DAYA SAING TEMBAKAU VIRGINIA DI KABUPATEN BULELENG PROVINSI BALI.

(1)

DISERTASI

DAYA SAING TEMBAKAU VIRGINIA

DI KABUPATEN BULELENG

PROVINSI BALI

I MADE TAMBA


(2)

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

DISERTASI

DAYA SAING TEMBAKAU VIRGINIA

DI KABUPATEN BULELENG

PROVINSI BALI

I MADE TAMBA NIM 1190471005


(3)

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI ILMU PERTANIAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

DAYA SAING TEMBAKAU VIRGINIA

DI KABUPATEN BULELENG

PROVINSI BALI

Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada Program Doktor, Program Studi Ilmu Pertanian

Program Pascasarjana Universitas Udayana

I MADE TAMBA NIM 1190471005


(4)

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI ILMU PERTANIAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

Lembar Pengesahan

DISERTASI INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 7 APRIL 2016

Promotor

Prof. Ir. I G A A Ambarawati, M.Ec., Ph.D. NIP.19600901 198403 2 001

Kopromotor I, Kopromotor II,

Prof. Dr. Ir. Made Antara, MS. Dr. I Wayan Budiasa, SP.,MP NIP. 195412251981021001 NIP. 197011161994031003


(5)

Mengetahui

Ketua Program Studi Direktur Doktor Ilmu Pertanian Program Pascasarjana

Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana

Prof. Dr. Ir. I Made Adnyana, MS. Prof.Dr.dr. A A Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP. 19560525 198303 1 002 NIP. 19590215 198510 2 001

Disertasi Ini Telah Diuji pada Ujian Tertutup Tanggal 14 Januari 2016

Panitia Penguji Disertasi Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana No. 129/UN14.4/HK/2016, Tanggal 05 Januari 2016

Ketua : Prof. Dr. Ir. I Made Adnyana, MS. Anggota :

1. Prof. Ir. I G A A Ambarawati, M.Ec., Ph.D. 2. Prof. Dr. Ir. Made Antara, MS.

3. Dr. I Made Budiasa, SP.,MP.

4. Prof. Dr. Ir. I Ketut Budi Susrusa, MS. 5. Prof. Dr. Ir. I Made Narka Tenaya, MS. 6. Dr. Ir. I Made Sudarma, MS


(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas asung wara nugraha-Nya, disertasi ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Ir. I G A A Ambarawati, M.Ec., Ph.D., promotor yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti program doktor, khususnya dalam penyelesaian disertasi ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Made Antara, MS. sebagai Kopromotor I dan Dr. I Wayan Budiasa, SP.,MP sebagai Kopromotor II, yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD., atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Doktor di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang dijabat oleh Prof. Dr. dr. A A Raka Sudewi, Sp.S (K), Asisten Direktur I Prof. Dr. Made Budiarsa, MA, Asisten Direktur II Prof. Made Sudiana Mahendra, Ph.D atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Doktor pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. I Nyoman Rai, MS Dekan Fakultas Pertanian Universitas Udayana atas ijin yang diberikan


(7)

kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program Doktor. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. I Made Adnyana, MS. Ketua Program Studi Doktor Ilmu Pertanian Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada para penguji disertasi yaitu Prof. Dr. Ir. I Ketut Budi Susrusa, MS; Prof. Dr. Ir. I Made Narka Tenaya, MS; Prof. Dr. Ir. I Made Adnyana, MS; Dr. Ir. I Made Sudarma, MS; dan Dr. Ir. Ronnie Susman Natawidjaja, MSc yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga disertasi ini dapat terwujud seperti ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Pemerintah Republik Indonesia c.q Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi atas ijin yang diberikan untuk mengikuti program Doktor.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus disertai penghargaan kepada seluruh guru-guru yang telah membimbing penulis mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu dan Mendiang Ayah yang telah mengasuh dan membesarkan penulis, memberikan dasar-dasar berpikir logik dan suasana demokratis sehingga tercipta lahan yang baik untuk berkembangnya kreativitas. Akhirnya penulis menyampaikan terima kasih kepada Istri tercinta Ni Putu Suhartini, SPd., serta anak-anakku Indiani Sani dan Dede Yoga Paramartha yang dengan penuh pengorbanan telah memberikan kepada penulis kesempatan untuk lebih berkonsentrasi menyelesaikan disertasi ini.

Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa selalu melimpahkan rahmatNya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian disertasi ini, serta kepada penulis sekeluarga.

Denpasar, Maret 2016 Penulis


(8)

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : I Made Tamba

NIM : 1190471005 Program Studi : Ilmu Pertanian

Fakultas/Program : Program Doktor Pascasarjana Universitas Udayana

Menyatakan bahwa karya ilmiah disertasi ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa dalam disertasi ini terkandung ciri-ciri plagiat dan bentuk peniruan lain yang dianggap melanggar peraturan, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan Peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, Maret 2016


(9)

ABSTRAK

DAYA SAING TEMBAKAU VIRGINIA DI KABUPATEN BULELENG PROVINSI BALI

Petani tembakau virginia dalam mengoperasikan usahataninya menjalin kemitraan dengan beberapa perusahaan mitra, diantaranya perusahaan GG dan BB. Pencapaian daya saing usahatani tembakau virginia diduga terkait dengan kapasitas manajerial perusahaan mitra. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis (1) efisiensi finansial dan ekonomik usahatani tembakau virginia di Kabupaten Buleleng, Bali, (2) insentif ekonomi yang diterima petani tembakau virginia di Kabupaten Buleleng, Bali, (3) daya saing tembakau virginia menurut perusahaan mitra, dan (4) dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing tembakau virginia.

Penelitian ini merupakan penelitian survey yang dilakukan terhadap petani tembakau virginia yang tersebar pada tiga kecamatan di Kabupaten Buleleng, yaitu Kecamatan Buleleng, Sukasada, dan Grokgak. Penentuan responden menggunakan metode sensus dengan jumlah responden sebanyak 87 orang (68 orang petani mitra perusahaan GG dan 19 orang petani mitra perusahaan BB. Data dianalisis menggunakan pendekatan policy analysis matrix (PAM).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi finansial dan ekonomi usahatani mitra GG lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani mitra BB, pada berbagai strata luas tanam. Pada

strata luas tanam ≤ 2 ha, usahatani tembakau virginia pada kedua jenis kemitraan mencapai efisiensi finansial dan ekonomi tertinggi. Sistem usahatani tembakau virginia di Kabupaten Buleleng secara keseluruhan menerima insentif ekonomi dari berbagai kebijakan pemerintah atau distorsi pasar. Pada berbagai kemitraan dan strata luas tanam tembakau virginia memiliki daya saing kompetitif dan komparatif. Tembakau virginia yang dihasilkan mitra GG memiliki daya saing kompetitif dan komparatif yang lebih tinggi dibandingkan dengan tembakau virginia yang dihasilkan mitra BB. Dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing tembakau virginia menunjukkan bahwa tembakau virginia masih memiliki daya saing di bawah kondisi tanpa


(10)

bantuan pupuk pemerintah, kenaikan harga input 10%, kenaikan harga LPG 10%, dan penurunan harga output 10% atau penurunan produktivitas lahan 10%.

Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan agar (1) petani selayaknya mengoperasikan

usahatani tembakau virginia pada strata luas tanam ≤ 2 ha; dan (2) keberlanjutan kemitraan

petani tembakau virginia dengan perusahaan GG agar tetap dijalin secara harmonis. Kata kunci: daya saing, kompetitif, komparatif, tembakau virginia, kemitraan

ABSTRACT

VIRGINIA TOBACCO COMPETITIVENESS AT BULELENG REGENCY BALI PROVINCE

Virginia tobacco farmers at Buleleng regency, operate their farming in a partnership system with several partner companies, such as GG and BB. The achievement of competitiveness from virginia tobacco farming is associated with partner companies. The aims of this study are to evaluate (1) efficiency of financial and economic of virginia tobacco farming at Buleleng regency, Bali, (2) the economic incentives received by virginia tobacco farmers at Buleleng regency, Bali, (3) the competitiveness of virginia tobacco farming based on partnership companies, and (4) the impact of government policy to the competitiveness of virginia tobacco.

This study is a survey research. The survey was conducted on virginia tobacco farmers scattered in three districts, namely the District Buleleng, Sukasada, and Grokgak. Respondents were selected using census method with number of respondents 87 people (68 farmers under GG company and 19 farmers under BB company). Data were analyzed using policy analysis matrix (PAM) approach.

The results showed that all tobacco farmers achieved their efficiency in term of financial and economic concerns, at all various strata of planting area. However, planting area of <2 ha, on both companies partnership shows the highest efficient. Meanwhile the planting area of 4-6 ha shows the least. Overall, tobacco farming system receives economic incentives from various government policies or affected by distortion from the market. This study also shows that virginia tobacco farming at Buleleng regency have their competitive and comparative competitiveness at all level of area planting. Nonetheless, farmers under GG partnership have higher achievement than that of the BB. Virginia tobacco farming is still viable to carry out from changes such the absence of fertilizer subsidy from the government, a-10 percent increase in input prices, a-10 percent increase in LPG prices, a decline of output price and decline land productivity by 10 percent.


(11)

Based on the results from this study, it is suggested that (1) farmers are better to operate tobacco at planting area of 2 ha; and (2) partnership with GG company can be continued to strengthen the efficiency of financial and economic as well as the competitiveness of competitive and comparative of tobacco farming.

Keywords: competitiveness, competitive, comparative, virginia tobacco, partnerships

RINGKASAN

DAYA SAING TEMBAKAU VIRGINIA DI KABUPATEN BULELENG PROVINSI BALI

Tembakau sebagai komoditas strategis yang menjadi unggulan nasional, secara historis telah memperoleh perhatian besar sejak Pemerintah Hindia Belanda. Kebijakan penanaman tembakau terus dilanjutkan Pemerintah Indonesia melalui perusahaan negara perkebunan. Tanaman tembakau diusahakan secara cukup meluas oleh petani baik di Jawa maupun luar Jawa. Beberapa kebijakan pemerintah yang terkait dengan perekonomian tembakau adalah kebijakan subsidi pupuk, kebijakan konversi minyak tanah ke LPG, kebijakan penggunaan dana perimbangan cukai tembakau oleh Pemerintah Daerah, dan terbitnya PP 109 tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan. Di samping kebijakan pemerintah tersebut, ada traktat internasional Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang memberikan tekanan terhadap produksi tembakau.

Berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut diduga berdampak terhadap struktur biaya dan penerimaan usahatani tembakau virginia. Petani tembakau virginia dalam mengoperasikan usahataninya menjalin kemitraan dengan beberapa perusahaan mitra,


(12)

diantaranya perusahaan GG dan BB. sehingga pencapaian daya saing usahatani tembakau virginia juga diduga terkait dengan kapasitas manajerial perusahaan mitra.

Permasalahan yang akan dicarikan jawabannya dalam penelitian ini, yaitu (1) bagaimanakah efisiensi finansial dan ekonomi usahatani tembakau virginia berdasarkan perusahaan mitra di Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, (2) apakah petani tembakau virginia menerima insentif ekonomi, (3) Bagaimanakah daya saing tembakau virginia berdasarkan perusahaan mitra di Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, dan (4) Bagaimanakah dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing tembakau virginia di Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis (1) efisiensi finansial dan ekonomi usahatani tembakau virginia berdasarkan perusahaan mitra di Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, (2) insentif ekonomi yang diterima petani tembakau virginia di Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, (3) daya saing tembakau virginia di Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali berdasarkan perusahaan mitra, dan (4) dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing tembakau virginia di Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali.

Penelitian ini merupakan penelitian survey, yang dilakukan terhadap petani tembakau virginia yang tersebar pada tiga kecamatan yang mengusahakan tembakau virginia terluas di Kabupaten Buleleng, yaitu Kecamatan Buleleng, Sukasada, dan Grokgak. Penentuan responden menggunakan metode sensus dengan jumlah responden sebanyak 87 orang (68 orang petani mitra perusahaan GG dan 19 orang petani mitra perusahaan BB). Data dianalisis menggunakan pendekatan policy analysis matrix (PAM). Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan efisiensi finansial, efisiensi ekonomi, daya saing kompetitif dan komparatif antar perusahaan mitra dilakukan uji-F dan dilanjutkan dengan uji-t.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani tembakau virginia di Kabupaten Buleleng efisien secara finansial dan ekonomi pada berbagai strata luas tanam dan kemitraan.

Strata luas tanam ≤ 2 ha pada berbagai kemitraan memiliki efisiensi finansial dan ekonomi

tertinggi dan strata luas tanam > 4 ha sd 6 ha memiliki efisiensi finansial dan ekonomi terendah. Tingkat keuntungan finansial per hektar usahatani tembakau virginia mitra GG pada strata luas

tanam ≤ 2 ha sebesar Rp. 17.737.690,30. Pada skala yang lebih luas tingkat efisiensi finansial usahatani tembakau virginia semakin menurun, yang ditunjukkan oleh tingkat keuntungan finansial mitra GG per hektar sebesar Rp 16.991.582,35 untuk strata luas tanam >2 ha sd 4 ha.,


(13)

dan sebesar Rp 16.104.993,31 untuk strata luas tanam >4 ha sd 6 ha. Demikian halnya yang terjadi pada mitra BB, tingkat efisiensi finansial juga semakin menurun dengan semakin meningkatkan strata luas tanam, yang ditunjukkan oleh besaran keuntungan finansial yaitu sebesar Rp 12.935.504,40 untuk strata luas tanam ≤ 2 ha, sebesar Rp 11.710.416,68 untuk strata luas tanam >2 ha sd 4 ha, dan sebesar Rp 9.835.309,94 untuk strata luas tanam >4 ha sd 6 ha.

Tingkat keuntungan ekonomi per hektar usahatani tembakau virginia mitra GG pada

strata luas tanam ≤ 2 ha sebesar Rp. 17.166.803,23. Pada skala yang lebih luas tingkat efisiensi ekonomi usahatani tembakau virginia juga semakin menurun, yang ditunjukkan oleh tingkat keuntungan ekonomi mitra GG per hektar sebesar Rp 16.537.394,21 untuk strata luas tanam >2 ha sd 4 ha., dan hanya sebesar Rp 15.671.774,36 untuk strata luas tanam >4 ha sd 6 ha. Sama halnya yang terjadi pada mitra BB, tingkat efisiensi ekonomi juga semakin menurun dengan semakin meningkatkan strata luas tanam, yang ditunjukkan oleh besaran keuntungan ekonomi sebesar Rp 12.555.311,98 untuk strata luas tanam ≤ 2 ha, sebesar Rp 11.378.847,88 untuk strata luas tanam >2 ha sd 4 ha, dan hanya sebesar Rp 9.572.348,29 untuk strata luas tanam >4 ha sd 6 ha. Usahatani mitra GG memiliki efisiensi finansial dan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan mitra BB pada berbagai strata luas tanam.

Insentif ekonomi yang diterima petani tembakau mitra GG secara kumulatif

direfleksikan oleh transfer bersih sebesar Rp 1.373.098,79/ha untuk strata ≤2 ha, sebesar Rp

1.260.138,98/ha untuk strata >2 ha sd 4 ha, dan sebesar Rp 1.235.006,74/ha untuk strata >4 ha sd 6 ha., sedangkan mitra BB menerima insentif ekonomi yang direfleksikan oleh transfer bersih, masing-masing sebesar Rp 1.406.835,07/ha untuk strata ≤2 ha, sebesar Rp 1.362.045,09/ha untuk strata >2 ha sd 4 ha, dan sebesar Rp 1.349.152,65/ha untuk strata >4 ha sd 6 ha. Secara simultan usahatani tembakau menerima insentif ekonomi dari kebijakan pemerintah atau distorsi pasar.

Usahatani tembakau virginia yang berbasis kemitraan memiliki daya saing kompetitif dan komparatif pada berbagai strata luas tanam. Pada perusahaan mitra yang sama, tidak ada perbedaan daya saing kompetitif antar strata luas tanam, demikian juga halnya daya saing komparatif tidak menunjukkan perbedaan antar strata luas tanam. Usahatani mitra GG memiliki daya saing kompetitif dan komparatif yang lebih tinggi dibandingkan dengan mitra BB pada berbagai strata luas tanam.

Dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing tembakau virginia menunjukkan bahwa tembakau virginia mitra GG di Kabupaten Buleleng pada berbagai strata luas tanam


(14)

toleran terhadap masing-masing skenario (1) tanpa bantuan pupuk dari pemerintah, (2) tanpa bantuan pupuk dari pemerintah dan kenaikan harga input pupuk ZK, KNO3, dan KS 10%, (3) tanpa bantuan pupuk dari pemerintah dan kenaikan harga LPG 10%, (4) tanpa bantuan pupuk dari pemerintah dan penurunan harga output 10%, (5) tanpa bantuan pupuk dari pemerintah dan penurunan produktivitas lahan 10%, (6) tanpa bantuan pupuk dari pemerintah, kenaikan harga input pupuk ZK, KNO3, dan KS 10%, kenaikan harga LPG 10% dan penurunan harga output 10%, dan (7) tanpa bantuan pupuk dari pemerintah, kenaikan harga input pupuk ZK, KNO3, dan KS 10%, kenaikan harga LPG 10% dan penurunan produktivitas lahan 10%.

Temuan baru dari hasil penelitian ini yaitu strata luas tanam ≤ 2 ha memiliki efisiensi finansial dan ekonomi yang paling tinggi melalui kemitraan dengan perusahaan GG. Kemitraan berperanan sangat penting dalam penciptaan daya saing dan keberlanjutan usahatani tembakau virginia di Kabupaten Buleleng. Tanpa kemitraan usahatani tembakau virginia di daerah ini tidak dapat berlangsung.

Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan agar (1) Petani selayaknya mengoperasikan

usahatani tembakau virginia pada strata luas tanam ≤ 2 ha, karena memiliki efisiensi finansial

dan ekonomi serta daya saing kompetitif dan komparatif yang paling tinggi; (2) Keberlanjutan kemitraan petani tembakau virginia dengan perusahaan GG agar tetap dijalin secara harmonis; (3) Kemitraan petani dengan perusahaan BB agar merujuk jalinan kemitraan petani dengan perusahaan GG sehingga efisiensi finansial dan ekonomi serta daya saing kompetitif dan komparatif usahatani tembakau virginia dapat ditingkatkan; (4) Bantuan pupuk yang tidak tepat waktu sering tidak digunakan dalam proses produksi, oleh karena itu Pemerintah Provinsi Bali melalui Dinas Pekebunan perlu menjadwalkan waktu pemberian bantuan pupuk yang tepat; dan (5) Penelitian ini tidak mencakup daya saing tembakau di tingkat internasional, sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan yang lebih mendalam tentang daya saing tembakau virginia pada tingkat internasional.


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ……….. i

PRASYARAT GELAR ……….... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ……… iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ……… iv

UCAPAN TERIMA KASIH ……… v

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ……….. vii

ABSTRAK ……… viii

ABSTRACT ………. ix

RINGKASAN ……… x

DAFTAR ISI ………. xiv

DAFTAR TABEL ………. xvii

DAFTAR GAMBAR ………. xviii

DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH ………… xix

DAFTAR LAMPIRAN ………. xx

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1


(16)

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.3.1 Tujuan umum ……….……….. 9

1.3.2 Tujuan khusus ….……….………. 9

1.4 Manfaat Penelitian ... 10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Teori Produksi ……..………... 11

2.2. Teori Efisiensi ……… 17

2.3. Teori Insentif Ekonomi Bagi Produsen ………. 20

2.4. Teori Daya Saing ………... 21

2.5. Matriks Analisis Kebijakan ………... 27

2.6. Teori Kemitraan ……….. 33

2.7. Teknologi Pendukung Usahatani Tembakau ..………. 37

2.8. Hasil Penelitian Terdahulu…………... 40

BAB III. KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 44

3.1. Kerangka Berpikir ... 44

3.2 Konsep Penelitian …….……… 49

3.3. Hipotesis Penelitian ... 52

BAB IV. METODE PENELITIAN ... 53

4.1. Pendekatan Penelitian ………. 53

4.2. Lokasi Penelitian ... 53

4.3. Populasi dan Sampel ………... 54

4.4. Metode Pengumpulan Data ……… 55

4.5 Istrumen Penelitian ………. 55

4.6. Definisi Operasional Variabel ………. 56

4.7. Metode Analisis Data ……….. 57

4.8. Penentuan Harga bayangan ………. 60

4.9. Metode Pengalokasian Komponen Biaya Domestik dan Asing .. 62

4.10 Analisis Simulasi ………. 62

4.11 Asumsi Ekonomi Makro ……….. 63


(17)

5.1 Karakteristik Responden ……….. 65

5.1.1 Umur ……… 65

5.1.2 Pendidikan formal ……… 65

5.1.3 Jumlah anggota keluarga ………. 66

5.1.4 Pengalaman berusahatani tembakau virginia……….. 66

5.1.5 Luas penguasaan usahatani tembakau virginia ……… 66

5.2 Efisiensi Finansial dan Ekonomi Usahatani Tembakau Virginia. 67

5.2.1 Deskripsi input dan output usahatani tembakau virginia …. 67

5.2.2 Harga privat dan sosial input dan output ..……….. 69

5.2.2.1 Harga privat input dan output ………. 69

5.2.2.2 Harga sosial input dan output ………. 71

5.2.3 Struktur biaya dan penerimaan finansial dan ekonomi usahatani tembakau virginia ……….. 73

5.2.4 Perbandingan efisiensi finansial dan ekonomi antara perusahaan mitra GG dengan mitra BB ……… 80

5.3 Insentif Ekonomi yang Diterima Petani Tembakau Virginia …… 86

5.4 Daya Saing Tembakau Virginia Buleleng Menurut Perusahaan Mitra ……….. 104

5.5 Simulasi Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Tembakau Virginia ……….……… 112

5.6 Novelty……… 117

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ……… 119

6.1 Simpulan ……… 119

6.2 Saran ……….. 120

DAFTAR PUSTAKA ……….. 121

LAMPIRAN ………. 125


(18)

DAFTAR TABEL

Halaman 1.1 Perkembangan Luas Areal dan Produksi Tembakau Nasional

Periode 2000 sd 2010 ……….. 3

1.2 Perkembangan Luas Areal dan Produksi Tembakau Virginia

di Kabupaten Buleleng Provinsi Bali ……….… 4

2.1 Policy Analysis Matrix………..…. 28 4.1 Populasi dan Sampel Pelaku Usahatani Tembakau Virginia

Menurut Kecamatan, Strata Luas Tanam, dan Perusahaan Mitra 54 4.2 Variabel, Indikator, dan Skala Pengukurannya ……….. 57 4.3 Policy Analysis Matrix……….….. 58


(19)

5.1 Rata - Rata Input dan Output per Ha Usahatani Tembakau

Virginia Menurut Kemitraan dan Strata Luas Tanam ……... 68 5.2 Harga Private Input dan Output Tembakau Virginia ……….. 70 5.3 Harga Sosial Input dan Output Tembakau Virginia ………… 72 5.4 Struktur Biaya dan Penerimaan Finansial Usahatani Tembakau

Virginia Menurut Perusahaan Mitra dan Luas Tanam ………. 74 5.5 Struktur Biaya dan Penerimaan Ekonomi Usahatani Tembakau

Virginia Menurut Perusahaan Mitra dan Luas Tanam ………… 78 5.6 Efisiensi Finansial dan Ekonomi Usahatani Tembakau

Virginia Menurut Perusahaan Mitra dan Luas Tanam ………… 80 5.7 Insentif Produsen Menurut Perusahaan Mitra dan Luas Tanam .. 87 5.8 NPCDF dan EPCDF Menurut Perusahaan Mitra dan Strata

Luas Tanam ………. 103 5.9 Daya S aing Tembakau Virginia Menurut Perusahaan Mitra

dan Luas Tanam ……… 104 5.10 Simulasi Daya Saing Tembakau Virginia Menurut Perusahaan

Mitra dan Luas Tanam dengan Perubahan Variabel Tertentu …. 113

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Tiga Tahap Fungsi Produksi Neoklasik ……… 16

3.1 Kerangka Berpikir Penelitian Daya Saing Tembakau Virginia


(20)

DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN DAN ISTILAH

Lambang

< : lebih kecil dari


(21)

> : lebih besar dari Singkatan

FOB : Free on Board

CIF : Cost Insurance and Freight GG : Gudang Garam

BB : Beringin Bali HOK : Hari Orang Kerja Ha : Hektar

Kg : Kilogram l : Liter g : gram

ZK : Zwavelzure Kali KNO3 : Potassium Nitrat KS : Kalk Salpeter

LPG : Liquified Petrolium Gas

DAFTAR LAMPIRAN


(22)

1 Perhitungan Harga Paritas Impor Tembakau Virginia Krosok .. 124 2 Hasil Uji-t terhadap Efisiensi Finansial antara Mitra GG

dengan Mitra BB ……….. 127

3 Hasil Analisis PAM ……….. 128

4 Hasil Uji-F dan Uji-t terhadap Koefisien PCR ………. 130 5 Hasil Uji-F dan Uji-t terhadap Koefisien DRC ……… 131

6 Hasil Analisis Simulasi ……….. 132


(23)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebijakan umum pembangunan perkebunan sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) Pembangunan Perkebunan 2010 sd 2014, yaitu mensinergikan seluruh sumber daya perkebunan dalam rangka peningkatan daya saing usaha perkebunan, nilai tambah, produktivitas, dan mutu produk perkebunan melalui partisipasi aktif masyarakat perkebunan dan penerapan organisasi modern yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi serta didukung dengan tata kelola pemerintahan yang baik. Kebijakan umum tersebut dijabarkan dalam kebijakan teknis pembangunan perkebunan, yakni meningkatkan produksi, produktivitas, dan mutu tanaman perkebunan berkelanjutan melalui pengembangan komoditas, sumber daya manusia, kelembagaan dan kemitraan usaha, investasi usaha perkebunan sesuai kaidah pengelolaan sumber daya alam, dan lingkungan hidup dengan dukungan pengembangan sistem informasi manajemen perkebunan (Ditjenbun, 2010).

Berdasarkan hasil rekonstruksi program, telah ditetapkan bahwa untuk tahun 2010 sd 2014 Direktorat Jendral Perkebunan memprogramkan peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu tanaman perkebunan berkelanjutan. Menurut Keputusan Menteri Pertanian No. 511 tahun 2006 dan No. 3399 tahun 2009, prioritas penanganan difokuskan pada 15 komoditas strategis yang menjadi unggulan nasional, yaitu karet, kelapa sawit, kelapa, kakao, kopi, lada, teh, cengkeh, jambu mete, jarak pagar, kemiri sunan, tebu, kapas, nilam, dan tembakau (Ditjenbun, 2010)

Tembakau sebagai komoditas strategis yang menjadi unggulan nasional, secara historis telah memperoleh perhatian besar sejak Pemerintah Hindia Belanda. Kebijakan penanaman


(24)

tembakau terus dilanjutkan Pemerintah Indonesia melalui perusahaan negara perkebunan. Tanaman tembakau diusahakan secara cukup meluas oleh petani baik di Jawa maupun luar Jawa (Saptana dkk., 2001). Sampai saat ini jutaan penduduk Indonesia masih menggantungkan hidupnya dari perekonomian tembakau. Usahatani tembakau mampu menyediakan lapangan kerja bagi ratusan ribu petani dan buruh tani, demikian juga industri olahan tembakau mampu menyerap ratusan ribu tenaga kerja. Pemerintahpun memperoleh pendapatan dari cukai tembaku yang begitu besar yakni 111,4 triliun pada APBN 2014. Peranan tembakau terhadap perekonomian Indonesia dinilai sangat signifikan, bahkan pada masa krisis ekonomi tahun 1997 sd 1998, perekonomian tembakau tetap gemilang dan menjadi andalan dalam memperoleh devisa negara (Kinasih dkk., 2012).

Harapan terhadap perekonomian tembakau Indonesia ternyata masih tinggi, yang ditandai oleh meningkatnya target penerimaan dari cukai tembakau pada APBN 2015 yaitu sebesar 120,6 triliun, dan bahkan target penerimaan dari cukai tembakau pada RAPBN 2016 yaitu sebesar 155,5 triliun. Kenyataan ini membuktikan bahwa perekonomian tembakau secara implisit diakui pemerintah dapat menjadi andalan negara dalam mensejahterakan warganya. Ironisnya, walaupun penerimaan dari cukai tembakau mengalami trend peningkatan dalam APBN, namun justru secara gradual pemerintah mengeluarkan kebijakan yang kurang kondusif terhadap perekonomian tembakau.

Adanya pengendalian produk tembakau bagi kesehatan memberikan dampak terhadap perkebunan tembakau rakyat yang ditanam di lahan sawah dan lahan kering serta tembakau perkebunan besar nasional (PBN) terutama milik perkebunan negara. Salah satu indikator yang dapat dijadikan barometer dinamika usahatani tembakau adalah perkembangan luas areal dan


(25)

produksinya. Perkembangan luas areal dan produksi tembakau nasional periode 2000 sd 2010 disajikan pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1

Perkembangan Luas Areal dan Produksi Tembakau Nasional Periode 2000 sd 2010

Luas areal (Ha) Produksi (ton) Tahun ---

P. rakyat PBN Jumlah P. rakyat PBN Jumlah 2000 236.000 3.737 239.737 201.305 3.024 204.329 2001 256.652 4.086 260.738 196.335 2.738 199.103 2002 251.994 4.087 256.081 189.342 2.740 192.082 2003 253.484 3.317 256.801 198.363 2.512 200.875 2004 197.631 3.342 200.973 162.429 2.079 165.108 2005 193.328 4.834 198.212 149.467 4.003 153.470 2006 167.088 5.146 172.234 142.045 4.220 146.265 2007 185.237 5.817 191.054 161.728 3.123 164.851 2008 192.062 4.565 196.627 165.423 2.614 168.037 2009 197.906 4.547 202.453 173.994 2.943 176.937 2010 204.895 4.559 209.454 182.643 2.976 185.619 Sumber: Ditjenbun Deptan RI (2011)

Keterangan: p = perusahaan

Hasil analisis trend terhadap data luas areal pada Tabel 1.1 diperoleh koefisien arah (bi)

-6574,09. Koefisien arah (bi) yang negatif menunjukkan bahwa luas areal tembakau nasional

cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Demikian juga dari sisi produksi, secara nasional produksi tembakau mengalami kecenderungan menurun yang ditunjukkan dengan koefisien arah (bi) sebesar -3138,55. Fakta ini menunjukkan bahwa selama kurun waktu 2000 sd

2010 luas areal maupun produksi tembakau nasional mengalami penurunan.

Di Provinsi Bali, luas areal dan produksi tembakau juga mengalami penurunan, dan khusus untuk tembakau virginia yang pengembangannya terdapat di Kabupaten Buleleng, data luas areal dan produksinya selama periode 2000 sd 2012 disajikan pada Tabel 1.2.


(26)

Tabel 1.2

Perkembangan Luas Areal dan Produksi Tembakau Virginia di Kabupaten Buleleng Provinsi Bali Periode 2000 sd 2012

Tahun Luas areal (Ha) Produksi (ton)

2000 867 1685,273 2001 892 1696,277

2002 874 1689,629 2003 859 1666,895 2004 878 1686,292 2005 896 1696,299 2006 928 1676,778

2007 931 1636,630 2008 834 1676,298

2009 834 1690,000 2010 822 736,500 2011 800 1384,000 2012 562 1342,760 Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Bali (2013)

Luas areal tembakau virginia di Kabupaten Buleleng periode 2000 sd 2012 menunjukkan angka trend menurun dengan koefisien arah (bi) sebesar -14,42, demikian juga tingkat produksi

mengalami trend menurun dengan koefisien arah (bi) sebesar -40,89. Penurunan luas areal dan

produksi tembakau tidak terlepas dari faktor internal dan eksternal petani. Faktor internal petani diduga terkait dengan permodalan dan standardisasi budidaya untuk menghasilkan kualitas tertentu, sedangkan faktor eksternal diduga terkait dengan beberapa kebijakan pemerintah.

Beberapa kebijakan pemerintah yang diduga berdampak terhadap dinamika usahatani tembakau adalah kebijakan pencabutan subsidi bahan bakar terhadap usahatani tembakau melalui konversi minyak tanah ke LPG, kebijakan penggunaan dana perimbangan cukai tembakau oleh Pemerintah Daerah, dan terbitnya PP 109 tahun 2012 tentang pengamanan bahan


(27)

yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan. Di samping kebijakan pemerintah tersebut, ada traktat internasional Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang memberikan tekanan terhadap produksi tembakau.

Kebijakan konversi minyak tanah ke LPG sangat memberatkan biaya produksi tembakau krosok. Pengeringan daun tembakau yang semula menggunakan minyak tanah yang bersubsidi, kemudian secara mendadak harus diganti dengan LPG yang tidak bersubsidi dan harganya melambung tinggi. Petani tembakau menghadapi cekaman hebat dalam pengeringan daun tembakau menjadi krosok, karena lebih dari 50% biaya produksi tembakau krosok didominasi oleh LPG.

Penggunaan LPG untuk kebutuhan pengeringan daun tembakau, petani tembakau harus mengajukan permohonan secara kolektif melalui Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) kepada Pertamina. Permohonan penggunaan LPG diajukan kepada Pertamina, setelah Asosiasi Petani Tembakau Indonesia melakukan inventarisasi terhadap kebutuhan LPG dari masing-masing anggotanya. Petani yang tidak terinventarisasi tidak akan memperoleh jatah LPG untuk pengeringan daun tembakau. Hal ini berdampak terhadap fleksibilitas luasan areal tembakau yang dapat ditanam oleh petani.

Kebijakan alokasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau yang tertuang dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang cukai, mensyaratkan bahwa penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau sebagian harus dikembalikan kepada petani daerah penghasil tembakau. Berkenaan dengan hal tersebut, maka Pemerintah Provinsi Bali melalui Keputusan Gubernur Bali Nomor 795/03.M/HK/2013 tentang kelompok tani tembakau penerima bantuan pupuk dalam rangka penyediaan sarana produksi pertanian/perkebunan, telah memberikan bantuan


(28)

pupuk kepada petani tembakau. Kebijakan ini tentunya memberikan dampak tersendiri kepada petani tembakau.

Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan, juga diduga dapat memberikan dampak terhadap dinamika usahatani tembakau di masa mendatang. Walaupun peraturan pemerintah tersebut diakui pemerintah bukan sebagai bentuk ratifikasi terhadap Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), namun PP tersebut telah memberikan iklim yang kurang kondusif terhadap petani tembakau, terbukti dari banyaknya frekwensi unjuk rasa petani tembakau yang menolak PP tersebut.

Secara massif PP 109 tahun 2012 telah memberikan tekanan hebat terhadap perekonomian tembakau. Betapa tidak, penayangan iklan rokok sangat dibatasi dan redaksi iklan rokok pun telah diubah menjadi merokok membunuhmu, kemudian ditambah lagi dengan adanya kewajiban bagi industri rokok untuk mencantumkan gambar mengerikan pada bungkus rokok yang sangat membebani ongkos produksi rokok. Di samping itu, ruang publik yang tersedia bagi perokok juga semakin dibatasi melalui seperangkat peraturan daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Kebijakan tersebut secara sistematis telah menekan eksistensi tembakau.

Bukti nyata dari berkurangnya keberpihakan kebijakan pemerintah terhadap pengembangan tembakau nasional adalah diubahnya Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat menjadi Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat. Eliminasi kata tembakau pada nama lembaga tersebut, secara implisit menyiratkan berkurangnya perhatian pemerintah terhadap pengembangan tembakau nasional di masa depan.

Berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah diduga berdampak terhadap terjadinya perubahan struktur biaya produksi tembakau virginia krosok. Perubahan struktur biaya


(29)

produksi berdampak pada pendapatan dan efisiensi usahatani tembakau yang akhirnya bermuara pada besaran insentif ekonomi yang diterima petani dan daya saing tembakau virginia. Besaran insentif ekonomi yang diterima petani dan daya saing tembakau virginia sangat menentukan keberlanjutan usahatani tembakau di tingkat petani.

Besaran insentif ekonomi yang diterima petani dan daya saing tembakau virginia juga diduga terkait dengan peranan perusahaan mitra. Petani tembakau dalam mengoperasikan usahataninya menjalin kemitraan dengan beberapa perusahaan mitra, diantaranya perusahaan Gudang Garam (GG) dan Beringin Bali (BB). Perusahaan mitra menyediakan sebagian sarana produksi yang diperlukan dan mengendalikan proses produksi untuk menghasilkan tingkat dan kualitas produksi tertentu. Standar kualitas tembakau virginia krosok ditetapkan oleh perusahaan mitra dan seluruh output tembakau virginia krosok dibeli oleh perusahaan mitra. Berkenaan dengan hal tersebut diduga bahwa kemampuan manajerial perusahaan mitra berkontribusi terhadap daya saing tembakau virginia, sehingga daya saing yang tercipta merupakan daya saing tembakau virginia dalam kerangka kemitraan. Daya saing tersebut mencerminkan kemampuan sumberdaya domestik yang digunakan dalam proses produksi tembakau virginia untuk menghemat satu satuan devisa.

1.2 Rumusan Masalah

Secara spesifik permasalahan yang akan dicarikan jawabannya dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah efisiensi finansial dan ekonomi usahatani tembakau virginia di Kabupaten Buleleng Provinsi Bali berdasarkan kemitraan?

2. Apakah petani pelaku usahatani tembakau virginia di Kabupaten Buleleng Provinsi Bali menerima insentif ekonomi berdasarkan kemitraan?


(30)

3. Bagaimanakah daya saing tembakau virginia di Kabupaten Buleleng Provinsi Bali berdasarkan kemitraan?

4. Bagaimanakah dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing tembakau virginia di Kabupaten Buleleng Provinsi Bali?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai daya saing tembakau virginia pasca kebijakan pencabutan subsidi bahan bakar terhadap usahatani tembakau.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara spesifik tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis:

1. Efisiensi finansial dan ekonomi usahatani tembakau virginia di Kabupaten Buleleng Provinsi Bali berdasarkan kemitraan.

2. Insentif ekonomi yang diterima petani pelaku usahatani tembakau virginia di Kabupaten Buleleng Provinsi Bali berdasarkan kemitraan.

3. Daya saing tembakau virginia di Kabupaten Buleleng Provinsi Bali berdasarkan kemitraan. 4. Dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing tembakau virginia di Kabupaten Buleleng

Provinsi Bali.

1.4 Manfaat Penelitian

Temuan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. 1. Manfaat teoritis


(31)

(1) Menambah khazanah ilmu pengetahuan terutama dalam bidang teori daya saing.

(2) Menambah referensi bagi para peneliti lainnya yang akan melakukan penelitian lanjutan. 2. Manfaat praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut.

(1) Bermanfaat bagi pemerintah sebagai masukan dalam mengambil kebijakan pemberdayaan petani terkait dengan pengembangan usahatani tembakau.

(2) Bermanfaat bagi petani sebagai sumber informasi yang menyangkut penguatan daya saing tembakau virginia untuk merespon dinamika persaingan global.


(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Produksi

Produksi meliputi semua kegiatan untuk menciptakan atau menambah nilai atau guna suatu barang atau jasa. Proses produksi menunjukkan metode atau cara produksi. Suatu produk dapat dihasilkan dari berbagai cara yang berbeda. Metode produksi yang digunakan dalam proses produksi sering disebut tingkat teknologi atau state of technology (Doll dan Orazem, 1984). Lebih lanjut dijelaskan bahwa produksi adalah suatu kegiatan yang mengubah input menjadi output. Untuk memproduksi output diperlukan sejumlah input. Menurut Browning dan Browning (1983), input seringkali disebut faktor produksi atau sumberdaya, adalah bahan-bahan yang digunakan perusahaan untuk memproduksi barang atau jasa. Input dapat didefinisikan secara luas maupun secara sempit. Definisi input secara luas merupakan klasifikasi semua input sebagai tenaga kerja, lahan, dan modal. Sedangkan, definisi input secara sempit adalah ditujukan atau digunakan untuk membedakan di antara input secara lebih spesifik, seperti air, jasa telepon, asuransi, mekanik, dan sebagainya. Untuk beberapa barang dan jasa, tingkat teknologi eksisting sangat menentukan jumlah output maksimum yang dapat diproduksi dengan kuantitas input spesifik. State of technology menunjukkan berbagai cara beberapa produk dapat diproduksi.

Sudarman (2001) menyatakan bahwa teori produksi yaitu teori yang mempelajari bagaimana cara mengkombinasikan berbagai macam input pada tingkat teknologi tertentu untuk menghasilkan sejumlah output tertentu. Sasaran teori produksi adalah untuk menentukan tingkat produksi yang efisien dengan sumber daya yang ada. Sumberdaya yang digunakan dalam produksi, diklasifikasi oleh Doll dan Orazem (1984) menjadi sumberdaya tetap dan sumberdaya variabel. Suatu sumberdaya disebut sebagai sumberdaya tetap, jika kuantitasnya tidak berubah


(33)

selama periode produksi tersebut dan suatu sumberdaya disebut sumberdaya variabel, jika kuantitasnya berubah pada permulaan atau selama periode produksi. Sumberdaya tetap dan variabel adalah digunakan untuk mengklasifikasi panjangnya periode produksi sebagai berikut: (1) jangka sangat pendek, yakni periode waktu begitu singkat sehingga semua sumberdaya adalah tetap, (2) jangka pendek, yakni periode waktu sedemikian panjang yang setidaknya ada satu sumberdaya dapat bervariasi sedangkan sumberdaya lain adalah tetap, dan (3) jangka panjang, yakni periode waktu begitu panjang sehingga semua sumberdaya dapat bervariasi.

Budiono (2002) dan Aziz (2003) menyatakan bahwa jangka waktu produksi dibedakan menjadi dua, yaitu jangka pendek (short run) dan jangka panjang (long run). Kegiatan produksi jangka pendek, yaitu jangka waktu ketika input variabel dapat disesuaikan, namun input tetap tidak dapat disesuaikan, sedangkan kegiatan produksi jangka panjang merupakan satu waktu dimana seluruh input, baik input variabel maupun input tetap dapat diubah.

Secara umum dapat dinyatakan bahwa jumlah barang produksi tergantung pada jumlah faktor produksi yang digunakan (Nicholson, 1995). Hasil produksi merupakan variabel tidak bebas (dependent), sedangkan faktor produksi merupakan variabel bebas (independent). Lebih lanjut dalam teori produksi dijelaskan bahwa petani diasumsikan selalu berusaha untuk memproduksi tingkat output maksimum dengan menggunakan suatu dosis input tertentu serta biaya yang paling rendah, yang selanjutnya petani dianggap berusaha memaksimumkan laba.

Setiap proses produksi menurut Budiono (2002) mempunyai landasan teknis, yang dalam teori ekonomi disebut fungsi produksi. Fungsi produksi menurut Doll dan Orazem (1984) menggambarkan hubungan input output. Lebih lanjut dijelaskan bahwa fungsi produksi menggambarkan laju sumberdaya ditransformasikan menjadi produk. Ada banyak hubungan input output dalam pertanian karena laju input ditransformasikan menjadi output akan bervariasi


(34)

diantara jenis tanah, binatang, teknologi, jumlah curah hujan, dan seterusnya. Secara simbolik, fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut.

Y = f (X1, X2, X3, ..., XN) (2.1)

Keterangan: Y = output

X1, X2, X3, ..., XN = input berbeda yang ambil bagian dalam produksi Y.

Notasi fungsi produksi pada persamaan 2.1 tidak spesifik menunjukkan yang mana input variabel dan yang mana input tetap. Sebagai contoh, pakan atau pupuk sering dianggap sebagai input variabel sedangkan lahan dianggap sebagai input tetap. Input tetap secara jelas memainkan peranan penting dalam produksi pertanian. Input tetap sering disebut unit teknik. Unit teknik mempunyai kapasitas yang bervariasi untuk menyerap dan mentransformasikan input variabel menjadi output. Sebagai contoh tanah berpasir dapat menyerap air yang lebih sedikit daripada tanah liat. Secara simbolik, input tetap dapat termasuk dalam notasi untuk fungsi produksi dengan memasukkan garis vertikal diantara input variabel dan input tetap sebagaimana tervisualisasi pada persamaan 2.2.

Y = f (X1, X2, X3, ..., XN – 1 ! XN ) (2.2)

XN adalah input tetap, sedangkan X1, X2, X3, ..., XN – 1 adalah input variabel.

Estimasi aktual dari fungsi produksi merupakan tugas empirik. Secara umum hubungan input output diturunkan menggunakan data penelitian atau dari catatan usahatani. Data tersebut memberikan pengetahuan tentang fungsi produksi yang memungkinkan produsen untuk memperbaiki keputusan menyangkut alokasi sumberdaya. Dalam teori produksi diambil satu asumsi dasar mengenai sifat dari fungsi produksi, yaitu fungsi produksi dari semua produksi dimana semua produsen dianggap tunduk pada suatu hukum yang disebut the law of diminishing return. Hukum ini menyatakan bahwa bila satu macam input ditambah penggunaannya sedang


(35)

input-input lain tetap maka tambahan output yang dihasilkan dari setiap tambahan satu unit input yang ditambahkan tadi mula-mula menaik, tetapi kemudian seterusnya menurun bila input tersebut terus ditambah. Tambahan output yang dihasilkan dari penambahan satu unit input variabel tersebut disebut marginal physical product (MPP) dari input tersebut.

Dalam produksi pertanian maka produksi fisik dihasilkan oleh bekerjanya beberapa faktor produksi sekaligus yaitu tanah, modal, dan tenaga kerja. Pertanyaan ekonomi yang dihadapi kini adalah bagaimana petani dapat mengkombinasikan faktor-faktor produksi tersebut agar tercapai efisiensi yang setinggi-tinginya baik secara fisik maupun secara ekonomis. Namun kalau berbicara dengan petani maka segera dapat diambil kesimpulan bahwa mereka lebih biasa mengukur efisiensi usaha taninya dari sudut besarnya hasil produksi dan tidak pada rendahnya biaya untuk memproduksi hasil itu (Mubyarto, 1995).

Menurut Debertin (1986) fungsi produksi Neoklasik telah lama terkenal menggambarkan hubungan produksi dalam bidang pertanian. Gambar 2.1 mengilustrasikan fungsi produksi neoklasik. Akibat penggunaan input X meningkat, produktivitas dari input pertama-tama juga meningkat dengan laju bertambah sampai pada titik balik (inflection point). Titik balik merupakan penanda berakhirnya increasing marginal return dan mulainya diminishing marginal return. Pada titik balik ini fungsi berubah dari kenaikan hasil bertambah (increasing rate) menjadi kenaikan hasil berkurang (decreasing rate). Sebelum titik balik, fungsi cembung ke arah sumbu horizontal dan setelah titik balik fungsi cekung ke arah sumbu horizontal. Akhirnya fungsi mencapai maksimum dan mulai berubah menurun. Setelah maksimum, peningkatan penggunaan input X menghasilkan penurunan output total. Kenyataan ini muncul dalam hal di mana petani mengaplikasikan begitu banyak pupuk yang secara aktual mengurangi hasil tanaman.


(36)

Fungsi produk marjinal (PM) berubah karena penggunaan input X meningkat. Pertama, karena produktivitas input X meningkat, fungsi produk marjinal juga meningkat. Pada titik balik, produk marjinal mencapai maksimum. Pada titik balik ini, produktivitas dari tambahan unit input X adalah paling besar. Setelah titik balik, produk marjinal dari input X menurun. Produk marjinal input X adalah nol ketika produksi output maksimum, dan negatif pada tingkat penggunaan input X yang lebih besar.

Gambar 2.1.

Tiga Tahap Fungsi Produksi Neoklasik Sumber: Debertin (1986)

Keterangan: PM= produk marjinal; PR = produk rata


(37)

Tahap 1 : nilai Ep >1, produk total, produk rata-rata menaik dan produk marginal juga nilainya menaik kemudian menurun sampai nilainya sama dengan produk rata-rata, merupakan daerah irasional karena produsen masih dapat meningkatkan output melalui peningkatan input.

Tahap II: nilai Ep 1 ≥ Ep ≥ 0, produk total menaik tetapi produk rata (PR) menurun dan produk marjinal (PM) nilainya juga menurun sampai nol dan merupakan daerah rasional untuk membuat keputusan produksi dan pada daerah ini terjadi efisiensi.

Tahap Ill : nilai Ep < 0, produk total dan produk rata-rata menurun sedangkan nilai produk marjinal negatif, daerah ini juga merupakan daerah irrasional karena dengan penambahan input akan mengurangi output.

Mubyarto (1995) menyatakan selama elastisitas produksi (Ep) > 1 maka masih selalu ada kesempatan untuk mengatur kembali kombinasi dan penggunaan faktor-faktor produksi sedemikian rupa sehingga dengan jumlah faktor-faktor produksi yang sama dapat menghasilkan produksi total lebih besar. Dalam keadaan yang demikian jelaslah bahwa produksi tidak efisien, sehingga disebut tidak rasional dan tahap ini juga terdapat ketika kurva produksi total (TP) sudah mulai menurun dan kurva produk marginal (PM) sudah negatif. Jadi tahap produksi yang termasuk rasional atau efisien adalah tahap II antara titik B dan C dimana 0 ≤ Ep ≤ 1, peristiwa demikian baru menggambarkan efisiensi fisik saja dan belum adanya efisiensi ekonomi. Selanjutnya untuk mengetahui efisiensi ekonomi masih perlu diketahui harga-harga, baik harga hasil produksi maupun harga faktor produksi.


(38)

Alokasi input dalam proses produksi merujuk pada hubungan input output. Doll dan Orazem (1984) menjelaskan bahwa tujuan dari hubungan input output adalah untuk menentukan jumlah input variabel yang akan digunakan dalam kombinasi dengan input tetap untuk mencapai efisiensi ekonomi. Efisiensi ekonomi merujuk pada kombinasi input yang memaksimalkan fungsi tujuan. Efisiensi ekonomi didefinisikan berkenaan dengan dua persyaratan, yaitu neccessary condition dan sufficient condition. Neccessary condition dipenuhi dalam proses produksi jika (1) tidak ada kemungkinan memproduksi jumlah produk yang sama dengan jumlah input yang lebih sedikit, (2) tidak ada kemungkinan memproduksi lebih banyak produk dengan jumlah input yang sama. Dalam analisis fungsi produksi persyaratan ini terpenuhi pada tahap II, yaitu jika elastisitas produksi adalah sama atau lebih besar dari nol dan sama atau lebih kecil dari

satu (0 ≤ Ep ≤ 1). Neccessary condition hanya merujuk pada hubungan fisik. Berbeda dengan neccessary condition, maka sufficient condition menekankan pada tujuan individual dan sosial serta nilai sehingga lebih bermakna subyektif. Sufficient condition sering disebut indikator pilihan. Indikator pilihan membantu manajer menentukan penggunaan input yang sesuai dengan tujuannya. Ada individu yang bertujuan memaksimalkan hasil per satuan luas dan ada yang bertujuan memaksimalkan keuntungan per satuan luas.

Pengertian efisiensi dalam produksi merupakan perbandingan output dan input yang berhubungan dengan tercapainya output maksimum dengan sejumlah input, artinya jika rasio output besar, maka efisiensi dikatakan semakin tinggi. Efisiensi adalah penggunaan input yang terbaik dalam memproduksi barang. Mubyarto (1995), menyatakan bahwa efisiensi produksi yaitu banyaknya hasil produksi yang dapat diperoleh dari satu kesatuan faktor produksi (input). Petani akan berbuat rasional dan mencapai efisiensi tertinggi bila faktor-faktor produksi itu sudah dikombinasikan sedemikian rupa sehingga rasio dari tambahan hasil fisik (marginal


(39)

physical product) dan faktor produksi dengan harga faktor produksi sama untuk setiap faktor produksi yang digunakan.

Chamber dalam Rodney et al. (2011) menyatakan bahwa ada tiga ukuran efisiensi, yaitu nerlovian efficiency, technical efficiency, dan allocative efficiency. Petani berada dalam efisiensi nerlovian hanya jika profit yang direalisasikannya adalah sama dengan profit maksimum yang dipersyaratkan. Efisiensi teknik dari usahatani individu menurut Abbeam et al. (2012) didefinisikan berkenaan dengan rasio dari output yang diamati dikaitkan dengan output frontier yang dipersyaratkan pada tingkat input yang digunakan oleh usahatani. Hasil penelitiannya tentang efisiensi teknik industri coklat menunjukkan bahwa skala usaha industri coklat di Ghana berada dalam kondisi increasing return to scale.

Monke dan Pearson (1989) melalui pendekatan matriks analisis kebijakan telah berhasil menurunkan indikator efisiensi finansial dan ekonomi. Efisiensi finansial indikatornya adalah keuntungan privat yang merupakan selisih penerimaan dengan biaya input tradable dan faktor domestik pada tingkat harga privat, sedangkan efisiensi ekonomi indikatornya adalah keuntungan sosial yang merupakan selisih penerimaan dengan biaya input tradable dan faktor domestik pada tingkat harga sosial. Jika selisih penerimaan dengan input tradable dan faktor domestik pada tingkat harga privat lebih besar dari nol berarti sistem komoditi memperoleh profit atas biaya normal yang mempunyai implikasi bahwa komoditi itu mampu ekspansi. Demikian juga jika selisih penerimaan dengan biaya input tradable dan faktor domestik pada tingkat harga sosial lebih besar dari nol berarti sistem komoditi memperoleh profit atas biaya normal dalam harga sosial dan dapat diprioritaskan dalam pengembangan. Suatu sistem komoditas yang efisien secara finansial akan menghasilkan akumulasi kapital yang menjamin


(40)

kemampuan ekspansi komoditas tersebut. Sementara itu, suatu sistem komoditas yang efisien secara ekonomi akan menjamin bahwa komoditas tersebut prospektif di pasar internasional.

2.3 Teori Insentif Ekonomi Bagi Produsen

Pengukuran insentif ekonomi yang diterima produsen sangat penting dilakukan untuk mengetahui apakah suatu kebijakan yang diambil pemerintah memberikan kontribusi positif terhadap pengembangan usaha yang dilakukan oleh produsen dalam negeri. Untuk memastikan adanya insentif ekonomi yang diterima produsen, maka Monke dan Pearson (1989) telah mengembangkan instrumen yang dapat dijadikan indikator dari insentif ekonomi yang diterima produsen, yaitu indikator nominal protection rate (NPR), effective protection rate (EPR), profitability coefficient (PC), tansfer input (TI), transfer factor (TF), Net transfer (NT), nominal protection coefficient on input (NPCI), nominal protection coefficient on output (NPCO), dan subsidy ratio to producer (SRP).

Apabila hasil analisis nominal protection rate (NPR) bernilai positif mengindikasikan adanya proteksi pada output yang dimaksudkan sebagai insentif bagi produsen dalam negeri. Demikian juga jika effective protection rate (EPR) bernilai positif mengindikasikan suatu sektor produksi menerima insentif ekonomi bersih. Namun berbeda halnya jika hasil analisis implisit tariff (IT) bernilai positif mengindikasikan adanya pajak implisit pada input yang berarti juga sebagai disinsentif dalam produksi. Hasil analisis profitability coefficient (PC) akan menentukan apakah keuntungan finansial lebih besar, sama dengan, atau lebih kecil dari keuntungan ekonomi. Apabila keuntungan finansial lebih besar dari keuntungan ekonomi, maka produsen memperoleh insentif ekonomi, akibat adanya kebijakan pemerintah yang pro produsen (Monke dan Pearson, 1989).


(41)

Dari sisi hulu, Nominal protection coefficient on input (NPCI) memberikan gambaran apakah ada proteksi terhadap konsumen input atau tidak. Jika NPCI < 1 berarti terdapat proteksi terhadap konsumen input (petani tembakau), dan sebaliknya jika NPCI > 1 berarti terjadi proteksi terhadap produsen input. Sementara dari sisi hilir, nominal protection coefficient on output (NPCO) memberikan gambaran sejenis, yaitu apakah ada proteksi terhadap produsen atau tidak. Jika NPCO < 1 berarti harga output domestik lebih rendah dari harga dunia, atau produsen tidak memperoleh proteksi, dan sebaliknya jika NPCO > 1 berarti harga output domestik lebih tinggi dari harga dunia atau produsen memperoleh insentif ekonomi. Subsidy ratio to producer (SRP) memberikan gambaran apakah kebijakan pemerintah atau distorsi pasar yang ada memberikan dampak yang menguntungkan atau merugikan produsen. Jika SRP bernilai negatif berarti kebijakan pemerintah atau distorsi pasar yang ada merugikan produsen, demikian sebaliknya jika SRP bernilai positif berarti kebijakan pemerintah atau distorsi pasar yang ada menguntungkan produsen.

2.4 Teori Daya Saing

Evolusi teori daya saing yang dipaparkan oleh Cho dan Moon (2000) dimulai dari pandangan Merkantilisme yang memandang perdagangan sebagai suatu zero-sum game, di mana surplus perdagangan sebuah negara diimbangi dengan defisit perdagangan negara lain. Namun Smith (dalam Hady, 2001) memandang perdagangan sebagai positive-sum game, di mana semua mitra yang berdagang dapat memperoleh manfaat jika negara-negara melakukan spesialisasi dalam memproduksi barang-barang dimana mereka memiliki keunggulan absolut.

Secara implisit Smith (dalam Hady, 2001), percaya operasi hukum alam, sebagaimana dinyatakan sebagai invisible hand, dan oleh karenanya mendukung individualisme dan perdagangan bebas. Smith berpendapat bahwa setiap orang lebih memahami kebutuhan dan


(42)

keinginannya sendiri dan karenanya jika setiap orang diijinkan mencari kesejahteraannya sendiri, maka dalam jangka panjang ia akan memberikan kontribusi paling besar bagi kebaikan bersama. Hukum alam, dan bukannya peraturan pemerintah, akan berperan mencegah penyalahgunaan kebebasan ini. Secara khusus, keunggulan dari hukum alam ini di mata Smith berasal dari pembagian kerja (division of labor). Selanjutnya gagasannya mengenai pembagian kerja diperluas menjadi pembagian kerja internasional. Spesialisasi, kerja sama, dan pertukaran memberikan kontribusi pada kemajuan perekonomian dunia, dan karenanya membuka jalan menuju kemajuan di masa depan. Perdagangan internasional oleh karenanya merupakan positive game bagi Smith.

Sebagai bentuk kritikan terhadap Merkantilisme, Smith menunjukkan bagaimana segala bentuk campur tangan pemerintah, seperti memberikan monopoli, mensubsidi ekspor, melarang impor, dan mengatur upah, dapat menghambat pertumbuhan alamiah aktivitas ekonomi. Sebaliknya Smith mengungkapkan keunggulan spesialisasi berdasarkan wilayah dan negara dan menunjukkan bagaimana setiap negara dapat jauh lebih baik secara ekonomis dengan berkonsentrasi pada apa yang dapat dilakukannya dengan paling baik daripada mengikuti doktrin merkantilis berupa kecukupan diri nasional (national self-sufficiency).

Smith (dalam Hady, 2001) menyatakan bahwa persaingan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam masyarakat. Persaingan memastikan bahwa setiap orang dan negara akan melakukan apa yang paling sesuai mereka lakukan, dan hal ini memastikan bahwa masing-masing mendapatkan penghargaan penuh atas jasa-jasa mereka dan kontribusi maksimal mereka bagi kebaikan bersama. Oleh karena itu, peran pemerintah atau penguasa, seharusnya minimal. Kebijakan perekonomian pemerintah yang paling penting adalah menghilangkan monopoli dan melindungi persaingan.


(43)

Persaingan menjadi mainstream bagi Smith sebagaimana diungkapkannya dalam teori keunggulan absolut. Namun demikian terdapat suatu persoalan dengan teori keunggulan absolut yang tidak dapat dijelaskan secara memuaskan oleh Smith. Menurut Smith sebuah negara yang superior mungkin tidak memperoleh manfaat dari perdagangan internasional. Ricardo kemudian memperluas teori keunggulan absolut menjadi teori keunggulan komparatif. Menurut Ricardo (dalam Hady, 2001), sekalipun sebuah negara tidak memiliki suatu keunggulan absolut dalam barang apapun, negara tersebut masih akan mendapatkan manfaat dari perdagangan internasional. Dengan berkonsentrasi pada apa yang dapat dilakukan oleh masing-masing negara dengan usaha yang terkecil, maka masing-masing akan memiliki keunggulan komparatif yang lebih besar. Lebih lanjut Ricardo berpendapat bahwa sesungguhnya impor dapat menguntungkan bagi sebuah negara walaupun negara itu mampu memproduksi produk yang diimpor dengan biaya yang lebih rendah. Oleh karena itu, tidak benar adanya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Smith, bahwa di dalam perdagangan bebas masing-masing komoditas akan diproduksi oleh negara yang memproduksinya dengan biaya riil yang paling rendah.

Model perdagangan internasional Ricardo, merupakan suatu alat yang sangat bermanfaat untuk menjelaskan alasan alasan mengapa perdagangan dapat terjadi dan bagaimana perdagangan meningkatkan kesejahteraan para mitra yang berdagang. Hal ini merupakan prinsip keunggulan komparatif yang melandasi keunggulan pembagian tenaga kerja, baik antar individu, antar wilayah, maupun antar negara. Menurut Hady (2001), teori keunggulan komparatif Ricardo berpangkal tolak pada nilai tenaga kerja yang menyatakan bahwa nilai atau harga suatu produk ditentukan oleh jumlah waktu atau jam kerja yang diperlukan untuk memproduksinya. Nilai tukar suatu barang ditentukan oleh ongkos komparatif (comparative cost), yang disebabkan oleh perbedaan dalam fungsi produksi komoditas antara dua negara. Berdasarkan teori ini, maka suatu


(44)

negara akan melakukan spesialisasi dan mengekspor komoditas yang memiliki keunggulan komparatif. Namun demikian, model ini memiliki beberapa kelemahan. Pertama, model Ricardian memprediksi suatu derajat spesialisasi yang ekstrim, tetapi dalam prakteknya negara-negara tidak memproduksi satu produk tetapi banyak produk, termasuk produk impor yang bersaing. Kedua, model ini menjelaskan perdagangan berdasarkan perbedaan dalam tingkat produktivitas antar negara, tetapi tidak menjelaskan secara memuaskan mengapa perbedaan itu bisa terjadi.

Teori keunggulan komparatif dari Ricardo kemudian disempurnakan oleh Heckscher-Ohlin yang terkenal dengan model HO. Heckscher dan Heckscher-Ohlin berpendapat bahwa keunggulan komparatif muncul dari perbedaan dalam faktor endowments. Menurut model HO, terdapat dua ciri-ciri dasar dari negara dan produk. Negara berbeda satu sama lain menurut faktor produksi yang dimilikinya. Barang berbeda satu sama lain menurut faktor yang diperlukan dalam produksinya. Model HO menyatakan, bahwa suatu negara akan memiliki keunggulan komparatif dalam barang yang diproduksinya relatif intensif dalam hal faktor yang dimilikinya, dan oleh karena itu akan mengekspornya. Logikanya adalah bahwa semakin berlebihannya suatu faktor, semakin rendah biayanya. Oleh karena itu, perbedaan dalam faktor endowments dari berbagai negara dapat menjelaskan perbedaan dalam biaya faktor, yang mengakibatkan keunggulan komparatif yang berbeda (Hady, 2001).

Dalam persaingan global yang semakin meningkat, Cho dan Moon (2000) menyatakan peran negara menjadi semakin penting, bersamaan dengan beralihnya basis persaingan menuju penciptaan dan asimilasi pengetahuan. Keunggulan kompetitif diciptakan dan dipertahankan melalui proses yang sangat terlokalisir. Perbedaan dalam hal nilai-nilai, kebudayaan, struktur perekonomian, lembaga, dan sejarah nasional semuanya memberikan kontribusi terhadap


(45)

keberhasilan kompetitif. Terdapat perbedaan yang bertarung dalam pola daya saing setiap negara, tidak ada negara yang dapat atau akan bersifat kompetitif dalam setiap atau bahkan dalam sebagian besar industri. Menurut Porter (1990) penentu potensial dari daya saing adalah biaya tenaga kerja, tingkat bunga, tingkat kurs, dan skala ekonomi. Daya saing dalam suatu industri tertentu dihasilkan dari pemusatan praktek manajemen dan mode organisasional yang mendukung di dalam negeri dan sumber keunggulan kompetitif di dalam industri. Untuk bersaing secara global, maka perusahaan membutuhkan persaingan domestik yang kuat.

Menurut Cho dan Moon (2000) para pendukung daya saing tidak pernah menyangkal pentingnya kinerja perekonomian domestik. Terlebih-lebih, secara nyata semua resep daya saing menekankan tingkat tabungan dan investasi domestik, pendidikan, modal, penelitian dan pengembangan. Perdagangan umumnya diperlakukan sebagai isu sekunder, dan lebih sebagai gejala daripada penyebab daya saing.

Cho dan Moon (2000) menyebutkan bahwa kesalahan konsep dari daya saing internasional didasarkan pada gagasan bahwa daya saing internasional tergantung pada pasokan tenaga kerja, modal dan sumberdaya alam yang banyak dengan harga yang murah. Teori ilmu ekonomi ini secara keliru menghubungkan daya saing internasional sebuah negara dengan penganugrahan faktornya. Ada negara-negara yang memiliki banyak sumberdaya tetapi tingkat perekonomiannya lemah. Dalam suatu dunia dimana bahan baku, modal, dan bahkan tenaga kerja bergerak di seluruh batas wilayah nasional, kepemilikan sumberdaya yang dianugrahkan saja tidak menentukan daya saing internasional.

Suatu pendekatan yang komprehensif untuk mengukur daya saing telah dirumuskan oleh Monke dan Pearson (1989) melalui indikator keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif, yang basis informasinya diturunkan dari matriks analisis kebijakan (policy analysis matriks).


(46)

Indikator keunggulan komparatif diperoleh dari koefisien domestic resources cost (DRC), sedangkan indikator keunggulan kompetitif diperoleh dari koefisien privat cost ratio (PCR).

Penggunaan metode DRC untuk mengetahui keunggulan komparatif telah diperkenalkan oleh Monke dan Pearson (1989) pada berbagai studi kasus di beberapa negara. Hasil studinya merekomendasikan bahwa suatu negara dapat mempunyai keunggulan komparatif pada suatu aktivitas ekonomi apabila biaya sumberdaya domestik per unit devisa yang diperoleh lebih kecil dibanding shadow price of foreign exchange atau DRC < SER. Secara mendasar dikatakan bahwa DRC adalah ukuran total biaya oportunitas riil dalam menghasilkan tambahan bersih devisa untuk komoditas ekspor, atau suatu ukuran penggunaan sumberdaya domestik dalam menghemat tambahan bersih devisa dalam hal substitusi impor. Dengan demikian konsep ini sangat berhubungan dengan teori keunggulan komparatif dalam teori perdagangan internasional.

2.5 Matriks Analisis Kebijakan

Banyak peneliti telah menggunakan matriks analisis kebijakan (policy analysis matrix (PAM)) sebagai alat analisis untuk memperoleh jawaban dari permasalahan penelitiannya. Beberapa peneliti dimaksud diantaranya Kubursi (2000), Fang dan Beghin (2000), Denis dan Kimano (2000), Saptana, dkk. (2001), Mohanty et al. (2003), Mira (2007), Yao (2008), Zakaria, dkk. (2010), Lopulalan (2010), Muthalib, dkk. (2010), Yuzaria dan Suryadi (2011), Haryono, dkk. (2011), Antara dan Astika (2012), Mobasser et al. (2012), Hermayanti, dkk. (2013), serta Kanaka dan Chinnadurai (2013).

Matriks analisis kebijakan (policy analysis matrix atau PAM) sebagaimana diformulasikan oleh Monke dan Pearson (1989) adalah suatu matriks yang tidak saja dapat digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif, tetapi sekaligus juga campur tangan pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas dalam aktivitas


(47)

usahatani, pengelolaan dan pemasaran secara menyeluruh dan sistematis. Melalui PAM dapat diperoleh indikator keuntungan finansial dan ekonomi, efisiensi finansial dan ekonomi, tranfer input dan faktor, tranfer output serta koefisien proteksi dan subsidi. Dasar perhitungan nilai-nilai tersebut merupakan matriks akunting dari biaya-biaya dan penerimaan dalam suatu aktivitas sistem komoditas pada harga pasar (finansial) dan harga ekonomi (sosial) yang disusun dalam matriks sebagaimana tervisualisasi pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Policy Analysis Matrix

Biaya-biaya

Penerimaan Input tradable Faktor domenstik Keuntungan

Harga Privat A B C D Harga Sosial E F G H Divergensi I J K L

Sumber: Monke dan Pearson (1989) Keterangan:

Keuntungan privat : D = A – (B + C) Keuntungan sosial : H = E – (F + G) Output transfer : I = A – E Input transfer : J = B – F Faktor transfer : K = C – G Transfer bersih : L = D – H atau L = I – J - K

Analisis Rasio: DRC = G/(E – F) PCR = C/(A – B) NPCO = A/E NPCI = B/F

EPC = (A-B)/(E-F) PC = D/H

SRP = L/E

Baris pertama pada PAM menunjukkan ukuran profitabilitas finansial, yaitu penerimaan dan biaya-biaya menurut harga aktual yang diterima atau dibayar petani, produsen, pedagang perantara, prosesor dalam suatu sistem pertanian. Harga pasar aktual terjadi sebagai kesatuan biaya-biaya dan penilaian ekonomi serta berbagai dampak kebijakan dan kegagalan pasar yang ada dalam sistemnya. Baris kedua pada matriks merupakan harga ekonomi, yaitu penerimaan dan biaya-biaya yang diterima atau dibayar pelaku ekonomi pada saat input dan output yang dipakai


(48)

berdasarkan pada pasar persaingan sempurna yang merupakan cerminan dari biaya atau penerimaan sesungguhnya.

Baris ketiga matriks berisi akibat dari perbedaan atau penyimpangan, yang merupakan perbedaan antara penilaian finansial dan ekonomi pada penerimaan, biaya dan keuntungan. Untuk setiap kolom matriks, menjelaskan perbedaan antara harga pasar dan harga ekonomi yang diestimasi sebagai akibat kebijakan atau kegagalan pasar. Melalui hubungan konsep harga ekonomi dapat diketahui akibat suatu kebijakan terhadap berjalannya mekanisme pasar, apakah telah berlangsung secara efisien atau belum.

Untuk input dan output yang dapat diperdagangkan secara internasional, harga sosial dapat dihitung berdasarkan harga perdagangan internasional. Untuk komoditas yang diimpor dipakai harga CIF (cost insurance and freight), sedangkan komoditas yang diekspor digunakan harga FOB (free on board). Untuk input non tradable digunakan biaya imbangannya (opportunity cost).

Beberapa indikator hasil analisis dari matriks PAM diantaranya adalah :

1. Analisis keuntungan

(1) Private profitability (PP) : D = A – (B+C).

Keuntungan privat merupakan indikator efisiensi finansial dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijaksanaan yang ada. Apabila D>0, berarti sistem komoditas memperoleh profit atas biaya normal yang mempunyai implikasi bahwa komoditas tersebut mampu ekspansi, kecuali apabila sumber daya terbatas atau adanya komoditas lain yang lebih menguntungkan.


(49)

Keuntungan sosial merupakan indikator efisiensi ekonomi dari sistem komoditas pada kondisi tidak ada divergensi baik akibat kebijakan pemerintah maupun distorsi pasar. Apabila H > 0, berarti sistem komoditas memperoleh profit atas biaya normal dalam harga sosial dan dinyatakan berada dalam kondisi efisien.

2. Keunggulan komparatif dan kompetitif (1) Private cost ratio (PCR) = C/(A-B)

Private cost ratio merupakan indikator keunggulan kompetitif yang menunjukkan kemampuan sistem untuk membayar biaya sumberdaya domestik dan tetap kompetitif. Sistem bersifat kompetitif jika PCR < 1. Semakin kecil nilai PCR berarti semakin kompetitif.

(2) Domestic resource cost (DRC) = G/(E-F)

Domestic resource cost merupakan indikator keunggulan komparatif, yang menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa. Sistem mempunyai keunggulan komparatif jika DRC < 1. Semakin kecil nilai DRC berarti sistem mempunyai keunggulan komparatif makin tinggi.

3. Dampak kebijakan pemerintah (1) Kebijakan Output

(a) Output transfer : OT = A - E

Transfer output merupakan selisih antara penerimaan yang dihitung atas harga privat (financial) dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial (bayangan). Jika nilai OT > 0 menunjukkan adanya transfer dari konsumen terhadap produsen, demikian juga sebaliknya.


(50)

Nominal protection coefficient on output yaitu indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap output pertanian domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap output jika nilai NPCO > 1. Semakin besar nilai NPCO berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap output.

(2) Kebijakan input

(a) Input transfer : IT = B – F

Transfer input adalah selisih antara biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga privat dengan biaya yang dapat diperdagangkan pada harga sosial. Jika nilai IT > 0, menunjukkan adanya transfer dari petani produsen kepada produsen input tradable.

(b) Nominal protection poefficient on input (NPCI) = B/F

Nominal protection coefficient on input yaitu indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input pertanian domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap input jika nilai NPCI < 1, berarti ada kebijakan subsidi terhadap input tradable.

(c) Faktor transfer. FT = C – G.

Transfer faktor merupakan nilai yang menunjukkan perbedaan harga privat dengan harga sosialnya yang diterima produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi yang tidak diperdagangkan. Nilai FT > 0 mengandung arti bahwa ada transfer dari petani produsen kepada produsen input non tradable, demikian juga sebaliknya.

(3) Kebijakan Input-Output

(a) Effective Protection Coefficient (EPC) = (A-B)/(E-F),

Effective Protection Coefficient yaitu indikator yang menunjukkan tingkat proteksi simultan terhadap output dan input tradable. Kebijakan masih bersifat protektif jika nilai EPC > 1.


(1)

disisi lain pola ini memiliki kelemahan karena kelompok mitra dapat menetapkan harga produk secara sepihak. Selain itu kelompok mitra tidak dapat memenuhi target dikarenakan pemasaran produknya terbatas pada beberapa mitra usaha saja. Sementara tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kemitraan menurut Hafsah (2000) adalah :

(1) Meningkatkan pendapatan usaha kecil dari masyarakat (2) Meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan

(3) Meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan usaha kecil (4) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi perdesaan, wilayah dan nasional (5) Memperluas kesempatan kerja

(6) Meningkatkan ketahanan ekonomi nasional

2.7 Teknologi Pendukung Usahatani Tembakau

Pada awalnya penggunaan tembakau virginia hanya sebatas memenuhi industri sigaret putih. Seluruh daun tembakau diolah menjadi krosok, kecuali beberapa lembar daun pucuk diolah menjadi daun tembakau rajangan digunakan sebagai bahan rokok tradisional, karena daun pucuk jika dioven menghasilkan krosok yang kaku, tidak elastis, kadar gula rendah, namun kadar nikotinnya terlalu tinggi (Mukani, 2006).

Meski bernilai ekonomis tinggi, tembakau merupakan salah satu komoditas pertanian yang memiliki resiko besar, baik resiko produksi, harga, biaya maupun pendapatan. Usahatani tembakau membutuhkan biaya yang relatif besar, karena pengusahaannya termasuk padat modal. Penyelenggaraan usahatani tembakau yang cenderung intensif, mengharuskan petani menggunakan paket tekonologi sesuai rekomendasi Balai Penelitian. Rekomendasi teknik budidaya tembakau virginia, didasarkan pada pencapaian produktivitas dan mutu yang tinggi dari hasil penelitian (Mukani, 2006).


(2)

Rekomendasi teknologi yang baik dapat dirumuskan sebagai suatu pilihan yang dibuat sendiri oleh petani, jika dia mempunyai semua kekurangan agronomik yang tersedia. Rekomendasi seperti ini akan berhasil baik oleh karena petani akan menerima dan terus menggunakan teknologi pilihannya. Pemilihan teknologi sepenuhnya diserahkan kepada petani, sedangkan institusi penelitian hanya memberi informasi secara lengkap menyangkut teknologi sesuai hasil penelitian (Perin et al., 1979). Lebih lanjut dijelaskan bahwa setidaknya ada tujuh kriteria untuk memilih suatu teknologi tepat guna, yaitu (1) diakui oleh para petani sebagai sesuatu yang berhasil, (2) berkenaan dengan faktor-faktor pembatas produksi, (3) menguntungkan kaum miskin, (4) pasarnya terjamin, (5) aman bagi lingkungan, (6) dapat dikomunikasikan dengan efisien, dan (7) diterapkan secara luas. Keberhasilan pada kriteria pertama tidak hanya diukur dari segi keuntungan, tetapi mampu sekaligus memperkecil peluang resiko kegagalan. Jika kriteria satu sampai dengan lima dapat terpenuhi, hampir dapat dipastikan dapat memenuhi kriteria enam dan tujuh.

Paket teknologi yang dihasilkan Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat untuk tembakau virginia meliputi pembibitan, pengolahan tanah, penanaman, pemupukan, pemangkasan, dan panen. Pembibitan dilakukan dengan menggunakan benih yang murni, bedengan membujur Utara – Selatan, kebutuhan benih berkisar antara 2 sd 3 g/m2. Bibit dicabut umur 40 sd 45 hari. Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 90 cm x 60 cm dan 100 cm x 50 cm dengan dua baris tanaman tiap guludan. Untuk mencegah serangan hama pada stadia awal pertumbuhan di sekitar tanaman diberi Furadan 3 G sebanyak 2 g/lubang tanam (Mukani, 2006).

Menurut Djajadi (2008) paket pupuk rekomendasi tembakau virginia, yaitu 200 kg ZA + 200 kg PN + 100 kg SP36 + 100 kg ZK. Pemberian jenis dan dosis pemupukan di lapangan disesuaikan dengan tingkat kesuburan tanah masing-masing. Untuk memastikan dosis dan jenis


(3)

pupuk yang tepat, maka sebelum penanaman sebaiknya dilakukan analisis tanah untuk mengetahui ketersediaan unsur hara dalam tanah. Namun kondisi umum di lapangan menunjukkan bahwa petani tembakau tidak melakukan analisis tanah sebelum penanaman, sehingga paket pupuk rekomendasi dianggap sebagai dosis yang paling tepat. Pupuk diberikan dua kali yaitu pada umur satu minggu dan tiga minggu masing-masing setengah dosis. Pupuk P diberikan saat tanam sedangkan K diberikan bersamaan dengan pupuk N pertama.

Pemangkasan tembakau dilakukan pada ketinggian di bawah daun ke 3 sd 5 dari atas, pada stadia 10% bunga pertama mekar, kira-kira tanaman berumur 70 hari. Pembuangan tunas dilakukan dengan tangan tiap tujuh hari sekali. Pemanenan dilakukan pada saat daun tepat masak, kriterianya helai daun berwarna hijau kekuningan, tangkai dan tulang daun berwarna putih dan bila dipetik berbunyi nyaring (Mukani, 2006).

Hasil penelitian Djajadi (2008) tentang pengaruh pupuk majemuk terhadap hasil dan mutu tembakau virginia di Bondowoso Jawa Timur menunjukkan bahwa pemberian pupuk majemuk sebanyak enam butir per tanaman (setara dengan 185 kg/ha atau 40 kg N/ha) menghasilkan daun basah tembakau sebanyak 11,34 ton/ha. Hasil daun basah tersebut tidak berbeda dengan hasil daun basah tertinggi (12,42 ton/ha) yang dihasilkan tanaman tembakau dengan paket dosis rekomendasi.

2.8 Hasil Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian Saptana dkk. (2001) tentang analisis daya saing komoditas tembakau rakyat di Klaten, Jawa Tengah dengan menggunakan PAM menunjukkan bahwa komoditas tembakau asepan memiliki keunggulan komparatif yang ditunjukkan oleh nilai koefisien domestic resources cost (DRC) sebesar 0,42. Angka ini memberi makna bahwa untuk menghasilkan satu satuan output tembakau pada harga sosial diperlukan korbanan biaya


(4)

sumberdaya domestik pada harga sosial sebesar 0,42 satuan. Atau dengan kata lain untuk menghasilkan satu satuan devisa harus mengorbankan biaya imbangan sumberdaya domestik sebesar 0,42 satuan. Fakta ini memberi implikasi kepada Indonesia secara ekonomi akan lebih menguntungkan meningkatkan produksi tembakau dalam negeri dibandingkan dengan mengimpor.

Nilai koefisien PCR untuk komoditas tembakau asepan diperoleh sebesar 0,62 yang menunjukkan bahwa pengusahaan komoditas tembakau mempunyai keunggulan kompetitif. Untuk menghasilkan satu satuan nilai tambah output tembakau pada harga privat hanya diperlukan kurang dari satu satuan biaya sumberdaya domestik. Atau dengan kata lain, untuk menghemat satu satuan devisa pada harga privat hanya diperlukan korbanan biaya sumberdaya domestik sebesar 0,62.

Ditinjau dari transfer input dalam usahatani tembakau, hasil penelitian Saptana, dkk. (2001) menemukan bahwa ada transfer positif dari petani tembakau kepada produsen pupuk Urea, KCl, TSP, dan ZA dengan nilai NPCI > 1. Hal ini memberi makna bahwa petani tembakau membeli pupuk Urea, KCl, TSP, dan ZA dengan harga yang lebih tinggi dari yang seharusnya. Lebih lanjut hasil penelitian Saptana, dkk (2001) juga menunjukkan transfer output usahatani tembakau yang bernilai negatif, yang memberi makna bahwa harga domestik lebih rendah dari harga dunia atau produsen tembakau menjual outputnya dengan harga yang lebih rendah dari yang seharusnya. Besarnya nilai koefisien NPCO adalah 0,74 yang berarti bahwa petani tembakau menerima harga 26% lebih rendah dari yang seharusnya. Secara keseluruhan petani tembakau mengalami disinsentif dalam mengusahakan usahatani tembakau.

Hasil penelitian Fang dan Beghin (2000) tentang Food self-sufficiency, comparative advantage, and agricultural trade: A Policy analysis matrix for Chinese agriculture,


(5)

menemukan bahwa koefisien DRC tembakau tahun 1996 diperoleh sebesar 1,07 yang memberi makna bahwa tahun 1996 tembakau Cina tidak memiliki keunggulan komparatif. Selanjutnya untuk tahun 1997 dan 1998 diperoleh koefisien DRC masing-masing sebesar 0,72 dan 0,88 yang berarti bahwa tembakau memiliki keunggulan komparatif. Tembakau di Cina menduduki ranking 4 dalam hal keunggulan komparatif setelah japonica rice, cabbage, dan green beans.

Hasil analisis NPCO rata-rata diperoleh sebesar 0,81 yang memberi makna bahwa harga tembakau domestik Cina lebih rendah dari harga dunia, sedangkan nilai NPCI rata-rata diperoleh sebesar 0,75 yang memberi makna bahwa terjadi proteksi terhadap konsumen input. Tingkat proteksi simultan yang tercermin melalui nilai EPC, diperoleh nilai rata-rata EPC sebesar 0,83 yang menunjukkan bahwa secara simultan terjadi disinsentif pada sistem usahatani tembakau di Cina (Fang dan Beghin, 2000).

Berbeda halnya dengan di Cina, ternyata tembakau di Libanon tidak memiliki keunggulan komparatif, sebagaimana ditunjukkan oleh koefisien DRC sebesar 2,74 (Kubursi (2000). Profitability coefficient (PC) yang negatif (-1,1) menunjukkan bahwa tembakau tidak layak diusahakan di Libanon. Keberlangsungan usahatani tembakau di Libanon ternyata diakibatkan oleh adanya proteksi terhadap input dan output oleh pemerintah yang ditunjukkan oleh koefisien EPC sebesar 4,73.

Hasil penelitian Reveyemamu dan Kimaro (2006) tentang Assessing Market Distortions Affecting Poverty Reduction Efforts on Smallholder Tobacco Production in Tanzania, menunjukkan bahwa tembakau memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif di Tanzania yang ditunjukkan oleh nilai DCR sebesar 0,80 dan nilai PCR sebesar 0,85. Fakta ini menunjukkan bahwa komoditas tembakau Tanzania memiliki daya saing. Daya saing tersebut justru tidak didukung oleh kebijakan pemerintah yang berupa proteksi baik terhadap input


(6)

maupun output. Hal ini ditunjukkan oleh besaran nilai NPCI sebesar 1,46; nilai NPCO sebesar 0,65; dan nilai EPC sebesar 0,60. Daya saing tembakau yang tercipta diduga karena didukung oleh kesesuaian agroklimat dan penerapan teknologi tepat guna.

Kebaruan penelitian ini dibandingkan penelitian terdahulu yaitu penelitian ini khusus untuk tembakau virginia yang dilakukan pasca terbitnya UU No. 39 tahun 2007 tentang cukai, PP Nomor 109 tahun 2012 tentang pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan, dan kebijakan konversi minyak tanah ke LPG. Ketiga kebijakan tersebut diduga memberikan dampak terhadap daya saing tembakau virginia sehingga hasil penelitian ini diharapkan dapat melahirkan rekomendasi kebijakan untuk menguatkan daya saing tembakau virginia di masa depan.