Tugas Hukum HAM kasus Cebongan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai
anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat diganggu gugat keberadaannya.Hak-hak
tersebut telah dibawa sejak lahir dan melekat pada diri manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa. Disini setiap manusia memiliki derajat dan martabat yang sama.Sebagai warga negara
yang baik, kita harus menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia tanpa membedakan status,
golongan, keturunan, jabatan dan lain sebagainya.
Sejarah tentang HAM sesungguhnya dapat dikatakan hampir sama tuanya dengan
keberadaan manusia di muka bumi. Mengapa dikatakan demikian, karena HAM memiliki sifat
yang selalu melekat (inherent) pada diri setiap manusia, sehingga eksistensinya tidak dapat
dipisahkan dari sejarah kehidupan umat manusia.
Berbagai upaya untuk mewujudkan HAM dalam kehidupan nyata –sejak dahulu hingga
saat sekarang ini– tercermin dari perjuangan manusia dalam mempertahankan harkat dan
martabatnya dari tindakan sewenang-wenang penguasa yang tiran. Timbulnya kesadaran
manusia akan hak-haknya sebagai manusia merupakan salah satu faktor penting yang
melatarbelakangi dan melahirkan gagasan yang kemudian dikenal sebagai HAM.
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia.
Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau

berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai
manusia.1Dengan demikian, faktor-faktor seperti ras, jenis kelamin, agama maupun bahasa tidak
dapat menegasikan eksistensi HAM pada diri manusia.
Pelanggaran terhadap HAM seseorang memiliki arti bertentangan dengan hukum yang
berlaku di Indonesia.Organisasi yang menjadi wadah pengurus permasalahan seputar hak asasi
manusia diIndonesia adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Kasus
pelanggaran ham di Indonesia masih banyak yang belum tuntas, sehingga diharapkan
1

Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, Ithaca and London: Cornell University
Press, 2003, hlm. 7-21 dan Maurice Cranston, What are Human Rights? New York: Taplinger, 1973 dalam Rhona
K. M. Smith, et. al., Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM-UII, 2008, hlm. 11.

1

perkembangan ham di Indonesia[ dapat menuju ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh HAM
di Indonesia adalah Munir,ia tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari
Indonesia.
Contoh hak-hak yang tergolong ke dalam hak asasi manusia (HAM), diantaranya:2
 Hak untuk hidup.

 Hak untuk memperoleh pendidikan.
 Hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain.
 Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama.
 Hak untuk mendapatkan pekerjaan.
Aturan tentang Hak asasi manusia terdapat di dalam UUD 1945 perubahan ke 2 pasal 28a
sampai 28 J.
Permasalahan HAM yang banyak terjadi dewasa ini, tidak hanya meliputi antar
masyarakat dengan masyarakat yang memiliki berbagai perbedaan seperti Suku, Agama, Ras,
dan Antargolongan saja, subjeknya bisa negara dalam artian Pemerintah, maunpun aparat
penegaknya.
Hal ini cukup meresahkan banyak pihak terutama masyarakat atau rakyat pada umumnya,
karena orang atau pihak yang seharusnya menjadi pelindung dan penjamin keamanan, kehidupan
dan kesejahteraannya justru harus menjadi pihak yang ditakuti.
Salah satunya adalah kasus penembakan sekaligus pembunuhan secara tidak manusiawi
terhadap empat tersangka pembunuh Serka Heru Santoso oleh Kopassus Grup II Kandang
Menjangan.
Oleh karena hal-hal tersebut diatas, Kami akan membahas Makalah dengan Judul “Kasus
Penyerangan Lapas Cebongan : Penerapan Teori, Konsep dan Prinsip HAM”.
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi Masalah yang akan kami bahas adalah mengenai :

Bagaimana penerapan Teori, Konsep, dan Prinsip HAM dalam Kasus Penyerangan Lapas
Cebongan oleh Kopasus Grup II Kandang Menjangan?

2

Dikutip darihttp://fatah33.blogspot.com/2011/02/pengertian-dan-pelanggaran-pelanggaran.html

pada

tanggal 14 September 2013 pukul 16.43 WIB

2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Ruang Lingkup HAM3
HAM adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia,tanpa hak-hak itu manusia
tidak dapat hidup layak sebagai manusia.Menurut John Locke HAM adalah hak-hak yang
diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Dalam pasal 1

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi,
dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Sedangkan ruang lingkup HAM meliputi:
 Hak pribadi: hak-hak persamaan hidup, kebebasan, keamanan, dan lain-lain;
 Hak milik pribadi dan kelompok sosial tempat seseorang berada;
 Kebebasan sipil dan politik untuk dapat ikut serta dalam pemerintahan; serta
 Hak-hak berkenaan dengan masalah ekonomi dan sosial.
Hakikat Hak Asasi Manusia sendiri adalah merupakan upaya menjaga keselamatan
eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan
dengan kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi
Hak Asasi Manusia menjadi kewajiban dan tangung jawab bersama antara individu, pemeritah
(Aparatur Pemerintahan baik Sipil maupun Militer),dan negara.
Berdasarkan beberapa rumusan hak asasi manusia di atas, dapat ditarik kesimpulan
tentang beberapa sisi pokok hakikat hak asasi manusia, yaitu :

3


Dikutip dari http://makalahhakasasimanusiaham.blogspot.com/ Pada tanggal 16 September 2013 pukul 20.10 WIB

3

a. HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun di warisi, HAM adalah bagian dari manusia
secara otomatis.
b. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis,
pandangan politik atau asal usul sosial, dan bangsa.
c. HAM tidak bisa dilanggar, tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau
melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara
membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM.
B. Teori HAM
a. Teori hukum alam / teori hukum kodrati
Teori ini berpandangan bahwa HAM adalah hak yang dimiliki oleh seluruh manusia pada
segala waktu dan tempat berdasarkan takdirnya sebagai manusia.
b. Teori hukum Positif
Teori ini menolak teori hak-hak kodrati.Keberatan utama dari teori ini dikarenakan sumber
dari hak-hak kodrati dianggap tidak jelas.Menurut positivism, suatu hak harus berasal dari
sumber yang jelas, seperti dari peraturan perundang-undangan atau konstitusi yang dibuat oleh
Negara.Kaum positivis berpendapat bahwa eksistensi hak hanya dapat diturunkan dari hokum

Negara.
c. Teori Universal-Absolut4
Teori ini melihat HAM sebagai nilai-nilai universalseperti yang dirumuskan didalam The
Internasional Bill of Human Right. Penganut pandangan ini adalah negara-negara maju
sedangkan bagi negara-negara berkembang seringkali dipandang eksploitatif karena menerapkan
HAM sebagai instrumen penilai.
d. Teori Universal-Relatif
Teori ini memandang HAM sebagai masalah universal, namun pengecualian yang didasarkan
atas asas-asas hokum internasional tetap diakui keberadaannya.Sebagai contoh ketentuan yang
diatur dalam pasal 29 UDHR.

e. Teori Partikularistik-Absolut
4

Bagir Manan, Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusiadan Negara Hukum, Jakarta : Gaya Media Pratama,
1996. Hlm. 15

4

Teori ini memandang HAM sebagai persoalan bangsa tanpa alasan yang kuat khususnya

dalam penolakan terhadap berlakunya dokumen-dokumen internasional.Pandangan ini bersifat
egois,depensif dan pasif tentang HAM.
f. Teori Partikularistik-Relatif
Teori

ini

memandang

HAM

sebagai

masalah

universal

dan

masalah


nasional

bangsa.Berlakunya dokumen-dokumen internasional harus diserasikan dan diseimbangkan serta
memperoleh dukungan dalam budaya bangsa.Pandangan ini tidak depensif tapi juga secara aktif
berusaha mencari pembenaran karakteristik HAM yang dianutnya.
C. Konsep Dasar Hak Asasi Manusia5
Konsep atau pengertian dasar hak asasi manusia (HAM) beraneka ragam antara lain dapat
ditemukan dari penglihatan dimensi visi, perkembangan, Deklarasi Hak Asasi Universal/PBB
(Universal Declaration of Human Right/UDHR), dan menurut UU No. 39 Tahun 1999.
Konsep hak asasi manusia dilihat dari dimensi visi, mencakup visi filsafati, visi yuridis konstitusional dan visi politik ( Saafroedin Bahar,1994:82).
Visi filsafati sebagian besar berasal dari teologi agama-agama, yang menempatkan jati
diri manusia pada tempat yang tinggi sebagai makhluk Tuhan.
Visi yuridis konstitusional, mengaitkan pemahaman hak asasi manusia itu dengan tugas,
hak,wewenang dan tanggungjawab negara sebagai suatu nation-state.
Sedangkan visi politik memahami hak asasi manusia dalam kenyataan hidup sehari-hari,
yang umumnya berwujud pelanggaran hak asasi manusia, baik oleh sesama warga masyarakat
yang lebih kuat maupun oleh oknum-oknum pejabat pemerintah.
Dilihat dari perkembangan hak asasi manusia, maka konsep hak asasi manusia mencakup
generasi I, generasi II, generasi III, dan pendekatan struktural (T.Mulya Lubis,1987: 3-6).

Generasi I konsep HAM , sarat dengan hak-hak yuridis, seperti tidak disiksa dan ditahan, hak
akan equality before the law (persamaan dihadapan hukum), hak akan fair trial (peradilan yang
jujur), praduga tak bersalah dan sebagainya. Generasi I ini merupakan reaksi terhadap kehidupan
kenegaraan yang totaliter dan fasistis yang mewarnai tahun-tahun sebelum Perang Dunia II.

5

Dikutip dari http://desentralisasi-otonomi.blogspot.com/2012/04/konsep-dasar-hak-asasi-manusia.html

pada

tanggal 15 September 2013 pukul 22.55 WIB

5

Generasi II konsep HAM, merupakan perluasan secara horizontal generasi I, sehingga
konsep HAM mencakup juga bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya. Generasi II,
merupakan terutama sebagai reaksi bagi negara dunia ketiga yang telah memperoleh
kemerdekaan dalam rangka mengisi kemerdekaananya setelah Perang Dunia II.
Generasi III konsep HAM, merupakan ramuan dari hak hukum, sosial, ekonomi, politik

dan budaya menjadi apa yang disebut hak akan pembangunan (the right to development). Hak
asasi manusia di nilai sebagai totalitas yang tidak boleh dipisah-pisahkan. Dengan demikian, hak
asasi manusia sekaligus menjadi satu masalah antar disiplin yang harus didekati secara
interdisipliner.
Pendekatan struktural (melihat akibat kebijakan pemerintah yang diterapkan) dalam hak
asasi manusia. seharusnya merupakan generasi IV dari konsep HAM. Karena dalam realitas
masalah-masalah pelanggaran hak asasi manusia cenderung merupakan akibat kebijakan yang
tidak berpihak pada hak asasi manusia. Misalnya, berkembangnya sistem sosial yang memihak
ke atas dan memelaratkan mereka yang dibawah, suatu pola hubungan yang "repressive". Sebab
jika konsep ini tidak dikembangkan, maka yang kita lakukan hanya memperbaiki gejala, bukan
penyakit. Dan perjuangan hak asasi manusia akan berhenti sebagai pelampiasan emosi
(emotional outlet).
D. Prinsip HAM6
Prinsip-prinsip Dasar Hak-Hak Asasi Manusia:
1. HAM bersifat universal (universality).
Semua orang di seluruh dunia terikat pada HAM.Universality merujuk pada nilai-nilai
moral dan etika tertentu yang dimiliki bersama di seluruh wilayah di dunia, dan Pemerintah serta
kelompok masyarakat harus mengakui serta menjunjungnya. Meskipun begitu, universalitas dari
hak bukan berarti bahwa hak-hak tersebut tidak dapat berubah ataupun harus dialami dengan
cara yang sama oleh semua orang. Universalitas HAM tercakup pada kata-kata di pasal 1

DUHAM: “Semua manusia dilahirkan bebas dan setara dalam martabat dan hak.
2. HAM tidak dapat direnggut (inalienability).
6

Dikutip dari http://herizal-effendi-arifin.blogspot.com/2011/08/ringkasan-pasal-pasal-deklarasi.html Pada

tanggal 14 September 19.35 WIB

6

Ini berarti hak yang dimiliki tiap orang tidak dapat dicabut, diserahkan atau dipindahkan.
3. HAM tidak dapat dipisah-pisah (indivisibility).
Hal ini merujuk pada kepentingan yang setara dari tiap-tiap hak asasi manusia, apakah itu
sipil, politik, ekonomi, sosial ataupun budaya.Seluruh hak asasi manusia memiliki status yang
setara, dan tidak dapat ditempatkan pada pengaturan yang bersifat hirarkis. Hak seseorang tidak
dapat diingkari oleh karena orang lain memutuskan bahwa hak tersebut kurang penting atau
bukan yang utama. Prinsip indivisibility ini diperkuat kembali oleh Deklarasi Wina, 1993.
4. HAM bersifat saling tergantung (interdependency).
Hal ini merujuk pada kerangka kerja pelengkap dari hukum hak asasi manusia.
Pemenuhan satu hak seringkali tergantung, sepenuhnya atau sebagian, pada pemenuhan hak yang
lain. Sebagai contoh, pemenuhan hak atas kesehatan mungkin tergantung pada pemenuhan hak
atas pembangunan, atas pendidikan atau informasi. Sama saja, kehilangan satu hak juga akan
menyebabkan terabainya hak-hak yang lain.
5. Prinsip kesetaraan (Equality)
Merujuk pada pandangan bahwa seluruh manusia diberkati dengan hak asasi manusia
yang sama tanpa ada perbedaan. Kesetaraan bukan berarti memperlakukan orang secara sama,
tetapi lebih pada mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk lebih memajukan keadilan
sosial untuk semua.
6. Prinsip tanpa diskriminasi (non-discrimination)
Adalah satu kesatuan dengan konsep kesetaraan. Prinsip non-diskriminatif melingkupi
pandangan bahwa orang tidak dapat diperlaukan secara berbeda berdasarkan kriteria yang
bersifat tambahan dan tidak dapat diijinkan. Diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit,
kesukuan, jender, usia, bahasa, ketidak-mampuan, orientasi seksual, agama, politik atau pendapat
lainnya, asal-usul secara sosial atau geografis, kepemilikan, kelahiran atau status lainnya yang
dibuat oleh standard HAM internasional, melanggar HAM.
Pandangan tentang partisipasi dan inklusi (mengikutsertakan), seperti juga akuntabilitas
dan supremasi hukum (rule of law”) adalah paradigma penting ketika kita berbicara tentang
HAM.
7. Prinsip partisipasi dan inklusi (participation and Inclusion)
Setiap orang dan semua orang memiliki hak untuk berpartisipasi dalam serta mengakses
informasi yang berhubungan dengan proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi
7

kehidupan dan keberadaannya. Pendekatan berbasis-hak membutuhkan partisipasi yang tinggi
dari komunitas, masyarakat sipil, minoritas, perempuan, pemuda/i, masyarakat adat dan
kelompok-kelompok lain.
8. Prinsip akuntabiltias dan supremasi hukum (accountability andrule of law).
Negara dan para pemangku kewajiban harus bisa menjawab mengenai kinerja HAM. Dalam
hal ini, mereka harus mematuhi norma-norma dan standard hukum yang dinyatakan dalam
instrumen HAM internasional.Jika mereka gagal mermatuhinya, para pemegang hak yang
menjadi korban memiliki hak untuk mengajukan penggantian yang sesuai di hadapan pengadilan
yang kompeten atau pengadil lainnya sesuai dengan aturan dan prosedur yang diatur oleh
hukum. Pribadi, media, masyarakat sipil dan komunitas internasional memainkan peranan
penting dalam membuat pemerintah akuntabel tentang kewajibannya untuk menjunjung tinggi
HAM.

BAB III
KASUS DAN ANALISIS
8

A. KASUS
Source:
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2013/09/130905_gariswaktu_kasus
_cebongan.shtml

Garis waktu kasus Cebongan
Pembunuhan terhadap empat tahanan Lapas Cebongan berawal dari pengeroyokan Sersan Kepala
Santoso, anggota Komando Pasukan Khusus TNI AD dari Grup II Kandang Menjangan, Kartasura, Jawa
Tengah 23 Maret silam.
Berikut garis waktu kasus ini berdasarkan catatan BBC.
19 Maret 2013: Empat orang pria mengeroyok Sersan Kepala Heru Santoso di Hugo's Cafe yang terletak
di Jalan Adisucipto Yogyakarta. Santoso tewas dengan luka tusukan di dada.
Keempat pria itu belakangan diidentifikasi sebagai Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu, Adrianus Candra
Galaja, Hendrik Angel Sahetapi alias Diki, dan Yohanes Juan Manbait.
21 Maret 2013: Keempat pengeroyok ditangkap di sebuah asrama di Lempuyangan, Yogyakarta dan
ditahan di Mapolda DIY.
22 Maret 2013: Polisi menitipkan keempat tahanan ke Lapas Cebongan.
Beberapa jam sesudah menerima titipan polisi, Kepala Penjara Sukamto meminta bantuan pengamanan
kepada polisi dan berencana mengembalikan mereka ke Mapolda DIY keesokan harinya.
23 Maret 2013: Pada pukul 01:30 WIB sekelompok orang dengan penutup kepala mendatangi Lapas dan
memaksa dibukakan pintu.
Mereka memasuki sel A5 tempat keempat tersangka pengeroyok ditahan dan melepaskan tembakan ke
arah mereka.
29 Maret 2013: TNI membentuk tim investigasi khusus untuk menyelidiki pembunuhan Cebongan.
4 April 2013: Tim investigasi bentukan internal TNI yang diketuai oleh Wadan Puspomad Brigjen
Unggul K. Yudhoyono mengumumkan bahwa pelaku penembakan Cebongan adalah 12 anggota
9

Kopassus grup 2 Kandang Menjangan, Kartasura, dan mengatakan mereka telah menyerahkan diri pada
31 Maret.
20 Juni 2013: Sidang perdana digelar di Mahkamah Militer Yogyakarta.
31 Juli 2013: Empat terdakwa yang menjadi eksekutor pembunuhan dituntut hukuman 12 tahun dan
dipecat dari kesatuan.

Source

:

http://www.hrw.org/news/2013/09/09/indonesia-seek-just-punishments-

military-murderers

Indonesia: Seek Just Punishments for Military Murderers
Amend Laws to Allow Civilian Prosecutions of Military Rights Abuses
SEPTEMBER 10, 2013
“Yogyakarta’s military judges sent a long overdue message that soldiers shouldn’t expect to get off easy
for serious crimes against civilians. But for these verdicts to have real impact, the prosecutors should
appeal the sentences to make sure the punishment fits the crime, in this case, murder."
Phelim Kine, deputy Asia director
(New York) – Indonesian military prosecutors should appeal insufficient sentences imposed on 12 Special
Forces soldiers convicted in the murders of four detained criminal suspects, Human Rights Watch said
today.
On September 5 and 6, 2013, a military court in Yogyakarta, central Java, sentenced 12 members of the
Special Forces Command (Komando Pasukan Khusus, known as Kopassus) to prison terms of four
months and 20 days up to 11 years for their roles in the execution-style killings of four men in police
detention on March 23, 2013. The guilty verdicts – ranging from failure to warn superiors of the plot to
premeditated murder – marked an important departure from the usual impunity given Indonesian military
personnel implicated in serious crimes, but the sentences imposed on the three soldiers found most
culpable did not appear to match the gravity of the crimes. Under Indonesian law, premeditated murder
permits a maximum sentence of life imprisonment, which in practice constitutes 20 years.

10

“Yogyakarta’s military judges sent a long overdue message that soldiers shouldn’t expect to get off easy
for serious crimes against civilians,” said Phelim Kine, deputy Asia director. “But for these verdicts to
have real impact, the prosecutors should appeal the sentences to make sure the punishment fits the crime,
in this case, murder.”
Eleven Kopassus members were arrested on April 2 for allegedly breaking into the Cebongan prison in
Yogyakarta, on March 23, and fatally shooting four criminal suspects who were being detained for the
murder of a Kopassus colleague three days earlier. A twelfth soldier was arrested later.
Military prosecutors said that the Kopassus defendants, disguised with ski masks and carrying AK-47
assault rifles, forced their way into the prison, threatened and beat 12 prisons guards, two of whom
required hospitalization. The soldiers then executed four detainees: Hendrik Angel Sahetapi, Yohanes
Juan Manbait, Gameliel Yermianto Rohi Riwu, and Adrianus Candra Galaja. When leaving after the 15minute attack, the assailants seized the prison’s closed circuit television recordings, prison guards said.
Investigators alleged that murders were revenge for the killing on March 20 of Kopassus First Sgt. Heru
Santoso. Santoso and the 12 defendants all served with Kopassus Group II in Kartasura, about a two-hour
drive from Yogyakarta.
The trial was characterized by an atmosphere of intimidation. Hundreds of members of the Sekber
Keistimewaan, a coalition of Yogjakarta royalist and paramilitary groups, wore jungle camouflage and
noisily protested outside the court building in support of the Kopassus defendants. Sekber Keistimewaan
and its coalition members inside the courtroom repeatedly disrupted the court proceedings, loudly
praising the Kopassus defendants as “heroes” and “warriors” and demanding their release. On several
occasions, they locked the court compound gate while prosecutors were presenting their case and
attempted to intimidate journalists, human rights monitors, and academics in the spectators’ gallery.
Sekber Keistimewaan members also shouted racist remarks at court attendees from East Nusa Tenggara
province, the home province of the four murdered detainees.
The military judges and court personnel did not act to stop such disruptions or remove disruptive
elements from the courtroom. Several witnesses to the detention center killings failed to show up and
testify for reasons that court personnel did not explain. Teguh Soedarsono of Indonesia’s official Witness
and Victim Protection Agency said such intimidation tactics had undermined the possibility of a fair trial.
The judge rejected suggestions by some witnesses that they be allowed to wear face masks to protect their
identities without offering suitable alternatives.

11

Although the Yogyakarta verdicts provide a measure of accountability absent from many past military
abuses against civilians, Indonesia’s military justice system continues to lack the transparency,
independence, and impartiality required to properly investigate and prosecute serious human rights
violations.
Under Indonesian law, military personnel cannot be tried in civilian courts, with only a few rarely
invoked exceptions. The 1997 Law on Military Courts provides that such courts have jurisdiction to
prosecute all crimes committed by soldiers. Additionally, the 1997 Law on Military Courts states that
military courts can only apply one of two laws: the Military Penal Code and the general Criminal Code.
This means that while civilians are subject to a criminal liability under a host of criminal laws outside the
Criminal Code, soldiers are not. While the 2000 Law on Human Rights Courts authorizes human rights
courts to assert jurisdiction over cases involving allegations that military personnel committed serious
human rights violations, at present the law applies only to allegations of genocide and crimes against
humanity, and not to the broad spectrum of conduct that constitutes human rights abuses.
During the United Nations Universal Periodic Review of Indonesia’s human rights record in 2007 and
again in 2012, the Indonesian government committed to reforming the military tribunal system. Those
promised reforms includes adding torture and other acts of violence to the military criminal code of
prosecutable offenses and ensuring the definition of those offenses are consistent. However, to date the
government has not added those offenses to the military criminal code.
Although the 2004 Armed Forces Law placed the military courts under the supervision of Indonesia's
Supreme Court, in practice, the military continues to control the composition, organization, procedure,
and administration of the military courts. Military judges can be dismissed by an Honorary Board of
Judges whose members are designated by the military commander.
The poor record of Kopassus for human rights violations and its failure to hold the abusers accountable
spans its operations across Indonesia, beginning in the 1960s in Java and extending to Kalimantan, East
Timor, Aceh, and Papua in the decades since. The well-documented East Timor abuses prompted the
United States to impose a ban on military contact with the elite forces in 1999. In 2010, the US lifted the
ban. Human Rights Watch and domestic human rights organizations criticized the ban on the basis that
the Indonesian military, and Kopassus in particular, had failed to demonstrate a genuine commitment to
accountability for serious human rights abuses.

12

“Empowering civilian courts to prosecute military personnel implicated in human rights abuses against
civilians is an essential step in ending Indonesia’s long and pervasive culture of impunity for military
abuses,” Kine said.
The sentences handed down in the Yogyakarta case were as follows:
o

Tigor “Ucok” Simbolon, Second Sergeant. Sentence of 11 years in prison and dishonorable
discharge for premeditated murder and other charges;

o

Sugeng Sumaryanto, Second Sergeant. Sentence of eight years and dishonorable discharge for
premeditated murder and other charges;

o

Kodik, First Corporal. Sentence of six years and dishonorable discharge for premeditated murder
and other charges;

o

Tri Juwanto, First Sergeant. Sentence of one year and nine months for involvement in
premeditated murder and other charges;

o

Anjar Rahmanto, First Sergeant. Sentence of one year and nine months for involvement in
premeditated murder and other charges;

o

Martinus Robertus Banani, First Sergeant. Sentence of one year and nine months for involvement
in premeditated murder and other charges;

o

Suprapto, First Sergeant. Sentence of one year and nine months for involvement in premeditated
murder and other charges;

o

Hermawan Siswoyo, First Sergeant. Sentence of one year and nine months for involvement in
premeditated murder and other charges;

o

Ikhmawan Suprapto, Second Sergeant. Sentence of 15 months for assisting the commission of an
assault;

o

Sutar, Chief Sergeant. Sentence of four months and 20 days for failing to notify his superiors
about the attack;

o

Rokhmadi, Major Sergeant. Sentence of four months and 20 days for failing to notify his
superiors about the attack; and

o

Muhammad Zaenuri, Major Sergeant. Sentence of four months and 20 days for failing to notify
his superiors about the attack.

13

B. ANALISIS
a.

Analisis Kasus dari Segi Teori Hak Asasi Manusia

Apabila kasus Cebongan ini dikaitkan dengan Teori HAM maka analisisnya adalah sebagai
berikut:
 Teori Hak kodrati
Hak kodrati salah satunya adalah hak hidup, pada kasus ini hak hidup dari keempat korban
cebongan tersebut telah dicabut oleh Kopassus Grup II Kandang Menjangan yang pada
hakikatnya hak hidup tersebut tidak dapat dicabut oleh siapapun juga.
 Teori Universalime
Teori universalime ini berarti hak asasi manusia tersebut dipandang sebagai nilai-nilai universal
yang diakui dan dijunjung tinggi oleh masyarakat Internasional.Misalnya dalam kasus cebongan
ini adalah hak untuk memperoleh keadilan. Keempat korban cebongan itu masih berstatus
tersangka, sehingga mereka seharusnya mendapat kesempatan melalui proses peradilan yang sah
secara hokum sebelum dinyatakan sebagai terdakwa dan dipidana sesuai dengan perbuatan yang
ia lakukan. Dengan kata lain, Kopasus ini telah melanggar asas praduga tak bersalah yang diakui
oleh masyarakat internasional.
 Teori Partikularisme
Indonesia menganut

Partikularisme relative, dimana selain peraturan nasional, peraturan

internasional juga digunakan namun tetap peraturan internasional tersebut harus diselaraskan
dan diseimbangkan dengan budaya atau karakteristik bangsa Indonesia. HAM yang dilanggar
oleh Kopassus dalam kasus Cebongan tersebut berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 pasal 9 tentang Hak Untuk Hidup, dan pasal 28 sampai dengan pasal 35 Tentang
Hak atas Rasa Aman sebagai sumber hokum nasional. Sedangkan dalam Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia terkait juga dengan :
Pasal 3
Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai induvidu.
14

Pasal 5
Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dikukum
secara tidak manusiawi atau dihina.

Pasal 6
Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia
berada.

Pasal 7
Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa
diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi
yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada
diskriminasi semacam ini.

 Teori Positivisme
Berkaitan dengan teori Positivisme mengenai Hak Asasi Manusia tersebut tidak serta merta ada
seketika saat manusia lahir kedunia, namun juga timbul karena adanya regulasi dan konstitusi
suatu negara.Perundang-undangan mengenai HAM tersebut di Indonesia merupakan turunan dari
Undang-Undang Dasar.Seperti yang dipaparkan dalam teori Partikularisme, PerundangUndangan yang mengatur HAM yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.
 Teori Tanggung Jawab Negara
Menurut teori tanggung jawab negara dikaitkan dengan kasus Cebongan ini, negara dinilai telah
gagal karena tidak dapat melindungi keempat korban dari “eksekusi” yang dilakukan Kopasus
Grup II Menjangan tersebut yang tidak sesuai dengan proses hokum yang seharusnya. Kemudian
15

negara juga dianggap gagal menjamin hak hidup keempat tersangka yang pada akhirnya menjadi
korban dalam lapas Cebongan.

b. Analisis Kasus dari Segi Konsep Dasar Hak Asasi Manusia
Dikaitkan dengan kasus Cebongan yang sedang kami bahas maka sudah jelas bahwa kasus ini
merupakan pelanggaran baik dilihat dari konsep dimensi visi HAM maupun konsep
perkembangan HAM itu sendiri.Dari sisi visi filsafati misalnya, penembakan ini merupakan
pelanggaran hak hidup manusia sebagai mahluk tuhan, dimana hak itu sudah ada sejak dia lahir.
Visi yuridis juga tercoreng karena kegagalan Negara melindungi hak warganya, yang seharusnya
mendapat perlindungan karena sedang menjalani proses hokum. Visi politik pun demikian,
seharusnya oknum-oknum pemerintah tidak boleh mengeksekusi mati begitu saja seseorang
tanpa hak sekalipun hal itu dianggap sesuatu yang benar, hendeknya pihak kopasus mengikuti
jalur hukum yang ada.
Lebih lanjut jika ditinjau dari konsep perkembangan HAMnya maka kasus ini melanggar salah
satu HAM yang paling awal berkembang yaitu HAM generasi I.
“Generasi I konsep HAM , sarat dengan hak-hak yuridis, seperti tidak disiksa dan ditahan, hak
akan equality before the law (persamaan dihadapan hukum), hak akan fair trial (peradilan yang
jujur), praduga tak bersalah dan sebagainya. Generasi I ini merupakan reaksi terhadap kehidupan
kenegaraan yang totaliter dan fasistis yang mewarnai tahun-tahun sebelum Perang Dunia II.”
Jelas sekali bahwa kasus penembakan di Cebongan ini melanggar hak akan fair trial dan equality
before the law, yang seharusnya dijunjung tinggi pemerintah bahkan oleh Kopasus sekalipun.

c.

Analisis Kasus dari segi Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia

Apabila kasus ini di analisis dari segi pelanggaran terhadap prinsip-prinsip HAM, maka kasus ini
melanggar beberapa prinsip HAM yaitu:
 Prinsip Universalisme
16

Apabila dirujuk pada nilai-nilai moral dan etika, kasus ini jelas melanggar hak asasi
manusia, karena para anggota Kopassustersebut dengan semena-mena merenggut kehidupan
seseorang.Kasus ini tidak menghargai moral dan martabat manusia yang diakui secara universal
di dunia.
 Prinsip Inalienability
Dilihat dari prinsip ini yang mendefinisikan bahwa hak setiap individu tidak dapat dicabut,
maka para anggota Kopassus disini mencabut hak untuk hidup dari para korban yang terbunuh
dalam kasus penyerangan LP Cebongan.
 Prinsip Indivisibility
Prinsip ini mengacu pada hak asasi manusia yang tidak dapat dipisah-pisah, dimana HAM
baik sipil, politik, social budaya merupakan satu kesatuan yang inheren yaitu menyatu dalam
harkat martabat manusia.Jadi hak hidup korban yang dirampas dalam kasus ini juga berkaitan
dengan hak-hak lainnya.
 Prinsip Interdependency
Pemenuhan suatu hak seringkali bergantung sepenuhnya atau sebagian terhadap pemenuhan
hak yang lain. Dalam kasus ini, ketika para korban direnggut hak hidupnya, maka hak-hak
lainnya tidak dapat dijalankan oleh para korban.Seperti hak sipil, hak politik, hak social, hak
ekonomi dan hak budaya. Contohnya ketika para korban merupakan pencari nafkah di dalam
keluarganya, mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarganya karena hak hidupnya sudah
terenggut karena hilangnya suatu hak dapat membuat terabainya hak lain.
 Prinsip Equality
Prinsip kesetaraan didalam kasus ini dilanggar apabila dilihat dari kesewenangan tindakan yang
dilakukan oleh anggota Kopassus terhadap para korban.Sebagaimana yang kita ketahui bahwa
manusia memiliki kesetaraaan dimata hukum, tidak dipandang berdasarkan kelas, kedudukan,
jabatan dan lain-lain.Jadi tindakan anggota Kopassus dalam kasus ini merupakan bentuk
penyalahgunaan wewenang.

17

 Prinsip Non Discrimination
Sebagai manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika, sudah seharusnya manusia
tidak mendiskriminasi satu sama lain. Dalam kasus ini, para korban tidak dapat diperlakukan
secara berbeda meskipun mereka telah melakukan kesalahan terhahdap salah satu anggota
Kopassus.Main hakim sendiri dengan menghabiskan nyawa dari para korban yang masih
diproses di peradilan merupakan tindakan diskriminasi.
 Prinsip Accountability and Rule of Law
Negara sebagai pelindung wajib untuk mempertanggungjawabkan kinerja dari HAM.Normnorma dan standar hukum harus dipatuhi.Dalam kasus ini, negara harus menerapkan hal tersebut
guna menjunjung tinggi HAM.Negara harus dapat melindungi dan menghargai hak-hak asasi
masyarakatnya sehingga tidak terjadi suatu bentuk pelanggaran HAM, dimana terjadi main
hakim sendiri dalam penyelesaian masalah.

18

BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Menurut kelompok kami, kasus Cebongan ini merupakan salah satu kasus pelanggaran HAM
karena mencabut hak hidup dari para tersangka, dari analisis kami kasus ini juga telah melanggar
atau berkaitan dengan Teori, Konsep dan Prinsip HAM. Kopasus sebagai aparat penegak hokum
dan aparat negara seharusnya dapat melindungi, menjamin serta menegakan keadilan dan
kepastian hokum kepada keempat tersangka, bukan menyalahgunakan wewenang untuk dapat
membalas dendam dan mengabaikan proses hokum yang berlaku.
B. SARAN
Hendaknya terwujud suatu sinergi hubungan yang baik antara negara dengan Aparat negara,
sehingga dapat menjadi pelindung, penjamin dan penegak Hak Asasi Manusia atas
masyarakatuntuk kemudian tidak lagi terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan
oleh aparat negara khususnya dan masyarakat pada umumnya. Perlunya Reulasi serta penerapan
sanksi yang tegas sebagai bentuk preventif daripada pelanggaran HAM tersebut.

19

DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku:
Manan, Bagir. (1996), “Muladi: Hukum dan Hak Asasi Manusia”, Kedaulatan Rakyat, Hak
Asasi Manusia dan Negara Hukum, Gaya Media Pratama, Jakarta.
Donnely, Jack. (2003), Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornell University
Press,Ithaca and London.
Cranston, Maurica. (1973), What are Human Rights?, Taplinger, New York.
Smith, Rhona K. M. (2008), et. al., Hukum Hak Asasi Manusia,PUSHAM-UII, Yogyakarta.
Kutipan-kutipan:
http://desentralisasi-otonomi.blogspot.com/2012/04/konsep-dasar-hak-asasi-manusia.html
(15 September 2013 pukul 22.55 WIB)
http://herizal-effendi-arifin.blogspot.com/2011/08/ringkasan-pasal-pasal-deklarasi.html
(14 September pukul 19.35 WIB)
http://makalahhakasasimanusiaham.blogspot.com/ (16 September 2013 pukul 20.10 WIB)
http://fatah33.blogspot.com/2011/02/pengertian-dan-pelanggaran-pelanggaran.html
(14 September 2013 pukul 16.43 WIB)

Sumber kasus:
http://www.hrw.org/news/2013/09/09/indonesia-seek-just-punishments-military-murderershttp://
www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2013/09/130905_gariswaktu_kasus_cebongan.shtml

LAMPIRAN
20