TEORI KOMUNIKASI media dan budaya

TEORI KOMUNIKASI
Media and Culture

Kelompok 4

Meviana Ratnaning
Astria Karismawati
Kevin Arighi*
Dita Aprilia*
KM13A

Review
Dalam tugas kali ini, terdapat tiga teori yang dihadirkan oleh para ahli mengenai
media dan budaya. Ketiga teori ini menjelaskan secara rinci adanya hubungan antara media
dan budaya. Hubungan yang terdapat antara media dan budaya lebih digambarkan sebagai
hubungan yang mempengaruhi. Jadi, bisa dikatakan bahwa media dalam komunikasi massa
memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kebudayaan manusia.
Seperti teori pertama yang dibawakan oleh Ronald Barthes. Teori yang bernamakan
semiotics ini mengatakan bahwa gambar-gambar dalam media memiliki arti tertentu selain
dirinya sendiri. Dalam teori ini, manusia dikatakan sebagai spesies yang dapat di dorong
keinginannya untuk membentuk makna dari gambar-gambar tersebut.

Teori kedua adalah cultural studies dari Stuart Hall . Teori kritik ini mengatakan
bahwa media massa memiliki fungsi untuk mempertahankan ideologi orang-orang yang
memiliki kekuasaan. Media yang dikendalikan oleh korporat mampu memberikan discourse
yang dapat membentuk frame interpretation dari orang-orang yang termarginalkan. Orangorang yang tak berdaya dianggap akan langsung menerima ideologi yang ditawarkan oleh
media yang dikuasai oleh korporat.
Pada teori ketiga, ini jelas mengatakan bahwa media memiliki hubungan
mempengaruhi terhadap kebudayaan manusia. Teori yang dinamakan Technological
Determinism oleh Marshall McLuhan melihat perubahan budaya manusia seiring dengan
perubahan teknologi dalam bidang komunikasi. Alat-alat komunikasi yang diciptakan oleh
manusia dikatakan akan kembali membentuk cara manusia berfikir, merasa, serta berperilaku.
***

SEMIOTICS
(Ronald Barthes)
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda. Salah satu tokoh
penting semiotika adalah Roland Barthes. Roland Barthes adalah seorang praktisi yang
merubah pemikirannya tentang cara tanda-tanda bekerja. Semiotika memberikan wawasan
besar ke dalam penggunaan tanda-tanda, yang disalurkan melalui media massa.
Wrestling with signs
Barthes menggambarkan semiotika sebagai suatu mitos. Teori Barthes dari makna

konotatif sangat dipengaruhi dari pemikiran Ferdinand De Saussure, Saussure tertarik pada
cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna,
tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan

makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Ia juga yang menciptakan istilah
semiologi serta yang menganjurkan kajiannya. Barthes menggambarkan prinsip-prinsip
intinya ini menjadi 2:
1. A Sing Is the Combination of Its Signifier and Signified
Tahap ini lebih melihat secara denotasi. Denotasi ialah tahap mempelajari tanda
secara bahasa.
2. A Sign Does Not Stand on Its Own: It Is Part of a Sytem
Tahap ini melihat secara konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan
hubungan penanda dan petanda yang didalamnya beroprasi makna yang tidak
langsung dan tidak pasti.
The yellow ribbon transformation
Barthes berpendapat bahwa sistem mitos atau konotatif adalah urutan kedua sistem
semilogical yang di bangun dari sebuah sistem tanda.
The making of myth
Barthes menyatakan bahwa setiap tanda ideologis terdapat dua sistem tanda yang
saling berhubungan. Sistem satu adalah penanda dan yang ke dua yaitu pertanda. Mitos yang

berurusan dengan semiologi telah berkaitan dengan dua istilah, yakni penanda (signifier) dan
petanda (signified), dan kemudian bertautan lagi dengan istilah sign (tanda).
Unsmaking the myth of homogeneous society
Barthes menyimpulkan bahwa masyarakat tentang konotasi slalu berakhir sama.
Yaitu, mitos memperkuat nilai-nilai yang dominan dari suatu budaya yang mereka miliki.
The semiotics of mass communication
Tanda-tanda semiotik semakin dikenal ketika disiarkan melalui media massa. Karena,
tanda-tanda serta isu-isu merupakan bagian yang integral dari komunikasi massa. Barthes
menyimpulkan bahwa, informasi yang disampaikan oleh media massa tentang suatu mitos
adalah komoditas dengan tema berkhayal.
***

CURLUTRAL STUDIES
(Stuart Hall)
Teori Cultural studies ini dikembangkan oleh Stuart Hall untuk mengkritik teori
komunikasi yang melihat hubungan antara media massa dengan kebudayaan manusia sebagai
sesuatu yang sederhana, Hall berpandangan seperti begitu karena ia terpengaruh oleh teori
marx. Ia melihat mdia sebagai kekuatan bagi orang-orang yang terpinggirkan. Dalam teori ini
ia menyatakan bahwa media adalah ideologi yang yang kuat karena Hall percaya bahwa
media berfungsi untuk mempertahankan dominasi yang telah ada.

The media as powerfull ideological tools
Hall sangat yakin bahwa media adalah alat yang kuat bagi korporat yang memiliki
dominasi dalam ideologi dan politik tanpa memikirkan kaum miskin yang tidak memiliki
kekuatan. Contohnya adalah istilah mainstream yang mengatakan bahwa semua masyarakat
memiliki kesempatan yang sama, serta kedudukan yang setara, namun itu hanyalah sebuah
myth of democratic pluralisme atau kepura-puraan. Istilah articulate adalah yang lebih tepat
untuk menggambarkan peran media dalam mempengaruhi kaum yang termarginalkan, yaitu
keahlian berbicara mengenai penindasan serta menghubungkan proses penaklukan yang
dilakukan oleh media komunikasi.
Early cultural critics
Akar dari teori ini adalah pemikiran Marx yang memprediksikan bahwa tidak akan
ada kelas dalam masyarakat dan ekonomi yang didominasi oleh kaum kapitalis. Kemudian
para teoris dari Frankfurt mengajukan argumentasinya mengapa kedua prediksi Marx tidak
dapat terwujudkan. Hal tersebut dikarenakan media dikendalikan oleh korprasi, berita
maupun hiburan yang ditampilkan dalam media menggambarkan seakan-akan sistem
kapitalisme adalah natural, abadi, dan tidak dapat diubah.
Pendapat lainnya diajukan oleh Ronald Barthes yang mengatakan bahwa signs dalam
media memiliki kemampuan untuk mempengaruhi budaya masyrakat atau yang disebut
dengan semiotic. Namun, semiotic tidak memberikan penjelasan yang cukup mengapa makna
dapat dihubungkan dengan simbol tertentu. Oleh karena itu, Hall berpaling pada pendapat

Michel Foucault yang mengatakan bahwa Marxist dan semiologist tidak memperhatikan
hubungan antara kekuatan sosial dengan komunikasi. Untuk membuat sesuatu lebih masuk

akal, orang harus memiliki sebuah framework yang tersedia dalam discourse yang dominan.
Ia menghadirkan istilah discoure untuk mengibaratkan sebuah jembatan antara semiotics dan
economic determinism.
Making meaning
Dalam bukunya, Hall menyataan bahwa fungsi utama discourse adalah untuk
membentuk sebuah makna. Makna tidak bersal dari sekedar kata-kata, melainkan makna
terbentuk dari bagaimana setiap orang mengartikan kata-kata tersebut sesuai dengan
situasinya. Setiap orang dapat memiliki makna yang berbeda-beda, hanya saja pihak-pihak
yang memiliki kekuatan lebih besar lebih bisa mempengaruhi pembentukan makna orangorang yang tidak memiliki kekuatan.
Corporate control of mass communication
Pihak yang memiliki kekuatan lebih atau yang disebut dengan korporasi ternyata tidak
hanya mampu mempengaruhi masyarakat dalam membentuk suatu makna, tetapi juga mampu
untuk mengendalikan komunikasi massa atau media.

Menurut Hall, korprasi memiliki

kemampuan untuk mengendalikan sumber informasi yang dapat mempengaruhi budaya

manusia agar terlihat berbeda dari korporasi multinasional sebabi isu utama cultural studies
bukan informasi apa yang diberikan, melainkan itu informasi milik siapa.
An obstinate audience
Faktanya, media selalu menyediakan peristiwa yang disukai oleh orang-orang.
Namun, hal tersebut tidak menjamin bahwa mereka akan langsung menerima atau mengantuk
ideologi yang ditawarkan. Hall percaya bahwa orang-orang yang dikatakan tak berdaya
mampu melawan ideologi dominan serta menerjemahkan pesan dengan cara yang
menurutnya cocok untuk minatnya. Berikut adalah 3 pilihan dalam mendecode suatu pesan:
1. Operating inside the dominant code. Penonton membaca sesuatu yang lebih
disukainya.
2. Applying a negotiable code. Penonton memahami ideologi yang ditawarkan, tetapi
menentan kegunaannya dalam situasi tertentu.
3. Substituting an oppositional code. Penonton mengatur berita yang tidak jelas dan
membuat prasangka.
***

TECHNOLOGICAL DETERMINISM
(Marshall McLuhan)
Marshall McLuhan mengemukakan teori ini pada tahun 1962 ketika ia menyadari
bahwa teknologi mampu mempengaruhi bagaimana individu dalam masyarakat berfikir,

merasa, serta bertindak. Teori ini mengatakan bahwa terdapat peruabahan pada budaya
manusia dalam berkomunikasi seiring dengan berkembangnya teknologi.
Menurut McLuhan perubahan pada budaya manusia dalam berkomunikasi ditandai oleh:
1. Penemuan teknologi dalam bidang komunikasi.
2. Perubahan jenis-jenis komunikasi.
3. Peralatan untuk berkomunikasi.
Pada teori ini, McLuhan mengatakan bahwa teknologi tidak muncul dengan sendirinya
melainkan diciptakan serta dikembangkan oleh manusia untuk mempermudah segala proses
kehidupan, salah satunya adalah untuk berkomunikasi. Teknologi yang dibentuk oleh
manusia tersebut ternyata berbalik membentuk cara manusia berfikir, berperasaan dan
berperilaku dalam berkomunikasi.
Pengaruh dari teknologi komunikasi terhadap kehidupan manusia terus terjadi, bahkan
sampai menghasilkan perubahan yang revolusioner. McLuhan membagi 4 periode penting
dalam komunikasi manusia. Periode pertama adalah “tribal age” dimana manusia masih
sangat tradisional, mereka berkomunikasi secara lisan dan langsung. Masyarakat pada masa
itu sangat menganggap penting indra pendengaran. Periode tersebut berakhir ketika manusia
mulai menemukan alfabet, atau yang disebut dengan “literate age”. Pada masa itu,
masyarakat mulai berkomunikasi menggunakan tulisan sehingga indra penglihatanlah yang
dianggap paling penting. Berikutnya adalah periode “print age” dimana mesin cetak telah
diciptakan oleh Gutenberg. Alat untuk berkomunikasi ternyata semakin banyak terus

berkembang hingga akhirnya masyrakat mengandalkan alat tersebut untuk memudahkan
proses komunikasi tanpa harus bertatap secara langsung, tanpa berbicara, bahkan tanpa harus
menulis. Periode seperti berikut adalah yang disebut oleh McLuhan sebagai “electronic age”.
Periode dimana kita berada sekarang.
McLuhan mengatakan bahwa pengaruh teknologi dapat dibedakan menjadi dua macam
yaitu, hard determinism dan soft determinism. Hard determinism melihat perkembangan

teknologi melalui kehidupan sosial. Mereka mengatakan bahwa teknologi menciptakan
kekuatan yang powerful untuk mengatur aktifitas sosial dan makna dari sosial tersebut.
Sedangkan soft determinism melihat hubungan antara teknologi dengan kehidupan sosial
lebih pasif.
Semakin berkembangnya electronic age, teknologi semakin menyebabkan perubahan
pada kehidupan manusia dalam berbudaya. Manusia kini lebih mengandalkan teknologi
untuk berkomunikasi, sehingga kebudayaan di periode tribal age sudah tersingkirkan.
McLuhan bahkan mengahdirkan sebuah metafora dengan nama suhu untuk menjelaskan
penggunaan indra manusia terhadap media tertentu. Media ada yang “Hot” dan ada yang
“Cool” dimana yang “Hot” adalah media yang mengandalkan satu indra seperti radio atau
foto dan menganggap penoton sebagai pasif karena mereka hanya menerima pesan yang
sudah disediakan oleh media tersebut. Sedangkan media yang “Cool” memerlukan manusia
untuk menggunakan lebih dari satu indra untuk memahami pesan yang terdapat dalam media

tersebut, seperti TV. Manusia dianggap aktif oleh cool media karena untuk memahami makna
apa yang ditonton dalam TV membutuhkan lebih banyak upaya.
Melalui teori ini, McLuhan mengatakan bahwa perkembangan teknologi pada periode
electronic age menyebabkan jiwa sosial seseorang semakin melemah.

Sumber:
http://www.allsands.com/potluck2/potluck2/technologicalde_ubp_gn.htm
http://www.doctordi.ca/COMS201/TechDeterminism.html
http://erlangga04.wordpress.com/2012/12/17/teori-technological-determinism-marshallmcluhan/
http://pratiwitiwik.wordpress.com/2010/11/02/technological-determinism-theory/
***

USES AND GRATIFICATION
(Blumler and Katz)

Dalam teori ini Blumler dan Katz mengatakan bahwa manusia adalah “active” dalam
menggunakan media massa. Manusia cenderung mencari dan memilah media yang memiliki
sumber dari kebutuhan untuk memenuhi kepuasan mereka.
Terdapat 5 asumsi yang mendasari teori ini, yaitu:
1. audiens dianggap aktif dalam menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan

tertentu.
2. Insiatif yang menghubungkan antara kepuasan dan pilihan terletak pada audiens.
3. Media berkompetisi dengan sumber kepuasan lainnya.
4. Manusia memiliki kesadaran diri dalam menggunakan media.
5. Nilai yang terdapat pada media hanya bisa dinilai oleh audiens.
Menurut Blumler dan Katz, manusia menggunakan media untuk tujuan tertentu.
Penonton yang dikatakan sebagai “active” dengan sadar menyeleksi media yang akan
digunakannya serta pengaruh apa yang akan mereka inginkan dari media tersebut.
Berdasarkan penelitian, manusia menonton TV untuk memenuhi kepuasannya. Macammacam kepuasannya ternyata telah dikategorikan menjadi 8 dalam tipologi mengenai
penggunaan media serta kepuasannya, oleh Rubin. Rubin mengatakan bahwa manusia
menonton TV untuk memenuhi kepuasan seperti:
1. Passing time
2. Companionship
3. Escape
4. Enjoyment
5. Social interaction
6. Relaxation
7. Information
8. Excitement
Ia sangat yakin bahwa tipologi diatas dapat menjelaskan sebagian besar mengapa manusia

menonton TV.
Meskipun dalam teori ini ditegaskan bahwa manusia sangat selektif dalam
menggunakan media, manusia harus tetap mengenali atau menyadari kebutuhan apa yang

mereka cari untuk memenuhi kepuasan tertentu. Apabila tidak jelas kebutuhannya yang
dianggap mampu memenuhi kepuasan, maka media akan mempengaruhi seluruh perhatian
serta waktu kita, sehingga efek yang didapatkan dari penggunaan media adalah negatif.
Selain itu, teori ini juga mengatakan bahwa pesan dari media tidak selalu memberikan
pengaruh yang sama terhadap orang yang berbeda. Hal tersebut disebabkan oleh keinginan
untuk membangun parasocial relationship dari setiap penonton juga berbeda-beda.
Parasocial relationship adalah rasa pertemanan atau emosional yang tumbuh antara penonton
dengan media yang mereka tonton. Parasocial relationship bisa tumbuh apabila penonton
menganggap media sebagai teman, ketika penonton mengahayal sedang terlibat dalam acara
kesukaannya, atau ketika sedang membayangkan bertemu dengan artis favoritnya. Istilah
parasocial relationship dihadirkan oleh Rubin untuk memprediksikan bagaimana media
dapat mempengaruhi orang yang berbeda dengan cara yang berbeda.

Sumber:
Em Griffin. 2011. A First Look At Communication Theory. 8th edition. New York: McGraw
Hill, hlm. 357-363
***

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PROSES KOMUNIKASI INTERPERSONAL DALAM SITUASI PERTEMUAN ANTAR BUDAYA STUDI DI RUANG TUNGGU TERMINAL PENUMPANG KAPAL LAUT PELABUHAN TANJUNG PERAK SURABAYA

97 602 2

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24