasarkan alasan-alasan yang penting yang dimuat di dalam berita acara yang diperintahan oleh hakim.
Dalam praktiknya, seringkali terjadi kontradiksi. Asas ini kebanyakan dilanggar oleh hakim maupun para pihak beserta kuasa hukumnya, dimana pada saat agenda pembacaan gugatan, surat tidak dibacakan oleh masing-masing pihak tetapi hanya diserahkan langsung kepada hakim seolah-olah telah dibacakan untuk umum (Muljono, Wahju, 2012 : 37). Hal ini tentu berpengaruh terhadap pengunjung yang hadir tidak dapat mengetahui substansi gugatan dari para pihak sehingga pengunjuk tidak lagi dapat mengontrol objektivitas hakim. 2)
Hakim Bersifat Pasif (Lijdelijkeheid van de rechter) Dalam hukum acara perdata salah satu asasnya yaitu hakim bersifat pasif. Asas ini mengandung arti bahwa hakim di dalam memeriksa perkara perdata hanyalah memeriksa perkara yang diajukan oleh para pihak saja, dengan ruang lingkup dan pokok sengketa yang ditentukan sendiri oleh para pihak sehingga hakim tidak diijinkan untuk mengadili diluar dari apa yang diminta oleh para pihak (Muljono,Wahju, 2012 : 37). Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi memberikan pandangan terkait dengan pengertian “hakim bersifat pasif” ditinjau dari dua dimensi yaitu dari datangnya perkara dan dari sisi luas sengketa. Pertama, dari sisi visi inisiatif datangnya perkara, atau tidaknya, gugatan bergantung pada pihak yang berkepentingan yang merasa ataupun dirasa bahwa haknya telah dilanggar orang lain. Apabila tidak diajukannya gugatan oleh para pihak maka tidak ada hakim yang mengadili perkara tersebut (Nemo judex sine actore). Kedua, dari sisi visi luas pokok sengketa, hanya para pihak yang berhak menentukan sehingga hakim hanya bertitik tolak pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak yang bersangkutan (secundum allegat iudicare).
Jika dilihat dalam Pasal 130 HIR atau 154 RBg, para pihak dapat dengan bebas mencabut perkara yang telah diajukan ke pengadilan dan hakim tidak dapat menghalangi. Namun dalam praktiknya, penerapan asas “hakim bersifat pasif” telah mengalami pergeseran, khususnya terhadap ketentuan Pasal 178 HIR atau 189 RBg. Eksistensi dari Ketentuan Pasal 178 HIR atau 189 RBg ini merubah pandangan agar hakim dalam mumutus perkara perdata bersifat lebih aktif . Dengan ini dapat diketahui bahwa hakim hanya akan mengadili perkara jika ada pihak yang mengajukan gugatan ke pengadilan, akan tetapi dengan bergesernya asas tersebut hakim juga dituntut untuk bersifat lebih aktif dan berhak memberikan nasehat serta solusi kepada masing-masing pihak yang berperkara.
Asas hakim pasif memberikan batasan kepada hakim untuk tidak dapat mencegah apabila gugatan tersebut dicabut atau para pihak akan melakukan perdamaian (Pasal 130 HIR) atau hakim hanya mengadili luas pokok sengketa yang diajukan para pihak dan dilarang mengabulkan atau menjatuhkan putusan melebihi dari apa yang dituntut (Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) HIR) (Lilik Mulyadi, 2002 : 18 dalam Prastiwi ,Anggrarani Intan, 2017 : 11). 3)
Mendengarkan kedua belah pihak yang berperkara (Audiet Alteram
Partem )
Setiap pihak-pihak yang berperkara harus didengar atau diperlakukan sama serta diberikan kesempatan yang sama untuk membela kepentingan mereka. Hal ini berarti dalam pengajuan alat bukti baik berupa surat, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak yang bersengketa (Mertokusumo,Sudikno, 2009 : 14- 15).
Dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa :
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membeda- bedakan orang” Hal ini dapat diartikan bahwa hakim dalam mengadili perkara perdata haruslah bertindak adil dengan memberlakukan kedua belah pihak yang berperkara dengan kapasitas yang sama dan tidak berat sebelah terhadap salah satu pihak baik pada saat memeriksa, mengadili hingga memutus perkara. Hakim tidak boleh memberikan kesimpulan dasar dengan menyatakan salah satu pihak benar tanpa memberi kesempatan kepada pihak lainnya untuk mengemukakan pendapatnya di muka persidangan. Asas ini juga berlaku dalam penerapan beban pembuktian kepada para pihak. Dengan asas Audiet Alteram Partem, hakim haruslah adil dalam membebankan pembuktian agar kesempatan untuk kalah atau menang kedua belah pihak tetap sama tidak pincang (Muljono,Wahju, 2012 : 37).
4) Beracara dikenakan biaya (Nietkosteloze rechtspraak)
Pada asasnya biaya proses untuk peradilan tingkat pertama ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (3) PERMA nomor 2 Tahun 2009 tentang Biaya Proses Penyelesaian Perkara dan Pengelolaannya pada Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya (Lilik, Mulyadi, Mohammad dan Muhammad, Saleh, 2012 : 2 dalam Arrafi, Alfi Yudhistra, 2016 : 16) . Asas ini diatur juga dalam Pasal 121 ayat (4), Pasal 182, Pasal 183 HIR atau Pasal 145 ayat (4), Pasal 192 sampai dengan 194 RBg. Dimana biaya perkara meliputi biaya kepaniteraan, pemanggilan para pihak dan biaya materai. Berbeda dengan para pihak yang tidak mampu membayar biaya perkara mereka memilimki keistimewaan atau kekhususan yang diberikan oleh Undang-undang yaitu dengan cara mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat dengan berperkara secara cuma-cuma (prodeo) sebagaimana diatur dalam Pasal 237 HIR atau Pasal 273 RBg yang berbunyi :
“Barang siapa yang hendak berperkara, baik sebagai penggugat maupun tergugat tidak mampu menanggung biayanya, dapat memperoleh izin secara cuma-cuma ” . Namun, hal tersebut berbeda dalam praktiknya dilapangan, yang mana apabila seseorang akan berperkara secara cuma-Cuma
(prodeo), para pihak yang bersangkutan harus benar-benar dalam keadaan tidak mampu dengan melampirkan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh Kepala Desa/Lurah serta diketahui oleh Camat tempat para pihak yang bersangkutan tinggal.
Selanjutnya pendanaan bantuan hukum ini dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) (Soeroso,R, 2010 : 209 dalam Arrafi, Alfi Yudhistra, 2016 : 15).
5) Putusan Hakim Harus disertai Alasan-alasan
Semua putusan pengadilan haruslah memuat alasan-alasan putusan tersebut secara keseluruhan sebagai dasar pertimbangan untuk mengadili, Pasal 184 HIR ayat (1) atau Pasal 195 ayat (1) RBg. Argumentasai ini dipergunakan oleh hakim sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat, dan juga untuk menunjukkan bahwa dalam pemeriksaannya dilakukan secara
obyektif dan fair sehingga putusannya berwibawa bukan karena
semata-mata diputuskan oleh hakim tertentu, melainkan karena argumentasi dari putusannya yang berdasarkan hukum (ratio legis) (muljono, wahju, 2012 : 38 dalam Arrafi, Alfi Yudhistra, 2016 : 16).
6) Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang berkepentingan. Akan tetapi, dalam prakteknya banyak para pihak menginginkan diwakili oleh kuasa atau pengacara dalam hukum acara perdata maka hal tersebut dibolehkan. Dengan demikian hakim tetap wajib memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada seorang kuasa (Mertokusumo, Sudikno, 2009 : 18). 7)
Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya ringan Asas ini tertuang dalam Pasal 2 ayat 4 Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman yang berbunyi: “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”. Maksud dari asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan ini adalah dalam setiap perkara yang masuk sejak saat pemeriksaan hingga turunnya putusan prosedurnya dilakukan secara sederhana tidak berbelit-belit sehingga berpengaruh terhadap jangka waktu selesainya perkara. Cepat, merepresentasikan bahwa peradilan harusnya dilaksanakan dalam durasi pemeriksaan yang cepat dengan memperhatikan efisiensi waktu yang digunakan sehingga tidak berimbas pada penumpukan perkara yang masuk akibat terlalu lamanya proses pemeriksaan. Biaya ringan berarti dalam pelaksanaan hukum acara biaya ditekan seminimal mungkin sehingga terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat yang hendak mencari keadilan.
B. Tinjauan Umum tentang Gugatan Sederhana 1. Definisi Gugatan Serhana (Small Claim Court)
adalah untuk pengadilan yang menyediakan
Small Claim Court
formalitas bagi masyarakat yang ingin menuntut sejumlah uang tanpa harus menyewa seorang pengacara dan materi gugatannya tidak besar, selain itu pemeriksaan perkaranya yang tidak rumit dan bersifat sederhana yang tidak membutuhkan uang yang banyak seperti mengajukan perkara ke pengadilan umum (Local Courts Act 2007 s35(2), New South Wales Consolidated Acts dalam Tim peneliti pusat Studi Hukum Ekonomi dan Kebijakan Publik).
Menurut Financial, Wikipedia Dictionary, small claims court ; “a special court, semetimes called concillation court, that provides
expeditious, informal and a inexpensive adjudication
” artinya Gugatan Sederhana adalah peradilan khusus, yang juga disebut peradilan konsolidasi dengan penyelesaian sederhana, diluar pengadilan semestinya dengan biaya murah (Gerald N. Hill dan Kathleen T. Hill, Dictionary.Thefreedictionary.com tersedia dalam a href=”http://legaldictionary.thefreedictionary.com/Small+Claims+Court” >Small Calaim Court</a> diakses 13 Januari 2018).
Berdasarkan Black’s Law Dictionary, small claims court diartikan sebagai suatu pengadilan yang bersifat informal di luar mekanisme pengadilan pada umumnya dengan pemeriksaan yang cepat untuk mengambil keputusan atas tuntutan ganti kerugian atau utang piutang yang nilai gugatannya kecil (Gardner, A. Bryan, 2004).
Penyelesaian perkara ini mengharapkan para pihak yang berperkara dapat mengajukan kasusnya sendiri tanpa bantuan dari seorang pengacara. Untuk menunjangnya, hakim didorong melakukan pendekatan yang lebih intensif dalam mengadili dan memutus perkara dengan gugatan kecil (Baldwin, Jhon, 2003 : 20).
Menurut I. P. M. Ranuhandoko (2013 : 501) , "Small Claim " adalah Pengadilan perdata yang menangani urusan kecil, Di
Court
Amerika Serikat perkara yang kurang dari $ 100,- (seratus dollar) (Nilai minimun dalam pembatasan gugatan perdata yang dapat diperiksa dengan prosedur gugatan sederhana oleh tiap-tiap negara diberi ambang batas minimum yang berbeda-beda.
Menurut Efa Laela Fakhriah (2013 : 11) penyelesaian gugatan sederhana adalah suatu mekanisme pengadilan yang bersifat informal (di dalam pengadilan tetapi mekanismenya di luar mekanisme pengadilan pada umumnya) dengan pemeriksaan perkara yang cepat untuk mengambil keputusan atas tuntutan ganti kerugian atau utang piutang yang nilai gugatannya kecil .
Dalam Pasal 1 angka 1 PERMA Nomor 2 tahun 2015 disebutkan Penyelesaian Gugatan Sederhana diartikan sebagai tata cara pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materiil paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktiannya sederhana (Wasis Priyanto, pemeriksaan gugatan sederhana (Small
Claim Court ) tersedia di http://pn-
sukadana.go.id/webnew/upload/SMALL_CLAIM_COURT_di_Indonesi a.pdf).
Sehingga dari pengertian-pengertian mengenai gugatan sederhana tersebut dapat ditarik suatu gambaran bahwa gugatan sederhana merupakan gugatan perdata dengan nilai gugatan materiil paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktian yang sederhana dengan disertai kekuatan hukum didalamnya, yang mana Small memiliki beberapa sifat diantaranya: (a) Informal yang
Claim Court
dapat berarti merupakan mekanisme di luar mekanisme peradilan pada umumnya; (b) dilakukan dengan cepat dan efisien (expeditiously); dan (c) tuntutan ganti rugi dengan hitungan yang spesifik (specific monetary amount ).
2. Sejarah Gugatan Sederhana (Small Claim Court)
Small Claim Court didirikan oleh Pengadilan Cleveland pada
1913. Latar belakang sejarah Small Claim Court di Cleveland, adalah ketika gagasan ini muncul sebagai pengadilan pertama yang mengakhiri eksploitasi pada orang miskin dengan menawarkan keadilan yang mengutamakan perdamaiaan di Cleveland sejak kota tersebut tidak memiliki pengadilan itu sendiri, masyarakat Cleveland kemudian menyetujiu rancangan undang-undang yang menjadikan terciptanya gagasan Small Claim Court pada tahun 1913 (Fakhriah, Ela Laela ).
Sedangkan dalam sejarah Small Claim Court menurut Anthony Ross (2007) tentang Small Claim Court, Sejarah Small Claim Court dapat ditelusuri sampai pada tahun 1960,
“The History of the Movement to establish Small Claim Court dates back
to early 1960’s when the Justice of the Peace courts were increasingly
being seen as obsolete.”artinya Sejarah pergerakan pembentukan Small Claim Court dapat ditelusuri sampai pada tahun 1960 ketika Justice of Peace (Pegawai yang berfungsi seperti Hakim dengan kewenangan yang terbatas untuk mendengarkan perkara perdata, menjaga perdamaian, melakukan tindakan yudisial, mendengar keluhan pidana ringan dan menindak pelanggar hukum lembaga peradilan dilihat semakin ketinggalan jaman. “The idea was to create a court system which would allow people to
represent themselves. The concept was that of simple, informal, lawyer
less court where ordinary people could settle their affairs amicably,
without expense, delay, technicality or contentiousness, assisted by
unified law and simplified procedure that opened the practice of law to
the lay man.” artinya gagasannya adalah untuk menciptakan sebuah sistem peradilan yang memungkinkan orang untuk merepresentasikan diri mereka sendiri. Dengan konsep yang sederhana, informal, peradilan tanpa pengacara, dimana orang-orang biasa dapat menyelesaikan perkara mereka dengan damai, tanpa biaya, tanpa penundaan, secara teknis dan teliti, dibantu dengan peraturan yang terpadu dan prosedur yang disederhanakan yang memudahkan penerapannya bagi orang awam).
(Anthony Ross Background on small Claim Court, dapat dilihat di http://legaldictionary. thefreedictionary.com/Justice+of+Peace).
Di berbagai negara-negara maju sudah dikenal suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang dilakukan melaui peradilan (proses litgasi) tetapi dengan menerapkan hukum acara yang singkat dan sederhana, beda dengan prosedur beracara di pengadilan (penerapan hukum acara) pada umumnya dalam menangani sengketa perdata biasa. Sehingga proses penyelesaiaan sengketa dapat dilakukan secara sederhana dan cepat/singkat, sementara hasil penyelesaian yang diperoleh berupa putusan hakim yang mempunyai daya paksa untuk dilaksanakan (kekuatan mengikat). Mekanisme penyelesaian sengketa dimaksud adalah samll claim court.
Di Indonesia sendiri, hukum acara perdata Indonesia yang masih berpegang pada HIR maupun Rbg sebagai hukum positif yang menjadi aturan main penyelesaianan sengketa perdata di pengadilan tidak mengenal penyelesaian sengketa secara cepat maupun singkat sebagaimana yang diberlakukan untuk menyelesaikan perkara pidana dan tata usaha negara, dengan kata lain, HIR maupun Rbg hanya membedakan perkara menjadi gugatan dan permohonan yang ketika diselesaikan melalui pengadilan, untuk sengketa jenis apapun para pihaknya terkait untuk mengikuti prosedur beracara yang sudah ditetapkan. Dengan dikeluarkannya Yurisprudensi MA No. 813 K/SIP/1976 melalui MA tanggal 17 Februari 1976 dipertegas bahwa hukum acara perdata Indonesia tidak mengenal pemeriksaan kilat/singkat (Afrina, Anita :2015 dalam Arrafi, Yudhistira Alfi. 2016 : 28).
Kemudian Hukum Acara Perdata di Indonesia sendiri dalam perkembangannya masih tidak mengenal adanya gugatan sederhana yang mana pengaturan asas peradilan sederhana ini tertuang dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, sampai kemudian diterbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2015 tentang tata cara penyelesaian gugatan sederhana. Melalui kesederhanaan prosedural tersebut, maka hambatan-hambatan dalam penerapannya diharapkan akan dapat teratasi, oleh karena kedudukan PERMA merupakan produk hukum Mahkamah Agung yang legal (Pasare, Alni. 2017 : 94).
Asas sederhana, dalam konteks Peratran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 berkisar dan berintikan pada gugatannya, yakni gugatan sederhana itu sendiri. Merujuk pada ketentuan hukum acara perdata, gugatan sederhana tidak secara jelas diatur, oleh karena gugatan yang dimaksudkan adalah gugatan yang berlaku terhadap perkara apapun tanpa dibedakan secara klasifikasinya.
Achmad Fauzan dan Suhartanto (2008 : 78), menerangkan bahwa tidak ada ketentuan hukum yang mengatur tentang tata cara menyusun atau membuat gugatan yang baik, akan tetapi, dengan memperhatikan ketentuan hukum acara perdata, baik yang diatur dalam HIR/RBg, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) maupun dalam putusan- putusan Mahkamah Agung (Yurisprudensi), ditambah dengan pengalaman praktik, maka setidak-tidaknya akan dapat menghindari kelemahan formal dari gugatan.
Seperti dilansir dari Hukum Online dalam Urgensi diterbitkannya PERMA Nomor 2 tahun 2015 tentang tata cara penyelesaiaan gugatan Sederhana Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali mengungkapkan bahwa di era perdagangan bebas, Indonesia menjadi sorotan masyarakat ekonomi dunia karena tidak memiliki small claim court. Karena itu, Mahkamah Agung menerbitkan PERMA Small Claim Court ini dalam upaya mewujudkan negara demokrasi modern dan meningkatkan pelayanan terbaik bagi masyarakat pencari keadilan. Melalui berbagai kajian Kelompok Kerja (Pokja) lahirlah PERMA ini untuk diterapkan semua pengadilan, terbitnya PERMA ini juga salah satu cara mengurangi volume perkara di MA. Karena, dalam tiga tahun terakhir MA menerima beban perkara sekitar 12 ribu hingga 13 ribu perkara per tahun, sehingga perkara perdata kecil yang nilai gugatan maksimal Rp200 juta tidak perlu diajukan banding atau kasasi karena putusan pengadilan tingkat pertama sebagai pengadilan tingkat terakhir
Berkaitan dengan kondisi tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) pada Februari 2015 melakukan survei non- probablilistik terhadap 75 responden yang pernah melakukan penyelesaian sengketa perdata di Pengadilan. Dari survei yang dilakukan, dapat diketahui hal-hal sebagai berikut:
Tabel 1 : Persepsi Kerumitan Prosedur Respon Presentase Rumit 60% Sangat Rumit 33% Sederhana 7% Sangat sederhana 0% Sumber : Survei Non-Probabilitas Pokja Gugatan Sederhana MA, 2015.
Tabel 2: faktor Penting untuk dibebani Respon Presentase Biaya 66% Lama waktu Penyelesaian 14% Efektifitas Putusan 5% Lainnya 15%
(Sumber : Survei Non-Probabilitas Pokja Gugatan Sederhana MA, 2015).
Dalam pendalaman informasi ditemukan bahwa tingginya biaya tidak diartikan semata-mata sebagai biaya perkara yang dibayarkan pada pengadilan. Komponen tertinggi justru terdapat pada biaya pengacara dan biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi panggilan dari Pengadilan. Kondisi mahalnya biaya pengacara juga terkonfrmasi dari data Doing Business oleh World Bank, yang menyebutkan biaya pengacara di Indonesia mencapai 90% dari total biaya yang dikeluarkan. Sementara itu, biaya pengadilan hanya 3.1% disusul oleh biaya eksekusi sebesar 25% dalam Taufik, Giri Ahmad, dkk. 2017 : 46). Secara keseluruhan, biaya gugat wanprestasi terhadap kontrak adalah sebesar 118% dari total nilai gugatan yang diajukan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa biaya proses tidak sebanding dengan klaim gugatan yang didapatkan dari proses peradilan.
Kemudian untuk menjawab tantangan waktu selama proses penyelesaian perkara di pengadilan, Mahkamah Agung pernah menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 6 Tahun 1992 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri serta SEMA Nomor 3 Tahun 1998 tentang Penyelesaian Perkara selama paling lama 6 (enam) bulan. Dalam perkembangannya, waktu 6 (enam) bulan tersebut dianggap masih terlalu lama untuk menyelesaikan suatu perkara. MA kemudian menerbitkan kembali SEMA yaitu SEMA Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada 4 (empat) Lingkungan Peradilan yang membatasi waktu penyelesaian perkara pada Pengadilan Tingkat Pertama paling lambat 5 (lima) bulan dan pada Pengadilan Tingkat Banding paling lambat 3 (tiga) bulan. Namun demikian, ketentuan batas waktu tersebut masih dirasakan terlalu lama untuk menyelesaikan perkara perdata dengan nilai perkara yang kecil (Taufik, Giri Ahmad, dkk. 2017 : 49).
3. Kriteria Perkara Gugatan Sederhana (Small Claim Court)
PERMA Nomor 2 Tahun 2015 menetapkan kriteria perkara yang diselesaikan dengan mekanisme small claim court adalah perkara cidera janji (wanprestasi) dan atau perbuatan melawan hukum (PMH). PERMA Nomor 2 Tahun 2015 juga mensyaratkan bahwa pihak- pihak penggugat dan tergugat tidak boleh lebih dari satu, kecuali kepentingan hukum yang sama.
Dalam gugatan sederhana baik penggugat maupun tergugat diwajibkan hadir secara langsung dalam persidangan dengan atau tanpa kuasa hukum. Small claim court tidak dapat diterapkan untuk perkara yang tergugatnya tidak diketahui tempat tinggalnya. Persidangan small dipimpin oleh hakim tunggal.
claim court
PERMA menyebut dua jenis perkara yang tidak bisa diselesaikan dalam small claim court. Pertama, perkara yang penyelesaian sengketanya dilakukan melalui pengadilan khusus sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kedua, perkara sengketa hak atas tanah.
Terkait jangka waktu, PERMA Nomor 2 Tahun 2015 menetapkan bahwa small claim court berlangsung paling lama 25 hari sejak hari pertama. Dengan jangka waktu yang begitu singkat, PERMA Nomor 2 Tahun 2015 ‘melarang’ para pihak untuk mengajukan tuntutan provisi, eksepsi, rekonvensi, intervensi, replik, duplik, atau kesimpulan.
Tahapan-tahapannya adalah pendaftaran, pemeriksaan kelengkapan berkas, penetapan hakim dan penunjukkan panitera, pemeriksaan pendahuluan, penetapan hari sidang dan pemanggilan para pihak, pemeriksaan sidang dan perdamaian, pembuktian, dan putusan.
Merujuk pada isi PERMA Nomor 2 Tahun 2015, maka pemeriksaan pendahuluan menjadi tahapan paling krusial atau paling penting karena di tahap ini, hakim berwenang menilai dan kemudian menentukan apakah perkara tersebut adalah gugatan sederhana.
Apabila hakim berpendapat bahwa perkara bukanlah gugatan sederhana, maka dikeluarkan penetapan yang artinya small claim court tidak berlanjut. Atas penetapan hakim ini, tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun kecuali upaya hukum keberatan terhadap putusan tersebut.
Satu hal yang menarik dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2015 adalah kewajiban bagi hakim untuk berperan aktif dalam bentuk memberikan penjelasan mengenai acara gugatan sederhana secara berimbang kepada para pihak; mengupayakan penyelesaian perkara secara damai termasuk menyarankan kepada para pihak untuk melakukan perdamaian di luar persidangan; menuntun para pihak dalam pembuktian; dan menjelaskan upaya hukum yang dapat ditempuh para pihak.
Terkait putusan akhir small claim court, PERMA Nomor 2 Tahun 2015 mengatur bahwa para pihak dapat mengajukan keberatan terhadap putusan hakim tersebut. Upaya keberatan paling lambat tujuh hari setelah putusan diucapkan atau setelah pemberitahuan putusan.
Putusan majelis hakim atas keberatan adalah putusan akhir atau bersifat final sehingga tidak tersedia upaya hukum banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
4. Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana
Gugatan sederhana diperiksa dan diputus oleh Hakim Tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan. Adapun tahapan-tahapan dalam penyelesaian Gugatan sederhana ini meliputi: 1)
Pendaftaran; 2)
Pemeriksaan kelengkapan gugatan sederhana; 3)
Penetapan hakim dan penunjukan panitera pengganti; 4)
Pemeriksaan pendahuluan; 5)
Penetapan hari sidang dan pemanggilan para pihak; 6)
Pemeriksaan sidang dan perdamaian; 7)
Pembuktian; dan
8) Putusan.
Bagan 1 : Alur Persidangan
Penetapan
Pendaftaran Pemeriksaan
hakim dan
Gugatan kelengkapan
penunjukan
9) Gugatan sederhana
panitera pengganti
Pemeriksaan Penetapan hari sidang Pemeriksaan
Sidang dan 10) dan pemanggilan para Pendahuluan
Perdamaaan pihak
PEMBUKTIAN PUTUSAN Sumber : Arrafi, Alfi Yudhistira. 2016.
Hal yang diutamakan dalam PERMA ini adalah penyelesaian gugatan sederhana paling lama 25 (dua puluh lima) hari sejak hari sidang pertama (Ketentuan Pasal 5 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).
Tahap pemeriksaan, penggugat mendaftarkan gugatannya di kepaniteraan pengadilan. Penggugat dapat mendaftarkan gugatan dengan mengisi blanko gugatan yang disediakan di kepaniteraan. Blanko gugatan berisi keterangan mengenai (Ketentuan Pasal 6 PERMA No. 2 Tahun 2015) 1)
Identitas penggugat dan tergugat; 2)
Penjelasan ringkas duduk perkara; dan
3) Tuntutan penggugat.
Penggugat wajib melampirkan bukti surat yang sudah dilegalisasi pada saat mendaftarkan gugatan sederhana (Ketentuan Pasal 6 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).
Tahap berikutnya adalah penyelesaian kelengkapan gugatan sederhana. Panitera melakukan pemeriksaan syarat pendaftaran gugatan sederhana berdasarkan ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 peraturan ini. Panitera mengembalikan gugatan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Kemudian, pendaftaran gugatan sederhana dicatat dalam buku register khusus gugatan sederhana (Ketentuan Pasal 7 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).
Setelah itu, Ketua Pengadilan menetapkan panjar biaya perkara. Penggugat wajib membayar panjar biaya perkara. Penggugat yang tidak mampu dapat mengajukan permohonan beracara secara cuma-cuma atau prodeo (Ketentuan Pasal 8 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).
Tahap selanjutnya adalah Penetapan Hakim dan Penunjukan Panitera Pengganti. Ketua pengadilan menetapkan Hakim untuk memeriksa gugatan sederhana. Panitera menunjuk panitera pengganti untuk membantu Hakim dalam memeriksa gugatan sederhana (Ketentuan Pasal 9 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).
Keseluruhan proses pendaftaran gugatan sederhana, penetapan Hakim dan penunjukan panitera pengganti dilaksanakan paling lambat 2 (dua) hari (Ketentuan Pasal 10 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).
Pada Pemeriksaan Pendahuluan, Hakim memeriksa materi gugatan sederhana berdasarkan syarat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 peraturan ini. Hakim menilai sederhana atau tidaknya pembuktian. Apabila dalam pemeriksaan, Hakim berpendapat bahwa gugatan tidak termasuk dalam gugatan sederhana, maka Hakim mengeluarkan penetapan yang menyatakan bahwa gugatan bukan gugatan sederhana, mencoret dari register perkara dan memerintahkan pengembalian sisa biaya perkara kepada penggugat. Terhadap penetapan yang dimaksud diatas, tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun (Ketentuan Pasal 11 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).
Jika Hakim berpendapat bahwa gugatan yang diajukan penggugat adalah gugatan sederhana, maka Hakim menetapkan hari sidang pertama (Ketentuan Pasal 12 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).
Pada Pasal 13, dalam hal penggugat tidak hadir pada hari sidang pertama tanpa alasan yang sah, maka gugatan dinyatakan gugur. Jika Tergugat tidak hadir pada sidang pertama, maka dilakukan pemanggilan kedua secara patut. Dalam hal tergugat tidak hadir tanpa alasan yang sah, maka gugatan diperiksa dan diputus secara contradictoir. Terhadap putusan dimana tergugat tidak hadir pada hari sidang kedua, kemudian Hakim memutus perkara tersebut, tergugat dapat mengajukan keberatan (Ketentuan Pasal 13 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).
Hakim yang ditunjuk untuk menyelesaikan gugatan sederhana wajib berperan aktif dalam melakukan hal-hal sebagai berikut: 1)
Memberikan penjelasan mengenai acara gugatan sederhana secara berimbang kepada para pihak; 2)
Mengupayakan penyelesaian perkara secara damai termasuk menyarankan kepada para pihak untuk melakukan perdamaian di luar persidangan;
3) Menuntun para pihak dalam pembuktian; dan Menjelaskan upaya hukum yang dapat ditempuh para pihak.
Peran aktif sebagaimana disebutkan diatas harus dilakukan dalam persidangan yang dihadiri oleh para pihak (Ketentuan Pasal 14 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).
Pemeriksaan sidang dan Perdamaian, pada hari sidang pertama Hakim wajib mengupayakan perdamaian dengan memperhatikan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) PERMA Nomor 2 Tahun 2015. Upaya perdamaian dalam perma ini mengecualikan ketentuan yang diatur dalam ketentuan Mahkamah Agung mengenai prosedur mediasi. Dalam hal tercapai perdamaian, Hakim membuat Putusan Akta Perdamaian yang mengikat para pihak. Terhadap Putusan Akta Perdamaian tidak dapat diajukan upaya hukum apapun. Dalam hal tercapai perdamaian di luar persidangan dan perdamaian tersebut tidak dilaporkan kepada Hakim, maka Hakim tidak terikat dengan perdamaian tersebut (Ketentuan Pasal 15 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).
Jika perdamaian tidak tercapai pada hari sidang pertama, maka persidangan dilanjutkan dengan pembacaan surat gugatan dan jawaban tergugat (Ketentuan Pasal 16 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).
Proses pemeriksaan gugatan sederhana, tidak dapat diajukan tuntutan provisi, eksepsi, rekonvensi, intervensi, replik, duplik, atau kesimpulan (Ketentuan Pasal 17 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan yang berkaitan dengan kebijakan maupun teknis pelaksanaan ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum atau Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI (Ketentuan Pasal 17 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).
Proses pembuktian gugatan yang diakui atau tidak dibantah, tidak perlu dilakukan pembuktian. Terhadap gugatan yang dibantah, hakim melakukan pemeriksaan pembuktian berdasarkan hukum acara yang berlaku (Ketentuan Pasal 18 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).
Hakim membacakan putusan dalam sidang terbuka untuk umum. Hakim wajib memberitahukan hak para phak untuk mengajukan keberatan (Ketentuan Pasal 19 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).
Putusan dalam gugatan sederhana terdiri dari: 1)
Kepala putusan dengan irah-irah yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;
2) Identitas para pihak;
3) Uraian singkat mengenai duduk perkara;
4) Pertimbangan hukum; dan
5) Amar putusan.
Dalam hal para pihak tidak hadir, jurusita menyampaikan pemberitahuan putusan paling lambat 2 (dua) hari setelah putusan diucapkan. Atas permintaan para pihak salinan putusan diberikan paling lambat 2 (dua) hari setelah putusan diucapkan. Panitera pengganti mencatat jalannya persidangan dalam Berita Acara Persidangan yang ditandatangani oleh Hakim dan panitera pengganti (Ketentuan Pasal 20 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).
5. Yuridiksi gugatan Sederhana
Gugatan sederhana termasuk dalam kewenangan atau ruang lingkup Peradilan Umum. Tidak semua perkara dapat diselesaikan dengan cara mengajukan gugatan sederhana. Pembatasan materi gugatan sederhana telah diatur oleh PERMA Nomor 2 Tahun 2015 khususnya Pasal 3 dan Pasal 4 yang sebagai berikut : Pasal 3 : (1) Gugatan sederhana diajukan terhadap perkara cidera janji dan/atau perbuatan melawan hukum dengan nilai gugatan materil paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
(2) tidak termasuk dalam gugatan sederhana adalah : a. perkara yang penyelesaiaannya dilakukan melalui pengadilan khusus sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undanagn; atau b. sengketa hak atas tanah.
Pasal 4 : (1) Para pihak dalam gugatan sederhana terdiri dari penggugat dan tergugat yang masing-masing tidak boleh lebih dari satu, kecuali memiliki kepentingan hukum yang sama. (2)Terhadap tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya, tidak dapat diajukan gugatan sederhana. (3) Penggugat dan tergugat dalam gugatan sederhana berdomisili di daerah hukum pengadilan yang sama. (4) penggugat dan tergugat wajib menghadiri secara langsung setiap persidangan dengan atau tanpa didampingi kuasa hukum.
Namun dalam prakteknya tidak mudah untuk menentukan perkara tersebut adalah murni perkara dengan obyek materi sederhana, contoh dalam sengketa hutang piutang ada jaminan tanah atau gadai tanah. Karena dalam menentukan posisi perkara tiap pihak pasti beda, bisa jadi pihak penggugat menyatakan ini wanprestasi, tetapi tergugat menyatakan sengketa tanah.
Hal ini perlu ditinjau lebih lanjut pada saat masa registrasi perkara agar tidak terjadi kesalahan dalam penentuan materi gugatan apakah nanti akan bisa diselesaikan melalui penyelesaian gugatan sederhana ataukah melalui proses acara pemeriksaan biasa karena terdapat beberapa kualifikasi agar perkara tersebut masuk dalam kategori gugatan sederhana sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) PERMA Nomor 2 Tahun 2015.
6. Manfaat Gugatan Sederhana (Small Claim Court) a.
2) Pemeriksaan oleh hakim tunggal;
Mengurangi kemungknan penumpukan perkara di Mahkamah Agung dan Peradilan Tinggi
Memberi kesempatan untuk memilih mekanisme dan yuridksi yang tepat e.
d.
Mendorong terwujudnya asas peradilan yang cepat.
c.
3) Selaras dengan asas doelmagtigheid (kepatutan) karena menghindari prosedur yang berbelit-belit.
Meningkatkan aksesibilitas bagi masyarakat untuk mencapai keadilan 1)
Terutama aksesibilitas bagi masyarakat yang tidak mampu; 2)
Mendorong terwujudnya asas peradilan yang sederhana.
b.
Mendorong kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan karena sifat peradilan yang efisien dan efektif.
Menekan kemungkinan perkara yang berlart-larut, bahkan berlanjut; 5)
Penyerderhanaan prosedur mengntngkan oang awam/hukum; 4)
Penyelesaiaan kasus-kasus keseharian yang tidak kompleks; 3)
1) Prosedur yang lebih sederhana; f.
Mewujudkan keadilan restoraktive dan mempertimbangkan ius contituendum C.
Tinjauan Umum tentang Penyelesaian Sengketa 1. Pengertian Sengketa Perdata
Pengerian Sengketa menurut Nurnaningsih Amriani (2012 : 13) adalah perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak dalam perjanjian karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian. Hal yang sama juga disampaikan oleh Takdir Rahmadi (2011: 1) yang mengartikan bahwa konflik atau sengketa merupakan situasi dan kondisi di mana orang-orang saling mengalami perselisihan yang bersifat faktual maupun perselisihan- perselisihan yang ada pada persepsi mereka saja (dalam Prastiwi ,Intan Anggrani, 2017 : 8) .
Sedangkan menurut pengertisan sengketa menurut D. Y Witanto (2012 : 2) adalah pertentangan atau konflik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat (populasi sosial) yang membentuk oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan (dalam Prastiwi, Intan ,Anggrani, 2017 : 8).