Akulturasi Budaya Dalam Arsitektur Bangunan Masjid Lautze 2 dan Masjid Ronghe Bandung.

(1)

ABSTRACT

Name : Callin Tjahjana Study Program : Chinese Literature

Title : Akulturasi Budaya dalam Arsitektur Bangunan Masjid Lautze 2 dan Masjid Ronghe Bandung

This thesis looks into acculturation in two of Chinese-style mosques, which are Lautze 2 Mosque and Ronghe Mosque in Bandung. The architecture of this mosques resemblance Chinese vihara than a mosque generally. The purpose of this study is to find the acculturation of cultural elements contained in architecture of the two mosques. This research is literature-based research. The data was collected through the reference from literature sources and the articles on internet. The analysis and presentation of the data will use qualitative-descriptive method. Furthermore, data were also collected through field research and interviews with informants. Lautze 2 Mosque and Ronghe Mosque are two mosques that were built based on acculturation of Arab, Islamic, and Chinese architecture. Therefore, it could be concluded that through acculturation, one could acknowledge elements of culture which were put in use to form the architecture.

Key words : acculturation, architecture, Bandung Lautze 2 and Ronghe Mosque

ABSTRAK

Penelitian ini membahas tentang akulturasi yang terdapat pada bangunan masjid bergaya Tionghoa di Bandung, yaitu Masjid Lautze 2 dan Masjid Ronghe. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat akulturasi budaya tersebut dari unsur-unsur budaya yang terdapat pada arsitektur kedua masjid tersebut. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode kepustakaan, yaitu mencari referensi melalui sumber literatur dan artikel-artikel di internet, sementara analisis dan penyajian data akan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Selain itu, pengumpulan data juga ditunjang dengan penelitian lapangan dan wawancara langsung dengan narasumber. Hasilnya adalah Masjid Lautze 2 dan Masjid Ronghe merupakan arsitektur yang terwujud dari akulturasi budaya Arab, Islam, dan Tionghoa. Melalui penelitian ini, pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur kebudayaan yang ada menyebabkan terjadinya akulturasi budaya pada arsitektur Masjid Lautze 2 dan Masjid Ronghe.


(2)

vii

Universitas Kristen Maranatha

HALAMAN JUDUL………...i

LEMBAR PENGESAHAN………. ii

HALAMAN PENYERTAAN ORISINALITAS……….. iii

KATA PENGANTAR……….. iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH……….v

ABSTRAK………vi

DAFTAR ISI………vii

DAFTAR GAMBAR……….. viii

DAFTAR LAMPIRAN……….... x

1. PENDAHULUAN ……….1

1.1Latar belakang ……….1

1.2Rumusan Masalah………....3

1.3Tujuan dan Kontribusi Penelitian ..………...…..3

1.4Metode Penelitian ...………....3

1.5Sistematika Penulisan ……….4

2. TINJAUAN PUSTAKA……….………..6

2.1Pengertian Akulturasi……….………..6

2.2Masjid di Indonesia ……….……...……….7

2.2.1 Perkembangan Masjid……….………7

2.2.2 Bentuk Masjid ...……….………8

2.2.3 Arsitektur Masjid ..……….…….………....9

2.2.4 Bagian-bagian dalam Bangunan Masjid .………..………10

3. MASJID LAUTZE 2 ...………13

3.1Sejarah dan Gambaran Umum Masjid Lautze 2 Bandung ……….13

3.2Akulturasi dalam Arsitektur Masjid Lautze 2 Bandung.……….14

4. MASJID AL-IMTIZAJ (RONGHE) ….………19

4.1Sejarah dan Gambaran Umum Masjid Ronghe ……….19

4.2Akulturasi dalam Arsitektur Masjid Ronghe ……….20

5. KESIMPULAN DAN SARAN ………..…31

5.1Kesimpulan……….31

5.2Saran ..………33


(3)

DAFTAR GAMBAR Gambar 3.2.1 Kubah pada Masjid Lautze 2

Gambar 3.2.2 Bentuk pintu Masjid Lautze 2

Gambar 3.2.3 Contoh dinding yang diadaptasi menjadi pintu

Gambar 3.2.4 Ornamen pada mimbar Masjid Lautze 2

Gambar 3.2.5 Ornamen di depan pintu Masjid Lautze 2 yang dicat berwarna merah dan kuning

Gambar 3.2.6 Contoh ornamen batu bata

Gambar 3.2.7 Ornamen tulisan surat dalam Al-Quran yang menggunakan karakter Han

Gambar 3.2.8 Warna masjid yang didominasi oleh warna merah

Gambar 3.2.9 Unsur kayu yang terdapat pada Masjid Lautze 2

Gambar 4.2.1 Kubah pada Masjid Ronghe

Gambar 4.2.2 Atap Masjid Ronghe

Gambar 4.2.3 Contoh bentuk atap tumpang

Gambar 4.2.4 Sistem struktur pada atap gapura

Gambar 4.2.5 Struktur kantilever

Gambar 4.2.6 Pintu gerbang berbentuk pelana

Gambar 4.2.7 Pencuran berbentuk guci untuk wudhu

Gambar 4.2.8 Ornamen pada gerbang dan pagar pembatas Masjid Ronghe

Gambar 4.2.9 Ornamen pada seluruh bagian dinding interior Masjid Ronghe Gambar 4.2.10 Ornamen pada bagian mihrab

Gambar 4.2.11 Ornamen kaligrafi Arab pada dinding Masjid Ronghe Gambar 4.2.12 Ornamen kaligrafi Arab pada dinding


(4)

ix

Universitas Kristen Maranatha Muhammad pada dinding bagian bawah

Gambar 4.2.14 Ornamen kaligrafi khat Kufi pada bagian tengah dinding

Gambar 4.2.15 Jenis tulisan Khat Kufi

Gambar 4.2.16 Ornamen pada bagian mimbar

Gambar 4.2.17 Ornamen lampion

Gambar 4.2.18 Ornamen kaligrafi Arab dan karakter Han

Gambar 4.2.19 Ukiran pada pancuran wudhu utama

Gambar 4.2.20 Tipe key pattern dengan pola modern meanders

Gambar 4.2.21 Tipe key pattern yang terdapat pada bingkai kaligrafi

Gambar 4.2.22 Contoh tipe diaper pattern

Gambar 4.2.23 Tipe key pattern pada pintu masuk

Gambar 4.2.24 Contoh tipe key pattern yang ada pada jaman Dinasti Zhou

Gambar 4.2.25 Motif batu bata pada pagar besi, dinding, dan jendela

Gambar 4.2.26 Warna masjid yang didominasi warna merah dan kuning


(5)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran wawancara dengan pengurus Masjid Lautze 2


(6)

1

Universitas Kristen Maranatha PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bangsa Tionghoa yang datang dan menetap di Indonesia sudah memiliki sejarah yang panjang. Orang Tionghoa sudah mengenal Indonesia sejak abad ke 5 M, dan selama beberapa abad jumlahnya terus bertambah (Handinoto, 2009, hlm.72). Dari dulu hingga sekarang, orang-orang Tionghoa sudah memiliki andil dalam perkembangan bangsa Indonesia, dari segi budaya, seni, agama, dan lain-lain. Dalam kebudayaan Indonesia khususnya, unsur-unsur kebudayaan Tionghoa mempunyai pengaruh yang tergolong kuat (Handinoto, 2009).

Fenomena akulturasi budaya contohnya banyak terdapat pada budaya Jawa, Islam, dan Tionghoa. Al Qurtuby (2003) menyebut fenomena ini sebagai

Sino-Javanese Muslim Culture atau perpaduan Tionghoa, Jawa, Islam (hlm.175). Bentuk

perwujudan Sino-Javanese Muslim Culture salah satunya dapat terlihat pada beberapa arsitektur masjid. Di Bandung, terdapat dua masjid yang bernuansa Tionghoa, yaitu Masjid Lautze 2 dan Masjid Al-Imtizaj atau yang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Ronghe. Dalam arsitektur kedua masjid tersebut, terdapat akulturasi dari tiga kebudayaan, yaitu Arab, Islam dan Tionghoa. Dari unsur-unsur percampuran kebudayaan tersebut terjalin apa yang dinamakan Sino – Javanese Muslim Culture (Kebudayaan Tionghoa – Jawa Islam).

Masjid Lautze 2 didirikan oleh Haji Karim Oey pada tahun 1997. Masjid ini mempunyai keunikan tersendiri dari segi bangunannya. Bangunan yang terletak di antara ruko-ruko di kawasan Jalan Tamblong ini terdiri atas dua lantai, dimana lantai pertama merupakan tempat untuk beribadah dan lantai kedua adalah sekretariat masjid. Sekilas, bentuk bangunan Masjid Lautze 2 lebih menyerupai kelenteng daripada masjid. Eksterior dan interior masjid yang didominasi oleh warna merah cerah mengingatkan pengunjung pada warna-warna vihara dan kelenteng. Namun, ornamen kubah dari potongan kayu yang juga berwarna merah serta papan nama “Masjid Lautze 2” yang menunjuk ke arah pintu masuk, menegaskan bahwa


(7)

2

bangunan tersebut adalah sebuah masjid. Hal inilah yang membuat Masjid Lautze 2 menjadi bangunan yang unik. Dilihat dari bangunan fisik masjid ini, terdapat akulturasi budaya Tionghoa dan budaya Islam.

Sementara itu, Masjid Ronghe didirikan oleh Bapak HR. Nuriana, yang merupakan mantan gubernur Jawa Barat. Beliau memiliki keinginan untuk membangun sebuah masjid bagi kaum mualaf, khususnya bagi etnis Tionghoa. Bangunan yang terletak di Jalan Banceuy no.8, atau yang mana dahulu gedung tersebut lebih dikenal dengan nama Rumah Matahari, akan tetapi sekarang diganti namanya menjadi Gedung Abdurrahman Bin Auf Trade Center (ATECE) ini memiliki ciri khas bangunan Tionghoa yang sangat menarik perhatian setiap orang yang melewati Jalan Banceuy. Nama Masjid Al-Imtizaj sendiri mempunyai arti “pembauran”atau dalam bahasa Mandarin “Ronghe”.

Keunikan masjid ini tidak jauh berbeda dengan Masjid Lautze 2. Masjid Ronghe merupakan masjid dengan arsitek budaya Tionghoa yang dibuat menyerupai klenteng. Tetapi, untuk menegaskan bahwa bangunan ini adalah masjid, maka dibuatlah sebuah kubah, yang merupakan lambang atau icon dari bangunan-bangunan masjid di Indonesia pada umumnya. Desain eksterior dan interior masjid juga didominasi oleh warna merah dan kuning yang sering dipakai dalam arsitektur klenteng. Tujuan didirikannya Masjid Ronghe adalah untuk memperkaya seni masjid dengan budaya Tiongkok. Selain itu, keberadaan Masjid Ronghe diharapkan dapat meningkatkan pembauran etnis Tionghoa Islam dengan umat Islam lainnya dan juga dapat menyatukan etnis Tionghoa dan pribumi dalam satu agama.

Dilihat dari bentuk fisik kedua masjid tersebut, terdapat fenomena akulturasi budaya yang terjadi ketika beberapa kebudayaan saling berhubungan secara intensif dalam jangka waktu yang cukup lama, kemudian masing-masing dari kebudayaan tersebut berubah saling menyesuaikan diri menjadi satu kebudayaan (Koentjaraningrat, 1990, hlm.253-4). Hasil dari proses wujud akulturasi kebudayaan tersebut salah satunya dapat terlihat dari bentuk bangunan kedua masjid ini. Pada bangunan Masjid Lautze 2 dan Masjid Ronghe, akulturasi budaya ini dapat dikaji melalui unsur-unsur budaya yang ada pada arsitekturnya.


(8)

Universitas Kristen Maranatha Oleh karena itu, skripsi ini akan membahas tentang akulturasi budaya dalam arsitektur Masjid Lautze 2 dan Masjid Ronghe dengan mengkaji unsur-unsur budayanya. Unsur budaya tersebut dapat dilihat dari bentuk fisik bangunan masjid, misalnya dari atap masjid, ornamen-ornamen yang ada, serta warna-warna yang digunakan dalam arsitekturnya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana akulturasi budaya yang ada di Masjid Lautze 2 dan Masjid Ronghe Bandung?

2. Unsur-unsur budaya apa saja yang terdapat dalam bangunan Masjid Lautze 2 dan Masjid Ronghe Bandung?

1.3 Tujuan dan Kontribusi Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi akulturasi budaya di Masjid Lautze 2 dan Masjid Ronghe Bandung serta untuk mengidentifikasi pengaruh akulturasi budaya kedua masjid bergaya Tionghoa tersebut melalui unsur-unsur budaya yang terdapat pada arsitekturnya. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memperkaya teori-teori yang sudah ada sehingga dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya dan juga dapat dimanfaatkan sebagai media untuk melakukan pelestarian, pengembangan dan sosialisasi nilai-nilai akulturasi budaya.

1.4 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur, yaitu dengan mencari referensi yang diperlukan melalui buku-buku, koran, maupun


(9)

4

media internet. Referensi yang telah didapat akan diaplikasikan dengan data-data yang diperoleh dari lapangan.

Teknik pengumpulan data di lapangan yang digunakan oleh peneliti adalah observasi, yaitu dengan mengamati keadaan sekitar. Untuk mendapatkan data yang lebih akurat, selain melakukan observasi, peneliti juga melakukan wawancara semi terstruktur.

Selain itu, analisis data akan menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu menggunakan teori-teori yang telah diperoleh melalui buku dan media lainnya. Analisis dipaparkan secara deskriptif, artinya mengombinasikan data yang telah diperoleh dengan teori, kemudian menarik kesimpulan sehingga diperoleh hasil penelitian.

1.5 Sistematika Penulisan

Bab I pendahuluan meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Dalam latar belakang masalah dibahas mengenai hal-hal yang menjadi latar belakang diangkatnya permasalahan tersebut. Sementara itu, dalam rumusan masalah dibahas mengenai masalah inti yang akan dibahas dalam penelitian ini. Berdasarkan rumusan masalah kemudian dirumuskan tujuan dan manfaat penelitian yang mengemukakan maksud yang ingin dicapai dari penelitian ini.

Bab II adalah tinjauan pustaka yang didalamnya membahas mengenai isi sejumlah referensi dari sumber tertulis yang relevan dengan penelitian, kemudian referensi tersebut dipakai untuk menjadi acuan dalam menganalisis permasalahan yang sedang diteliti, yaitu pengaruh akulturasi budaya dalam arsitektur bangunan Masjid Lautze 2 dan Masjid Ronghe Bandung. Pembahasan dalam bab ini difokuskan pada pengertian akulturasi serta perkembangan dan arsitektur masjid di Indonesia.

Bab III dan bab IV berisi tentang pembahasan dan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis. Dalam bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian yang meliputi sejarah dan gambaran umum Masjid Lautze 2 dan Masjid Ronghe Bandung,


(10)

Universitas Kristen Maranatha akulturasi yang terdapat pada arsitektur Masjid Lautze 2 dan Masjid Ronghe, serta unsur-unsur budaya yang terdapat pada arsitektur kedua masjid tersebut.

Bab V berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan berisi tentang uraian dan pandangan penulis terhadap hasil penelitian mengenai akulturasi yang terdapat dalam arsitektur bangunan Masjid Lautze 2 dan Masjid Ronghe Bandung. Dalam bab ini, penulis akan mengemukakan kesimpulan yang merupakan jawaban atas keseluruhan permasalahan yang telah diteliti. Selain itu, penulis juga memberikan beberapa saran untuk pengelola masjid dan untuk masyarakat agar tetap memelihara serta melestarikan budaya yang ada dalam arsitektur Masjid Lautze 2 dan Masjid Ronghe Bandung.


(11)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Arsitektur masjid di Indonesia telah mengalami perubahan dari masa ke masa. Dahulu, ketika pengaruh agama Hindu sangat kuat di Indonesia, arsitektur masjid-masjid juga tak luput dari pengaruh tersebut. Sekarang, sudah banyak masjid-masjid-masjid-masjid yang didirikan dengan arsitektur yang beragam, walaupun kebanyakan bentuk bangunannya bergaya Timur Tengah. Tetapi, di Bandung, terdapat masjid yang dalam arsitekturnya memakai gaya Tionghoa, yaitu Masjid Lautze 2 dan Masjid Al-Imtizaj (Ronghe).

Kedua masjid yang lebih mirip klenteng ini, dalam arsitekturnya, memiliki beragam percampuran budaya, contohnya budaya Tionghoa, Islam, dan Arab. Berbagai percampuran budaya tersebut menyebabkan adanya akulturasi budaya.

Setelah penulis menganalisa data yang didapat dari hasil observasi di lapangan dan wawancara langsung dengan pengurus Masjid Lautze 2 dan Masjid Ronghe, penulis menemukan bahwa ada akulturasi budaya dalam arsitektur bangunan masjid. Akulturasi tersebut disebabkan karena perubahan fungsi beberapa elemen masjid dan adanya pengaruh unsur-unsur budaya Arab, Islam, dan Tionghoa yang terdapat pada arsitektur kedua masjid.

Pada Masjid Lautze 2, unsur-unsur budaya yang terdapat pada arsitektur masjid ini adalah budaya Tionghoa, Arab, dan Islam. Unsur budaya Tionghoa dapat dilihat melalui bentuk masjid yang sengaja dibuat seperti klenteng. Selain itu, adanya beberapa ornamen yang terbuat dari kayu juga menguatkan unsur budaya Tionghoa dalam masjid, karena unsur kayu sangat populer digunakan dalam arsitektur bergaya Tionghoa. Tetapi, dalam hal pemakaian warna, pihak masjid tidak menjadikan warna-warna tersebut sebagai sebuah kepercayaan. Pemakaian warna-warna merah pada interior dan eksterior Masjid Lautze 2 hanya merupakan adaptasi dari warna yang sering digunakan pada arsitektur klenteng.


(12)

Universitas Kristen Maranatha Unsur budaya Arab dan Islam sendiri terlihat pada bagian atap kubah dan mihrab. Walaupun masjid ini terlihat seperti klenteng, namun pada bagian atapnya, tetap memakai kubah bawang sebagai penanda bahwa bangunan tersebut adalah masjid. Selain itu, mihrab di masjid ini langsung menghadap ke Masjidil Haram, Mekkah. Hal tersebut menjelaskan pengaruh dari budaya Islam.

Pada Masjid Ronghe, tidak jauh berbeda dengan Masjid Lautze 2, akulturasi juga dapat dilihat dari perubahan fungsi beberapa elemen masjid dan unsur-unsur budaya yang terdapat pada kubah, gapura, atap masjid, ornamen-ornamen, dan warna yang digunakan dalam arsitekturnya. Unsur-unsur budaya yang terdapat pada masjid ini adalah budaya Islam dan Tionghoa.

Unsur budaya Tionghoa dapat dilihat dari ragam ornamen yang digunakan untuk menghias masjid ini. Ornamen khas Tionghoa yang digunakan dalam dekorasi masjid, antara lain lampion, ornamen nama masjid dengan menggunakan Karakter Han, dan lain-lain. Selain itu, pemakaian warna merah dan kuning sangat dominan di masjid ini. Warna kuning lebih banyak digunakan untuk dekorasi eksterior masjid, sedangkan warna merah lebih banyak digunakan untuk ornamen dan dekorasi interior masjid.

Unsur budaya Tionghoa juga ditemukan dalam sistem struktur atap gapura Masjid Ronghe. Sistem struktur rangka balok yang digunakan pada atap gapura masjid merupakan sistem struktur yang sering digunakan dalam arsitektur Tionghoa. Pada bagian pintu gapura, arsitekturnya pun mengadaptasi dari budaya Tionghoa.

Walaupun masjid ini dibuat seperti klenteng, namun unsur-unsur budaya Islamnya tetap ada. Hal tersebut dapat terlihat dari ornamen yang digunakan dalam dekorasi masjid. Ornamen kaligrafi menggunakan huruf Arab banyak terdapat disini, misalnya pada mimbar, mihrab, dan pada seluruh dinding bagian dalam masjid. Seni kaligrafi yang digunakan adalah kaligrafi murni dengan bentuk tulisan Khat Sulus dan Khat Kufi. Selain itu, masjid ini juga masih tetap menggunakan kubah sebagai ciri khas masjid pada umumnya.

Berdasarkan analisa tersebut, terbukti bahwa percampuran unsur-unsur budaya yang ada dalam arsitektur bangunan Masjid Lautze 2 dan Masjid Ronghe


(13)

33

menyebabkan akulturasi budaya. Masjid Al-Imtizaj (Ronghe) dan Masjid Lautze 2 Bandung yang berada di Jalan Tamblong, keduanya merupakan bukti kontribusi masyarakat muslim dan etnis Tionghoa bagi perkembangan agama Islam di Bandung. Kedua-duanya memiliki karakter dan keistimewaan masing-masing, yang dapat dirasakan ketika sekedar mengunjungi tempat tersebut.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian, beberapa hal yang dapat disarankan antara lain : 1. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa Masjid Lautze 2 kondisinya baik untuk

sarana peribadatan. Namun, tidak banyak ornamen yang digunakan dalam masjid ini. Untuk menambah keindahan masjid, terutama pada bagian mihrab yang merupakan pusat dari kegiatan peribadatan di masjid dapat ditambahkan beberapa ornamen, seperti kaligrafi atau ornamen bernuansa Tionghoa.

2. Pada Masjid Ronghe, sebagai tempat ibadah, Masjid Ronghe memiliki arsitektur dan dekorasi yang unik. Ornamen dan warna-warna yang digunakan sangat menarik perhatian dengan menonjolkan unsur budaya Tionghoa. Setelah penulis melakukan wawancara dengan pengurus Masjid, Bapak Tantan, diketahui bahwa kegiatan yang diadakan di masjid ini tidak sebanyak kegiatan yang diadakan di Masjid Lautze 2. Kegiatan yang rutin dilaksanakan adalah pengajian.

Untuk mempererat silaturahmi antar jamaah, pengurus masjid dapat memperbanyak kegiatan-kegiatan rutin, misalnya mengadakan kegiatan buka puasa bersama setiap bulan puasa, kegiatan bedah buku, dan lain-lain. Selain itu, banyaknya kegiatan juga dapat menambah daya tarik masyarakat untuk datang ke masjid ini. Dengan begitu, dapat menjadi salah satu bentuk pengembangan dan pelestarian budaya Tionghoa di masjid ini.

3. Kebersihan adalah bagian dari iman. Menjaga kebersihan tempat ibadah demi kenyamanan beribadat merupakan hal yang harus dilakukan. Masjid Lautze 2 dan Masjid Ronghe tentu akan lebih nyaman digunakan apabila lingkungan


(14)

Universitas Kristen Maranatha sekitarnya bersih dari sampah atau coret-coretan di dinding. Menjaga kebersihan juga merupakan bentuk pelestarian masyarakat terhadap masjid ini, karena Masjid Lautze 2 dan Masjid Ronghe merupakan simbol persatuan Tionghoa dan Islam yang harus selalu dijaga.


(15)

AKULTURASI BUDAYA DALAM ARSITEKTUR BANGUNAN

MASJID LAUTZE 2 BANDUNG

Callin Tjahjana

Abstrak

This thesis looks into acculturation in one of Chinese-style mosque, which are Lautze 2 Mosque. The architecture of this mosques resemblance Chinese vihara than a mosque generally. The purpose of this study is to find the acculturation of cultural elements contained in architecture of the mosque. This research is literature-based research. The data was collected through the reference from literature sources and the articles on internet. The analysis and presentation of the data will use qualitative-descriptive method. Furthermore, data were also collected through field research and interviews with informants. Lautze 2 Mosque built based on acculturation of Arab, Islamic, and Chinese architecture. Therefore, it could be concluded that through acculturation, one could acknowledge elements of culture which were put in use to form the architecture.

Key words : akulturasi, arsitektur, Masjid Lautze 2 Bandung

Pendahuluan

Bangsa Tionghoa yang datang dan menetap di Indonesia sudah memiliki sejarah yang panjang. Orang Tionghoa sudah mengenal Indonesia sejak abad ke 5 M, dan selama beberapa abad jumlahnya terus bertambah (Handinoto, 2009, hlm.72). Dari dulu hingga sekarang, orang-orang Tionghoa sudah memiliki andil dalam perkembangan bangsa Indonesia, dari segi budaya, seni, agama, dan lain-lain. Dalam kebudayaan Indonesia khususnya, unsur-unsur kebudayaan Tionghoa mempunyai pengaruh yang tergolong kuat (Handinoto, 2009).

Fenomena akulturasi budaya banyak terdapat pada budaya Jawa dan Islam. Al Qurtuby (2003) menyebut fenomena ini sebagai Sino-Javanese Muslim Culture atau perpaduan Tionghoa, Jawa, Islam (hlm.175). Bentuk Sino-Javanese Muslim Culture salah satunya dapat terlihat pada beberapa arsitektur masjid. Adanya Muslim Tionghoa di Indonesia menjadi salah satu faktor terjadinya akulturasi budaya tersebut. Perkembangan masjid di Indonesia dimulai sejak abad ke-7. Tapi, pada abad ke-16, terdapat adaptasi dari bangunan bergaya Hindu-Budha pada bangunan masjid. Ciri khasnya adalah bangunan bertiang tunggal, atapnya perisai dan bersusun, semakin banyak susunannya, semakin tinggi kesuciannya. Di Jawa, bentuk-bentuk seperti ini berkembang menjadi tempat ibadah Agama Islam (Tjahjono, 2009, hlm.244-8). Corak-corak candi juga sangat familiar dalam desain bangunan masjid pada jaman Hindu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa landasan yang menjadi pokok


(16)

2 hlm.53).

Selain mendapat pengaruh Hindu-Budha yang kuat, ada beberapa masjid di Indonesia yang mengadaptasi gaya masjid di Tiongkok. Menurut Kutoyo (1999), arsitektur masjid di Tiongkok memakai langgam klenteng (Langgam bisa diartikan gaya, model, cara. Langgam ini terkait dengan suatu ciri, bisa berupa budaya, tokoh, peristiwa sejarah, dan lain-lain. Sebuah karya arsitektur bisa berlanggam Eropa, Tionghoa maupun Nusantara), maka dari itu, bangunan masjid di Tiongkok arsitekturnya lebih mirip klenteng dibandingkan masjid pada umumnya. Kubah dan menara juga agak jarang dipakai karena langgam klenteng umumnya tidak menggunakan kubah dan menara (hlm 30).

Mengenai bentuk bangunan masjid di Indonesia, sebenarnya tidak ada ketentuan yang mengikat. Biasanya bentuk masjid mengikuti langgam daerah setempat, sehingga lahir bentuk masjid yang bermacam-macam sesuai dengan kebiasaan dan kemampuan masyarakat yang mendirikannya. Daerah-daerah yang kurang mendapat pengaruh Hindu biasanya lebih tajam menonjolkan keaslian arsitektur daerahnya dibandingkan daerah-daerah yang mendapat pengaruh Hindu. Lama kelamaan, pola arsitektur daerah ini pun berubah. Faktor utamanya adalah karena mendapat pengaruh visual dari masjid-masjid di luar Indonesia. Pengaruh yang sangat terasa terutama pada bentuknya, seperti kelengkapan masjid yang berupa menara dan kubah serta unsur-unsur ornamen bangunannnya (Rochym, 1995, hlm.26-27).

Di Bandung, ada sebuah masjid yang didirikan dengan nuansa Tionghoa yaitu Masjid Lautze 2. Masjid yang didirikan oleh Haji Karim Oey tahun 1997 ini memang mempunyai keunikan tersendiri dari segi bangunannya. Bangunan yang terletak di antara ruko-ruko di kawasan Jalan Tamblong ini terdiri atas dua lantai, dimana lantai pertama merupakan tempat untuk beribadah dan lantai kedua adalah sekretariat masjid.

Bentuk bangunan Masjid Lautze 2 lebih menyerupai kelenteng daripada masjid. Eksterior dan interior masjid yang di dominasi oleh warna merah cerah mengingatkan pengunjung pada warna-warna vihara dan kelenteng. Namun ornamen kubah dari potongan kayu yang juga berwarna merah serta papan nama “Masjid Lautze 2” yang menunjuk ke arah pintu masuk, menegaskan bahwa bangunan tersebut adalah sebuah masjid. Hal inilah yang membuat Masjid Lautze 2 menjadi bangunan yang unik. Dilihat dari bangunan fisik masjid ini, terdapat akulturasi budaya Tionghoa dan budaya Islam.

Akulturasi sama dengan kontak budaya yaitu bertemunya dua kebudayaan yang berbeda dan melebur menjadi satu, sehingga menghasilkan adanya kontak kebudayaan baru atau sebuah akulturasi yang menghasilkan bentuk-bentuk kebudayaan baru dan tidak melenyapkan kebudayaan aslinya. (Koentjaraningrat, 1990, hlm.253-4)

Proses dari wujud akulturasi kebudayaan terjadi ketika beberapa kebudayaan saling berhubungan secara intensif dalam jangka waktu yang cukup lama, kemudian


(17)

masing-masing dari kebudayaan tersebut berubah saling menyesuaikan diri menjadi satu kebudayaan. Hasil dari proses wujud akulturasi kebudayaan tersebut, dapat dilihat pada bahasa, kesenian, bentuk bangunan, dll. Bentuk dari perwujudan akulturasi budaya merupakan salah satu hasil aktivitas manusia dalam menjalankan proses perpaduan budaya. Akulturasi budaya dalam bangunan Masjid Lautze 2 ini dapat dikaji melalui unsur-unsur budaya yang ada didalamnya.

Oleh karena itu, artikel ini akan membahas tentang akulturasi budaya dalam arsitektur Masjid Lautze 2 dengan mengkaji unsur-unsur budayanya. Unsur budaya tersebut dapat dilihat dari bentuk fisik bangunan masjid, misalnya dari atap masjid, ornamen-ornamen yang ada, serta warna-warna yang digunakan dalam arsitekturnya.

Pembahasan

Akulturasi di Masjid Lautze 2 Bandung

Pendiri Masjid Laute 2 yang dibangun pada tahun 1997 adalah Haji Karim Oey (Oey Tjeng Hien). Beliau adalah Seorang tokoh Muhammadiyah, mantan anggota Parlemen RI, dan pendiri Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Haji Karim Oey adalah seorang Muslim Tionghoa. Tadinya beliau bukanlah seorang Muslim, tetapi berkat panggilan hati yang kuat untuk mendalami Islam, akhirnya pada tahun 1930, beliau resmi menjadi mualaf.

Sejak pertama berdiri hingga kini Masjid Lautze 2 Bandung masih menempati ruko kontrakan di Jalan Tamblong No. 27 Bandung. Masjid Lautze 2 Bandung memiliki ukuran yang tak terlalu besar, hanya 7 x 6 meter. Arsitektur masjid ini lebih bercirikan Tionghoa, tetapi masih ada unsur budaya lainnya, seperti India dan Arab. Dilihat dari jenisnya, masjid ini termasuk masjid jami’. Menurut Prajudi (2009)

“Masjid jami’ adalah bentuk baku masjid, suatu bangunan terpisah yang digunakan untuk beribadah shalat.”

Masjid Lautze 2 dibangun seperti klenteng dengan tujuan agar etnis Tionghoa yang datang ke tempat ini merasa lebih nyaman dengan suasana masjid yang seperti klenteng, karena menurut pengurus masjid, Jesslyn yang juga seorang Muslim Tionghoa, ketika orang Tionghoa pertama kali masuk ke masjid, mereka merasa asing dan takut untuk pergi ke masjid biasa karena masih adanya diskriminasi. Selain itu, adanya stereotip tentang orang Tionghoa yang eksklusif juga menjadi jurang pemisah antara Islam dan Tionghoa.

Nama masjid sendiri sebenarnya mengambil dari salah satu nama jalan, yaitu Jalan Lautze di Jakarta yang menjadi nama Masjid Lautze 1. Masjid Lautze 2 hanya mengambil nama dari masjid yang pertama. Masjid ini pun disebut “Masjid Cina” karena bangunannya yang bernuansa Tionghoa. Dinding depan masjid di hias dengan ornamen terawang berwarna kuning dengan garis garis merah, dengan lengkungan besar sebagai gerbang menuju pintu masuk masjid juga berwarna merah. Sementara kubah warna merah sengaja dipasang dibagian atas untuk membedakan bangunan masjid ini dengan bangunan ruko di sekitarnya.


(18)

4

mesjid yang memakai warna-warna untuk kelenteng seperti merah menyala serta lampu-lampu berbentuk lampion.

Lou Qingxi (2001: 93-94) mengatakan bahwa bentuk bangunan masjid-masjid di

Tiongkok secara garis besar terbagi kedalam dua kategori :

1. Bergaya Arab, bentuknya berupa ruang sembahyang beratap bundar, dan menara azan yang runcing di bagian atasnya.

2. Bergaya istana Tiongkok, bentuk manifestasinya berupa ruang sembahyang model ruangan besar dan menara azan model rumah loteng.

Dari sini dapat dilihat bahwa akulturasi yang ada di Masjid Lautze 2 Bandung cukup beragam yang dapat terlihat dari arsitektur bangunan masjid. Mengenai pengertian tentang akulturasi, Koentjaraningrat (1990, hlm.253-254) mengemukakan bahwa: Akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian budaya itu sendiri. Perhatian terhadap saluran-saluran yang dilalui oleh unsur-unsur kebudayaan asing untuk masuk kedalam kebudayaan penerima, akan memberikan suatu gambaran yang konkret tentang jalannya suatu proses akulturasi.

Arsitektur Masjid Lautze 2 yang dibuat menyerupai klenteng tidak menghilangkan unsur-unsur budaya lainnya yang ada pada masjid pada umumnya. Hal tersebut menjelaskan adanya akulturasi budaya.

Unsur Kebudayaan yang Terdapat di Masjid Lautze 2 Bandung

Mengacu pada data yang didapat oleh penulis melalui wawancara langsung dengan saudari Jesslyn selaku pengurus masjid, maka penulis mengkaji beberapa unsur budaya yang terdapat pada :

1. Atap Kubah

Kubah adalah salah satu ciri arsitektur Islam sejak saat perkembangannya. Pemakaian kubah pada masjid di Indonesia dimulai sekitar awal abad ke-20 ketika bangunan masjid di Indonesia mendapat pengaruh dari Timur Tengah dan India. Para emigran dari Arab yang turut membantu dalam pembangunan masjid memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam desain dan arsitekturnya. Penerapan kubah ini sebenarnya merupakan pelepasan dari bentuk atap tradisional, misalnya bentuk limas pada atap masjid bercorak Hindu diubah dengan menggunakan kubah sebagai atapnya (Rochym, 1995).

Menurut Rochym (1995), alasan pemakaian kubah pada masjid-masjid di Indonesia tidak lain karena ingin meniru penampilan kubah yang dilihat pada bentuk aslinya, sebab keindahan masjid muncul sebagai satu kesatuan bentuk dengan penonjolan pada bentuk kubahnya, sedangkan kubah sendiri sebagai aspek estetika yang menjadi titik rangkap utama, sehingga seolah-olah kubahlah yang berkesan pada saat orang melihat masjid.


(19)

Kubah merupakan bagian bangunan sebagai hasil dari pembauran arsitektur Islam dan Barat melalui seni arsitektur Byzantium. Fungsi kubah sebenarnya sebagai penutup ruang utama atau ruang inti yang merupakan titik sentral pada bangunan masjid. Dilihat dari segi kepentingan arsitektur, kubah merupakan sebuah penonjolan bentuk yang dapat menambah indah arsitektur masjid (Rochym, 1995, hlm.26). Mengingat kubah sangat berperan dalam arsitektur masjid, pada atap Masjid Lautze, juga terdapat sebuah kubah bawang berwarna merah. Hal ini merupakan akulturasi dari budaya Arab, yakni menggunakan kubah bawang yang terbuat dari kayu sebagai simbol yang mewakili universalitas Islam (lihat gambar 1).

Dalam arsitektur Masjid Lautze 2 Bandung, fungsi kubah mengalami sedikit pergeseran. Menurut Jesslyn, salah satu pengurus masjid, kubah di masjid ini dibuat sebagai penanda bahwa bangunan ini adalah masjid karena gaya masjid ini didesain menyerupai klenteng dan letaknya juga diantara ruko-ruko di Jalan Tamblong.

Gambar 1 : Kubah pada atap Masjid Lautze 2,

2. Mihrab

Bagian ruang utama yang terpenting adalah mihrab yaitu tempat seorang imam memimpin shalat. Kutoyo (1999) masjid di Indonesia kebanyakan menghadap ke Timur, sedangkan mihrabnya menghadap kearah barat (hlm.33).

Menurut narasumber Masjid Lautze 2, Jesslyn, mihrab yang ada pada Masjid Lautze mencerminkan kebudayaan Islam yaitu dapat dilihat dari arahnya yang menghadap Masjidil Haram, Mekkah.

3. Ornamen

Dalam arsitektur, ornamen merupakan hal yang tidak boleh dilupakan. Menurut Toekio (1987, hlm.10) :

Ornamen adalah ragam hias untuk suatu benda, pada dasarnya merupakan suatu pedandan atau kemolekan yang dipadukan. Ragam hias berperan sebagai media untuk mempercantik atau mengagungkan suatu karya. Dekoratif dan ornamen tidak saja menghadirkan estetika


(20)

6

dinding, ataupun permukaan langit-langit.

Unsur dekoratif dan ornamen biasanya lebih memberikan gambaran tentang imajinasi manusia yang dituangkan dalam keadaan nyata. Pada awal perkembangan pembangunannya, masjid juga tidak terlepas dari ornamen. Dahulu, pemakaian ornamen pada masjid tidak terlalu menonjol, karena pada masa itu, Muslim Indonesia memiliki pengertian bahwa mesjid harus ditampilkan dalam bentuknya yang sesederhana mungkin, sehingga pemakaian hiasan hanya terbatas pada tempat-tempat tertentu, misalnya pada mimbar dan serambi masjid.

Menurut Rochym (1995), kini ornamen dan ragam hias lainnya sudah semakin berkembang, salah satu yang berkembang pesat adalah seni ukir kayu yang merupakan penerusan dari kecakapan para seniman dalam seni pahat patung. Demikian pula hiasan ornamen yang terdapat pada mimbar masjid, biasanya terbuat dari kayu dan bernilai seni tinggi (hlm 83).

Dalam arsitektur Masjid Lautze 2, terdapat beberapa ornamen yang mempercantik bangunana Masjid :

a. Ornamen pada mimbar di bagian mihrab

Pada bagian mihrab di Masjid Lautze 2 Bandung, terdapat ornamen bertuliskan huruf Arab yang memperlihatkan unsur budaya Arab yang tetap ada pada masjid ini walaupun masjid ini dibuat seperti klenteng. Mimbar dan ornamen tersebut terbuat dari kayu. Hal ini menunjukkan bahwa seni ukir kayu biasanya digunakan sebagai ornamen masjid. Warna yang dipakai untuk ornamen ini adalah warna merah, warna khas arsitektur Tionghoa (lihat gambar 2).


(21)

b. Ornamen di depan pintu masjid

Di depan pintu masjid, terdapat ornamen bernuansa Tionghoa yang terbuat dari kayu dan dicat berwarna merah dan kuning keemasan (lihat gambar 3). Warna merah melambangkan kemakmuran dan keberuntungan (Handinoto, 2009), sedangkan warna kuning melambangkan kekayaan (Williams, 2006). Menurut narasumber, warna merah dan kuning pada ornamen ini hanya digunakan sebagai adaptasi saja, bukan merupakan sebuah kepercayaan. Ornamen ini sendiri mengambil motif batu bata. Menurut Lip (1995), pada bangunan tradisional Tiongkok, batu bata sering digunakan untuk alas lantai. Tetapi pada masjid ini, ornamen hanya mengadaptasi bentuk dari batu bata (gambar 3.2.6).

Gambar 3 : Ornamen di depan pintu masjid.

c. Ornamen tulisan surat dalam Al-Quran yang menggunakan karakter Han. Ornamen bertulisan surat Al-Quran ini merupakan surat pendek yang bernama Surat Al-Ikhlas yang artinya memurnikan Keesaan Allah. Isi surat ini ditulis dengan menggunakan karakter Han (lihat gambar 4). Ornamen ini dipajang dengan menggunakan bingkai agar terlihat lebih artistik sekaligus untuk melindungi surat Al-Quran tersebut dari kotoran dan debu. Dari sini, sangat terlihat jelas perpaduan antara Islam dan budaya Tionghoa, yaitu melalui bentuk tulisan Al-Quran yang diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin.


(22)

8

Gambar 4 : Ornamen surat Al Ikhlas yang menggunakan karakter Han.

4. Warna masjid yang didominasi oleh warna merah.

Masjid Lautze 2 Bandung sangat didominasi oleh warna merah, seperti bangunan klenteng yang ada di Tiongkok (lihat gambar 5). Warna pada arsitektur Tionghoa mempunyai makna simbolis. Warna tertentu umumnya diberikan pada elemen yang spesifik pada bangunan. Meskipun banyak warna yang dapat digunakan, namun warna merah dan kuning keemasan paling banyak dipakai dalam arsitektur bergaya Tionghoa. Warna merah umumnya digunakan untuk dekorasi interior dan warna pilar. Menurut Handinoto (2009) warna merah menyimbolkan warna api dan darah, yang dihubungkan dengan dengan kemakmuran dan keberuntungan. Merah juga simbol kebajikan, kebenaran, dan ketulusan. Warna merah juga dihubungkan dengan arah, yaitu arah selatan, dan sesuatu yang positif. Itulah sebabnya warna merah sering dipakai dalam arsitektur Tionghoa (hlm.77).

Pada Masjid Lautze 2, warna merah yang digunakan hanya mengadaptasi dari budaya oranng Tionghoa, bukan sebagai simbol yang menjadi kepercayaan. Warna merah sengaja digunakan agar orang Tionghoa yang datang ke masjid ini merasa lebih nyaman dan familiar. Pemakaian warna merah pada masjid menunjukkan adanya akulturasi budaya.

5. Unsur kayu

Bangunan Masjid Lautze 2 sebagian besar banyak menggunakan unsur kayu, mulai dari penyangga sampai ornamen (lihat gambar 5). Hal ini menunjukkan bahwa unsur budaya Tionghoa sangat dominan pada masjid ini. Menurut Handinoto (2009), ukiran-ukiran serta konstruksi kayu adalah bagian dari struktur bangunan pada arsitektur Tionghoa. Hal tersebut menunjukkan bahwa orang Tionghoa sangat piawai dalam hal pertukangan kayu, sehingga dalam arsitekturnya, unsur kayu merupakan salah satu hal yang ditonjolkan (hlm.77).


(23)

Gambar 5 : Penggunaan warna merah dan unsur kayu yang dominan pada bangunan Masjid Lautze 2.

Simpulan

Arsitektur masjid di Indonesia telah mengalami perubahan dari masa ke masa. Dahulu, ketika pengaruh agama Hindu sangat kuat di Indonesia, arsitektur masjid-masjid juga tak luput dari pengaruh tersebut. Sekarang, sudah banyak masjid-masjid-masjid-masjid yang didirikan dengan arsitektur yang beragam, kebanyakan bentuk bangunannya bergaya Timur Tengah. Tetapi, di Bandung, terdapat masjid yang dalam arsitekturnya bergaya Tionghoa, yaitu Masjid Lautze 2. Adanya masjid ini tentu tidak lepas dari peranan Muslim Tionghoa di Indonesia. Pendiri masjid ini adalah Haji Karim Oey (Oey Tjeng Hien) yang merupakan seorang Muslim Tionghoa. Masjid yang lebih mirip klenteng ini, dalam arsitekturnya, memiliki beragam percampuran budaya, contohnya budaya Tionghoa, Islam, dan Arab. Berbagai percampuran budaya tersebut menyebabkan adanya akulturasi budaya dalam Masjid Lautze 2.

Setelah penulis menganalisa data yang didapat dari hasil observasi dan wawancara langsung dengan pengurus Masjid Lautze 2, penulis menemukan bahwa adanya akulturasi budaya dalam arsitektur bangunan masjid. Akulturasi tersebut disebabkan karena adanya unsur-unsur budaya yang terdapat pada arsitektur masjid, yaitu pada bagian atap kubah, mihrab, ornamen-ornamen, dan warna yang dominan dipakai dalam desain Masjid Lautze 2.

Unsur-unsur budaya yang terdapat pada arsitektur masjid ini adalah budaya Tionghoa, Arab, dan Islam. Unsur budaya Tionghoa dapat dilihat melalui bentuk masjid yang sengaja dibuat seperti klenteng. Selain itu, adanya beberapa ornamen yang terbuat dari kayu juga menguatkan unsur budaya Tionghoa dalam masjid, karena unsur kayu sangat populer digunakan dalam arsitektur bergaya Tionghoa. Tetapi, dalam hal pemakaian warna, pihak masjid tidak menjadikan warna-warna tersebut sebagai sebuah kepercayaan. Pemakaian warna merah pada interior dan eksterior Masjid


(24)

10

klenteng, agar orang Tionghoa yang datang ke tempat ini merasa lebih nyaman. Unsur budaya Islam dan Arab sendiri terlihat pada bagian atap kubah dan mihrab. Walaupun masjid ini terlihat seperti klenteng, namun pada bagian atapnya, tetap memakai kubah bawang sebagai penanda bahwa bangunan tersebut adalah masjid. Selain itu, mihrab di masjid ini langsung menghadap ke Masjidil Haram, Mekkah. Hal tersebut menjelaskan budaya Islam.

Dengan demikian, berdasarkan analisa tersebut, terbukti bahwa percampuran unsur-unsur budaya yang ada dalam arsitektur bangunan Masjid Lautze 2 menyebabkan akulturasi budaya.

Daftar Pustaka

Handinoto. (2009). Perkembangan Arsitektur Tionghoa di Indonesia. Dalam A. H. Kustara (Ed.). Peranakan Tionghoa Indonesia : Sebuah Perjalanan Budaya (hlm.70-92). Jakarta : PT Intisari Mediatama dan Komunitas-Lintas Budaya Indonesia.

Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Kutoyo, S., et al. (1999). Peninggalan Situs dan Bangunan Bercorak Islam di Indonesia. Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya.

Lip, E., et.al. (1995). Orientasi & Manfaat Hong Sui (Tata Letak Bangunan Berpotensi “Chi” Sejati) (B. Kamajaya, Penerjemah). Jakarta : PT. Central

Kumala Sakti.

Lip, E. (1995). Feng Shui Environments of Power, A Study of Chinese Architecture. London : Academy Group LTD.

Lou Qingxi 楼 庆 西. (2001). Zhongguo Chuantong Jianzhu 中 国 传 统 建 筑 (Bangunan

Tradisional China). Beijing : Wuzhou Chuanbo Chubanshe.

Rahardian, P., et al. (2009). Sejarah Kebudayaan Indonesia : Arsitektur. Jakarta : Rajawali Pers.

Rochym, A. (1995). Mesjid dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia. Bandung : Angkasa. Toekio, S. (1987). Mengenal Ragam Hias Indonesia. Bandung : Angkasa.

Qurtuby, S. A. (2003). Arus Cina-Islam-Jawa. Jogjakarta : Inspeal Ahimsakarya Press. Williams, C.A.S. (2006). Chinese Symbolism and Art Motifs. Singapore : Tuttle

Publishing.

Hasil Wawancara

Jesslyn. (19 Mei 2012). Wawancara pribadi.


(25)

DAFTAR PUSTAKA

Handinoto. (2009). Perkembangan Arsitektur Tionghoa di Indonesia. Dalam A. H. Kustara (Ed.). Peranakan Tionghoa Indonesia : Sebuah Perjalanan Budaya (hlm.70-92). Jakarta : PT Intisari Mediatama dan Komunitas-Lintas Budaya Indonesia.

Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT Rineka Cipta. Kutoyo, S., et al. (1999). Peninggalan Situs dan Bangunan Bercorak Islam di

Indonesia. Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya.

Lip, E., et.al. (1995). Orientasi & Manfaat Hong Sui (Tata Letak Bangunan

Berpotensi “Chi” Sejati) (B. Kamajaya, Penerjemah). Jakarta : PT. Central

Kumala Sakti.

Lip, E. (1995). Feng Shui Environments of Power, A Study of Chinese Architecture. London : Academy Group LTD.

Lou Qingxi 楼 庆 西. (2001). Zhongguo Chuantong Jianzhu 中 国 传 统 建 筑 (Bangunan Tradisional China). Beijing : Wuzhou Chuanbo Chubanshe.

Rahardian, P., et al. (2009). Sejarah Kebudayaan Indonesia : Arsitektur. Jakarta : Rajawali Pers.

Rochym, A. (1995). Mesjid dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia. Bandung : Angkasa.

Schimmel, A. (1970). Islamic Calligraphy. Belanda : Institute of Religious Iconography State University Groningen.

Sirojuddin, D. (1992). Seni Kaligrafi Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Toekio, S. (1987). Mengenal Ragam Hias Indonesia. Bandung : Angkasa.

Qurtuby, S. A. (2003). Arus Cina-Islam-Jawa. Jogjakarta : Inspeal Ahimsakarya Press.

Williams, C.A.S. (2006). Chinese Symbolism and Art Motifs. Singapore : Tuttle Publishing.


(26)

Universitas Kristen Maranatha Sumber dari Internet :

Bandung: Pembauran Khazanah Tionghoa dan Muslim. 29 Januari 2013.

Baki. (2007). Khat Kufi Murabba. Tanggal akses : 17 Mei 2013.

Hasil Wawancara

Jesslyn. (19 Mei 2012). Wawancara pribadi. Rustandi, T. (11 April 2013). Wawancara pribadi.


(1)

b. Ornamen di depan pintu masjid

Di depan pintu masjid, terdapat ornamen bernuansa Tionghoa yang terbuat dari kayu dan dicat berwarna merah dan kuning keemasan (lihat gambar 3). Warna merah melambangkan kemakmuran dan keberuntungan (Handinoto, 2009), sedangkan warna kuning melambangkan kekayaan (Williams, 2006). Menurut narasumber, warna merah dan kuning pada ornamen ini hanya digunakan sebagai adaptasi saja, bukan merupakan sebuah kepercayaan. Ornamen ini sendiri mengambil motif batu bata. Menurut Lip (1995), pada bangunan tradisional Tiongkok, batu bata sering digunakan untuk alas lantai. Tetapi pada masjid ini, ornamen hanya mengadaptasi bentuk dari batu bata (gambar 3.2.6).

Gambar 3 : Ornamen di depan pintu masjid.

c. Ornamen tulisan surat dalam Al-Quran yang menggunakan karakter Han. Ornamen bertulisan surat Al-Quran ini merupakan surat pendek yang bernama Surat Al-Ikhlas yang artinya memurnikan Keesaan Allah. Isi surat ini ditulis dengan menggunakan karakter Han (lihat gambar 4). Ornamen ini dipajang dengan menggunakan bingkai agar terlihat lebih artistik sekaligus untuk melindungi surat Al-Quran tersebut dari kotoran dan debu. Dari sini, sangat terlihat jelas perpaduan antara Islam dan budaya Tionghoa, yaitu melalui bentuk tulisan Al-Quran yang diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin.


(2)

8

Gambar 4 : Ornamen surat Al Ikhlas yang menggunakan karakter Han.

4. Warna masjid yang didominasi oleh warna merah.

Masjid Lautze 2 Bandung sangat didominasi oleh warna merah, seperti bangunan klenteng yang ada di Tiongkok (lihat gambar 5). Warna pada arsitektur Tionghoa mempunyai makna simbolis. Warna tertentu umumnya diberikan pada elemen yang spesifik pada bangunan. Meskipun banyak warna yang dapat digunakan, namun warna merah dan kuning keemasan paling banyak dipakai dalam arsitektur bergaya Tionghoa. Warna merah umumnya digunakan untuk dekorasi interior dan warna pilar. Menurut Handinoto (2009) warna merah menyimbolkan warna api dan darah, yang dihubungkan dengan dengan kemakmuran dan keberuntungan. Merah juga simbol kebajikan, kebenaran, dan ketulusan. Warna merah juga dihubungkan dengan arah, yaitu arah selatan, dan sesuatu yang positif. Itulah sebabnya warna merah sering dipakai dalam arsitektur Tionghoa (hlm.77).

Pada Masjid Lautze 2, warna merah yang digunakan hanya mengadaptasi dari budaya oranng Tionghoa, bukan sebagai simbol yang menjadi kepercayaan. Warna merah sengaja digunakan agar orang Tionghoa yang datang ke masjid ini merasa lebih nyaman dan familiar. Pemakaian warna merah pada masjid menunjukkan adanya akulturasi budaya.

5. Unsur kayu

Bangunan Masjid Lautze 2 sebagian besar banyak menggunakan unsur kayu, mulai dari penyangga sampai ornamen (lihat gambar 5). Hal ini menunjukkan bahwa unsur budaya Tionghoa sangat dominan pada masjid ini. Menurut Handinoto (2009), ukiran-ukiran serta konstruksi kayu adalah bagian dari struktur bangunan pada arsitektur Tionghoa. Hal tersebut menunjukkan bahwa orang Tionghoa sangat piawai dalam hal pertukangan kayu, sehingga dalam arsitekturnya, unsur kayu merupakan salah satu hal yang ditonjolkan (hlm.77).


(3)

Gambar 5 : Penggunaan warna merah dan unsur kayu yang dominan pada bangunan Masjid Lautze 2.

Simpulan

Arsitektur masjid di Indonesia telah mengalami perubahan dari masa ke masa. Dahulu, ketika pengaruh agama Hindu sangat kuat di Indonesia, arsitektur masjid-masjid juga tak luput dari pengaruh tersebut. Sekarang, sudah banyak masjid-masjid-masjid-masjid yang didirikan dengan arsitektur yang beragam, kebanyakan bentuk bangunannya bergaya Timur Tengah. Tetapi, di Bandung, terdapat masjid yang dalam arsitekturnya bergaya Tionghoa, yaitu Masjid Lautze 2. Adanya masjid ini tentu tidak lepas dari peranan Muslim Tionghoa di Indonesia. Pendiri masjid ini adalah Haji Karim Oey (Oey Tjeng Hien) yang merupakan seorang Muslim Tionghoa. Masjid yang lebih mirip klenteng ini, dalam arsitekturnya, memiliki beragam percampuran budaya, contohnya budaya Tionghoa, Islam, dan Arab. Berbagai percampuran budaya tersebut menyebabkan adanya akulturasi budaya dalam Masjid Lautze 2.

Setelah penulis menganalisa data yang didapat dari hasil observasi dan wawancara langsung dengan pengurus Masjid Lautze 2, penulis menemukan bahwa adanya akulturasi budaya dalam arsitektur bangunan masjid. Akulturasi tersebut disebabkan karena adanya unsur-unsur budaya yang terdapat pada arsitektur masjid, yaitu pada bagian atap kubah, mihrab, ornamen-ornamen, dan warna yang dominan dipakai dalam desain Masjid Lautze 2.

Unsur-unsur budaya yang terdapat pada arsitektur masjid ini adalah budaya Tionghoa, Arab, dan Islam. Unsur budaya Tionghoa dapat dilihat melalui bentuk masjid yang sengaja dibuat seperti klenteng. Selain itu, adanya beberapa ornamen yang terbuat dari kayu juga menguatkan unsur budaya Tionghoa dalam masjid, karena unsur kayu sangat populer digunakan dalam arsitektur bergaya Tionghoa. Tetapi, dalam hal pemakaian warna, pihak masjid tidak menjadikan warna-warna tersebut sebagai sebuah kepercayaan. Pemakaian warna merah pada interior dan eksterior Masjid


(4)

10

Lautze 2 hanya merupakan adaptasi dari warna yang sering digunakan pada arsitektur klenteng, agar orang Tionghoa yang datang ke tempat ini merasa lebih nyaman. Unsur budaya Islam dan Arab sendiri terlihat pada bagian atap kubah dan mihrab. Walaupun masjid ini terlihat seperti klenteng, namun pada bagian atapnya, tetap memakai kubah bawang sebagai penanda bahwa bangunan tersebut adalah masjid. Selain itu, mihrab di masjid ini langsung menghadap ke Masjidil Haram, Mekkah. Hal tersebut menjelaskan budaya Islam.

Dengan demikian, berdasarkan analisa tersebut, terbukti bahwa percampuran unsur-unsur budaya yang ada dalam arsitektur bangunan Masjid Lautze 2 menyebabkan akulturasi budaya.

Daftar Pustaka

Handinoto. (2009). Perkembangan Arsitektur Tionghoa di Indonesia. Dalam A. H. Kustara (Ed.). Peranakan Tionghoa Indonesia : Sebuah Perjalanan Budaya (hlm.70-92). Jakarta : PT Intisari Mediatama dan Komunitas-Lintas Budaya Indonesia.

Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Kutoyo, S., et al. (1999). Peninggalan Situs dan Bangunan Bercorak Islam di Indonesia. Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya.

Lip, E., et.al. (1995). Orientasi & Manfaat Hong Sui (Tata Letak Bangunan Berpotensi “Chi” Sejati) (B. Kamajaya, Penerjemah). Jakarta : PT. Central Kumala Sakti.

Lip, E. (1995). Feng Shui Environments of Power, A Study of Chinese Architecture. London : Academy Group LTD.

Lou Qingxi 楼 庆 西. (2001). Zhongguo Chuantong Jianzhu 中 国 传 统 建 筑 (Bangunan

Tradisional China). Beijing : Wuzhou Chuanbo Chubanshe.

Rahardian, P., et al. (2009). Sejarah Kebudayaan Indonesia : Arsitektur. Jakarta : Rajawali Pers.

Rochym, A. (1995). Mesjid dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia. Bandung : Angkasa. Toekio, S. (1987). Mengenal Ragam Hias Indonesia. Bandung : Angkasa.

Qurtuby, S. A. (2003). Arus Cina-Islam-Jawa. Jogjakarta : Inspeal Ahimsakarya Press. Williams, C.A.S. (2006). Chinese Symbolism and Art Motifs. Singapore : Tuttle

Publishing.

Hasil Wawancara

Jesslyn. (19 Mei 2012). Wawancara pribadi.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Handinoto. (2009). Perkembangan Arsitektur Tionghoa di Indonesia. Dalam A. H. Kustara (Ed.). Peranakan Tionghoa Indonesia : Sebuah Perjalanan Budaya (hlm.70-92). Jakarta : PT Intisari Mediatama dan Komunitas-Lintas Budaya Indonesia.

Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT Rineka Cipta. Kutoyo, S., et al. (1999). Peninggalan Situs dan Bangunan Bercorak Islam di

Indonesia. Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya.

Lip, E., et.al. (1995). Orientasi & Manfaat Hong Sui (Tata Letak Bangunan Berpotensi “Chi” Sejati) (B. Kamajaya, Penerjemah). Jakarta : PT. Central Kumala Sakti.

Lip, E. (1995). Feng Shui Environments of Power, A Study of Chinese Architecture. London : Academy Group LTD.

Lou Qingxi 楼 庆 西. (2001). Zhongguo Chuantong Jianzhu 中 国 传 统 建 筑 (Bangunan Tradisional China). Beijing : Wuzhou Chuanbo Chubanshe.

Rahardian, P., et al. (2009). Sejarah Kebudayaan Indonesia : Arsitektur. Jakarta : Rajawali Pers.

Rochym, A. (1995). Mesjid dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia. Bandung : Angkasa.

Schimmel, A. (1970). Islamic Calligraphy. Belanda : Institute of Religious Iconography State University Groningen.

Sirojuddin, D. (1992). Seni Kaligrafi Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Toekio, S. (1987). Mengenal Ragam Hias Indonesia. Bandung : Angkasa.

Qurtuby, S. A. (2003). Arus Cina-Islam-Jawa. Jogjakarta : Inspeal Ahimsakarya Press.

Williams, C.A.S. (2006). Chinese Symbolism and Art Motifs. Singapore : Tuttle Publishing.


(6)

36

Universitas Kristen Maranatha Sumber dari Internet :

Bandung: Pembauran Khazanah Tionghoa dan Muslim. 29 Januari 2013.

Baki. (2007). Khat Kufi Murabba. Tanggal akses : 17 Mei 2013.

Hasil Wawancara

Jesslyn. (19 Mei 2012). Wawancara pribadi. Rustandi, T. (11 April 2013). Wawancara pribadi.