Persiapan Laos Menghadapi Komunitas Ekon

PERSIAPAN LAOS MENGHADAPI KOMUNITAS EKONOMI ASEAN 2015
PADA SEKTOR PEMBANGUNAN SUMBER DAYA MANUSIA
Disusun untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Komunitas Ekonomi ASEAN

Oleh:
Dian Fitriyani Agustin
(1206210830)

Departemen Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia
Depok, 2014

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
ASEAN sebagai sebuah institusi regional mengusung adanya pembentukan Komunitas ASEAN.

Dalam proses pembentukannya, ASEAN menggunakan tiga pilar, yaitu Komunitas Keamanan

ASEAN, Komunitas Sosial-Budaya ASEAN, dan Komunitas Ekonomi ASEAN, yang akan
mempersatukan ASEAN sebagai sebuah komunitas. Salah satu pilar, yaitu Komunitas Ekonomi
ASEAN (KEA), seperti yang dituliskan dalam ASEAN Vision 2020, bertujuan untuk memperdalam
dan memperluas integrasi ekonomi dalam kerangka waktu yang jelas. 1 Dalam hal ini, telah
ditentukan bahwa tahun 2015 merupakan target pencapaian KEA.
KEA berusaha menciptakan ASEAN untuk memiliki empat karakteristik kunci, yaitu: [1] pasar
dan basis produksi tunggal; [2] kawasan dengan tingkat kompetisi ekonomi yang tinggi; [3] kawasan
dengan pembangunan ekonomi yang adil; dan [4] kawasan yang sepenuhnya terintegrasi dengan
perekonomian global. Kerjasama KEA meliputi beberapa hal, di antaranya; [1] pembangunan sumber
daya manusia dan pembangunan kapasitas; [2] pengakuan atas kualifikasi tenaga profesional; [3]
konsultasi mengenai kebijakan makroekonomi dan finansial; [4] pengembangan hubungan atau
transaksi elektronik melalui e-ASEAN; [5] mengintegrasikan industri lintas batas dalam kawasan,
untuk mempromosikan regional sourcing; dan [6] meningkatkan keterlibatan sektor swasta dalam
pembangunan KEA. Singkatnya, KEA akan mentransformasikan ASEAN menjadi kawasan dengan
aliran barang, jasa, investasi, skilled-labour, dan modal yang bebas.2
Dengan adanya KEA 2015, negara anggota ASEAN harus mempersiapkan diri untuk memasuki
era liberalisasi ekonomi tersebut. Namun, mengingat adanya perbedaan kapasitas di dalam tubuh
ASEAN sendiri, pemberlakukan KEA bagi negara seperti Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam
(CLMV) disesuaikan menjadi tahun 2018.3 Bukan hanya itu, usaha ASEAN diiringi dengan program
“Narrowing Development Gap” bagi negara CLMV, karena development gap di antara mereka dinilai

akan menghalangi perkembangan KEA.4
Dari negara anggota ASEAN lainnya, Laos merupakan negara CLMV yang memiki development
gap yang besar.5 Cara untuk memperkecil gap tersebut salah satunya adalah dengan menciptakan
human capital, karena pembangunan SDM menjadi faktor terpenting dalam menjaga pertumbuhan
1 ASEAN, ASEAN Economic Community Blueprint (2008)
2 ASEAN, ASEAN Economic Community, diakses dari http://www.asean.org/communities/asean-economic-community,
pada 15 Desember 2014.
3 ASEAN, ASEAN Economic Community Blueprint
4 Phouphet Kyophilavong, “Narrowing Development Gaps in ASEAN: Perspective from Lao PRD” diakses dari
http://www.bot.or.th/Thai/EconomicConditions/Thai/Northeast/seminarNE/DocLib_seminar56/Phouphet--Narrowing
%20Development%20Gaps%20in%20ASEAN.pdf, pada 18 November 2014
5 Phouphet Kyophilavong

1

ekonomi jangka panjang di Laos. Adanya urgensi tersebut juga didukung dengan kondisi Human
Development Index (HDI) di Laos, yang menurun dari 0,57 di tahun 2000 menjadi 0,52 di tahun
2011. Dengan demikian, memperkuat SDM menjadi isu yang penting bagi Laos dalam menyambut
KEA.6 Untuk itu, makalah ini secara lebih lanjut akan meneliti mengenai proses persiapan
menyambut KEA yang dilakukan oleh Laos dalam sektor pembangunan sumber daya manusia,

terutama peningkatan taraf kesehatan serta pendidikan sekolah kejuruan bagi guru dan siswa yang
telah menjadi fokus Laos.7
1.2.

Rumusan Masalah
“Bagaimana Laos mempersiapkan diri dalam rangka memasuki Komunitas Ekonomi ASEAN

khususnya di sektor pengembangan sumber daya manusia?”
1.3.

Kerangka Teori/Konsep

1.3.1. Liberalisasi Perdagangan, Pertumbuhan Ekonomi, dan Human Capital
Liberalisasi perdagangan dinilai mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara
signifikan dalam perekonomian dunia. Terkait dengan hal tersebut, perlu juga mengetahui mengenai
dampak human capital pada pertumbuhan ekonomi, yang memang telah menarik perhatian dunia
beberapa tahun belakangan.8 Ada dua pendekatan yang mampu menjawab bagaimana human capital
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pertama, human capital dianggap sebagai input
dalam proses produksi.9 Kedua, human capital dinilai sebagai sumber pertumbuhan produktivitas.10
Ketersediaan human capital menentukan kapasitas ekonomi suatu negara untuk melakukan inovasi

dan mengimplementasikan teknologi, kemudian membantu adanya persebaran dan proses catch-up
dengan perkembangan teknologi yang ada. Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa tingkat human
capital berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi.
Konsep human capital sendiri memang telah menempati posisi yang signifikan dalam teori
pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, masalah yang muncul adalah masih belum jelasnya cara
mengukur tingkat human capital. Beberapa scholars menggunakan tingkat keikutsertaan penduduk
dalam pendidikan menengah suatu negara sebagai indikator human capital.11 Sementara, scholars
6 Phouphet Kyophilavong
7 Hugh Pei-Hsiu Chen, “CLMV and the AEC 2015: The Rising of Continental Southeast Asia and Its Implications to
Taiwan” (30 Oktober 2013)
8 Imran Sharif Chadhry, “Exploring the Causality Relationship between Trade Liberalization, Human Capital and
Economic Growth: Empirical Evidence from Pakistan” (2010) hlm. 2
9 Uzawa dan Lucas dalam Imran Sharif Chaudhry, hlm. 2
10 Nelson dan Phelps dalam Imran Sharif Chaudhry, hlm. 2
11 Romer dan Weil dalam Imran Sharif Chaudhry, hlm. 2

2

lain menilai tingkat keikutsertaan dalam pendidikan dasar sebagai indikatornya. 12 Beberapa scholars
yang lain juga ada yang menilai bahwa rata-rata jangka waktu pendidikan yang menjadi

indikatornya.13 Bukan hanya itu, indikator lain juga dapat ditentukan dari tingkat pendidikan suatu
negara.14 Dengan demikian, memang secara umum dalam teori human capital, pendidikan menjadi
komponen penting dalam pertumbuhan ekonomi.
1.3.2. Human Capital and Human Development
Konsep lain mengenai human capital juga dijelaskan oleh Chayodom Sabhasri. Dia
menjelaskan bahwa sumber daya manusia (SDM) dapat ditransformasikan menjadi human capital
melalui pendidikan, pelatihan, kesehatan, dan penanaman moral values. Pengeluaran negara dalam
sektor pendidikan, pelatihan, dan kesehatan menjadi bentuk investasi human capital yang dapat
meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, kesehatan, dan values yang dimiliki masyarakat. Semakin
tinggi pendapatan dan standar hidup, akan semakin menghasilkan peningkatan produktivitas
ekonomi. Bukan hanya pendidikan formal yang dapat meningkatkan produktivitas tersebut, tetapi hal
tersebut dapat didukung oleh tenaga kerja yang belajar dari proses job training. Kemajuan teknologi
dapat pula meningkatkan pertumbuhan ekonomi, karena ada skilled workers yang mampu
mengoperasikannya. Pendidikan dan pelatihan, bersamaan dengan tingkat kecanggihan teknologi,
dapat berkontribusi secara signifikan dalam pertumbuhan ekonomi.15
Human capital sendiri secara langsung berhubungan dengan human development, di mana hal
tersebut digambarkan melalui Human Development Index (HDI), yang merupakan komposisi ratarata tingkat pemenuhan tiga dimensi human development setiap negara, yaitu [1] tingkat harapan
hidup dan kesehatan; [2] pendidikan; dan [3] standar kehidupan.16

BAB II

PEMBAHASAN
12 Sala-i-Martin, Doppelhofer, dan Miller dalam Imran Sharif Chaudhry, hlm. 2
13 Barro dan Lee dalam Imran Sharif Chaudhry, hlm. 2
14 Schultz; Becker; Lucas; Romer; Rebelo dalam Imran Sharif Chaudhry, hlm. 2
15 Chayodom Sabhasri, “Human Resources, Innovation, and Harmonization of Standards” dalam Rizal Sukma dan
Yoshihide Soeya, Beyond 2015: ASEAN-Japan Strategic Partnership for Democracy, Peace, and Prosperity in Southeast
Asia (2013): hlm. 115
16 Chayodom Sabhasri, hlm. 115

3

2.1. Kondisi Laos: Tantangan dan Potensi yang Dimiliki dalam Menyambut KEA
Seperti yang telah disebutkan di latar belakang, Laos merupakan salah satu negara dengan
development gap yang besar jika dibandingkan dengan negara anggota ASEAN yang lain.
Development gap dapat dilihat dari perolehan GDP per kapita suatu negara. Dalam ASEAN sendiri,
pada tahun 2010, GDP per kapita Laos adalah 984 US $, di mana hanya unggul dari 2 negara, yaitu
Myanmar (702 US $) dan Kamboja (814 US $). Oleh karena itu, delevopment gap Laos mendapat
ranking 138 dan termasuk tiga terbawah dari sepuluh negara anggota ASEAN. Hal tersebut dapat
menghalangi usaha Laos untuk dapat memenangi kompetisi di KEA 2015. Berikut adalah
perbandingan GDP dan GDP per kapita yang diperoleh kesepuluh negara anggota ASEAN:

Tabel 1. Development Gap di ASEAN Berdasarkan GDP dan GDP per Kapita

Sumber: Phouphet Kyophilavong
Tabel 2. Nilai dan Ranking Development Gap di ASEAN

Sumber: Phouphet Kyophilavong

Tantangan lain yang dihadapi oleh Laos adalah masih rendahnya tingkat HDI yang dimiliki jika
dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Padahal, HDI merupakan komponen yang dapat
mendukung kualitas SDM. Jika tingkat HDI tinggi, maka suatu negara sudah memiliki modal yang
4

besar untuk berkompetisi, misalnya dalam era liberalisasi ekonomi. Berikut adalah data HDI,
Education Index, GNI per Kapita di ASEAN tahun 2012:
Grafik 1. HDI, Educational Index, and Gross National Income of ASEAN Members 2012

Sumber: Chayodom Sabhasri (2013): hlm. 116

Tantangan lainnya yang dimiliki oleh Laos adalah, pertama, pembangunan human capital Laos
masih tergolong rendah. Kedua, biaya produksi di Laos masih tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh

sudah usangnya teknologi yang dipakai, operasionalnya juga masih tergolong berskala kecil dan
tidak efisien, transaction cost juga tinggi, serta infrastruktur yang kurang memadai. Ketiga, Laos
masih memiliki kekurangan dalam bidang teknologi. Keempat, pembangunan infrastruktur di Laos
juga masih minim. Kelima, Laos dinilai terlalu menekankan pada ekspansi industri dan penguatan
industri.17
Namun demikian, Laos juga memiliki beberapa kelebihan yang secara potensial dapat dijadikan
modalnya dalam menghadapi KEA. Pertama, Laos tidak rentan dengan krisis finansial global, karena
tidak terlalu terpapar oleh investasi global. Kedua, Laos unggul dalam sektor pertambangan. Ketiga,
Laos juga unggul dalam sektor energi. Keempat, Laos unggul dalam sektor konstruksi. Kelima, Laos
unggul dalam sektor industri primer, khususnya agrikultur.18
Dari data di atas, terlihat bahwa Laos merupakan negara yang memiliki HDI yang rendah. Selain
itu, Laos juga memiliki beberapa kekurangan lainnya yang menjadi masalah bagi Laos, mengingat
kompetisi KEA 2015 sudah semakin dekat. Namun demikian, Laos masih berpeluang untuk bertahan
bahkan memenangi kompetisi KEA, sebab Laos memiliki banyak kelebihan yang dapat dijadikan
modal. Untuk menutupi kekurangan sekaligus memaksimalkan potensinya tersebut, Laos
membangun SDM-nya agar dapat menjadi human capital yang mampu diandalkan dalam kompetisi

17 Denise Jannah Serrano, Kurt See dan James Sy, “In Pursuit of the ASEAN Economic Community: Closing the
Development Gap between CLMV and ASEAN-6 Through the Initiative for ASEAN Integration” (10 December 2013)
18 Denise Jannah Serrano, Kurt See dan James Sy


5

KEA. Laos perlu mempersiapkan pembenahan sektor kesehatan serta pendidikan, karena kedua
sektor tersebut merupakan sektor yang mampu meningkatkan kualitas suatu masyarakat.
2.2. Usaha Pengembangan SDM Laos
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai usaha pengembangan SDM Laos, penulis akan
menjelaskan mengenai persiapan yang telah atau sedang dilakukan Laos dalam sektor kesehatan dan
pendidikan untuk menyambut KEA.
2.2.1. Persiapan dalam Sektor Kesehatan Laos
Pada perayaan HUT Laos yang ke-17, Kementrian Luar Negeri Laos berkesempatan untuk
mengingatkan para dokter, perawat, dan tenaga medis dari Kementrian Kesehatan, untuk
mempersiapkan diri dalam menyambut integrasi KEA. Menurut Deputi Menteri Luar Negeri,
Alounkeo Kittikoun, reformasi kesehatan menjadi penting dalam menyambut KEA. Ia
mengatakan bahwa Laos harus mempertimbangkan sektor mana yang seharusnya dipertahankan
bagi masyarakat lokal Laos dan sektor mana yang harus dibuka dalam kompetisi KEA. Ia telah
mengingatkan Menteri Kesehatan mengenai sektor yang perlu segera diperhatikan, seperti SDM,
keuangan kesehatan, manajemen kesehatan, work methodology administration, pelayanan
kesehatan, serta informasi kesehatan dan sektor data system. Sektor-sektor tersebut dianggap
krusial dalam memastikan pencapaian target Millennium Development Goals (MDGs) oleh

Kementrian Kesehatan. Pada perayaan tersebut, lebih dari 200 partisipan mendapatkan sosialisasi
mengenai visi, strategi, kesempatan, dan tantangan yang dihadapi Laos di tingkat ASEAN. 19
Sektor kesehatan memang diminta untuk mempersiapkan KEA. Kementrian Kesehatan
Laos telah mendorong rumah sakit besar di Vientiane untuk melakukan upgrade fasilitas mereka
dalam mempersiapkan integrasi ekonomi tersebut. Perbaikan juga diperlukan di berbagai daerah
dalam hal pelayanan kesehatan, termasuk di dalamnya dokumen legal, administrasi, aturan dan
prinsip pelaksanaan pekerjaan, bersamaan dengan ketentuan jam kerja pekerja medis. Instalasi
peralatan modern dan pelatihan SDM diperlukan untuk meningkatkan standar fasilitas medis
Laos. Laos sendiri sebenarnya kesulitan dalam hal pendanaan, namun, hal tersebut dapat diatasi
dengan kolaborasi bersama sektor swasta, sehingga kolaborasi tersebut dapat saling
menguntungkan.20

19 Vientiane Times, “Health Sector Prepares for AEC”, Vietstock, diakses dari http://en.vietstock.vn/2014/08/healthsector-prepares-for-aec-71-183417.htm, pada 15 Desember 2014 (15 Agustus 2014)
20 Xayxana Leukai “Medical Sector Upgrades to Prepare for AEC”, Vientiane Times, diakses dari
http://www.vientianetimes.org.la/FreeContent/freeCont_Medical.htm, pada 16 Desember 2014 (4 Juli 2014)

6

Bounnack mengatakan bahwa jika Laos memiliki standar yang baik dalam sistem
perawatan kesehatan, Laos tidak hanya mengurangi jumlah potensi warga negara yang ingin

berobat ke negara tetangga, tapi juga dapat menarik warga asing yang tinggal di Laos atau
sekitarnya untuk menerima perawatan medis dari dokter-dokter Laos. Bounnack juga
menyarankan rumah sakit daerah dan provinsi untuk meningkatkan pelayanan mereka dan
memastikan bahwa mereka mampu beroperasi sebagai rumah sakit umum yang juga mampu
melakukan spesialisasi pada bidang khusus, misalnya seperti Rumah Sakit Mahosot yang
melakukan spesialisasi di bidang jantung. 21
Meskipun sudah ada perencanaan peningkatan pelayanan kesehatan, beberapa tantangan
masih ditemui Laos. Misalnya, adanya kualitas dan kuantitas tenaga medis Laos yang masih
rendah. Kebanyakan dokter di Laos bekerja dalam tiga peran berbeda, yaitu memberikan
pengobatan, pengajaran, dan pelatihan. Akibatnya, pasien tidak selalu dapat menerima perawatan
medis yang memadai dari dokter, karena mereka sering ditinggal pergi mengajar mahasiswa di
universitas atau pelatihan staf medis di tingkat provinsi. Tenaga medis di Laos tidak memiliki
ketrampilan tertentu yang setara dengan tenaga medis ASEAN, misalnya dalam hal penggunaan
peralatan medis yang modern. Sebab, di Laos peralatan yang modern jarang digunakan.
Peningkatan ketrampilan tenaga profesional kelak tidak hanya memberikan keuntungan bagi
pasien, tapi juga memberikan dokter Laos kesempatan untuk bekerja di negara ASEAN lainnya.
Sejauh ini, Kementrian Kesehatan telah menyarankan universitas dengan rumpun ilmu
kesehatan untuk mengembangkan kurikulum pascasarjana yang sejalan dengan negara ASEAN
lainnya untuk memastikan dokter-dokter masa depan Laos memang berkualitas. Kurikulum ini
sedang dikembangkan dalam kerjasama dengan Vietnam dan Thailand.22
Mengenai bentuk nyata lainnya terkait pelaksanaan usaha peningkatan level kesehatan di
Laos sendiri, Laos dibantu oleh Pemerintah Jerman melaksanakan program pembangunan demi
menyambut KEA. Salah satu lembaga pemerintah yang membantu Laos adalah Deutsche
Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ), yang merupakan kerjasama internasional
dan teknis untuk membangun kapasitas institusi dan manusia dari Jerman.. Di bawah fokus untuk
membantu kerjasama regional, GIZ salah satunya membantu program peningkatan taraf kesehatan
anak-anak usia sekolah di Laos. Program tersebut bernama “Fit for School” yang berbasis di
Filipina.23

21 Xayxana Leukai
22 Xayxana Leukai
23 GIZ, “German Development Cooperation in Laos”, diakses dari
https://www.giz.de/en/downloads_els/Dt_EZ_Portfolio_Laos_EN1409558501427_47.pdf, pada 16 Desember 2014.

7

Pelaksanaan program “Fit for School” dibantu oleh Kementrian Federal Kerjasama
Ekonomi dan Pembangunan Jerman. Program ini ditargetkan untuk anak-anak di tingkat sekolah
dasar dan sudah diselenggarakan sejak tahun 2011. Program ini didasari oleh adanya perhatian
bahwa anak-anak usia sekolah di Asia Tenggara masih rentan menderita diare, infeksi saluran
pernapasan akut, cacingan, gigi berlubang, yang disebabkan oleh tidak higienisnya lingkungan.
Penyakit-penyakit tersebut mempengaruhi perkembangan fisik dan kognitif anak dan akan
berdampak pada prospek masa depan mereka dan kemampuan mereka dalam belajar. Program ini
dilaksanakan di berbagai sekolah dasar, dengan memperkenalkan cara mencuci tangan dengan
sabun dan menyikat gigi yang baik dan benar. Selain itu, program ini juga membantu
meningkatkan akses terhadap air bersih dan menyediakan fasilitas sanitasi yang berorientasi pada
anak-anak usia sekolah. Hal ini dianggap penting dalam menciptakan lingkungan sekolah yang
sehat untuk meningkatkan kesehatan jangka panjang.24
Program

ini

dinilai

cukup

efektif,

karena

dapat

dibiayai

secara

lokal

dan

diimplementasikan dengan SDM yang ada. Berkat tingkat partisipasi yang tinggi, program
kesehatan di sekolah ini telah menyentuh mayoritas anak-anak usia sekolah di Laos, terlepas dari
latar belakang sosial-ekonomi mereka. Keberhasilan program ini ditentukan oleh beberapa faktor.
Pertama, kesederhanaan, di mana program ini dilaksanakan untuk memerangi penyakit, dengan
cara-cara yang dapat dilakukan dengan mudah dan biaya rendah. Kedua, skalabilitas, di mana
program ini mengembangan model implementasi dan menggunakan fasilitas pendidikan yang ada
untuk melaksanakan program nasional. Ketiga, keberlanjutan, di mana program ini telah
mengamankan pendanaan pemerintah pusat dan lokal untuk menjamin kelangsungannya, serta
dengan aktif melibatkan orang tua dan masyarakat lokal untuk memperkuat tanggung jawab
pribadi dan transparansi.25
2.2.2. Persiapan dalam Sektor Pendidikan Laos
2.2.2.1.

Vocational Education in Laos (VELA)

Dalam bidang pendidikan, Laos juga melakukan persiapan untuk menyambut KEA.
Terdapat sebuah program yang dilaksanakan oleh Pemerintah Laos yang bekerja sama dengan
GIZ , yaitu Vocational Education in Laos (VELA).26 Program ini selain dibantu oleh Pemerintah

24 GIZ “Fit for School-Effective School Health Programme”, diakses dari http://www.giz.de/en/worldwide/14407.html,
pada 15 Desember 2014.
25 GIZ, “Fit for School”
26 GIZ, “Vocational Education in Laos (VELA)”, diakses dari http://www.giz.de/en/worldwide/26261.html, pada 15
Desember 2014.

8

Jerman, ternyata juga dibantu oleh Pemerintah Swiss sebagai co-financer. Jangka waktu
pelaksanaan program VELA adalah dari tahun 2013-2017.
Peningkatan integrasi Laos pada pasar regionalnya, memberikan kesempatan sekaligus
tantangan bagi negara yang relatif memiliki perekonomian kecil ini. Atas adanya KEA di tahun
2015 nanti, Laos jelas membutuhkan skilled-workers untuk mengembangkan produk-produk yang
kompetitif, bagi pasar domestik maupun internasional. Dengan adanya pergerakan skill-labour
yang sudah diliberalisasi, tenaga kerja di Laos harus dipersiapkan untuk menghadapi tekanan dari
peningkatan kompetisi dengan negara-negara tetangganya. Pemerintah Laos menggunakan
pendidikan kejuruan sebagai kunci strategi meningkatkan level competitiveness Laos. Pemerintah
akan memberikan pendidikan khusus kejuruan dan pelatihan standar tinggi bagi para generasi
muda, sehingga mereka dapat sukses memasuki pasar tenaga kerja dan memulai hidup yang
mandiri. Namun demikian, sayangnya, pendidikan kejuruan secara tradisional mendapat citra
yang kurang baik di Laos, terkait dengan kurangnya ahli teknis dan pengajar di sekolah, yang
berlanjut pada terhambatnya usaha untuk mencapai pembangunan ekonomi yang luas dan
sustainable.27
Siswa yang termarjinalisasi, sekarang dapat mengikuti program pendidikan ini. Dalam
sistem pendidikan yang baru ini, bukan hanya negara yang terlibat, tetapi juga pihak swasta dan
masyarakat. Melalui kemitraan dengan swasta, sekolah kejuruan ini dapat mmemberikan siswa
keterampilan dan pengajaran yang lebih practice-oriented. Dengan demikian, mereka akan lebih
cocok untuk langsung masuk ke pasar tenaga kerja. Untuk memfasilitasi program ini, terdapat
2.000 posisi magang di perusahaan yang akan disediakan untuk tempat para siswa belajar dan
praktik di lingkungan kerja.28
Pemuda-pemuda di pedesaan yang tidak mendapat pendidikan atau pelatihan formal,
dapat diuntungkan dengan adanya pendidikan kejuruan ini. Sebab, banyak beasiswa yang
ditawarkan dalam program VELA. Selain itu, terdapat sebelas sekolah kejuruan yang menerima
bantuan langsung, agar mampu menampung banyak siswa yang kurang mampu dan putus
sekolah. Siswa-siswa tersebut nantinya dapat mengikuti pelatihan, bahkan mendapatkan sertifikat
resmi, dengan biaya yang sudah di-cover sepenuhnya oleh VELA.29
Sejauh ini, program VELA telah membantu Laos dalam membentuk kerangka peraturan
pendidikan kejuruan yang koheren, serta menetapkan standar dan revisi kurikulum pengajaran.
Kursus pelatihan untuk guru yang disediakan VELA juga meningkatkan kualitas sekolah
27 GIZ, “Vocational Education in Laos (VELA)”
28 GIZ, “Vocational Education in Laos (VELA)”
29 GIZ, “Vocational Education in Laos (VELA)”

9

kejuruan. Sejak GIZ mendukung program ini, angka guru kejuruan yang terakreditasi meningkat
menjadi 34-70 orang setiap tahunnya. Bukan hanya itu, lulusan SMK di Laos juga secara umum
bekerja dengan baik di lingkungan kerjanya. Menurut data, pada tahun 2013, ada 63% orang yang
berhasil mendapat pekerjaan dalam waktu enam bulan setelah lulus sekolah. Selain itu, ada 75%
di antaranya bekerja di bidang yang telah dilatih. Hampir 70% dari lulusan SMK menilai bahwa
sertifikasi pelatihan kejuruan sangat berguna. Dari total 1.000 partisipan, terdapat 41,5% pemudi
yang mengikuti pelatihan di desa yang memperoleh ketrampilan praktis untuk meningkatkan taraf
hidupnya. Beberapa hal yang diajarkan saat itu adalah budidaya jamur, penggunaan mesin kecil,
dan perbaikan pompa air.30
TVET Teacher Education Programme (TTEP) 31

2.2.2.2.

Untuk meningkatkan skilled-labour yang diperlukan dalam menyambut KEA,
Pemerintah Laos ingin meningkatkan kualitas pendidikan kejuruan, melalui program Teacher
Vocational Education and Training (TVET) pada tahun 2012-2016. Sama halnya dengan
program VELA, program TVET juga dibantu oleh Pemerintah Jerman. Pengembangan skilledlabour di Laos mengalami hambatan atas adanya dua hal. Pertama, adanya citra buruk
pendidikan kejuruan. Kedua, adanya 22 sekolah kejuruan negeri yang memiliki kurikulum yang
terlalu teoritis, tidak memiliki banyak tenaga pengajar ahli dan staf manajerial. Hal ini
disebabkan kurangnya kualifikasi yang tepat bagi staf pengajar kejuruan, yang tidak memenuhi
standar kualitas praktik internasional, serta terbatasnya jumlah tempat pelatihan guru TVET.32
Adanya pendidikan dan pelatihan guru sekolah kejuruan dapat meningkatkan kualitas
dan kuantitas tenaga ahli. Untuk itu, GIZ melalui program TVET Teacher Education Programme
(TTEP) yang mendukung Laos melalui:33
a. Pemberian saran bagi peningkatan kualitas dan meningkatkan ketersediaan pendidikan bagi guru
sekolah kejuruan. Dalam hal ini, TTEP akan memberikan saran kepada instansi terkait seperti
Kementrian Pendidikan dan Olahraga, Jurusan Pendidikan Guru Kejuruan di Universitas Nasional
Laos, dan Lembanga Pengembangan Pendidikan Kejuruan. Prioritas TTEP mencakup
pengembangan kerangka peraturan, adaptasi pengaturan akademik, penyusunan standard baru,
meninjau kurikulum dan membangun proses monitoring yang tepat.
b. Promosi kemitraan dengan sektor swasta, proyek internasional, serta regional di sektor pelatihan
kejuruan lainnya.
c. Pengukuran untuk meningkatkan standar pelatihan guru dengan mengintegrasikan unit pelatihan
praktis dalam perusahaan atau memegang workshop pelatihan untuk guru, serta dengan
30 GIZ, “Vocational Education in Laos (VELA)”
31 GIZ, “TVET Teacher Education Programme”, diakses dari http://www.giz.de/en/worldwide/17468.html, pada 15
Desember 2014.
32 GIZ, “TVET Teacher Education Program”
33 GIZ, “TVET Teacher Education Program”

10

menyelenggarakan praktik pelatihan di akhir semester dengan waktu yang dibagi rata antara
sekolah kejuruan dengan perusahaan swasta.

Sejauh ini, TTEP telah memperoleh beberap hasil. Pertama, sebuah undang-undang
tentang TVET yang baru telah disusun. Kedua, standar guru SMK telah ditetapkan. Ketiga,
kurikulum yang lebih berorientasi praktik direvisi berdasarkan standar yang direkomendasikan
Kementrian Pendidikan. Keempat, sekolah teknik Jerman dan fakultas teknik di universitas di
Laos telah menandatangani kerjasama, di mana sekolah akan menjadi tuan rumah model
pengajaran praktis bagi mahasiswa Laos. Program ini juga telah meningkatkan jumlah peserta
pelatihan guru kejuruan, dari 14 orang pada tahun 2009 menjadi 70 pada akhir 2012, di mana
sebanyak 50% pesertanya adalah perempuan.34
2.3. Analisis Persiapan Laos dalam Menghadapi KEA 2015
Seperti yang telah dijelaskan dalam kerangka teori, human capital dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Atas dasar hal tersebut, usaha untuk membangun SDM agar
menjadi human capital perlu dilakukan agar perekonomian suatu negara tumbuh dan mampu
bersaing dalam era liberalisasi ekonomi. Terkait dengan persiapan Laos dalam membangun SDMnya menjadi human capital, penulis menilai bahwa Laos pada dasarnya sudah menyadari pentingnya
pembenahan dalam sektor kesehatan dan pendidikan. Laos menyadari bahwa kualitas SDM-nya yang
rendah dapat menghalanginya untuk memenangi kompetisi KEA.
Persiapan yang dilakukan Laos dalam menyambut KEA tercermin dari adanya beberapa
program peningkatan taraf kesehatan dan pelayanan kesehatan yang didorong oleh pemerintah dan
didukung oleh sektor swasta dan masyarakat. Namun, usaha Laos ini masih terkendala kurangnya
dana, terkait dengan masih rendahnya pendapatan negara Laos. Hal tersebut cukup membuat Laos
kesulitan dalam melakukan reformasi sektor kesehatannya. Laos kemudian bekerjasama dengan
beberapa negara, baik di dalam maupun di luar ASEAN untuk membantunya dalam program
pembangunan kualitas kesehatan. Penulis menilai hal tersebut sebagai perkembangan yang positif
dan cukup membantu Laos dalam membangun kualitas SDM-nya, baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang.
Selain di sektor kesehatan, Laos juga mempersiapkan sektor pendidikannya yang diketahui
memerlukan banyak pembenahan. Laos mengutamakan sektor pendidikan kejuruan, terkait dengan
kesadaran atas pentingnya skilled-labor dalam kompetisi KEA. Dalam hal ini, Laos juga telah
mempersiapkan dengan baik program, VELA dan TTEP sebagai program yang mendukung
peningkatan kualitas SDM kejuruan, baik siswa maupun pengajar. Pelaksanaan program ini juga
34 GIZ, “TVET Teacher Education Program”

11

melibatkan banyak pihak di luar pemerintah Laos sendiri, seperti swasta, masyarakat, dan negara
lain. Terlihat bahwa Laos menyadari pentingnya proses pendidikan dan job training, yang menurut
teori juga mampu meningkatkan produktivitas ekonomi suatu negara. Jika program ini terus
dilanjutkan, penulis menilai Laos akan semakin memperoleh banyak modal untuk menghadapi
kompetisi KEA.
Persiapan pengembangan SDM dalam menyambut KEA, baik yang telah atau sedang
dilakukan oleh Laos, menurut penulis cukup tepat sasaran dan praktis. Sebab, mengingat KEA
merupakan liberalisasi ekonomi yang mendorong adanya liberalisasi skilled-labor, sektor pendidikan
dan kesehatan penting dibenahi untuk mendukung terciptanya tenaga-tenaga ahli masa depan yang
berkualifikasi dan berkualitas. Namun demikian, penulis juga menilai bahwa Laos perlu
memperhatikan unsur ketersediaan dana demi keberlanjutan program tersebut. Mengingat programprogram di atas hanya berjalan dalam jangka waktu tertentu, dan dana yang tersedia juga terbatas.
Selain itu, penulis juga belum melihat usaha Pemerintah Laos dalam mengatasi isu kesehatan
yang penting lainnya, seperti tingkat harapan hidup, angka kematian bayi, dan kematian ibu
melahirkan. Padahal, pada tahun 2009, Laos merupakan negara dengan tingkat harapan hidup yang
rendah (peringkat delapan), tingkat kematian bayi yang tinggi (peringkat dua), dan angka kematian
ibu melahirkan yang tinggi (peringkat satu) jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya.
Berikut datanya:
Tabel 3. Non-Income Poverty in ASEAN

Sumber: Jayant Menon (2012): hlm. 27

Bukan hanya itu, penulis juga tidak menemukan bagaimana Pemerintah Laos berusaha untuk
memperbaiki kualitas pendidikan secara umum. Meskipun fokus Pemerintah Laos adalah pendidikan
kejuruan, tetapi penulis menilai kualitas pendidikan secara umum juga perlu ditingkatkan, mengingat
12

tidak semua masyarakat Laos mengikuti pendidikan kejuruan. Terlebih, dilihat dari data di atas,
angka melek huruf di Laos (tahun 2005) berada di peringkat paling bawah jika dibandingkan dengan
negara ASEAN lainnya. Tabel merupakan data komponen yang termasuk dalam kategori non-income
poverty. Jika angka-angka tersebut masih memprihatinkan, berarti kualitas kesehatan masyarakat
Laos masih rendah, yang kemudian akan berdampak pada kualitas SDM secara keseluruhan.
Peningkatan kualitas kesehatan dan pendidikan menjadi penting, pasalnya berdasarkan data
yang penulis dapatkan, dua bidang tersebut menentukan pengentasan kemiskinan bagi Laos. Berikut
adalah datanya:
Tabel 4. Kontribusi Kesehatan, Pendidikan, dan Standar Hidup
dalam Mengurangi Kemiskinan di Laos

Sumber: UNDP (2013)

Dari data di atas, dapat dilihat bahwa tingkat kesehatan akan berkontribusi pada pengurangan
kemiskinan sebesar 27,9%, sementara pendidikan berkontribusi sebesar 33,1%. Jika peningkatan
kualitas kesehatan dan pendidikan dapat berjalan dengan baik, maka rakyat Laos dapat keluar dari
jurang kemiskinan dan mampu mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Sementara itu,
kontribusi terbesar yang dapat diberikan oleh peningkatan standar hidup merupakan kontribusi
tertinggi. Usaha Laos sendiri dalam meningkatkan standar hidup salah satunya adalah dengan
pembangunan infrastruktur di desa, khususnya perbaikan jalan, untuk memastikan terbukanya akses
pasar bagi penduduk desa, yang kelak akan meningkatkan pendapatan dan mengurangi kemiskinan. 35
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa meningkatkan akses pasar, termasuk kualitas, sangat penting
bagi komersialisasi dan peningkatan pendapatan yang stabil yang berguna untuk mengurangi
kemiskinan. Untuk itu, pembangunan jalan di pedesaan memang harus diprioritaskan, khususnya
jalan yang menghubungkan desa dengan pasar. Akses tersebut akan memberikan kesempatan bagi
petani di pedesaan untuk terhubung dengan demand atas produk mereka dalam negeri maupun
regional. Dengan demikian, taraf hidup masyarakat pedesaan akan meningkat.
Pembangunan SDM selain menjadi tanggung jawab setiap negara anggota, juga menjadi
tanggung jawab ASEAN sebagai institusi regional. Dalam usaha integrasi ekonomi melalui KEA,
negara ASEAN perlu membantu negara CLMV untuk memperkecil gap pembangunannya.
35 Syviengxay Oraboune, “Infrastructure Development in Lao PDR” (2008) dalam N. Kumar, International Infrastructure
Development in East Asia-Towards Balanced Regional Development and Integration, ERIA Research Project Report.
Chiba: IDE-JETRO, (2007): hlm. 196-197.

13

Sebenarnya, ASEAN sendiri telah berusaha membantu melalui Initiatives for ASEAN Integration
(IAI). Sumbangan terbesar negara ASEAN-6 dalam IAI memang ditujukan untuk sektor
pembangunan SDM. Berikut adalah datanya:
Gambar 1. Kontribusi Negara ASEAN-6 dalam IAI Tahun 2009

Sumber: Denise Jannah Serrano, Kurt See dan James Sy

Gambar 2. Distribusi Proyek IAI Berdasarkan Program Tahun 2009

Sumber: Denise Jannah Serrano, Kurt See dan James Sy

Meskipun demikian, masih terdapat beberapa masalah dalam implementasi IAI. Pertama, IAI
dinilai kurang memberikan kerangka kerja dan program bantuan yang spesifik bagi negara CLMV.
Kedua, IAI masih dinilai gagal dalam memperhitungkan keuntungan atau potensi yang dimiliki
CLMV. Ketiga, kurangnya perencanaan program jangka panjang yang berkelanjutan. Keempat,
masih buruknya koordinasi antara negara ASEAN-6 dengan CLMV. Kelima, masih bermasalahnya
pendekatan yang luas dan mendalam. Keenam, kurangnya investasi IAI untuk mendorong
pengurangan kemiskinan, pembangunan infrastruktur, dan teknologi komunikasi dan informasi
CLMV.36 Dengan demikian, baik negara CLMV maupun ASEAN-6, masih harus sama-sama
berjuang dalam mempersiapkan KEA 2015.

2.4. Refleksi bagi Indonesia
Adanya usaha persiapan yang dilakukan oleh Laos dapat menjadi bahan pembelajaran bagi
Indonesia, mengingat Indonesia juga masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus
36 Denise Jannah Serrano, Kurt See, dan James Sy

14

diselesaikan untuk menyambut KEA. Persiapan yang dilakukan Laos dalam bidang kesehatan perlu
ditiru oleh Indonesia, baik dalam hal pembenahan kualitas kesehatan maupun pelayanan kesehatan.
Hal ini mengingat masih banyak daerah-daerah di Indonesia yang tingkat kesehatannya rendah.
Bukan hanya itu, berdasarkan data HDI negara ASEAN yang telah ditampilkan sebelumnya,
Indonesia masih berada di bawah negara Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Padahal, GDP Indonesia merupakan perolehan GDP tertinggi dibandingkan dengan negara ASEAN
lainnya. Indonesia memiliki potensi yang besar untuk mampu membiayai pembenahan sektor
kesehatan. Untuk itu, dalam peningkatan kualitas SDM, seharusnya Indonesia dapat lebih bekerja
keras serta belajar dari persiapan yang telah dilakukan oleh Laos.
Dalam persiapan yang dilakukan oleh Laos di bidang pendidikan, terlihat bahwa Laos juga
sangat memperhatikan pendidikan kejuruan. Sayangnya, pendidikan kejuruan di Indonesia jsutru
belum dinilai berharga. Di Indonesia, pendidikan akademis teoritis lebih dihargai dibandingkan
pendidikan kejuruan. Hal tersebut terlihat dari kesempatan beasiswa yang didapatkan oleh
mahasiswa perguruan tinggi program S1, S2, atau S3, lebih banyak jika dibandingkan kesempatan
beasiswa untuk mahasiswa D3 atau sekolah kejuruan lainnya. Padahal, skilled-labour banyak
dibutuhkan dalam era liberalisasi ekonomi seperti KEA. Hal inilah yang patut menjadi pertimbangan
Pemerintah Indonesia. Seharusnya, pendidikan kejuruan di Indonesia lebih diperhatikan. Misalnya,
dengan lebih meningkatkan kualitas Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) serta memberikan
beasiswa baik di dalam maupun luar negeri untuk mahasiswa kejuruan seperti D3. Hal tersebut
nantinya dapat meningkatkan kualitas skilled-labour Indonesia.

BAB II
KESIMPULAN

15

Dengan demikian, dapat penulis simpulkan bahwa persiapan pembangunan SDM yang
dilakukan oleh Laos sudah meliputi dua bidang penting, yaitu kesehatan dan pendidikan. Laos sudah
menjalankan beberapa program yang melibatkan beberapa pihak di luar pemerintah. Meskipun
demikian, sektor kesehatan Laos masih perlu banyak dibenahi, terutama peningkatan angka harapan
hidup, pengurangan angka kematian bayi dan ibu. Pembenahan di sektor pendidikan secara umum
juga belum dilakukan, terkait dengan angka melek huruf di Laos yang masih rendah.
Adanya pembangunan SDM oleh Laos menunjukkan bahwa human capital sebuah negara
memang penting untuk dipersiapkan dalam berkompetisi di tingkat regional maupun internasional.
Terlepas dari berlimpahnya SDA yang dimiliki suatu negara, sebenarnya kualitas SDM adalah faktor
yang menentukan keberhasilan negara dalam berkompetisi di era liberalisasi ekonomi ini. Untuk itu,
adanya hal tersebut juga dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia, di mana kuantitas SDA yang sangat
mencukupi di Indonesia, harus diimbangi dengan peningkatan kualitas SDM. Hal tersebut yang akan
menentukan suatu bangsa akan menjadi bangsa pemenang dalam kompetisi KEA atau hanya sekedar
menjadi pasar bagi bangsa lain.

DAFTAR PUSTAKA
ASEAN, ASEAN Economic Community Blueprint (2008)
16

ASEAN,
ASEAN
Economic
Community,
diakses
http://www.asean.org/communities/asean-economic-community, pada 15 Desember 2014.

dari

Chadhry, Imran Sharif. “Exploring the Causality Relationship between Trade Liberalization,
Human Capital and Economic Growth: Empirical Evidence from Pakistan” (2010)
Chen, Hugh Pei-Hsiu. “CLMV and the AEC 2015: The Rising of Continental Southeast Asia
and Its Implications to Taiwan” (30 Oktober 2013)
GIZ “Fit for School-Effective School Health Programme”,
http://www.giz.de/en/worldwide/14407.html, pada 15 Desember 2014.

diakses

dari

GIZ,
“German
Development
Cooperation
in
Laos”,
diakses
dari
https://www.giz.de/en/downloads_els/Dt_EZ_Portfolio_Laos_EN1409558501427_47.pdf, pada 16
Desember 2014.
GIZ,
“TVET
Teacher
Education
Programme”,
http://www.giz.de/en/worldwide/17468.html, pada 15 Desember 2014.
GIZ,
“Vocational
Education
in
Laos
(VELA)”,
http://www.giz.de/en/worldwide/26261.html, pada 15 Desember 2014.

diakses
diakses

dari
dari

Kyophilavong, Phouphet. “Narrowing Development Gaps in ASEAN: Perspective from Lao
PRD”
diakses
dari
http://www.bot.or.th/Thai/EconomicConditions/Thai/Northeast/seminarNE/DocLib_seminar56/Phou
phet--Narrowing%20Development%20Gaps%20in%20ASEAN.pdf, pada 18 November 2014
Leukai, Xayxana. “Medical Sector Upgrades to Prepare for AEC”, Vientiane Times, diakses
dari http://www.vientianetimes.org.la/FreeContent/freeCont_Medical.htm, pada 16 Desember 2014
(4 Juli 2014)
Menont, Jayant. Narrowing the Development Divide in ASEAN: The Role of Policy. ADB
Working Paper Series Regional Economic Integration, No. 10 (July, 2012)
Oraboune, Syviengxay. “Infrastructure Development in Lao PDR” (2008) dalam N. Kumar,
International Infrastructure Development in East Asia-Towards Balanced Regional Development and
Integration, ERIA Research Project Report. Chiba: IDE-JETRO, (2007): hlm. 166-203.
Sabhasri, Chayodom. “Human Resources, Innovation, and Harmonization of Standards”
dalam Rizal Sukma dan Yoshihide Soeya, Beyond 2015: ASEAN-Japan Strategic Partnership for
Democracy, Peace, and Prosperity in Southeast Asia (2013)
Serrano, Denise Jannah, et. al. “In Pursuit of the ASEAN Economic Community: Closing the
Development Gap between CLMV and ASEAN-6 Through the Initiative for ASEAN Integration”
(10 December 2013)
UNDP. Human Development Index Report 2013: Lao People’s Democratic Republic (2013)
Vientiane Times, “Health Sector Prepares for AEC”, Vietstock, diakses dari
http://en.vietstock.vn/2014/08/health-sector-prepares-for-aec-71-183417.htm, pada 15 Desember
2014 (15 Agustus 2014)

17