Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konstruksi Realitas Sosial Tenaga Kerja Wanita (Studi Analisis Semiotika Film dalam Film Minggu Pagi di Victoria Park) T1 362009008 BAB VI

(1)

109 BAB VI

KONSTRUKSI PESAN FILM MINGGU PAGI DI VICTORIA PARK

Film adalah representasi dari realitas masyarakat yang bagi Turner berbeda dengan sekedar sebagai refleksi dari realitas dimana film membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari kebudayaan (Sobur, 2009: 128). Film dibangun dengan tanda semata-mata yang merupakan simbol-simbol baik verbal maupun non verbal yang memiliki makna baik itu makna denotatif, maupun makna konotatif. Menurut psikolog C.K. Ogden dan filsuf serta kritikus sastra I.A. Richards dalam The Meaning of Meaning, pengertian arti denotatif paling baik dibiarkan saja dan tidak usah didefinisikan, tidak dapat dipastikan secara tepat, dan bersifat generalisasi, sedangkan makna konotasi adalah interpretasi dari simbol-simbol tersebut sebagai makna yang memiliki sejarah budaya (Danesi, 2010: 42-43). Selain itu ungkapan-ungkapan simbolik yang saling terjalin dan diartikulasikan tersebut juga merupakan sarana sosialisasi yang sekaligus dapat menciptakan suatu ikatan sosial antara individu dan kelompok, sebab peran-peran dan relasi sosial yang ada di masyarakat disampaikan melalui simbol, khususnya bahasa (Sobur, 2009: 176).

Dalam membangun makna baik itu denotatif ataupun konotatif dalam suatu film agar dapat diterima dengan baik oleh khalayak, diperlukan keterampilan dari seorang sutradara yang memegang peranan terpenting dalam pembuatan film tersebut. Sutradara dalam dunia film berperan sebagai auteur (aktor) yang dapat mencerminkan kepribadian dan kreatifitasnya melalui aspek-aspek film yang dibuat. Dengan demikian, film tidak lagi dipandang sebagai suatu karya seni yang objektif tetapi sebagai suatu cerminan orang yang membuatnya (Joseph M. Bogg dalam Berger, 2005: 129). Untuk itu, dalam bab ini, penulis akan melihat beberapa aspek dari film ini yang dikonstruksikan oleh sang sutradara sehingga mampu merepresentasikan TKW yang bekerja di Hongkong. Aspek-aspek yang akan diuraikan dalam bab ini diantaranya adalah: unsur naratif yang meliputi judul film dan pola struktur naratif sedangkan unsur sinematik meliputi MISE-EN-SCENE (setting, kostum, pencahayaan, dan akting para pemeran), framing, editing, dan suara.


(2)

110 6.1 Unsur Naratif

6.1.1 Judul Film

Judul film ini, yaitu Minggu Pagi di Victoria Park dengan sangat jelas menunjukkan kepada masyarakat bahwa film ini mengangkat kisah hidup TKW yang bekerja di Hongkong. Penulis melihat bahwa hal ini dikarenakan sang sutradara ingin menempatkan film ini sebagai bentuk realitas sosial yaitu pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadaran umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial yang melalui eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi yang sarat akan kepentingan (Sobur, 2009:186). Menurut Sobur (2009:186), realitas sosial terdiri atas realitas objektif yang adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada di luar individu dan dianggap sebagai kenyataan, dan realitas simbolik yang adalah ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk, serta realitas subjektif yang adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolik ke dalam individu melalui proses internalisasi. Sehubungan dengan film yang diteliti, realitas objektifnya adalah keberadaan TKW di Hongkong dengan berbagai kontradiktifnya. Realitas simboliknya adalah keberadaan TKW yang dituangkan dalam film Minggu Pagi di Victoria Park ini. Sedangkan realitas subjektifnya adalah realitas yang diterima oleh khalayak berdasarkan kenyataan dalam masyarakat dan simbol-simbol yang dibangun dalam film.

Dengan demikian, film ini tidak hanya menampilkan realitas yang ada dalam masyarakat, tetapi juga film ini dibangun dengan membawa ideologi dari sang sutradara sebagai pembuat film. Ajaran-ajaran yang terkandung dalam ideologi tersebut tidak dirumuskan secara sistematis dan terinci, melainkan secara umum, sehingga ideologi dalam hal ini tidak diindoktrinasi, tetapi disosialisasikan secara fungsional melalui kehidupan keluarga, sistem pendidikan, sistem ekonomi, kehidupan agama, sistem politik, dan media (Sobur, 2009: 217). Ideologi yang disosialisasikan melalui film ini adalah bagaimana pembuat film berusaha mengubah pandangan masyarakat selama ini mengenai TKW. Seperti yang kita ketahui bersama citra TKW di masyarakat Indonesia adalah buruh rendahan yang sering kali mendapat perlakuan tidak manusiawi dari majikannya. Melalui film inilah sutradara ingin memperlihatkan bahwa TKW juga seperti pekerja lainnya yang memiliki waktu luang untuk berlibur dan mengekespresikan diri, memiliki sosialisasi yang tinggi yang


(3)

111 membentuk solidaritas yang kuat diantara TKW dan memiliki daya juang yang tinggi untuk mengubah nasib keluarga. Bahkan di dalam film ini sutradara sengaja tidak memperlihatkan TKW yang mengalami kekerasan namun malah cenderung memiliki majikan yang baik dan perhatian terhadap TKW. Dengan demikian kemampuan ideologis ini diupayakan dapat mempengaruhi masyarakat untuk mengubah cara pandang kepada TKW dan berupaya untuk membangun realitas subjektif khalayak dengan mengarahkan khalayak untuk lebih tanggap dan kritis dalam menanggapi kasus-kasus TKW yang sering kita dengar di media kita selama ini.

6.1.2 Pola Struktur Naratif

Pola struktur naratif dalam film secara umum dibagi menjadi tiga tahapan yakni permulaan, pertengahan, serta penutupan. Tahap pembukaan biasanya hanya memiliki panjang cerita seperempat dari durasi filmnya. Tahap pertengahan adalah yang paling lama dan biasanya panjangnya lebih dari separuh dari durasi film. Sementara tahap penutupan biasanya sekitar seperempat durasi film dan merupakan segmen yang terpendek. Pola ini sebenarnya mengacu pada struktur tiga babak yang akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan selanjutnya. Melalui tiga tahapan inilah karakter, masalah, tujuan, aspek ruang dan waktu masing-masing ditetapkan dan berkembang menjadi alur secara keseluruhan (Pratista,Himawan.2008:44)

Melalui penjelasan mengenai pola struktur naratif diatas penulis mulai membagi beberapa adegan di dalam film Minggu pagi di Victoria Park untuk dimasukkan dalam tahapam permulaan, pertengahan, dan penutupan sebagai berikut :

Scene Permulaan

1, 18 Adegan pembuka di bangsal kamar, percakapan mengenai cita-cita sebagai TKW oleh Rayi dan Mayang

2, 3, 8, 10, 11

Pengenalan karakter Sekar dan permasalahannya yang sedang sibuk mencari pekerjaan untuk membayar hutangnya.

4, 5, 6, 7, 9 Pengenalan karakter Mayang dan pekerjaannya selama di Hongkong yang bekerja sebagai PRT.


(4)

112

Scene Pertengahan

12, 15, 24, 25, 26, 56, 57

Sosialiasi antar TKW ( di warung Bude, saat Mayang dan Sari bercakap-cakap)

13, 34, 38, 47 Pekerjaan Mayang ( mengasuh Sei Jun, perlakuan Majikan Mayang)

14, 30, 35, 36 Pengenalan karakter Sari

16, 17, 19, 44, 45 Latar belakang Mayang bekerja sebagai TKW

20, 22, 27, 28, 33, 37, 58

Masalah Sekar yang semakin runyam

21, 23 Wacana Pahlawan Devisa

31, 32, 41 Hubungan Mayang dan Gandhi

39, 40, 46, 48, 49 Hubungan Mayang dan Vincent

54, 55 Permasalahan TKW lainnya

Scene Penutupan

60, 61, 62, 77, 78, 82, 85

Sekar merasa putus asa dan upaya menolong Sekar

67, 86 Hubungan special antara Mayang dan Vincent

65, 67, 68, 75, 76, 79, 81, 87, 88, 89, 90

Permasalahan berakhir , persahabatan dan solidaritas sesama TKW


(5)

113 6.2 Unsur Sinematik

Unsur sinematik dalam penelitian kali ini meliputi dua hal yaitu aspek visual dan audio. Aspek visual dalam unsur sinematik adalah sinematografi yang terdiri dari mise-en-scene, framing, dan editing. Sedangkan pada aspek audio akan membahas mengenai dialog.

6.2.1 MISE-EN-SCENE

Mise-en-scene adalah unsur sinematik yang paling mudah kita kenali karena hampir seluruh gambar yang kita lihat dalam film adalah bagian dari unsur ini. Mise-en-scene terdiri dari empat aspek utama, yakni : setting (latar) , kostum dan tata rias, dan para pemain dan pergerakannya (akting). Dalam sebuah film unsur Mise-en-scene tentu tidak dapat berdiri sendiri dan terkait erat dengan unsur sinematik lainnya, yaitu sinematografi, editing, dan suara.

Penulis akan menjelaskan unsur-unsur Mise-en-scene yang terdapat didalam film Minggu Pagi di Victoria Park, sebagai berikut :

a. Setting ( latar )

Latar atau setting yang disebut juga landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995:216). Latar merupakan salah satu unsur dalam mise en scene yang sangat penting. Latar menunjukkan keadaan waktu, lingkungan, dan suasana dalam suatu adegan.

Untuk mendukung isi cerita yang bertemakan perjuangan TKW yang bekerja di Hongkong. Setting dari film ini memang lebih banyak diambil di Hongkong dan beberapa scene pelengkap mengambil setting di Indonesia. Seperti scene pertama dimana setting diambil di sebuah bangsal pelatihan calon TKW sebagai tahap exposition dalam film ini, sekaligus memperkenalkan tokoh utama dalam film ini. Setting lain yang diambil di Indonesia adalah adegan di rumah Mayang pada scene ke 19 yang menunjukkan latar belakang Mayang dan keluarganya yang memang merupakan keluarga sederhana dengan perekonomian menengah ke bawah. Sedangkan setting lain didominasi di Hongkong karena memang menunjang segala


(6)

114 bentuk adegan yang berkaitan dengan aktivitas dan pekerjaan para tokoh di dalam film ini yang bekerja sebagai tenaga kerja di Hongkong.

Pengambilan gambar yang bertempatkan di Victoria Park juga merupakan usaha sutradara mengambarkan sosok TKW di luar pekerjaannya selama ini. Karena sudah menjadi rahasia umum dimana para TKW saat mereka mendapatkan jatah hari libur yang mereka habiskan di Victoria Park, para TKW akan mengekspresikan diri mereka dengan sangat berbeda tidak seperti saat mereka sedang bekerja. Hal ini yang ingin ditampilkan oleh sutradara sebagai sebuah realitas sosial TKW saat berada di Hongkong. Setting lain seperti Warung budhe, tempat dimana para TKW berkumpul, juga menunjukkan bahwa sutradara ingin menggambarkan realitas sosial tentang solidaritas sosial para TKW di Hongkong yang selama ini tidak pernah diketahui oleh masyarakat Indonesia sebelumnya. Pengambilan gambar di Lembaga Super Credit juga merupakan usaha sutradara dalam menunjukkan realitas lain tentang sosok TKW yang bekerja di Hongkong. Bahwa TKW memiliki permasalahan lain selain permasalahan kekerasan yang dialami oleh TKW seperti yang digembar-gemborkan di media sering ini.

Pengambilan gambar (setting) yang dilakukan oleh sutradara dalam film Minggu Pagi di Victoria Park ini merupakan upaya sutradara untuk memperkuatkan ideologi atau pesan yang ingin ia sampaikan melalui film. Tak ada setting dimana TKW mengalami kekerasan karena memang sutradara tidak ingin menampilkan sosok TKW yang disiksa dan menderita namun ingin menunjukkan sosok TKW yang terampil dan moderen, oleh karena itu sutradara memilih Hongkong sebagai setting utama karena memang di Hongkong kasus tentang kekerasan terhadap TKW memang minim. Sehingga berarti pengambilan gambar (setting) mendukung dan menunjang keberhasilan karena membawa atmosfer realitas obyektif tentang TKW yang diketahui masyarakat menjadi sebuah realitas simbolik yang dipercayai kebenarannya.

b. Kostum dan Tata rias

Kostum yang dipakai oleh pemeran didalam film Minggu Pagi di Victoria Park juga sebagai bentuk representasi dari TKW selama ini. Pakaian sederhana dan make up tipis bahkan tidak ada, digambarkan dalam kehidupan sehari-hari para TKW yang bekerja di Hongkong. Namun merupakan fenomena yang unik dan sudah diketahui


(7)

115 masyarakat luas termasuk Indonesia, dimana para TKW saat berada di Victoria Park akan menggunakan pakaian yang terbaik bahkan modern menurut mereka dan berdandan dengan make up yang cukup tebal. Penggunaan kostum dan tata rias yang disesuaikan dengan realitas yang sesungguhnya ini merupakan tujuan dari sutradara untuk merekam realitas yang memang benar adanya tentang sosok TKW saat berada di Victoria Park ke dalam realitas simbolik yaitu dalam bentuk film.

c. Pencahayaan

Pencahayaan merupakan elemen penting dalam suatu proses pengambilan gambar. Tanpa cahaya sebuah film tidak akan terwujud. Seluruh gambar dalam film bisa dikatakan merupakan hasil manipulasi cahaya. Tata cahaya dalam film secara umum dapat dikelompokkan kedalam empat unsur, yakni kualitas, arah, sumber serta warna cahaya. (Pratista, 2008:75)

Dalam film Minggu Pagi di Victoria Park, pencahayaan digunakan hanya untuk menunjukkan keadaan waktu adegan yang sedang berlangsung, pagi hari, sore hari atau malam hari.

d. Akting

Akting pemain merupakan salah satu faktor penting yang dapat menunjukkan kualitas sebuah film. Kemampuan akting seorang aktor dapat diukur melalui seberapa besar ia dapat memerankan karakternya dalam sebuah film. Penampilan seorang aktor dalam film secara umum dapat dibagi menjadi dua yakni visual dan audio. Secara visual menyangkut aspek fisik yakni gerak tubuh (gestur) serta ekspresi wajah. Secara audio yakni dialog yang meliputi bahasa bicara dan aksen. (Pratista, 2008:84)

Sehingga bisa dikatakan kemampuan akting dari aktor yang memainkan perannya dalam film Minggu Pagi di Victoria Park ini sangat baik karena sering kali mendapatkan penghargaan dari ajang perfilman yang bergengsi seperti Festival Film Bandung dan Indonesia Movie Award. Seperti Penghargaan Pemeran Pembantu Wanita Terpuji FFB 2011 diraih oleh Titi Sjuman yang berperan menjadi Sekar, Penghargaan Pemeran Utama Wanita Terpuji FFB 2011 yang diraih oleh Lola Amaria yang berperan menjadi Mayang, kemudian Penghargaan sebagai Pemeran Utama Wanita terbaik yang diraih oleh Titi Sjuman di dalam ajang Indonesia Movie Awards


(8)

116 2011 serta penghargaan lain yang didapat oleh aktor-aktor yang turut serta membantu dalam film Minggu Pagi di Victoria Park.

6.2.2 Framing

6.2.2.1 Bentuk dan Dimensi Frame

Unsur sinematografi secara umum dapat dibagi menjadi tiga aspek, yakni : kamera dan film, framing, serta durasi gambar. Kamera dan film mencakup teknik- teknik yang dapat dilakukan melalui kamera dan stok filmnya, seperti warna, penggunaan lensa, kecepatan gerak gambar, dan sebagainya. Framing adalah hubungan kamera dengan obyek akan diambil, seperti batasan wilayah gambar atau frame , jarak, ketinggian, pergerakan kamera dan seterusnya. Sementara durasi gambar mencakup lamanya sebuah obyek diambil gambar oleh kamera. Bentuk dan dimensi frame sering disebut juga dengan aspect ratio. Dalam perkembangannya, aspect ratio sangat bervariasi ukurannya namun secara umum dibagi menjadi dua jenis, full screen dan wide screen. (Pratista, 2008:100) Pada film Minggu Pagi di Victoria Park penggunaan frame memiliki ukuran widescreen.

Frame widescreen

6.2.2.2 Jarak dan Sudut kamera terhadap Obyek

Teknik pengambilan gambar dalam film sangat dipengaruhi oleh letak dan posisi kamera dimana kamera akan mengambil gambar yang sesuai dengan adegan serta latar dalam sebuah film. Jarak yang dimaksud adalah dimensi jarak kamera terhadap obyek dalam frame (Pratista,2008;104). Ada beberapa macam jarak pengambilan obyek dalam kamera antara lain extreme long shot, long shot, medium long shot, medium shot, medium close up, close up dan extreme close-up. Jarak pengambilan obyek yang sering dilakukan pada film Minggu Pagi di Victoria Park


(9)

117 adalah long shot dan medium shot, karena adegan dalam film ini lebih sering memfokuskan terhadap dialog dari tokoh.

Long shot Medium shot

Sudut kamera adalah pandang kamera terhadap obyek yang berada dalam frame. Secara umum sudut kamera dapat dibagi menjadi tiga yakni high angle (kamera melihat obyek dalam frame yang berada dibawahnya), straight-on-angle (kamera melihat obyek dalam frame secara lurus), serta low-angle (kamera melihat obyek dalam frame yang berada di atasnya) (Pratista,2008:106). Film Minggu Pagi di Victoria Park ini menggunakan sudut kamera straight-on-angle.

Straight-on-angle 6.2.2.3 Editing

Editing merupakan sebuah proses dimana ketika pengambilan gambar-gambar dalam suatu produksi film telah selesai maka akan memasuki tahapan yang disebut dengan editing. Definisi editing menurut Pratista (2008:123) adalah teknik-teknik yang digunakan untuk menghubungkan tiap shotnya. Berdasarkan aspek temporal, editing dibagi menjadi dua jenis yakni, editing kontinu dan editing diskontinu. Pada film Minggu Pagi di Victoria Park editing yang digunakan adalah editing kontinu karena pindahan shot terjadi tanpa terjadi lompatan waktu.


(10)

118 Transisi shot dalam film umumnya dilakukan dalam empat bentuk yakni cut, fade in/out, dissolve serta wipe. Dalam film Minggu Pagi di Victoria Park penggunaan transisi shot lebih ke dalam bentuk cut karena perpindahan transisi shot ke shot lainnya secara langsung. Bentuk transisi cut ini yang paling umum dan bisa digunakan untuk editing kontinu dan diskontinu.

6.2.2.4 Suara

Salah satu unsur penting dalam film adalah suara. Suara mewakili aspek audio yang wajib ada di era perfilman modern. Suara adalah segala hal dalam film yang mampu ditangkap melalui indra pendengaran (Pratista,2008:2). Suara dalam film secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis yakni dialog, musik, dan efek suara. Dalam penelitian ini hanya mengambil unsur dialog dalam film Minggu Pagi di Victoria Park. Dialog adalah bahasa komunikasi verbal yang digunakan semua karakter di dalam maupun di luar cerita film (narasi) (Pratista,2008:149). Dialog merupakan sebuah komponen penting dalam sebuah film. Tanpa adanya dialog maka pemirsa akan kesulitan untuk memahami maksud dan jalan cerita dalam film. Selain itu, dialog juga dapat menunjukkan ciri watak atau karakteristik pada seorang tokoh. Dialog tidak bisa lepas dari bahasa, karena tanpa adanya bahasa, komunikasi tidak dapat tersampaikan dengan baik.

Bahasa yang terdapat dalam sebuah dialog film mirip seperti sebuah permainan kata atau penggunaan kata yang terkadang memiliki pengertian yang sulit dipahami sehingga sering mengakibatkan pelanggaran atau penyimpangan terhadap aturan yang telah ada. Hal ini berkaitan dengan fungsi bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi haruslah dipahami secara tepat oleh penutur dan mitra tuturnya sehingga penggunaannya tidak menimbulkan salah pengertian. Makna tersurat suatu ujaran dapat dimengerti dengan mencari arti semantis kata-kata yang membentuk ujaran tersebut. Sementara itu, untuk memahami makna tersirat suatu ujaran, pengetahuan semantis saja tidaklah memadai, diperlukan pengetahuan pragmatik.

Fungsi dan makna bahasa yang tidak dapat dianalisis dalam pendekatan struktural dapat dijabarkan melalui pendekatan pragmatik. Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji tentang tindak tutur yang juga mengkaji tentang cara berbicara atau cara melakukan komunikasi yang baik dan benar sehingga pesan atau


(11)

119 maksud dari pembicaraan tersebut dapat atau bisa ditangkap oleh lawan bicara. Gunarwan (1994:52) menyebutkan bahwa dalam setiap ujaran manusia terdapat makna tambahan. Makna tambahan ini akan tertangkap oleh pendengar sebagai mitra tutur. Makna tambahan ini tidak muncul sebagai akibat adanya aturan semantis atau sintaktis, tetapi lebih merupakan penerapan kaidah dan prinsip kerjasama. Prinsip ini oleh Grice (1975) dinamakan prinsip kerja sama atau cooperative principle. Prinsip kerja sama dari Grice ini adalah : Make your conversational contribution suach as required, at the stage at which it occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in which you are engaged. ( Buatlah kontribusi percakapan anda sesuai dengan apa yang dibutuhkan pada saat berbicara dengan mengikuti tujuan percakapan yang anda ikuti). Grice mengemukakan bahwa percakapan yang terjadi di dalam anggota masyarakat dilandasi oleh sebuah prinsip dasar, yaitu prinsip kerja sama. Grice mengemukakan bahwa dalam rangka melaksanakan prinsip kerja sama itu, setiap penutur harus mematuhi empat maksim percakapan (conversational maxim) yaitu maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance) dan maksim pelaksanaan (maxim of manner) (Schiffrin, 2007).

Berikut ini adalah analisis beberapa dialog dalam naskah film Minggu Pagi di Victoria Park yang melanggar maksim-maksim dalam Prinsip Kerjasama yang dikemukakan oleh Paul Grice (1975) :

a. Konteks : Dialog antara Mayang dan Rayi saat berada di bangsal kamar balai pelatihan calon TKW. Waktu terjadinya dialog pada malam hari saat keduanya sedang berbincang santai sebelum makan malam. Dialog ini terdapat pada scene pertama dan merupakan adegan pembuka dari film Minggu Pagi di Victoria Park.

Rayi :

“ Bapakku lho telefon,katanya tetanggaku itu baru ada yang pulang, abis di siksa sama majikannya di Malaysia. Sampai nggak bisa jalan trus mukanya

itu rusak sebelah. Lha bapakku itu takut nek aku kayak gitu” Mayang:


(12)

120 Rayi:

“Ya iya lah yang, tapi aku ga mau seh”

Dialog diatas melanggar Maksim Relevansi yang dimana setiap peserta tutur memberikan konstribusi relevan dengan pokok pembicaraan. Di dalam dialog Rayi terdapat kalimat yang berisi berita mengenai tetangganya yang seorang TKW yang bekerja di Malaysia disiksa oleh majikannya. Seharusnya Mayang sebagai mitra tutur bisa menanyakan keadaan dari tetangga Rayi, namun secara tersurat (eksplisit) ia malah menanyakan hal yang tidak terlihat relevansinya dengan pokok pembicaraan. Namun pertanyaan Mayang “Lha terus kamu disuruh pulang?” merupakan respon yang tersirat (implisit) yang sebenarnya relevan. Karena semua calon TKW dan keluarga TKW sudah mengetahui resiko yang akan dihadapi TKW saat bekerja nanti dan pertanyaan Mayang mempertanyakan keyakinan Rayi dan keluarganya tentang keyakinan dan kemauannya bekerja sebagai TKW karena pekerjaan TKW mengandung banyak resiko.

b. Konteks : Dialog antara Mayang dan Rayi saat berada di bangsal kamar balai pelatihan calon TKW. Waktu terjadinya dialog pada malam hari saat keduanya sedang berbincang santai sebelum makan malam. Dialog ini terdapat pada scene pertama dan merupakan adegan pembuka dari film Minggu Pagi di Victoria Park.

Mayang:

“ Yik,emang kamu ga takut disiksa” Rayi:

“ Lha kalau aku takut lho, ngapain aku ada disini, tapi kalau misalnya bapakku tetep maksa aku pulang, ya wes aku titip cita-citaku ke kamu

ya, ya yang ya” Mayang:

“Memangnya jadi TKW itu cita-citamu? Mentang-mentang sebutane


(13)

121 Rayi :

“Cita-citaku itu kalau misalnya aku nanti mati itu, aku itu sudah melakukan sesuatu buat orang lain, ngono lho yang”

Dialog diatas melanggar maksim kuantitas dan maksim cara. Saat Mayang menanyakan apakah Rayi tidak takut disiksa saat nanti bekerja sebagai TKW. Seharusnya Rayi bisa mengatakan “Ya” atau “ Tidak”. Namun Rayi malah mengatakan hal yang melebihi dari yang dipertanyakan oleh Mayang dan secara tersurat menyampaikan bahwa TKW adalah cita-cita Rayi dan itu melanggar maksim kuantitas. Kemudian pada dialog selanjutnya saat Mayang menanyakan apakah TKW adalah cita-cita Rayi dan apakah karena TKW mendapat sebutan pahlawan devisa, jawaban Rayi malah terkesan kabur dan berlebihan dan hal itu melanggar maksim cara. Walaupun yang tersurat terlihat tidak relevan namun hal yang tersirat dalam percakapan diatas bermaksud memperjelas bahwa dengan bekerja sebagai TKW, Rayi dapat melakukan sesuatu bagi keluarganya yaitu membantu meningkatkan perekonomian keluarganya karena seperti diketahui bersama gaji menjadi TKW cukup besar. Namun TKW juga tidak terlalu memikirkan sebutan tentang pahlawan devisa yang selama ini disematkan kepadanya karena seperti yang diketahui bersama sebutan itu hanya Cuma sebutan tanpa ada tindakan lanjut dari Negara.

c. Konteks : Dialog ini terdapat pada scene ke 72 dan waktu kejadian adalah siang hari. Dimana Mayang pergi ke lembaga Super Credit, tempat Sekar, adiknya selama ini berhutang dan memiliki bunga pembayarannya yang sangat besar hingga menyusahkan keberadaan Sekar di Hongkong. Lalu Mayang bertemu dengan TKW lainnya yang akan meminjam uang di lembaga tersebut.

Wanita baju kuning : “Keentekan duit juga ya?”

Mayang : (senyum) “Kamu?”


(14)

122 Wanita baju kuning :

“ Ya,sama gimana nggak habis, lha wong bojoku minta duit terus. Kemarin minta duit handphone. Eh,minta duit lagi buat nyicil sepeda

motor katanya. Dia pikir aku gak mati-matian kerja disini. Awas nek

duit’e nggo macem-macem. Ngamuk aku. Kalo kamu?”

Dialog diatas melanggar maksim kuantitas dimana saat Mayang diberi pertanyaan oleh TKW lain yang akan meminjam uang, tidak menjawab dengan “Ya” atau “Tidak” namun malah mempertanyakan kembali. Kemudian TKW lain tidak menjawab jawaban dengan secukupnya namun memberikan informasi yang berlebihan. Hal yang tersirat dalam dialog diatas TKW menjadi tulang punggung bagi keluarganya yang berada di tanah air, TKW harus bekerja keras mencari uang untuk mencukupi kebutuhan keluarga bahkan sampai meminjam uang.

d. Konteks : Dialog ini terdapat didalam scene ke 21 yang terjadi pada siang hari. Dialog ini merupakan pembicaraan Mayang dan Sari di dalam perjalanan pulang menuju apartemen setelah pulang menjemput anak majikannya.

Sari :

“ Kedua, memangnya apa yang salah sama kita? Kau malu ya jadi TKW?” Mayang :

“Babu” Sari :

“ Yo opolah, kamu malu? Memangnya pekerjaan ini nggak baik? Gak

halal? Hei, kamu ngerti nggak artinya pahlawan devisa?” Mayang :

“ Heh, pahlawan devisa apa tho? Itu kan Cuma sebutannya orang-orang Indonesia saja buat kita”

Sari :

“ Orang-orang asik namain kita macem-macem, kayak mereka yang paling

tahu artinya, mereka berkoar-koar tentang kita, tapi ya nggak nglakuin apa-apa juga”


(15)

123 Mayang :

“ Sei Jun” Sari :

“ Selain makan dhuwit yang kita kasih ke negara, ya lewat devisa itu tadi” Mayang :

“Hei kamu ngomong keras gini ke aku ki percuma, ngomomg’o sama orang-orang yang kamu bilang Cuma bisa koar-koar tadi”

Sari :

“Paling ndak dari kamunya dulu, diyakinkan kalau yang kamu kerja ini nggak lebih rendah dari kerjaan lain”

Dialog diatas melanggar maksim kuantitas, karena jawaban dari setiap pertanyaan cenderung tidak secukupnya namun mengandung banyak informasi didalamnya. Hal yang tersirat didalam dialog diatas adalah Tenaga Kerja Indonesia khususnya TKW memiliki rasa kecewa kepada pemerintah Indonesia karena kurang pedulinya kepada nasib mereka padahal mereka sedikit banyak telah menyumbang devisa untuk meningkatkan perekonomian negara.

e. Konteks : Adegan ini terjadi di Victoria Park saat para TKW sedang berkumpul bersama.

Tuti :

“ Sido mulih rong dino meneh?” Teman TKW : “ Deg-deg’an ki lho”

Tuti :

“ Lha napa kok deg-deg’an?” Teman TKW :


(16)

124 Tuti :

“ Ser, TKI koyok dewe iki, sering jadi inceran ning terminal papat yo mbak”

Teman TKW :

“ Yo makane semua uangku wes tak kirim langsung ning kampung, jadi bawa uang sedikit aja di tas”

Tuti : “ Bagus itu, pancen kudu kaya ngono kan, biasane ya ngono kabeh” Dialog diatas melanggar maksim relevansi, dimana saat Tuti menanyakan apakah temannya itu jadi pulang ke Indonesia, jawaban yang diberikan terkesan kabur dan tidak jelas namun sebenarnya karena adanya persamaan latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang sama antara penutur dan lawan tutur maka komunikasi masih tetap bisa berjalan. Hal yang tersirat didalam dialog diatas adalah Tenaga kerja wanita sudah mengetahui adanya perilaku diskriminasi dan pelanggaran hak-hak mereka karena bila mereka kembali ke Indonesia akan ada pungutan liar dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Hal ini disebabkan kurangnya hukum atau keadilan bagi tenaga kerja wanita yang disediakan oleh negara.

Berdasarkan tujuh realitas sosial menurut Soerjono Soekanto, penulis menganalisa realitas sosial TKW yang dibangun didalam film Minggu Pagi di Victoria Park ini, sebagai berikut:

1. Interaksi Sosial

Interaksi sosial yang digambarkan di dalam film ini adalah interaksi yang dilakukan oleh sesama TKW saat berada di Hongkong. Saat mereka berinteraksi dengan sesama TKW mereka masih menggunakan bahasa Indonesia bahkan bahasa daerah seperti bahasa Jawa, sehingga bisa dikatakan di dalam film ini digambarkan TKW tidak melupakan asal mereka.


(17)

125 2. Kebudayaan

Bahasa kanton adalah bahasa yang TKW gunakan untuk mempertahankan diri di Hongkong. Melalui bahasa sebagai pengantar berkomunikasi inilah mereka bisa berinteraksi satu dengan yang lain. Budaya di Hongkong yang terkenal bebas juga sedikit banyak mempengaruhi pola pikir TKW.

3. Nilai dan Norma Sosial

Nilai yang dianut oleh TKW sebenarnya adalah nilai timur atau budaya timur yang terkenal akan kesopanan dan keteraturan dalam bermasyarakat. Namun sejak berada di Hongkong seolah-olah budaya itu hilang dan nilai-nilai yang mereka anut menjadi berbeda. TKW mulai bertindak bebas dalam melakukan segala sesuatu apa yang mereka inginkan. Sehingga fenomena seperti lesbianisme sudah dipandang biasa padahal tidak sesuai dengan budaya asal mereka. Norma sosial di Hongkong tidak seperti di Indonesia. Hukuman Cuma diuntukkan bagi yang melanggar kasus hukum, misal TKW ilegal.

4. Stratifikasi Sosial

Pekerjaan sebagai TKW yang biasanya hanya berurusan dengan ranah domestik ( pembantu rumah tangga) membuat TKW memiliki status yang rendah di masyarakat Hongkong sendiri. Namun yang berbeda tampak setelah TKW sedang menikmati masa liburan mereka, TKW boleh melakukan apa saja dan itu bebas tanpa dibatasi bahwa mereka adalah seorang TKW.

5. Status Sosial

Status sosial TKW yang digambarkan di dalam film Minggu Pagi di Victoria Park ini digambarkan memiliki kedudukan sebagai tulang punggung di dalam keluarga, kedudukan sebagai pahlawan devisa di dalam negara, dan kedudukan sebagai wanita yang bebas berekspresi dan bergaul di dalam lingkungan sosialnya.


(18)

126 6. Peran Sosial

Peran sosial yang ditunjukkan oleh TKW di dalam film ini adalah saat ia memiliki kedudukan sebagai tulang punggung keluarga, mereka akan bekerja keras untuk bekerja sehingga menghasilkan uang yang banyak yang bisa ia kirimkan ke keluarganya di Indonesia. Bahkan rela sampai berhutang agar tetap mencukupi kebutuhan hidup keluarga.

7. Perubahan Sosial

Perempuan yang sederhana, tertutup, penakut, dan masih banyak hal lain yang sering digambarkan tentang sosok perempuan. Namun sosok perempuan yang berbeda yang dapat ditemukan di dalam diri seorang TKW. Perempuan yang berani bertindak bahkan mengungkapkan pendapat, mau berjuang untuk keluarga, moderen dan bebas melakukan apa pun yang ia sukai, itulah yang tergambarkan dalam sosok TKW di dalam film ini.

Sehingga berdasarkan hasil analisa film Minggu Pagi di Victoria Park berdasarkan unsur naratif dan unsur sinematik dapat ditemukan konstruksi yang dilakukan oleh sutradara dalam menggambarkan realitas sosial TKW yang bekerja di Hongkong dapat ditarik kesimpulan bahwa :

1. Kisah yang diangkat dalam film Minggu Pagi di Victoria Park ini adalah perjuangan TKW yang bekerja di Hongkong yang didukung dengan judul film, isi cerita, setting dan kostum yang sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan kepada penonton.

2. Teknik sinematografi dari film Minggu Pagi di Victoria Park ini terkesan masih sangat umum karena tidak memiliki teknik-teknik pengambilan gambar yang special.

3. Isu yang diangkat tentang seputar TKW dan wacana pahlawan devisa masih sangat dangkal karena sedikit adegan yang mengupas hal tersebut dan lebih menonjolkan ke aspek drama persaudaraan Mayang dan Sekar dan kisah percintaan antar TKW.


(19)

127 4. Sutradara berusaha mengkonstruksikan sosok TKW yang tidak biasa. TKW yang kurang terampil dan mengalami kekerasan dari majikan tidak ditampilkan didalam film ini. Sehingga membukakan mata penonton bahwa masih banyak TKW yang memiliki majikan yang menganggapnya keluarga dan sukses di negeri orang.

5. Realitas sosial mengenai TKW di dalam film ini memang digambarkan sedekat mungkin dengan kenyataan yang ada namun masih memiliki perbedaan karena film Minggu Pagi di Victoria Park ini adalah film drama yang lebih menonjolkan aspek dramatisasi bukan realitas yang ada langsung di refleksikan seperti pada film dokumenter.


(1)

122 Wanita baju kuning :

“ Ya,sama gimana nggak habis, lha wong bojoku minta duit terus.

Kemarin minta duit handphone. Eh,minta duit lagi buat nyicil sepeda motor katanya. Dia pikir aku gak mati-matian kerja disini. Awas nek

duit’e nggo macem-macem. Ngamuk aku. Kalo kamu?”

Dialog diatas melanggar maksim kuantitas dimana saat Mayang diberi pertanyaan oleh TKW lain yang akan meminjam uang, tidak menjawab

dengan “Ya” atau “Tidak” namun malah mempertanyakan kembali.

Kemudian TKW lain tidak menjawab jawaban dengan secukupnya namun memberikan informasi yang berlebihan. Hal yang tersirat dalam dialog diatas TKW menjadi tulang punggung bagi keluarganya yang berada di tanah air, TKW harus bekerja keras mencari uang untuk mencukupi kebutuhan keluarga bahkan sampai meminjam uang.

d. Konteks : Dialog ini terdapat didalam scene ke 21 yang terjadi pada siang hari. Dialog ini merupakan pembicaraan Mayang dan Sari di dalam perjalanan pulang menuju apartemen setelah pulang menjemput anak majikannya.

Sari :

“ Kedua, memangnya apa yang salah sama kita? Kau malu ya jadi TKW?”

Mayang :

“Babu”

Sari :

“ Yo opolah, kamu malu? Memangnya pekerjaan ini nggak baik? Gak

halal? Hei, kamu ngerti nggak artinya pahlawan devisa?”

Mayang :

“ Heh, pahlawan devisa apa tho? Itu kan Cuma sebutannya orang-orang

Indonesia saja buat kita”

Sari :

“ Orang-orang asik namain kita macem-macem, kayak mereka yang paling tahu artinya, mereka berkoar-koar tentang kita, tapi ya nggak nglakuin


(2)

123 Mayang :

“ Sei Jun”

Sari :

“ Selain makan dhuwit yang kita kasih ke negara, ya lewat devisa itu tadi”

Mayang :

“Hei kamu ngomong keras gini ke aku ki percuma, ngomomg’o sama

orang-orang yang kamu bilang Cuma bisa koar-koar tadi” Sari :

“Paling ndak dari kamunya dulu, diyakinkan kalau yang kamu kerja ini nggak lebih rendah dari kerjaan lain”

Dialog diatas melanggar maksim kuantitas, karena jawaban dari setiap pertanyaan cenderung tidak secukupnya namun mengandung banyak informasi didalamnya. Hal yang tersirat didalam dialog diatas adalah Tenaga Kerja Indonesia khususnya TKW memiliki rasa kecewa kepada pemerintah Indonesia karena kurang pedulinya kepada nasib mereka padahal mereka sedikit banyak telah menyumbang devisa untuk meningkatkan perekonomian negara.

e. Konteks : Adegan ini terjadi di Victoria Park saat para TKW sedang berkumpul bersama.

Tuti :

“ Sido mulih rong dino meneh?”

Teman TKW :

“ Deg-deg’an ki lho” Tuti :

“ Lha napa kok deg-deg’an?” Teman TKW :


(3)

124 Tuti :

“ Ser, TKI koyok dewe iki, sering jadi inceran ning terminal papat yo mbak”

Teman TKW :

“ Yo makane semua uangku wes tak kirim langsung ning kampung, jadi

bawa uang sedikit aja di tas”

Tuti : “ Bagus itu, pancen kudu kaya ngono kan, biasane ya ngono kabeh” Dialog diatas melanggar maksim relevansi, dimana saat Tuti menanyakan apakah temannya itu jadi pulang ke Indonesia, jawaban yang diberikan terkesan kabur dan tidak jelas namun sebenarnya karena adanya persamaan latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang sama antara penutur dan lawan tutur maka komunikasi masih tetap bisa berjalan. Hal yang tersirat didalam dialog diatas adalah Tenaga kerja wanita sudah mengetahui adanya perilaku diskriminasi dan pelanggaran hak-hak mereka karena bila mereka kembali ke Indonesia akan ada pungutan liar dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Hal ini disebabkan kurangnya hukum atau keadilan bagi tenaga kerja wanita yang disediakan oleh negara.

Berdasarkan tujuh realitas sosial menurut Soerjono Soekanto, penulis menganalisa realitas sosial TKW yang dibangun didalam film Minggu Pagi di Victoria Park ini, sebagai berikut:

1. Interaksi Sosial

Interaksi sosial yang digambarkan di dalam film ini adalah interaksi yang dilakukan oleh sesama TKW saat berada di Hongkong. Saat mereka berinteraksi dengan sesama TKW mereka masih menggunakan bahasa Indonesia bahkan bahasa daerah seperti bahasa Jawa, sehingga bisa dikatakan di dalam film ini digambarkan TKW tidak melupakan asal mereka.


(4)

125 2. Kebudayaan

Bahasa kanton adalah bahasa yang TKW gunakan untuk mempertahankan diri di Hongkong. Melalui bahasa sebagai pengantar berkomunikasi inilah mereka bisa berinteraksi satu dengan yang lain. Budaya di Hongkong yang terkenal bebas juga sedikit banyak mempengaruhi pola pikir TKW.

3. Nilai dan Norma Sosial

Nilai yang dianut oleh TKW sebenarnya adalah nilai timur atau budaya timur yang terkenal akan kesopanan dan keteraturan dalam bermasyarakat. Namun sejak berada di Hongkong seolah-olah budaya itu hilang dan nilai-nilai yang mereka anut menjadi berbeda. TKW mulai bertindak bebas dalam melakukan segala sesuatu apa yang mereka inginkan. Sehingga fenomena seperti lesbianisme sudah dipandang biasa padahal tidak sesuai dengan budaya asal mereka. Norma sosial di Hongkong tidak seperti di Indonesia. Hukuman Cuma diuntukkan bagi yang melanggar kasus hukum, misal TKW ilegal. 4. Stratifikasi Sosial

Pekerjaan sebagai TKW yang biasanya hanya berurusan dengan ranah domestik ( pembantu rumah tangga) membuat TKW memiliki status yang rendah di masyarakat Hongkong sendiri. Namun yang berbeda tampak setelah TKW sedang menikmati masa liburan mereka, TKW boleh melakukan apa saja dan itu bebas tanpa dibatasi bahwa mereka adalah seorang TKW.

5. Status Sosial

Status sosial TKW yang digambarkan di dalam film Minggu Pagi di Victoria Park ini digambarkan memiliki kedudukan sebagai tulang punggung di dalam keluarga, kedudukan sebagai pahlawan devisa di dalam negara, dan kedudukan sebagai wanita yang bebas berekspresi dan bergaul di dalam lingkungan sosialnya.


(5)

126 6. Peran Sosial

Peran sosial yang ditunjukkan oleh TKW di dalam film ini adalah saat ia memiliki kedudukan sebagai tulang punggung keluarga, mereka akan bekerja keras untuk bekerja sehingga menghasilkan uang yang banyak yang bisa ia kirimkan ke keluarganya di Indonesia. Bahkan rela sampai berhutang agar tetap mencukupi kebutuhan hidup keluarga.

7. Perubahan Sosial

Perempuan yang sederhana, tertutup, penakut, dan masih banyak hal lain yang sering digambarkan tentang sosok perempuan. Namun sosok perempuan yang berbeda yang dapat ditemukan di dalam diri seorang TKW. Perempuan yang berani bertindak bahkan mengungkapkan pendapat, mau berjuang untuk keluarga, moderen dan bebas melakukan apa pun yang ia sukai, itulah yang tergambarkan dalam sosok TKW di dalam film ini.

Sehingga berdasarkan hasil analisa film Minggu Pagi di Victoria Park berdasarkan unsur naratif dan unsur sinematik dapat ditemukan konstruksi yang dilakukan oleh sutradara dalam menggambarkan realitas sosial TKW yang bekerja di Hongkong dapat ditarik kesimpulan bahwa :

1. Kisah yang diangkat dalam film Minggu Pagi di Victoria Park ini adalah perjuangan TKW yang bekerja di Hongkong yang didukung dengan judul film, isi cerita, setting dan kostum yang sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan kepada penonton.

2. Teknik sinematografi dari film Minggu Pagi di Victoria Park ini terkesan masih sangat umum karena tidak memiliki teknik-teknik pengambilan gambar yang special.

3. Isu yang diangkat tentang seputar TKW dan wacana pahlawan devisa masih sangat dangkal karena sedikit adegan yang mengupas hal tersebut dan lebih menonjolkan ke aspek drama persaudaraan Mayang dan Sekar dan kisah percintaan antar TKW.


(6)

127 4. Sutradara berusaha mengkonstruksikan sosok TKW yang tidak biasa. TKW yang kurang terampil dan mengalami kekerasan dari majikan tidak ditampilkan didalam film ini. Sehingga membukakan mata penonton bahwa masih banyak TKW yang memiliki majikan yang menganggapnya keluarga dan sukses di negeri orang.

5. Realitas sosial mengenai TKW di dalam film ini memang digambarkan sedekat mungkin dengan kenyataan yang ada namun masih memiliki perbedaan karena film Minggu Pagi di Victoria Park ini adalah film drama yang lebih menonjolkan aspek dramatisasi bukan realitas yang ada langsung di refleksikan seperti pada film dokumenter.


Dokumen yang terkait

ANALISIS ISI PESAN DALAM FILM (Studi Pada Film Minggu Pagi di Victoria Park Karya Lola Amaria)

0 3 43

REPRESENTASI KEKERASAN SIMBOLIK PADA TENAGA KERJA WANITA DALAM FILM INDONESIA (Analisis Semiotika Film Minggu Pagi Di Victoria Park)

2 16 59

REPRESENTASI FEMINISME PADA FILM MINGGU PAGI DI Representasi Feminisme Pada Film Minggu Pagi Di Victoria Park (Analisis Semiotika Komunikasi Tentang Representasi Feminisme dalam Film Minggu Pagi di Victoria Park).

0 0 15

PENDAHULUAN Representasi Feminisme Pada Film Minggu Pagi Di Victoria Park (Analisis Semiotika Komunikasi Tentang Representasi Feminisme dalam Film Minggu Pagi di Victoria Park).

0 1 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konstruksi Realitas Sosial Tenaga Kerja Wanita (Studi Analisis Semiotika Film dalam Film Minggu Pagi di Victoria Park) T1 362009008 BAB I

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konstruksi Realitas Sosial Tenaga Kerja Wanita (Studi Analisis Semiotika Film dalam Film Minggu Pagi di Victoria Park) T1 362009008 BAB II

0 0 39

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konstruksi Realitas Sosial Tenaga Kerja Wanita (Studi Analisis Semiotika Film dalam Film Minggu Pagi di Victoria Park) T1 362009008 BAB IV

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konstruksi Realitas Sosial Tenaga Kerja Wanita (Studi Analisis Semiotika Film dalam Film Minggu Pagi di Victoria Park) T1 362009008 BAB V

0 0 42

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konstruksi Realitas Sosial Tenaga Kerja Wanita (Studi Analisis Semiotika Film dalam Film Minggu Pagi di Victoria Park)

0 1 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konstruksi Realitas Sosial Tenaga Kerja Wanita (Studi Analisis Semiotika Film dalam Film Minggu Pagi di Victoria Park)

0 0 52