PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN ANDRAGOGI UNTUK MENINGKATKAN KECAKAPAN HIDUP BAGI PEMUDA PUTUS SEKOLAH DI KOTA GORONTALO.
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
LEMBAR PERSETUJUAN... ii
PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... vi
PENGHARGAAN DAN UCAPAN TERIMA KASIH ... viii
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Perumusan Masalah ... 17
C. Tujuan Penelitian ... 19
D. Manfaat Penelitian ... 19
BAB II : KAJIAN PUSTAKA A. Konsep Pendidikan Luar Sekolah ... 21
B. Pendidikan Kecakapan Hidup ... 24
C. Model Pembelajaran Andragogi ... 71
D. Pemberdayaan Pemuda Putus Sekolah ... 98
BAB III: METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 108
B. Pendekatan dan Desain Penelitian ... 109
C. Definisi Operasional... 111
D. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ... 114
E. Langkah-Langkah Penelitian ... 119
(2)
G. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 123
BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Kondisi Objektif Pembelajaran Kecakapan Hidup Pada KUPP di Kota Gorontalo... 126
B. Pengembangan Model Pembelajaran Andragogi Untuk Meningkatkan Kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah di Kota Gorontalo ... 142
C. Kajian Efektivitas Model ... 166
D. Pembahasan Hasil Penelitian ... 198
E. Keterbatasan Studi ... 229
BAB V: KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan... 231
B. Rekomendasi ... 233
Daftar Pustaka ... 235
(3)
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1 Rentang Usia Peserta Pelatihan KUPP Mandiri ... 127
Tabel 4.2 Latar Belakang Pendidikan Peserta Pelatihan KUPP Mandiri .... 127
Tabel 4.3 Data Fasilitator Program Kecakapan Hidup KUPP Mandiri ... 128
Tabel 4.4 Rentang Usia Peserta Pelatihan KUPP Otanaha ... 130
Tabel 4.5 Latar Belakang Pendidikan Peserta Pelatihan KUPP Otanaha .... 131
Tabel 4.6 Data Fasilitator Program Kecakapan Hidup KUPP Otanaha ... 132
Tabel 4.7 Skor Pretest dan Posttest Aspek Pengetahuan (Uji Coba 1) ... 178
Tabel 4.8 Perbandingan Skor Pretest dan Posttest Aspek Pengetahuan ... 180
Tabel 4.9 Uji Wilcoxon Aspek Pengetahuan ... 181
Tabel 4.10 Skor Pretest dan Posttest Aspek Pengetahuan (Uji Coba 2) ... 191
Tabel 4.11 Perbandingan Skor Pretest dan Posttest Aspek Pengetahuan ... 193
(4)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Model Pelatihan Joyce dan Weil... 55
Gambar 2.2 Flow Chart Model Induktif ... 61
Gambar 2.3 Identifikasi Kebutuhan Belajar Menurut Ishak Abdulhak ... 63
Gambar 2.4 Pelatihan Model Klasik ... 65
Gambar 2.5 Kerangka Pikir Penelitian... 107
Gambar 3.1 Langkah-Langkah Penelitian... 121
Gambar 3.2 Komponen-Komponen Analisis ... 124
Gambar 4.1 Konseptual Model Pembelajaran Andragogi ... 141
Gambar 4.2 Pengembangan Model Pembelajaran Andragogi ... 144
Gambar 4.3 Model Pembelajaran Andragogi Hasil Validasi ... 165
Gambar 4.4 Grafik Perbedaan skor Pretest dan Postest Aspek Pengetahuan Uji Tahap I ... 180
Gambar 4.5 Grafik Perbedaan skor Pretest dan Postest Aspek Pengetahuan Uji Tahap 2 ... 192
(5)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Kisi-Kisi Instrumen Penelitian ... 241
Lampiran 2 Uji validitas Instrumen ... 242
Lampiran 3 Uji Reliabilitas Instrumen ... 243
Lampiran 4 Pedoman Observasi ... 245
Lampiran 5 Pedoman Wawancara ... 249
Lampiran 6 Kurikulum Pembelajaran ... 260
Lampiran 7 Instrumen Pretest dan Posttest ... 261
Lampiran 8 Inventarisasi calon peserta pelatihan ... 268
Lampiran 9 Daftar Peserta Pelatihan ... 270
Lampiran 10 Identifikasi Kebutuhan ... 271
Lampiran 11 Identifikasi Sumber Belajar ... 272
Lampiran 12 Identifikasi Kemungkinan Hambatan ... 273
Lampiran 13 Identifikasi Calon Fasilitator ... 274
Lampiran 14 Undangan Untuk Fasilitator ... 276
Lampiran 15 Daftar Fasilitator ... 277
Lampiran 16 Silabus ... 279
Lampiran 17 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ... 280
Lampiran 18 Jadwal Pembelajaran ... 283
Lampiran 19 Bahan, Media dan Fasilitas Belajar ... 285
Lampiran 20 Tata Tertib ... 286
Lampiran 21 Struktur Organisasi ... 289
Lampiran 22 Deskripsi Pembagian Tugas ... 291
Lampiran 23 Biodata ... 292
Lampiran 24 Format Penilaian ... 293
(6)
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberhasilan pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, pemerintah dan masyarakat. Peran aktif masyarakat dalam proses pendidikan secara tidak langsung akan memberikan ruang gerak yang lebih luas sehingga masyarakat akan semakin dewasa dan semakin mandiri dalam menentukan masa depannya. Tingkat kedewasaan dan kemandirian masyarakat merupakan ciri yang tepat untuk menyongsong masa depan yang penuh tantangan dan peluang.
Melihat kebutuhan masyarakat akan pelayanan pendidikan tidak dapat terakomodir secara keseluruhan melalui jalur persekolahan, maka pemerintah mengembangkan pelayanan kebutuhan masyarakat akan pendidikan melalui dua jalur pendidikan nasional, yakni jalur pendidikan sekolah atau pendidikan formal dan jalur pendidikan luar sekolah atau pendidikan non formal.
Pendidikan luar sekolah (PLS) sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional memilki tugas dan tanggung jawab secara bersama-sama dengan jalur pendidikan sekolah dalam ruang lingkup yang berbeda. Keberadaan pendidikan luar sekolah adalah mengakomodir warga masyarakat yang karena suatu hal kebutuhan akan pendidikannya tidak dapat terlayani oleh pendidikan jalur persekolahan. Pendidikan luar sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan diluar sekolah baik dilembagakan maupun tidak, melalui kegiatan belajar
(7)
2
mengajar yang tidak berjenjang dan berkesinambungan pada satuan PLS yang meliputi keluarga, kelompok belajar, kursus dan satuan pendidikan yang sejenis. Pendidikan Luar sekolah bertugas untuk menyiapkan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan, yang siap menghadapi perubahan sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat.
Pendidikan mempunyai peranan penting dalam peningkatan mutu sumber daya manusia dan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi Human
Development Indeks (HDI) suatu negara. Tiga komponen yang menjadi faktor
penentu kualitas HDI atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM), meliputi: a). Kesehatan; b). Pendidikan; dan c). Pendapatan perkapita di suatu wilayah. Data
United Nations Development Programs (UNDP) tahun 2000 mengungkapkan
informasi bahwa Human Development Index kita sangat rendah. IPM Indonesia ternyata turun dari urutan 110 pada tahun 2000 menjadi urutan 111 pada tahun 2003 dari 174 negara yang dikaji oleh UNDP yang merupakan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tetapi tahun 2008 dari 179 negara yang diteliti IPM Indonesia berada di urutan ke- 108 berada diatas Vietnam, Myanmar, dan Kamboja. Namun masih berada dibawah Brunei yang berada di urutan ke-27, Singapura ke-28, Malaysia ke-62, Thailand ke-80, Philipina ke-101 dan Srilangka ke-103 (http:// hdr. Undp.org/hdr 2008). Dari data tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa pembangunan Indonesia masih tertinggal dari negara-negara lain, bahkan dikawasan Asia Tenggara sekalipun. Sementara kita maklumi bersama bahwa pendidikan berhubungan langsung dengan isu-isu krusial seperti kemisikinan, kesehatan, kelompok sosial , kesejahteraan dan demokrasi.
(8)
3
Oleh karena itu kebijakan pemerintah dibidang Pendidikan Luar Sekolah tahun 2002–2005 ditujukan pada empat masalah klasik, yaitu pemerataan, mutu, relevansi dan efisiensi (Jalal, 2001: 2-3). Pada aspek pemerataan, tampak bahwa masalah putus sekolah dan tidak dapat melanjutkan pendidikan merupakan persoalan serius yang dapat mempengaruhi penuntasan wajib belajar sembilan tahun dan yang paling mengkhawatirkan adalah mutu sumber daya manusia Indonesia yang tidak pernah mengalami peningkatan yang berarti (Bappenas, 1998: 3). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) memaparkan per Maret 2010 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 31,02 juta jiwa (13,33%) atau turun 1,51 juta dibandingkan Maret 2009. Kondisi tersebut saat ini tetap buruk dengan dampak krisis dan resesi global. Sementara dengan melihat tingkat pertumbuhan penduduk yang sebesar 1,49 persen per tahun atau sebesar 3,5 juta jiwa ( BKKBN: 2011) maka jumlah penduduk Indonesia pada tahun tersebut menjadi 241 juta jiwa, hal ini menunjukkan laju penduduk terus membengkak, tapi juga memberi dampak luas bagi penyediaan pangan, pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja.
Angka pengangguran terbuka di Indonesia pada tahun 2011 telah mencapai 9,25 juta jiwa. Sementara itu berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010 menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Gorontalo bahwa jumlah penduduk Kota Gorontalo adalah 179.991 Jiwa, dimana 2803 jiwa diantaranya adalah pengangguran (Dinas Pendidikan Kota Gorontalo, 2011). Hal ini belum termasuk pengangguran setengah terbuka, yaitu mereka yang bekerja kurang dari 30 jam perminggu. Tingginya angka pengangguran tersebut, perlu diatasi dengan
(9)
4
menyiapkan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi yang unggul. Berkenaan dengan banyaknya pengangguran, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengungkapkan informasi bahwa setiap tahun terjadi penambahan angkatan kerja baru sekitar 2,5 juta orang, dan yang terserap disektor formal dan informal rata-rata hanya sekitar 20-30% (http//www. Nakertrans.go.id,2007). Rendahnya prosentase daya serap tersebut bukan semata-mata karena sempitnya lapangan kerja, akan tetapi kualifikasi yang diinginkan oleh lembaga pencari tenaga kerja tidak terpenuhi oleh pencari kerja. Informasi ini memberikan petunjuk bahwa masyarakat sangat memerlukan pendidikan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan dunia usaha/industri, agar dapat dijadikan bekal untuk memasuki lapangan kerja atau usaha mandiri. Disamping itu, permasalahan yang berkaitan dengan merosotnya rasa kebangsaan dikalangan pemuda yang mengarah pada disintegrasi bangsa, penggunaan obat-obat terlarang, pergaulan bebas dan etos kerja yang rendah makin meningkat setiap saat.
Masalah kemiskinan dan pengangguran bukan saja menjadi masalah pendidikan tetapi bisa jadi masalah politik, namun paradigma pendidikan liberal mendominasi pemikiran tentang pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal seperti berbagai macam pendidikan melalui pelatihan dan keterampilan. Akar dari pendidikan liberal adalah pandangan yang menekankan pada kemampuan, melindungi hak dan kebebasan serta mengidentifikasi problem dan upaya perubahan demi menjaga stabilitas jangka panjang (Fakih, 2001:20).
Dalam pandangan PLS, pengangguran atau pengangguran terampil memerlukan reorientasi untuk melihat lagi kemampuan dan masalah-masalah
(10)
5
yang dihadapi sehubungan dengan dunia kerja, dengan reorientasi barangkali ada bagian kemampuan pada dirinya yang perlu dimuktahirkan sesuai dengan tuntutan perubahan keadaan. Peningkatan kemampuan untuk meraih kembali peluang kerja baru yang masih tersedia atau menciptakan lapangan-lapangan kerja baru secara inovatif. Tuntutan peningkatan kemampuan ini merupakan aktualisasi dari konsep belajar sepanjang hayat. Coombs (1994: 121) berpendapat bahwa pendidikan luar sekolah yang tepat seperti kursus dan pelatihan dapat dijadikan sebagai alternatif selain pendidikan sekolah untuk mengurangi kemiskinan. Lebih lanjut Bellante dan Jakson (1990:172) mengutarakan bahwa tingkat pendidikan dan keterampilan mempengaruhi tingkat pendapatan. Mereka yang mempunyai pendidikan dan keterampilan lebih tinggi cenderung memperoleh pendapatan yang lebih tinggi pula. Salah satu cara mendapatkan pelajaran baru untuk memuktahirkan pengetahuan, keterampilan dan/atau sikap itu adalah melalui program pelatihan atau training atau institutional program.
Meskipun telah demikian banyak program pengentasan kemiskinan atau program penanggulangan pengangguran telah diselenggarakan namun hasilnya belum dikatakan memuaskan. Untuk itu maka penyelenggaraan layanan pendidikan nonformal harus mengikuti dinamika dan perubahan yang terjadi dengan menciptakan sumber daya manusia yang kaya akan pengetahuan dan keterampilan hidup serta ditunjang dengan nilai-nilai profesionalisme.
Pendidikan kecakapan hidup (life skill education) pada intinya adalah penyelenggaraan pendidikan nonformal yang dapat dijadikan sebagai solusi dalam rangka mengikuti perubahan dan paradigma baru penyelenggaraan pendidikan
(11)
6
sekaligus untuk mengatasi pengangguran, pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan. Seiring dengan kebijakan pemerintah untuk mengurangi jumlah angka pengangguran dan penanganan masyarakat miskin yang jumlahnya semakin meningkat.
Pendidikan kecakapan hidup merupakan konsepsi yang dimaksud memberikan kepada seseorang bekal pengetahuan, keterampilan dan kecakapan fungsional berupa pribadi, sosial akademik dan vocasional, agar seseorang mampu bekerja atau berusaha mandiri dengan memanfaatkan potensi yang ada pada lingkungannya.
Pengenalan pendidikan kecakapan hidup (life skill education) pada semua jenis dan jenjang pendidikan pada dasarnya didorong oleh anggapan bahwa relevansi antara pendidikan dengan kehidupan nyata kurang erat. Kesenjangan antara keduanya dianggap lebar, baik dalam kuantitas maupun kualitas. Pendidikan makin terisolasi dari kehidupan nyata sehingga tamatan pendidikan dari berbagai jenis dan jenjang pendidikan dianggap kurang siap menghadapi kehidupan nyata. Suatu pendidikan dikatakan relevan dengan kehidupan nyata jika pendidikan tersebut sesuai dengan kehidupan nyata. Hal ini tentu sangat membutuhkan kemampuan seorang pendidik atau fasilitator menyajikan suatu proses pembelajaran dengan menggunakan model-model pembelajaran yang disesuaikan karakteristik dan kebutuhan peserta didik atau peserta pelatihan.
Model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan
(12)
7
suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Berkenaan dengan model pembelajaran, Bruce Joyce dan Marsha Weil (dalam Supriawan dan Surasega, 1990: 32) mengetengahkan 4 (empat) kelompok model pembelajaran, yaitu: (1) model interaksi sosial; (2) model pengolahan informasi; (3) model personal-humanistik; dan (4) model modifikasi tingkah laku. Kendati demikian, seringkali penggunaan istilah model pembelajaran tersebut diidentikkan dengan strategi pembelajaran.
Model pembelajaran yang diterapkan pada beberapa program pelatihan dapat efektif (lebih cepat dan melekat pada ingatannya), bilamana pembimbing (pelatih, pengajar, fasilitator, instruktur, dan sejenisnya) tidak terlalu mendominasi kelompok kelas, mengurangi banyak bicara, namun mengupayakan agar individu warga belajar itu mampu menemukan alternatif-alternatif untuk mengembangkan kepribadian mereka. Seorang pembimbing yang baik harus berupaya untuk banyak mendengarkan dan menerima gagasan seseorang, kemudian menilai dan menjawab pertanyaan yang diajukan mereka. Warga belajar (peserta pelatihan) pada hakekatnya adalah makhluk yang kreatif bilamana seseorang mampu menggerakkan/menggali potensi yang ada dalam diri mereka. Dalam upaya ini, diperlukan keterampilan dan kiat khusus yang dapat digunakan dalam pembelajaran tersebut.
Di samping itu, peserta pelatihan dapat dibelajarkan lebih aktif apabila mereka merasa ikut dilibatkan dalam aktivitas pembelajaran, terutama apabila mereka dilibatkan memberi sumbangan pikiran dan gagasan yang membuat mereka merasa berharga dan memiliki harga diri di depan sesama temannya.
(13)
8
Artinya, peserta pelatihan akan belajar lebih baik apabila pendapat pribadinya dihormati, dan akan lebih senang kalau ia boleh sumbang saran pemikiran dan mengemukakan ide pikirannya, daripada pembimbing melulu menjejalkan teori dan gagasannya sendiri kepada mereka.
Peserta pelatihan memiliki sistem nilai yang berbeda, mempunyai pendapat dan pendirian yang berbeda. Dengan terciptanya suasana yang baik, mereka akan dapat mengemukakan isi hati dan isi pikirannya tanpa rasa takut dan cemas, walaupun mereka saling berbeda pendapat. Peserta pelatihan mestinya memiliki perasaan bahwa dalam suasana/ situasi belajar yang bagaimanapun, mereka boleh berbeda pendapat dan boleh berbuat salah tanpa dirinya terancam oleh sesuatu sanksi (dipermalukan, pemecatan, cemoohan, dan lain-lain).
Oleh karena sifat belajar bagi peserta pelatihan adalah bersifat subjektif dan unik, maka terlepas dari benar atau salahnya, segala pendapat, perasaan, pikiran, gagasan, teori, sistem nilainya perlu dihargai. Tidak menghargai (meremehkan dan menyampingkan) harga diri mereka, hanya akan mematikan gairah belajar. Namun demikian, pembelajaran perlu pula mendapatkan kepercayaan dari pembimbing atau fasilitator, dan pada akhirnya mereka harus mempunyai kepercayaan pada dirinya sendiri. Tanpa kepercayaan diri tersebut, maka suasana belajar yang kondusif tak akan pernah terwujud.
Keterbukaan seorang pembimbing atau fasilitator sangat membantu bagi kemajuan peserta pelatihan dalam mengembangkan potensi pribadinya di dalam kelas, atau di tempat pelatihan. Sifat keterbukaan untuk mengungkapkan diri, dan terbuka untuk mendengarkan gagasan, akan berdampak baik bagi kesehatan
(14)
9
psikologis dan psikis peserta pelatihan. Di samping itu, harus dihindari segala bentuk akibat yang membuat peserta pelatihan mendapat ejekan, hinaan, atau dipermalukan. Jalan terbaik hanyalah diciptakannya suasana keterbukaan dalam segala hal, sehingga berbagai alternatif kebebasan mengemukakan ide/gagasan dapat diciptakan.
Bagi peserta pelatihan, terciptanya suasana belajar yang kondusif merupakan suatu fasilitas yang mendorong mereka mau mencoba perilaku baru, berani tampil beda, dapat berlaku dengan sikap baru dan mau mencoba pengetahuan baru yang mereka peroleh. Walaupun sesuatu yang baru mengandung resiko terjadinya kesalahan, namun kesalahan, dan kekeliruan itu sendiri merupakan bagian yang wajar dari belajar. Pada akhirnya,peserta yang mengikuti pelatihan ingin tahu apa arti dirinya dalam kelompok belajar itu. Bagi peserta pelatihan tentunya mempunyai kecenderungan ingin mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya. Dengan demikian, diperlukan adanya evaluasi bersama oleh seluruh anggota kelompok yang dirasakan berharga untuk bahan renungan, di mana renungan itu dapat mengevaluasi dirinya dari orang lain yang persepsinya bisa saja memiliki perbedaan.
Dalam hal lainnya, tidak dapat disangkal bahwa peserta pelatihan belajar secara khas dan unik. Faktor tingkat kecerdasan, kepercayaan diri, dan perasaan yang terkendali harus diakui sebagai hak pribadi yang khas sehingga keputusan yang diambil tidak harus selalu sama dengan pribadi orang lain. Kebersamaan dalam kelompok tidak selalu harus sama dalam pribadi, sebab akan sangat membosankan kalau saja suasana yang seakan hanya mengakui satu kebenaran
(15)
10
tanpa adanya kritik yang memperlihatkan perbedaan tersebut. Oleh sebab itu, latar belakang pendidikan, latar belakang kebudayaan, dan pengalaman masa lampau masing-masing individu dapat memberi warna yang berbeda pada setiap keputusan yang diambil.
Usaha-usaha kearah penerapan pendidikan kecakapan hidup dalam program pelatihan telah dicobakan oleh beberapa ahli, berdasarkan empat asumsi dasar peserta pelatihan seperti telah dijelaskan di atas yaitu: konsep diri, akumulasi pengalaman, kesiapan belajar, dan orientasi belajar. Asumsi dasar tersebut dijabarkan dalam proses perencanaan kegiatan pendidikan dengan langkah-langkah sebagai berikut: (a). Menciptakan suatu struktur untuk perencanaan bersama. Secara ideal struktur semacam ini seharusnya melibatkan semua pihak yang akan terkenai kegiatan pendidikan yang direncanakan, yaitu termasuk para peserta kegiatan belajar atau warga belajar, guru atau fasilitator, wakil-wakil lembaga dan masyarakat; (2). Menciptakan iklim belajar yang mendukung untuk peserta pelatihan untuk belajar. Adalah sangat penting menciptakan iklim kerjasama yang menghargai antara fasilitator dan peserta pelatihan. Suatu iklim belajar dapat dikembangkan dengan pengaturan lingkungan phisik yang memberikan kenyamanan dan interaksi yang mudah, misalnya mengatur kursi atau meja secara melingkar, bukan berbaris-berbaris ke belakang. fasilitator lebih bersifat membantu bukan menghakimi; (3). Diagnosa sendiri kebutuhan belajarnya. Diagnosa kebutuhan harus melibatkan semua pihak, dan hasilnya adalah kebutuhan bersama; (4) Formulasi tujuan. Agar secara operasional dapat dikerjakan maka perumusan tujuan itu hendaknya dikerjakan bersama-sama dalam
(16)
11
deskripsi tingkah laku yang akan dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut diatas; (5) Mengembangkan model umum. Ini merupakan aspek seni dari perencanaan program, dimana harus disusun secara harmonis kegiatan belajar dengan membuat kelompok-kelompok belajar baik kelompok besar maupun kelompok kecil; (6). Perencanaan evaluasi. Seperti halnya dalam diagnosa kebutuhan, dalam evaluasi harus sejalan dengan prinsip-prinsip dari peserta pelatihan, yaitu sebagai pribadi dan dapat mengarahkan diri sendiri. Kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan untuk mengembangkan kemampuannya dalam proses pembelajaran.
Model pembelajaran kecakapan hidup tersebut merupakan suatu model yang berorientasi pada keterampilan proses. Proses pembelajaran menekankan pada kegiatan ketrampilan proses yang digunakan untuk mengungkap dan menemukan fakta dan konsep serta menumbuhkan sikap dan nilai yang dilakukan oleh peserta pelatihan. Proses pembelajaran dengan pendekatan ini dimulai dari obyek nyata atau obyek yang sebenarnya dengan menggunakan pengalaman langsung, sehingga peserta pelatihan diharapkan terjun dalam kegiatan belajar mengajar yang lebih realistis, juga diajak ,dilatih, dan dibiasakan melakukan observasi langsung dan membuat kesimpulan sendiri.
Tujuan pembelajaran kecakapan hidup sebagai proses adalah untuk meningkatkan keterampilan berpikir peserta pelatihan, sehingga mereka bukan hanya mampu dan terampil dalam bidang psikomotorik, melainkan juga mempunyai kemampuan berpikir kritis dalam memecahkan masalah.
(17)
12
Selain itu, terdapat beberapa pendekatan yang diterapkan dalam pendidikan kecakapan hidup, satu diantaranya adalah pendekatan andragogi. Pendekatan andragogi merupakan upaya membelajarkan orang dewasa. Pembelajaran orang dewasa lebih menekankan pada membimbing dan membantu orang dewasa untuk menemukan pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam rangka memecahkan, masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya. Ketepatan pendekatan yang digunakan dalam penyelenggaraan suatu kegiatan pembelajaran tentu akan mempengaruhi hasil belajar peserta pelatihan. Dalam andragogi peranan fasilitator adalah mempersiapkan seperangkat atau prosedur untuk mendorong dan melibatkan secara aktif seluruh peserta pelatihan yang dikenal dengan pendekatan partisipatif, yang meliputi elemen-elemen: a) menciptakan iklim dan suasana yang mendukung proses belajar mandiri, b) menciptakan mekanisme dan prosedur untuk perencanaan bersama dan partisipatif, c) melakukan diagnosis kebutuhan-kebutuhan belajar yang spesifik, d) merumuskan tujuan program yang memenuhi kebutuhan belajar, e) merencanakan pola pengetahuan belajar, f) melakukan dan menggunakan pengalaman belajar dengan metode dan teknik yang memadai dan g) mengevaluasi hasil belajar dan mendiagnosis kembali kebutuhan-kebutuhan belajar, sebagai model proses.
Berdasarkan pada implikasi andragogi dalam praktik pembelajaran pada kegiatan pelatihan maka seorang fasilitator harus dapat mempersiapkan dan mengatur keberlanjutan prosedur pembelajaran yang melibatkan peserta pelatihan dalam proses pembelajaran dalam bentuk: (a) menciptakan kondisi yang konduksif untuk pembelajaran, (b) menciptakan mekanisme perencanaan yang
(18)
13
memberikan timbal balik, (c) mendiagnosis kebutuhan untuk pembelajaran, (d) merumuskan tujuan program pembelajaran yang memuaskan kebutuhan, (e) mengkonstruksi pengalaman pembelajaran yang sesuai, (f), mengevaluasi tingkat pencapaian hasil pembelajaran dan mendiagnosis kembali kebutuhan belajar.
Pengembangan model pembelajaran andragogi dalam meningkatkan kecakapan hidup disesuaikan dengan kondisi daerah atau lingkungan peserta pelatihan sehingga bentuk-bentuk keterampilan yang diharapkan dapat dikuasainya. Dalam hal ini substansi materi pembelajaran mengacu pada hasil analisis terhadap keunggulan lokal daerah dan diterapkan sesuai dengan tingkat perkembangan peserta pelatihan sehingga dapat meningkatkan minat dan motivasi belajar. Dengan adanya model pembelajaran yang sedemikian rupa maka diharapkan keterampilan berusaha peserta pelatihan akan meningkat.
Uraian di atas mengindikasikan bahwa pelatihan dengan menggunakan model pembelajaran andragogi mutlak dilaksanakan pada pelatihan-pelatihan pendidikan nonformal. Namun kenyataannya, pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan masih menggunakan cara-cara konvensional dan belum menerapkan pendekatan andragogi sehingga pendidikan kecakapan hidup yang diharapkan dapat meningkatkan keterampilan dan perilaku peserta pelatihan tidak tercapai dengan baik. Pada umumnya peserta tidak mengalami perubahan setelah mengikuti pelatihan yang diberikan bahkan perilaku wirausaha yang diharapkan tidak meningkat. Hal ini disadari bahwa pendekatan andragogi merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup, terutama bagi pemuda putus sekolah.
(19)
14
Demikian pula halnya dengan pelatihan yang dilaksanakan bagi pemuda putus sekolah di Kota Gorontalo. Pada umumnya pelatihan yang diberikan belum dapat mengembangkan kemampuan peserta pelatihan, terutama model pembelajaran pelatihan dan juga pendampingan setelah pelatihan tersebut selesai dilaksanakan.
Salah satu pelatihan yang diberikan oleh pemerintah maupun lembaga masyarakat bagi pemuda putus sekolah adalah pelatihan tentang pengolahan enceng gondok sebagai salah satu tumbuhan yang hidup liar di Danau Limboto. Bagi masyarakat Gorontalo, enceng gondok hanya dianggap sebagai tumbuhan pengganggu sehingga terbuang secara percuma. Walaupun ada yang memanfaatkannya, terbatas pada makanan ternak dan menjualnya jika ada yang membelinya. Perilaku masyarakat tersebut menunjukkan bahwa jiwa dan perilaku wirausaha belum nampak dan belum berkembang dengan baik. Hal ini tentunya menjadi salah satu faktor yang menyebabkan enceng gondok tidak terkelola dengan baik. Bila masyarakat memiliki jiwa wirausaha, maka masyarakat akan berusaha memanfaatkan enceng gondok dengan sebaik-baiknya dalam kerangka peningkatan pendapatan dan kesejahteraannya.
Usaha dan upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut diatas telah banyak cara yang dilakukan mulai dengan memberikan pelatihan tentang bagaimana mengolah enceng gondok menjadi suatu bahan kerajinan yang bernilai jual tinggi, mengolah enceng gondok menjadi pupuk organik sampai pada usaha membersihkan danau dari enceng gondok.
(20)
15
Dari beberapa permasalahan yang telah diungkapkan di atas menggugah penulis untuk menelitinya, dengan melakukan studi eksplorasi berbagai faktor yang berasal dari ketidakmampuan peserta pelatihan mendayagunakan hasil belajar setelah pembelajaran. Setelah itu, penelitian ini dilanjutkan dengan mengembangkan suatu model pembelajaran andragogi untuk meningkatkan kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah dengan harapan agar setiap pemuda putus sekolah yang telah mengikuti pembelajaran atau pelatihan tentang pengolahan enceng gondok dapat memiliki bekal keterampilan yang memadai setelah mereka mengikuti pelatihan pada kelompok usaha produktif yang ada khususnya di Kota Gorontalo.
Dalam penelitian ini, model pembelajaran andragogi dilaksanakan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku pemuda putus sekolah dalam pengolahan enceng gondok. Materi enceng gondok diangkat dalam pelatihan ini dengan alasan: (1) enceng gondok dapat ditemui di mana saja, terutama di Danau Limboto; (2) enceng gondok hanya dijadikan sebagai makanan ternak; (3) enceng gondok dianggap sebagai tanaman liar yang menjadi penyebab mendangkalnya Danau Limboto; (4) enceng gondok dapat dijadikan sebagai bahan keterampilan kerajinan tangan yang bernilai jual tinggi.
Dari hasil observasi diperoleh bahwa kelompok usaha yang menitik beratkan pelatihannya pada enceng gondok di Kota Gorontalo ada dua kelompok usaha yaitu kelompok usaha yang berada di Kelurahan Dembe yang berada di Kecamatan Kota Barat Kota Gorontalo dan di Kelurahan Libuo Kecamatan Dungingi Kota Gorontalo, kedua wilayah ini berada tepat dipesisir Danau
(21)
16
Limboto. Adapun peserta pelatihan yang tercatat dalam kelompok usaha ini berjumlah 20 orang. Sebagian besar peserta pelatihannya adalah pengangguran atau pemuda putus sekolah yang karena masalah ekonomi keluarga tidak dapat melanjutkan pendidikan formalnya (Bidang PNFI Diknas Kota Gorontalo, 2011).
Oleh sebab itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dikembangkan suatu model pembelajaran andragogi. Pelaksanaan pelatihan yang selama ini dilaksanakan dengan model pembelajaran sebelumnya di rasa belum optimal karena belum menunjukkan kecakapan hidup yang diharapkan, khususnya bagi pemuda putus sekolah. Hal ini disadari bahwa model pembelajaran dengan pendekatan andragogi merupakan suatu model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan kemampuannya dalam proses pelatihan baik dalam bentuk perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, penilaian, maupun pengembangan sehingga peserta pelatihan dapat mengetahui perkembangan hasil belajarnya.
Berdasarkan uraian tersebut maka perlu adanya rancangan model pembelajaran yang baru dengan melihat model pembelajaran yang sudah ada. Pengembangan model tersebut dibuat sesuai dengan kebutuhan peserta pelatihan sehingga melalui pelatihan dapat ditingkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan sebagai keluarannya, serta berdampak pada pertumbuhan usaha baru dan pendapatan serta kesejahteraan keluarga.
Pengembangan model pembelajaran yang akan dibuat yaitu “Pengembangan Model Pembelajaran Andragogi Untuk Meningkatkan Kecakapan Hidup bagi Pemuda Putus Sekolah di Kota Gorontalo”. Pengembangan model tersebut
(22)
17
diasumsikan dapat meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan berusaha peserta pelatihan sebagai output, serta peningkatan produktivitas dan pendapatannya sebagai outcome pembelajaran.
B. Identifikasi dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka masalah dalam penelitian ini diidentifikasi sebagai berikut:
1. Model pembelajaran dalam pelatihan peningkatan kecakapan hidup di Kota Gorontalo belum menggunakan pendekatan andragogi.
Pendekatan pembelajaran andragogi adalah kegiatan pembelajaran orang dewasa yang bertumpu pada keterlibatan dan keikutsertaan secara penuh peserta pelatihan dalam suatu kegiatan pelatihan.
2. Model pembelajaran kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah yang dilaksanakan pada KUPP di Kota Gorontalo belum sesuai kebutuhan masyarakat, potensi wilayah, dan peluang usaha yang ada.
3. Penerapan model pembelajaran kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah yang selama ini dilaksanakan di Kota Gorontalo belum mempunyai struktur kurikulum yang jelas.
4. Model pembelajaran kecakapan hidup yang diterapkan dalam pelatihan belum dapat membangkitkan semangat berwirausaha bagi pemuda putus sekolah di Kota Gorontalo.
(23)
18
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, maka pembatasan dan rumusan masalah dalam penelitian ini adalah belum terdapat pengembangan model pembelajaran andragogi untuk meningkatkan kecakapan hidup yang memberikan kontribusi yang bermakna bagi pemberdayaan pemuda putus sekolah di Kota Gorontalo.
Adapun fokus kajian untuk menjawab rumusan di atas, maka disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut.
1. Bagaimana kondisi objektif pembelajaran kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah di Kota Gorontalo?
2. Bagaimana pengembangan model pembelajaran andragogi untuk meningkatkan kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah di Kota Gorontalo?
3. Bagaimana efektifitas pelaksanaan pengembangan model pembelajaran andragogi untuk meningkatkan kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah di Kota Gorontalo?
4. Bagaimana faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan pengembangan model pembelajaran andragogi untuk meningkatkan kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah di Kota Gorontalo?
(24)
19
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada perumusan masalah, penelitian ini secara umum memiliki tujuan menemukan model pembelajaran andragogi untuk meningkatkan kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah di Kota Gorontalo.
Sedangkan yang menjadi tujuan khususnya adalah untuk:
1. Memperoleh gambaran kondisi objektif pembelajaran kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah di Kota Gorontalo.
2. Memperoleh gambaran tentang pengembangan model pembelajaran andragogi untuk meningkatkan kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah di Kota Gorontalo.
3. Mendeskripsikan tentang efektifitas pelaksanaan model pembelajaran andragogi untuk meningkatkan kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah di Kota Gorontalo.
4. Mendeskripsikan faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan model pembelajaran andragogi untuk meningkatkan kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah di Kota Gorontalo.
D. Manfaat Penelitian
Pengembangan model andragogi untuk meningkatkan kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis.
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan keilmuan kajian pendidikan luar sekolah,
(25)
20
khususnya pengembangan model pendidikan luar sekolah yang berkaitan dengan konsep pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat dan kewirausahaan. Dengan difokuskannya penelitian ini pada usaha untuk menemukan model, maka penelitian ini pun dapat dijadikan prototype pengembangan model pembelajaran andragogi untuk meningkatkan kecakapan hidup pada kelompok usaha berikutnya. Pada akhirnya, hasil penelitian ini pun diharapkan dapat bermanfaat bagi perluasan kajian materi-materi PLS pada masyarakat.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan manfaat sebagai berikut.
a. Dapat memberikan masukan bagi penyusun kebijakan dan pembina kelompok usaha dalam rangka meningkatkan kemampuan berwirausaha melalui model yang akan dikembangkan.
b. Dapat memberikan masukan positif bagi lembaga pengelola atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan penyelenggaraan kelompok usaha dalam hal mengevaluasi pengembangan model yang selama ini dilaksanakan.
c. Bahan pertimbangan adanya studi banding bagi pengelola kelompok usaha lainnya terutama mengenai pengembangan model andragogi untuk meningkatkan kecakapan hidup.
d. Bermanfaat sebagai bahan kajian dan memberikan arah bagi pihak lain yang berminat untuk meneliti permasalahan ini secara lebih lanjut.
(26)
108
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Subjek Penelitian
Kelompok Usaha Pemuda Produktif (KUPP) dalam penelitian ini terletak di Kecamatan Kota Barat Kota Gorontalo yaitu KUPP Otanaha dan di Kecamatan Dungingi Kota Gorontalo yaitu KUPP Mandiri. Dua Kecamatan ini merupakan bagian dari sembilan kecamatan di wilayah kerja Pemerintah Kota Gorontalo. Secara geografis, dua Kecamatan ini terletak di wilayah Barat Kota Gorontalo dan berada dipesisir Danau Limboto dimana anak sungai dari danau ini membelah dua wilayah tersebut.
Perkembangan pendidikan di wilayah tersebut masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Lokasi dan fasilitas pendidikan yang tersedia masih terbatas, serta latar belakang ekonomi menyebabkan beberapa anggota masyarakatnya putus sekolah. Hal ini tentu berdampak kepada tingkat pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dimilikinya sehingga timbul pengangguran, kesenjangan sosial dan ekonomi, khususnya di wilayah-wilayah yang belum terlayani pendidikan formal/sekolah.
Dua KUPP yang menjadi subjek ini penelitian adalah KUPP yang aktif melaksanakan kegiatan pelatihan bagi masyarakat khususnya pemuda-pemuda putus sekolah. Dua KUPP ini dalam penilaian Dinas Pendidikan Kota Gorontalo masuk dalam kategori “sedang” dalam pelaksanaan kegiatan pelatihannya. Kegiatan pelatihan dua KUPP ini adalah tentang keterampilan kerajinan tangan
(27)
109
dari enceng gondok,. Sebelumnya dua KUPP ini juga mengelola budi daya ikan air tawar dan keterampilan kerajinan tangan dari rotan. Adapun fokus penelitian ini adalah mengembangkan model pembelajaran andragogi untuk meningkatkan kecakapan hidup pemuda putus sekolah, pengembangan model pembelajaran ini bertujuan menghasilkan model yang tervalidasi untuk meningkatkan kecakapan hidup pemuda putus sekolah di Kota Gorontalo.
Atas dasar fokus dan tujuan penelitian tersebut, subjek penelitian ditentukan secara purposive sampling sebanyak 20 orang peserta pelatihan, masing-masing 10 orang sebagai responden pada uji tahap I dan 10 orang sebagai responden pada uji tahap II. Adapun pelaksanaan penelitian ini dimulai pada Bulan Mei 2011 sampai dengan Bulan Desember 2011.
B. Pendekatan dan Desain Penelitian
Penelitian ini bukan hanya sekedar untuk mendeskripsikan objek yang diteliti, akan tetapi mencakup proses pengeksplorasian fakta dan data secara objektif di lapangan sebagaimana adanya. Oleh karena itu, analisis dan penafsiran-penafsiran kualitatif perlu dilakukan untuk memberi keyakinan dan gambaran secara integratif agar mampu menemukan sebuah formula atau konsep pengembangannya yang konvergen. Dengan demikian, berdasarkan fokus penelitian yaitu pengembangan model pembelajaran andragogi maka pendekatan yang ditempuh dalam penelitian ini menggunakan penelitian dan pengembangan (research and development), dengan menggunakan teknik analisis data secara gabungan yakni analisis kualitatif dan kuantitatif. Penelitian dan pengembangan
(28)
110
adalah penelitian yang digunakan untuk merancang produk dan prosedur baru yang harus diuji lapangan secara sistematik, dievaluasi, diperbaiki sampai menemukan kriteria efektivitas tertentu.
Dalam pendekatan model penelitian dan pengembangan, Borg dan Gall (2003:570) menempuh prosedur sepuluh langkah-langkah kegiatan yaitu: (1) meneliti dan mengumpulkan informasi seperti membaca literatur dan melaksanakan observasi lapangan; (2) perencanaan (planning), yaitu merencanakan prototipe komponen yang akan dikembangkan termasuk merencanakan, merumuskan dan menentukan langkah-langkah; (3) mengembangkan bentuk produk awal seperti menyiapkan bahan pembelajaran, bahan panduan, perangkat evaluasi; (4) pengujian lapangan awal, melakukan uji coba awal secara terbatas terhadap model awal, melakukan pengumpulan data melalui wawancara, pengamatan dan analisis; (5) revisi terhadap produk awal, melakukan revisi dari model awal; (6) pengujian lapangan utama; (7) revisi produk operasional; (8) pengujian lapangan operasional; (9) revisi produk akhir; (10) diseminasi dan distribusi.
Secara umum dalam penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu studi ekplorasi dan pengembangan model. Pada tahap studi ekplorasi, dilakukan dengan tujuan untuk memetakan masalah dan sumber-sumber pendukung yang berkaitan dengan kegiatan pendidikan kecakapan hidup. Tahap kegiatan pengembangan model, yaitu dilakukannya penyusunan model konseptual yang diujicobakan dalam lapangan dengan menggunakan kuasi ekperimen. Melalui kegiatan eksperimen dengan memberikan perlakuan dan pengamatan intensif, akan
(29)
111
ditemukan peningkatan kemampuan warga belajar sebagaimana yang diharapkan dalam penelitian ini (kemampuan berwirausaha). Temuan ini digunakan untuk merivisi model konseptual, sehingga dapat dijadikan sebagai model empirik yang layak untuk diterapkan.
C. Definisi Operasional
Berkenaan dengan penelitian tentang pengembangan model pembelajaran andragogi untuk meningkatkan kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah, peneliti perlu menjabarkan secara mendetail variabel penelitian sebagai fokus permasalahan. Beberapa variabel yang merupakan fokus garapan penelitian ini adalah (1) pendidikan kecakapan hidup, (2) Model pembelajaran andragogi, (3) Pemberdayaan pemuda putus sekolah.
1. Kecakapan hidup adalah pendidikan yang memberi bekal dasar dan latihan yang dilakukan secara benar kepada peserta didik tentang nilai-nilai kehidupan sehari-hari agar yang bersangkutan mampu, sanggup, dan terampil menjalankan kehidupannya yaitu dapat menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya. Kecakapan hidup terdiri atas: (1) Kecakapan Personal yang mencakup kecakapan diri atau memahami diri dan potensi diri, serta kecakapan berfikir. (2) Kecakapan sosial yang meliputi kecakapan berkomunikasi dan kecakapan bekerja-sama. (3) Kecakapan akademik atau kecakapan intelektual terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan pemikiran, sehingga mencakup kecakapan mengidentifikasi variabel dan hubungan anatara satu dengan lainnya, merumuskan hipotesis, merancang dan melaksanakan penelitian. (4) Kecakapan vokasional terkait dengan bidang
(30)
112
pekerjaan yang lebih memerlukan keterampilan motorik untuk lebih produktif. Kecakapan hidup dalam penelitian ini adalah kecakapan yang dimiliki Kelompok usaha untuk berani menghadapi problema hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya, sehingga mereka memiliki kemampuan, kesanggupan dan keterampilan yang diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup dan pengembangan dirinya. 2. Model pembelajaran dalam penelitian ini adalah suatu pola atau bentuk yang
dibuat secara sistematik oleh pendidik untuk menciptakan kondisi-kondisi agar peserta didik melakukan kegiatan belajar. Model Pembelajaran Andragogi adalah suatu model pembelajaran yang lebih menekankan pada membimbing dan membantu orang dewasa untuk menemukan pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam rangka memecahkan masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya. Ketepatan pendekatan yang digunakan dalam penyelenggaraan suatu kegiatan pembelajaran tentu akan mempengaruhi hasil belajar warga belajar. Pendekatan andragogi merupakan upaya membelajarkan orang dewasa dengan penekanan pada peran fasilitator dalam mempersiapkan seperangkat atau prosedur untuk mendorong dan melibatkan secara aktif seluruh warga belajar yang dikenal dengan pendekatan partisipatif dan kolaboratif, yang meliputi elemen-elemen: a) menciptakan iklim dan suasana yang mendukung proses belajar mandiri, b) menciptakan mekanisme dan prosedur untuk perencanaan bersama dan partisipatif, c) melakukan diagnosis kebutuhan-kebutuhan belajar yang spesifik, d) merumuskan tujuan program
(31)
113
yang memenuhi kebutuhan belajar, e) merencanakan pola pengetahuan belajar, f) melakukan dan menggunakan pengalaman belajar dengan metode dan teknik yang memadai dan g) mengevaluasi hasil belajar dan mendiagnosis kembali kebutuhan-kebutuhan belajar, sebagai model proses.
3. Pemberdayaan (empowerment), secara umum dapat diartikan kedalam dua pengertian: pertama, sebagai upaya melepaskan belenggu dari keterbelakangan atau ketertinggalan melalui penyelenggaraan pendidikan. Kedua, memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan pemerintah maupun budaya. Pernyataan ini didukung oleh Kindervatter (1976:62) yang mengemukakan bahwa pemberdayaan adalah kemampuan atau dengan dicapainya kemampuan seseorang untuk memahami dan mengontrol kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi dan atau politik yang mungkin diperankannya sehingga dapat memperbaiki kedudukan dan peranannya dalam masyarakat. Pemuda dapat dilihat dari beberapa kategori yaitu dari sisi biologis, budaya, angkatan kerja, perencanaan, ideologis politik, lingkungan pendidikan, objek pembinaan dan subjek pembinaan. Dilihat dari pandangan psikologis, kelompok pemuda terdiri dari usia 16 sampai 44 tahun, dari segi budaya yang berkaitan dengan pemenuhan haknya rentang umur dimulai dari usia sekitar 17 tahun. Bila dilihat dari sisi ketenagakerjaan dan perencanaan umumnya dipergunakan batas awal 18 tahun. Dengan demikian yang dimaksud dengan pemuda putus sekolah dalam penelitian ini adalah seseorang yang telah mencapai umur tertentu (berumur 16 sampai 44 tahun) yang telah dewasa yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya baik sekolah setingkat
(32)
114
Sekolah Menengah Umum maupun setingkat Perguruan Tinggi yang tidak mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai dengan standar kebutuhan hidup yang layak. Pemberdayaan pemuda putus sekolah dalam penelitian ini diartikan sebagai sejumlah orang yang telah mencapai umur tertentu (16- 44 tahun) atau dianggap sudah dewasa dan tidak mempunyai pekerjaan tetap, dimana mereka perlu mendapatkan kegiatan untuk meningkatkan aset dan kemampuan sehingga mereka dapat melakukan sesuatu untuk meningkatkan kehidupannya serta memperoleh keahlian untuk merealisasikannya.
D. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data 1. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah: (1) observasi (pengamatan), (2) studi dokumentasi, dan (3) wawancara. Kegiatan penilaian dilakukan dengan memberikan tes awal (pretest) sebelum pelatihan dan tes akhir (posttest) atau setelah kegiatan pelatihan selesai secara keseluruhan, dilanjutkan dengan membandingkan dengan hasil kerja peserta di lapangan.
Langkah-langkah teknik pengumpulan data dalam penelitian ini secara garis besar dikelompokkan ke dalam tiga tahap pokok, yaitu 1) studi pendahuluan, 2) pengembangan model, dan 3) kajian efektivitas.
(33)
115
1) Studi Pendahuluan
Pengumpulan data yang dilakukan di studi pendahuluan dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran umum yang terkait dengan pembelajaran kecakapan hidup di KUPP serta berbagai faktor yang mempengaruhinya. Teknik pengumpulan data yang digunakan di studi pendahuluan adalah a) wawancara, b) observasi, dan c) mempelajari dokumen-dokumen. Wawancara dilakukan dengan pengelola KUPP, fasilitator dan peserta pelatihan. Observasi dilakukan untuk mengamati seluruh aktivitas yang terkait dengan uji model dari tahap perencanaan sampai tahap pengembangan. Dokumen-dokumen dilakukan untuk menjaring data sebagai gambaran kondisi objektif pada KUPP.
2) Pengembangan Model
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam pengembangan model adalah: a) wawancara dan b) mempelajari dokumentasi. Wawancara dilakukan dengan pakar, praktisi dan teman sejawat. Dokumentasi yang dipelajari adalah data yang terhimpun ketika studi pendahuluan dilakukan.
3) Kajian Efektivitas Model
Kajian efektivitas dilakukan melalui ujicoba model dan uji efektivitas model. Pada tahap kajian efektivitas model ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: a) wawancara, b) observasi, c) mempelajari dokumen, dan d) tes.
Secara rinci pelaksanaan kegiatan pengumpulan data dengan menggunakan teknik-teknik ini dapat diuraikan sebagai berikut:
(34)
116
Observasi, dalam kegiatan ini dilakukan dan diupayakan agar peserta
sebagai sasaran penelitian tidak merasa kalau dirinya sedang diobservasi.
Studi dokumentasi, kegiatan ini dilakukan untuk menjaring data atau
dokumen tertulis yang ada kaitannya dengan penyelenggaraaan pelatihan yang akan dilaksanakan.
Wawancara, kegiatan ini dilakukan dengan mewawancarai sejumlah tokoh
yang dianggap sebagai kunci dalam penelitian, seperti pemerintah daerah, instansi terkait dan tokoh masyarakat tempat peserta pelatihan bekerja untuk memperoleh gambaran tentang kondisi objektif obyek penelitian menyangkut latar belakang pendidikan, ekonomi, sosial budaya serta lingkungannya. Kepada narasumber berkisar tentang pengalaman, cara pengimplementasian dan metode yang digunakan dalam melaksanakan pelatihan di masyarakat dan untuk pelengkap dalam studi dokumentasi diadakan studi berupa dokumen pribadi dan dokumen resmi.
1) Teknik Observasi
Teknik observasi adalah suatu proses yang kompleks dan tersusun dari berbagai proses biologi dan psikologis yang berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan lain-lainnya. (Sugiyono, 2009: 162).
2) Teknik Wawancara
Teknik wawancara adalah cara mengumpulkan data melalui kontak langsung atau hubungan pribadi antara pengumpul data dengan sumber data. Teknik ini dalam pelaksanaannya dilakukan dengan cara teknik komunikasi
(35)
117
langsung dan teknik komunikasi tidak langsung. Komunikasi langsung adalah teknik pengumpulan data dengan mempergunakan interview sebagai alatnya. Komunikasi tidak langsung adalah teknik pengumpulan data dengan mempergunakan angket atau kuesioner sebagai alatnya.
Teknik wawancara atau dikenal dengan interview adalah ”is a
purposefull conservation usually betwen two people (but sometimes involving more( that is directed by one in order to get information (Bodgan, RC dan
Biklen SK, 1982: 135) Dalam teknik wawancara digunakan wawancara terstruktur dan tidak terstruktur dengan disiapkan pedoman wawancara
Kuesioner adalah suatu alat pengumpul informasi dengan cara menyampaikan sejumlah pertanyaan tertulis untuk dijawab secara tertulis pula oleh responden. Kuesioner seperti halnya wawancara dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang diri responden atau informasi tentang orang lain.
3) Teknik pengukuran
Teknik pengukuran yang dapat digunakan untuk mengumpulkan data antara lain tes. Tes adalah seperangkat rangsangan (stimulus) yang diberikan kepada seseorang dengan maksud untuk mendapat jawaban yang dapat dijadikan dasar bagi penetapan skor angka.
Instrumen penelitian pendekatan kualitatif adalah peneliti sendiri yang didukung oleh seperangkat alat bantu yang dapat merekam apa yang terjadi di lapangan, meliputi:
(36)
118
b. Untuk teknik wawancara instrumennya menggunakan pedoman wawancara.
c. Untuk teknik tes menggunakan tes tertulis dengan instrumennya daftar pertanyaan yang sudah tersedia alternatif jawabannya (tes objektif pilihan ganda).
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah dengan teknik saturasi atau kecukupan data dan triangulasi. Teknik ini di samping bertujuan untuk menguji apakah model yang diajukan sudah layak untuk diimplementasikan, juga untuk merefleksikan data melakukan interpretasi atas dasar acuan teori serta memberikan penguatan terhadap proses pembelajaran. Untuk menjaga validitas, reliabilitas dan objektifitas temuan dilakukan melalui pengujian yang disebut dengan validilitas internal (credibility), validitas eksternal (trantferability), reliabilitas (dependability) dan objektifitas
(confirmability).
2. Instrumen Pegumpulan Data
Instrumen pengumpulan data yang dikembangkan dalam penelitian ini berkaitan dengan teknik pengumpulan data yang dilakukan pada masing-masing tahap penelitian, yaitu: (a) pedoman wawancara, (b) pedoman observasi, (c) pedoman studi dokumentasi, (d) angket dan tes untuk evaluasi hasil uji coba model pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen diterapkan pada tahap uji coba, untuk mengukur peningkatan kemampuan berwirausaha dalam rangka mengukur menilai dampak penerapan model.
(37)
119
E. Langkah-langkah Penelitian
Sesuai dengan metode penelitian yang digunakan, yakni metode R & D, maka prosedur (langkah-langkah ) dalam pelaksanaan penelitian ini mengacu seperti yang dipaparkan oleh Borg & Gall (Sugiyono, 2007: 570) yakni:
1. Melakukan studi pendahuluan, tahap ini merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengumpulkan data sebagai dasar penyusunan dan pembuatan model konseptual. Kegiatannya berupa kajian kepustakaan, mengamati data di Kelompok Usaha Pemuda Produktif (KUPP) di Kota Gorontalo untuk mengetahui gambaran umum lokasi penelitian, mengamati secara umum terhadap penyelenggaraan kegiatan pembelajaran di KUPP sehingga menemukan model dilapangan secara empirik.
2. Mengembangkan desain penelitian berdasarkan kerangka pemikiran pada langkah awal.
3. Mengembangkan instrumen penelitian.
4. Mengembangkan model konseptual pembelajaran andragogi untuk meningkatkan kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah di Kota Gorontalo. Kegiatan yang dilakukan dalam mengembangkan model konseptual ini meliputi mengolah dan mendeskripsikan temuan studi pendahuluan, menelaah berbagai laporan penyelenggaraan pembelajaran untuk dijadikan rujukan dalam penyusunan model konseptual, mengkaji berbagai teori dan konsep yang akan dijadikan acuan dalam pengembangan model. Hasil kajian teori
(38)
120
dapat menjadi kerangka berpikir peneliti, menyusun draf model konseptual berdasarkan kajian empirik dan konsep, mendiskusikan dengan praktisi melalui diskusi terbatas tentang model konseptual yang akan dikembangkan, dan merevisi draf model konseptual berdasarkan masukan dari praktisi.
5. Melakukan validasi model konseptual kepada teman sejawat, praktisi dan pakar bidang pendidikan nonformal.
6. Merevisi model konseptual berdasarkan masukan dari praktisi, pakar bidang pendidikan non formal dan teman sejawat.
7. Melakukan uji coba model konseptual di lapangan yang ditujukan untuk menghasilkan model pembelajaran andragogi untuk meningkatkan kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah di Kota Gorontalo.
8. Melakukan evaluasi hasil uji coba.
9. Penyempurnaan model, dengan cara melakukan pengolahan dan analisa data temuan, melakukan revisi dan formulasi model.
10. Menyusun laporan penelitian sebagai akhir kegiatan penelitian.
(39)
121
s
STUDI PENDAHULUAN (Identifikasi kajian empirik dan teori)
Konseptual Empirik
Desain Penelitian
Pengembangan Instrumen Pengembangan Model
Konseptual Validasi Model
Revisi Model Uji Coba Model Tahap I
Uji Coba Model Tahap II
Model Akhir
Pengembangan Model Pembelajaran Andragogi untuk Meningkatkan Kecakapan Hidup bagi Pemuda Putus
Sekolah
Laporan Akhir
Pakar Praktisi
Revisi I
Revisi II I
Model I
(40)
122
F. Data dan Sumber Data
Penentuan sampel pada penelitian ini berbeda dengan proses sampling sebagaimana dalam penelitian kuantitatif. Sampling dalam penelitian ini disebut subyek penelitian. Subjek penelitian merupakan orang/sumber/informan yang dapat memberikan data/informasi kepada peneliti di lokasi penelitian. Penentuan subjek penelitian dalam penelitian kualitatif dilakukan secara purposive yang dilakukan secara terus-menerus dan sifatnya tergantung tujuan penelitian setiap saat. Nasution (1988:29), mengemukakan:
Sampling ialah pilihan peneliti aspek apa dari peristiwa apa dan siapa yang dijadikan fokus pada saat dan situasi tertentu dan karena itu dilakukan terus menerus sepanjang penelitian. Sampling bersifat purposif yakni tergantung pada tujuan fokus pada suatu saat.
Selanjutnya pada bagian lain Nasution (1988: 95-96) menambahkan bahwa: "Sampling dalam penelitian naturalistik-kualitatif ialah pengambilan keputusan untuk mengadakan pilihan dari populasi manusia dan non manusia".
Berdasarkan pertimbangan jenis data yang dibutuhkan, maka sumber data penelitian dikelompokkan sebagai berikut:
1) pejabat yang berwenang menentukan legalitas formal pengelola KUPP; 2) jajaran pengelola program di lingkungan KUPP yang telah dan sedang
menduduki jabatan pengelola satuan program di lingkungan KUPP.
3) peserta pelatihan yang dilibatkan dalam penerapan model pengembangan pembelajaran andragogi pada KUPP.
(41)
123
G. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Pengujian efektifitas model dilakukan terhadap model konseptual yang dikembangkan sehingga dapat menjadi model empirik atau layak terap. Rumusan desain yang digunakan untuk menguji efektifitas model adalah dengan mengunakan disain ekperimen pretest dan posttest yang diujicobakan pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (control Group Pretest-Posttest
Design) dari Borg dan Gall (dalam Sugiyono, 2007:536). Dalam desain ini
kegiatan yang dilakukan adalah membandingkan hasil pretest dan posttest dalam kelompok yang berbeda. Dalam melakukan ujicoba ini menggunakan kelompok kontrol.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penggabungan antara analisis deskriptif dan kuantitatif. Untuk analisis deskriptif didasari atas pertimbangan bahwa secara harfiah penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk: 1) membuat pencandraan (deskripsi) mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian. Penelitian deskriptif biasa juga disebut penelitian survey yang bertujuan untuk mencari informasi faktual mendetail yang mencandra gejala yang ada, 2) mengidentifikasi masalah-masalah atau untuk mendapatkan justifikasi keadaan atau praktek-praktek yang sedang berlangsung, membuat komparasi dan evaluasi, 3) untuk mengetahui apa yang dikerjakan oleh orang-orang lain dalam menangani masalah atau situasi yang sama agar dapat
(42)
124
belajar dari mereka untuk kepentingan pembuatan rencana dan pengambilan keputusan di masa depan (Suryabrata, 2003: 41).
Aplikasi teknik analisis data dalam penelitian ini dikelompokkan atas toga tahap, yaitu studi pendahuluan, pengembangan model dan kajian efektivitas. 1) Tahap Studi Pendahuluan
Pada tahap studi pendahuluan digunakan teknik analisis data kualitatif. Huberman dan Miles (dalam Bungin, 2003:63) mengatakan bahwa analisis data dan pengumpulan data kualitatif memperlihatkan sifat interaktif, sebagai suatu sistem dan merupakan siklus. Pengumpulan data ditempatkan sebagai bagian komponen yang merupakan bagian integral dari kegiatan analisis data sebagaimana gambar berikut:
Gambar 3.2. Komponen-Komponen Analisis Data Model Interaktif (sumber, Bungin 2003)
2) Tahap Pengembangan Model
Pada tahap pengembangan model dilakukan analisis deskriptif, di mana Data
collection
Data Display
Data Reduction
Conclusion Drawing Verification
(43)
125
pembelajaran andragogi untuk meningkatkan kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah. Model yang disusun ini kemudian divalidasi pakar, praktisi, dan teman sejawat serta dikonsultasikan dengan dosen pembimbing.
3) Tahap Kajian Efektivitas
Pada tahap kajian efektivitas model ini menggunakan analisis deskriptif kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan terhadap instrumen observasi, wawancara dan dokumentasi sedangkan analisis kuantitatif digunakan terhadap tes hasil belajar.
Analisis data kuantitatif dalam penelitian ini menggunakan uji statistik
Wilcoxon Match Pairs Test untuk menguji perbedaan antara dua data yang
berpasangan, yaitu skor pretest dan posttest, dengan statistik uji Z.
Z= ) 1 ) 1 ( 24 1 ) 1 ( 4 1 2 + + + − n n n n n T
Hipotesis Nol : H0:µ = µ2 (tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
skor pretest dan posttest).
Hipotesis Alternatif : H1:µ1≠ µ2 (terdapat perbedaan yang signifikan antara skor pretest dan posttest).
(44)
231
Romy Baruwadi, 2012
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kegiatan akhir dalam penelitian ini adalah kesimpulan dan rekomendasi.
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada permasalahan dan tujuan dari penelitian serta dihubungkan dengan pengembangan model pembelajaran andragogi, secara garis besar disimpulkan sebagai berikut:
1. Pelatihan kecakapan hidup kepada Kelompok Usaha Pemuda Produktif telah dilaksanakan oleh pemerintah maupun organisasi lainnya, tetapi model pembelajaran yang digunakan, belum dapat mengembangkan kecakapan hidup secara optimal.
2. Pengembangan model pembelajaran andragogi untuk meningkatkan kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah di Kota Gorontalo dalam penelitian ini diperoleh melalui observasi, wawancara, dan studi dokumentasi dengan melihatnya dari tahap perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengembangan. Pengembangan model dilaksanakan melalui langkah-langkah melakukan analisis kebutuhan pengembangan, menetapkan unsur-unsur yang akan di kembangkan, menyusun model pembelajaran, melakukan validasi pengembangan model dengan pakar pendidikan nonformal, praktisi pendidikan nonformal dan teman sejawat, dan menyusun model akhir.
(45)
232
Romy Baruwadi, 2012
3. Kajian efektivitas model didahului implementasi model pembelajaran andragogi yang dilaksanakan melalui uji coba selama dua kali yakni uji coba tahap pertama di KUPP Mandiri dan uji coba tahap kedua di KUPP Otanaha. Dari hasil uji coba ini ternyata menunjukkan adanya dampak positif, tidak saja bagi peserta pelatihan tetapi juga bagi pengelola KUPP, penyelenggara pelatihan dan fasilitator. Kajian Efektivitas model pembelajaran dilaksanakan melalui pengujian model pembelajaran. Berdasarkan pengujian statistik, model pembelajaran yang dikembangkan berpengaruh secara signifikan terhadap hasil warga belajar. Hal ini dapat dilihat dari data yang diperoleh. Berdasarkan data uji coba tahap pertama dan tahap kedua, diperoleh hasil: a) nilai hasil belajar postest yang diperoleh setiap kelompok lebih tinggi dibandingkan dengan nilai hasil belajar pada pretest, b) terjadi peningkatan hasil belajar peserta pelatihan dari pelaksanaan uji coba tahap pertama ke uji coba tahap kedua. c) penerapan prinsip-prinsip andragogi telah meningkatkan partisipasi peserta pelatihan dalam kegiatan pelatihan dari awal sampai dengan akhir kegiatan, meningkatkan kecakapan hidup baik dari aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta pelatihan dalam pemanfaatan keunggulan lokal sehingga dapat meningkatkan pendapatan, dan terdapat motivasi untuk belajar berkelanjutan.
4. Faktor pendukung penerapan pengembangan model penelitian ini yaitu: 1) dukungan masyarakat yang secara terbuka memberikan pelayanan yang baik dan memberikan informasi yang jelas, 2) dukungan pemerintah dalam mensukseskan pelatihan ini , 3) kesiapan dan kesediaan semua komponen yaitu: pengelola
(46)
233
Romy Baruwadi, 2012
KUPP, penyelenggara pelatihan, fasilitator dan peserta pelatihan, 4) sikap ketulusan dan keterbukaan fasilitator untuk membagi pengetahuan dan keahliannya kepada peserta pelatihan, 5) situasi pembelajaran yang kondusif sehingga implementasi model ini berjalan lancar dan sukses, dan 6) draft model yang dipahami. Adapun Faktor yang menjadi penghambat adalah: a) adanya keraguan masyarakat calon peserta pelatihan mengenai kepastian pelaksanaan pelatihan yang diselenggarakan oleh KUPP, b) kurangnya sikap kompetitif diantara peserta pelatihan, dan c) penguasaan fasilitator terhadap kemampuan menerapkan model pembelajaran andragogi.
B. Rekomendasi
Beberapa rekomendasi yang diajukan berlandaskan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi pemerintah Kota Gorontalo mengeluarkan kebijakan yang berhubungan dengan pembelajaran pada pendidikan luar sekolah, khususnya pada Kelompok Usaha Pemuda Produktif (KUPP) berkenaan dengan pembiayaan dan penetapan peraturan-peraturan yang dapat meningkatkan minat dan motivasi masyarakat untuk belajar dan mengembangkan keterampilannya.
2. Bagi Dinas Pendidikan Kota Gorontalo melakukan pendampingan kepada para fasilitator dalam pelaksanaan pelatihan. Sarankan agar fasilitator yang didatangkan sebagai tenaga pengajar di KUPP adalah benar-benar fasilitator yang
(47)
234
Romy Baruwadi, 2012
memiliki latar belakang kependidikan dan keahlian dalam melaksanakan pelatihan.
3. Bagi pengelola KUPP, disarankan agar keberlanjutan pelaksanaan dan penerapan model pembelajaran dari hasil penelitian ini dilaksanakan dan dikembangkan sesuai dengan karakteristik tempat dan lokasi pelatihan. Disarankan agar pengelola selalu bersikap terbuka dalam menerima pembaharuan dalam penerapan model-model pembelajaran.
4. Bagi para fasilitator sebagai sebagai tenaga-tenaga pengajar sebaiknya menerapkan model-model pembelajaran yang dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta pelatihan.
5. Bagi peneliti, penelitian ini terbatas pada pengembangan model pembelajaran andragogi yang dilaksanakan oleh KUPP di Kota Gorontalo, dan belum menjangkau ke wilayah yang lebih luas. Oleh karena itu, disarankan agar dilakukan penelitian yang sejenis di luar Kota Gorontalo.
(48)
235
DAFTAR PUSTAKA
Abdulhak, I, (2000), Metodologi Pembelajaran Orang Dewasa, Bandung, Indira. Ahmad, Abu dan Nur Ubbiyati, (2001). “Ilmu Pendidikan”, Jakarta : PT. Rhineka
Cipta.
Akbar, Basleman, Anisah. (2000). Pemberdayaan dan Kemandirian Masyarakat
melalui PLS, VISI; Media Kajian Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda,
IX(14) 34-44.
Alma, Buchori. (2005). Kewirausahaan untuk mahasiswa dan umum. Bandung: CV Alfabeta.
Anonim, ( 2006). Manajemen Program Pendidikan Untuk Pendidikan Luar
Sekolah dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung: Falah
Production.
Anwar. (2004). Pendidikan Kecakapan Hidup ( Life Skills Education) Konsep dan
Aplikasi. Bandung : Alfabeta.
Arif, Zainudin. (1981). Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara.
---.(1984). Andragogy, Bandung, Angkasa.
Badan Kesejahteraan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), 2011. Pertumbuhan
Penduduk Indonesia 2011. Jakarta. BKKBN.
Badan Pusat Statistik, (2011). Laju Pertumbuhan Penduduk di Indonesia Tahun
2011.Jakarta., BPS.
---.(2010). Pertumbuhan Penduduk Kota Gorontalo tahun
2010. Gorontalo. BPS.
Bappenas, (1998), Petunjuk Pelaksanaan Jaring Pengaman Sosial khusus
PDM-DKE, Jakarta, Bappenas.
Bellante, Darkendwald, G & Jackson Sharan, B. (1990). Adult Education:
Fondation of Practice. New York: Harper & Row Publisher.
Bodgan, RC dan Biklen SK, (1982). Research in Education and Social. Kogakusha.
Borg and Ball, (1979), Educational Research: An Introduction, New York, Southend Press.
(49)
236
Boyle, PG. (1981). Plenning Better Program. New York: Mc Graw-Hill Book Company.
Brody, C. M. (1995). Collaboration or cooperation learning? Complimentary
practices for instructional reform”, the journal of staff, Program & organizational Development V12, n3.
Brolin, D.E. (1989). Life Centered Career Education: A Competency Based
Approach. Reston, VA: The Council for Exceptional Children.
Bungin, B. (2003). Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Combs and Ahmed Manzoor, (1994), Memerangi Kemiskinan di Pedesaan melalui
Pendidikan Non Formal (terjemahan), Jakarta, Rajawali.
Craig, Hall (2001), The Responsible Entrepreneur : How to Make Money and
Make a Difference, Career Press 3 Tice Rd, Franklin Lakes, USA.
Dalin, P dan Rust, V. D. (1996). Towards schooling for the twenty-first century. USA: Continum International Publishing Group.
Davis, B.D. & Miller, T.R. (1996). Job Preparation for The 21st Century: A
Group Project. Journal of Education for Business. 72.
Davis, K. (2000). Lifeskill is and Education. Jakarta: LP3S.
Delor, J. (1998). Learning: The Treasure Within. France: UNESCO.
Depdiknas. (2002). Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (Life Skill)
Melalui Pendekatan Broad-Besed Education (Draft). Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Depnakertrans (2007). Pertumbuhan angkatan Kerja di Indonesia. (on line) http//www.nakertrans.go.id.
Dinas Pendidikan Kota Gorontalo, (2011). Data Pemuda Putus Sekolah. Di Kota Gorontalo. Bidang PNFI Disdik Kota Gorontalo.
Dirjen PLSP. (2004). Pedoman Penyelenggaraan Program Kecakapan Hidup
(Life Skills) Pendidikan Non Formal. Jakarta: Ditjen PLSP.
Drucker, P. (1969), Innovation and Entrepreneurship, Practice and
Principles, New York, Harper Business.
Fadjar, Malik. (2001). Laporan Menteri Pendidikan Nasional pada Rapat
Koordinasi Bidang Kesra Tingkat Menteri. Jakarta: Departemen Pendidikan
(50)
237
Fakih, Santoso. (2001). Pendidikan Masyarakat 1. Bandung: Ganaco.
Finger, M. & Asun, J. M. (2004). Quo Vadis Pendidikan Orang Dewasa (Alih Bahasa: Nining Fatikasari) Yogyakarta : Pustaka Kendi.
Fitrihana, Noor (2006). Implementasi Pendidikan Kecakapan Hidup. http//www. Implementasi pendidikan kecakapan hidup,BAD3_Consultasi.htm.
Friedman, Paul G. (1985), Informal, non-farmal and formal education
programmes, in YMCA George williams college ICE30.1 Lifelong Learning
Unit 2, London: yMCA George Williams College.
Hodget, P. (1997). ‘Contested Communities’ in P. Hoggett (ed.) Contested
Communities. Experiences, struggles, policies, Bristol: Policy Press.
Jalal, Fasli dan Supriadi, Dedi. (2001). Reformasi Pendidikan dalam Konteks
Otonomi Daerah. Jakarta: Depdiknas-Adicita Karya Nusa.
Johnson, D. W., Johnson, R. T., & Smith, K. A. (1998). Change, July/August
(p.27-35).
Kamil, M (2003). Disertasi dengan judul Model Pembelajaran Magang
bagi Peningkatan Kemandirian Warga Belajar, Bandung, PPS-UPI.
---.(2009). Pendidikan Non Formal: Pengembangan Melalui Pusat
Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) di Indonesia (sebuah pembelajaran dari Kominkan Jepang).Bandung: Alfabeta.
Kindervatter, S. (1979). No formal Education As An Empowering Process, Massachusetts, Amherst.
Knowles, S, Malcolm. (1970). The Modern Practice of Adult Education. New York: Association Press.
---.(1977). The Modern Practice of Adult Education,
Andragogy Versis Pedagogy. New York Association Press
---.(1979). The Adult Learner: A Neglected Species. HoustonTexas: Gulf Publishing Company.
---.(1980). The Modern Practice of Adult Education,
Andragogy versus Pedagogy. New York: Association Press.
Laird, Dugan. (1985). Approaches To Training and Development. Second Edition. Addison-Wesley Publishing Company
Lee, H (1997), Education Income, dan Human Capital, New York, Columbia University Press.
(51)
238
Mappa, Syamsu (1994).Teori belajar orang dewasa. Jakarta Depdikbud.
Marwanti, S. (2004). Hubungan Pengetahuan dan Sikap tentang Kesehatan
Reproduksi Remaja dengan Praktek Perawatan Organ Reproduksi Eksternal pada siswi di SLTP Negeri 27 Kota Semarang. Semarang: Diponegoro
University.
Marzuki.(1992). Kompetensi, Apa dan Bagaimana. Jakarta : Bumi Aksara.
Matthews, Roberta S, (1998). Building bridges between cooperative and
collaborative learning. [on line] http://www.teachersrock.net.
Mayo, M. dan Du Bois (1987). Imagining Tomorrow: Community adult education
for transformation, Leicester: National Institute of Adult Continuing
Education.
McClelland D. dan D. Winter,. (1987). Motivating Economic Achievement. New York . The Free Press.
Muchlas Samani. (2004). Menggagas Pendidikan Bermakna Integrasi Life
Skill-KBK-CTL-MBS. Surabaya: Penerbit SIC.
Nasution, S. (1988). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Naval Air Station Atlanta. (2002). Life Skills Education and Support.
http://www.nasatlanta.navy. Mil/ life.html.
Nitiseminto S, Almisal, (1986). “Manajemen Personalia”, Jakarta : Ghalia Indonesia.
Poerwadarminta, W.J.S. (1994). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Sanusi, A, (1995), Krisis dan Reformasi Politik dan Ekonomi Dewasa Ini Peluang
untuk PLS Alternalif. Jakarta: Bumi asksara.
Sarifudin, Azwar, (1996), Tes Prestasi: Fungsi dan Pengembangan Pengukuran
Prestasi Belajar, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
Satori, D. ( 2002 ). Implementasi Life Skills Dalam Konteks Pendidikan Sekolah. (Artikel Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No. 034 Januari 2002). Jakarta : Balitbang Depdiknas.
Siagian, S.P. (1985). Fungsi-fungsi Manajerial. Jakarta: Bumi Aksara.
Silberman, M. (1996). Active Learning 101 Strategies to Teach Any Subject Mancussets: Allyn and Bacoon.
(1)
235
DAFTAR PUSTAKA
Abdulhak, I, (2000), Metodologi Pembelajaran Orang Dewasa, Bandung, Indira. Ahmad, Abu dan Nur Ubbiyati, (2001). “Ilmu Pendidikan”, Jakarta : PT. Rhineka
Cipta.
Akbar, Basleman, Anisah. (2000). Pemberdayaan dan Kemandirian Masyarakat melalui PLS, VISI; Media Kajian Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda, IX(14) 34-44.
Alma, Buchori. (2005). Kewirausahaan untuk mahasiswa dan umum. Bandung: CV Alfabeta.
Anonim, ( 2006). Manajemen Program Pendidikan Untuk Pendidikan Luar Sekolah dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung: Falah Production.
Anwar. (2004). Pendidikan Kecakapan Hidup ( Life Skills Education) Konsep dan Aplikasi. Bandung : Alfabeta.
Arif, Zainudin. (1981). Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara.
---.(1984). Andragogy, Bandung, Angkasa.
Badan Kesejahteraan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), 2011. Pertumbuhan Penduduk Indonesia 2011. Jakarta. BKKBN.
Badan Pusat Statistik, (2011). Laju Pertumbuhan Penduduk di Indonesia Tahun 2011.Jakarta., BPS.
---.(2010). Pertumbuhan Penduduk Kota Gorontalo tahun 2010. Gorontalo. BPS.
Bappenas, (1998), Petunjuk Pelaksanaan Jaring Pengaman Sosial khusus PDM-DKE, Jakarta, Bappenas.
Bellante, Darkendwald, G & Jackson Sharan, B. (1990). Adult Education: Fondation of Practice. New York: Harper & Row Publisher.
Bodgan, RC dan Biklen SK, (1982). Research in Education and Social. Kogakusha.
Borg and Ball, (1979), Educational Research: An Introduction, New York, Southend Press.
(2)
236
Boyle, PG. (1981). Plenning Better Program. New York: Mc Graw-Hill Book Company.
Brody, C. M. (1995). Collaboration or cooperation learning? Complimentary practices for instructional reform”, the journal of staff, Program & organizational Development V12, n3.
Brolin, D.E. (1989). Life Centered Career Education: A Competency Based Approach. Reston, VA: The Council for Exceptional Children.
Bungin, B. (2003). Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Combs and Ahmed Manzoor, (1994), Memerangi Kemiskinan di Pedesaan melalui Pendidikan Non Formal (terjemahan), Jakarta, Rajawali.
Craig, Hall (2001), The Responsible Entrepreneur : How to Make Money and Make a Difference, Career Press 3 Tice Rd, Franklin Lakes, USA.
Dalin, P dan Rust, V. D. (1996). Towards schooling for the twenty-first century. USA: Continum International Publishing Group.
Davis, B.D. & Miller, T.R. (1996). Job Preparation for The 21st Century: A Group Project. Journal of Education for Business. 72.
Davis, K. (2000). Lifeskill is and Education. Jakarta: LP3S.
Delor, J. (1998). Learning: The Treasure Within. France: UNESCO.
Depdiknas. (2002). Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (Life Skill) Melalui Pendekatan Broad-Besed Education (Draft). Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Depnakertrans (2007). Pertumbuhan angkatan Kerja di Indonesia. (on line) http//www.nakertrans.go.id.
Dinas Pendidikan Kota Gorontalo, (2011). Data Pemuda Putus Sekolah. Di Kota Gorontalo. Bidang PNFI Disdik Kota Gorontalo.
Dirjen PLSP. (2004). Pedoman Penyelenggaraan Program Kecakapan Hidup (Life Skills) Pendidikan Non Formal. Jakarta: Ditjen PLSP.
Drucker, P. (1969), Innovation and Entrepreneurship, Practice and Principles, New York, Harper Business.
Fadjar, Malik. (2001). Laporan Menteri Pendidikan Nasional pada Rapat Koordinasi Bidang Kesra Tingkat Menteri. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
(3)
237
Fakih, Santoso. (2001). Pendidikan Masyarakat 1. Bandung: Ganaco.
Finger, M. & Asun, J. M. (2004). Quo Vadis Pendidikan Orang Dewasa (Alih Bahasa: Nining Fatikasari) Yogyakarta : Pustaka Kendi.
Fitrihana, Noor (2006). Implementasi Pendidikan Kecakapan Hidup. http//www. Implementasi pendidikan kecakapan hidup,BAD3_Consultasi.htm.
Friedman, Paul G. (1985), Informal, non-farmal and formal education programmes, in YMCA George williams college ICE30.1 Lifelong Learning Unit 2, London: yMCA George Williams College.
Hodget, P. (1997). ‘Contested Communities’ in P. Hoggett (ed.) Contested Communities. Experiences, struggles, policies, Bristol: Policy Press.
Jalal, Fasli dan Supriadi, Dedi. (2001). Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Jakarta: Depdiknas-Adicita Karya Nusa.
Johnson, D. W., Johnson, R. T., & Smith, K. A. (1998). Change, July/August (p.27-35).
Kamil, M (2003). Disertasi dengan judul Model Pembelajaran Magang bagi Peningkatan Kemandirian Warga Belajar, Bandung, PPS-UPI. ---.(2009). Pendidikan Non Formal: Pengembangan Melalui Pusat
Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) di Indonesia (sebuah pembelajaran dari Kominkan Jepang).Bandung: Alfabeta.
Kindervatter, S. (1979). No formal Education As An Empowering Process, Massachusetts, Amherst.
Knowles, S, Malcolm. (1970). The Modern Practice of Adult Education. New York: Association Press.
---.(1977). The Modern Practice of Adult Education, Andragogy Versis Pedagogy. New York Association Press
---.(1979). The Adult Learner: A Neglected Species. HoustonTexas: Gulf Publishing Company.
---.(1980). The Modern Practice of Adult Education, Andragogy versus Pedagogy. New York: Association Press.
Laird, Dugan. (1985). Approaches To Training and Development. Second Edition. Addison-Wesley Publishing Company
Lee, H (1997), Education Income, dan Human Capital, New York, Columbia University Press.
(4)
238
Mappa, Syamsu (1994).Teori belajar orang dewasa. Jakarta Depdikbud.
Marwanti, S. (2004). Hubungan Pengetahuan dan Sikap tentang Kesehatan Reproduksi Remaja dengan Praktek Perawatan Organ Reproduksi Eksternal pada siswi di SLTP Negeri 27 Kota Semarang. Semarang: Diponegoro University.
Marzuki.(1992). Kompetensi, Apa dan Bagaimana. Jakarta : Bumi Aksara.
Matthews, Roberta S, (1998). Building bridges between cooperative and collaborative learning. [on line] http://www.teachersrock.net.
Mayo, M. dan Du Bois (1987). Imagining Tomorrow: Community adult education for transformation, Leicester: National Institute of Adult Continuing Education.
McClelland D. dan D. Winter,. (1987). Motivating Economic Achievement. New York . The Free Press.
Muchlas Samani. (2004). Menggagas Pendidikan Bermakna Integrasi Life Skill-KBK-CTL-MBS. Surabaya: Penerbit SIC.
Nasution, S. (1988). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Naval Air Station Atlanta. (2002). Life Skills Education and Support.
http://www.nasatlanta.navy. Mil/ life.html.
Nitiseminto S, Almisal, (1986). “Manajemen Personalia”, Jakarta : Ghalia Indonesia.
Poerwadarminta, W.J.S. (1994). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Sanusi, A, (1995), Krisis dan Reformasi Politik dan Ekonomi Dewasa Ini Peluang untuk PLS Alternalif. Jakarta: Bumi asksara.
Sarifudin, Azwar, (1996), Tes Prestasi: Fungsi dan Pengembangan Pengukuran Prestasi Belajar, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
Satori, D. ( 2002 ). Implementasi Life Skills Dalam Konteks Pendidikan Sekolah. (Artikel Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No. 034 Januari 2002). Jakarta : Balitbang Depdiknas.
Siagian, S.P. (1985). Fungsi-fungsi Manajerial. Jakarta: Bumi Aksara.
Silberman, M. (1996). Active Learning 101 Strategies to Teach Any Subject Mancussets: Allyn and Bacoon.
(5)
239
Simanjuntak, Payaman, (1995). “Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia”,Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Slamet PH. (1997). Perlunya Kebijakan Sumber Daya Manusia yang Utuh (Jurnal Pendidikan Teknologi dan Kejuruan). Jogjakarta: Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan.
---. (2002). Pendidikan Kecakapan Hidup di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama: Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta. Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.
Soeharsono, S. (1981). Masalah-Masalah Ekonomi Indonesia. Bandung: Alumni. Soemanto, Wasty (1993). Sekuncup Ide Operasional Pendidikan Kewiraswastaan.
Jakarta: Bumi Aksara.
Sudjana, D, (1993), Karakteristik Keilmuan Pendidikan Luar Sekolah, (makalah terbatas), Bandung, Jurusan PLS, FIP, IKIP.
---. (2000). Strategi Pembelajaran dalam Pendidikan Luar Sekolah, Bandung : Nusantara Press.
---(1993). Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif dalam Pendidikan Luar Sekolah. Bandung: Nusantara Press.
---.(1996). Sekolah Unggul Harus Mampu Melahirkan Kemandirian. Mimbar Pendidikan Tahun XV no 3. Bandung: University Press IKIP. ---.(2004). Manajemen Program Pendidikan. Bandung: Falah
Production.
Sugiyono, (2007). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Jakarta: Alfabeta.
Supriyanto, (2005). “Pengaruh Pengawasan dan Semangat Kerja Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan PT. Delta Marlin Dunia Tekstil di Karanganyar”. Tidak Dipublikasikan. Surakarta : FE UMS.
Supriawan, Dedi dan A. Benyamin Surasega, (1990). Strategi Belajar Mengajar (Diktat Kuliah). Bandung: FPTK-IKIP Bandung.
Suryabrata, S. (2003). Psikologi Pendidikan. Jakarta: CV. Rajawali.
The National Training Board. (1992). National Competency Standard: Policy and Guidelines. Canberra: The Office of NTB.
(6)
240
Tim Broad-Based Education, (2002), Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (LifeSkill) Melalui Pendekatan Broad-Based Education (BBE), Departemen Pendidikan Nasional.
Umberto. (2006). Pendidikan Luar Sekolah, Kini dan Masa Depan. Makalah. Undang-Undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional. No. 20 Tahun 2003
Bandung: Umbara.
United Nations Development Programs (2008). Human Development Indeks (HDI). http:// hdr. undp.org/hdr.
US Department of Labor. 1992. Learning a Living: A Blueprint for High Performance. Washington DC.: US Department of Labor.
---. 2002. The Life Skills Education Proiect. http://www. whomas.org.it/text2/life skills.html.
---. 2002. Life Skills Foundation. http://www.lifeskills-stl.org/page2.html.
Yoder, Dale. (1962). Communitarianism. A new public ethics, Belmont, CA. : Wadsworth.
Pardjono (2002). Representasi Eklektisisme pada Kurikulum SMK berbasis Kompetensi yang Berorientasi Kecakapan Hidup. [Online]. Tersedia: http://www. staff.uny.ac.id.
Winarno Surakhmad. (1986). Pengantar interaksi mengajar belajar: dasar dan teknik metodologi pengajaran, Bandung : Penerbit Tarsito.
Zimmerer, T, (1996), Enterpreneurship and The New Venture Formation, New Jersey, Prentice Hall International , INC.