FOKAL LESI TRAUMATIK PADA CT SCAN KEPALA MENENTUKAN TINDAKAN OPERASI DAN OUTCOME (GOSE) PADA PENDERITA CEDERA KEPALA RINGAN DI RSUP SANGLAH DENPASAR BALI.

(1)

TESIS

FOKAL LESI TRAUMATIK PADA CT SCAN KEPALA

MENENTUKAN TINDAKAN OPERASI DAN OUTCOME

(GOSE) PADA PENDERITA CEDERA KEPALA RINGAN

DI RSUP SANGLAH DENPASAR BALI

NYOMAN DWI AUSSIE HARY MASTIKA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

TESIS

FOKAL LESI TRAUMATIK PADA CT SCAN KEPALA

MENENTUKAN TINDAKAN OPERASI DAN OUTCOME

(GOSE) PADA PENDERITA CEDERA KEPALA RINGAN

DI RSUP SANGLAH DENPASAR BALI

NYOMAN DWI AUSSIE HARY MASTIKA NIM 1014028102

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

FOKAL LESI TRAUMATIK PADA CT SCAN KEPALA

MENENTUKAN TINDAKAN OPERASI DAN OUTCOME

(GOSE) PADA PENDERITA CEDERA KEPALA RINGAN

DI RSUP SANGLAH DENPASAR BALI

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana

NYOMAN DWI AUSSIE HARY MASTIKA NIM 1014028102

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(4)

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 26 JANUARI 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. dr. Nyoman Golden, SpBS(K) Dr. dr. I Ketut Widiana, Sp.B(K)Onk

NIP 196203071989031001 NIP 195707031985111001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Dr.dr.Gde Ngurah Indraguna Pinatih M.Sc, Sp.GK Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP 195805211985031002 NIP 195902151985102001


(5)

Tanggal 26 JANUARI 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No : 599/UN14.4/HK/2016, Tanggal 26 Januari 2016

Penguji :

1. Dr. dr. Nyoman Golden, Sp.BS(K) 2. Dr. dr. I Ketut Widiana, SpB(K)Onk 3. Prof. dr. N. Tigeh Suryadi,MPH, Phd 4. dr. INW Steven Christian, SpB(K)Onk


(6)

(7)

Saya panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan

rahmat–Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan karya tulis dengan judul “Fokal Lesi Traumatik Pada CT Scan Kepala Dalam Menentukan Tindakan Operasi Dan Outcome (GOSE) Pada Penderita Cedera Kepala Ringan Di RSUP Sanglah Denpasar”.

Karya tulis ini adalah salah satu persyaratan dalam menempuh Program

Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Bedah Umum di Departemen/SMF Bedah Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar. Terima kasih yang tak

terhingga dan penghargaan yang setinggi–tingginya saya haturkan kepada :

Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD–KEMD, selaku rektor Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan belajar di universitas yang beliau pimpin.

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SpS (K), selaku Ketua Program Studi Ilmu

Biomedik atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi mahasiswa Program Studi

Ilmu Bedah dan Program Studi Ilmu Biomedik pada Program Pascasarjana Universitas

Udayana

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, MSc, Sp.GK selaku Ketua Program Studi

Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan

kesempatan untuk menimba ilmu.

Dr. dr. Nyoman Golden, Sp.BS(K) selaku pembimbing utama penelitian yang

dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan inspirasi, bimbingan, dan


(8)

Dr. dr. Ketut Widiana, Sp.B(K)Onk selaku pembimbing kedua dalam penelitian

ini yang telah memberikan bimbingan dan masukan untuk memperlancar penyelesaian

karya tulis ini.

Prof. Dr. dr. Sri Maliawan, SpBS(K) selaku Kepala Departemen/SMF Bedah

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, yang telah

memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter

Spesialis di program studi Bedah Umum.

dr. Ketut Wiargitha, SpB(K) Trauma selaku Ketua Program Studi Ilmu Bedah

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dan dr. Putu Anda

Tusta Adiputra, SpB(K)Onk. sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar yang memberikan dukungan

dan semangat dalam menyelesaikan pendidikan.

dr. Anak Ayu Sri Saraswati, MKes selaku Direktur Utama RSUP Sanglah

Denpasar yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar di lingkungan

rumah sakit yang beliau pimpin.

Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana yang telah memberikan saya kesempatan untuk mengikuti

pendidikan spesialis Bedah Umum di fakultas yang beliau pimpin.

Seluruh Staf Pengajar Departemen/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar sebagai guru dan teladan saya yang dengan penuh

dedikasi dan kesabaran telah banyak memberikan bimbingan dan dukungan kepada saya


(9)

Orang tua saya, Prof. Ir. I Made Mastika MSc. PhD, A.A Istri Ngurah SP, Istri

saya dr. Nyoman Sri Rahayu Wulandari, dan putra saya Gede Krishna Abhinaya

Mastika dan Made Arsyanendra Daneswara Mastika kakak saya dr Gede Ngurah Bayu

Dalem putra SpOG, Made Aussieadi Surya Mastika atas cinta kasih, motivasi, dan

dukungan yang tiada henti selama saya menjalani pendidikan spesialis ini.

dr. Ketut Subhawa, dr. I.A.Putranti, dr. A.A Budhi Kusuma, dan dr. I Putu Harina

Kusuma, serta seluruh rekan PPDS I Bedah Umum atas kerjasama, dukungan dan

bantuannya dalam proses penelitian serta selama proses pendidikan.

Seluruh staf dan paramedis di Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah, seluruh staf

sekretariat Bedah, serta paramedis di Instalasi Rawat Inap Bedah, Instalasi Rawat Jalan

Bedah RSUP Sanglah Denpasar.

Akhir kata, semoga karya tulis ini dapat bermanfaat,dan mohon maaf atas segala

kekurangan.

Denpasar, 26 Januari 2016

Nyoman Dwi Aussie Hary Mastika

ABSTRAK

FOKAL LESI TRAUMATIK PADA CT SCAN KEPALA DALAM MENENTUKAN TINDAKAN OPERASI DAN OUTCOME (GOSE) PADA PENDERITA CEDERA KEPALA RINGAN DI RSUP SANGLAH DENPASAR

BALI

Cedera kepala ringan merupakan kasus yang sering ditemui pada unit gawat darurat. Walaupun sangat jarang, pasien dengan GCS 15 bisa mengalami deteriosasi akut, bahkan tidak jarang diikuti dengan kematian. prinsip penanganan pasien cedera kepala adalah mendeteksi secara dini ada atau tidaknya fokal lesi intrakranial yang membutuhkan operasi dan untuk menangani lesi tersebut sebelum komplikasi dari lesi timbul, sehingga outcome pasien menjadi lebih baik. tujuan Penelitian ini adalah


(10)

meneliti pengaruh fokal lesi traumatik dan GCS terhadap tindakan operasi dan outcome pasien.

Studi prospektif dilakukan pada 306 pasien dengan GCS antara 14 -15 yang datang ke RS Sanglah antara tahun 2014 sampai 2015. Data mengenai nilai GCS, hasil CT scan kepala, terapi dan outcome 3 bulan dikumpulkan dan dianalisa.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fokal lesi traumatik merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perlunya tindakan operasi dan outcome pada pasien tanpa memandang nilai GCS ( nilai P 0,000). Penelitian ini juga menunjukkan bahwa GCS tidak memiliki pengaruh terhadap perlunya tindakan operasi dan outcome (nilai P 0,409)

Berdasarkan hasil penelitian, penulis membagi pasien CKR menjadi kelompok low risk dan high risk CKR. Low risk CKR didefinisikan sebagai pasien dengan GCS 14-15 tanpa fokal lesi traumatic pada hasil CT scan, sedangkan High risk CKR didefinisikan sebagai pasien dengan GCS 14-15 dengan fokal lesi traumatic pada hasil CT scan.

Kata kunci: cedera kepala ringan, fokal lesi traumatik, outcome (GOSE)

ABSTRACT

FOCAL TRAUMATIC LESIONS ON HEAD CT SCAN IN DETERMINING

THE NEED FOR SURGERY AND OUTCOME (GOSE) IN SANGLAH GENERAL HOSPITAL DENPASAR BALI

Mild head injury (MHI) is a case that is often encountered in the emergency department. Although very rare, patients with GCS 15 may experience acute

deterioration, not often followed by death. The principle of handling head injury patients is early detection of the presence or absence of focal intracranial lesions that require surgery and to treat these lesions before complications occurred, thus better patient outcomes. The purpose of this study was to investigate the effect of focal traumatic lesions and GCS against the need for surgery and patient outcomes.


(11)

Prospective study was performed on 306 patients with GCS between 14 -15 who came to Sanglah Hospital from 2014 to 2015. Data on the value of GCS, a CT scan of the head, therapy and outcomes 3 months were collected and analyzed.

These results indicate that focal traumatic lesions are factors that influence the need for surgery and outcome in patients regardless of the value of GCS (P 0.000). This study also demonstrated that GCS has no influenced on the need for surgery and the outcome (P .409)

Based on the result of this study, the author divided MHI into low and high risk MHI groups. Low risk MHI is defined as GCS score of 14 or 15 without acute traumatic focal lesions, whereas High risk MHI is defined as GCS score of 14 or 15 with acute traumatic focal lesions.

Keywords: mild head injury, traumatic focal lesions, outcome (GOSE)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... ... i

PRASYARAT GELAR .... ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... ... v


(12)

ABSTRAK ... ... ix

ABSTRACT ... ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR SINGKATAN ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.3.2 Tujuan Umum ... 5

1.3.2 Tujuan khusus ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.4.1 Manfaat Akademik ... 6

1.4.2 Manfaat Praktis ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 7

2.1 Cedera Kepala... 7

2.1.1 Batasan Cedera Kepala ... 7

2.1.2 Klasifikasi Cedera Kepala ... 8

2.2 Cedera Kepala Ringan dan Permasalahannya ... 9

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP PENELITIAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 17


(13)

3.2 Kerangka Konsep ... 18

3.3 Hipotesis Penelitian... 18

BAB IV METODE PENELITIAN ... 20

4.1 Rancangan Penelitian ... 20

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 20

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 20

4.3.1 Kriteria Inklusi ... 20

4.3.2 Kriteria Eksklusi ... 21

4.4 Besar Sampel... 21

4.5 Variabel Penelitian ... 22

4.6 Definisi Operasional ... 22

4.7 Prosedur Penelitian ... 24

4.8 Alur Penelitian ... 25

4.9 Analisis data ... 25

BAB V HASIL PENELITIAN... 27

5.1 Analisa statistik deskriptif ... 28

5.2 Analisa bivariate pengaruh variabel dalam menentukan tindakan operasi………..………...28

5.3 Analisa bivariate pengaruh variabel dalam menentukan outcome………..30

5.4 Analisa pengaruh GCS terhadap outcome pada pasien CKR tanpa dan dengan fokal lesi ... 32


(14)

5.5 Analisa pengaruh GCS terhadap perlunya tindakan operasi pada

pasien CKR tanpa dan dengan fokal lesi ... 33

5.6 Analisa pengaruh fokal lesi terhadap outcome pada pasien dengan GCS 14 dan 15... 34

5.7 Analisis pengaruh fokal lesi erhadap perlunya tindakan operasi pada pasien dengan GCS 14 dan 15 ... 35

5.8 Analisis multivariate pengaruh variabel factor resiko dalam menentukan outcome ... 37

BAB VI PEMBAHASAN ... 38

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 45

LAMPIRAN…. ... 52

DAFTAR TABEL Tabel 5.1 Gambaran karakteristik subjek dan variable penelitian ... 28

Tabel 5.2 Hasil analisis bivariate (pengaruh variabel faktor risiko dalam menentukan tindakan operasi) ... 30

Tabel 5.3 Hasil analisis bivariate (pengaruh variabel faktor risiko dalam menentukan outcome)32


(15)

Tabel 5.4 Hasil analisis pengaruh GCS terhadap outcome pada pasien CKR tanpa dan dengan fokal lesi33

Tabel 5.5 Hasil analisis pengaruh GCS terhadap perlunya tindakan operasi pada pasien CKR tanpa dan dengan fokal lesi34

Tabel 5.6 Hasil analisis pengaruh Fokal lesi terhadap outcome pada pasien CKR dengan GCS 14 dan 1535

Tabel 5.7 Hasil analisis pengaruh Fokal lesi terhadap perlunya tindakan operasi pada pasien CKR dengan GCS 14 dan 1536

Tabel 5.8 Hasil analisis multivariate (pengaruh variabel faktor risiko terhadap outcome)37

DAFTAR SINGKATAN

GCS : Glasgow Coma Scale

GOSE : Glasgow Outcome Scale Extended

CT Scan : Computed Tomography Scan Kepala. CKR : Cedera Kepala Ringan

LOC : Lost of Consciousness

EDH : Epidural Hematome


(16)

IVH : Intra ventricular Hemorrhage

ICH : Intra Cerebral Hemorrhage

SAH : Sub Arachnoid Hemorrhage

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Amandemen Penelitian ... 52

Lampiran 2 Form Kelayakan Etik ... 53

Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian ... 54

Lampiran 3 Form Inform Consent ... 55

Lampiran 4 Data Subyek Penelitian ... 58


(17)

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Cedera kepala merupakan penyebab kematian dan kecacatan pada usia

dewasa dibawah 45 tahun (Andrade, et al., 2006). Berdasarkan Glasgow Coma

Scale (GCS) klasifikasi cedera kepala dibagi atas 3 yaitu cedera kepala ringan

(GCS 115), cedera kepala sedang (GCS 9-12) dan cedera kepala berat (GCS

3-8). Beberapa penulis mendefinisikan cedera kepala ringan dengan nilai GCS

14-15 (Golden, et al., 2013; Stein dan Ross, 1992). Pasien dengan cedera kepala

ringan merupakan mayoritas dari pasien cedera kepala yang memerlukan rawat

inap di Amerika Serikat. Kraus dan Nourjah (1989) memperkirakan sekitar

325.000 pasien memerlukan penanganan di rumah sakit tiap tahunnya. Sekitar

80% dari seluruh penderita cedera kepala merupakan cedera kepala ringan

(Andrade, et al., 2006; Saadat, et al., 2009). Di RSUP Sanglah Denpasar, rata-rata

insiden cedera kepala per tahun diatas 2000 kasus, lebih dari 70% didominasi

pasien cedera kepala ringan (Register IRD Sanglah, 2010).

GCS pada cedera kepala ringan, tidak sepenuhnya mencerminkan derajat

kerusakan otak (Decayet, et al., 1986; Gomez, et al., 1996). Contohnya pada

penderita yang datang di unit gawat darurat dengan GCS 15, mungkin saja

memiliki lesi traumatik intrakranial yang berkembang menjadi koma atau bahkan

kematian (Marshall, et al.,1983). Penderita “who talk and deteriorate” masih menjadi perhatian utama untuk mereka yang bekerja di ruang gawat darurat


(19)

2

karena berhubungan dengan isu medik dan hukum (Galbraith, 1976; Marshall, et

al., 1983; Andrade, et al., 2006).

Semua peneliti sepakat bahwa penderita dengan GCS 13 dan 14 merupakan

indikasi untuk melakukan CT scan (Gomez, et al., 1996; Hsiang, et al.,1997;

Miller, et al.,1997; Turedi, et al., 2008; Golden, et al., 2013), sebaliknya GCS 15

masih belum sepenuhnya disepakati. Para peneliti menggunakan berbagai kriteria

untuk melakukan CT scan penderita dengan GCS 15, seperti miller’s criteria, New Orleans Criteria, Canadian CT Head Rule, CT in Head Injury Patient (CHIP), (Stiell, et al., 2001; Saboori, et al., 2007; Golden, et al., 2013).

Kontroversi ini disebabkan oleh adanya keinginan untuk memotong biaya rumah

sakit dan disisi lain keinginan untuk mendeteksi semua lesi intrakranial pada

penderita CKR (Miller, et al., 1997; Haydel, et al., 2000). Akan tetapi suatu studi

melaporkan bahwa rata-rata biaya penderita CKR yang perlu observasi di rumah

sakit tanpa CT scan lebih mahal dibandingkan dengan penderita CKR dengan CT

scan normal dan langsung dipulangkan (Geijerstam, et al., 2006 ).Oleh karena itu

CT scan awal adalah strategi yang aman untuk mentriase penderita CKR yang

perlu dirawat (Stein dan Ross, 1990; Geijerstam, et al., 2004). Mengingat tingkat

seriusnya cedera kepala ditentukan dengan adanya lesi intrakranial, maka

beberapa peneliti melakukan CT scan pada semua penderita CKR (Geijerstam, et

al., 2004).

Melihat rentang GCS cedera kepala ringan, maka sangat mungkin terjadi

variasi lesi intrakranial, perlunya tindakan operasi, dan outcome (Cullota, et al.,


(20)

3

peluang untuk terjadi lesi intrakranial dan memerlukan tindakan operasi (Stein

dan Ross, 1990; Cullotta, et al., 1996; Gomez, et al., 1996; Hsiang, et al., 1997;

Turedi, et al., 2008). Lesi intrakranial dan perlunya tindakan operasi merupakan

indeks beratnya cedera oleh karena keduanya berhubungan erat dengan outcome

(Gomez, et al., 1996; Vincent, et al., 1996; Hsiang, et al., 1997) yang ditentukan

dengan Glasgow outcome scale (Jennet dan Bond, 1975).

Berkaitan dengan risiko untuk terjadinya CT scan abnormal, maka beberapa

peneliti membagi CKR dalam risiko tinggi, dan rendah (tanpa resiko) (Wiliam, et

al., 1990; Lee, et al.,1992; Culotta, et al., 1996; Hsianget, al.,1997; Servadei, et

al., 2001; Turedi, et al., 2008). Dari kajian pustaka, CKR dengan GCS 13-14, dan

fraktur linear, dikategorikan sebagai CKR dengan risiko tinggi, sedangkan GCS

15 tanpa fokal lesi dianggap CKR dengan risiko rendah atau tanpa risiko.

Walaupun CKR dengan GCS 15 dikategorikan sebagai CKR risiko rendah, namun

ada beberapa kasus dilaporkan terjadi deteriorasi akut. (Chan, et al., 1990).

Turedi, et al (2008) melaporkan insiden sebanyak 6% CT abnormal pada CKR

resiko rendah (GCS 15 tanpa faktor risiko).

Fokus perawatan CKR adalah deteksi dini CT scan abnormal dan tindakan

sedini mungkin untuk menekan morbiditas dan mortalitas. Jadi CT abnormal

memiliki peran sentral dalam perawatan pasien CKR walaupun penderita dengan

GCS 15, oleh karena berkaitan dengan tindakan operasi dan outcome (Gomez, et

al., 1996; Hsiang, et al., 1997; Vincent, et al., 1996). Oleh karena itu penulis

mengganggap klasifikasi CKR hanya berdasarkan GCS tidak selalu dapat dipakai


(21)

4

Walaupun ada penelitian lain yang melihat bahwa lesi intrakranial pada GCS 15

tidak mempengaruhi outcome (Lannsjo, et al.,2013), namun penelitian ini hanya

dilakukan padapenderita CKR dengan GCS 15.

Penulis menganggap perlu adanya kombinasi antara GCS dengan CT scan

untuk mengsubklasifikasikan CKR. Setiap lesi traumatik intrakranial seberapapun

kecilnya adalah serius, walaupun ada beberapa penulis menganggap lesi yang

serius adalah lesi intrakranial yang memerlukan tindakan operasi. Untuk

menjamin keamanan pasien maka penulis lebih memilih bahwa setiap lesi

intrakranial traumatik adalah serius. Pendapat penulis didukung oleh laporan

beberapa peneliti yang mendapatkan pembesaran lesi intrakranial saat obervasi

dan akhirnya memerlukan tindakan operasi (Vincent, et al.,1996; Saadat, et al.,

2009).

Untuk menguji hipotesis bahwa setiap lesi intrakranial tanpa melihat GCS

adalah lesi serius maka penulis melakukan penelitian peran lesi intrakranial pada

penderita CKR tanpa melihat rentang GCS dalam menentukan perlunya tindakan

operasi dan outcome. Dengan asumsi bahwa CKR dengan lesi intrakranial tanpa

melihat rentang GCS memiliki outcome lebih buruk daripada penderita tanpa

fokal lesi tanpa memandang GCS saat masuk rumah sakit dan CKR dengan fokal

lesi, dan CKR dengan fokal lesi memiliki peluang untuk menjalani tindakan


(22)

5

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan kajian pustaka di atas maka dibuat rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apakah ada perbedaan outcome penderita CKR tanpa lesi fokal pada CT

scan kepala antara GCS 14 dan 15?

2. Apakah ada perbedaan outcome penderita CKR dengan lesi fokal pada CT

scan kepala antara GCS 14 dan 15?

3. Apakah ada perbedaan tindakan operasi pada penderita CKR dengan lesi

fokal antara GCS 14 dan 15?

4. Apakah ada perbedaan tindakan operasi pada penderita CKR tanpa lesi

fokal antara GCS 14 dan 15?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum

1. Untuk melihat bahwa outcome CKR ditentukan oleh ada tidaknya lesi

fokal pada CT scan kepala.

2. Untuk melihat bahwa tindakan operasi pada CKR ditentukan oleh ada

tidaknya lesi fokal CT scan kepala.

1.3.2. Tujuan khusus

1. Mengetahui adanya perbedaan outcome pada penderita CKR tanpa lesi

fokal pada CT scan kepala antara GCS 14 dan 15.

2. Mengetahui adanya perbedaan outcome penderita CKR dengan lesi fokal


(23)

6

3. Mengetahui adanya perbedaan tindakan operasi penderita CKR dengan

lesi fokal pada CT scan antara GCS 14 dan 15.

4. Mengetahui adanya perbedaan tindakan operasi penderita CKR tanpa lesi

fokal pada CT scan kepala antara GCS 14 dan 15.

1.4. Manfaat penelitian

1.4.1. Manfaat Akademis Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi pengetahuan bahwa GCS

pada penderita CKR tidak selalu dipakai untuk melihat derajat kerusakan jaringan

otak dan menentukan outcome

1.4.2 Manfaat Praktis Penelitian

Penderita CKR GCS 15 dengan lesi fokal traumatic memerlukan observasi

lebih ketat dibandingan dengan GCS 14 dengan CT scan kepala normal.

Observasi penderita CKR tidak hanya melihat GCS, tetapi juga memperhatikan


(24)

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Cedera Kepala

2.1.1. Batasan cedera kepala

Cedera kepala menurut istilah anatomis dikatakan bahwa seluruh trauma

yang terjadi diatas batas bawah dari mandibula (Reilly dan Bullock, 2005).

Menurut Field, (1976) cedera kepala merupakan trauma dimana menyebabkan

risiko terjadinya kerusakan pada otak. Menurut Jagger, et al (1984) trauma kepala

yang terdokumentasi dengan disertai hilangnya kesadaran, amnesia pasca trauma,

dan fraktur tengkorak. Sedangkan menurut Brookes, et al (1990) cedera kepala

merupakan cedera pada scalp termasuk pembengkakan, abrasi, atau kontusio serta

laserasi, atau adanya riwayat benturan yang jelas pada kepala, atau penderita

dimana telah dilakukan rontgen tengkorak segera setelah trauma, dan penderita

yang memiliki bukti klinis adanya fraktur dasar tengkorak (Reilly dan Bullock,

2005).

Trauma merupakan penyebab kematian terbanyak diantara orang dengan

usia dibawah 45 tahun, dimana sebagian besar disebabkan oleh cedera kepala

(Andrade, et al.,2006). Kematian yang terjadi akibat cedera kepala sekitar 1-2

persen dari seluruh penyebab kematian dan 25-50% penyebab kematian yang

disebabkan oleh trauma (Goldstein,1990). Kecelakaan kendaraan bermotor

merupakan penyebab tersering cedera kepala ringan, terjatuh dari ketinggian,


(25)

8

cedera kepala pada laki-laki 58% lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal ini

disebabkan karena mobilitas yang tinggi dikalangan usia produktif sedangkan

kesadaran untuk menjaga keselamatan dijalan masih rendah disamping

penanganan pertama yang belum benar dan rujukan yang terlambat. (Kraus dan

Nourjah, 1988).

2.1.2. Klasifikasi cedera kepala

Cedera kepala pada umumnya dikategorikan berdasarkan Glasgow coma

scale (GCS). Glasgow coma scale (GCS) pertama kali diperkenalkan oleh

Teasdale dan Jennet tahun 1974 untuk menyediakan suatu metode yang mudah

dan dapat dipercaya untuk menilai tingkat kesadaran pasien dan mengawasi

perubahan yang terjadi (Teasdale dan Jennet,1974). Glasgow coma scale (GCS)

menilai tingkatan kesadaran berdasarkan tiga komponen klinis yaitu respon

membuka mata, motorik dan verbal (Teasdale dan Jennet,1974).

Nilai GCS adalah nilai total dari ketiga komponen yaitu antara 3-15. Nilai

3 berarti penderita tidak memberikan respon terhadap rangsangan apapun

sedangkan nilai 15 berarti penderita sadar penuh. Penilai GCS dilakukan pasca

resusitasi setelah trauma.

Klasifikasi cedera kepala dibagi menjadi 3 dimana cedera kepala berat

dengan skor GCS dibawah 8, cedera kepala sedang dengan skor GCS 9 sampai


(26)

9

2.2 Cedera Kepala Ringan dan Permasalahannya

Cedera kepala ringan merupakan hal yang sering ditemui pada unit gawat

darurat. Berbagai definisi cedera kepala ringan telah diajukan. Beberapa penulis

mendefinisikan cedera kepala ringan sebagai kehilangan ingatan sesaat setelah

trauma pada kepala, sedangkan studi lain menggolongkan derajat cedera

berdasarkan lamanya amnesia post trauma (Hsiang, et al.,1997; Sarvadei, et al.,

2001; Gejerstam, et al., 2005). Rimel, et al (1981) mendefinisikan CKR sebagai

cedera pada kepala dengan Glasgow Coma Scale 13 sampai 15 pada saat masuk

rumah sakit, kehilangan kesadaran (LOC) kurang dari 20 menit. Definisi cedera

kepala yang dapat diterima secara luas sekarang ini berdasarkan Glasgow Coma

Scale (GCS). Pasien dengan pukulan pada kepala dan skor GCS 13 sampai 15,

tanpa memperhatikan tanda klinis lain, diklasifikasikan sebagai cedera kepala

ringan ( Teasdale dan Jennet, 1974; Hsiang, et al.,1997). Sadowski, et al (2006)

mendefinisikan cedera kepala dengan GCS 14 dan 15, hal ini sama dengan

pendapat Servadei et al (2001) yang mendefinisikan cedera kepala dengan GCS

14-15, dimana pasien dengan GCS 13 tidak dimasukkan kedalam kelompok

cedera kepala ringan karena risiko terjadinya lesi intracranial sama dengan pasien

dengan cedera kepala sedang. Pada penelitian ini, penulis memakai definisi

terakhir. Dengan menggunakan kriteria CKR (GCS 14-15) di atas maka beberapa

penderita CKR mengalami skuele neurologic. Rimel, et al (1981) melaporkan

bahwa 79% pasiennya memiliki nyeri kepala menetap, 59% memiliki gangguan

ingatan, dan 34% pasien tidak mampu kembali bekerja 3 bulan setelah mengalami


(27)

10

Makin rendah GCS penderita CKR makin tinggi insiden CT scan

abnormal dan perlunya tindakan operasi (Borczuk, et al., 1994; Hsiang,

et al.,1997; Turedi, et al., 2008). Secara keseluruhan insiden CT abnormal sangat

bervariasi dari beberapa peneliti. Borczuk (1995) melaporkan 8,2% CT scan

abnormal dan 0,76% memerlukan tindakan operasi. Golden et al(2013)

melaporkan insiden CT abnormal 13,2% dan perlunya tindakan operasi 3,6%.

Hsiang et al (1997) melaporkan insiden CT scan anbormal 17% dan perlunya

tindakan operasi 3,2%. Shackford et al (1992) melaporkan 15% abnormal CT scan

dan 3,9% perlunya tindakan operasi.

Mengingat heterogenitas penderita CKR baik dari risiko terjadinya

abnormalitas pada CT scan, perlunya tindakan operasi dan outcome, maka banyak

penulis membuat klasifikasi yang pada umumnya berdasarkan dari tiga faktor di

atas (William, et al.,1990; Cullota, et al.,1996; Hsiang, et al.,1997; Turedi,

et al.,2008). Hsiang, et al (1997) membedakan CKR menjadi CKR dan CKR

dengan risiko tinggi berdasarkan perlu tindakan operasi dan outcome. Yang

termasuk dalam CKR risiko tinggi adalah penderita CKR dengan GCS 13 atau 14,

atau GCS 15 dengan abnormalitas radiografik akut, sedang yang termasuk dalam

CKR tanpa risiko adalah penderita CKR tanpa kelainan radiologi akut. Yang

dimaksudkan temuan radiografik abnormal pada penelitian ini adalah fraktur pada

tulang tengkorak termasuk fraktur depresi, hematoma intrakranial atau kontusio

dan perdarahan subarachnoid traumatik. Willliams, et al.,(1990) membagi CKR

menjadi CKR dengan komplikasi dan CKR tanpa komplikasi. Yang termasuk


(28)

11

scan normal, foto kepala normal atau abnormal sebatas fraktur linear atau fraktur

basis kranii. Sedangkan penderita CKR dengan komplikasi adalah GCS 13-15 dan

ada fokal lesi otak, fraktur depresi atau keduanya. Penilaian outcome 6 bulan

menunjukkan bahwa CKR dengan komplikasi memiliki sekuele neurologik lebih

berat dibanding dengan CKR tanpa komplikasi. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan adanya heterogenitas patofisiologi penderita dengan rentang GCS

13 sampai 15 (Williams et al.,1990).

Cullota, et al (1996) meneliti setiap GCS yaitu 13, 14 dan 15 penderita

CKR terhadap derajat kerusakan otak dan kemungkinan perlunya tindakan

operasi. Hasilnya sangat jelas menunjukkan bahwa derajat kerusakan otak dan

kemungkinan perlunya tindakan operasi secara signifikan meningkat dengan

turunnya GCS dari 15 sampai 13. Lee, et al (2009) membagi lagi CKR lebih detail

lagi menjadi 4 kelompok. Pengelompokan tersebut berdasarkan faktor risiko

seperti LOC, umur, GCS score, fraktur skull untuk terjadinya lesi intrakranial.

Kelompok CKR dengan risiko sangat rendah yaitu GCS 15 tanpa riwayat LOC

atau nyeri kepala, risiko rendah GCS 15 dengan LOC dan/atau nyeri kepala, risiko

sedang GCS 15 dengan fraktur skull, defisit neurologik, atau dengan satu atau

lebih faktor risiko, risiko tinggi yaitu GCS 15 dengan CT scan abnormal dan GCS

14 dan 13. Sekali lagi hasil dari kedua penelitian ini mengindikasikan bahwa

adanya heterogenitas patofisiologi pada penderita dengan GCS score antara 13-15,

dan ini mengisaratkan bahwa definisi CKR yang hanya dilihat berdasarkan GCS


(29)

12

CT scan merupakan diagnostik standar pada pasien dengan cedera kepala.

Dimana CT scan ini sangat membantu untuk menentukan derajat cedera

intracranial, terapi, memperediksi outcome, dan apabila hasil CT scan normal,

mencegah perawatan di rumah sakit yang sia-sia (Yassir, S., 2010). Indikasi untuk

CT scan pada penderita CKR dari berbagai studi menggunakan berbagai kriteria

klinis ( Duus, et al.,1993; Miller, et al., 1997; Haydel, et al.,2000; Saadat, et al.,

2009; Golden, et al., 2013). Dan tindakan CT scan ini adalah untuk mendeteksi

sedini mungkin adanya lesi intrakranial. Deteksi dini ini berkaitan dengan tujuan

dari penanganan penderita CKR adalah deteksi dini kelainan intrakranial diikuti

dengan tindakan operasi bila indikasi untuk menekan morbiditas dan mortalitas

(Ibanez, et al., 2004). Faktor-faktor klinis yang merupakan faktor risiko juga

sangat variatif dari berbagai penulis ( Duus, et al., 1993; Miller, et al., 1996;

Gomez, et al.,1996; Turedi, et al., 2008; Saadat, et al., 2009; Golden, et al.,

2013). Namun yang sudah disepakati adalah GCS 13 dan 14 indikasi mutlak

untuk dilakukan CT scan (Cullota, et al.,1996). Hal ini berkaitan dengan besarnya

peluang untuk terjadi lesi intrakranial akut pada GCS 13 dan 14. Oleh karena itu

beberapa peneliti memasukkan GCS 13 dan 14 sebagai CKR dengan risiko tinggi

(Hsiang et al., 1997). Sedangkan indikasi CT scan pada GCS 15 masih

kontroversi. Kontroversi ini disebabkan oleh karena adanya keinginan untuk

mendeteksi semua lesi intrakranial pada CKR dan keinginan memotong biaya

pengobatan. Untuk mengurangi cost/biaya rumah sakit (Haydel, et al., 2000;


(30)

13

berdasarkan faktor risiko penyerta (Miller, et al., 1997; Haydel, et al., 2000; Stiell,

et al., 2001; Smiths, et al., 2007; Golden, et al., 2013).

Selain GCS 13 dan 14 yang sudah disepakati untuk indikasi CT scan pada

CKR, fraktur skull juga telah disepakati untuk indikasi CT scan, karena ini secara

signifikan meningkatkan kejadian lesi intrakranial (Mendelow, et al., 1983;

Dacey, et al., 1986; Servadei, et al., 1988; Chan, et al., 1990; Shackford, 1992;

Cullota, et al.,1996; Gomez, et al., 1996; Stiell, et al., 2001; Ibanez, et al., 2004;

Tamara, et al., 2005; Turedi, et al, 2008; Golden, et al.,2013). Adanya fraktur

mengindikasikan adanya trauma yang kuat untuk menimbulkan kerusakan

intrakranial (Servadei, et al., 1988; Chan, et al.,1990 ). Oleh karena itu CKR

dengan fraktur skull dimasukkan CKR dengan risiko tinggi tanpa melihat GCS.

Suatu hal yang perlu dipertimbangkan bila mengajukan CT scan pada

penderita CKR apakah kita mencari suatu model untuk mendeteksi semua

pendertita cedera kepala dengan lesi intrakranial atau apakah hanya mendeteksi

mereka secara klinis, lesi tersebut penting/serius (Ibanez, et al., 2004 ). Aspek

medikolegal dan fakta bahwa risiko deteriorasi dan outcomeneurobehavior/prilaku

tidak sama pada penderita dengan hasil CT scan positif dengan hasil CT scan

negatif mendukung untuk mengidentikasikan semua penderita dengan lesi akut

intrakaranial (Ibanez, et al.,2004)

Selain kedua faktor di atas yang mempunyai peranan untuk terjadinya lesi

intrakranial akut, berbagai penulis mengajukan berbagai presentasi klinis yang

dianggap sebagai faktor risiko lesi intrakranial akut, seperti LOC, cephalgia berat,


(31)

14

berbagai penelitian tentang faktor risiko sangat bervariasiatau adanya perbedaan

temuan faktor risiko diantara para penulis.

Fokus dari penanganan CKR adalah deteksi dini lesi intrakranial dan

diikuti dengan tindakan operasi untuk live saving (Chan, et al., 1990; Stiell, et

al.,2001). GCS tidak sepenuhnya dapat mencerminkan patologi akut pada

penderita CKR, walaupun beberapa laporan dari penulis membuktikan bahwa

makin rendah GCS makin besar peluang untuk terjadi lesi intrakranial akut dan

makin buruknya outcome (Ibanez, et al.,2004; Saadat, et al.,2009). Turedi et al

(2008), melaporkan insiden CT abnormal 6% pada CKR risiko rendah yaitu

penderita dengan GCS 15 tanpa faktor risiko, sedangkan Golden, et al (2013)

melaporkan insiden CT scan abnormal 13,8% dan 3,6% perlu tindakan operasi

pada penderita CKR dengan GCS 15 tanpa melihat ada atau tidaknya faktor risiko.

Walaupun dengan insiden kecil, penderita dengan GCS 15 bisa mengalami

deteriorasi akut dengan perdarahan luas, bahkan tidak jarang diikuti dengan

kematian (Marshall, et al.,1983; Chan, et al.,1990). Penderita “who talk and

deteriorated” menjadi isu menarik di UGD, oleh karena berkaitan dengan aspek medic dan hukum (Marshall, et al.,1983). Menggabungkan penderita dengan GCS

13 sampai 15 dalam satu kelompok mungkin akan menyesatkan, karena mereka

memiliki insiden yang berbeda untuk timbul komplikasi, perlu tindakan operasi

dan outcome (Gomez, et al., 1996).

Dari kajian di atas, permasalahan utama pada CKR adalah deteksi dini lesi

akut yang tidak semuanya bisa diungkapkan bila penggunaan CT scan dibatasi. Di


(32)

15

memegang peran perlunya tindakan operasi dan outcome (Gomez, et al., 1996;

Stiell, et al., 2001). Gomez, et al (1996) merekomendasikan mereka yang

termasuk CKR hanya penderita dengan GCS 15 tanpa CT scan abnormal. Fabbri,

et al (2004) melaporkan penderita CKR risiko tinggi dengan CT scan negatif

(normal) aman untuk di pulangkan. Dacey, et al (1986) melaporkan insiden 3%

penderita CKR bahkan dengan tingkat kesadaran normal memerlukan tindakan

operasi. Penelitian ini menunjukan peran sentral adanya CT abnormal dalam

penanganan penderita CKR khususnya dalam obeservasi atau keputusan untuk

memulangkan pasien. Memang telah dibuktikan bahwa makin rendah GCS makin

besar peluang untuk terjadi CT scan abnormal pada penderita CKR, dan ini

berkaitan erat dengan perlunya tindakan operasi dan penentuan outcome. Bila kita

simak maka sebetulnya perhatian kita adalah adanya CT abnormal. Dan adanya

lesi tidak selalu dapat direpresentasikan dari GCS. Walaupun penderita dengan

GCS 13 mempunyai peluang terjadinya abnormal CT scan lebih tinggi dari GCS

15, tetapi ada beberapa kasus yang dengan GCS 13 yang tidak memiliki kelainan

pada hasil CT scan. Kalau kita melihat bahwa adanya CT scan abnormal

menceminkan seriusnya injury maka penderita dengan GCS 15 dengan lesi

intrakranial mempunyai injury lebih serius dari pada GCS 13 atau 14 tanpa CT

abnormal demikian pula sebaliknya. Dengan mengganggap adanya CT abnormal

sebagai cedera serius, maka dalam observasi penderita CKR di ruangan akan lebih

fokus pada CKR dengan fokal lesi walaupun GCS 15.

Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat bahwa walaupun GCS rendah,


(33)

16

tidak akan berbeda dengan GCS yang lebih tinggi. Penelitian yang akan dilakukan

ingin mengungkap bahwa, perlunya tindakan operasi dan penentuan outcome

tidak dapat ditentukan oleh GCS saja, perlu juga melihat adanya CT scan

abnormal. Dengan kata lain peran CT scan pada semua penderita CKR sangat

penting dalam menentukan perlunya tindakan operasi dan penentuan outcome.

Penelitian ini diharapakan dapat memberikan kontribusi peran CT scan pada CKR


(1)

scan normal, foto kepala normal atau abnormal sebatas fraktur linear atau fraktur basis kranii. Sedangkan penderita CKR dengan komplikasi adalah GCS 13-15 dan ada fokal lesi otak, fraktur depresi atau keduanya. Penilaian outcome 6 bulan menunjukkan bahwa CKR dengan komplikasi memiliki sekuele neurologik lebih berat dibanding dengan CKR tanpa komplikasi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya heterogenitas patofisiologi penderita dengan rentang GCS 13 sampai 15 (Williams et al.,1990).

Cullota, et al (1996) meneliti setiap GCS yaitu 13, 14 dan 15 penderita CKR terhadap derajat kerusakan otak dan kemungkinan perlunya tindakan operasi. Hasilnya sangat jelas menunjukkan bahwa derajat kerusakan otak dan kemungkinan perlunya tindakan operasi secara signifikan meningkat dengan turunnya GCS dari 15 sampai 13. Lee, et al (2009) membagi lagi CKR lebih detail lagi menjadi 4 kelompok. Pengelompokan tersebut berdasarkan faktor risiko seperti LOC, umur, GCS score, fraktur skull untuk terjadinya lesi intrakranial. Kelompok CKR dengan risiko sangat rendah yaitu GCS 15 tanpa riwayat LOC atau nyeri kepala, risiko rendah GCS 15 dengan LOC dan/atau nyeri kepala, risiko sedang GCS 15 dengan fraktur skull, defisit neurologik, atau dengan satu atau lebih faktor risiko, risiko tinggi yaitu GCS 15 dengan CT scan abnormal dan GCS 14 dan 13. Sekali lagi hasil dari kedua penelitian ini mengindikasikan bahwa adanya heterogenitas patofisiologi pada penderita dengan GCS score antara 13-15, dan ini mengisaratkan bahwa definisi CKR yang hanya dilihat berdasarkan GCS tidak tepat.


(2)

CT scan merupakan diagnostik standar pada pasien dengan cedera kepala. Dimana CT scan ini sangat membantu untuk menentukan derajat cedera intracranial, terapi, memperediksi outcome, dan apabila hasil CT scan normal, mencegah perawatan di rumah sakit yang sia-sia (Yassir, S., 2010). Indikasi untuk CT scan pada penderita CKR dari berbagai studi menggunakan berbagai kriteria klinis ( Duus, et al.,1993; Miller, et al., 1997; Haydel, et al.,2000; Saadat, et al., 2009; Golden, et al., 2013). Dan tindakan CT scan ini adalah untuk mendeteksi sedini mungkin adanya lesi intrakranial. Deteksi dini ini berkaitan dengan tujuan dari penanganan penderita CKR adalah deteksi dini kelainan intrakranial diikuti dengan tindakan operasi bila indikasi untuk menekan morbiditas dan mortalitas (Ibanez, et al., 2004). Faktor-faktor klinis yang merupakan faktor risiko juga sangat variatif dari berbagai penulis ( Duus, et al., 1993; Miller, et al., 1996; Gomez, et al.,1996; Turedi, et al., 2008; Saadat, et al., 2009; Golden, et al., 2013). Namun yang sudah disepakati adalah GCS 13 dan 14 indikasi mutlak untuk dilakukan CT scan (Cullota, et al.,1996). Hal ini berkaitan dengan besarnya peluang untuk terjadi lesi intrakranial akut pada GCS 13 dan 14. Oleh karena itu beberapa peneliti memasukkan GCS 13 dan 14 sebagai CKR dengan risiko tinggi (Hsiang et al., 1997). Sedangkan indikasi CT scan pada GCS 15 masih kontroversi. Kontroversi ini disebabkan oleh karena adanya keinginan untuk mendeteksi semua lesi intrakranial pada CKR dan keinginan memotong biaya pengobatan. Untuk mengurangi cost/biaya rumah sakit (Haydel, et al., 2000; Miller, et al., 1997). Beberapa peneliti membuat indikasi CT scan pada GCS 15


(3)

berdasarkan faktor risiko penyerta (Miller, et al., 1997; Haydel, et al., 2000; Stiell, et al., 2001; Smiths, et al., 2007; Golden, et al., 2013).

Selain GCS 13 dan 14 yang sudah disepakati untuk indikasi CT scan pada CKR, fraktur skull juga telah disepakati untuk indikasi CT scan, karena ini secara signifikan meningkatkan kejadian lesi intrakranial (Mendelow, et al., 1983; Dacey, et al., 1986; Servadei, et al., 1988; Chan, et al., 1990; Shackford, 1992; Cullota, et al.,1996; Gomez, et al., 1996; Stiell, et al., 2001; Ibanez, et al., 2004; Tamara, et al., 2005; Turedi, et al, 2008; Golden, et al.,2013). Adanya fraktur mengindikasikan adanya trauma yang kuat untuk menimbulkan kerusakan intrakranial (Servadei, et al., 1988; Chan, et al.,1990 ). Oleh karena itu CKR dengan fraktur skull dimasukkan CKR dengan risiko tinggi tanpa melihat GCS.

Suatu hal yang perlu dipertimbangkan bila mengajukan CT scan pada penderita CKR apakah kita mencari suatu model untuk mendeteksi semua pendertita cedera kepala dengan lesi intrakranial atau apakah hanya mendeteksi mereka secara klinis, lesi tersebut penting/serius (Ibanez, et al., 2004 ). Aspek medikolegal dan fakta bahwa risiko deteriorasi dan outcomeneurobehavior/prilaku tidak sama pada penderita dengan hasil CT scan positif dengan hasil CT scan negatif mendukung untuk mengidentikasikan semua penderita dengan lesi akut intrakaranial (Ibanez, et al.,2004)

Selain kedua faktor di atas yang mempunyai peranan untuk terjadinya lesi intrakranial akut, berbagai penulis mengajukan berbagai presentasi klinis yang dianggap sebagai faktor risiko lesi intrakranial akut, seperti LOC, cephalgia berat, jejas, amnesia, umur dan masih banyak lagi (Saadat, et al.,2009). Hasil dari


(4)

berbagai penelitian tentang faktor risiko sangat bervariasiatau adanya perbedaan temuan faktor risiko diantara para penulis.

Fokus dari penanganan CKR adalah deteksi dini lesi intrakranial dan diikuti dengan tindakan operasi untuk live saving (Chan, et al., 1990; Stiell, et al.,2001). GCS tidak sepenuhnya dapat mencerminkan patologi akut pada penderita CKR, walaupun beberapa laporan dari penulis membuktikan bahwa makin rendah GCS makin besar peluang untuk terjadi lesi intrakranial akut dan makin buruknya outcome (Ibanez, et al.,2004; Saadat, et al.,2009). Turedi et al (2008), melaporkan insiden CT abnormal 6% pada CKR risiko rendah yaitu penderita dengan GCS 15 tanpa faktor risiko, sedangkan Golden, et al (2013) melaporkan insiden CT scan abnormal 13,8% dan 3,6% perlu tindakan operasi pada penderita CKR dengan GCS 15 tanpa melihat ada atau tidaknya faktor risiko. Walaupun dengan insiden kecil, penderita dengan GCS 15 bisa mengalami deteriorasi akut dengan perdarahan luas, bahkan tidak jarang diikuti dengan kematian (Marshall, et al.,1983; Chan, et al.,1990). Penderita “who talk and deteriorated” menjadi isu menarik di UGD, oleh karena berkaitan dengan aspek medic dan hukum (Marshall, et al.,1983). Menggabungkan penderita dengan GCS 13 sampai 15 dalam satu kelompok mungkin akan menyesatkan, karena mereka memiliki insiden yang berbeda untuk timbul komplikasi, perlu tindakan operasi dan outcome (Gomez, et al., 1996).

Dari kajian di atas, permasalahan utama pada CKR adalah deteksi dini lesi akut yang tidak semuanya bisa diungkapkan bila penggunaan CT scan dibatasi. Di sisi lain adanya lesi intrakranial akut mencerminkan seriusnya cedera yang


(5)

memegang peran perlunya tindakan operasi dan outcome (Gomez, et al., 1996; Stiell, et al., 2001). Gomez, et al (1996) merekomendasikan mereka yang termasuk CKR hanya penderita dengan GCS 15 tanpa CT scan abnormal. Fabbri, et al (2004) melaporkan penderita CKR risiko tinggi dengan CT scan negatif (normal) aman untuk di pulangkan. Dacey, et al (1986) melaporkan insiden 3% penderita CKR bahkan dengan tingkat kesadaran normal memerlukan tindakan operasi. Penelitian ini menunjukan peran sentral adanya CT abnormal dalam penanganan penderita CKR khususnya dalam obeservasi atau keputusan untuk memulangkan pasien. Memang telah dibuktikan bahwa makin rendah GCS makin besar peluang untuk terjadi CT scan abnormal pada penderita CKR, dan ini berkaitan erat dengan perlunya tindakan operasi dan penentuan outcome. Bila kita simak maka sebetulnya perhatian kita adalah adanya CT abnormal. Dan adanya lesi tidak selalu dapat direpresentasikan dari GCS. Walaupun penderita dengan GCS 13 mempunyai peluang terjadinya abnormal CT scan lebih tinggi dari GCS 15, tetapi ada beberapa kasus yang dengan GCS 13 yang tidak memiliki kelainan pada hasil CT scan. Kalau kita melihat bahwa adanya CT scan abnormal menceminkan seriusnya injury maka penderita dengan GCS 15 dengan lesi intrakranial mempunyai injury lebih serius dari pada GCS 13 atau 14 tanpa CT abnormal demikian pula sebaliknya. Dengan mengganggap adanya CT abnormal sebagai cedera serius, maka dalam observasi penderita CKR di ruangan akan lebih fokus pada CKR dengan fokal lesi walaupun GCS 15.

Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat bahwa walaupun GCS rendah, bila tidak ada CT scan abnormal, maka perlunya tindakan operasi dan outcome


(6)

tidak akan berbeda dengan GCS yang lebih tinggi. Penelitian yang akan dilakukan ingin mengungkap bahwa, perlunya tindakan operasi dan penentuan outcome tidak dapat ditentukan oleh GCS saja, perlu juga melihat adanya CT scan abnormal. Dengan kata lain peran CT scan pada semua penderita CKR sangat penting dalam menentukan perlunya tindakan operasi dan penentuan outcome. Penelitian ini diharapakan dapat memberikan kontribusi peran CT scan pada CKR dalam menentukan outcome dan perlunya tindakan operasi.