Efektivitas Pelatihan Pengayaan Pengetahuan Implisit Penggunaan Pertanyaan Sekunder terhadap Pengetahuan Implisit Penggunaan Pertanyaan Sekunder Assessor Assessment Center Biro Konsultan X.

(1)

i   

center. Tentunya kemampuan assessor menjadi hal yang sangat kritis bagi Xketika melayani klien‐ kleinnya. Walaupun sudah diberikan berbagai pelatihan dan kegiatan pengembangan, namun  tetap  dirasakan adanya kebutuhan untuk mempertajam kemampuan assessornya sehingga bisa bekerja  lebih efektif. Penelitian ini   dirancang untuk mengembangkan aktivitas pengembangan yang bisa  memenuhi kebutuhan assessor maupun X  

  Sebelum penelitian ini, sudah dilaksanakan   penelitian lain yang fokus kepada front end  analysis dari assessor X. Dalam penelitian tersebut, disimpulkan bahwa walaupun assessor dapat  bekerja  secara  efektif    dalam  menjalankan  dalam  berbegai  tugas‐  tugasnya,  namun  sebagai  pewawancara terdapat beberapa bukti yang menunjukkan  bahwa   kemampuan mereka  tidak  sepenuhnya efektif. Selain itu, disimpulkan juga bahwa cara wawancara assessor masih kurang  efektif bila dibandingkan dengan cara administrator dalam memberikan wawancara. Perbedaan ini  lebih terlihat dalam konteks  pemberian secondary questions. Oleh karena  itu, adalah  tujuan  penelitian ini untuk mengembangkan cara untuk   mengembangkan kemampuan   memberikan  secondary  questions.  Mengingat  bahwa  proses  mengembangkan  kemampuan    wawancara  (khususnay dalam mengembangkan kemampuan menggali pertanyaan) pada dasarnya merupakan  pengembangan keahlian dalam bidang spesifik, maka  dihipotesiskan bahwa dengan memfokuskan  pada pengembangan pengetahuan implisit (tacit knowledge)   maka pada akhirnya kemampuan  wawancara akan meningkat.   Untuk mengembangkan kemampuan dalam secondary questions maka  penelitian ini fokus pada mekanisme dan akuisisi transfer tacit knowledge. Pendekatan experiential  learning diterapkan dalam memilih dan mengelola kegiatan dalam pelatihan ini.   Kegiatan yang  dilakukan dalam penelitian ini adalah diskusi, alih peran, modeling dan studi kasus.  

  Penelitian ini menggunakan desain pretest post test single group design  Peserta pelatihan  adalah sebanyak empat assessor. Mereka sudah memiliki pengalaman setidaknya tiga tahun dan  saat  ini  bekerja  sebagai  assessor.  Hasil  menunukkan  bahwa      pelatihan  mempengaruhi  pengembangan kemampuan  secondary questions (P value=0,0625, α= 0,1). Secara umum nilai rating  untuk lima bentuk secondary questions  meningkat , namun hanya dua bentuk yang mengalami  peningkatan signifikan (P value=0,0625,  α= 0,1), yaitu kemampuan untuk memberikan secondary  questions yang relevan dengan kompetensi dan kemampuan dalam   memanfaatkan dugaan awal  untuk menjadi pertanyaan‐pertanyaan yang termasuk dalam secondary questions.   Bentuk‐bentuk  lain dari secondary questions   juga meningkat tapi tidak signifikan. ( kemampuan untuk memberikan  pertanyaan  spesifiki,    bertanya  berdasarkan  pertanyaan  yang  netral  dan  kemampuan  dalam  memberikan pertanyaan berdasarkan pertimbangan level managerial assessee). 

Kata  Kunci  :    secondary  questions,  akuisisi  tacit  knowledge,    transfer    tacit  knowledge,    pengembangan pelatihan, assessor assessment center. 

 


(2)

ii   

Naturally,  assessor  ability is very critical  for Solusi to  serves its clients.  Although  X already given  various  traing and assessor development activity, it still  needs sharpen its assessor ability to work  effectively.  This research is designed to develop developmental activity that suits assessors and X  needs.   

  Prior to this research,   there was another research that focus on front end analysis   of Xs  Assessor. It has been concluded   that generally assessor could effectively   carry out their various  duties. But  as an interviewer, there are evidence that their skills is not very effective. Furthermore, it  is concluded that assessor interview skills is less effective than administrator interview skills,  especially in giving secondary questions. Therefore it is the aim of this research to develop methods  to develop secondary questions.    Given  that   developing interviewing  skills (especially giving   secondary questions) is similar to expertise development, it is hypothesised that  focusing on tacit  knowledge development will eventually develop interview skills.   To develop secondary question’s  tacit knowledge, this research focus on acquisition and tacit knowledge transfer mechanism .  Experiential learning approach employed to choose and arrange training methods.   Activities that  would be carried out on the research is  using discussion, role playing, modelling and case studies.     This research uses pre‐test post test single group design.  There are 4 (four) assessor subjects.  The subjects has at least three years experience as assessor and currently working as assessor.   Results  shows  that  training  influences  development  of  secondary  questions  giving  skills  (P  value=0,0625, α= 0,1) . Overall,  ratings of all five form of secondary questions is increasing . But  only  two forms that increase significantly (P value= 0,0625 ,  α=0,1), which are abilities to ask relevant  secondary questions on assessee’s competencies and on abilities to develop secondary questions  based on prior assumption on assessee effectively.   Other forms of secondary questions is increasing  but not significantly ( secondary questions such as ability to ask specific questions,   ability to ask  neutrals questions, and ability to giving questions that consider assessee’s managerial levels. )   

Key Words:  secondary questions, tacit knowledge acquisition ,  transfer of tacit knowledge,   training  development, assessment center’s assessor. 

   


(3)

iii   

Lembar Judul Lembar Pengesahan

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ...………... iii

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL& DIAGRAM... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah... 21

1.3 Maksud ,Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 22

1.3.1 Maksud Penelitian... 22

1.3.2 Tujuan Penelitian... 22

1.3.3 Kegunaan Penelitian... 22

1.4 Metodologi... 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 26 2.1 Kerangka Teoritis... 26

2.1.1 Tacit Knowledge/Pengetahuan implicit…... 26

2.1.1.1Tacit Knowledge dalam Perspektif Psikologi Kognitif ( Sternberg)... 28

2.1.1.1.1 Definisi Tacit knowledge menurut Sternberg... 28

2.1.1.1.2 Tacit knowledge dan inteligensi... 31

2.1.1.1.3 Tacit knowledge dan unjuk kerja... 33


(4)

iv   

2.1.2.2 Jenis Pertanyaan ... 48

2.1.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Wawancara dalam Konteks Wawancara untuk Seleksi ,Rekruitment atau Penempatan... 51

2.1.3 Assessment Center... 58

2.1.4 Experiential Learning... 61

2.1.5 Evaluasi Progam Pelatihan... 64

2.2 Kerangka Pikir... 65

2.3 Asumsi-asumsi... 82

2.4 Hipotesis... 85

BAB III METODE DAN SUBYEK PENELITIAN 86 3.1 Rancangan Penelitian... 86

3.2 Variabel Penelitian... 88

3.2.1 Definisi Konseptual... 88

3.2.2 Definisi Operasional... 88

3.3 Alat ukur... 89

3.3.1 Alat Ukur Ketepatan Penggunaan Pertanyaan Sekunder... 89

3.3.2 Data penunjang... 96

3.4 Subyek Penelitian... 96

3.5 Validitas dan Reliabilitas... 97

3.5.1 Validitas... 97

3.5.2 Reliabilitas... 97

3.6 Metode analisis... 97

3.7 Modul... 101


(5)

v   

4.1 Hasil... 115

4.1.1 Profil Subyek Penelitian ... 115

4.1.2 Hasil Perbandingan Pre test dengan Post test... 117

4.1.3 Hasil Perbandingan Pre test dengan Post test pada Bentuk Pertanyaan Sekunder dengan Fokus Kepada Spesifikasi Pertanyaan. ... 120

4.1.4 Hasil Perbandingan Pre test dengan Post test pada Bentuk Pertanyaan Sekunder Merumuskan Pertanyaan yang Relevan dalam Menggali Kompetensi... 122

4.1.5 Hasil Perbandingan Pre test dengan Post test pada Bentuk Pertanyaan Sekunder Pertanyaan yang Mempertimbangkan Level Jabatan Job Target dari Kegiatan Assessment Center ... 125

4.1.6 Hasil Perbandingan Pre test dengan Post test pada Bentuk Pertanyaan Sekunder Penggunaan Dugaan Awal untuk Menyusun Pertanyaan... 127

4.1.7 Hasil Perbandingan Pre test dengan Post test pada Pertanyaan Sekunder dengan Merumuskan Pertanyaan yang Netral... 129

4.1.8 Hasil Evaluasi Pelatihan ... 131

4.1.9 Hasil Kesimpulan Pelatihan... 132

4.2 Pembahasan ... 133

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 156

5.1 Kesimpulan... 156

5.2 Saran... 157


(6)

vi   

Tabel 3.7.2 Tabel Metode & Proporsi Waktu Pelatihan... 104

Tabel4.1.1 Pendidikan & Pengalaman Kerja Peserta ... 115

Tabel 4.1.3 Rata-rata Rating Setiap Peserta ... 119

Tabel 4.1.4 Tabel Persentase Rata-rata Perubahan Rating Setiap Peserta... 119

Tabel 4.1.8.1 Tabel Rata-rata Rating Evaluasi Pelatihan untuk Setiap Sesi... 131

Tabel 4.1.8.2 tabel Rata-rata Rating Evaluasi Pelatihan... 132

Diagram 4.1.9.1 Pie Chart Proporsi Pembahasan Topik Tacit Knowledge Pertanyaan Sekunder yang terbahas & dirumuskan... 133  


(7)

vii   

Materi Pre test Materi Post test

Panduan Penilaian Alat Ukur Evaluasi hasil Pelatihan Materi Pelatihan

Sesi 1

Sesi 2-Lembar Evaluasi Wawancara

Sesi 3- Materi Simulasi Wawancara –untuk Nara Sumber Sesi 3- Materi Simulasi Wawancara- untuk role player Sesi 4- Materi Simulasi Wawancara- untuk assessor Sesi 4- Materi Simulasi Wawancara- untuk role player Sesi 4a- Materi Simulasi Wawancara- untuk assessor Sesi 4a- Materi Simulasi Wawancara- untuk role player

Kesimpulan Perumusan Tacit Knowledge dalam Pertanyaan Sekunder


(8)

Penelitian mengenai Efektifitas

Pelatihan Pengayaan Pengetahuan ImplisitPenggunaan Pertanyaan Sekunder Terhadap Pengetahuan Implisit Penggunaan Pertanyaan Sekunder

Assessor Assessment Center Biro Konsultan X

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dalam konsep talent management adalah penting untuk mendapatkan sumber

daya manusia yang andal serta ditempatkannya sumber daya manusia tersebut secara tepat. Salah satu instrumen yang digunakan untuk menilai kompetensi sumber daya manusia adalah assessment center. Berdasarkan pedoman pelaksanaan assessment yang ditetapkan oleh International Task Force on Assessment center Guidelines, maka hal yang didefinisikan sebagai assessment center adalah :

Suatu evaluasi perilaku yang terstandarisasi dimana evaluasi tersebut didasarkan pada berbagai input . Beberapa tehnik dan observer terlatih digunakan. Penilaian atas perilaku ditentukan terutama dari simulasi yang dirancang secara khusus. Penilaian akan dikumpulkan dalam suatu pertemuan diantara assessor atau melalui proses integrasi statistik. Dalam diskusi integrasi,


(9)

gambaran perilaku yang komprehensif dan rating akan dikumpulkan. Diskusi akan menghasilkan evaluasi unjuk kerja dari assessee pada dimensi & kompetensi atau variabel yang akan dinilai oleh assessment center. Kombinasi metode statistik harus divalidasi sesuai dengan standart profesional.

Di Indonesia ,assessment center mulai digunakan sejak tahun 1990. Sejak saat itu, metode ini cukup cepat berkembang dan penggunaannya semakin hari

menjadi metode yang umum digunakan. (Kongres Nasional Assessment center

II, 2007).

Pada dasarnya metode assessment center mengandalkan observasi dan wawancara. Data bisa didapatkan berupa observasi atas perilaku yang ditampilkan dalam suatu simulasi (misalnya bagaimana menghadapi pelanggan yang marah dalam simulasi customer interaction), tulisan yang dibuat sebagai respon atas masalah yang disajikan secara tertulis (misalnya bagaimana menghadapi berbagai persoalan yang umum dihadapi manajer dan tersaji dalam bentuk memo dan surat), serta dalam bentuk hasil wawancara (baik untuk mengklarifikasi hasil simulasi maupun untuk mendapatkan sampel kompetensi yang dimunculkan dalam kehidupan sehari-hari). Hasil temuan-temuan ini akan diproses oleh assessor (orang yang bertugas melakukan pengamatan dan penilaian peserta) dengan cara melakukan mengelompokkan sampel perilaku tersebut dalam kelompok kompetensi-kompetensi yang digunakan dalam assessment tersebut. Selanjutnya, akan


(10)

dilakukan assessor meeting dimana data yang ada akan diungkapkan dan diintegrasikan dengan hasil pengamatan assessor-assessor lainnya. Dalam kesempatan tersebut, juga akan ditentukan rating dan kesimpulan mengenai bentuk kompetensi yang ditampilkan assesee (peserta assessment center yang dinilai). Kegiatan assessor meeting akan dipandu dan dipimpin oleh assessor yang lebih berpengalaman ( administrator). Walaupun kesimpulan dari assessor meeting harus merupakan kesepakatan bersama namun biasanya administrator akan mengambil peran yang lebih dominan dalam menentukan suatu kesimpulan.

Salah satu pelopor pengguna assessment center adalah PT Y. Sejak awal 1990-an PT Y sudah mulai melakukan studi banding ke berbagai penyelenggara assessment center dan pada akhirnya mendirikan unit penyelenggara assessment center yang saat ini dikenal sebagai unit Y (Human Resources Assessment Service). (Kongres Nasional Assessment center II, 2007). Sampai saat inipun, penggunaan assessment center memegang peranan penting dalam mendukung pencapaian sasaran bisnis PT Y. Apalagi sejak 2010, PT Y melakukan perubahan portfolio bisnis dari bisnis penyedia infrastruktur dan jasa telekomunikasi menjadi jasa telekomunikasi yang terintegrasi. Dalam perubahan bisnis seperti ini, pemetaan kompetensi SDM memegang peranan penting dalam menentukan strategi pengembangan dan pengelolaan SDM yang bisa mendukung perubahan portfolio bisnis. (Syam, 2010)


(11)

Selama ini, pihak Y lebih mengandalkan tenaga assessor yang bukan merupakan pegawai internal PT Y. Alasan utama penggunaan tenaga assessor dari eksternal PT Y adalah karena tingginya jumlah assessment yang harus dilakukan, sehingga dinilai lebih realistis bila ketersediaan assessor di alih dayakan pada pihak lain. Selain itu, keberadaan assessor eksternal diharapkan bisa lebih memastikan penilaian yang netral, tanpa dipengaruhi kepentingan-kepentingan yang mungkin timbul. Saat ini terdapat tiga vendor yang menyediakan dan mengelola assessor. Biro X merupakan salah satu dari tiga vendor tersebut dan merupakan vendor yang menjalin kerjasama paling awal diantara ketiga vendor tersebut . Sedangkan bagi Biro X, PT Y merupakan pelanggan utama dari Biro tersebut. (Wawancara dengan Manajer PT Y).

Sebagai lembaga penyedia jasa, Biro X berupaya mengedepankan kepuasan pelanggan. Hal ini juga sejalan dengan nilai-nilai yang dikedepankan Biro X yaitu kepuasan pelanggan dan kualitas hasil kerja. Biro X mencapai hal tersebut melalui pengawasan dan pengembangan assessor yang bergabung dengannya. Laporan hasil assessment yang dikumpulkan akan di edit dan diperiksa (walaupun pihak Y juga akan memeriksa dan mengedit laporan yang ia terima dari vendor). Assessor yang bekerja tidak sesuai harapan akan ditegur (bila bertindak kurang profesional) dan bahkan bisa tidak lagi diajak bergabung. Tidak heran bila salah satu prestasi yang berhasil dicapai adalah menjadi vendor pertama yang berhasil menekan jumlah laporan yang


(12)

terlambat sampai ke titik nol. (padahal pada awalnya hal ini merupakan masalah menahun dan terjadi pada seluruh vendor). (hasil wawancara dengan pengelola X).

Walaupun penyediaan assessor merupakan tanggung jawab vendor, namun pengembangan assessor merupakan tanggung jawab bersama antara Y dan pihak vendor. Sejak proses seleksipun, baik pihak Y dan vendor sudah saling bekerjasama. Ditetapkan bahwa untuk bergabung menjadi assessor , minimal harus lulus dari S1 Psikolog. Pengalaman kerja dalam bidang Psikologi Industri menjadi nilai tambah bagi kandidat. Adapun bentuk kegiatan pengembangan awal dari calon assessor adalah dengan pelatihan yang dilakukan oleh Y. Dalam pelatihan tersebut, materi yang diberikan adalah pengenalan assessment center, pengenalan kompetensi, manajerial level, kode etik assessor, pengenalan proses feedback dan praktikum pelaksanaan assessment center. Dalam tahap praktikum dari pelatihan tersebut, assessor akan mengobservasi, mencatat, mengklasifikasi, melakukan assessor meeting dan menulis laporan. Mereka juga akan mendapatkan umpan balik dari para fasilitator yang merupkan manajer dan administrator . (Materi Pelatihan Assessor , PT Y 2011).

Kegiatan pengembangan berikutnya adalah tahap magang. Dalam tahap ini, peran vendor seperi Biro X lebih dominan. Selama proses ini, calon assessor harus mengikuti minimal tiga kali kegiatan assessment center. Awalnya mereka hanya bisa mengobservasi saja kegiatan yang berlangsung, namun


(13)

secara bertahap mereka mendapatkan kesempatan untuk menjalankan berbagai tugas assessor. Mereka juga mendapatkan umpan balik dari rekan-rekan assessor maupun administrator (administrator adalah administrator yang bertanggung jawab atas proses pengambilan data dan terutama dalam memimpin assessor meeting).

Secara berkala baik pihak Y maupun Biro X juga melakukan berbagai kegiatan pengembangan assessor yang dilakukan secara terpisah. Misalnya dengan melaksanakan lokakarya maupun pelatihan mengenai CBI (competence based interview), diskusi mengenai makna kompetensi, pelatihan dan umpan balik mengenai laporan tertulis. Dalam Biro X, secara informal, umpan balik sering diberikan terutama kepada assessor yang masih baru. Penyebaran informasi dan alat bantu (misalnya panduan untuk menjadi role player simulasi tertentu) untuk melakukan assessment center melalui e mail pun sering dilakukan. Diskusi antar assessor mengenai best practices seringkali terjadi secara informal.

Walaupun sudah berusaha menjaga kualitas dan mengembangkan kompetensi assessor, namun ternyata realitanya adalah tidak semua assessor ternyata memiliki kompetensi yang memadai. Berdasarkan pengalaman yang dilalui Biro X sejak pendiriannya, walaupun assessor sudah diberikan pelatihan dan umpan balik seringkali mereka tetap mengalami beberapa kendala. Misalnya ketika melakukan wawancara, assessor belum berhasil mendapatkan informasi yang lengkap. Sedangkan dari pihak pengguna hasil dari assessment center,


(14)

permasalahan yang terkait dengan wawancara lebih sering muncul dalam bentuk kurang kritisnya assessor sebagai pewawancara dalam mensikapi informasi yang diberikan assessee. Misalkan terjadi beberapa kasus dimana assessee yang menampilkan dirinya sebagai seseorang yang pintar bisa ‘mempesona’ assessor sehingga penilaian-penilaian rating assessment center menjadi lebih tinggi daripada kinerja nyata di lapangan. Dalam kasus-kasus ini, tampaknya assessor belum berhasil melakukan wawancara secara lebih kritis dan belum berhasil mendapatkan data yang lebih akurat.

Area persoalan lain yang juga dianggap masih perlu ditingkatkan oleh Biro X maupun pihak Y adalah mengenai kejelasan penulisan laporan. Dalam beberapa kasus, baik pihak Y maupun Biro X masih menemukan laporan assessment yang kurang jelas. Misalnya suatu kompetensi mendapatkan rating 2 (di bawah kompetensi yang dipersyaratkan) namun dalam mendeskripsikan kompetensi assessee tersebut, penggunaan kata dan kalimat yang digunakan seolah lebih menggambarkan kekuatan assessee tersebut.(hasil wawancara pengelola Biro X dan manager assessment Y). Laporan seperti ini pada akhirnya harus diedit dan diperbaiki terlebih dahulu sebelum diserahkan kepada departemen atau klien.

Untuk lebih memastikan apa yang sebenarnya harus menjadi area pengembangan dari assessor maka dilakukanlah front end analysis kepada assessor Biro X. Dalam front end analysis, dilakukan analisa pada karateristik tugas, organisasi dan analisis karateristik peserta ( Wickens , 2004).


(15)

Berdasarkan analisis tugas maka hal yang bisa disimpulkan adalah terdapat berbagai pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan assessor untuk bisa menjalankan tugas dengan efektif. Mulai yang sifatnya sangat teknis (mengetik atau menulis dengan cepat) maupun yang menuntut kemampuan yang cukup rumit. (misalnya kemampuan dalam menyimpulkan perilaku assessee dalam konteks kompetensi). Ditemukan juga bahwa dalam proses wawancara lah, assessor dituntut untuk benar-benar bertindak secara mandiri. Dalam proses lain, masih ada peranan rekan kerja maupun administrator yang dapat mendukung. Misalnya assessor memang dituntut menuliskannya sendiri namun hasilnya masih akan diedit oleh administrator. Selain itu, pada beberapa assessment pada posisi manajerial tertentu, laporan yang disusun ternyata sudah dibantu aplikasi komputer sehingga assessor tidak lagi perlu menyusun laporan secara manual. (Sidharta Tedja, 2011)

Berdasarkan analisis organisasi, disimpulkan bahwa baik Y sebagai pengguna jasa assessor maupun Biro X sebagai penyedia jasa assessor sama-sama menekankan pentingnya pengembangan assessor dan sudah melakukan kegiatan pengembangan assessor. Namun demikian, ditemukan bahwa proses pengembangan assessor ini belum dilakukan secara sistematis. Kegiatan pengembangan assessor memang sudah dijadwalkan untuk dilaksanakan secara berkala namun pemilihan topik kegiatan pengembangan lebih didasarkan kepada temuan di lapangan (misalnya keluhan yang didapatkan), ataupun hasil diskusi baik dari pihak pengguna maupun pengelola serta usulan


(16)

dari assessor. Belum pernah dilakukan identifikasi area pengembangan assessor yang lebih sistematis. (Sidharta Tedja, 2011)

Hasil analisis karateristik peserta menggambarkan lebih mendetail keunggulan dan kelemahan peserta. Proses analisa dilakukan dengan mempelajari curriculum vitae peserta sehingga didapatkan gambaran pengalaman peserta. Selain itu, juga dilakukan wawancara baik dengan assessor, administrator, pengelola Biro X maupun pihak Y. Temuan dari hasil wawancara tersebut kemudian diuji silang dengan mempelajari transkrip dan rekaman audio wawancara assessor selama mengumpulkan data. Hal-hal yang bisa disimpulkan dari proses tersebut adalah:

· Berdasarkan hasil temuan dari curriculum vitae ditemukan bahwa dari sisi latar belakang pendidikan, seluruh assessor merupakan lulusan S1 Psikologi. Bahkan ada assessor yang juga melengkapi pendidikanya dengan S2 Manajemen. Sedangkan dari sisi pengalaman kerja, sebagian besar (83,33%) sudah menjalani pekerjaan sebagai assessor free lance selama tiga tahun. Dengan demikian maka dari sisi pengalaman kerja , sebagian besar sudah memiliki pengalaman yang cukup memadai.

· Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak Y, pengelola Biro X dan


(17)

o Pengelola X menilai bahwa hal yang perlu dikembangkan adalah wawasan mengenai ilmu manajemen ,bisnis serta mengenali bentuk aplikasi dari kompetensi (sebagai kriteria pengukuran) . Hal ini berdampak pada penulisan laporan dan proses wawancara.

o Assessor belum sepenuhnya mampu dengan cepat menganalisa

dan menilai kelengkapan informasi yang didapatkan khususnya selama proses pengumpulan informasi melalui observasi & wawancara. Hal ini menjadi kritis khususnya dalam situasi wawancara, dimana assessor harus segera menilai apakah informasi yang didapatkan sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan dan apakah perlu segera bertanya dan menggali informasi tambahan.

o Ternyata assessor cukup mampu dalam berrelasi dengan

assessee . Mereka cukup terampil dalam membina hubungan baik sehingga pada akhirnya assessee mau bekerjasama. Kalaupun harus berhadapan dengan assessee yang sikapnya kurang kooperatif, umumnya assessor masih mampu menghadapinya dengan luwes.

· Berdasarkan hasil transkrip dan rekaman wawancara ditemukan bahwa:


(18)

o Berdasarkan pola dalam memberikan pertanyaan serta kelengkapan informasi yang dikumpulkan, ternyata kita bisa membagi assessor menjadi tiga kelompok berdasarkan pengalamannya. Kelompok pertama adalah mereka yang sudah lama tidak aktif (sehingga belum banyak mengumpulkan pengalaman) atau baru bergabung. (11,11%) Kelompok kedua adalah assessor yang aktif terlibat dalam assessment center dan kelompok ketiga adalah assessor yang berpengalaman dan menjadi administrator (38,88%) . Sebagian besar assessor ( 50%) yang ada di lingkungan X termasuk dalam kelompok kedua, yaitu assessor aktif.

o Kelompok pertama ( mereka yang lama tidak aktif atau baru bergabung), masih sering melakukan wawancara yang kurang efektif dan efisien. Misalnya mereka justru menggali pertanyaan yang tidak relevan dengan kompetensi yang diajukan dan tidak melakukan penggalian informasi saat informasi yang diberikan masih belum cukup jelas.(dilakukan oleh 100% assessor kelompok ini).

o Sebagian besar assessor (kelompok assessor aktif dan

administrator) sudah mampu memberikan pertanyaan-pertanyaan pembuka dengan tepat, sehingga topik informasi


(19)

yang harus digali sudah berhasil didapatkan.(100% administrator dan 88,89% assessor aktif).

o Perbedaan antara kelompok administrator dan assessor aktif lebih terlihat ketika mereka harus menggali informasi (pertanyaan sekunder). Baik administrator dan assessor aktif sama-sama berupaya menggali jawaban terutama ketika menemui jawaban yang tidak lazim atau kurang jelas. Namun assessor aktif kadang masih tidak menggali lebih jauh jawaban atau memberiakan pertanyaan yang kurang relevan dengan kompetensi yang hendak digali. (66,67% assessor aktif). Perbedaan lain adalah administrator umumnya tidak hanya fokus kepada apa yang menjadi keputusan peserta tapi mengapa keputusan tersebut diambil (100% administrator).

Bila dibandingkan antara assessor pemula dengan

administrator, ditemukan bahwa adminsitrator hampir tiga kali lipat lebih banyak memberikan pertanyaan sekunder.

o Perbedaan lain antara kelompok administrator dan assessor aktif adalah ketika mereka bertanya mengenai implikasi atau dampak dari keputusan atau menggali kemungkinan keputusan assessee dalam skenario yang tidak terbahas secara jelas oleh assessee (oleh para assessor pada Biro X, hal ini diistilahkan sebagai testing the limit). Tindakan ini dilakukan oleh 100%


(20)

administrator, tapi belum ada assessor aktif yang melakukan dengan cara administrator . Assessor aktif lebih jarang melakukan hal ini, atau ada juga assessor yang justru selalu bertanya tentang hal yang harus diantisipasi. (45,45% oleh assessor aktif).

o Dalam memformulasikan pertanyaan, administrator mampu

dengan cukup beragam memformulasikan pertanyaan yang ia maksud. (dilakukan 100% administrator dan 22,22% assessor aktif). Namun sebagian besar assessor aktif (66,67% ) masih memberikan pertanyaan yang bisa memancing jawaban yang normatif khususnya ketika menggali kompetensi yang berkaitan dengan compliance dan risk management. (Sidharta Tedja, 2011)

Secara singkat, maka hal yang bisa disimpulkan dari front end analysis mengenai kebutuhan pengembangan assessor Biro X (khususnya assessor aktif) adalah:

· Secara umum para assessor umumnya masih mampu menjalankan

tugas-tugasnya dengan cukup efektif.

· Kemampuan assessor yang dinilai (baik oleh pengelola X maupun pihak Y) masih perlu dikembangkan adalah dalam hal ketajaman melakukan wawancara dan menulis laporan assessment.


(21)

· Dari berbagai tahapan tugas yang dilakukan assessor, wawancara merupakan tahap dimana assessor harus menyelesaikan tugas tersebut dengan mandiri. Pada tahap lain, masih ada peluang bahwa pihak lain bisa mengkoreksi atau membantu assessor (misalnya saat menuliskan laporan, bisa dibantu dengan aplikasi komputer atau masih bisa dikoreksi oleh administrator yang mengedit laporan tersebut).

· Dari berbagai ketrampilan dan kemampuan yang terkait dengan

kemampuan wawancara, kemampuan assessor dalam menggali

pertanyaan (memberikan pertanyaan sekunder) merupakan

kemampuan yang perlu ditingkatkan.

Ternyata temuan di atas juga merupakan gambaran bahwa mengenai perbedaan pewawancara yang pengalaman dan yang kurang berpengalaman. Perbedaan antara pewawancara yang berpengalaman dan yang tidak berpengalaman diantaranya dijelaskan oleh hasil temuan Cynthia Kay Stevens (1998) (Gubrium, 2002) menemukan bahwa pewawancara yang terlatih dan berpengalaman lebih sering memberikan pertanyaan yang terfokus pada topik tertentu, lebih sedikit bertanya yang tidak relevan dan mampu mengembangkan pertanyaan yang untuk memastikan informasi yang didapatkan dari interviewee. Jack Howard & Gerald Ferris (1996) (Gubrium, 2002) yang menemukan bahwa pewawancara terlatih lebih mampu menilai secara kritis sikap promosi diri dari interviewee. Mereka akan menyesuaikan


(22)

penilaian terhadap interviewee dan tidak mudah ‘diperdaya’ oleh perilaku

promosi-diri. Hal ini karena terkait pelatihan- mereka lebih

mampu mengenali faktor-faktor yg tidak relevan dalam pengambilan keputusan dan mengurangi bias. Dalam metode BDI (yang menjadi dasar cara-cara melakukan wawancara dalam assessment center) disebutkan bahwa terdapat suatu taksonomi atau klasifikasi pertanyaan mulai dari penggalian informasi sederhana sampai yang bisa menggali informasi dengan lebih mendalam. Menurut para penulis BDI ( Janz, 1986) , pewawancara yang tidak menguasai BDI seringkali berhenti pada pertanyaan faktual saja (misalnya misalnya data biografis, ketrampilan yang dimiliki, serta pengalaman atau aktivitas kerja sang interviewee) namun tidak memanfaatkan fakta awal yang dikumpulkan untuk mengumpulkan pertanyaan yang lebih mendalami yaitu bertanya tentang perilaku yang ditampilkan di masa lampau.(behavior description).

Perbedaan kemampuan ini juga menunjukkan bahwa tidaklah mudah bagi assessor yang berpengalaman untuk mentransfer semua ketrampilan dan pengetahuannya dalam melakukan wawancara. Manual dan pelatihan bisa menyampaikan tahap-tahap wawancara atau pertanyaan kunci yang harus dijawab. Namun tetap terdapat beberapa aspek pengetahuan dan ketrampilan yang lebih mudah didapatkan dari pengalaman. (misalnya bagaimana cara memilih pertanyaan sehingga bisa mempercepat wawancara tanpa mengurangi kualitas wawancara). Ketrampilan dan pengetahuan inipun tidak mudah


(23)

untuk dikomunikasikan begitu saja. Terkadang bagi administrator tidak mudah untuk menjelaskan cara-cara yang biasa ia gunakan. Misalnya berdasarkan hasil wawancara, seorang administrator menggambarkan ketika dalam proses wawancara ia bisa mengenali bahwa proses wawancara sudah bisa berganti topik ke kompetensi lainnya bila di benaknya sudah ‘terbayang ‘secara visual gambaran dari perilaku kompetensi assessee.

Pengetahuan dan ketrampilan yang tidak bisa dijelaskan secara eksplisit merupakan konsep pengetahuan implist atau lebih popular dikenal sebagai tacit knowledge. Sternberg menjelaskan bahwa yang disebut tacit knowledge didefinisikan sebagai pengetahuan yang berorientasi pada tindakan, didapatkan tanpa bantuan orang lain dan memungkinkan seseorang untuk mencapai tujuan yang spesifik. (Matthew, Cianciolo, Sternberg,2005) . Sedangkan dalam kesempatan yang berbeda, Sternberg lebih menjelaskan konsep tacit knowledge dari segi bentuknya. Ia menjelaskan bahwa tacit knowledge didefinisikan sebagai sebuah rangkaian kompleks dari pernyataan kondisi-aksi (misalnya muncul dalam bentuk rangkaian pasangan if-then) yang berada dalam bidang yang spesifik serta lebih merelfeksikan “knowing how” daripada “ knowing that”. Pada dasarnya terdapat tiga ciri utama dari tacit knowledge.


(24)

· Pertama adalah tacit knowledge didapatkan dengan sedikit dukungan dari orang lain (maksudnya adalah bahwa tacit knowledge tidak didapatkan melalui pelatihan atau instruksi).

· Kedua adalah tacit knowledge merupakan procedural

knowledge (walaupun tidak berarti semua procedural

knowledge termasuk tacit knowledge). Sternberg menjelaskan bahwa tacit knowledge lebih berupa know-how daripada know-what. Seringkali kalau berhasil dijabarkan tacit

knowledge akan muncul dalam bentuk rumusan if-then

misalnya bila X terjadi maka Y harus dilakukan. Dalam situasi wawancara rumusan if-then dari tacit knowledge misalnya: BILA dalam situasi wawancara umum assessee memberikan jawaban-jawaban yang secara teoritis atau normatif benar namun tidak memberikan gambaran apa yang ia lakukan MAKA mintalah assessee untuk memberikan contoh peristiwa spesifik terakhir dimana suatu kompetensi diperlihatkan. Selain itu, tacit knowledge muncul dalam bentuk procedural knowledge dalam lingkup yang spesifik. Suatu tacit knowledge

umumnya berkaitan dengan ketrampilan khusus. Tacit

knowledge dalam suatu bidang tidaklah mudah diterapkan begitu saja dalam bidang yang berbeda. Contohnya : tacit


(25)

knowledge seorang tukang roti tidaklah sama dengan tacit knowledge seorang tukang kue .

· Ketiga tacit knowledge memiliki relevansi dengan tujuan dan kepentingan individu tersebut. Pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman praktis pibadi akan lebih bermanfaat dalam mencapai tujuan-tujuannya (atau dalam menyelesaikan persoalan praktis yang ia hadapi) daripada yang didasarkan pada pengetahuan orang lain dan bersifat terlalu generik dan abstrak. (Sternberg, 2002)

Dalam konteks assesor , kita akan membicarakan tacit knowledge dalam dimensi kognisi dimana dalam menjalankan tugas-tugasnya para assessor menggunakan model, skema berpikir yang sudah tertanam. (dalam bahasa sehari-hari mirip dengan konsep intuisi). Misalnya ketika assessor melakukan wawancara sebenarnya mereka menggunakan skema berpikir dalam mengenali apakah informasi yang mereka dapatkan sudah cukup lengkap untuk menggambarkan suatu kompetensi . Skema berpikir ini tidak mudah diterjemahkan secara eksplisit karena penggunaannya spesifik bergantung pada konteks situasi wawancara yang terjadi. Mereka juga memiliki skema baik mengenai informasi yang masih dibutuhkan, pertanyaan yang harus diajukan untuk melengkapinya dan mengenai cara-cara tertentu untuk mendapatkan kerjasama dari peserta yang kurang kooperatif misalnya.


(26)

Bila kita kembali ke pembahasan di atas mengenai bagaimana suatu pengetahuan dan ketrampilan yang sifatnya implisit perlu ditransfer oleh mereka yang lebih ahli , maka bahasan yang harus kita bicarakan adalah bagaimana tacit knowledge bisa didapatkan . Dalam konteks bahasan mengenai pemrosesan informasi menurut Sternberg, dalam akusisi suatu informasi (termasuk know how), terdapat tiga aspek yaitu selective encoding, selective combination dan selective comparison (Hedlund & Antonakis & Sternberg, 2002). Tiga aspek inilah yang juga yang menjadi dasar dari pemerolehan tacit knowledge. . Selective encoding meliputi ekstraksi informasi yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi dan tujuan praktis yang ingin dicapai. Selective combination meliputi penggabungan informasi sehingga didapatkan makna dan pola hubungan baru . Selanjutnya dengan selective comparison maka apa yang didapatkan akan dibandingkan dengan tacit knowledge yang pernah didapatkan. Dengan kata lain, ketika seseorang ingin memperkaya tacit knowledge ataupun harus berhadapan dengan situasi atau permasalahan yang baru maka ketiga aspek akuisisi tacit knowledge akan digunakan sehingga pada akhirnya terbentuk tacit knowledge yang lebih lengkap atau semain kaya.

Hal yang menarik adalah walaupun tacit knowledge pada dasarnya tidak mudah dinyatakan secara eksplisit namun tetap mungkin untuk ditransfer/dialihkan kepada orang lain. Matthew, Cianciolo, dan Sternberg


(27)

yang tidak mudah dinyatakan maka bentuk transfer tacit knowledge tidak mungkin dilakukan secara eksplisit seperti misalnya melalui kuliah. Cara yang lebih baik adalah dengan memfasilitasi proses transfer tacit knowledge -bukan membagikan isi dari tacit knowledge begitu saja. Kuncinya adalah dengan memberdayakan ketiga aspek akusisi informasi yaitu selective encoding, selective combination dan selective encoding

Sternberg berpendapat bahwa akusisi tacit knowledge merupakan bentuk yang lebih spesifik dari pengembangan keahlian. Dimana untuk mengembangkan keahlian maka ia mengusulkan agar kita belajar dari pengalaman para ahli (atau mereka yang dinilai sukses dalam bidang tertentu). Selain itu ia juga mengusulkan pengembangan kemampuan yang mendasari proses akuisisi informasi misalnya bagaimana secara selektif mengartikan informasi, bagaimana kita menggabungkan dan membandingkan informasi dengan apa yang sudah kita ketahui. Mereka juga sebaiknya berlatih bagaimana mendefinisikan masalah, memilah informasi, menghasilkan alternatif dan memantau hasilnya dalam situasi nyata. Mencermati temuan-temuan ini, bila kita kembali ke konteks tacit knowledge dalam dunia assessor, maka kita dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan berikut: Dapatkah kita menerapkan prinsip-prinsip akuisisi tacit knowledge yang diusulkan oleh Sternberg untuk meningkatkan kemampuan wawancara khususnya dalam menggali informasi (pertanyaan sekunder)? Bila banyak kemampuan dan ketrampilan ini berada dalam ranah tacit knowledge dan tidak ditemukan


(28)

cara-cara yang lebih efektif dalam men-transfer pengetahuan dan ketrampilan ini maka kita berhadapan dengan masalah regenerasi yang tidak mudah dipecahkan. Bila kemampuan dan ketrampilan ini, bergantung pada pengalaman individu dan sangat bergantung pada konteks spesifik maka dengan demikian perlu dicari cara yang lebih efektif untuk segera menyebarkan tacit knowledge diantara para assessor. Mengingat dalam konteks Biro ini, assessor yang masih baru akan menjalani pelatihan dan pengembangan tersendiri dan perlu mengembangkan kemampuan dasar terlebih dahulu, maka dalam penelitian ini fokusnya lebih kepada assessor yang sudah memiliki pengalaman walaupun bukanlah administrator. Selain itu, dalam penelitian ini tidak akan dilakukan pemberian pemberlakuan mengenai ketrampilan dasar sehingga bisa lebih fokus. Berdasarkan permasalahan dan pertanyaan-pertanyaan tersebut maka disusunlah penelitian ini.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan temuan dari fakta-fakta di atas dan terlihat dari gejala yang diamati, maka bila dirumuskan maka pertanyaan yang harus dijawab dalam penelitian ini adalah: apakah terdapat perbedaan kemampuan dalam memberikan pertanyaan sekunder antara sebelum dan sesudah diberikannya pelatihan akuisisi dan transfer pengetahuan implicit/ tacit knowledge dalam kemampuan memberikan pertanyaan sekunderwawancara pada assessor?


(29)

1.3Maksud, Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1 Maksud penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk memastikan bahwa cara pengembangan pengetahuan implisit/tacit knowledge yang diusulkan bisa digunakan untuk membantu pengayaan tacit knowledge assessor khususnya dalam melakukan pengalian informasi selama wawancara (memberikan pertanyaan sekunder) sehingga memperkuat kemampuan mereka dalam melakukan wawancara.

1.3.2 Tujuan penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan rekomendasi berupa langkah-langkah yang bisa digunakan Biro X untuk memperkaya pengetahun implicit/tacit knowledge dalam melakukan penggalian informasi wawancara pada asssessornya. (misalnya melalui modul pelatihan, panduan dalam coaching dan lain-lain, bergantung pada hasil temuan). Adapun yang dimaksud dengan assessor adalah assessor yang bukan assessor baru da2n bukan yang sudah menjadi administrator.

1.3.3 Kegunaan Penelitian 1) Kegunaan Praktis

1. Kegunaan penelitian ini bagi assessor Biro X adalah setelah mereka mendapatkan kegiatan yang bisa meningkatkan tacit knowledge dalam melakukan penggalian informasi dalam wawancara diharapkan pada akhirnya mereka bisa menjadi pewawancara yang lebih handal.


(30)

2. Bagi para administrator, mereka akan mendapatkan pemahaman mengenai cara-cara yang bisa digunakan untuk mengembangkan ketrampilan & pengetahuan yang berada dalam bentuk tacit knowledge assessor lainnya khususnya dalam konteks wawancara.

3. Bagi Biro X, penelitian ini akan mempermudah proses regenerasi antar assessor. Dengan mendapatkan cara-cara yang lebih efektif dalam mengembangkan kemampuan dan ketrampilan assessornya khususnya dalam hal memperdalam informasi ketika wawancara , maka Biro X bisa mendapatkan assessor yang handal dengan lebih cepat.

4. Bagi penyelenggara assessment center, diharapkan hasil penelitian ini bisa membantu dalam mengembangkan cara-cara yang lebih tepat guna dalam membina assessor.

2 )Kegunaan Teoretis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kejelasan mengenai efektifitas cara-cara pengembangan tacit knowledge dalam mengembangkan keahlian dalam profesi tertentu. Kejelasan ini akan memperkaya khazanah metode yang bisa digunakan untuk mengembangkan bidang keahlian seseorang.

1.4 Metodologi

Penelitian ini menggunakan pendekatan quasi experiment . Dalam penelitian ini, ingin diketahui bagaimana suatu independent variable berupa sebuah perlakuan/treatment akan mempengaruhi dependent variable. Independent variable


(31)

dalam penelitian ini adalah treatment dari penelitian ini adalah pelatihan & coaching yang akan diberikan kepada assessor. Pelatihan dan coaching disusun sedemikian rupa untuk memperkaya tacit knowledge assessor dalam mengembangkan pertanyaan sekunder (melakukan penggalian informasi dalam wawancara. Sedangkan dependent variable dari penelitian ini adalah tacit knowledge dalam (memberikan pertanyaan

sekunder ) yang terukur melalui kemampuan melakukan wawancara. Adapun alasan

mengapa dilaksanakan quasi experiment adalah karena situasi yang terjadi tidak memungkinkan untuk mengendalikan semua variable dengan ketat. Penelitian ini juga harus dilakukan dalam situasi yang nyata (bukan penelitian di labotarium) mengingat tacit knowledge berkaitan erat dengan konteks spesifik pekerjaan secara langsung (Sternberg ,2005) sehingga tidak mungkin dilakukan dalam konteks yang bukan sebenarnya.

Rancangan penelitian yang digunakan adalah single group pre-test& post test design. Dalam rancangan penelitian ini, akan dilakukan pengukuran awal kemampuan wawancara peserta.(pre test) Pengukuran tidak bisa dilakukan secara langsung mengingat sifat tacit knowledge yang implisit. Oleh karena itu pengukuran dilakukan melalui menempatkan peserta dalam situasi dimana tacit knowledge sering digunakan dalam konteks penggalian informasi dalam wawancara. Kriteria pengukuran didasarkan pada ciri dari pertanyaan sekunder, prinsip wawancara berbasis kompetensi (CBI), dan berdasarkan praktek yang dilakukan oleh administrator. Pengukuran akan dilakukan kembali setelah treatment berupa pelatihan selesai dilakukan. (post test) Setelah diambil data post test, maka akan


(32)

dibandingkan antara pre dan post test . Perubahan hasil antara pre dan post test bisa mengindikasikan perubahan tacit knowledge dalam hal penggunaan pertanyaan sekunder..

Analisis terhadap data-data yang diperoleh dalam penelitian ini dilakukan dengan menguji perbedaan antara hasil pre dan post . Pengujian tersebut menggunakan teknik analisis non-parametric Wilcoxon signed rank t test.


(33)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil dan pembahasan mengenai pelatihan pengayaan tacit knowledge

pertanyaan sekunder pada assessor maka hal yang bisa disimpulkan adalah:

 Terdapat peningkatan yang signifikan pada kemampuan menggunakan

pertanyaan sekunder pada peserta pelatihan, dimana hal ini terjadi melalui

mekanisme pengayaan pengetahuan implicit/tacit knowledge yang terkait

dengan penggunaan pertanyaan sekunder.

 Pada bentuk-bentuk pertanyaan sekunder yang diukur, terjadi peningkatan pada lima bentuk pertanyaan sekunder.

 Kenaikan yang signifikan hanya terjadi pada kemampuan memberikan

pertanyaan sekunder dalam konteks memberikan pertanyaan yang relevan dengan kompetensi dan dalam menggunakan dugaan awal sebagai dasar menyusun pertanyaan.

 Tidak terjadi kenaikan yang signifikan pada bentuk pertanyaan sekunder

yang diberikan dalam bentuk memberikan pertanyaan yang spesifik, memberikan pertanyaan yang memperhitungkan level jabatan managerial dan dalam merumuskan pertanyaan dalam bentuk yang netral .


(34)

 Hal yang terkait dengan mekanisme pelatihan seperti fokus pembahasan mengenai suatu topik mempengaruhi meningkat atau tidak meningkatnya

kemampuan menggunakan bentuk pertanyaan sekunder tertentu. Demikian

juga variabel pengalaman dan tacit knowledge yang sudah dimiliki oleh

peserta. Bila kemampuan dalam menggunakan bentuk pertanyaan sekunder tertentu sudah tinggi maka tidak lagi bisa ditingkatkan menjadi lebih signifikan.

 Pembahasan dengan menggunakan mekanisme akuisisi tacit knowledge

membantu penguasaan akan materi tertentu. Namun demikian , suatu tacit

knowledge perlu dibahas dan dirumuskan secara jelas ,eksplisit dan dibahas cukup banyak . Bila hal –hal tersebut dipenuhi maka semakin mudah bagi peserta untuk mengakuisisi tacit knowledge tersebut.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut:

 Pelatihan pengayaan tacit knowledge dengan fokus pada proses akuisisi

maupun transfer tacit knowledge bisa digunakan dalam konteks

peningkatan kemampuan assessor dalam memberikan pertanyaan sekunder yang lebih efektif dan efisien sehingga pelatihan seperti ini bisa digunakan baik oleh Biro X maupun oleh PT X sebagai penyelenggara assessment center. Namun demikian pelatihan ini lebih cocok diterapkan


(35)

pada assessor yang sudah memiliki pengalaman. Assessor yang masih baru masih perlu dibekali terlebih dahulu tentang pengetahuan eksplisit terkait assessment center (misalnya tentang pemahaman tentang kompetensi dan menguasai materi yang digunakan) serta mendapatkan beberapa kesempatan untuk terjun secara langsung mengambil data. Mengingat pelatihan ini mengandalkan diskusi yang membahas pengalaman maka tidaklah mudah bagi assessor baru untuk bisa mengikuti dan memahami diskusi yang berlangsung.

 Penyedia jasa assessor lain bisa menggunakan format pelatihan ini dengan terlebih dahulu menyesuaikan materi , khususnya dalam konteks kompetensi maupun materi yang digunakan. Penyelenggara pelatihan juga harus berhati-hati dan menyesuaikan pelatihan dengan karateristik pesertanya.

 Bagi assessor, prinsip-prinsip dalam mengevaluasi pengalaman yang

ditawarkan dalam pelatihan ini bisa digunakan secara mandiri untuk mengembangkan tacit knowledge yang ia miliki.

 Untuk meningkatkan efektifitas dari pelatihan pengayaan tacit knowledge maka terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:

o Sebaiknya saat merancang pelatihan ini maka perlu didefinisikan secara jelas tacit knowledge dalam hal apa saja yang akan dibahas dan akan ditingkatkan. Kemudian konteks materi dan diskusi bisa


(36)

lebih fokus baik dalam hal menyediakan lingkungan dan

kesempatan untuk mengalami situasi dimana tacit knowledge

spesifik itu biasanya digunakan dan bisa secara lebih jelas dibahas dan dilihat penggunaannya.

o Perbaikan dari sisi materi tertulis sehingga bisa lebih mudah

dipahami oleh peserta.

o Sebaiknya pelatihan ini diintegrasikan dengan pelaksanaan

pekerjaan assessor. Misalnya: pelatihan ini tidak dilaksanakan sesekali saja, namun dilakukan secara berkala dengan fokus yang berbeda-beda. Setiap awal pelatihan juga bisa digunakan untuk membahas penerapan hasil pelatihan sebelumnya, sehingga bukannya tidak mungkin dalam diskusi dan evaluasi tersebut akan terbentuk tacit knowledge baru.

Adapun saran-saran yang bisa diberikan terhadap penelitian ini adalah:

 Perlu diteliti lebih lanjut dengan menggunakan jumlah sampel yang lebih

besar dan dengan latar belakang derajat pengalaman peserta yang lebih beragam.

 Design penelitian sebaiknya dalam format yang lebih kuat dari sisi kontrol ( misalnya dalam bentuk pretest-postest control group ).

 Prinsip-prinsip pengayaan tacit knowledge ini sebaiknya diterapkan dan


(37)

dalam konteks pengayaan skema berpikir dalam bidang anamnesa klinis, dalam menyusun laporan psikodiagnostik dan sebagainya.


(38)

Allain, Monique, 1996, The Effect of Adventure –Based Experiential Training on Team Cohesion, Dalhouse University, Nova Scotia

Burdon, Laurie, 2000, Learning by Doing: Adult Studio Activities in Art Museum, Concordia University, Montreal

Campbell, Donald T & Stanley, Julian C.1963. Experimental and Quasi Experimental Design for Research. Rand Mc. Nally College Publishing Company, Chicago Faust,B, 2007. Implementation Of Tacit Knowledge Preservation and Transfer

Methods , Nuklear Forum , Schweiz. IAEA. www.iaea.org

Flanagan, John C, 1954 The Critical Incident Technique, Psychological Bulletin, Vol 51 no 4

Gilbert, Wade, 1999, Connected Cycles of Reflection: The Experiential Learning Process used by Youth Team Sport Coaches to Develop Coaching Strategies, University of Ottawa, Ottawa

Gourlay, Stephen ,2002, Tacit knowledge, Tacit knowing or Behaving?, Kingston Business School. Kingston

Gubrium, Jaber & Holstein, James, 2002, Handbook of Interview Research, Sage Publishing , London

Hedlund, Jennifer & Antonakis, John & Sternberg ,Robert ,2002. Tacit Knowledge and Practical Intelligence: Understanding the Lessons of Experience, U.S. Army Research Institute for the Behavioral and Social Sciences, Arlington

Hilman, Djuni Utari, 2007. Prinsip-prinsip Penggunaan Assessment Center, Kongres Nasional Assessment Center II, Jakarta

Horvath, Joseph & Forsythe B , Georgfe& Sweeney, Patrick & Mc Nally, Jeffrey& Wattendorf, John & Wiliams , Wendy & Sternberg , Robert, 1994, Tacit

Knowledge in Militar Leadership: Evidence from Officer Interviews, U.S. Army Research Institute for the Behavioral and Social Sciences, Arlington

International Task Force on Assessment Center Guidelines, 2009. Guidelines and Ethical Considerations for Assessment Center Operations.Blackwell Publishing,Oxford. www.assessmentcenters.org


(39)

Kirkpatrick, Donald. 1998. Evaluating Training Programs. Berrett-Koehler Publisher., San Francisco

Kongres Nasional Assessment Center II, 2007. Materi Pra Kongres, Kongres Nasional Assessment Center, Jakarta

Mac Cain, Donald; Tobey, Deborah Davis, 2004. Facilitaton Basics, ASTD Press, Alexandria VA

Matthew, Cynthia & Cianciolo, Anne T& Sternberg Robert, 2005, Developing Effective Military Leaders: Facilitating the Acquisition of Experience Based Tacit

Knowledge . U.S. Army Research Institute for the Behavioral and Social Sciences, Arlington

Nonaka , Ikujiro & Takeuchi, Hirotaka, 2004, Hitosubahsi on Knowledge Management, John Willey& Sons, Boston

Polanyi, Michael, 1962, Tacit Knowing: Its Bearing on Some Problems of Philosophy, Review of Modern Physics

Siegel, Sidney & Castellan, John, 1988 ‘ Non Parametric Statistics 2nd Ed’, Mc Graw Hill Int Editions,

Smith,B.J, Delahaye, B, 1998, ‘How to be an Effective Trainer’ , John Willey & Sons, Inc, Canada

Smith, M. K. ,2001, 'David A. Kolb On Experiential Learning , The Encyclopedia Of Informal Education. www.infed.org/b-explrn.htm.

Smith, M.K, 2009, ‘Donald Schon: Learning, Reflection and Change’, The Encyclopedia Of Informal Education.” www.infed.org/thinkers/et-schon.htm

Sprinthall,Norman & Sprinthall, Richard, 1990‘ Educational Psychology, a Developmental Approach,5th ed McGraw Hill

Sternberg, 1999, Intelligence as Developing Expertise , Contemporary Educational Psychology, www.ideallibrary.com

Sternberg, Robert , 1999, Successful Intelligence: Finding a Balance, Trends in Cognitive Sciences Vol3 no 11, Elsevier


(40)

Sternberg, Robert, & Grigorenko, Elena, 2001, Practical Intelligence and the Principal, Yale University. Yale

Sternberg, Robert & Kaufman, James & Grigorenko, Elena, 2008. Applied Intelligence, Cambridge University Press, Cambridge

Tedja, Sidharta, 2011, Front End Analysis pada Assessor Biro Konsultan Solusi, tidak diterbitkan.

Thornton III, George, 1992, Assessment Centers in Human Resources Management, Addison Wesley Publishing Company, California

Wickens C& Lee D & Liu Y, 1997 Introduction to Human Factor Engineering , Prentice Hall, New Jersey


(1)

pada assessor yang sudah memiliki pengalaman. Assessor yang masih baru masih perlu dibekali terlebih dahulu tentang pengetahuan eksplisit terkait assessment center (misalnya tentang pemahaman tentang kompetensi dan menguasai materi yang digunakan) serta mendapatkan beberapa kesempatan untuk terjun secara langsung mengambil data. Mengingat pelatihan ini mengandalkan diskusi yang membahas pengalaman maka tidaklah mudah bagi assessor baru untuk bisa mengikuti dan memahami diskusi yang berlangsung.

 Penyedia jasa assessor lain bisa menggunakan format pelatihan ini dengan terlebih dahulu menyesuaikan materi , khususnya dalam konteks kompetensi maupun materi yang digunakan. Penyelenggara pelatihan juga harus berhati-hati dan menyesuaikan pelatihan dengan karateristik pesertanya.

 Bagi assessor, prinsip-prinsip dalam mengevaluasi pengalaman yang ditawarkan dalam pelatihan ini bisa digunakan secara mandiri untuk mengembangkan tacit knowledge yang ia miliki.

 Untuk meningkatkan efektifitas dari pelatihan pengayaan tacit knowledge maka terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:

o Sebaiknya saat merancang pelatihan ini maka perlu didefinisikan secara jelas tacit knowledge dalam hal apa saja yang akan dibahas dan akan ditingkatkan. Kemudian konteks materi dan diskusi bisa


(2)

lebih fokus baik dalam hal menyediakan lingkungan dan kesempatan untuk mengalami situasi dimana tacit knowledge spesifik itu biasanya digunakan dan bisa secara lebih jelas dibahas dan dilihat penggunaannya.

o Perbaikan dari sisi materi tertulis sehingga bisa lebih mudah dipahami oleh peserta.

o Sebaiknya pelatihan ini diintegrasikan dengan pelaksanaan pekerjaan assessor. Misalnya: pelatihan ini tidak dilaksanakan sesekali saja, namun dilakukan secara berkala dengan fokus yang berbeda-beda. Setiap awal pelatihan juga bisa digunakan untuk membahas penerapan hasil pelatihan sebelumnya, sehingga bukannya tidak mungkin dalam diskusi dan evaluasi tersebut akan terbentuk tacit knowledge baru.

Adapun saran-saran yang bisa diberikan terhadap penelitian ini adalah:

 Perlu diteliti lebih lanjut dengan menggunakan jumlah sampel yang lebih besar dan dengan latar belakang derajat pengalaman peserta yang lebih beragam.

 Design penelitian sebaiknya dalam format yang lebih kuat dari sisi kontrol ( misalnya dalam bentuk pretest-postest control group ).

 Prinsip-prinsip pengayaan tacit knowledge ini sebaiknya diterapkan dan diteliti dalam konteks pengayaan tacit knowledge yang berbeda. Misalnya


(3)

dalam konteks pengayaan skema berpikir dalam bidang anamnesa klinis, dalam menyusun laporan psikodiagnostik dan sebagainya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Allain, Monique, 1996, The Effect of Adventure –Based Experiential Training on

Team Cohesion, Dalhouse University, Nova Scotia

Burdon, Laurie, 2000, Learning by Doing: Adult Studio Activities in Art Museum, Concordia University, Montreal

Campbell, Donald T & Stanley, Julian C.1963. Experimental and Quasi Experimental

Design for Research. Rand Mc. Nally College Publishing Company, Chicago

Faust,B, 2007. Implementation Of Tacit Knowledge Preservation and Transfer

Methods , Nuklear Forum , Schweiz. IAEA. www.iaea.org

Flanagan, John C, 1954 The Critical Incident Technique, Psychological Bulletin, Vol 51 no 4

Gilbert, Wade, 1999, Connected Cycles of Reflection: The Experiential Learning

Process used by Youth Team Sport Coaches to Develop Coaching Strategies,

University of Ottawa, Ottawa

Gourlay, Stephen ,2002, Tacit knowledge, Tacit knowing or Behaving?, Kingston Business School. Kingston

Gubrium, Jaber & Holstein, James, 2002, Handbook of Interview Research, Sage Publishing , London

Hedlund, Jennifer & Antonakis, John & Sternberg ,Robert ,2002. Tacit Knowledge and

Practical Intelligence: Understanding the Lessons of Experience, U.S. Army

Research Institute for the Behavioral and Social Sciences, Arlington

Hilman, Djuni Utari, 2007. Prinsip-prinsip Penggunaan Assessment Center, Kongres Nasional Assessment Center II, Jakarta

Horvath, Joseph & Forsythe B , Georgfe& Sweeney, Patrick & Mc Nally, Jeffrey& Wattendorf, John & Wiliams , Wendy & Sternberg , Robert, 1994, Tacit

Knowledge in Militar Leadership: Evidence from Officer Interviews, U.S. Army

Research Institute for the Behavioral and Social Sciences, Arlington International Task Force on Assessment Center Guidelines, 2009. Guidelines and

Ethical Considerations for Assessment Center Operations. Blackwell


(5)

Janz, Tom; Hellervik, Lowell; Gilmore, David C, 1982. Behavioral Description

Interview, Allyn Bacon, Boston

Kirkpatrick, Donald. 1998. Evaluating Training Programs. Berrett-Koehler Publisher., San Francisco

Kongres Nasional Assessment Center II, 2007. Materi Pra Kongres, Kongres Nasional Assessment Center, Jakarta

Mac Cain, Donald; Tobey, Deborah Davis, 2004. Facilitaton Basics, ASTD Press, Alexandria VA

Matthew, Cynthia & Cianciolo, Anne T& Sternberg Robert, 2005, Developing Effective Military Leaders: Facilitating the Acquisition of Experience Based Tacit

Knowledge . U.S. Army Research Institute for the Behavioral and Social Sciences,

Arlington

Nonaka , Ikujiro & Takeuchi, Hirotaka, 2004, Hitosubahsi on Knowledge Management, John Willey& Sons, Boston

Polanyi, Michael, 1962, Tacit Knowing: Its Bearing on Some Problems of Philosophy, Review of Modern Physics

Siegel, Sidney & Castellan, John, 1988 ‘ Non Parametric Statistics 2nd Ed’, Mc Graw Hill Int Editions,

Smith,B.J, Delahaye, B, 1998, ‘How to be an Effective Trainer’ , John Willey & Sons, Inc, Canada

Smith, M. K. ,2001, 'David A. Kolb On Experiential Learning , The Encyclopedia Of Informal Education. www.infed.org/b-explrn.htm.

Smith, M.K, 2009, ‘Donald Schon: Learning, Reflection and Change’, The Encyclopedia Of Informal Education.” www.infed.org/thinkers/et-schon.htm

Sprinthall,Norman & Sprinthall, Richard, 1990‘ Educational Psychology, a

Developmental Approach,5th ed McGraw Hill

Sternberg, 1999, Intelligence as Developing Expertise , Contemporary Educational Psychology, www.ideallibrary.com

Sternberg, Robert , 1999, Successful Intelligence: Finding a Balance, Trends in Cognitive Sciences Vol3 no 11, Elsevier


(6)

Sternberg, Robert& Forsythe, George & Hedlund, Jennifer & Horvarth, Joseph & Wagner, Richard & Williams, Wendy & Snook, Scott & Grigorenko, Elena, 2000, Practical Intelligence in Everyday Life . Cambridge University Press

Sternberg, Robert, & Grigorenko, Elena, 2001, Practical Intelligence and the Principal, Yale University. Yale

Sternberg, Robert & Kaufman, James & Grigorenko, Elena, 2008. Applied Intelligence, Cambridge University Press, Cambridge

Tedja, Sidharta, 2011, Front End Analysis pada Assessor Biro Konsultan Solusi, tidak diterbitkan.

Thornton III, George, 1992, Assessment Centers in Human Resources Management, Addison Wesley Publishing Company, California

Wickens C& Lee D & Liu Y, 1997 Introduction to Human Factor Engineering , Prentice Hall, New Jersey