Ternyata Dua Raksasa Dunia Ini yang Biki

Ternyata Dua Raksasa Dunia Ini yang Bikin Rupiah Menguat
Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dalam beberapa hari mengalami penguatan,
bahkan data Bloomberg untuk perdagangan hari ini menunjukkan, rupiah sempat
menyentuh level 12.984 per dollar AS. Sayangnya, penguatan rupiah dinilai lebih
banyak dimotori faktor eksternal.
"Secara umum, penguatan rupiah ini lebih disebabkan oleh faktor eksternal,
khususnya perkembangan isu perekonomian terkini di ekonomi terbesar
pertama, yaitu Amerika, dan terbesar kedua, yaitu China," kata ekonom Institute
for Development of Economics and Finance (Indef) Dzulfian Syafrian kepada
Kompas.com, Senin (7/3/2016).

Dzulfian menuturkan, akhir pekan lalu, Pemerintah China mengeluarkan
pernyataan bahwa mereka akan melakukan reformasi ekonomi, khususnya pada
sejumlah BUMN, dan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan.

Bahkan, dia melanjutkan, Pemerintah China juga mewacanakan adanya
kepemilikan gabungan (mixed ownership) atau privatisasi atas sejumlah BUMN
mereka.

"Hal ini tentu menjadi kabar sangat menggembirakan bagi para investor,
mengingat China memiliki sekitar 150.000 BUMN dengan total aset sekitar 15

triliun dollar AS dan mempekerjakan lebih dari 30 juta orang," imbuh Dzulfian.

Selain itu, Pemerintah China juga menampik kabar bahwa perekonomiannya
akan mengalami pendaratan keras akibat perubahan struktur perekonomian
yang awalnya berbasis ekspor dan investasi menjadi berbasis konsumsi
domestik.

"Hanya, mereka mengakui bahwa ketidakpastian dan ketidakstabilan global
memberikan dampak negatif bagi perekonomian mereka," ujar Dzulfian.

Pemerintah China, lanjut Dzulfian, juga memasang target pertumbuhan ekonomi
2016 di kisaran 6,5 persen hingga 7 persen, dan tidak akan pernah lebih rendah

dari 6,5 persen dalam lima tahun ke depan.

"Angka ini cukup memberikan kepercayaan diri pasar mengingat tren
pertumbuhan ekonomi China yang terus menurun, bahkan tahun lalu menyentuh
titik terendah dalam 25 tahun terakhir, yaitu hanya sebesar 6,9 persen," kata dia.

Tentu saja, kata Dzulfian, kabar gembira dari China itu diharapkan berdampak

pada naiknya harga-harga komoditas.

Jika harga komoditas kembali bangkit, maka ekspor Indonesia lambat laun akan
pulih. Hal tersebut mengingat, sebagian besar ekspor Indonesia bergantung
pada komoditas dengan China sebagai salah satu pasar utamanya.

Adapun kondisi negeri Amerika Serikat (AS) yang memengaruhi kurs adalah
pemulihan ekonomi mereka. Seperti diketahui, dollar AS menguat cukup
signifikan terhadap hampir semua mata uang. Pekan lalu, Pemerintah Amerika
Serikat merilis penambahan tenaga kerja baru, sekitar 242.000 orang, selama
bulan Februari 2016.

Angka pengangguran dilaporkan berkisar 4,9 persen, terendah sejak krisis
finansial global 2008. "Karena mempertimbangkan keseimbangan global,
khususnya memberikan ruang kepada negara-negara emerging market, dan juga
pemulihan ekonominya, tampaknya The Fed tidak akan menaikkan suku bunga
kembali bulan ini," ujar Dzulfian.

Perpaduan antara optimisme perekonomian China dan angin segar dari AS
inilah, kata Dzulfian, yang menjadikan rupiah menguat. Kurs hari ini dikabarkan

mencapai Rp 12.984 per dollar AS. Hanya saja, dia melanjutkan, penguatan ini
tampaknya hanya bersifat sementara. "Tergantung perkembangan perekonomian
China, AS, dan dunia ke depannya. Satu hal yang pasti, fenomena ini
menunjukkan bahwa rupiah sangat rentan terhadap goncangan eksternal,"
pungkas Dzulfian.

Deregulasi ini berlaku sejumlah produk-produk hukum yang disederhadanakan bahkan jika
perlu akan dilakukan pemangkasan. Dengan demikian, akan mempercepat pertumbuhan.

Memahami Pelemahan Rupiah
(Secara Benar)
Oke, jadi kemarin sore kurs Rupiah terhadap Dollar AS untuk pertama kalinya
tutup di atas 14.000. Seperti biasa, banyak orang yang tidak mengerti dasardasar ilmu ekonomi mulai bicara seolah-olah tahu apa duduk perkara
pelemahan Rupiah.
Pertanyaan yang mungkin muncul di benak kita semua: mengapa bisa kurs
Dollar AS (selanjutnya USD) terhadap Rupiah (selanjutnya IDR) mencapai
14.000? Salah siapakah sehingga Rupiah bisa loyo? Apa yang akan terjadi?
Dan seperti biasa, setelah kita bertanya-tanya, pemerintah menjadi pihak
pertama yang langsung disalahkan atas pelemahan Rupiah (ada benarnya,
namun tidak sepenuhnya benar). Kemudian reaksi berikutnya beragam:

pesimis terhadap nasib ekonomi Indonesia, atau mulai menuduh pasar
bebas, investor asing, bahkan mungkin orang Yahudi, Freemason, dan
Illuminati. Lalu kemudian muncul reaksi anti-asing (asing aseng), atau
reaksi lainnya yang jelas-jelas bertentangan dengan logika dasar ekonomi.
Dengan demikian, sebelum penulis mencoba menjelaskan lebih lanjut
tentang pelemahan Rupiah, kita harus mengkritisi pemikiran dasar dari
kebanyakan kita: bahwa Rupiah yang lebih kuat adalah selalu baik, dan
Rupiah yang lebih lemah adalah selalu jelek. Apakah benar demikian?
(Penulis akan bahas masalah ini belakangan, jadi baca dulu lebih lanjut :))

Bagian 1: Mengapa Rupiah Melemah
Bagian 2: Apakah Semua Akibat Faktor Luar Negeri?
Bagian 3: Apakah Pelemahan Rupiah Buruk? Bagaimana Masa Depan
Indonesia?

Bagian 1: Mengapa Rupiah Melemah
Kita mulai narasi kita dengan melihat apa yang terjadi di luar batas negara
Indonesia.
September ini, bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve, akan
menentukan tingkat suku bunga acuan untuk Dollar Amerika Serikat. Dengan

semua petunjuk yang telah diberikan oleh Federal Reserve, kebanyakan

pelaku pasar berpendapat bahwa tingkat suku bunga USD akan naik, dari 0%
menjadi 0.25%. Karena suku bunga adalah harga dari uang, cara Federal
Reserve untuk menaikkan harga uang tersebut adalah
dengan menurunkan jumlah uang beredar (ingat, ketika penawaran
suatu barang turun, maka harga barang akan naik). Apa akibatnya? Kalau
jumlah USD yang beredar turun, namun jumlah mata uang yang lain
(misalkan Rupiah, Ringgit, Rand, atau Reais) tetap, maka nilai USD akan
meningkat (lagi-lagi, kalau penawaran suatu barang turun, harga akan
naik).
Lalu mungkin kita bertanya-tanya, kok suku bunga Amerika Serikat naik bisa
membuat semua orang heboh?
Itu semua karena Amerika Serikat adalah perekonomian terbesar di dunia.
20% dari seluruh barang dan jasa di dunia diproduksi di Amerika Serikat, dan
USD adalah mata uang de facto perdagangan internasional. Bayangkan kalau
misalkan kalau misalkan seekor gajah sedang mencoba masuk ke kolam
renang yang kecil. Meskipun gajah tersebut masuk perlahan-lahan ke kolam
renang, ombak yang diciptakan akan tetap besar. Begitu juga dengan
Amerika Serikat.

Kemudian muncul China.
Kalau Amerika Serikat, sang perekonomian terbesar, adalah konsumen
terbesar dunia (sejak dahulu menjadibuyer of the last resort), China kurang
lebih adalah pabrik terbesar dunia. China membeli banyak barang mentah
atau setengah jadi dari seluruh negara di dunia, dari Brazil hingga Rusia.
Bayangkan kalau misalkan ekonomi China melambat, sehingga China
mengurangi belanja barang mentah atau setengah jadi dari tiap negara,
termasuk Indonesia. Perlambatan ekonomi China tentu akan menurunkan
ekspor dari tiap-tiap negara di dunia, termasuk Indonesia.
Apa yang terjadi kalau ekspor melemah?
Perlu diketahui bahwa ekspor adalah salah satu sumber utama penerimaan
mata uang asing, terutama USD. Jadi, ekspor dapat digunakan untuk
mewakili supply (penawaran) USD di Indonesia. Kebalikannya, karena biaya
impor dibayar dengan USD, maka impor dapat digunakan untuk mewakili
permintaan USD. Kalau misalkan ekspor turun, maka penawaran USD akan
turun, dan (lagi-lagi), harga USD akan naik.
Efek dari pelemahan ekonomi tersebut ditambah dengan kejutan tiba-tiba
dari Beijing, yaitu pelemahan nilai Renminbi terhadap Dollar (walaupun tidak
lebih dari 3%) secara tiba-tiba. Walaupun mungkin terkesan kecil, aksi ini
memberi sinyal kepada pasar bahwa pelemahan ekonomi China ternyata

jauh lebih serius dari yang kita duga selama ini.

Analogi sederhana untuk menggambarkan kondisi saat ini di dunia
adalah bahwa ada seekor gajah yang hendak masuk ke kolam kecil
dengan pelan-pelan (Amerika Serikat) dan ada seekor gajah lain di
tepi kolam yang pingsan dan jatuh ke kolam kecil yang sama
(China). Ombaknya (efek negatif ke dunia) akan sangat sangat besar dan
sangat tidak mengenakkan.
Butuh bukti bahwa pelemahan ini adalah fenomena global?
Grafik di atas adalah pelemahan beberapa mata uang eksportir komoditas di
dunia (Indonesia, Malaysia, Brazil, Kolombia, dan Rusia) selama sebulan
terakhir. Grafik pelemahan Rupiah adalah yang berwarna oranye. Indonesia
bahkan bukan yang paling buruk di antara hampir semua negara yang
melemah terhadap USD.
Lalu kita mungkin bertanya: kan Federal Reserve baru akan beraksi di bulan
September dan pelemahan ekonomi China belum terlihat secara nyata di
data ekonomi, lalu mengapa sudah melemah?
Jawabannya adalah kebanyakan pelaku pasar sudah memiliki ekspektasi
terlebih dahulu akan adanya pelemahan besar-besaran di seluruh dunia, dan
mereka mengambil tindakan terlebih dahulu sebelum China ataupun the Fed

mengambil aksi. Kalau menunggu aksi China atau the Fed, pelaku pasar akan
merugi sangat besar (siapa cepat, dia untung).
Tapi perlu disadari bahwa semua pelemahan yang terjadi karena China dan
the Fed diperparah oleh pasar yang bereaksi berlebihan. Perlu anda ketahui
bahwa para investor (bahkan yang profesional) di sektor keuangan sangat
mirip dengan ABG yang labil dan lebay, yang suka bereaksi berlebihan
ketika ada berita baik atau buruk muncul. Sebagai akibatnya, ketika rumor
buruk mengenai China dan the Fed muncul, mereka menarik uang dari
negara berkembang (mengurangi supply USD) secara besar-besaran, jauh
lebih besar dari yang seharusnya bila mereka bersikap tenang. Jadi, jangan
heran bahwa sentimen buruk apapun dapat membuat pasar gonjang
ganjing seperti kemarin kalau anda tahu bahwa orang-orang yang
ada di pasar kebanyakan labil dan lebay.

Bagian 2: Apakah Semua Akibat Faktor Luar Negeri?
Daritadi penulis hanya memaparkan faktor luar negeri, namun apakah tidak
ada faktor dalam negeri yang menyebabkan Rupiah melemah?
Jawabannya sudah jelas tentu, namun mungkin tidak seperti yang
kita bayangkan.


Kita bisa bagi faktor pelemahan dalam negeri dalam dua jenis: cacat bawaan
dari pemerintahan sebelumnya, dan kesalahan yang terjadi di masa
pemerintahan Jokowi.
Cacat bawaan Indonesia merupakan faktor serius yang memperparah efek
dari China dan Amerika Serikat. Tapi apa saja cacat bawaan Indonesia?
1. Pola pembangunan dari zaman dahulu yang fokus ke industri
ekstraktif, sehingga tergantung pada ekspor komoditas
Pendeknya, kekayaan sumber daya alam Indonesia adalah kutukan
Indonesia. Selama berpuluh-puluh tahun, pembangunan Indonesia sangat
bertumpu pada sektor pertambangan atau tanaman perkebunan (minyak,
batubara, kelapa sawit), yang juga menjadi tumpuan ekspor Indonesia.
Tanpa perlu membangun infrastruktur yang efisien atau memberdayakan
manusia Indonesia lewat pendidikan yang mampu bersaing di pasar
internasional pun ekonomi Indonesia bisa tumbuh. Sebagai akibatnya,
sektor yang memerlukan SDM yang kuat, seperti industri elektronik
maupun industri-industri canggih (yang bernilai tambah tinggi dan tidak
terlalu terpengaruh pelemahan China), tidak bisa berkembang.
2. Industri yang terlalu dimanja pemerintah dan kurang berdaya
saing, sehingga makin tergantung pada ekspor komoditas
Kalau kita melihat pola industri di Indonesia, bahkan setelah 70 tahun

merdeka, masih banyak industri yang ingin dilindungi pemerintah dari
persaingan dengan produk luar negeri. Anda mungkin menganggap hal itu
perlu, tapi tidakkah anda curiga ketika berbagai industri, dari pertanian
hingga manufaktur, terus menerus minta dilindungi dari persaingan
dengan alasan belum mampu bersaing? Seharusnya kalau memang
alasannya demikian, akan datang saatnya ketika industri sudah maju dan
bisa dibiarkan bersaing di kancah internasional. Namun sayangnya,
kecenderungan industri ketika diproteksi adalah bahwa industri tersebut
mampu meraih keuntungan tanpa melakukan inovasi atau melakukan
efisiensi, sehingga kalau dilepas, memang tidak akan mampu bersaing.
Jadi, perlindungan dari persaingan asing malah hanya membuat industri
dalam negeri tidak efisien
Anda bisa bayangkan cacat bawaan Indonesia, yaitu industri yang diproteksi
dari persaingan dengan pihak asing. mirip seperti anak orang kaya yang
manja dan tidak pernah dipaksa untuk belajar atau bekerja (karena toh
sudah kaya, buat apa belajar/bekerja). Ketika sudah besar, anak tersebut
tidak mampu bersaing dengan anak orang-orang biasa yang belajar dan
bekerja keras, sehingga minta perlindungan dari orangtua yang kaya. Apakah
pada akhirnya anak ini bisa bertahan? Jawabannya hampir pasti tidak.
Jadi, selama Indonesia bergantung pada ekspor komoditas (terutama

ke China), jangan heran kalaupelemahan ekonomi China (yang

mengurangi permintaan komoditas ekspor Indonesia) bisa melemahkan
Rupiah dan ekonomi Indonesia.
Tapi jangan lupa bahwa ada juga cacat yang merupakan akibat
pemerintahan Jokowi. Apa saja?
Pemerintah Jokowi, yang diharapkan mampu membawa reformasi pada tata
kelola ekonomi Indonesia, ternyata tidak mau mengambil keputusan yang
sulit. Sebagai contoh, setelah mencabut subsidi, ketika harga minyak naik
mulai bulan Maret 2015, pemerintahan Jokowi memaksa Pertamina untuk
menanggung kerugian dari menjual Pertamina di harga Rp 7.400/liter. Tidak
hanya itu, pemerintah juga mulai mengintervensi mekanisme pasar yang
tidak pernah dilakukan pemerintah sebelumnya, seperti memaksa Jasa Marga
menurunkan tarif tol saat periode Idul Fitri, atau secara tiba-tiba memotong
kuota impor sapi secara drastis.
Anda mungkin heran mengapa hal-hal tersebut dapat menyebabkan Rupiah
melemah, tapi anda bisa lebih mengerti kalau anda berada di posisi investor
asing (yang membawa dollar ke Indonesia).
Adanya intervensi oleh pemerintah bisa mengacaukan hitungan untung rugi
seorang investor secara signifikan. Sebagai contoh, kalau misalkan investor
jalan tol bisa untung di tarif Rp. 5.000, tetapi investor tahu bahwa ia bisa
dipaksa pemerintah untuk menurunkan harga ke Rp. 3.000, ini adalah
sebuah risiko bagi investor tersebut. Dan walaupun anda bukan investor jalan
tol, importir sapi, atau pengusaha minyak, kenyataan bahwa pemerintah bisa
dengan sesuka hati menaikkan atau menurunkan harga di luar harga
keekonomian akan menambah risiko anda. Belum lagi kalau pemerintah
mulai menunjukkan sentimen anti-asing, investasi anda (sebagai investor
asing) bisa lenyap karena kebijakan pemerintah di masa depan bisa menjadi
tidak bersahabat dengan investor asing.
Hal-hal tersebut adalah peningkatan risiko berinvestasi di Indonesia.
Tambahkan hal itu dengan gonjang-ganjing politik yang tidak perlu (misalkan
selisih pendapat antara Rizal Ramli, Rini Soemarno, dan Jusuf Kalla), maka
risiko yang harus anda tanggung menjadi sedemikian besar. Buat apa anda
investasi di Indonesia kalau risiko rugi anda sedemikian besar? Lebih baik
anda taruh dollar anda di Filipina, Vietnam, atau Ethiopia.
Lagi-lagi, ketakutan untuk berinvestasi di Indonesia makin
mengurangi supply USD di dalam negeri dan makin menekan Rupiah.

Bagian 3: Apakah Pelemahan Rupiah Buruk? Bagaimana Masa Depan
Indonesia?

Seperti halnya segala sesuatu di dunia, pelemahan Rupiah dapat dibagi
menjadi pelemahan Rupiah yang baik serta pelemahan Rupiah yang buruk.
Secara teori, pelemahan Rupiah dapat memperbaiki kinerja ekspor serta
menurunkan impor. Bila demikian adanya, pelemahan Rupiah dapat menjadi
sesuatu yang baik, yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Bahkan
beberapa negara, seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa pasca-2008
berlomba melemahkan mata uang agar bisa mendorong pertumbuhan.
Namun kalau kita melihat data, maka kita bisa lihat bahwa ekspor dan impor
Indonesia sama-sama turun seiring dengan pelemahan Rupiah, walaupun
pelemahan impor jauh lebih tajam sehingga kondisi neraca transaksi berjalan
lebih baik (ditunjukkan dengan selisih antara ekspor dan impor yang menjadi
positif). Mengapa pelemahan Rupiah tidak meningkatkan ekspor,
yang akhirnya mendorong pertumbuhan dan menstabilkan Rupiah?
Lagi-lagi, jangan lupa bahwa komoditas ekspor unggulan Indonesia bukanlah
barang yang relatif imun dengan pelemahan ekonomi di China dan dunia,
seperti semikonduktor, komputer, komponen kendaraan bermotor, atau
industri manufaktur (semuanya tidak terlalu tergantung kepada China karena
permintaan di negara-negara lain tetap besar). Harga dan jumlah ekspor
unggulan Indonesia, yaitu batubara dan kelapa sawit, sangat tergantung
kepada China. Hal ini menyebabkan pelemahan Rupiah tidak terlalu banyak
berdampak positif terhadap ekspor.
Lagipula, jangan lupa bahwa sekitar >90% impor Indonesia adalah bahan
baku dan barang modal, yang juga digunakan oleh industri manufaktur untuk
membuat komoditas yang selanjutnya akan diekspor (bagian dariglobal
supply chain). Kenaikan harga barang baku (yang diimpor) akibat USD yang
naik akan membuat kenaikan daya saing (yang seharusnya meningkat)
menjadi tidak seberapa. Kombinasi penurunan permintaan komoditas ekspor
Indonesia dan bahwa kita butuh impor bahan baku untuk bisa melakukan
ekspor membuat pelemahan USD berpotensi melemahkan ekspor lebih lanjut
dan mendorong perlambatan ekonomi.
Sebagai akibatnya, mungkin Indonesia akan mengalami perlambatan
ekonomi yang cukup serius hingga 2016 atau bahkan 2017.
Namun kalian yang berharap bahwa krisis 1997/1998 akan terulang
sangat mungkin akan kecewa. Mengapa?
Pertama, Rupiah sudah bergerak bebas. Efek dari pergerakan bebas
Rupiah adalah bahwa pelaku usaha mengetahui bahwa ada risiko nilai tukar
yang bisa merugikan bisnis mereka, dan mengambil langkah antisipasi sejak
dini. Bank serta perusahaan-perusahaan, walaupun masih banyak berhutang
dalam USD, menjadi lebih cerdas dan sudah melindungi diri dengan FX swap

sejak dini. Jelas bahwa akan muncul gelombang gagal bayar, namun tidak
akan memiliki dampak sebesar 1998.
Kedua, tata kelola bank saat ini lebih baik dibanding 1998. Pada
tahun 1998, banyak bank merupakan anggota dari sebuah konglomerasi
bisnis, serta sering disalahgunakan sebagai sumber pendanaan murah bagi
kegiatan anggota dari grup bisnis tersebut tanpa memikirkan risiko usaha.
Walaupun standar penyaluran kredit masih bisa diperbaiki, anda harus
mengakui bahwa krisis 1998 memberi banyak pelajaran berharga bagi para
bank untuk makin hati-hati dalam meminjamkan uang.
Ketiga, tata kelola belanja pemerintah sudah lebih baik dibanding
1998. Pemerintah sudah menerapkan batas defisit anggaran pada 3% PDB
setelah krisis 1998, sehingga risiko gagal bayar masih sangat rendah.
Lagipula, pemerintah saat ini lebih banyak membiayai belanjanya dari
penerimaan pajak (terutama pajak pendapatan) serta penerbitan surat
berharga di dalam negeri, yang lebih aman dibandingkan penerimaan royalti
tambang atau pinjaman bilateral luar negeri seperti di zaman sebelum krisis
1998
Anda yang memerhatikan pergerakan nilai tukar akan sadar bahwa Rupiah
sebenarnya telah melemah dari posisi tertinggi selama 10 tahun terakhir,
yaitu di kisaran Rp 8.500 pada sekitar tahun 2011 hingga ke Rp 14.000 pada
hari ini. Skala pelemahan yang sama (pelemahan 40%) sebetulnya tidak jauh
berbeda dengan kondisi 1998, di mana Rupiah melemah dari posisi sebelum
kerusuhan Mei 1998 (di atas Rp. 8.000) hingga ke titik nadir, yaitu Rp. 16.000
(dalam kurang dari 3 bulan). Kenyataan bahwa anda mungkin baru sadar hari
ini bahwa Rupiah telah melemah hampir 40% dalam 4 tahun, serta
pertumbuhan yang masih positif (walaupun melemah), menunjukkan bahwa
hal yang paling menentukan efek dari pelemahan nilai tukar bukanlah nilai
absolut pelemahan, namun seberapa cepat sebuah mata uang melemah.
Sebagai penutup, kita harus ingat bahwa pelemahan Rupiah kali ini
adalah pelemahan yang serius dan berpotensi berdampak buruk
bagi perekonomian. Namun demikian, kalau kita tidak tahu apa yang
menyebabkan Rupiah melemah dan langsung loncat ke dalam aksi saling
tuduh, kita sama sekali tidak membantu memulihkan kondisi perekonomian.
Kita harus bersiap menghadapi pelemahan, namun jangan lupa
bahwa pelemahan kali ini mungkin merupakan sebuah peringatan
yang “halus” bagi Indonesia untuk tidak terlena dengan kekayaan
sumber daya alam (yang ternyata bisa jadi kutukan) dan mulai
mengalihkan fokus, di jangka panjang, pada sektor yang bernilai tambah
lebih tinggi (yang memerlukan manusia berkualitas) dan tidak terlalu
terpengaruh krisis.
Semoga keadaan buruk seperti ini bisa membawa kebijakan dan respons
yang baik. Semoga.

Catatan:
Beberapa pembaca mungkin akan memprotes penulis karena terlalu
menyederhanakan banyak aspek dalam penjelasan mengenai pelemahan
Rupiah. Pertama, tidak ada penjelasan mengenai exchange rate
overshooting. Berikutnya, tidak ada penjelasan mengenai pelemahan nilai
tukar sebagai self-fulflling prophecy, yang merupakan corollary dari herd
behaviour (ya, pasar tidak selalu rasional) para investor saat ini bersentimen
sangat negatif terhadap semua kelas aset di negara berkembang. Kemudian,
tidak ada penjelasan bahwa hubungan terbalik antara nilai tukar dan net
export hanya akan terwujud apabila perekonomian tersebut
memenuhi Marshall-Lerner condition. Atau ketiadaan penjelasan mengenai
aksi China yang menimbulkan currency war atau kebingungan mengenai
kebijakan ekonomi China. Penyederhanaan juga dilakukan untuk
menggambarkan hubungan antara kebijakan moneter eksternal serta
peningkatan risiko internal terhadap real exchange rate; model yang benar
seharusnya menggunakan model Mundell-Fleming. Lalu mengapa penulis
tetap menggunakan penjalasan yang terlalu sederhana?
Memang penjelasan penulis tidak seakurat yang seharusnya, tapi mengingat
bahwa artikel ini ditujukan untuk pembaca awam, sangat penting untuk
menyederhanakan penjelasan sedemikian hingga pembaca tanpa latar
belakang ekonomi dapat mengerti.