Efektifitas Cognitive Behavior Therapy (CBT) untuk Mengubah Drug-Related Belief dalam Rangka Pengendalian Relapse (Suatu Studi Kasus Terapi Individual dalam Mengubah Negative Automatic Thoughts Penggunaan NAPZA Saat Menghadapi High-Risk Situation Pada Rem

(1)

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai efek Cognitive Behavior Therapy (CBT) terhadap drug-related belief sehingga dapat mengubah negative automatic thoughts penggunaan NAPZA saat menghadapi high-risk situation pada remaja pengguna NAPZA di rumah terapi “X” Bandung. Negative Automatic Thoughts adalah penilaian atau penghayatan tentang apa yang terjadi di sekitar atau di antara individu, yang secara sadar dapat diperhatikan pada diri seseorang (Beck, 1995). Istilah drug-related belief menyangkut keyakinan atas prediksi kepuasan yang mengikuti penggunaan NAPZA (anticipatory belief), dan harapan mengenai kebangkitkan dari keadaan fisik yang tidak nyaman (relief-oriented belief). Terdapat negative automatic thoughts terhadap penggunaan NAPZA saat menghadapi high-risk situation, di antaranya saat menghadapi: negative emotional states, negative physical-physiological states, enhancement of positive emotional states, testing personal control, giving in to temptations or urges, interpersonal conflict, social pressure, dan enhancement of positive emotional states. Cognitive-Behavioral Therapy (CBT) merupakan terapi yang dirancang untuk menyelesaikan permasalahan pada saat ini dengan cara melakukan restrukturisasi kognitif dan perilaku yang menyimpang. Pendekatan ini didasarkan pada formulasi kognitif, keyakinan dan strategi perilaku yang mengganggu (Beck, 1964).

Terdapat lima sesi yang telah dilakukan dalam penelitian ini. Responden dalam penelitian ini adalah dua orang remaja pengguna NAPZA yang berada dalam rumah terapi “X” Bandung. Setiap responden telah diukur dengan menggunakan kuesioner keyakinan tidak menggunakan NAPZA saat menghadapi high-risk situations dan penyelesaian masalah tanpa penggunaan NAPZA saat menghadapi high-risk situations sebelum (pre) dan sesudah (post) dilakukannya Cognitive Behavior Therapy.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Cognitive Behavior Therapy secara empirik terbukti meningkatkan keyakinan tidak menggunakan NAPZA saat menghadapi high-risk situations dan penyelesaian masalah tanpa penggunaan NAPZA saat menghadapi high-risk situations pada kedua remaja pengguna NAPZA di rumah terapi “X” Bandung.


(2)

iv

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha ABSTRACT

The purpose of this research is to obtain descriptions of the consequences of Cognitive Behaviour Therapy towards the drug-related belief in order to alter the negative automatic thoughts of the use of NAPZA while confronting high-risk situations on the teenagers who are NAPZA addicts in the “X” substances therapy house in Bandung. Negative Automatic Thoughts are the posessed valuation or awareness towards one’s surroundings or in between individuals, that is able to be knowingly recognised in oneself (Beck, 1995). The term drug-related belief correlates with the anticipatory belief and relief-oriented belief. Study proves that negative automatic thoughts exist during the use of NAPZA while confronting high-risk situations, one of which is while confronting negative emotional states, negative physical-physiological states, enhancement of positive emotional states, testing personal control, giving in to temptations or urges, interpersonal conflict, social pressure, and enhancement of positive emotional states. CBT is a therapy that is composed to solve current issues by restructuring the maladaptive cognition and behaviours. This approach is based on disturbing beliefs, cognitive and behavioural strategies formulation (Beck, 1964).

We have conducted 5 sessions in this research. Responders in this research are two teenager NAPZA addicts living in “X” substances therapy house. Each responder has been evaluated using a questionnaire of belief of not consuming NAPZA while confronting risk situations and during the high-risk situations problem-solving process pre and post Cognitive Behaviour Therapy sessions.

Based on the outcome of the research, it can be concluded that Cognitive Behavior Therapy, empirically, has been confirmed to increase the belief of not consuming NAPZA while confronting risk situations and during the high-risk situations problem-solving process in both teenagers NAPZA addicts in the “X” substances therapy house.


(3)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR BAGAN ... xv

DAFTAR DIAGAM ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN……….xviii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 11

1.3. Maksud, Tujuan, dan Kegunaan Penelitian ... 12

1.3.1. Maksud Penelitian ... 12

1.3.2. Tujuan Penelitian ... 12

1.3.3. Keguanaan Penelitian ... 12

1.3.3.1. Kegunaan Teoritis ... 12

1.3.3.2. Kegunaan Praktis ... 13


(4)

ix

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. NAPZA ... 15

2.1.1. Definisi NAPZA ... 15

2.1.2. Jenis – jenis NAPZA ... 17

2.1.3. Penyalahgunaan NAPZA ... 22

2.1.4. Dampak Penggunaan NAPZA ... 25

2.1.5. Model Dasar Kognitif dari Penyalahgunaan NAPZA ... 31

2.1.6. Relapse ... 36

2.1.6.1. Proses Relapse ... 37

2.1.6.2. High-Risk Situation ... 39

2.2. Remaja ... 44

2.2.1. Definisi Remaja ... 44

2.2.2. Perkembangan Remaja ... 46

2.2.3. Ciri-ciri Remaja ... 50

2.2.4. Tugas Perkembangan Remaja ... 52

2.3. Cognitive-Behavioral Therapy ... 53

2.3.1. Teori yang mendasari CBT ... 53

2.3.2. Pendekatan Behavior ... 54

2.3.3. Pendekatan Kognitif ... 56

2.3.4. Integrasi Kognitif-Behavioral ... 59

2.3.5. Asumsi-asumsi dari Cognitive-Behavioral Therapy ... 60


(5)

2.4. Kerangka Pemikiran ... 64

2.5. Asumsi ... 83

2.6. Hipotesis ... 84

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian... 85

3.2. Variabel Penelitian ... 86

3.3. Definisi Konseptual ... 86

3.4. Definisi Operasional ... 87

3.4.1. CBT mengenai drug-related belief ... 87

3.4.2. Negative Automatic Thoughts ... 88

3.5. Metode Penarikan Sampel... 90

3.6. Alat Ukur ... 91

3.6.1. Prosedur Pengisian ... 93

3.6.2. Sistem Penilaian ... 93

3.6.3. Norma Alat Ukur... 94

3.6.4. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 100

3.6.4.1. Validitas Alat Ukur ... 100

3.6.4.2. Reliabilitas Alat Ukur ... 102

3.7. Prosedur Pengumpulan Data ... 104

3.7.1. Data Penunjang ... 107


(6)

xi

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

3.9. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 108

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian ... 109

4.1.1. Gambaran Subjek ... 110

4.1.1.1 Kasus 1 ... 110

4.1.1.1.1. Identitas ... 110

4.1.1.1.2. Riwayat Mengikuti Terapi NAPZA ... 110

4.1.1.1.3. Anamnesa ... 111

4.1.1.2. Kasus 2 ... 113

4.1.1.2.1. Identitas ... 113

4.1.1.2.2. Riwayat Mengikuti Terapi NAPZA ... 114

4.1.1.2.3. Anamnesa ... 116

4.1.2. Perbedaan Skor Perubahan Keyakinan Tidak Mengggunakan NAPZA Saat Menghadapi High-Risk Situations Pada Remaja Pengguna NAPZA Sebelum dan Sesudah Terapi ... 118

4.1.2.1. Kasus 1 ... 118

4.1.2.2. Kasus 2 ... 119

4.1.3. Perbedaan Skor Perubahan Kemampuan Penyelesaian Masalah Tanpa Penggunaan NAPZA Saat Menghadapi High-Risk Situations Pada Remaja Pengguna NAPZA Sebelum dan Sesudah Terapi ... 120


(7)

4.1.3.2. Kasus 2 ... 121

4.1.4. Perbedaan Skor Aspek-Aspek High-Risk Situation Terhadap Perubahan Keyakinan Tidak Mengggunakan NAPZA Saat Menghadapi High-Risk Situations Pada Remaja Pengguna NAPZA Sebelum dan Sesudah Terapi ... 122

4.1.4.1. Kasus 1 ... 122

4.1.4.2. Kasus 2 ... 124

4.1.5. Perbedaan Skor Aspek-Aspek High-Risk Situation Terhadap Perubahan Kemampuan Penyelesaian Masalah Tanpa Penggunaan NAPZA Saat Menghadapi High-Risk Situations Pada Remaja Pengguna NAPZA Sebelum dan Sesudah Terapi ... 126

4.1.5.1. Kasus 1 ... 126

4.1.5.2. Kasus 2 ... 128

4.2. Pembahasan ... 129

4.2.1. Pembahasan Kasus 1 (R) ... 129

4.2.1.1. Analisa Fungsional ... 129

4.2.1.2. Analisa Hasil Pengukuran ... 134

4.2.2. Pembahasan Kasus 2 (C) ... 137

4.2.2.1. Analisa Fungsional ... 137

4.2.2.2. Analisa Hasil Pengukuran ... 142

4.3. Perbandingan Kasus ... 144


(8)

xiii

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

5.1. Kesimpulan ... 147

5.2. Saran Penelitian ... 149

5.1.1. Saran Teoritis ... 149

5.1.2. Saran Guna Laksana ... 149

5.1.2.1. Saran kepada Rumah Terapi ... 149

5.1.2.2. Saran kepada remaja Pengguna NAPZA ... 150

DAFTAR PUSTAKA ... 151

DAFTAR RUJUKAN... 154


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 3.1. Pembagian item-item dalam alat ukur High-Risk Situations ... 92 Tabel 3.2. Norma Keyakinan Penggunaan NAPZA ... 98 Table 3.3. Norma Tindakan Menggunakan NAPZA ... 99


(10)

xv

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN

Halaman Bagan 1.1. Rancangan Penelitian ... 14 Bagan 2.1. Model Dasar Kognitif Penyalahgunaan Zat Adiksi ... 31 Bagan 2.2. Model Kognitif ... 58 Bagan 2.3. Model Dasar untuk Cognitive-Behavioral Case

Conceptualization ... 59 Bagan 2.4. Kerangka Pikir ... 82 Bagan 3.1. Rancangan Penelitian ... 86


(11)

DAFTAR DIAGRAM

Halaman Diagram 4.1. Gambaran Perubahan Skor Keyakinan Tidak Menggunakan NAPZA

Saat Menghadapi High-Risk Situations Pada Kasus 1 ... 118 Diagram 4.2. Gambaran Perubahan Skor Keyakinan Tidak Menggunakan NAPZA

Saat Menghadapi High-Risk Situations Pada Kasus 2 ... 119 Diagram 4.3. Gambaran Perubahan Skor Kemampuan Penyelesaian Masalah Tanpa NAPZA Saat Menghadapi High-Risk Situations Pada Kasus 1 ... 120 Diagram 4.4. Gambaran Perubahan Skor Kemampuan Penyelesaian Masalah Tanpa NAPZA Saat Menghadapi High-Risk Situations Pada Kasus 2 ... 121 Diagram 4.5. Gambaran Perubahan Skor Aspek- Aspek Keyakinan Tidak

Menggunakan NAPZA Saat Menghadapi High-Risk Situations Pada Kasus 1 ... 122 Diagram 4.6. Gambaran Perubahan Skor Aspek- Aspek Keyakinan Tidak

Menggunakan NAPZA Saat Menghadapi High-Risk Situations Pada Kasus 2 ... 124 Diagram 4.7. Gambaran Perubahan Skor Aspek- Aspek Kemampuan

Penyelesaian Masalah Tanpa NAPZA Saat Menghadapi High-Risk Situations Pada Kasus 1 ... 126 Diagram 4.8. Gambaran Perubahan Skor Aspek- Aspek Kemampuan


(12)

xvii

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Penyelesaian Masalah Tanpa NAPZA Saat Menghadapi High-Risk Situations Pada Kasus 2 ... 128


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Alat Ukur

Lampiran 2 Tabel Hasil Uji Validitas Lampiran 3 Tabel Hasil Uji Reliabilitas

Lampiran 4 Gambaran Penerapan Cognitive Behavior Therapy Lampiran 5 Proses Cognitive Behavior Therapy

Lampiran 6 Instruksi Pelaksaan Cognitive Behavior Therapy Lampiran 7 Kontrak Mengikuti Kegiatan Terapi

Lampiran 8 Lembar Evaluasi Poses Terapi Lampiran 9 Rumah Terapi “X” Bandung Lampiran 10 Verbatim Kasus 1 (RA) Lampiran 11 Pekerjaan Rumah Kasus 1 Lampiran 12 Analisa Fungsional Kasus 1 Lampiran 13 Lembar Evaluasi Kasus 1 Lampiran 14 Analisa Proses Terapi Kasus 1

Lampiran 15 Observasi Pengurus Rumah Terapi Kasus 1 Lampiran 16 Verbatim Kasus 2 (CH)

Lampiran 17 Pekerjaan Rumah Kasus 2 Lampiran 18 Analisa Fungsional Kasus 2 Lampiran 19 Lembar Evaluasi Kasus 2 Lampiran 20 Analisa Proses Terapi Kasus 2


(14)

1

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.l. Latar Belakang Penelitian

Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan zat adiksi lainnya (NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika dan Bahan / Obat berbahaya) merupakan masalah yang sangat kompleks dan memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan konsisten. Dalam bidang kedokteran sebagian besar golongan NAPZA masih bermanfaat bagi pengobatan, meskipun bila disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi medis atau standar pengobatan, terlebih lagi bila disertai peredaran di jalur ilegal, akan berakibat sangat merugikan bagi individu maupun masyarakat luas khususnya generasi muda.

Diindikasikan besarnya jumlah ini disebabkan Indonesia, terutama beberapa kota besar menjadi daerah tujuan pasar narkotika internasional, dan bukan lagi “sekadar” tempat transit saja. Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah target utama pasar narkotika ini adalah para remaja. Misalnya di Jakarta saja, pada tahun 2000 ditengarai ada lebih dari 166 SMP dan 172 SMA yang menjadi pusat peredaran narkotika dengan lebih dari 2000 siswa terlibat di dalamnya. Angka ini pun masih akan lebih besar karena fenomena ini seperti gunung es, yaitu yang tampak hanya permukaannya saja dan sebagian besar yang lain belum terlihat.


(15)

2

Diperkirakan setiap 1 penyalahguna narkotika yang dapat diidentifikasi, ada 10 orang lainnya yang belum diketahui. Dari data singkat mengenai peredaran narkotika di Indonesia dan Jakarta ini, terlihat betapa mengkhawatirkannya ancaman narkotika bagi generasi muda Indonesia. Apalagi jika melihat akibat-akibat yang ditimbulkannya. Padahal, narkotika hanyalah satu dari beberapa zat berbahaya yang bisa disalahgunakan, di samping alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA).

Remaja merupakan tahapan yang paling sering memulai kegiatan merokok, meminum alkohol, maupun menggunakan NAPZA daripada tahapan lainnya dalam rentang kehidupan. Kebanyakan remaja menggunakan marijuana sebelum mereka lulus sekolah menengah atas (Johnston, Bachman, & O'Malley, 1982, dalam Santrock, 1992). Terdapat banyak alasan remaja mabuk, merokok maupun mengonsumsi NAPZA (Hansen et al., 1987; Stein, Newcomb, & Bentler, 1987, dalam Santrock, 1992). Faktor yang paling kuat dalam tahap awal penggunaan NAPZA didapatkan dari pengaruh teman sebaya dan orang tua. Studi membuktikan bahwa remaja lebih mudah menggunakan marijuana dan zat adiktif lainnya jika orang tua dan teman sebayanya menggunakan NAPZA (Brook, Whiteman, & Gor Jessor & Jessor, 1977; Stein, Newcomb, & Bentler, 1987, dalam Santrock, 1992). Pengenalan pertama mereka pada NAPZA umumnya melalui teman sebaya (Kandel, 1974,dalam Santrock, 1992). Berdasarkan survei awal dan wawancara dengan tiga orang remaja pengguna NAPZA, didapatkan hasil bahwa remaja pengguna NAPZA mendapatkan informasi awal mengenai


(16)

3

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

ketika menggunakan NAPZA, melalui teman sebayanya yang telah menggunakan NAPZA terlebih dahulu. Hal ini dijadikan pengenalan awal mereka terhadap NAPZA.

Bagi remaja korban ketergantungan NAPZA diperlukan layanan yang terpadu untuk menghindari gangguan fisik; yang dapat menyebabkan komplikasi penyakit pada seluruh organ tubuh dan sistem syaraf bahkan dapat menimbulkan kematian, dan untuk membawa mereka kembali ke tengah masyarakat (Moeliono, Laurike, 2003). Hal ini dapat dilakukan dengan mengikuti berbagai terapi, baik terapi medis maupun psikologis (Husin, Al Bachri, 2002). Detoksifikasi, salah satu terapi medis, merupakan proses menghilangkan racun (narkotika atau zat adiktif lain) dari tubuh dengan cara menghentikan total pemakaian semua NAPZA yang dipakai atau dengan penurunan dosis obat pengganti. Program ini bertujuan untuk mengurangi, meringankan, atau meredakan keparahan gejala-gejala putus zat (pengaruh fisik dari NAPZA / “sakau”), serta untuk mengurangi keinginan (craving), tuntutan dan kebutuhan mengonsumsi NAPZA.

Menurut ketiga remaja pengguna NAPZA, selain mengikuti program detoksifikasi mereka juga tergabung dalam rumah terapi NAPZA di rumah terapi NAPZA Bandung. Di dalam rumah terapi ini, mereka diikutkan pada program konseling yang dibimbing oleh sesama mantan pecandu NAPZA. Di sini mereka diminta untuk mengungkapkan baik terkait perasaan maupun pengalaman saat menggunakan NAPZA. Salah satu dari remaja pengguna NAPZA juga telah mengikuti program pesantren yang diyakini dapat menghilangkan ketergantungannya kepada NAPZA. Menurut remaja, dalam pesantren ia


(17)

4

dikenakan pengaturan jadwal aktivitas. Di sini remaja pengguna NAPZA tersebut ditindak secara fisik oleh pengurus pesantren, seperti jika sedang berada dalam kondisi craving mereka ditampar atau dibiarkan dalam kamarnya. Di sisi lain, menurut pengakuan ketiga remaja pengguna NAPZA, setelah menjalani program detoksifikasi hingga tuntas (tes urin sudah negatif), bergabung dalam rumah terapi, bahkan mengikuti terapi di pesantren dan sudah tidak merasakan keadaan

gejala putus zat (“sakau”), namun keinginan mengonsumsi NAPZA (craving)

masih terus membuntuti pikiran dan perasaan remaja.

Dalam upaya rehabilitasi terhadap remaja pengguna NAPZA, sangat penting diperhatikan adanya faktor kekambuhan (relapse) yang sangat rentan terjadi pada para pengguna NAPZA. Relapse adalah kondisi individu yang gagal mempertahankan kondisi sehat (sober) setelah ia melakukan usaha-usaha pemulihan sebelumnya (Marlatt dan Gordon, 1985). Remaja yang telah sembuh dari kondisi sakit dan telah memasuki periode stabil namun kembali mengalami simptom-simptom penyakitnya dikatakan mengalami relapse. Pada tahapan inilah kemampuan remaja benar-benar diuji dalam rangka mempertahankan kondisi tanpa obat. Menurut penelitian keadaan relapse mencapai 50% - 90%, baik bagi para pecandu yang telah melalui perawatan formal maupun yang tidak. Bahkan 60% pecandu dapat mengalami relapse setelah tiga bulan keluar dari perawatan pemulihan (Mckay, J. R., 1999).

Pola penyalahgunaan NAPZA oleh remaja ditentukan oleh struktur kognitif maladaptif remaja mengenai NAPZA (drug-related belief) yang


(18)

5

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

terhadap NAPZA. Dengan demikian, remaja memerlukan terapi yang diarahkan pada pengubahan cara berpikir dan belief yang lebih positif mengenai NAPZA, sehingga dapat mengubah pemikiran negatif dan kemudian membawa perubahan dalam perilaku ketergantungan terhadap NAPZA (Milkman, Harvey B., dan Wenberg, Kenneth W., 2005).

Penting juga untuk memahami bahwa zat psikoaktif dapat mengatur suasana hati dengan segera. Sebagai contoh, alkohol dan benzodiazapines memberikan efek anti kecemasan; amphetamines kokain, nikotin dan kafein memberikan stimulasi segera; dan hampir semua obat-obatan digunakan sebagai anti kebosanan. Sebagian individu memiliki ketagihan terhadap NAPZA tergantung dari efek pengaturan suasana hati (Bruce S. Liese dan Robert A. Franz, 1996, dalam Salkovskis, 1996). Jika remaja pengguna NAPZA sudah melakukan terapi detoksifikasi, pengaruh fisik atas pengaturan suasana hati akan hilang. Hanya saja, pengalaman remaja mengenai pengaturan suasana hati yang pernah dirasakan ketika mengonsumsi NAPZA, dapat memperkuat belief remaja mengenai NAPZA (drug-related belief). Dalam penelitian ini akan diambil sampel remaja pengguna NAPZA yang telah mengikuti terapi detoksifikasi, sehingga pengaruh fisik terhadap NAPZA sudah hilang.

Dari hasil wawancara terhadap tiga orang remaja pengguna NAPZA, mengenai alasan menggunakan NAPZA kembali, remaja A (usia 17 tahun, pendidikan SMU dan sudah 5 tahun menggunakan NAPZA) mengakui bahwa penyalahgunaan NAPZA dikarenakan keyakinan mereka terhadap efek menyenangkan yang dapat ditimbulkan oleh NAPZA, seperti dapat menimbulkan


(19)

6

perasaan gembira, yang dilakukan untuk menghilangkan kebosanan dan membebaskan dari tekanan tugas sekolah. Sedangkan remaja B (usia 18 tahun, pendidikan SMU dan sudah 3 tahun menggunakan NAPZA) mengakui bahwa pengonsumsian NAPZA didasari keyakinan bahwa tidak ada kegiatan lain yang lebih menyenangkan dibandingkan dengan penggunaan NAPZA. Pengonsumsian ini dilakukan ketika remaja mengalami keadaan craving. Keyakinan atas efek positif dalam penggunaan NAPZA dinamakan anticipatory belief (Bruce S. Liese dan Robert A. Franz, 1996, dalam Salkovskis, 1996). Sementara remaja C (usia 16 tahun, pendidikan SMU dan sudah 4 tahun menggunakan NAPZA) mengatakan bahwa ia yakin jika menggunakan NAPZA, akan memberikan perasaan tenang dan nyaman yang dapat membantunya melupakan konflik dengan teman dekatnya. Keyakinan bahwa NAPZA dapat memulihkan dari keadaan fisik yang tidak nyaman dinamakan relief-oriented belief (Bruce S. Liese dan Robert A. Franz, 1996, dalam Salkovskis, 1996).

Menurut pengakuan remaja, keyakinannya terhadap efek positif atau menyenangkan yang dapat ditimbulkan oleh NAPZA, maupun harapan mereka terkait penggunaan NAPZA yang dapat memulihkan dari keadaan fisik yang tidak nyaman, mengaktifkan keyakinan mereka mengenai NAPZA (drug-related belief, Bruce S. Liese dan Robert A. Franz, 1996). Remaja A dan B pada akhirnya mengembangkan keyakinan bahwa penggunaan NAPZA merupakan satu-satunya kegiatan yang dapat menimbulkan perasaan bersemangat dan kegembiraan. Sementara remaja C mengembangkan keyakinan bahwa NAPZA merupakan “obat”


(20)

7

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

membantunya melupakan konflik dengan teman dekatnya. Dengan demikian mereka memiliki pemikiran bahwa, “NAPZA memberikan kesenangan, sehingga saya akan mengonsumsi NAPZA”, dan “mengonsumsi NAPZA memberikan

perasaan tenang dan nyaman”. Pemikiran yang merupakan ide secara spontan

terlintas dalam pikiran individu dinamakan automatic thoughts (Lisa M., Najavits, Bruce S Liese & Melanie S Harred, 2005).

Pikiran otomatis akan memimpin ke arah urge (dorongan) dan craving (keinginan) remaja pengguna NAPZA untuk menggunakan NAPZA. Akhirnya para remaja pengguna NAPZA memiliki pemikiran yang mengijinkan untuk mengonsumsi NAPZA. Remaja A memberikan ijin terhadap tindakan mengonsumsi NAPZA atas dasar keyakinan bahwa hanya dengan menggunakan NAPZA sekali saja, tidak dapat menyebabkan gangguan terhadap fisik maupun ketergantungan terhadap NAPZA. Remaja B, mengijinkan penggunaan NAPZA atas dasar keyakinan bahwa craving merupakan keadaan yang tidak menyenangkan, sehingga menurutnya tidak masalah mengonsumsi NAPZA untuk mengatasi craving. Sedangkan remaja C, mengijinkan penggunaan NAPZA karena meyakini bahwa ia akan dapat menghentikan secepatnya penggunaan NAPZA setelah masalah yang dihadapi dengan pasangannya dapat ia lupakan dan merasakan perasaan tenang. Keyakinan atas pemberian ijin dalam penggunaan NAPZA dinamakan facilitating beliefs (Lisa M., Najavits, Bruce S Liese & Melanie S Harred, 2005). Keyakinan ini dapat memimpin para remaja pengguna NAPZA ke dalam pengonsumsian NAPZA kembali dan jatuh ke dalam kondisi relapse. Remaja menjadi terjebak dalam lingkaran setan penggunaan NAPZA dan


(21)

8

penguatan mengenai drug-related belief yang memperluas kecanduan remaja (Bruce S. Liese dan Robert A. Franz, 1996, dalam Salkovskis, 1996).

Lingkaran setan ini bermula dari pengaktifan stimulus (high-risk situation) yang dapat menyebabkan relapse. Seperti yang terungkap di wawancara, remaja A meyakini penggunaan NAPZA dapat membantunya menghadapi situasi tertekan dan perasaan bosan. Situasi ini dinamakan negative emotional states (Marlatt dan Gordon, 1985), yaitu situasi yang melibatkan keadaan emosi, suasana hati, atau perasaan negatif (tidak menyenangkan). Remaja B memiliki keyakinan bahwa penggunaan NAPZA dapat menyelamatkannya dari keadaan craving. Situasi ini dinamakan giving in to temptations or urges (Marlatt dan Gordon, 1985), yaitu merupakan dorongan "internal" atau keinginan subyektif yang intens terhadap penggunaan NAPZA dengan tidak adanya faktor-faktor interpersonal yang terlibat.

Sedangkan remaja C meyakini penggunaan NAPZA dapat membantunya menghadapi konflik yang dihadapi dengan teman dekatnya. Situasi ini dinamakan interpersonal conflict (Marlatt dan Gordon, 1985), yaitu situasi konflik saat ini atau yang relatif baru terkait dengan hubungan interpersonal seperti pernikahan, persahabatan, keluarga, dan hubungan pekerjaan. Situasi ini merupakan beberapa kategori yang disebut oleh Marlatt dan Gordon (1985), sebagai situasi berisiko tinggi (high-risk situation).

Keadaan relapse yang dihadapi para remaja pengguna NAPZA disebabkan karena adanya belief yang tidak tepat mengenai NAPZA (drug-related belief)


(22)

9

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

pengonsumsian NAPZA yang pernah mereka alami. Dalam hal ini belief yang terbentuk lewat proses kognitif terhadap pengalaman mengenai NAPZA (drug-related belief), dalam Cognitive Behavior Therapy (CBT) disebut dengan negative automatic thoughts. Negative automatic thoughts pada remaja pengguna NAPZA terhadap NAPZA (drug-related belief), dapat memicu keyakinan remaja pengguna NAPZA atas penggunaan NAPZA saat menghadapi high-risk situation (Bruce S. Liese dan Robert A. Franz, 1996, dalam Salkovskis, 1996).

Berangkat dari fakta serta ditambah dengan pemikiran di atas mengenai ketergantungan pada NAPZA, peneliti tertarik untuk melakukan intervensi terhadap remaja pengguna NAPZA dengan memberikan Cognitive Behavior Therapy (CBT) dalam mengubah negative automatic thoughts mengenai drug-related belief. Alasan utama peneliti ingin memberikan CBT dalam bentuk terapi individual karena relapse merupakan perilaku yang didasari oleh belief yang salah dari remaja pengguna NAPZA. Belief negatif ini dapat dirubah menjadi positif, salah satunya dengan menggunakan Cognitive Behavior Therapy (CBT), yang merupakan bentuk cognitive behavior modification (dalam Martin & Pear, 1992). Tujuan CBT dalam menangani ketergantungan terhadap NAPZA adalah menolong remaja untuk mengidentifikasi pemikiran yang salah (negative automatic thoughts), perasaan dan tingkah laku maladaptif yang dipelihara atau penggunaan NAPZA yang lebih buruk, dan untuk meningkatkan kemampuan dalam menghadapi permasalahan di kehidupan pada umumnya dengan menggunakan problem solving skills (Rotgers, Frederick dan Davis, Arburn, 2005).


(23)

10

Aplikasi CBT meliputi konsep kognitif yang dirancang dengan prinsip dasar dari model kognitif. Penerapan CBT sebagai terapi untuk mengubah negative automatic thoughts remaja mengenai keyakinan penggunaan NAPZA dalam menghadapi high-risk situation, merupakan bentuk cognitive behavior modification (dalam Martin & Pear, 1992), sedangkan model Relapse Prevention oleh Marlatt dan Gordon (1985) didasarkan pada psikologi social-cognitive yang menggabungkan antara model konseptual relapse dan serangkaian strategi cognitive-behavior untuk mencegah atau membatasi masa relapse (Dimeff dan Marlatt, 1998; Marlatt, 1996; Marlatt dan Gordon, 1985). Didasari hal ini, peneliti tertarik untuk menyelidiki apakah terapi individual dengan pendekatan cognitive behavior therapy terhadap drug-related belief dapat mengubah negative automatic thoughts mengenai penggunaan NAPZA saat menghadapi high-risk situation pada remaja pengguna NAPZA, menjadi keyakinan positif terhadap kemampuan menghadapi high-risk situation dengan problem solving skills yang lebih efektif dan tanpa diikuti penggunaan NAPZA. Hal ini secara langsung dapat mengendalikan relapse pada remaja.

Cognitive Behavior Therapy (CBT) memfokuskan untuk menolong remaja yang memiliki ketergantungan agar tetap berada dalam keadaan abstinence dan sehat (sober). Proses belajar memegang peranan penting dalam perkembangan, kelanjutan penggunaan dan ketergantungan terhadap NAPZA. Proses belajar yang sama pun dapat digunakan untuk menolong remaja dalam mengurangi penggunaan NAPZA. CBT berupaya menolong remaja untuk mengenali,


(24)

11

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

thoughts mengenai drug-related belief, situasi-situasi sebagai pencetus yang memimpin remaja menggunakan NAPZA kembali (high-risk situation), keadaan craving, menghindari situasi tersebut dengan tepat, menghentikan dengan menggunakan problem solving skills yang lebih efektif dalam menangani high-risk situation yang di hadapi remaja (M.D., Rockville, 1998). Melalui terapi ini, pemikiran-pemikiran terhadap drug-related belief akan digali dengan memancing mereka untuk menemukannya sendiri, kemudian melalui proses dalam terapi kepada remaja akan diajarkan cara untuk mengubah negative automatic thoughts.

Rancangan penelitian bertujuan untuk melihat perubahan keyakinan negatif menjadi keyakinan positif remaja terhadap penggunaan NAPZA saat menghadapi high-risk situation. Hal ini dilakukan dengan memberikan problem solving skills, yang bertujuan untuk menyadarkan remaja bahwa dengan problem solving skills dapat menangani permasalahan yang remaja hadapi secara lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan NAPZA. Dengan peningkatan kemampuan remaja dalam menyelesaikan masalah melalui problem solving skills, diharapkan dapat membantu remaja mencapai perubahan negative automatic thoughts mengenai drug-related belief yang membantu mengubah keyakinannya tentang penggunaan NAPZA saat menghadapi high-risk situation dalam pengendalian terhadap relapse.

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana efektifitas Cognitive Behavior Therapy terhadap drug-related belief sehingga dapat mengubah negative automatic thoughts


(25)

12

penggunaan NAPZA saat menghadapi high-risk situation pada remaja pengguna NAPZA di rumah terapi “X” Bandung .

1.3 Maksud, Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Penelitian ini bermaksud untuk melihat efektifitas CBT dalam mengubah keyakinan penggunaan NAPZA saat menghadapi high-risk situation dengan cara mengubah negative automatic thoughts terhadap drug-related belief dengan pendekatan CBT pada remaja pengguna NAPZA.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas CBT dalam mengubah keyakinan penggunaan NAPZA saat menghadapi high-risk situation melalui CBT pada remaja pengguna NAPZA. Selain itu diharapkan juga melalui CBT remaja pengguna NAPZA dapat memahami cara mengubah negative automatic thoughts menjadi positif, agar remaja dapat menghindari penggunaan NAPZA saat menghadapi high-risk situation dan mengembangkan problem solving skills yang lebih efektif dalam menangani high-risk situation.

1.3.3 Kegunaan Penelitian 1.3.3.1 Kegunaan Teoretis

Kegunaan teoretis penelitian ini adalah untuk:

 Memberi sumbangan pengetahuan, khususnya bagi psikologi kesehatan dan psikologi klinis mengenai peran CBT dalam mengendalikan relapse dengan


(26)

13

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

mengubah keyakinan penggunaan NAPZA saat menghadapi high-risk situation pada remaja pengguna NAPZA.

 Menjadi sumber informasi dan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan penggunaan CBT terhadap berbagai permasalahan psikologis.

 Memberikan masukan bagi remaja pengguna NAPZA untuk memahami bagaimana negative automatic thoughts terhadap drug-related belief dapat menghambat proses pengendalian relapse. Dengan pemahamannya tersebut, remaja pengguna NAPZA mampu mempertahankan kondisi tanpa NAPZA saat menghadapi high-risk situation.

1.3.3.2 Kegunaan Praktis

Adapun kegunaan praktis penelitian ini adalah untuk:

 Memberi informasi tambahan bagi lembaga yang menangani remaja pengguna NAPZA mengenai peran CBT dalam mengendalikan relapse.  Memberi informasi bagi lembaga formal dan non formal yang menangani

pasien remaja pengguna NAPZA, bahwa penerapan pendekatan CBT dapat menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan terapi utuk mengurangi relapse terhadap NAPZA.

1.4 Metode Penelitian

Penelitian ini mencoba untuk menghasilkan modul Cognitive Behavior Therapy dan melihat signifikansinya terhadap perubahan keyakinan penggunaan


(27)

14

NAPZA saat menghadapi high-risk situation sebelum dan sesudah diberikan terapi individual pada remaja pengguna NAPZA di rumah terapi “X” Bandung . Rancangan penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Bagan 1.1. Rancangan Penelitian Keyakinan

penggunaan NAPZA saat menghadapi

high-risk situation

Modul Cognitive Behavior Therapy

Perubahan keyakinan penggunaan NAPZA saat

menghadapi high-risk situation dengan problem solving yang lebih efektif dan

tanpa diikuti penggunaan NAPZA


(28)

147

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil dan pembahasan tentang evaluasi terapi dengan pendekatan Cognitive Behavior Therapy dalam mengubah keyakinan penggunaan NAPZA saat menghadapi high-risk situation dengan cara mengubah negative automatic thoughts terhadap drug-related belief pada remaja pengguna NAPZA, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

- Kedua subjek penelitian menunjukkan peningkatan dalam keyakinan tidak menggunakan NAPZA dan kemampuan penyelesaian masalah tanpa penggunaan NAPZA saat menghadapi high-risk situations setelah mengikuti terapi dengan menggunakan pendekatan Cognitive Behavior Therapy.

- Kedua subjek berhasil mengubah negative automatic thoughts menjadi pikiran positif dan memiliki berbagai problem solving skills yang diharapkan dapat membantu mengatasi keinginan menggunakan NAPZA saat menghadapi high-risk situations.

- Penghayatan terhadap high-risk situations sebagai situasi yang menimbulkan keinginan menggunakan NAPZA berbeda pada kedua subjek penelitian. Untuk subjek 1 (R), giving in to temptations or urges, interpersonal conflict, negative emotional states, negative physical-physiological states dan social


(29)

148

pressure dihayati sebagai high-risk situations yang menimbulkan keinginan menggunakan NAPZA. Untuk subjek 2 (C), interpersonal conflict, negative emotional states, giving into temptations or urge dan social pressure dihayati sebagai high-risk situations yang menimbulkan keinginan menggunakan NAPZA.

- Masalah lain yang tidak berhubungan langsung dengan penggunaan NAPZA dapat berpengaruh terhadap keinginan menggunakan NAPZA kepada kedua subjek.

- Dalam situasi giving in to temptations or urge mengalami peningkatan yang tidak signifikan (pada subjek 1 dan 2, hanya 1 poin). Hal ini disebabkan karena kedua subjek menghayati dapat menahan keinginan menggunakan NAPZA jika menghadapi situasi yang tidak melibatkan tanda (cues) dari kehadiran NAPZA, namun keinginan menggunakan NAPZA akan lebih kuat datang saat stimulus NAPZA hadir.

- Social pressure dihayati kedua subjek sebagai situasi yang memiliki intensitas tinggi dalam menimbulkan keinginan menggunakan NAPZA. Situasi ini jarang dihadapi kedua subjek karena berada dalam perlindungan rumah terapi.

- Melalui pekerjaan rumah yang diberikan, kedua subjek dapat menerapkan pikiran positifnya melalui kejadian sehari-hari dalam proses mengatasi keinginan menggunakan NAPZA.


(30)

149

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha 5.2. Saran Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut:

5.2.1. Saran Teoretis

- Disarankan terapi dengan pendekatan Cognitive Behavior Therapy untuk mengubah keyakinan penggunaan NAPZA saat menghadapi high-risk situation dengan cara mengubah negative automatic thoughts terhadap drug-related belief pada remaja pengguna NAPZA, dilakukan dengan ukuran sampel yang lebih luas sehingga dapat dilihat signifikansi perubahan yang dialami tiap individu.

- Mengadakan penelitian terhadap masalah yang berbeda dengan metode penelitian yang sama. Hal ini dimaksudkan agar dapat melihat keefektifan terapi dengan pendekatan Cognitive Behavior Therapy pada sampel dan masalah yang berbeda.

5.2.2. Saran Guna Laksana

5.2.2.1 Saran kepada Rumah Terapi

- Terapi dengan pendekatan Cognitive Behavior Therapy dapat dijadikan salah satu alternatif terapi pada pasien pengguna NAPZA untuk mengurangi keinginan menggunakan NAPZA kembali.

- Disarankan rumah terapi dapat menyelesaikan terlebih dahulu permasalahan remaja pengguna NAPZA yang tidak berhubungan langsung dengan


(31)

150

penggunaan NAPZA sebelum memberikan CBT terhadap high-risk situations yang menimbulkan keinginan menggunakan NAPZA pada remaja.

- Disarankan rumah terapi dapat mengakomodasi komunitas yang lebih positif kepada remaja setelah menyelesaikan terapi di rumah terapi sehingga remaja mendapatkan social pressure yang lebih positif, dalam kaitan untuk berprestasi.

5.2.2.2 Saran kepada Remaja Pengguna NAPZA

- Remaja pengguna NAPZA dapat mentransfer hasil terapi pada situasi lainnya, yaitu dengan cara mencari bukti yang mendukung dan tidak mendukung pemikiran negatif yang dimilikinya dan mengubahnya menjadi pikiran positif sehingga diharapkan dapat menghadapi situasi-situasi yang dapat menimbulkan keinginan menggunakan NAPZA.

- Disarankan remaja dapat membentuk / bergabung dengan komunitas yang positif dan menghindari teman pecandu.


(32)

151

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Aaro, L.E. 1997. Adolescent Lifestyle. Dalam A. Baum, S. Newman J. Weinman, R. West and C. McManus (Eds). Cambridge Handbook of Psychology, Health and Medicine (65-67). Cambridge: Cambridge University Press. Beck, Aaron T, Fred D F Newman, Cory Wright, Bruce S Liesle. 1993. Cogntive

Therapy of Subtance Abuse. New York: The Guilford Press.

Beck, Judith S., 1995. Cognitive Therapy: Basic and Beyond. New York: The Guilford Press.

Beyth-Marom, R., Austin, L., Fischhoff, B., Palmgren, C., & Jacobs-Quadrel, M. 1993. Perceived Consequences of Risky Behaviors: Adults and Adolescents. Journal of Developmental Psychology, 29(3), 549-563

Conger, J.J. (1991). Adolescence and Youth, 4th edition. New York: Harper Collins

Corey, Gerald. 1996. Theory and Practice of Counseling and Psychotherap, fifth edition. Pasific Grovm California: Brooks/Cole Publishing Company. Craighead, L.W., Craighead, W. E., Kazdin, A.E. & Mahoney, M.G. 1994.

Cognitive and Behavior Interventions. Boston: Allyn and Bacon.

D’Zurilla, T. J. 1988. Problem Solving Therapies. Dalam K. S. Dobson (ed.). Handbook of Cognitive Behavioral Therapies. Guilford: New York.

D’Zurilla, T. J. and Goldfried, M. R. 1975. Problem Solving and Behaviour Modification. Journal of Abnormal Psychology.

Eccelston, C. 2001. Role of Psychology in Pain Management. British Journal of Anaesthesia.

Ellen, K. M. 1996. Nursing Care of the Addicted Client. Philadelphia: Liptincott. Freeman, Arthur. 2005. Encyclopedia of Cognitive Behaviour Therapy. New

York: Springer Science and Business Media, Inc.

Graziano, A. M. & Raulin, M. L. 2000. Research Methods: A Process of Inquiry. Needham Heights; Allyn & Bacon.

Gunarsa, S.D. 1990. Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta: BPK Gunung Mulia.


(33)

Hurlock, E. B. 1990. Developmental Psychology: A Lifespan Approach. Boston: McGraw Hill.

Hurlock, E. B. 1973. Adolescent Development. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha. Lazarus, R.S. and Folkman, S. 1984. Stress, Appraisaland Coping. New York:

SpringerPublishing Company.

Ledley, D.R. et al. 2005. Making Cognitive-Behavioral Therapy Work: Clinical Process for NewPractitioners. New York: The Guilford Press.

Lowinson, Joyce H., Ruiz, Redro., Millman, Robert B. & Langord, John G. 2005. Substance Abuse: A Comprehensive Textbook, Fourth Edition. Lippincott: Williams & Wilkins.

Marlatt, G. Alan and Donovan, Dennis M. 2005. Relapse Prevention. Maintenance of Addictive Behaviors, second edition. New York: The Guilford Press.

Martin, G. & Pear, J. 2003. Behavior Modification. What It Is and How To Do It, Seventh Edition. New Jersey: Prentice Hall inc.

Maslim Rusdi, Dr., Diagnosis Gangguan Jiwa, Buku Saku PPDGJ III.

Mckay, J. R. (1999). Studies of Factors in Relapse to Alcohol, Drug, and Nicotine Use: A Critical Review of Methodologies and Findings. Journal of Studies on Alcohol, 60, 566-576.

Milkman, Harvey Ph.D. dan Wanberg, Kenneth Th.D., Ph.D. 2007. Cognitive-Behavioral Treatment, A Review and Discussion for Corrections Professionals. Washington.

Moeliono, Laurike. 2003. Sedia Payung Sebelum Hujan – Apa Saja yang Perlu Kita Tahu Mengenai Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Papalia, D E., Olds, S. W., & Feldman, Ruth D. 2001. Human Development, 8th

edition. Boston: McGraw-Hill

Pom, Kus, Tedi. 1999. Bahaya NAPZA Bagi Pelajar. Bandung: Yayasan Al-Ghifari

Rapaka, Rao S, dan Sadée, Wolfgang. 2008. Drug Addiction, From Basic Research to Therapy.


(34)

153

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Salkovskis, Paul M (edited). 1996. Frontiers of cognitive therapy. New York: The Guilford Press.

Santrock, John W. 1996. Adolescence, 6th edition. McGraw-Hill.

The Indonesian Nightinghale Foundation Jounal. 1999. Kiat Penanggulangan dan Penyalahgunaan Ketergantungan NAPZA. Jakarta

Thorn, B. E. 2004. Cognitive Therapy for Chronic Pain. New York: The Guilford Press.

Turk, D.C. and Gatchel, R. J. 2002. Psychological Approach to Pain Management; A Practicioner’s Handbook, 2nd edition. New York: The Guilford Press.


(35)

DAFTAR RUJUKAN

Kadden, R.M. (2002, October 9). 2008. Cognitive-Behavior Therapy for Substance Dependence: Coping Skills Training. From http://www.bhrm.or/guidelines/CBT-Kadden.pdf.


(1)

149

5.2. Saran Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut:

5.2.1. Saran Teoretis

- Disarankan terapi dengan pendekatan Cognitive Behavior Therapy untuk mengubah keyakinan penggunaan NAPZA saat menghadapi high-risk situation dengan cara mengubah negative automatic thoughts terhadap drug-related

belief pada remaja pengguna NAPZA, dilakukan dengan ukuran sampel yang

lebih luas sehingga dapat dilihat signifikansi perubahan yang dialami tiap individu.

- Mengadakan penelitian terhadap masalah yang berbeda dengan metode penelitian yang sama. Hal ini dimaksudkan agar dapat melihat keefektifan terapi dengan pendekatan Cognitive Behavior Therapy pada sampel dan masalah yang berbeda.

5.2.2. Saran Guna Laksana

5.2.2.1 Saran kepada Rumah Terapi

- Terapi dengan pendekatan Cognitive Behavior Therapy dapat dijadikan salah satu alternatif terapi pada pasien pengguna NAPZA untuk mengurangi keinginan menggunakan NAPZA kembali.

- Disarankan rumah terapi dapat menyelesaikan terlebih dahulu permasalahan remaja pengguna NAPZA yang tidak berhubungan langsung dengan


(2)

150

penggunaan NAPZA sebelum memberikan CBT terhadap high-risk situations yang menimbulkan keinginan menggunakan NAPZA pada remaja.

- Disarankan rumah terapi dapat mengakomodasi komunitas yang lebih positif kepada remaja setelah menyelesaikan terapi di rumah terapi sehingga remaja mendapatkan social pressure yang lebih positif, dalam kaitan untuk berprestasi.

5.2.2.2 Saran kepada Remaja Pengguna NAPZA

- Remaja pengguna NAPZA dapat mentransfer hasil terapi pada situasi lainnya, yaitu dengan cara mencari bukti yang mendukung dan tidak mendukung pemikiran negatif yang dimilikinya dan mengubahnya menjadi pikiran positif sehingga diharapkan dapat menghadapi situasi-situasi yang dapat menimbulkan keinginan menggunakan NAPZA.

- Disarankan remaja dapat membentuk / bergabung dengan komunitas yang positif dan menghindari teman pecandu.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Aaro, L.E. 1997. Adolescent Lifestyle. Dalam A. Baum, S. Newman J. Weinman, R. West and C. McManus (Eds). Cambridge Handbook of Psychology, Health and Medicine (65-67). Cambridge: Cambridge University Press. Beck, Aaron T, Fred D F Newman, Cory Wright, Bruce S Liesle. 1993. Cogntive

Therapy of Subtance Abuse. New York: The Guilford Press.

Beck, Judith S., 1995. Cognitive Therapy: Basic and Beyond. New York: The Guilford Press.

Beyth-Marom, R., Austin, L., Fischhoff, B., Palmgren, C., & Jacobs-Quadrel, M. 1993. Perceived Consequences of Risky Behaviors: Adults and

Adolescents. Journal of Developmental Psychology, 29(3), 549-563

Conger, J.J. (1991). Adolescence and Youth, 4th edition. New York: Harper Collins

Corey, Gerald. 1996. Theory and Practice of Counseling and Psychotherap, fifth

edition. Pasific Grovm California: Brooks/Cole Publishing Company.

Craighead, L.W., Craighead, W. E., Kazdin, A.E. & Mahoney, M.G. 1994.

Cognitive and Behavior Interventions. Boston: Allyn and Bacon.

D’Zurilla, T. J. 1988. Problem Solving Therapies. Dalam K. S. Dobson (ed.).

Handbook of Cognitive Behavioral Therapies. Guilford: New York.

D’Zurilla, T. J. and Goldfried, M. R. 1975. Problem Solving and Behaviour

Modification. Journal of Abnormal Psychology.

Eccelston, C. 2001. Role of Psychology in Pain Management. British Journal of Anaesthesia.

Ellen, K. M. 1996. Nursing Care of the Addicted Client. Philadelphia: Liptincott. Freeman, Arthur. 2005. Encyclopedia of Cognitive Behaviour Therapy. New

York: Springer Science and Business Media, Inc.

Graziano, A. M. & Raulin, M. L. 2000. Research Methods: A Process of Inquiry. Needham Heights; Allyn & Bacon.

Gunarsa, S.D. 1990. Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta: BPK Gunung Mulia.


(4)

Hurlock, E. B. 1990. Developmental Psychology: A Lifespan Approach. Boston: McGraw Hill.

Hurlock, E. B. 1973. Adolescent Development. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha. Lazarus, R.S. and Folkman, S. 1984. Stress, Appraisaland Coping. New York:

SpringerPublishing Company.

Ledley, D.R. et al. 2005. Making Cognitive-Behavioral Therapy Work: Clinical

Process for NewPractitioners. New York: The Guilford Press.

Lowinson, Joyce H., Ruiz, Redro., Millman, Robert B. & Langord, John G. 2005.

Substance Abuse: A Comprehensive Textbook, Fourth Edition. Lippincott:

Williams & Wilkins.

Marlatt, G. Alan and Donovan, Dennis M. 2005. Relapse Prevention.

Maintenance of Addictive Behaviors, second edition. New York: The

Guilford Press.

Martin, G. & Pear, J. 2003. Behavior Modification. What It Is and How To Do It,

Seventh Edition. New Jersey: Prentice Hall inc.

Maslim Rusdi, Dr., Diagnosis Gangguan Jiwa, Buku Saku PPDGJ III.

Mckay, J. R. (1999). Studies of Factors in Relapse to Alcohol, Drug, and Nicotine

Use: A Critical Review of Methodologies and Findings.Journal of Studies

on Alcohol, 60, 566-576.

Milkman, Harvey Ph.D. dan Wanberg, Kenneth Th.D., Ph.D. 2007. Cognitive-Behavioral Treatment, A Review and Discussion for Corrections

Professionals. Washington.

Moeliono, Laurike. 2003. Sedia Payung Sebelum HujanApa Saja yang Perlu Kita Tahu Mengenai Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif

Lainnya. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

Papalia, D E., Olds, S. W., & Feldman, Ruth D. 2001. Human Development, 8th

edition. Boston: McGraw-Hill

Pom, Kus, Tedi. 1999. Bahaya NAPZA Bagi Pelajar. Bandung: Yayasan Al-Ghifari

Rapaka, Rao S, dan Sadée, Wolfgang. 2008. Drug Addiction, From Basic Research to Therapy.


(5)

Salkovskis, Paul M (edited). 1996. Frontiers of cognitive therapy. New York: The Guilford Press.

Santrock, John W. 1996. Adolescence,6th edition. McGraw-Hill.

The Indonesian Nightinghale Foundation Jounal. 1999. Kiat Penanggulangan dan

Penyalahgunaan Ketergantungan NAPZA. Jakarta

Thorn, B. E. 2004. Cognitive Therapy for Chronic Pain. New York: The Guilford Press.

Turk, D.C. and Gatchel, R. J. 2002. Psychological Approach to Pain Management; A Practicioner’s Handbook, 2nd edition. New York: The Guilford Press.


(6)

DAFTAR RUJUKAN

Kadden, R.M. (2002, October 9). 2008. Cognitive-Behavior Therapy for

Substance Dependence: Coping Skills Training. From