Pengendalian Penyakit Karat Putih secara

TUGAS TERSTRUKTUR
PENGELOLAAN HAMA DAN PENYAKIT TERPADU

Pengendalian Penyakit Karat Putih secara Terpadu pada Tanaman Krisan
(Chrysanthemum sp.)

Oleh:
Nurlana Rahayu
Dewa Satria Hutapea
Ervinenti Desiana
Ipta Hidayati

A1L113009
A1L113013
A1L113019
A1L113021

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO

2015

1

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
karunia-Nya, sehingga penulisan makalah Pengelolaan Hama dan Penyakit
Terpadu berjudul “Pengendalian Penyakit Karat Putih secara Terpadu pada
Tanaman Krisan (Chrysanthemum sp.)” berhasil diselesaikan. Penulisan makalah
ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, perkenankan penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Heru Adi Djatmiko, MP, Bapak Ir. Wiyantono, MS, dan Ibu Ir.
Endang Warih M., MP selaku dosen pengampu mata kuliah Pengelolaan Hama
dan Penyakit yang telah memberikan arahan, bimbingan serta motivasi dalam
penyusunan makalah ini.
2. Semua pihak yang telah memberikan arahan, bimbingan serta motivasi dalam
penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih kurang sempurna. Meskipun
demikian, penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.


Purwokerto, 16 November 2015

Penulis

2

DAFTAR ISI
PRAKATA...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
I. PENDAHULUAN..........................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Tujuan..........................................................................................................2
II. PEMBAHASAN.............................................................................................3
A. Daerah Asal dan Penyebaran Krisan...........................................................3
B. Botani Tanaman Krisan...............................................................................4
C. Syarat Tumbuh Tanaman Krisan.................................................................7
D. Penyakit Karat Putih pada Tanaman Krisan................................................8
E. Pengendalian Penyakit...............................................................................13
III. PENUTUP................................ ...................................................................16

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................17

3

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Krisan merupakan tanaman hias yang cukup dikenal oleh masyarakat
pecinta tanaman hias baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Tanaman ini
cukup populer dan sangat prospektif untuk dikembangkan di Indonesia.
Keindahan bunga ini terletak pada variasi tipe dan warna yang sangat banyak,
sehingga memudahkan konsumen menggunakan untuk berbagai keperluan. Usaha
budidaya krisan telah berkembang di berbagai sentra produksi di Indonesia
sebagai usaha yang menguntungkan bagi petani. Seiring dengan meningkatnya
permintaan pasar, usaha budidaya bunga krisan yang awalnya terkonsentrasi di
Pulau Jawa, saat ini telah menyebar luas ke berbagai propinsi lain seperti:
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Bali, dan Sulawesi
Utara.

Budidaya krisan dilakukan oleh pelaku usaha berskala besar, menengah dan
kecil dengan segmen pasar yang berbeda. Pelaku usaha berskala besar umumnya
berorientasi pada usaha produksi untuk pemenuhan kebutuhan pasar domestik dan
internasional, sedang pelaku usaha menengah dan kecil mengakomodasi
permintaan pasar domestik.
Kendala dalam budidaya tanaman krisan salah satunya adalah penyakit karat
putih. Menurut Kristina et al. (1994), serangan penyakit karat putih (Puccinia horiana
P. Henn.) dapat menurunkan kesegaran bunga krisan (vase-life) menjadi hanya 5 hari,
padahal untuk bunga yang sehat tanpa cacat, kesegarannya dapat bertahan hingga 12
hari pada suhu ruangan (27–29°C). Kehilangan hasil akibat karat putih diperkirakan
mencapai 30% karena penurunan nilai jual dan penundaan waktu panen (Hanudin dan
1

Budi, 2012). PHT merupakan trend yang sedang digalakkan dewasa ini dalam

penerapan budidaya tanaman sehat. PHT pada krisan dinilai menguntungkan dari
segi ekonomis maupun segi ekologis. Oleh karena itu, pentingnya penerapan PHT
pada tanaman krisan diharapkan merupakan cara efektif yang dapat menurunkan
populasi patogen penyebab penyakit karat putih.
B. Tujuan

Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui penyakit karat putih dan
pengendalian penyakit karat putih secara terpadu pada tanaman krisan.

2

II.

PEMBAHASAN

A. Daerah Asal dan Penyebaran Krisan
Krisan, seruni atau “Bunga Emas” (Golden Flower) merupakan tanaman
bukan asli Indonesia. Sentrum asal tanaman krisan adalah dataran Cina. Konon di
dataran Cina ditemukan sumber genetik tanaman krisan jenis Chrysanthenum
indicum (berbunga kuning), C.morifolium (ungu dan pink), dan C.daisy (bulan,
pompon). Aneka jenis krisan yang pertama kali ditemukan disebut “Krisan Kuno”
(Rukmana dan Asep, 1997).
Rintisan budidaya krisan sebagai tanaman hias terjadi di Cina sekitar 500
tahun Sebelum Masehi (SM). Namun jenis atau varietas krisan yang
dikembangkan di Cina, ternyata berasal dari Jepang. Konon di Jepang pada abad
ke-4 orang mulai tertarik untuk membudidayakan krisan. Negara tersebut berjasa

dalam memperkenalkan dan mengembangkan krisan, sehingga pada tahun 797
bunga krisan dijadikan lambang atau simbol kekaisaran Jepang dengan sebutan
Queen of The East (Sang Ratu dari Negeri Timur) (Rukmana dan Asep, 1997).
Dalam perkembangannya, tanaman krisan yang berasal dari Cina dan Jepang
menyebar ke kawasan Eropa. Budidaya krisan di kawasan Eropa mulai intensif
tahun 1795. Jenis atau varietas krisan modern diduga mulai ditemukan pada abad
ke-17. Para ahli tanaman melakukan seleksi dan hibridisasi untuk menghasilkan
aneka jenis atau verietas baru, kemudian disebarluaskan ke Amerika, Eropa dan
Asia. Krisan masuk ke Indonesia diperkirakan pada tahun 1800. Sejak tahun 1940,
krisan dikembangkan sebagai tanaman hias potensial dan sekarang diancang
secara komersial. Daerah sentrum produsen krisan antara lain adalah Cipanas,

3

Cisarua, Sukabumi, Lembang, Bandungan dan Brastagi. Jenis atau varietas yang
dikembangkan umumnya krisan hibrida asal negeri Belanda, Amerika Serikat dan
Jepang (Rukmana dan Asep, 1997)
Krisan atau seruni (Chrysanthemum sp.) dapat dimanfaatkan sebagai bunga
potong maupun sebagai tanaman pot. Penggunaan krisan sebagai bunga potong
telah lama dimanfaatkan, sedangkan krisan sebagai bunga pot berkembang

kemudian (Handajaningsih dan Wibisono, 2009).
B. Botani Tanaman Krisan
Klasifikasi tanaman krisan menurut

Rukmana dan Asep (1997) adalah

sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae

Divisio

: Spermatophyta

Subdivisio

: Angiospermae

Classis


: Dycotyledoneae

Ordo

: Asterales

Familia

: Asteraceae

Genus

: Chrysanthemum

Species

: C. morifolium Ramat, C. indicum, C. daisy dan lain-lain.

Krisan merupakan tanaman hias bunga perdu. Bentuk bunga krisan

dibedakan menjadi beberapa golongan menurut Nuryanto (2007) antara lain:
1. Bentuk tunggal
Bunga krisan bentuk tunggal ditandai dengan adanya 1 kuntum bunga pada
tiap tangkai tanaman sementara piringan dasar bynga sempit serta susunan
mahkota bunga yang hanya terdapat satu lapis saja.

4

2. Bentuk anemone
Bunga krisan bentuk anemone ditandai dengan piringan dasar yang lebar
dan tebal sementara susunan mahkotabunga sama denan bentuk tunggal karena
hanya terdapat satu lapis saja. Pada tiap tangkai tanaman krisan enis ini juga
hanya ditumbuhi satu kuntum bunga saja.
3. Bentuk pompon
Bunga krisan bentuk pompon atau bentuk bulat seperti bola ditandai dengan
adanya mahkota buga yang mengarah ke semua arah dan berlapis-lapis mahkota
bunganya sehingga berbentuk melingkar dan mirip dengan bulatan bola. Pada
krisan bentuk ini piringan dasar bunganya tidak tampak karena tertutup dengan
mahkota bunga yang banyak
4. Bentuk besar

Bunga krisan bentuk besar ditandai dengan ukuran bunga yang besar hingga
diameter masing-masing bunga mencapai lebih dari 10 cm. Satu kuntum bunga
bentuk besar akan tumbuh pada tiap tangkai bunga dan piringan dasar bunga pada
bentuk besar ini tidak tampak karena tertutup

dengan mahkota bunga yang

bentuknya bervariasi seperti pipih kaku, menekuk ke luar dan ke dalam, hingga
berbentuk seperti sendok makan.
5. Bentuk dekoratif
Bunga krisan bentuk dekoratif ditandai dengan adanya mahkota bunga yang
tertumpuk rapat seperti pada bentuk pompon namun pada mahkota yang terletak
di tengah, bentuknya pendek sementara semakin ke tepi bentuk mahkotanya
semakin panjang. Piringan dasar bunga yang banyak dan rimbun.

5

Tanaman krisan berbatang dengan struktur lunak dan berwarna hijau,
tumbuh tegak dan menyeak mencapai tinggi hingga 200 cm. Batang tanaman ini
bila sudah tua akan semakin berwarna hijau tua kecoklat-coklatan dan mengeras.

Tanaman krisan memiliki akar yang menyebar ke segala arah di dalam tanah
dengan kedalaman mencapai 30 hingga 40 cm. Akar tanaman ini mudah
mengalami kerusakan yang diakibatkan pengaruh lingkungan tanaman seperti
kandungan nutrisi pada tanah atau media tanam yang kurang, pengairan yang
tidak baik serta kandungan keasaman yang tidak sesuai.
Menurut Prihatman (2000) krisan yang ditanam di Indonesia terdiri atas:
1. Krisan lokal (krisan kuno)
Krisan lokal berasal dari luar negri, tetapi telah lama dan beradaptasi di
Indoenesia maka dianggap sebagai krisan lokal. Ciri-cirinya antara lain sifat
hidup di hari netral dan siklus hidup antara 7-12 bulan dalam satu kali
penanaman. Contoh C. maximum berbunga kuning banyak ditanam di
Lembang dan berbunga putih di Cipanas(Cianjur).
2. Krisan introduksi (krisan modern atau krisan hibrida)
Krisan introduksi hidupnya berhari pendek dan bersifat sebagai tanaman
annual. Contoh krisan ini adalah C. indicum hybr. Dark Flamingo, C.i.hybr.
Dolaroid,C. i. Hybr. Indianapolis (berbunga kuning) Cossa, Clingo, Fleyer
(berbunga putih), Alexandra Van Zaal (berbunga merah) dan Pink Pingpong
(berbunga pink).
3. Krisan produk Indonesia

6

Balai Penelitian Tanaman Hias Cipanas telah melepas varietas krisan
buatan Indonesia yaitu varietas Balithi 27.108, 13.97, 27.177, 28.7 dan
30.13A.
C. Syarat Tumbuh Tanaman Krisan
Pada budidaya tanaman krisan memang memang membutuhkan air yang
memadai, akan tetapi tanaman bunga krisan tidak tahan terhadap terpaan air
hujan. Oleh karena itu untuk budidaya yang terbaik dan mendapatkan hasil yang
maksimal didaerah yang curah hujannya tinggi, penanaman dilakukan di dalam
bangunan rumah plastik. Untuk mendapatkan tanaman dapat berbunga secara
maksimal maka tanaman krisan perlu membutuhkan cahaya yang lebih lama yaitu
dengan bantuan cahaya dari lampu TL dan lampu pijar. Penambahan penyinaran
yang paling baik adalah tengah malam antara jam 22.30–01.00 dengan lampu 150
watt untuk areal 9 m 2 dan lampu dipasang setinggi 1,5 m dari permukaan tanah.
Periode pemasangan lampu dilakukan sampai fase vegetatif (2-8 minggu) untuk
mendorong pembentukan bunga (Dalmadi, 2014).
Suhu udara terbaik yang dibutuhkan pada tanaman krisan untuk daerah
tropis seperti Indonesia adalah antara 20-26 derajat C. Toleran suhu udara untuk
tetap tumbuh adalah 17-30 derajat C. Tanaman krisan juga membutuhkan
kelembaban yang tinggi untuk awal pembentukan akar bibit, pada benih yang
dibutuhkan untuk tanaman setek diperlukan 90-95%. Tanaman muda sampai
dewasa antara 70-80%, diimbangi dengan sirkulasi udara yang memadai
(Dalmadi, 2014).
Kadar CO2 di alam sekitar 3000 ppm. Kadar CO2 yang ideal untuk memacu
fotosistesa antara 600-900 ppm. Pada pembudidayaan tanaman krisan dalam

7

bangunan tertutup, seperti rumah plastik, greenhouse, dapat ditambahkan CO 2,
hingga mencapai kadar yang dianjurkan. Media tanam tanah yang ideal untuk
tanaman krisan adalah bertekstur liat berpasir, subur, gembur dan drainasenya
baik, tidak mengandung hama dan penyakit. Derajat keasaman tanah yang baik
untuk pertumbuhan tanaman pH sekitar 5,5-6,7. ketinggian tempat yang ideal
untuk budidaya tanaman ini antara 700–1200 m dpl (Dalmadi, 2014).
Budidaya krisan untuk bunga potong, kualitas benih sangat mempengaruhi
hasil pembungaannya. Penggunaan benih yang berkualitas sangat penting untuk
diperhatikan dalam proses produksi tanaman krisan. Budiarto (2006) dalam
Istianingrum (2013) berpendapat bahwa benih yang sehat dan prima berpotensi
untuk menghasilkan tanaman yang tumbuh secara optimal dan responsif terhadap
agro-input, selanjutnya dapat menghasilkan kualitas bunga yang memadai
(Istianingrum, dkk. 2013)
D. Penyakit Karat Putih pada Tanaman Krisan
Krisan merupakan tanaman hortikultura yang memiliki nilai ekonomis yang
tinggi. Penyakit yang dapat menurunkan kualitas krisan salah satunya yaitu
penyakit karat putih. Berikut informasi mengenai penyakit karat putih:
1. Sebaran penyakit
Karat krisan tersebar luas di seluruh dunia. Selain di Indonesia, penyakit
terdapat di Malaysia, Filipina. Di Pacet, Cianjur hampir semua tanaman
terjangkit oleh penyakit ini. Penyakit ini juga umum terdapat pada pertanaman
krisan dalam rumah plastik di Bandungan, Semarang (Semangun, 2007).
2. Penyebab penyakit dan Gejala

8

Penyakit karat (white rust) yang disebabkan oleh Puccinia horiana P.Henn.
jamur ini membentuk banyak teliospora pada sisi bawah daun, teliosorus
berwarna putih, bagian tengahnya agak kecoklatan (Gambar 26.1). P.horiana
adalah jamur mikrosiklik, yang tidak memerlukan tumbuan inang lain untuk
menyelesaikan daur hidupnya. Spermogonium, aesium, dan uredinium tidak
dikenal. Telium kompak, diameter 2-4 mm, sering mengumpul dengan pola
melingkar. Teliospora jorong memanjang, atau berbentuk gada, 30-52 x 11-18
sekat, dinding sel kuning pucat, halus, tebal 1-2µm dan sisinya, 2,5-8 µm pada
ujungnya, tangkai halin, persisten, panjangnya sampai 45 µm (Semangun, 2007).

Teliospora dapat ditemukan pada berbagai stadia pertumbuhan tanaman
(Szakuta dan Butrymowicz 2004).

9

Gambar 1. Hialin teliospora dari Puccinia horiana (A) dan tangkai teliospora (B)
(Szakuta dan Butrymowicz 2004).

Teliospora dan basidiospora adalah spora-spora dari jamur P. horiana.
Basidiospora adalah spora yang dibentuk oleh teliospora. Pada saat teliospora
jamur berkecambah, maka basidiospora akan keluar dan menempel pada
permukaan daun dengan bantuan angin kemudian basidiospora tersebut
melakukan penetrasi dan menginfeksi daun tanaman.
Penyakit karat putih terutama menyerang daun, sejak di pembibitan/
pengakaran sampai panen. Penyakit karat ditandai oleh gejala karat (rust)
berwarna putih kotor pada permukaan daun bagian bawah. Bila serangannya
berat, daun menjadi menggulung, mengerut, dan mengering. Bila serangan terjadi
pada saat bunga belum mekar, bunga akan gagal mekar atau mekar terlambat dan
ukurannya menjadi kecil. Gejala penyakit karat muncul 7−10 hari setelah infeksi
pada suhu > 24°C dan 8 hari pada suhu 30°C (MacDonald 2001).
Pada umumnya gejala penyakit akan timbul apabila terjadi interaksi antara
tiga faktor, yaitu patogen yang virulen, inang yang rentan, dan lingkungan yang

10

kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Hal ini dikenal dengan
sebutan segitiga penyakit (Agrios 1988). Perkembangan gejala serangan P.
horiana pada daun krisan dimulai dengan munculnya bercak berwarna kuning
pada permukaan atas daun, yang kemudian diikuti dengan perubahan warna pusat
bercak dari putih menjadi coklat tua. Pada permukaan bawah daun terbentuk
pustul yang pada awalnya berwarna merah muda, selanjutnya pustul membesar,
berwarna putih, dan akhirnya tanaman mati. Pustul karat sebenarnya merupakan
kumpulan teliospora yang akan berkecambah membentuk basidiospora yang
kemudian

menginfeksi

tanaman

(Suhardi,2009a).

Berdasarkan

penelitian

terdahulu pada tanaman yang rentan, patogen dapat menimbulkan kerusakan
tanaman mencapai 100%, sehingga tanaman tidak menghasilkan bunga, karena
cendawan telah menginfeksi sejak tanaman berumur 30 hari setelah tanam (HST)
(Rahardjo dan Suhardi, 2008).
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit
Faktor

yang

mempengaruhi

penyakit

yaitu

gulma.

Gulma

dapat

meningkatkan kelembapan pertanaman yang membantu dalam perkembangan
penyakit.
4. Kisaran inang
Penyakit karat putih memiliki inang yang terbatas, seperti krisan
(Dendranthema grandiflorum = Chrysanthemum morifolium), krisan Jepang
(Nipponicanthemum

nipponicum

=

Chrysanthemum

Chrysanthemum pacificum (Ajania pacifica).

11

nipponicum),

dan

E. Pengendalian Penyakit
Upaya pengendalian penyakit karat putih pada krisan perlu dilakukan secara
terintegrasi, melalui penggabungan berbagai teknik pengendalian. Berdasarkan
hasil penelitian di dalam dan luar negeri, penyakit karat putih pada krisan dapat
dikendalikan melalui berbagai cara sebagai berikut:
1. Penggunaan Varietas Toleran
Penggunaan varietas toleran merupakan langkah strategis untuk mengurangi
sumber inokulum penyakit karat putih pada krisan. Dalam praktik budi daya
krisan, petani biasanya menanam berbagai varietas. Varietas krisan yang beredar
di Indonesia cukup banyak dan umumnya merupakan varietas introduksi, seperti
Fiji, Ellen, Remi x Red, Discovery, Regata, Starlion, Lameet, Paso Double,
Stroika, Viron, Puma White, Semifill, Catre, Shena, dan Sumrock (Komar et al.
dalam Marwoto 2012).
2. Sanitasi lingkungan
Pembersihan lingkungan dari sekitar pertanaman krisan.

Bembuangan

bunga- bunga yang kualitasnya buruk, pemangkasan daun-daun yang sudah tidak
produktif.
3. Perompesan daun dan penyiangan dalam budi daya krisan
Petani umumnya melakukan perompesan daun-daun bawah, penyemprotan
fungisida secara teratur, serta tindakan agronomis lainnya. Perompesan daun,
terutama menjelang fase generatif, biasanya dilakukan bersamaan dengan
penyiangan untuk mengurangi kelembapan di antara tanaman. Perompesan daundaun bawah yang diikuti dengan penyemprotan fungisida dapat mengurangi

12

intensitas serangan penyakit karat pada tanaman krisan (Djatnika dalam Marwoto
2012). Selanjutnya Suhardi et al. dalam Marwoto (2012) melaporkan bahwa
perompesan daun dapat menurunkan intensitas serangan penyakit karat antara 3%
dan 44%. Penyiangan secara manual maupun dengan herbisida hanya dapat
mengurangi intensitas serangan pada awal pertumbuhan tanaman (Djatnika et al.
dalam Marwoto 2012).
4. Penggunaan mikroba antagonis
Bacillus subtilis dan Pseudomonas fluorescens adalah mikroba antagonis
yang telah digunakan sebagai bahan aktif biopestisida yang ramah lingkungan.
Hasil penelitian Hanudin et al. dalam Marwoto (2012) menunjukan b. subtilis
BHN 4 dan P. fluorescens Pf 18 dengan bahan pembawanya parafin cair dan
parafin hidrokarbon (Hanudin et al. dalam Marwoto 2012). Tiga isolat bakteri
antagonis yang digunakan sebagai bahan aktif biopestisida ialah Bacillus subtilis
nomor isolat BaAkCs-3, Corynebacterium-2, dan P. fluorescens nomor isolat Pf-3
Sm, dengan bahan pembawanya ekstrak kascing ditambah molase dan gula pasir
(Hanudin et al. 2010). Keunggulan B. subtilis dan P. fluorescens dalam
mengendalikan beberapa patogen telah diuraikan sebelumnya. Keunggulan
Corynebacterium yang digabungkan dengan kedua bakteri antagonis tersebut dan
formulasinya yang baru dijelaskan sebagai berikut. Biopestisida berbahan aktif B.
subtilis, P. fluorescens, dan Corynebacterium yang diformulasikan dengan bahan
pembawa ekstrak kentang, kascing, gula pasir, dan molase pada konsentrasi 0,3%
dapat

menekan

intensitas

serangan

P.

horiana

sebesar

38,49%

dan

mempertahankan hasil panen bunga krisan layak jual sebanyak 14,58%.
Pengendalian penyakit karat putih pada krisan dengan menggunakan tiga bakteri
antagonis sebagai bahan aktif dan bahan organik sebagai pembawanya,

13

mempunyai prospek yang cerah pada masa yang akan datang. Saat ini telah ada
mitra dari pihak swasta yang berminat memproduksi biopestisida tersebut secara
missal.
5. Penggunaan fungisida
Fungisida merupakan sarana produksi yang selalu digunakan dalam budi
daya krisan. Penggunaan fungisida biasanya dilakukan melalui percobaan (trial
and error) karena sampai sekarang belum ada satu pun fungisida yang terdaftar
untuk pengendalian penyakit karat pada krisan. Namun, Bonde et al. dalam
Marwoto (2012) melaporkan bahwa fungisida miklobutanil konsentrasi 100 mg/l
yang diaplikasikan dengan cara mencelupkan setek pucuk krisan pada larutan
fungisida tersebut sebelum tanam, efektif mengendalikan penyakit karat putih.
Selanjutnya Sutater et al. dalam Marwoto (2012) melaporkan bahwa fungisida
yang banyak digunakan petani krisan di Cisarua, Kabupaten Bandung Barat,
untuk menanggulangi penyakit karat ialah propineb dan mankozeb yang
membutuhkan biaya sekitar 13% dari biaya produksi total. Selain fungisida
tersebut, dua perusahaan eksportir bunga krisan menggunakan fungisida
heksakonazol 50 SC dan benomil 50 WP dengan takaran lebih rendah. Menurut
Suhardi et al dalam Marwoto (2012), penyemprotan fungisida dapat menekan
intensitas penyakit karat 20– 49% .
6. Pemusnahan Tanaman Terserang
Tanaman yang mengalami kerusakan berat akibat serangan penyakit bisa
segera dicaut sampai ke akar-akarnya, kemudian dibakar. Hal ini dilakukan agar
pathogen karat putih tidak menyebar kepertanaman yang lain.

III.

PENUTUP

14

A. Kesimpulan
Krisan merupakan tanaman hortikultura yang memiliki nilai ekonomis
tinggi. Bentuk bunga beragam sesuai dengan varietasnya, berbatang dengan
struktur lunak dan berwarna hijau, dan tumbuh tegak. Penyakit yang terdapat pada
tanaman krisan yaitu karat putih. Karat putih disebabkan oleh Puccinia horiana
P.Henn. Penyakit karat ditandai oleh gejala karat (rust) berwarna putih kotor pada
permukaan daun bagian bawah. Bila serangannya berat, daun menjadi
menggulung, mengerut, dan mengering. Bila serangan terjadi pada saat bunga
belum mekar, bunga akan gagal mekar atau mekar terlambat dan ukurannya
menjadi kecil.
Pengendalian penyakit menggunakan komponen PHT yang terdiri dari
penggunaan varietas tahan penyakit, sanitasi lingkungan, perompesan daun dan
penyiangan dalam budidaya, penggunaan mikroba antagonis seperti Bacillus
subtilis dan Pseudomonas fluorescens, penggunaan fungisida miklobutanil
konsentrasi 100 mg/l pada bibit stek, serta dengan eradikasi tanaman terserang.
B. Saran
Pengendalian penyakit karat putih sebaiknya diterapkan secara terpadu agar
berjalan efektif dan efisien.

15

DAFTAR PUSTAKA

Agrios, GN. 1988. Plant diseases epidemiology. P. 156-179. In Plant Pathology.
Third Ed. Academic Press, Inc., New Yorks and london.
Dalmadi. 2014. Deskripsi Bunga Krisan. Artikel .
http://cybex.pertanian.go.id/materipenyuluhan/detail/9506/deskripsibunga-krisan diakses pada 15 november 2015.
Handajaningsih. Merakati dan Toni Wibisono. 2009. Pertumbuhan dan
Pembungaan Krisan dengan Pemberian Abu Janjang Kelapa Sawit Sebagai
Sumber Kalium. Jurnal Akta Agrosia.12(1):8 – 14.
Hanudin dan Budi Marwoto. 2012. Penyakit Karat Putih pada Krisan dan Upaya
Pengendaliannya. Jurnal Litbang Pertanian. 31(2).
Istianingrum. Putri. Damanhuri, Lita Soetopo. 2013. Pengaruh Generasi Benih
Terhadap Pertumbuhan dan Pembungaan Krisan (Chrysanthemum)
Varietas Rhino. Jurnal Produksi Tanaman.1(3).
MacDonald, L. 2001. Chrysanthenum White Rust. Pest Managementt. Gov.
British Columbia. http://www.agf.gov.bc.ca/cropprot/cwrust.htm
Marwoto B., dan Harna. 2012. Penyakit Karat Putih pada Krisan dan Upaya
Pengendaliaannya. Jurna Litbang Pertanian. 31 (2).
Prihatman, Kemal. 2000. Krisan (C. morifolium Ramat, C. indicum, C. daisy ).
Artikel. http://www.ristek.go.id diakses pada 15 November 2015.
Rahardjo dan Suhardi. 2008. Insidensi dan Intensitas Serangan Penyakit Karat
Putih pada Beberapa Klon Krisan. J. Hort. 18(3):312-318
Rukmana. Rahmat dan Asep Eka Mulyana.1997. Krisan. Kanisius. Yogyakarta.
Semangun. Haryono. 2007. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di
Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Suhardi. 2009a. Sumber Inokulum, Respos Varietas, dan Efektivitas Fungisida
terhadap Penyakit Karat Putih pada Tanaman Krisan. J. Hort. 19 (2): 207209.
Szakuta, G. And J. Butrymowicz. 2004. Diagnostic protosols regulated pest.
European and Mediterranean Plant Protection Organization (EPPO),
Agricultural Reasearch Center (ARC), Dept. Of Crop Protection,
Merelbeke, Belgium. EPPO Bull. 24:155-157.

16