Aplikasi Intervensi Sosial untuk Mereduk

Aplikasi Intervensi Sosial untuk Mereduksi Stigma dan Diskriminasi terhadap HIV & AIDS di Indonesia
Andrian Liem – Agustina Viktrisia Lily Hertati – Valentina Widyawati Ubasisa

APLIKASI INTERVENSI SOSIAL UNTUK MEREDUKSI STIGMA DAN
DISKRIMINASI TERHADAP HIV & AIDS DI INDONESIA
Andrian Liem
Magister Profesi Psikologi bidang Klinis, Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
E-mail: andrianliem@yahoo.com

Agustina Viktrisia Lily Hertati
Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta

Valentina Widyawati Ubasisa
Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta

ABSTRAK


Jumlah kasus HIV (Human Immune-deficiency Virus) & AIDS (Acquired Immune
Deficiency Syndrome) di Indonesia cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Prevalensi HIV penduduk berusia 15-49 tahun pada tahun 2008 sebesar 0.22% diproyeksikan
meningkat menjadi 0.37% pada tahun 2014. Hal tersebut dapat diartikan sebagai
meningkatnya kesadaran orang untuk melakukan tes HIV atau kemungkinan lain adalah
penyebaran HIV & AIDS yang semakin sulit dikontrol. Penghalang utama dalam
penanggulangan HIV & AIDS adalah stigma dan diskriminasi oleh masyarakat terhadap
penyakit tersebut maupun kepada orang dengan HIV positif. Stigma terhadap HIV seringkali
ditujukan kepada kelompok minoritas tertentu dan juga kerap dikaitkan dengan moral dan
agama. Sementara diskriminasi terhadap orang dengan HIV positif terwujud dalam
pelanggaran hak individu di ranah ekonomi, sosial, budaya (EKOSOB) sekaligus di bidang
sipil dan politik (SIPOL). Dampak stigma dan diskriminasi tersebut sangat kuat karena dapat
menghambat upaya preventif penyebaran HIV maupun usaha kuratif terhadap orang dengan
HIV positif. Oleh sebab itu diperlukan intervensi sosial untuk mereduksi stigma dan
diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat. Dalam paper ini akan dijelaskan berbagai
aplikasi yang dapat digunakan dalam intervensi sosial itu. Dengan bersumber pada literatur
ilmiah yang terbaru, dapat disimpulkan bahwa intervensi sosial untuk mereduksi stigma dan
diskriminasi terhadap HIV & AIDS di Indonesia dapat diaplikasikan melalui (1) dialog lintas
iman; (2) optimalisasi peran media massa; (3) edukasi kepada masyarakat umum maupun

petugas kesehatan; (4) pemberian informasi kesehatan reproduksi pada remaja; dan (5)
membentuk kelompok dukungan sebaya (peer support group). Hal lain yang perlu ditekankan
adalah pendekatan jejaring atau komunitas yang harus digunakan sebagai dasar aplikasi
intervensi sosial tersebut.

Kata kunci: HIV & AIDS, stigma dan diskriminasi, intervensi sosial-komunitas

Psychology Village 2 -Harmotion
Universitas Pelita Harapan, Karawaci-Tangerang, 4 April 2011

Aplikasi Intervensi Sosial untuk Mereduksi Stigma dan Diskriminasi terhadap HIV & AIDS di Indonesia
Andrian Liem – Agustina Viktrisia Lily Hertati – Valentina Widyawati Ubasisa

I. LATAR BELAKANG
HIV (Human Immune-deficiency Virus)
saat ini diidentifikasi berasal dari simpanse di
Afrika Barat dan tertular kepada manusia yang saat
itu sedang berburu kemudian terjadi kontak dengan
darah simpanse. Kasus pertama yang diduga
sebagai HIV berasal dari sampel darah seorang pria

Kinshasa, Kongo, pada tahun 1959. Infeksi HIV
kemudian pertama kali dideteksi di Los Angeles
pada tahun 1980an dan sejak saat itu pula
dihubungkan dengan ketakutan, stigmatisasi, dan
diskriminasi terhadap komunitas gay17,30,44.
Sementara di Indonesia kasus HIV pertama kali
dilaporkan pada tahun 1987 di Bali14. Di tingkat
regional, ASEAN memiliki jumlah penderita HIV
terbanyak setelah Afrika. Pada 2006, jumlah orang
terinfeksi HIV di dunia adalah 39,5 juta orang
dimana 30% dari jumlah tersebut adalah remaja
dan dewasa awal (15-24 tahun). Sedangkan di
Indonesia sendiri jumlah kasus HIV dan AIDS
(Acquired
Immune
Deficiency
Syndrome)
cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Prevalensi HIV penduduk berusia 15-49
tahun pada tahun 2008 sebesar 0.22%

diproyeksikan meningkat menjadi 0.37% pada
tahun 2014. Hal tersebut dapat diartikan sebagai
meningkatnya kesadaran orang untuk melakukan
tes HIV atau kemungkinan lain adalah penyebaran
HIV
&
AIDS
yang
semakin
sulit
dikontrol.14,36,41,43
Evaluasi dan monitoring efektivitas
berbagai upaya preventif dan kuratif HIV (Human
Immune-deficiency Virus) dan AIDS (Acquired
Immune Deficiency Syndrome) yang telah
dilakukan masih belum maksimal karena hanya
menekankan output akhir, seperti tingkat
prevalensi, penggunaan kondom, dan jumlah orang
terinfeksi HIV yang mengakses Anti Retro-Viral
ARV. Padahal dalam evaluasi penanggulangan

HIV dan AIDS perlu mempertimbangkan aspek
sosial, salah satunya stigma dan diskriminasi yang
muncul di masyarakat terhadap HIV dan
AIDS.4,7,37,42,47
Stigma dan diskriminasi terjadi di berbagai
ranah, mulai dari ruang pribadi seperti relasi sosial,
hingga ranah publik seperti hambatan dalam akses
pendidikan maupun layanan kesehatan12. Penderita
HIV yang mendapat stigma dan mengalami

diskriminasi mempunyai beban ganda, yaitu dari
virus dalam tubuhnya sekaligus dari tekanan
lingkungan sosialnya. Pada penderita HIV yang
memiliki kepribadian rentan atau kurang stabil
secara emosional dapat memicu frustasi dan
depresi hingga munculnya ide bunuh diri.
Diskriminasi yang ditemui dalam akses terhadap
layanan kesehatan juga akan mendorong
penundaan atau menghentikan perawatan dengan
ARV2,12,41. Bahkan pada beberapa kasus seorang

perempuan hamil yang terinfeksi HIV dipaksa
menggugurkan
kandungannya7.
Diskriminasi
terkait HIV dan AIDS bukan hanya merugikan
orang yang terinfeksi, tapi juga keluarga, rekan,
maupun lingkungan di sekitarnya yang memiliki
relasi baik dengan orang tersebut12.
Pada tingkat preventif, stigma yang telah
berkembang dan menetap dalam pikiran
masyarakat akan menimbulkan penolakan terhadap
usaha pencegahan penyebaran HIV dan AIDS.
Contoh nyata dari hal itu adalah masih rendahnya
orang yang melakukan Voluntary Counseling
Testing (VCT) untuk mengetahui status HIVnya.
Orang yang akan melakukan VCT akan distigma
telah
melakukan
perbuatan
asusila3,7,12,46.

Penolakan lain terwujud dalam bentuk pemikiran
bahwa HIV hanya menyerang komunitas tertentu
seperti pengguna narkoba, orang dengan orientasi
seks beragam, dan pekerja seks8,32,43. Masih banyak
bentuk manifestasi dari stigma dan diskriminasi
terkait HIV dan AIDS yang muncul di tataran
sosial masyarakat Indonesia. Namun hingga kini
belum ada perhatian serius yang diberikan untuk
mengukur hal itu37,42,43.
Stigma dan diskriminasi merupakan
‘penyakit sosial’, sehingga penanganannya harus
dilakukan dalam konteks sosial juga. Masyarakat
atau lingkungan sosial terdiri dari berbagai
komunitas yang memiliki ciri-ciri tersendiri.
Melalui komunitas-komunitas inilah intervensi
dapat dilakukan untuk mereduksi stigma dan
diskriminasi. Dalam paper ini akan diuraikan
berbagai aplikasi penanganan atau intervensi sosial
dalam mereduksi stigma dan diskriminasi terhadap
HIV dan AIDS di Indonesia.1,7,8,19,32,37,40,49,50


Psychology Village 2 -Harmotion
Universitas Pelita Harapan, Karawaci-Tangerang, 4 April 2011

Aplikasi Intervensi Sosial untuk Mereduksi Stigma dan Diskriminasi terhadap HIV & AIDS di Indonesia
Andrian Liem – Agustina Viktrisia Lily Hertati – Valentina Widyawati Ubasisa

II. KAJIAN PUSTAKA

HIV adalah virus yang menyerang antibody
manusia (CD4) yang ada di dalam sel darah putih
sehingga kekebalan tubuh orang tersebut lambat
laun akan melemah. Orang dengan HIV positif
rentan terhadap serangan virus, bakteri, parasit, dan
jamur. Akibatnya orang tersebut mudah terkena
berbagai penyakit dan terjadi komplikasi. Saat
muncul kumpulan gejala penyakit akibat
melemahnya sistem kekebalan tubuh, maka orang
tersebut memasuki fase AIDS. Orang yang
terinfeksi HIV pada awalnya tidak akan merasakan

sakit atau keluhan tertentu dan waktu yang
diperlukan untuk sampai ke fase AIDS sangat
beragam pada setiap orang. Bahkan tidak semua
penderita HIV positif akan mengalami AIDS,
tergantung dari gaya hidup, asupan gizi, dan
lingkungan sosialnya.
Secara umum empat fase dalam HIV adalah
sebagai berikut:
(1) Window Period, yaitu periode awal dimana
virus HIV belum dapat terdeteksi karena
jumlahnya yang masih sangat sedikit dan tubuh
belum memproduksi antibody untuk menangkalnya
serta tidak ada gejala khusus;
(2) Fase inkubasi dimana tubuh sudah
memproduksi antibody terhadap virus HIV namun
masih belum menunjukkan gejala-gejala tertentu;
(3) Pada periode ini kekebalan tubuh mulai
berkurang dan muncul penyakit yang terkait HIV
(HIV related illness) sehingga dapat disebut gejala
AIDS. Gejala yang umum ditemukan adalah

keringat berlebih pada waktu malam, diare terusmenerus, pembengkakan kelenjar getah bening, flu
berkepanjangan, nafsu makan berkurang, lemah,
dan berat badan menurun;
(4) Fase akhir adalah AIDS yang ditandai dengan
jumlah sel T sangat sedikit, timbul penyakit
tertentu (infeksi oportunistik) yang umumnya
berupa kanker (kulit), infeksi paru-paru seperti TB,
infeksi usus yang menyebabkan diare, serta infeksi
otak. Perlu diingat bahwa orang yang memasuki
fase AIDS dapat kembali ke fase sebelumnya jika
meminum obat sesuai anjuran, memiliki kondisi
psikologis yang stabil, asupan gizi yang baik, serta
dukungan sosial yang kuat.

Health/immune status

A. HIV dan AIDS17,23,26,30,44




0 – 12 weeks

8-10 yr

1 – 2 yr

Gambar 1. Durasi antar Fase17

HIV
INFECTION
HEALTHY
and HIV Positive

ACUTE ILLNESS

GLANDS OVER
WHOLE BODY
REMAIN SWOLLEN

AIDS
MINOR
OPPORTUNISTIC
INFECTIONS

DEATH

Gambar 2. Siklus Fase HIV17
HIV terdapat dalam semua cairan tubuh
orang yang terinfeksi (termasuk keringat, air liur,
dan air mata), tetapi memiliki konsentrasi yang
berbeda-beda. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa cairan yang dapat menjadi media penularan
dan memiliki konsentrasi tertinggi virus HIV ada
pada darah, air mani (semen), cairan vagina, dan
Air Susu Ibu (ASI). Sedangkan cara penularan
yang umum terjadi adalah dengan penggunaan
jarum suntik yang tidak steril dan digunakan
bersama, hubungan seks tanpa kondom, dan
pemberian ASI yang tidak eksklusif. Selain itu
HIV hanya dapat bertahan hidup pada suhu tubuh
manusia, lingkungan yang lembab, tidak hampa
udara atau kontak dengan atmosfer, serta PH yang
seimbang.
Ketika orang terinfeksi HIV menggunakan
jarum suntik secara bergantian dengan orang
dengan HIV negatif maka darah yang tertinggal di
tabung jarum suntik dapat bertahan beberapa waktu

Psychology Village 2 -Harmotion
Universitas Pelita Harapan, Karawaci-Tangerang, 4 April 2011

Aplikasi Intervensi Sosial untuk Mereduksi Stigma dan Diskriminasi terhadap HIV & AIDS di Indonesia
Andrian Liem – Agustina Viktrisia Lily Hertati – Valentina Widyawati Ubasisa

dan masuk ke dalam tubuh orang dengan HIV
negatif. Jika hubungan seks dilakukan tanpa
kondom maka ada resiko HIV akan masuk melalui
luka terbuka atau alat kelamin. Virus HIV memiliki
ukuran yang sangat kecil dan ada kemungkinan
lebih kecil dari pori-pori kondom, akan tetapi
ketika virus tersebut keluar dari kondom maka
akan terjadi kontak dengan udara sehingga akan
mati. Sementara ibu dengan HIV positif yang
memberi ASI kepada bayinya sambil memberi
makanan atau minuman yang lain dikhawatirkan
akan menimbulkan luka atau infeksi di mulut dan
tenggorokan bayi. Jika ada luka atau infeksi di
mulut dan tenggorokan bayi maka HIV dapat
menyerang bayi, tetapi jika ASI diberikan secara
eksklusif maka virus dalam ASI akan langsung
menuju pencernaan dan mati karena suhu yang
panas serta kandungan asam yang tinggi.
Hingga saat ini orang dengan HIV positif
belum dapat disembuhkan (cure) tetapi bisa
memperoleh perawatan (treatment) agar tidak
memasuki fase ke-3 maupun AIDS. Perawatan
yang dimaksud adalah pemberian ARV dan obat
infeksi oportunistik. ARV digunakan ketika jumlah
sel kekebalan tubuh sudah sangat rendah dan
berfungsi untuk menghambat perkembang-biakan
virus. Oleh karena itu tidak semua penderita HIV
perlu meminum ARV jika sel T atau CD4 yang
dimiliki masih dalam batas minimal. Selain itu,
pemberian ARV juga harus disertai dengan
pendampingan khususnya terkait kepatuhan
meminum obat karena sekali meminum ARV maka
orang dengan HIV positif harus meminumnya
seumur hidup. Jika konsumsi ARV terhenti maka
virus akan kebal terhadap ARV tersebut dan
selanjutnya diperlukan ARV lini kedua yang
harganya lebih mahal serta jumlahnya terbatas.
Sementara obat infeksi oportunistik digunakan
untuk melawan penyakit yang mungkin timbul
karena melemahnya sistem kekebalan tubuh.
B. Stigma dan Diskriminasi
Stigma adalah konstruksi sosial dari
harapan sosial yang ideal, terwujud dalam
pemberian label sosial yang membuat orang lain
dan individu bersangkutan memandang rendah
dirinya43. Secara teoritis stigma terbagi dua, yaitu
eksternal dan internal. Stigma eksternal

merefleksikan identitas sosial negatif yang
diberikan oleh masyarakat kepada orang terinfeksi
HIV yang menghasilkan marginalisasi sosial.
Stigma eksternal terkait erat dengan sikap
menyalahkan (blaming) orang terinfeksi HIV atas
penyakit mereka, kesalahan persepsi dalam cara
penularan HIV, ketakutan yang irasional akan
tertular, dan sikap negatif. Sementara stigma
internal adalah keyakinan yang dimiliki orang
terinfeksi
HIV
tentang
dirinya
sendiri
(terinternalisasi) akibat stigma yang dilakukan oleh
orang lain terhadap dirinya. Stigma internal terkait
dengan gambaran diri (self image) yang negatif,
serta perasaan bersalah dan malu3,46.
Stigma yang muncul sebagian besar
berhubungan dengan penghayatan agama yang
kurang tepat, misalnya saja orang yang terinfeksi
HIV memang pantas menerima kutukan tersebut
atau sudah menjadi imbalan atas dosanya. Selain
itu, umumnya stigma dan diskriminasi juga terjadi
akibat pemahaman yang kurang atau keliru
mengenai HIV dan AIDS. Ironisnya, sejumlah
petugas kesehatan di Papua yang telah memperoleh
pelatihan VCT setuju dengan adanya pernyataan
berlebihan yang sifatnya diskriminatif seperti,
“Orang terinfeksi HIV itu kotor, mesti ditolak dan
dihukum”. Sebagian besar petugas kesehatan juga
setuju dengan pernyataan stigma yang lebih halus
seperti “Orang dengan HIV mesti menerima
pembatasan atas perilaku mereka”. Hal ini
membuktikan bahwa ceramah satu arah tidak
cukup dalam menurunkan stigma.8,13
Kurangnya pemahaman masyarakat tentang
cara penularan dan penanganan akan menuntun
pada kesalahan informasi dan menimbulkan mitos
terkait HIV dan AIDS. Mitos-mitos tersebut yang
kemudian menjadi dasar stigma terhadap orang
dengan HIV positif. Beberapa mitos yang
berkembang dalam masyarakat adalah30,44:
(1) HIV dan AIDS adalah penyakit kutukan Tuhan.
Faktanya adalah HIV dapat menyerang siapa saja
tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras,
orientasi seksual, usia, profesi, atau jenis kelamin;
(2) HIV dan AIDS adalah penyakit komunitas gay
sehingga awalnya dinamakan GRIDS (Gay-Related
Immune Deficiency Syndrome). Faktanya saat ini
orang dengan HIV positif berasal dari kelompok
heteroseksual yang melakukan seks dengan banyak
pasangan tanpa menggunakan kondom;

Psychology Village 2 -Harmotion
Universitas Pelita Harapan, Karawaci-Tangerang, 4 April 2011

Aplikasi Intervensi Sosial untuk Mereduksi Stigma dan Diskriminasi terhadap HIV & AIDS di Indonesia
Andrian Liem – Agustina Viktrisia Lily Hertati – Valentina Widyawati Ubasisa

(3) HIV dan AIDS penyakit orang barat. Faktanya
kasus HIV pertama kali memang ditemukan di
Afrika dan Amerika, tetapi penyebarannya kini
sudah sangat luas dan bahkan dapat ditemui pada
semua propinsi di Indonesia;
(4) HIV hanya menular lewat hubungan seks dan
hanya menyerang pekerja seks. Faktanya HIV juga
dapat menular lewat penggunaan jarum suntik
tidak steril dan bergantian, penularan dari ibu ke
anak, atau transfusi darah yang tidak steril. Pekerja
seks memang salah satu kelompok beresiko jika
tidak memakai kondom saat berhubungan seks,
tetapi selain itu petugas kesehatan juga memiliki
resiko terkena HIV jika tidak menjalani prosedur
dengan benar, misalnya menutup jarum suntik
dengan dua tangan (seharusnya hanya satu tangan);
(5) HIV dapat menular melalui gigitan nyamuk.
Faktanya HIV hanya dapat hidup di darah manusia
dan nyamuk menghisap darah manusia bukan
menyuntikannya kembali;
(6) Terinfeksi HIV berarti vonis mati dan ibu
dengan HIV positif pasti memiliki anak yang juga
terinfeksi. Faktanya orang terinfeksi HIV jika
memiliki gaya hidup yang sehat, asupan gizi yang
baik, dan lingkungan sosial yang mendukung akan
memiliki masa hidup sama dengan orang tanpa
HIV. Sementara bayi yang lahir dari ibu hamil
dengan HIV positif tidak selalu otomatis terinfeksi.
Dengan teknologi kedokteran seperti program bayi
tabung, bedah caesar, atau pemberian ASI ekslusif
maka resiko bayi terinfeksi HIV dari ibunya akan
menjadi semakin kecil (Prevention of Mother-toChild HIV Transmission [PMTCT]);
(7) HIV dapat menular lewat kontak sosial seperti
bersalaman, berpelukan, menggunakan peralatan
makan yang sama, menggunakan WC atau kolam
yang sama, atau terkena keringat atau air liur orang
dengan HIV positif. Faktanya virus HIV hanya
menular lewat darah, air mani, cairan vagina, dan
ASI dengan syarat cairan tersebut tidak mengalami
kontak dengan udara dan dengan PH yang
seimbang.
Stigma yang berada pada tataran kognitif
ketika terwujud dalam bentuk perilaku maka
disebut sebagai diskriminasi. Diskriminasi
terhadap HIV dan AIDS bukan hanya dilakukan
pada orang dengan HIV positif, tetapi juga terjadi
pada orang-orang yang hidup atau berada di
sekitarnya. Ironisnya ada juga anggota keluarga

atau saudara yang melakukan diskriminasi
terhadap orang dengan HIV positif. Bentuk-bentuk
diskriminasi yang terjadi akan menjurus pada
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang
secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu
hak ekonomi, sosial, dan budaya (EKOSOB) serta
hak sipil dan politik (SIPOL). Perlakuan
diskriminasi yang melanggar hak-hak tersebut
umumnya terkait dengan30,44,51:
Kebebasan, keamanan, dan kebebasan gerak
• tes HIV yang dipaksakan
• karantina,
pengasingan/isolasi,
dan
pemisahan
Kebebasan dari perlakuan yang tidak
manusiawi atau penghinaan
• isolasi, misalnya pada narapidana dengan
HIV positif
• keterlibatan dalam uji coba klinis tanpa
persetujuan berdasarkan informasi yang
lengkap
Perlindungan oleh hukum yang sama
• tidak diberikan nasihat atau layanan hukum
Hak pribadi
• hasil tes tidak dirahasiakan atau diumumkan
tanpa persetujuan
• nama orang terinfeksi HIV wajib dilaporkan
ke instansi kesehatan yang berwenang
Penentuan nasib sendiri
• orang
yang rentan terhadap atau
terpengaruh oleh HIV dilarang berkumpul
Hak untuk menikah, mempunyai keluarga,
dan menjalin hubungan
• aborsi atau sterilisasi yang dipaksakan
• tes HIV yang diwajibkan sebelum menikah
• diskriminasi terhadap hubungan sesama
jenis
Ketersediaan yang sama terhadap layanan
kesehatan
• kekurangan obat yang sesuai, kondom dll.
• penolakan untuk merawat atau mengobati
orang dengan HIV positif
Pendidikan
• tidak
tersedianya
informasi
yang
memungkinkan orang membuat pilihan
yang berdasarkan informasi lengkap
• penolakan untuk memberikan pendidikan
karena status HIV

Psychology Village 2 -Harmotion
Universitas Pelita Harapan, Karawaci-Tangerang, 4 April 2011

Aplikasi Intervensi Sosial untuk Mereduksi Stigma dan Diskriminasi terhadap HIV & AIDS di Indonesia
Andrian Liem – Agustina Viktrisia Lily Hertati – Valentina Widyawati Ubasisa

Kesejateraan sosial dan perumahan
• penolakan ketersediaan perumahan atau
layanan sosial
Pekerjaan
• pemecatan dari, atau diskriminasi di tempat
kerja
• asuransi atau tunjangan lain yang terbatas
atau tidak tersedia sama sekali
tes HIV sebagai prasyarat untuk pekerjaan
Stigma dan diskriminasi tersebut berpotensi
mempengaruhi kesehatan (psikis dan mental)
individu dan komunitas. Stigma dan diskriminasi
juga berasosiasi dengan menghindari tes HIV atau
Infeksi Menular Seksual (IMS), menunda
pengobatan dan perawatan HIV & AIDS,
menyembunyikan status HIV yang positif,
rendahnya tingkat kesehatan fisik dan mental.
Stigma dapat menjadi sumber tekanan (stressor)
yang mengurangi kemampuan orang terinfeksi HIV
dalam menghadapi masalah (coping) dan
diskriminasi menghambat mereka dalam mengakses
layanan kesehatan. Butuh penanganan di tingkat
sosial agar masyarakat berhenti menstigma dan
melakukan diskriminasi terkait HIV dan AIDS.46
Oleh karena itu diperlukan usaha yang
melibatkan berbagai komunitas dalam bentuk
komunikasi dua arah sehingga tercipta hubungan
yang baik. Modalitas relasi tersebut dapat
dikembangkan menjadi jejaring sehingga usaha
mereduksi stigma dan diskriminasi terkait HIV dan
AIDS menjadi lebih efektif. Sebab salah satu
indikator intervensi yang berhasil adalah terjadinya
diseminasi pemahaman yang benar tentang HIV
dan AIDS serta menurunnya stigma dan
diskriminasi di berbagai komunitas sosial7.
C. Intervensi Sosial
Intervensi merupakan suatu usaha campur
tangan yang dilakukan dengan tujuan memperbaiki
atau mengatasi permasalahan yang ada. Sedangkan
sosial merupakan sebuah kata yang merujuk pada
relasi antara dua atau lebih individu. Oleh sebab itu
intervensi sosial secara kasar dapat diartikan sebagai
sebuah usaha yang melibatkan lebih dari satu individu
untuk memecahkan permasalahan yang muncul.16,18

Dalam psikologi, intervensi sosial erat
bersinggungan dengan prinsip-prinsip psikologi
komunitas sehingga keduanya dapat disetarakan.
Penerapan psikologi bagi masyarakat luas
merupakan revolusi ketiga dalam kesehatan
mental. Revolusi pertama adalah perlakuan yang
lebih manusiawi pada orang yang sakit mental dan
revolusi kedua terjadi saat Freud mengalihkan
perhatian orang kepada kondisi intrapsikis
manusia. Dengan demikian bukan sesuatu yang
mengherankan jika intervensi sosial telah dikenal
sekitar tahun 1960an18. Beberapa prinsip dalam
psikologi komunitas yang bersinggungan dengan
intervensi sosial adalah:
(1) Faktor-faktor lingkungan sosial memiliki peran
yang sangat penting dalam penentuan dan
perubahan tingkah laku;
(2) Campur tangan dilakukan dengan berorientasi
pada sistem, sebagai lawan dari intervensi sosial,
dan hal ini juga akan mengurangi penderitaan
individual;
(3) Berorientasi dan berusaha untuk mengadakan
perubahan komunitas atau sosial
Dalam
perkembangannya,
psikologi
komunitas kini merasuk ke dalam penerapan
psikologi klinis dengan terapan mikro-mikro.
Sejalan dengan prinsip di atas bahwa manusia
adalah makhluk individu sekaligus sosial. Selama
ini sebagian besar psikolog klinis hanya bekerja di
aras mikro, yaitu melayani kebutuhan individu
dengan atau tanpa keluarganya saja serta kurang
peduli dengan profesi lain yang juga berkarya di
ranah kesehatan. Konsekuensi yang harus
ditanggung adalah durasi waktu yang panjang dan
biaya yang tinggi untuk melayani seorang individu.
Untuk mengatasi hal itu maka penerapan psikologi
klinis perlu menjangkau hingga ke aras makro,
yaitu pelayanan psikologi yang berdampak bagi
kesehatan masyarakat luas. Konsekuensi dari
pelayanan di aras makro adalah psikolog harus
mampu bersekutu dengan profesi kesehatan
lainnya atau disiplin ilmu sosial terkait. Melalui
jejaring dengan berbagai profesi dan disiplin ilmu,
penanganan sebuah penyakit atau gangguan dapat
dilakukan dengan lebih optimal dan efisien31.
Pedoman inilah yang menjadi dasar dalam
intervensi sosial untuk mereduksi stigma dan
diskriminasi terhadap HIV & AIDS yang menjadi
‘penyakit sosial’ di masyarakat Indonesia.

Psychology Village 2 -Harmotion
Universitas Pelita Harapan, Karawaci-Tangerang, 4 April 2011

Aplikasi Intervensi Sosial untuk Mereduksi Stigma dan Diskriminasi terhadap HIV & AIDS di Indonesia
Andrian Liem – Agustina Viktrisia Lily Hertati – Valentina Widyawati Ubasisa

D. Dinamika

CD4 mencukupi
Dapat beraktifitas
Produktif

Preventif
(VCT, PMTCT)
Stigma
(menghambat)
HIV

Diskriminasi
(menghambat)

Orang terinfeksi HIV
(termasuk keluarga dan rekan)

Diskriminasi
(mendorong)

Kuratif
(Terapi ARV)

Kehilangan pekerjaan
Akses pendidikan dan layanan
kesehatan sulit
Tidak mencari atau
menghentikan pengobatan
Dipisahkan
Kekerasan verbal dan fisik
dll

Rendah diri
Menyalahkan diri sendiri
Stress
Depresi
Bunuh diri
Gambar 3. Dinamika Stigma dan Diskriminasi terhadap HIV & AIDS

Psychology Village 2 -Harmotion
Universitas Pelita Harapan, Karawaci-Tangerang, 4 April 2011

Aplikasi Intervensi Sosial untuk Mereduksi Stigma dan Diskriminasi terhadap HIV & AIDS di Indonesia
Andrian Liem – Agustina Viktrisia Lily Hertati – Valentina Widyawati Ubasisa

Pemahaman
yang rendah /
keliru tentang
HIV dan
AIDS

STIGMA

Penghayatan
yang keliru
tentang ajaran
agama

Karakter/
Kepribadian
yang kurang
open minded

Intervensi Sosial:
(1) dialog lintas iman;
(2) optimalisasi peran media massa;
(3) edukasi kepada masyarakat umum
maupun petugas kesehatan;
(4) pemberian informasi kesehatan
reproduksi pada remaja;
(5) membentuk kelompok dukungan
sebaya

Gambar 4. Intervensi Sosial untuk Mereduksi Stigma terhadap HIV & AIDS

Psychology Village 2 -Harmotion
Universitas Pelita Harapan, Karawaci-Tangerang, 4 April 2011

Aplikasi Intervensi Sosial untuk Mereduksi Stigma dan Diskriminasi terhadap HIV & AIDS di Indonesia
Andrian Liem – Agustina Viktrisia Lily Hertati – Valentina Widyawati Ubasisa

III. APLIKASI
INTERVENSI
SOSIAL
UNTUK MEREDUKSI STIGMA DAN
DISKRIMINASI TERHADAP HIV & AIDS
A. Dialog Lintas Iman
Salah satu penyebab munculnya stigma
terhadap HIV berhubungan dengan penghayatan
agama yang kurang tepat, misalnya HIV dianggap
sebagai kutukan atau sudah menjadi imbalan bagi
dosa orang yang terinfeksi. Satu kelompok dengan
anggota yang beragama sama belum tentu memiliki
penghayatan atau iman yang sama. Apalagi dengan
individu yang memiliki agama berbeda. Pada
individu dengan pandangan yang sempit ada
kecenderungan untuk mengekslusifkan agama yang
dianutnya. Konsekuensinya adalah menganggap
agama lain adalah sesuatu yang buruk, dan lebih
lanjut penalaran yang salah tersebut dikaitkan
dengan HIV adalah kutukan bagi orang yang tidak
seagama dengan dirinya.
Dengan gambaran tersebut, aplikasi
intervensi sosial dalam komunitas agama dapat
berupa kerja sama dengan pemimpin atau anggota
komunitas tersebut sehingga stigma yang terkait
dengan persepsi moral dapat ditekan. Dialog antar
iman maupun antara orang terinfeksi HIV dan yang
tidak terinfeksi juga terbukti mampu mengurangi
stigma dan diskriminasi7. Ketika dialog dilakukan
oleh
berbagai
penganut
agama
dengan
keimanannya masing-masing, maka peserta dialog
akan lebih saling memahami dan menarik
kesimpulan bahwa inti dari semua ajaran agama
adalah cinta kasih, termasuk mengasihi sesama
manusia yang terinfeksi HIV. Resiko yang
mungkin terjadi dari dialog tersebut adalah adanya
resistensi atau penolakan dari individu yang tidak
dapat membuka diri. Walau demikian, individu
tersebut telah memiliki pengalaman berinteraksi
dengan pemeluk agama lain.
Peserta dialog antar iman dapat berasal dari
pemimpin agama maupun remaja dan pemuda yang
mendalami ajaran agama mereka secara formal.
Ketika para pemimpin agama berdialog maka para
pengikutnya dapat terinspirasi melakukan hal
serupa. Sementara ketika mahasiswa dari berbagai
sekolah atau program keagamaan maka mereka
akan memiliki bekal pengalaman untuk
disebarluaskan pada teman sebayanya. Dialog yang

dilakukan juga dapat dikembangkan agar para
peserta dapat merancang program bersama sebagai
tindak lanjut atau langkah nyata dalam mereduksi
stigma dan diskriminasi terhadap HIV & AIDS.
Kerjasama yang timbul dapat mendorong
terwujudnya jejaring antar iman.8,30,32,37,40,47
B. Media Massa
Saat ini kehadiran media sulit dipisahkan
dari kehidupan sosial manusia. Beberapa bentuk
media massa seperti spanduk atau baliho dengan
ukuran yang sangat besar di jalan raya memiliki
efek yang kuat untuk menyampaikan pesan. Para
pengguna jalan raya yang melintas secara tidak
sadar akan merekam pesan yang ada di spanduk
atau baliho tersebut dalam memori mereka walau
tidak berniat melihatnya. Kondisi tersebut yang
membuat peran media massa perlu dioptimalisasi
dalam mereduksi stigma dan diskriminasi terhadap
HIV dan AIDS.
Optimalisasi
media
massa
harus
mempertimbangkan target audience dengan status
sosial ekonomi (SSE) yang dimiliki. Pendekatan
pada masyarakat dengan SSE tinggi akan berbeda
dengan masyarakat dengan SSE rendah. Perlu
diingat juga bahwa media massa kurang
berpengaruh dalam menentukan apa (objek) yang
kita pikirkan, tetapi bagaimana kita memikirkan
suatu objek. Prinsip ini yang dikembangkan dalam
bidang sosial dan kesehatan dimana media massa
menjadi agen konstruksi sosial dalam perilaku
kesehatan dan sosial masyarakat.45
Dalam optimalisasi media massa, empat
fungsi utama yang dapat menjadi fokus adalah
sebagai berikut:
(1) penyedia informasi dan pengetahuan;
(2) untuk hiburan;
(3) untuk integrasi sosial seperti misalnya
mengidentifikasi diri dengan tokoh tertentu;
(4) dan untuk penarikan kembali dengan
memberikan rintangan.
Model integratif menyebutkan bahwa efek
media tergantung dari tujuannya (informasi v.s
hiburan), keterkaitan dengan realita (realistis v.s
tidak realistis), intensitas melihat (tinggi v.s rendah),
dan intensitas penyampaian (banyak v.s sedikit).
Pesan yang ingin disampaikan lewat media massa
akan optimal jika berbentuk informasi yang realistis

Psychology Village 2 -Harmotion
Universitas Pelita Harapan, Karawaci-Tangerang, 4 April 2011

Aplikasi Intervensi Sosial untuk Mereduksi Stigma dan Diskriminasi terhadap HIV & AIDS di Indonesia
Andrian Liem – Agustina Viktrisia Lily Hertati – Valentina Widyawati Ubasisa

dengan intensitas melihat yang tinggi dan
disampaikan secara terus-menerus. Faktor lain yang
perlu diperhatikan adalah tahap perkembangan atau
usia, jenis kelamin, dan budaya audience.45
Penerapan komunikasi interpersonal juga
diperlukan dalam mengoptimalkan peran media
massa dalam mereduksi stigma. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pendapat para pemimpin,
tokoh masyarakat, atau selebritis memiliki
pengaruh yang kuat bagi pengikutnya7. Saat
masyarakat melihat tokoh panutan atau pujaannya
melawan stigma terhadap HIV atau tidak takut
untuk melakukan kontak dengan orang terinfeksi
HIV maka akan terjadi modeling.
Berikut ini beberapa contoh dari
optimalisasi media massa sebagai aplikasi
intervensi sosial yang terbukti efektif mereduksi
stigma dan diskriminasi terhadap HIV & AIDS
pada masyarakat7:
(1) Koran dan televisi di Kamboja menayangkan
gambar Pangeran Ranariddh yang sedang
memberikan bunga kepada orang dengan HIV
positif dan kemudian berfoto dengan pose lengan
Pangeran yang merangkul orang tersebut;
(2) Sebuah organisasi internasional di Vietnam
mempublikasikan buku yang merupakan hasil
wawancara mendalam tentang kisah hidup orangorang dengan HIV dan AIDS;
(3) Pemerintah Thailand mensponsori festival
budaya Loy Krathong dengan memperkenalkan
ratu kecantikan yang terinfeksi HIV, anak-anak
dengan HIV positif, mempersilakan orang yang
ingin mengungkapkan status HIV mereka, serta
memberikan informasi tentang komunitas atau
kelompok dukungan sebaya bagi orang dengan
HIV positif.

Gambar 5. Malam Renungan AIDS Nusantara
(MRAN), 17 Mei (dari http://stat.k.kidsklik.com/data/photo

C. Edukasi
Edukasi atau pemberian pendidikan kepada
masyarakat umum maupun petugas kesehatan perlu
dilakukan agar mereka memiliki pemahaman yang
benar tentang HIV dan AIDS. Materi yang diberikan
dalam edukasi dapat mencakup bagaimana penularan
HIV dan cara penanggulangannya sehingga mitosmitos terkait HIV dan AIDS yang beredar dapat
diatasi dan menimbulkan pemahaman yang benar
pada masyarakat.12,38
Materi lain yang dapat diberikan adalah
produk-produk hukum yang melindungi orang
terinfeksi HIV dari perlakuan diskriminasi.
Beberapa contoh produk hukum yang melindungi
hak-hak orang dengan HIV positif adalah:
(1) Undang-Undang nomor 11 tahun 2005 tentang
International Covenant on Economic, Socia and
Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya);
(2) Undang-Undang nomor 12 tahun 2005 tentang
International Covenant on Civil and Politic Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik);
(3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja &
Transmigrasi RI nomor 68/MEN/IV/2004 tentang
Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di
Tempat Kerja

Gambar 6. Ilustrasi Diskriminasi terhadap Orang
dengan HIV & AIDS (dari http://1.bp.blogspot.com
/_c3RFJ6Bv-Q8/R1FPwomnSaI/AAAAAAAAAEg/
RNrNaX0bKf4/s1600-R/P1000964.JPG)

/2009/12/02/1007288p.JPG

Psychology Village 2 -Harmotion
Universitas Pelita Harapan, Karawaci-Tangerang, 4 April 2011

Aplikasi Intervensi Sosial untuk Mereduksi Stigma dan Diskriminasi terhadap HIV & AIDS di Indonesia
Andrian Liem – Agustina Viktrisia Lily Hertati – Valentina Widyawati Ubasisa

D. Informasi Kesehatan Reproduksi
Pemberian informasi tentang kesehatan
reproduksi pada remaja terbukti mampu menekan
angka penyakit menular seksual, termasuk HIV.
Walau demikian masih banyak orang yang
menganggap bahwa remaja justru akan terlibat
perilaku seks beresiko jika diberikan informasi
tentang kesehatan reproduksi. Akan tetapi hasil
penelitian menunjukkan hal yang sebaliknya. Pada
beberapa negara Eropa seperti Belanda, Prancis,
dan Jerman yang memiliki pandangan bahwa
seksualitas adalah bagian dari perkembangan
manusia, mempromosikan pemahaman yang benar
tentang seksualitas kepada para remaja. Berbeda
dengan Amerika yang lebih mempromosikan
abstinensi seks bagi remaja. Berbekal pemahaman
yang benar tersebut, para remaja di Eropa
melakukan hubungan seks pertamanya satu tahun
lebih lambat daripada remaja Amerika dan remaja
Eropa juga lebih jarang berganti pasangan daripada
remaja Amerika.6
Pemberian informasi tentang kesehatan
reproduksi pada remaja dapat diwujudkan melalui
pendidik sebaya (peer educator) atau konselor
sebaya (peer counsellor). Metode pendidik sebaya
telah dikenal dan diaplikasikan dalam pendidikan
kesehatan sebagai pendidikan pedagogi sejak tahun
1980an. Remaja SMA di Cina yang diberikan
pendidikan kesehatan reproduksi terbukti memiliki
peningkatan pemahaman terhadap kesehatan
reproduksi termasuk penularan dan pencegahan
HIV & AIDS. Hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa remaja di sekolah kejuruan membutuhkan
pemberian informasi tentang kesehatan reproduksi
yang lebih intensif.36
Salah satu alasan mengapa informasi
tentang kesehatan reproduksi lebih dapat diterima
oleh remaja jika diberikan oleh rekan sebayanya
adalah karena tidak ada rasa takut atau malu di
antara mereka. Sementara jika remaja bertanya
pada orang tua atau guru maka mereka takut akan
diceramahi dan dianggap nakal. Jika tidak ada
teman yang dapat dijadikan sumber informasi
maka para remaja akan mencari informasi melalui
media apapun sehingga ada resiko mendapatkan
informasi yang keliru atau muncul mitos terkait
seksualitas seperti jumlah rambut di tangan dan
kaki berkorelasi dengan nafsu seksual seseorang.

Ketika informasi yang keliru dan mitos beredar di
kalangan remaja, maka akan timbul ketakutan
terhadap stigma dan diskriminasi. Hal inilah yang
menghambat program VCT pada remaja di
berbagai negara termasuk Indonesia. Para remaja
menganggap bahwa HIV tidak akan menyerang
karena mereka masih muda. Sedangkan bagi
remaja yang ingin melakukan VCT akan
mengurungkan niatnya karena takut distigma oleh
teman-temannya jika pergi ke tempat yang
menyediakan VCT.4,13,29,46
E. Kelompok Dukungan Sebaya
Orang yang menderita HIV dapat
membentuk kelompok untuk saling mendukung.
Dukungan yang diberikan dapat berupa dukungan
psikologis maupun materi. Saat bertemu dengan
orang yang memiliki persamaan, yaitu terinfeksi
HIV, maka akan timbul rasa empatik di antara
anggota kelompok. Ketika mereka bersama maka
para penderita HIV tidak akan merasa kesepian dan
lebih mampu memperjuangkan hak-hak mereka.
Usaha advokasi terhadap hak-hak orang dengan
HIV positif yang ditindas akibat stigma dan
diskriminasi juga akan lebih mendapat perhatian
pemerintah maupun masyarakat.16
Kelompok
dukungan
sebaya
dapat
menyusun kegiatan yang dapat membangun citra
positif bagi diri mereka. Kegiatan-kegiatan sosial
seperti mengunjungi panti werda atau panti asuhan,
penanaman pohon, membersihkan lingkungan, dan
kegiatan lain. Ketika orang-orang yang terinfeksi
HIV melakukan kegiatan yang bersifat positif
maka masyarakat akan memiliki pandangan yang
lebih baik terhadap mereka.
Beberapa kelompok dukungan, baik sebaya
maupun tidak, yang anggota adalah orang-orang
dengan HIV positif adalah Jaringan Orang
Terinfeksi HIV (JOTHI), Ikatan Perempuan Positif
Indonesia (IPPI), dan Persaudaraan Korban Napza
Indonesia (PKNI).

Psychology Village 2 -Harmotion
Universitas Pelita Harapan, Karawaci-Tangerang, 4 April 2011

Aplikasi Intervensi Sosial untuk Mereduksi Stigma dan Diskriminasi terhadap HIV & AIDS di Indonesia
Andrian Liem – Agustina Viktrisia Lily Hertati – Valentina Widyawati Ubasisa

IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
HIV yang awalnya berasal dari simpanse di
Afrika Selatan telah menginfeksi manusia dan
berpotensi menimbulkan AIDS. Ketika kasus HIV
pertama ditemukan di Los Angeles pada tahun
1980an, maka sejak itu pula stigma melekat pada
HIV dan AIDS dan mendorong munculnya
perilaku diskriminasi kepada orang yang terinfeksi
HIV maupun orang di lingkungan sekitarnya.
Stigma dan diskriminasi terhadap HIV dan AIDS
telah menjadi ‘penyakit sosial’ karena membuat
orang dengan HIV positif mengalami stigma
internal maupun terisolasi dari lingkungan sosial.
Kondisi tersebut juga terjadi di wilayah Republik
Indonesia. Oleh sebab itu tidak mengherankan
jumlah prevalensi HIV sulit untuk ditekan karena
orang enggan melakukan VCT dan mengakses
pengobatan bagi mereka yang telah terinfeksi.
Orang dengan HIV positif tidak selalu mengalami
fase AIDS. Akan tetapi dengan stigma dan
diskriminasi yang dialami maka kondisi mereka
akan cepat melemah.
Stigma terhadap HIV umumnya terjadi
karena kurang informasi, pemahaman yang keliru,
maupun mitos-mitos yang beredar di masyarakat.
Penghayatan yang kurang tepat terhadap ajaran
agama dtambah dengan kepribadian yang sulit
terbuka akan menambah parah stigma tersebut.
Ketika stigma terwujud dalam bentuk perilaku
maka dapat disebut sebagai diskriminasi.
Diskriminasi terhadap orang dengan HIV & AIDS
maupun orang-orang di sekitarnya dapat
dikelompokkan ke dalam pelanggaran dua hak
dasar, yaitu EKOSOB dan SIPOL.
Dampak stigma dan diskriminasi sangat kuat
dalam menghambat upaya penanganan HIV & AIDS.
Oleh karena itu diperlukan suatu intervensi untuk
mengatasinya. Salah satu intervensi yang dilakukan
dapat berasal dari psikologi klinis dengan
pergerakandi aras makro. Penerapan psikologi klinis
dari mikro ke makro maupun secara mikro-makro
memiliki prinsip yang sama dengan intervensi sosial.
Dalam penerapannya, berbagai aplikasi yang dapat
digunakan untuk mereduksi stigma dan diskriminasi
terhadap HIV & AIDS adalah:
(1) dialog lintas iman;
(2) optimalisasi peran media massa;

(3) edukasi kepada masyarakat umum maupun
petugas kesehatan;
(4) pemberian informasi kesehatan reproduksi
pada remaja;
(5) dan membentuk kelompok dukungan sebaya
(peer support group)
B. Saran
Konsekuensi intervensi sosial melalui
penerapan psikologi klinis secara makro adalah
membutuhkan sinergi dengan berbagai sekutu, yaitu
berbagai profesi di bidang kesehatan dan disiplin
ilmu di bidang sosial. Berbagai aplikasi intervensi
sosial yang telah dipaparkan di atas akan lebih efektif
jika dilakukan melalui jejaring atau pendekatan
komunitas25. Sejak tahun 2000 paradigma program
penanggulangan HIV & AIDS telah berfokus pada
komunitas17,19,49,50. Salah satu contoh pendekatan
jejaring adalah dengan memberikan edukasi kepada
kelompok waria melalui Keluarga Besar Waria
Yogyakarta (KEBAYA).
Selain itu, penelitian empiris di Indonesia
tentang tentang dampak stigma dan diskriminasi
terhadap orang dengan HIV positif atau terhadap
orang yang hidup dengan orang terinfeksi HIV
masih sangat sedikit. Padahal telah disebutkan
bahwa usaha pencegahan maupun kuratif akan
terasa sia-sia jika masih kuatnya stigma dan
diskriminasi terhadap HIV & AIDS. Oleh sebab itu
perlu dilakukan penelitian mengenai stigma yang
terjadi
pada
suatu
lingkungan
sebelum
merencanakan program preventif maupun kuratif.
Hasil penelitian tersebut dapat dijadikan salah satu
sumber acuan dalam menyusun program
penanggulangan HIV berbasis kearifan lokal.

!

" !

!

# $%

Psychology Village 2 -Harmotion
Universitas Pelita Harapan, Karawaci-Tangerang, 4 April 2011

& ' ((

Aplikasi Intervensi Sosial untuk Mereduksi Stigma dan Diskriminasi terhadap HIV & AIDS di Indonesia
Andrian Liem – Agustina Viktrisia Lily Hertati – Valentina Widyawati Ubasisa

DAFTAR PUSTAKA
[1]

[2]
[3]
[4]

[5]

[6]

[7]

[8]

[9]

[10]

[11]
[12]

[13]

[14]

Aggleton, P., Wood, K., Malcolm, M., Coram, T., &
Parker, R. 2005. HIV-related stigma,
discrimination and human rights violations:
case studies of successful programmes.
Switzerland: USAID.
Anonim. Tanpa Tahun. HIV/AIDS in the South-East
Asia Region – Facts and figures.
Avert. 2009. Stigma: Cara untuk Maju. EENET ASIA
NEWSLETTER 7, Kwartal 2-3, 11.
Babalola, S. 2007. Readiness for HIV Testing among
Young People in Northern Nigeria: The Roles of
Social Norm and Perceived Stigma. AIDS
Behav, 11, 759–769.
Boswell, D., & Baggaley, R. 2002. Voluntary
Counseling and Testing (VCT) and Young
People: A Summary Overview. Family Health
International.
Browning, C.R., Leventhal, T., & Brooks-Gunn, J.
2005. Sexual Initiation in Early Adolescence:
The Nexus of Parental and Community Control.
American Sociological Review, 70, 758-778.
Busza, J. 1999. Literature review: Challenging HIVRelated Stigma and Discrimination in Southeast
Asia: Past Success and Future Priorities. New
York: The Population Council.
Butt, L., Morin, J., Numbery, G., Peyon, I., & Goo,
A. 2010. Stigma dan HIV/AIDS di Wilayah
Pegunungan Papua. Papua: Pusat Studi
Kependudukan–UNCEN.
Centre for Harm Reduction. 2007. Final Report:
Baseline Assessment of the Current Status of
Resources, Policies and Services for Injecting
Drug Use and HIV/AIDS in South and South
East Asia. Australia: Macfarlane Burnet Institute
for Medical Research and Public Health.
Denison, J.A., Mccauley, A.P., Dunnett-Dagg, W.A.,
Lungu, N., & Denison, J.A., Mccauley, A.P.,
Dunnett-Dagg, W.A., Lungu, N., & Sweat, M.D.
2009. HIV Testing Among Adolescents in
Ndola, Zambia: How Individual, Relational, and
Environmental Factors Relate to Demand. AIDS
education and prevention, 21(4), 314-324.
Ditjen PPM & PL Depkes RI. 2010. Statistik Kasus
HIV/AIDS di Indonesia.
IBCA. 2010. Kerangka Acuan Dialog Publik IBCA
“Seandainya Saya HIV Positif…..?”. Jakarta:
Indonesian Business Coalition on AIDS.
Idrus, N.I. 2011. “Stigma from Within: HIV, IDU,
and Peers”. Makalah disampaikan dalam
seminar bulanan PSKK. Yogyakarta: PSKK,
UGM.
KPAN. 2010. Strategi dan Rencana Aksi Nasional
Penanggulangan HIV dan AIDS Tahun 2010 –
2014. Jakarta: KPAN.

[15] Kumar, G.P. 2009. Respon Pemerintah Setempat
terhadap HIV. Materi Youth-training:”Remaja,
HIV/AIDS dan LGBT; Merancang Strategi dan
Aksi Lintas Iman” pada 1-10 Februari 2010.
[16] Leon, G.D. 2000. The Therapeutic Community:
Theory, Model, and Method. New York:
Springer.
[17] Madyan, A.S. & Ryan, M. 2010. Medical and
Biological overview on HIV and AIDS. Materi
Youth-training:”Remaja, HIV/AIDS dan LGBT;
Merancang Strategi dan Aksi Lintas Iman” pada
1-10 Februari 2010.
[18] Martaniah, S.M. 1985. Peran Psikologi Komunitas
dalam Penanggulangan Gangguan Mental
Kesehatan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar dalam Psikologi Klinis (tidak diterbitkan).
Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
[19] Mboi,
N.
2009.
Situasi
&
Terobosan
Penanggulangan
AIDS.
Materi
Youthtraining:”Remaja, HIV/AIDS dan LGBT;
Merancang Strategi dan Aksi Lintas Iman” pada
1-10 Februari 2010 di Yogyakarta.
[20] Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia. 2004. Kep. 68 / Men / IV / 2004
tentang Pencegahan dan Penanggulangan
HIV/AIDS di tempat kerja.
[21] Moeliono, L. 2003. Proses belajar aktif kesehatan
reproduksi Remaja: Bahan Pegangan untuk
Memfasilitasi Kegiatan Belajar Aktif untuk Anak
& Remaja Usia 10-14 Tahun. Jakarta: PKBI,
BKKBN, UNFPA.
[22] Muadz, M.M. (ed). 2008. Modul Pelatihan
Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja bagi
Calon Konselor Sebaya. Jakarta: BKKBN.
[23] Muadz, M.M., Syarbaini, Fathonah, S., Mardiana,
N., Syaefuddin, Sapri, E.A., Surija, Windrawati,
W., & Salamah, U. 2008. Kurikulum dan Modul
Pelatihan Pengelolaan Pusat Informasi dan
Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIKKRR). Jakarta: BKKBN.
[24] Muadz, M.M., Syarbaini, Fathonah, S., Mardiana,
N., Utomo, B., & Salamah, U. 2008. Kurikulum
dan Modul Pelatihan Pengelolaan Pemberian
Informasi Kesehatan Reproduksi Remaja oleh
Pendidik Sebaya. Jakarta: BKKBN.
[25] O’neall, M.A., & Brownson, R.C. 2005. Teaching
Evidence-based Public Health to Public Health
Practitioners. Ann Epidemiol, 15, 540–544.
[26] Ogden, J. 2007. Health Psychology: a textbook 4th
edition. England: Open University.
[27] Pando, C.M., Soria, F.S., Crespo, P.S., Hannoun, D.,
& Ghosn, N. 2010. WP5 Training in Public
Health and Applied Epidemiology in the
Mediterranean Countries and Balkans.

Psychology Village 2 -Harmotion
Universitas Pelita Harapan, Karawaci-Tangerang, 4 April 2011

Aplikasi Intervensi Sosial untuk Mereduksi Stigma dan Diskriminasi terhadap HIV & AIDS di Indonesia
Andrian Liem – Agustina Viktrisia Lily Hertati – Valentina Widyawati Ubasisa

[28] Partosuwido, S.R. 1995. Psikologi Kesehatan,
Sumbangan Psikologi di Bidang Kesehatan,
Prevensi dan Intervensi. Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar dalam Psikologi Klinis
(tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas
Psikologi UGM.
[29] Peralta, L., Deeds, B.G., Hipszer, S., & Ghalib, K.
2007. Barriers and Facilitators to Adolescent
HIV Testing. AIDS PATIENT CARE and STDs,
21, 6, 400-408.
[30] PKBI. 2010. Modul Pendidikan Kesehatan
Reproduksi dan Seksual. Yogyakarta: PKBI.
[31] Prawitasari, J.E. 2003. Psikologi Klinis: dari Terapan
Mikro ke Makro. Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar dalam Psikologi Klinis (tidak
diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi
UGM.
[32] Purwaningsih, S.P., 2009. Laporan Keterlibatan
Pemuka Agama dalam Penanggulangan
HIV/AIDS.
[33] Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI.
2006. Situasi HIV/AIDS di Indonesia 19872006. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
[34] Rippke, M., Briske, L., Keller, L.O.,& Strohschein,
S. 2001. Public Health Nursing Section: Public
Health Interventions–Applications for Public
Health Nursing Practice. St. Paul: Minnesota
Department of Health.
[35] Ryan, M. 2010. International Movements in
HIV/AIDS
Management.
Materi
Youthtraining:”Remaja, HIV/AIDS dan LGBT;
Merancang Strategi dan Aksi Lintas Iman” pada
1-10 Februari 2010 di Yogyakarta.
[36] Shen, L.X., Hong, H., Cai, Y., Jin, X.M., & Shi, R.
2008. Effectiveness of peer education in
HIV/STD prevention at different types of senior
high schools in Shanghai, People’s Republic of
China. International Journal of STD & AIDS,
19, 761-767.
[37] Stangl, A. & Nyblade, L. 2007. Reducing HIV
stigma and discrimination: a critical part of
national AIDS programmes: a resource for
national stakeholders in the HIV response.
Geneva: UNAIDS.
[38] Supratiknya, A. 2008. Merancang Program dan
Modul Psikoedukasi. Yogyakarta: Universitas
Sanata Dharma.
[39] UNESCO Hanoi. 2009. Mengurangi Stigma Pendidikan bagi Anak-anak terdampak HIV di
Vietnam. EENET ASIA NEWSLETTER 7,
Kwartal 2-3, 10.
[40] UNICEF. 2003. What Religious Leaders Can Do
About HIV/AIDS: Action for Children and
Young People. New York: UNICEF.

[41] USAID Indonesia. 2010. HIV/AIDS Health Profile.
Jakarta: USAID Indonesia.
[42] USAID. 2006. Can We Measure HIV/AIDS-Related
Stigma and Discrimination? Current Knowledge
about Quantifying Stigma in Developing
Countries. USA: USAID.
[43] Visser, M.J., Kershaw, T., Makin, J.D., & Forsyth,
B.W.C. 2008. Development of Parallel Scales to
Measure HIV-Related Stigma. AIDS Behav, 12,
759–771.
[44] Wahyudi, R. 1996. Modul Kesehatan Reproduksi
Remaja. Jakarta: PKBI, IPPF, BKKBN, dan
UNFPA.
[45] Wakefield, M., Flay, B., Nichter, M., & Giovino, G.
2003. Role of the media in influencing
trajectories of youth smoking. Addiction, 98
(Suppl 1), 79-103.
[46] Wolitski, R.J., Pals, S.L., Kidder, D.P., CourtenayQuirk, C., Holtgrave, D.R. 2009. The Effects of
HIV Stigma on Health, Disclosure of HIV
Status, and Risk Behavior of Homeless and
Unstably Housed Persons Living with HIV.
AIDS Behav, 13, 1222–1232.
[47] Yayasan Spiritia. 2001. Dokumentasi tentang
Pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap Orang
dengan HIV/AIDS di Indonesia. Proyek
Pendokumentasian yang Dilakukan oleh
Kelompok Sebaya.
[48] Zaky, M. 2010. History of Knowledge Construction
of HIV/AIDS. Materi Youth-training:”Remaja,
HIV/AIDS dan LGBT; Merancang Strategi dan
Aksi Lintas Iman” pada 1-10 Februari 2010 di
Yogyakarta.
[49] Zaky, M. 2010. HIV/AIDS Movements at the
National and International Levels. Materi
Youth-training:”Remaja, HIV/AIDS dan LGBT;
Merancang Strategi dan Aksi Lintas Iman” pada
1-10 Februari 2010.
[50] Zaky, M. 2010. Prinsip Gerakan HIV & AIDS.
Materi Youth-training:”Remaja, HIV/AIDS dan
LGBT; Merancang Strategi dan Aksi Lintas
Iman” pada 1-10 Februari 2010.
[51] Zaky, M. 2010. Sexual Citizenship. Materi Youthtraining:”Remaja, HIV/AIDS dan LGBT;
Merancang Strategi dan Aksi Lintas Iman” pada
1-10 Februari 2010.

Psychology Village 2 -Harmotion
Universitas Pelita Harapan, Karawaci-Tangerang, 4 April 2011