Pengembangan Metode Geolistrik 4 D untuk

Prosiding Pertemuan Ilmiah Nas BPPT

ISBN : 978-602-1124-96-3
Volume 1, Nomor 1, Maret 2015
Pages: xx-xx

Pengembangan Metode Geolistrik 4-D untuk
Perembesan Bawah Tanah
Development of 4-D Geoelectric Methode to Identify Subsurface Leakage
AGUS KUSWANTO
Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Mineral, Puspiptek Area, Gedung 820 Geostek, Tangerang Selatan, Banten 15314

Telp. 021-7579 1381 Fax. 021-7579 1403 e-mail : [email protected]
Manuskrip diterima: 7 Oktober 2015 / Revisi disetujui: 20 November 2015

Abstract. Geoelectric methods is well known as tool for exploration since the 1900's. As result of fast growing in
computer technology, application of this method is become more popular. For example, at the first application,
geoelectric methode is only used in groundwater exploration but presently it widely used in another subsurface
interest such as mineral exploration and also environmental geology. Inversion technique developed by Day
Morrison (1979), Li and Oldenburg (1992), Loke and Barker (1996), Yi M-K et.al (2001), Pidlisecky et al. (2006),
etc, has enabled geoelectric method used for configuration of 3-D. In order to identify dynamics object such as

leachate seepage, groundwater monitoring, etc, this method could be developed as geoelectric 4-D. It is a 3-D
geoelectric which performed several times at the same place but different times. Application of geoelectric 4-D to
estimate direction and rate of infiltration of surface water was conducted in Bandung for two days. The result shows
the infiltration rate is 0.34 to 1.2 m3 per hour. Based on this research, conclueded that 4-D geoelectric showed
good results for the monitoring of surface water leakage into the ground. Furthermore, this method can be applied
to subsurface environmental studies as a result of industrial activity.
Key words : geolistrik 3-D, geolistrik 4-D, kepadatan tanah, perembesan

Abstrak. Metode Geolistrik telah dikenal sebagai alat untuk eksplorasi semenjak tahun 1900 –an. Disebabkan oleh
cepatnya perkembangan teknologi komputer, maka penggunaan metode ini menjadi semakin populer. Sebagai
contoh, pada awalnya metode geolistrik hanya di aplikasikan untuk eksplorasi air bawah tanah, tetapi saat ini
sudah di aplikasikan untuk berbagai kepentingan penelitian bawah permukaan seperti eksplorasi mineral dan juga
geologi lingkungan. Teknik inversi yang telah dikembangkan oleh Day Morrison (1979), Li and Oldenburg (1992),
Loke and Barker (1996), Yi M-K et.al (2001), Pidlisecky et al. (2006), dan lainnya telah memungkinkan metode
geolistrik menggunakan konfigurasi 3 dimensi (3-D). Untuk kepentingan identifikasi obyek yang dinamis seperti
perembesan, pengamatan air bawah tanah dan lainnya, metode ini dapat dikembangkan menjadi geolistrik 4
dimensi (4-D), yaitu suatu metode geolistrik 3-D yang dilakukan beberapa waktu pengukuran pada tempat yang
sama. Penelitian geolistrik 4-D untuk mengestimasi kecepatan dan arah perembesan air permukaan dilakukan di
Kota Bandung selama 2 hari. Hasilnya memperlihatkan bahwa kcepatan perembesan adalah 0,34 sampai 1,2 m3
per jam. Berdasarkan penelitian ini disimpulkan bahwa metode geolistrik 4-D memperlihatkan hasil yang baik

untuk monitoring perembesan air bawah permukaan. Lebih lanjut, metode ini dapat diaplikasikan untuk studi
lingkungan bawah permukaan sebagai dampak aktivitas industri.
Kata kunci: geolistrik 4-D, perembesan, studi bawah permukaan

PENDAHULUAN
Meskipun eksplorasi mineral sudah dilakukan semenjak ratusan tahun yang lalu tetapi catatan ilmiah mengenai
hal ini baru dimulai pada tahun 1556 manakala Georgius Agricola mempublikasikan De re Metallica. Berpangkal
dari buku ini maka beberapa tahun kemudian eksplorasi mineral dan dunia pertambangan mulai menggunakan suatu
landasan ilmu pengetahuan. Sejarah mencatat ternyata di dunia pertambangan ini pula kemudian berkembang ilmuilmu lain yang sangat mendukung antara lain ilmu geologi dan geofisika.
Perkembangan ilmu-ilmu tersebut sebenarnya sudah cukup lama namun aplikasi metoda geofisika pada dunia
pertambangan ternyata baru dimulai pada tahun 1843, ketika Von Wrede menemukan bahwa variasi medan magnet
bumi yang diukur oleh Lamont menggunakan magnetic theodolite ternyata dapat dipakai untuk mengidentifikasi
bodi dari suatu magnetic ore. Sekira 25 tahun kemudian, seorang Professor bernama Robert Thalens
mempublikasikan bukunya yang berjudul “On The Examination of Iron Ore deposits by Magnetic Methods”. Tahun182

PI November 2015

AGUS KUSWANTO – Pengembangan Metode Geolistrik 4-D

tahun sesudahnya adalah maraknya aplikasi geomagnet di dunia pertambangan. Beberapa publikasi selanjutnya

melaporkan penemuan demi penemuan yang menyebutkan bahwa metoda geofisika ini dapat dipergunakan untuk
mengidentifikasi strike, dip, dan depth di bawah permukaan. Kebutuhan akan logam dan mineral yang meningkat
menyebabkan berkembang pula ilmu dan teknologi untuk eksplorasi. Mengingat bahwa sumberdaya mineral yang
dicari umumnya terdapat di bawah permukaan bumi, maka teknologi dikembangkan supaya metoda yang dipakai
dapat mendeteksi benda-benda bawah permukaan dengan lebih sensitive. Metoda-metoda geofisika yang diterapkan
berdasarkan variasi sifat-sifat/properties dari batuan dikembangkan untuk mengidentifikasi struktur yang berasosiasi
dengan gas dan minyak bumi seperti patahan, antiklin, sinklin, yang terletak beberapa kilometer di bawah
permukaan bumi. Variasi konduktivitas listrik di bumi, perubahan lokal gravity, magnetic dan radioaktivitas,
semuanya dipergunakan sebagai informasi mengenai kondisi bawah permukaan.
Berdasarkan dari cara pengambilan datanya, maka pada prinsipnya di dalam metoda geofisika ada 2 (dua)
macam cara yakni metoda geofisika dinamis dan metoda geofisika statis. Pada metoda geofisika dinamis dilakukan
“gangguan” terhadap bumi kemudian respon yang diberikan akibat gangguan tersebut di catat di permukaan. Dari
respon yang diberikan ini kemudian dibuat interpretasi kondisi bawah permukaan bumi. Gangguan ini dapat berupa
getaran seismik maupun injeksi arus listrik. Contoh metoda ini adalah seismik, geolistrik, georadar dan sejenisnya.
Sedangkan pada metoda yang kedua yakni metoda statis, fenomena fisika di bawah permukaan bumi dicatat tanpa
melakukan gangguan ke bumi. Contoh metoda ini adalah metoda gravity, magnetic, VLF dan sejenisnya. Metoda
yang dibahas pada makalah ini adalah bagian dari metoda geolistrik. Yaitu suatu metoda dinamis dengan sumber
gangguan berupa injeksi arus listrik ke dalam bumi.
Metoda geolistrik berkembang pada awal tahun 1900 an. Tetapi kemudian mulai banyak dipakai untuk keperluan
eksplorasi pada tahun 1970-an . Metoda yang pertama kali banyak dipakai diIndonesia adalah metoda geolistrik

aturan Schlumberger dan Wenner. Pada metoda ini pengambilan data V (beda potensial) dan I (kuat arus) dilakukan
mengikuti konfigurasi elektroda yang dibuat oleh Schlumberger (untuk aturan schlumberger) dan Wenner untuk
aturan Wenner. Aplikasi yang umum dilakukan adalah untuk eksplorasi air bawah tanah. Disamping dua metoda
tersebut, sebenarnya sudah dikenal juga metoda lain yaitu pole-pole, dipole-dipole, pole-dipole, wennerSchlumberger, dll. Tetapi metoda ini tidak terlalu banyak dipakai karena dalam pengambilan datanya memerlukan
waktu yang lama. Disamping itu untuk pengolahan datanya juga masih belum ada software pemodelan yang
memadai sehingga hasil yang diperoleh masih berupa pseudosection (penampang semu) yaitu suatu penampang
vertical yang menggambarkan gambaran bawah permukaan berdasarkan distribusi tahanan jenis semu.
Pada tahun 1997 mulai dikenal luas software inverse data untuk geolitrik dua dimensi (2-D) yang dibuat oleh
ilmuwan Malaysia yaitu M.H. Loke, kemudian dikenal sebagai Res2D/Res3D. Software ini mirip dengan software
yang sudah muncul sebelumnya yang dikeluarkan oleh Advanced Geophysical Incorporated (AGI) yaitu earth
imager. Menggunakan software tersebut di atas, maka para pengguna metoda geolistrik dengan mudah mendapatkan
true section (bukan pseudosection). True Section merupakan gambaran penampang bawah permukaan (sub-surface
section) berdasarkan nilai tahanan jenis sebenarnya. Melalui true section ini, kalangan geologist sangat dibantu
dalam membuat interpretasi keberadaan sumberdaya mineral , batubara dan bahkan patahan-patahan bawah
permukaan untuk kepentingan geologi teknik. Persoalannya kemudian adalah dalam pengambilan data di lapangan.
geolistrik 2-D memerlukan jumlah data yang lebih banyak dibandingkan geolistrik satu dimensi (1-D) yang biasanya
menggunakan aturan schlumberger atau wenner. Apabila menggunakan cara pengambilan data yang tradisional
(menggunakan 4 besi elektroda), maka dalam satu section sepanjang 300 m misalnya, bisa memerlukan waktu 4 hari
untuk pengambilan datanya. Disamping itu, karena dalam pengambilan data elektroda besi di geser bolak-balik
mengikuti aturan yang dibuat, maka kalau hanya menggunakan 4 elektroda akurasi data yang dihasilkan juga tidak

terlalu baik. Oleh karena itulah maka muncul ide pembuatan Geoscanner. Geoscanner adalah suatu peripheral untuk
peralatan resistivitymeter yang dikembangkan oleh BPPT supaya hasil survey menggunakan metoda Resistivity 2D
dapat lebih cepat dan akurat dibandingkan metoda tradisional. Peripheral ini dapat dipakai untuk resistivitymeter
merk dan type apapun. Menggunakan geoscanner telah dilakukan survey kebumian untuk keperluan eksplorasi
batubara dan mineral di Kalimantan, Sumatra, Sulawesi , dll serta eksplorasi air bawah tanah untuk mecari air di
kamp pengungsian Aceh (pasca tsunami), daerah Kars, dll serta untuk studi geologi teknik dan lingkungan.
Perkembangan pemodelan pada metoda geolistrik sejalan dengan perkembangan komputer. Dengan adanya
perkembangan teknologi komputasi maka persoalan numerik yang semula harus diselesaikan dengan komputer
besar (mainframe) dapat diatasi menggunakan personal computer (PC). Meskipun Dey and Morrsion sudah
memaparkan konsep pemodelan geolistrik tiga dimensi (3-D) pada tahun 1979, namun pada tahun 1990-an pada saat
komputer sudah semakin canggih, para peneliti baru dapat mengembangkannya menjadi keperluan praktis. Teknik
inversi satu tahap (one step inversion) menggunakan aproksimasi Born telah digunakan oleh Li dan Oldenburg,
1992 (Loke M.H., 2000) untuk memperoleh model awal bawah permukaan. Tetapi menurut mereka, model yang
dihasilkan masih belum bagus dan memerlukan perbaikan menggunakan metoda iterasi. Teknik inversi
menggunakan iterasi cepat (fast iteration) menggunakan alpha center juga telah digunakan untuk inversi 3-D
tahanan jenis. Tetapi karena pada metoda ini model yang dipakai untuk menghitung tahanan jenis semu adalah
183

PI November 2015


AGUS KUSWANTO – Pengembangan Metode Geolistrik 4-D

metoda aproksimasi maka hasilnya masih kurang akurat dibandingkan teknik pemodelan kedepan yang
menggunakan metoda elemen hingga atau metoda beda hingga (finite difference). Loke dan Barker (1996) telah
mengembangkan teknik inversi data geolistrik 3-D menggunakan metoda optimasi quasi-Newton. Menggunakan
metoda ini maka inversi dapat dilakukan pada komputer PC dan dengan waktu yang relatif lebih cepat dibandingkan
teknik inversi yang telah dipakai oleh peneliti sebelumnya. Selain Loke dan Barker, model inversi geolistrik 3-D
juga dikembangkan oleh Yi M-K et.al., (2001) dan Pidlisecky et.al., (2006). Mengingat pengambilan data
geolistrik 3-D dipandang masih kurang praktis, maka Jackson et.al., (2001) membuat model inversi geolistrik 3-D
berdasarkan data pengukuran geolistrik 2-D. Ternyata setelah diverifikasi dengan dua data pemboran, model yang
dihasilkan menunjukan kecocokan.
Metoda geolistrik 3-D pernah dilakukan oleh Michael Minas (2010) untuk penelitian Master nya di Departemen
Land and Water Resources Engineering Royal Institute of Technology - Swedia dengan tujuan penelitian untuk
menyelidiki air runoff (larian) di jalan tol di Stoklom Utara. Berbagai aplikasi di lapangan menunjukan bahwa
metoda geolistrik saat ini semakin dipercaya untuk berbagai keperluan survey bawah permukaan, karena metoda ini
merupakan metode yang relatif tidak merusak daerah yang disurvey, serta cepat dalam pengambilan datanya.
Metoda geolistrik yang semula dipergunakan untuk survey yang bersifat regional saat ini mulai digunakan untuk
penanganan masalah yang lebih bersifat detil seperti persoalan pada geologi teknik dan lingkungan. Pada
kesempatan ini maka timbulah pemikiran penerapan geolistrik untuk mengidentifikasi anomali bawah permukaan
yang bersifat bergerak, misalnya pencemaran lindi (leachate) di bawah permukaan, perembesan air permukaan, dan

lain-lain. Metoda geolistrik yang dapat melakukan identifikasi ini adalah metoda geolistrik empat dimensi (4-D).
Metoda geolistrik 4-D adalah metoda geolistrik yang dilakukan dengan cara pengukuran geolistrik 3-D dengan
pengukuran berkali-kali, dengan waktu yang berbeda namun pada posisi yang tetap. Dengan pengukuran cara ini
maka dapat diketahui selisih nilai tahanan jenis dari pengukuran pada waktu kedua, ketiga, keempat dan seterusnya
(t2, t3, t4, dst) terhadap pengukuran pertama (t1). Pada makalah ini dipaparkan hasil penelitian geolistrik 3-D dan 4D untuk beberapa kasus.

BAHAN DAN METODE
Dasar Pengukuran
Metoda geolistrik adalah salah satu metoda dalam geofisika yang menggunakan sifat kelistrikan sebagai sarana
untuk mengenali kondisi di bawah permukaan bumi. Apabila ada arus listrik dengan sumber tunggal dialirkan ke
bawah permukaan bumi maka arah aliran arus listrik adalah menyebar ke segala arah dalam suatu ruang berbentuk
setengah bola (gambar 1).

Gambar 1. Arah aliran arus listrik dan medan ekuipotensial pada bentuk setengah bola (Reynolds, 1997)
Pada gambar 1, beda potensial ( r adalah: pada kulit bola tersebut untuk lapisan setebal

V
1 .......................
   .J   
r

2r 2

(1)

Dengan demikian apabila dialirkan arus dari pusat setengah bola tadi, maka voltase (V) pada titik r dari sumber
arus adalah :

V r   V    

1
I 1
r 
. .
2
2 r
2r
184

......(2)


PI November 2015

AGUS KUSWANTO – Pengembangan Metode Geolistrik 4-D

Jika terdapat dua sumber arus listrik, dengan arah arus listrik dari A menuju B dan maka medan ekuipotensialnya
terlihat pada gambar 2.

Gambar 2. Garis arus listrik dan medan potensial yang timbul karena adanya dua sumber arus (Reynolds, 1997)
Untuk mempermudah perhitungan beda potensial, maka gambar 2 digambarkan seperti yang terlihat pada
gambar 3.

Gambar 3. Konfigurasi elektroda pada metoda tahanan jenis
Berdasarkan persamaan (2), maka potensial di titik M dan N adalah :

I  1
1 
I  1
1  .................(3)

, VN 


2  AM MB 
2  AN NB 

VM 

Beda potensial antara titik M dan N adalah :
 VMN  VM  VN 

 I  1
1   1
1   …………..(4)





2   AM MB   AN NB  

Besarnya tahanan jenis adalah :




 VMN 2
I



 1
1   1
1 






  AM MB   AN NB  

VM  N
K
I

1

.................(5)

............................... ….

 1
1   1
1 
K  2  





  AM MB   AN NB  
Pada persamaan tersebut ;
VM
= Potensial di titik M
VN
= Potensial di titik N
V M-N = beda potensial dari M ke N
ρ
= tahanan jenis (ohm.m)
I
= kuat arus (mA)
K
= faktor geometri
185

(6)

1

...................... (7)

PI November 2015

AGUS KUSWANTO – Pengembangan Metode Geolistrik 4-D

Persamaan (6) dan (7) adalah persamaan umum yang dipakai untuk menghitung tahanan jenis pada pengukuran
geolistrik 1D, 2D maupun 3D.
Teknik Pengambilan Data
Pada pengukuran geolistrik, dipergunakan elektroda yang terbuat dari besi kurang lebih panjang 40 cm dengan
diameter 1 cm. Elektroda ini ditancapkan ke dalam tanah kemudian disambungkan dengan alat ukur geolistrik.
Elektroda yang disambungkan dengan pengirim arus listrik disebut elektroda arus (A dan B) sedangkan elektroda
yang disambungkan dengan pembaca potensial disebut elektroda potensial (M dan N). Tata letak posisi elektroda
arus dan potensial disebut konfigurasi elektroda. Pada geolistrik 1-D dan 2-D elektroda di susun memanjang
membentuk garis lurus. Hasil yang diperoleh adalah suatu penampang tegak yang menggambarkan kondisi geologi
di bawah permukaan. Gambar 4 adalah contoh untuk konfigurasi geolistrik 1-D dan 2-D. Pada pengukuran
menggunakan metoda geolistrik 3-D, konfigurasi elektroda tidak berbentuk garis memanjang namun membentuk
suatu kotak dengan arah x dan y tertentu (gambar 4) .

Gambar 4. Posisi elektroda pada konfigurasi 3D.
Teknik Pengolahan Data
Hasil yang diperoleh dari pengukuran di lapangan adalah nilai tahanan jenis semu. Untuk mendapatkan nilai
tahanan jenis sebenarnya, maka dilakukan pemodelan, yang umumnya dipakai pada saat ini adalah pemodelan
kebelakang (pemodelan inversi). Pada pemodelan geolistrik dikenal istilah pemodelan satu dimensi (1-D), dua
dimensi (2-D) dan tiga dimensi (3-D). Blok-blok pemodelan pada pemdoelan dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Model benda 1-D, 2-D dan 3-D
Pemodelan geolistrik 1-D
Pada model geolistrik 1-D, struktur bawah permukaan diasumsikan terdiri dari lapisan-lapisan horisontal, setiap
lapisan mempunyai ketebalan dan tahanan jenis tertentu (gambar 4-5). Dengan pendekatan ini maka data tahanan
jenis semu dapat dinyatakan sebagai fungsi dari parameter – parameter lapisan :

aj  f j (h1 , h2 ,....., hm1 , 1 , 2 ,...., m ) ............(8)
Pada persamaan ini, j = 1,2,...,n dengan n adalah jumlah data pengamatan. Persamaan 8 dapat digambarkan
seperti yang terlihat pada gambar 6.

186

PI November 2015

AGUS KUSWANTO – Pengembangan Metode Geolistrik 4-D

Gambar 6. Asumsi yang dipergunakan pada model geolistrik 1-D
Pemodelan inversi untuk geolistrik 1-D menggunakan persamaan :

P1  P 0  P ..........................................

P  (  h ,  h ,........,  h ) .................
0

0 0
1 1

0 0
2 2

0 0
n n

(9)
(10)

P  ( J J ) J  .................................
(11)
(12)
  Y  f (P ) ............................................
f ( P)
J i
................................................ (13)
Pj
T

1

T

Pada persamaan ini ;
P1 = Model yang dibuat
P0 = Model awal
P
= selisih model yang dibuat dengan model awal
ρ
= tahanan jenis batuan
h
= kedalaman
J
= Matriks Jacobi
ε
= kesalahan pemodelan
Y = fungsi hasil pengukuran
f (P) = fungsi pemodelan
Pemodelan geolistrik 2-D
Pada model geolsitrik 2-D, lapisan batuan di bawah permukaan bumi diasumsikan berbentuk blok-blok yang
masing-masing mempunyai nilai tahanan jenis tertentu seperti yang dapat dilihat pada gambar 7 (Barker dan
Loke,1996).

Gambar 7. Blok-blok lapisan di bawah permukaan untuk pemodelan (Barker dan Loke ,1996).

187

PI November 2015

AGUS KUSWANTO – Pengembangan Metode Geolistrik 4-D

Gambar 8. Blok model pada pemodelan geolistrik 2-D
Apabila arus mengalir dari titik C yang berada pada koordinat (0,0) kemudian potensial dibaca di suatu titik
misanya P dengan pada฀koordinat (a,0) maka perubahan tahanan jenis setiap blok tersebut menurut Loke dan
Barker (1995) dihitung berdasarkan gambar 8 dengan persamaan (14).
I

 s
 4r 2

z2x2 

 

z1 x1  

x( x  a)  y 2  z 2
(x  y  z )
2

2

3

2

x  a)

2

y z
2

2



3

dxdydz .........

(14)

2

Selanjutnya pemodelan inversi dilakukan menggunakan persamaan umum inversi yaitu :

J

T
i



J i  i C T C pi  J iT g i

....................(15)

Pada persamaan ini : i adalah iterasi, J adalah matriks turunan partial Jacobi, g adalah vektor dikrepansi yang
berisi perbedaan antara logaritma harga tahanan jenis yang terukur dan terhitung, g adalah faktor damping dan pi
adalah vektor perturbasi untuk parameter model pada iterasi ke i dan C adalah flatness filter.
Pemodelan Geolistrik 3-D
Pada model geolistrik 3-D, model yang dibangun lebih realistis karena lapisan batuan di bawah permukaan bumi
tidak diasumsikan berlapis-lapis namum terdiri dari blok-blok berbentuk tiga dimensi (gambar 9).

Gambar 9. Model blok yang dipergunakan untuk perhitungan tahanan jenis semu (Loke, 1996)

188

PI November 2015

AGUS KUSWANTO – Pengembangan Metode Geolistrik 4-D

Gambar 10. Blok model pada pemodelan geolistrik 3-D
Apabila arus mengalir pada titik C dengan koordinat (0,0,0) kemudian potensial dibaca di suatu titik misalnya
titik P dengan koordinat (a,b,0) maka perubahan potensial yang disebabkan perubahan tahanan pada ρ jenis setiap
blok tersebut dihitung menggunakan gambar 10 dengan persamaan (16) (Loke dan Barker, 1996).

VI

 4 2

nx

ny

k 1 j 1 i 1

i

f j fk

.........(16)

u (u   )  v (v   )  w 2

nz

  f

(u  v  w )
2

2

2

3

2

(u   )

2

 (v   )  w 
2

2



3

2

dimana
u  (2 x  x1  x 2 ) /( x1  x2 )
v  (2 y  y1  y 2 ) /( y1  y2 )
  ( 2a  x1  x2 ) /( x1  x 2 )
  ( 2b  y1  y 2 ) /( y1  y 2 )
w  ( 2 z  z1  z 2 ) /( z1  z 2 )
V  0,125( x1  x2 )( y1  y 2 )( z1  z 2 )

Pemodelan inversi juga dilakukan menggunakan persamaan umum inversi (persamaan 15).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengukuran di Bak Kaca
Pengukuran dilakukan pada bak kaca berukuran panjang 2 m, lebar 1 m dan tinggi 1,5 m. Bak kaca diisi pasir
kemudian di tengahnya, yaitu pada kedalaman 30 cm di pendam benda berukuran berukuran 12 cm x 12 cm x 10
cm (gambar 11). Ukuran grid yang dipakai pada pengukuran ini adalah 7 x 7, dengan jarak antar elektroda 5 cm.

Gambar 11. Pengukuran pada bak kaca
Setelah benda dipendam di dalam pasir, selanjutnya di atas benda tersebut dilakukan pengukuran geolistrik 3-D
menggunakan metoda wenner, dipole dipole dan pole pole. Posisi elektroda dan benda anomali dapat dilihat pada
gambar 11. Data hasil pengukuran di inversi menggunakan softare res3D, dan hasill pemodelannya dapat dilihat
pada gambar 12, gambar 13 dan gambar 14.

189

PI November 2015

AGUS KUSWANTO – Pengembangan Metode Geolistrik 4-D

Gambar 12. Hasil pemodelan inversi 3-D pada pengukuran di bak kaca

Gambar 13. Hasil pemodelan inversi 3-D pada pengukuran di bak kaca

Gambar 14. Hasil pemodelan inversi 3-D pada pengukuran di bak kaca
Pada pengukuran menggunakan metoda wenner (gambar 12), benda anomali tidak terdeteksi dengan baik,
sedangkan pada metoda lainnya yaitu dipole dpole (gambar 13) dan pole pole (gambar 14), benda anomali dapat
dideteksi dengan baik. Metoda pole pole menghasilkan gambar dengan penetrasi yang paling dalam.
Metoda Geolistrik 3-D untuk Kepadatan Tanah
Penelitian berikutnya adalah geolistrik 3-D untuk memetakan zona kepadatan tanah. Metoda yang dipakai adalah
metoda dipole-dipole dengan spasi antar elektroda 2,5 meter. Pada penelitian ini pengukuran di lapangan
menggunakan konfigurasi 2-D dengan jarak antar`lintasan 5 meter kemudian datanya diinversi menggunakan inversi
3-D. Hasil inversi dapat dilihat pada gambar 15.

190

PI November 2015

AGUS KUSWANTO – Pengembangan Metode Geolistrik 4-D

Gambar 15. Hasil pemodelan inversi 3-D pada pengukuran untuk kepadatan tanah
Pada gambar 15, tahanan jenis yang rendah berwarna terang sedangkan tahanan jenis tinggi berwarna merah
sampai merah tua. Verifikasi di permukaan memperlihatkan hasil bahwa zona dengan nilai tahanan jenis tinggi
adalah zona tanah padat.
Metoda Geolistrik 3-D untuk Identifikasi Gua
Penelitian selanjutnya adalah aplikasi metoda geolistrik 3-D untuk mengidentifikasi gua di bawah permukaan.
Pada penelitian ini konfigurasi yang dipergunakan adalah konfigurasi geolistrik 3-D seperti yang terlihat pada
gambar 16. Elektroda di susun pada arah sumbu x jumlahnya 8 sedangkan ke arah sumbu y jumlahnya 6. Jarak antar
elektroda 1 m, dan metoda yang dipakai adalah pole-pole.

Gambar 16. Konfigurasi elektroda pada pengukuran geolistrik 3-D untuk mendeteksi gua di Dago Bandung
Pengukuran dilakukan di permukaan tanah yang terletak di atas gua pada jarak kurang lebih 1.5 m. Posisi
pengukuran dan hasil pemodelan geolisrik 3-D dapat dilihat pada gambar 17.

191

PI November 2015

AGUS KUSWANTO – Pengembangan Metode Geolistrik 4-D

Gambar 17. Hasil pemodelan inversi 3-D pada pengukuran di gua di Dago Bandung
Gua mempunyai anomali yang sangat tinggi sehingga mudah dibedakan dari batuan sampingnya. Untuk
mendapatkan bentuk gua maka batuan yang mempunyai tahanan jenis rendah dibuat warna transparan sehingga
yang muncul dengan warna dan bentuk yang tegas adalah bentuk guanya. Dari hasil pemodelan ini dapat diketahui
bahwa bentuk gua yang diteliti ternyata tidak lurus horisontal melainkan ada penurunan dari mulut gua menuju ke
dalam.
Metoda Geolistrik 4-D untuk Air Tanah
Penelitian berikutnya adalah aplikasi geolistrik 4-D untuk meneliti perembesan air permukaan. Pengukuran 4-D
resistivity dilakukan di tanah lapang (gambar 18). Pada penelitian ini dilakukan pengukuran geolistrik 3-D dengan
ukuran grid 6 x 8, masing-masing elektroda berjarak 2 m. Pengukuran dilakukan berulang (time lapsed) sebanyak 3
kali pengukuran, dan diantara satu pengukuran dengan pengukuran lainnya terjadi hujan. Dengan demikian
diharapkan arah pergerakan meresapnya air hujan ke dalam tanah dapat diamati.

Gambar 18. Pengukuran geolistrik 4-D di tanah lapang
Suasana pengukuran adalah sebagai berikut :
Hari 1 :
Pengukuran dilakukan jam 13.00, kondisi mendung. Selanjutnya pada jam 15.00 hujan deras. Hujan deras ini
belum berhenti sampai pengukuran selesai dilakukan yaitu sekitar jam 17.00. Bahkan sampai malam hari , hujan
masih belum berhenti
Hari 2 :
Pengukuran ke-dua dimulai jam 08.00, cuaca cerah setelah terjadi hujan pada malam harinya. Selesai
pengukuran sekitar jam 12.00
Pada pengukuran ke-tiga yaitu sekitar jam 13.00 terjadi hujan deras lagi. Pengukuran ke-tiga selesai dilakukan
pada sekitar jam 17.00
Hasil Pengukuran 1
Hasil pengukuran dapat dilihat pada gambar 19. Warna biru menunjukkan zone yang mempunyai conductivity
tinggi. Diperkirakan zona ini adalah air permukaan (karena hujan) yang meresap ke dalam tanah
Hasil Pengukuran ke-2
192

PI November 2015

AGUS KUSWANTO – Pengembangan Metode Geolistrik 4-D

Warna biru tua adalah sebaran zona conductivity pada hari 1, sedangkan warna merah menunjukkan zona
conductivity pada pengukuran ke-2. Kisaran conductivity sama yaitu 0.1 ms-0.4 ms Terlihat bahwa pada
pengukuran ke-2 conductivity yang diperkirakan tempat air ini mempunyai zona yang lebih luas. Ini terjadi karena
antara pengukuran ke-1 dan ke-2 telah terjadi hujan lebat. Dengan melihat warna biru tua dan merah dapat
diperkirakan arah peresapan air permukaan tersebut.

Gambar 19. Hasil pemodelan inversi 3-D pada pengukuran di time lapse t1 sampai t3.

Hasil Pengukuran ke-3
Gambar 19 nomor 3, adalah hasil pengukuran pada pengukuran waktu ke1, ke-2 dan ke-3. Disini terlihat ada 3
warna yang berbeda yaitu biru tua, merah dan merah muda. Ketiga warna ini menunjukan zuatu zona conductivity
yang berada pada kisaran 0.1 ms-0.4 ms, tetapi pada waktu pengukuran yang berbeda-beda. Warna biru tua adalah
zona conductivity pada pengukuran ke 1, warna merah adalah zona conductivity pada pengukuran ke-2 dan warna
biru muda menunjukkan zona conductivity pada pengukuran ke-3. Selanjutnya zona conductivity ini diidentifikasi
sebagai zona yang terisi air. Dapat dilihat pada gambar tersebut bahwa warna yang paling sedikit adalah biru tua,
kemudian warna merah dan terakhir yang paling banyak warnanya adalah biru muda. Mengingat bahwa warna ini
menunjukan suatu zona yang terisi air maka dapat disimpulkan dari gambar ini bahwa dari pengukuran ke-1 ke
pengukuran ke-3 terjadi penambahan luas zona yang terisi air. Dari gambar ini dapat diihat pergerakan air dari atas
kemudian turun ke arah pojok sisi kiri.
KESIMPULAN
Metoda geolistrik 3-D dengan konfigurasi wenner memperlihatkan hasil yang kurang akurat baik ke arah
lateral maupun horisontal. Konfigurasi dipole dipole merupakan konfigurasi yang paling baik akurasinya namun
ditinjau dari penetrasinya, konfigurasi yang menghasilkan data paling dalam adalah konfigurasi pole pole.
Pada pengukuran di lapangan pada area yang luas, konfigurasi 3-D seringkali tidak dapat dilakukan karena
kurang praktis. Oleh karena itu jika mengharapkan hasil 3-D, maka dapat dilakukan dengan cara inversi 3-D
menggunakan data 2-D seperti yang dikemukakan Jackson et al (2001). Hasil inversi semacam ini dapat dilihat
pada gambar 15.
Gua mempunyai nilai tahanan jenis mendekati tak hingga sehingga dalam pengukuran menggunakan metoda
geolistrik, gua dapat diindentifikasi dengan baik karena mudah dikenali dibandingkan batuan sampingnya. Karena
bentuk gua yang tidak beraturan maka metoda yang paling baik untuk mengidentifikasi geometri gua adalah
menggunakan geolistrik 3-D.
Pengamatan untuk benda di bawah permukaan yang dinamis seperti perembesan lindi, perembesan air tanah,
dan lailnnya memerlukan pengamatan antar waktu (time lapse). Metoda geolistrik 3-D yang dilakukan dengan cara
193

PI November 2015

AGUS KUSWANTO – Pengembangan Metode Geolistrik 4-D

time lapse disebut juga metoda geolistrik 4-D. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa geolistrik 4-D ternyata cukup
akurat untuk pengamatan ini.
Metoda geolistrik 4-D dapat diaplikasikan di pada daerah yang dangkal misalnya mengamati perembesan lindi
ke dalam zona vadose. Seandainya kondisi lapangan memungkinkan geolistrik 4-D dapat juga dilakukan untuk
daerah yang lebih dalam seperti misalnya mengamati proses dewatering pada ekploitasi Coal Bed Methane (CBM),
serta monitoring pada steam injection di dunia perminyakan.
DAFTAR PUSTAKA

Dey, A., Morrison H.F., 1979. Resistivity Modelling for Arbitrarily Shaped Two-Dimensional Structures,
Geophysical Prospecting 27, I06 – I36.
Jackson P.D., Earl S.J., Reece G.J., 2001. 3D Resistivity Inversion Using 2D Measurement of the Electric Field,
Geophysical Prospecting, 2001, 49, p. 26-39.
Loke M.H., 2000. Electrical Imaging Surveys for Environmental and Engineering Studies, A practical guide to 2-D
and 3-D surveys,
Loke, M.H., Barker R.D., 1996. Practical Techniques for 3D Resistivity Surveys and Dta Inversion, Geophysical
Prospecting, 1996, 44, p. 449 - 523
Minas, M., 2010. Monitoring Runoff from Highways Using 2-D and 3-D Resistivity Methods : case Study from
Bjornnasvagen, Northern Stocckholm, Degree Project for the Master Program in Environmental Engineering
and Sustainable Infrastructure, Department of Land and Water Resources Engineering, Royal Institute of
Technology, Sweden.
Pidlisecky A, Haber, E. and Knight, R.J.,2007. RESINVM3D : A 3D resistivity inversion package, Geophysics, vol.
72 (march-April 2007),p.H1-H10
Reynolds J.M., 1997. An Introduction to Applied and Environmental Geophysics, John Willey and Sons Ltd.,
England
Yi , M.-J., Kim J.-H., Song Y., Cho S.-J., 2001. Three-dimensional Imaging of Subsurface Structures Using
resistivity Data, 2001, 49, 483-497

194