Fungsi Upakara Dalam kehidupan Hindu di

Fungsi Upakara
Dalam kehidupan Hindu di Bali , masyarakat tidak terlepas dari kehidupan
kagamaan yng berkembang sesuai dengan adat istiadat di tempatnya.
Dalam mlakukan korban suci atau yadnya , umat hindu khususnya di bali
lebih banyak melakukan daalm bentuk banten/upakara. Banten adalah
wujud korban suci kepada Hyang Widhi. Adapun fungsi banten/upakara
dalam upacara keagamaan adalah:
1. Upakara adalah wujud dari cetusan hati untuk menyatakan terima
kasih kehadapan Hyang Widhi atas semua anugrahNya,
memberikan kehidupan dan segala kebutuhan hidup manusia. Bagi
mereka yang menjalani yoga semadhi, banten/upakara bukan syarat
mutlak, karena mereka mampu melakukannya dengan tingkat
bathin yang tinggi sambil melakukan puasa dan bertapa sebagai
wujud cinta kasihnya kpada Hyang Widhi. Bagi mereka yang belum
mampu melakukan yoga semadhi, maka banten/upakara adalah
cara sederhana dalam mengungkapkan rasa syukurnya kehadapan
Hyang Widhi.
2. Upakara adalah alat konsentrasi pikiran untuk memuja Hyang Widhi.
Saat seseorang sedang membuat banten atau upakara ini, maka
pikirannya akan selalu tertuju pada Hyang Widhi, secara tidak
sengaja mereka selalu memuja Hyang Widhi.

3. Upakara/ banten adalah perwujudan/tapakan dari Hyang Widhi.
Dalam banten di bali, pembuatannya memakai bahan yang
melambangkan dewa-dewa tertentu, misalnya kelapa wujud Dewa
Brahma, air wujud Dewa Wisnu dll.
Dalam upacara keagamaan di Bali, banten / upakara adalah syarat mutlak
yang diperlukan agar pemujaan kepada Hyang Widhi dapat kita lakukan
sesempurna mungkin.
Dalam Bagawad Gita ada sloka yang berbunyi:
PATRAM PUSPAM PHALAM TOYAM
YO ME BHAKTYA PRAYACEHATI
TAD AHAM BHAKTYUPAHRTAM
ASNAMI PRAYATATMANAH
Artinya:
Siapapun yang dengan kesujudan mempersembahkan kepadaKu
daun, bunga, buah, atau air, yang didasari cinta kasih dan keluar
dari hati, Aku terima.

Om Swastyastu,
Seperti daerah lainnya di Indonesia, Bali memiliki berbagai keunikan baik dalam ragam
budaya tradisional dan karya seninya, juga dalam ragam makanan khasnya. Selain itu yang

berhubungan erat dengan sarana upacara yadnya tak terkecuali sarana bebantenan yang
dipadukan dengan atribut makanan ataupun simbul-simbul tradisional yang sering disebut
sebagai sarana Upacara yang merupakan bagian dari wujud persembahan sebagai wujud bakti
umat hindu.
Berikut ini saya mencoba merangkum beberapa arti dan fungsi sarana upacara menurut kajian
filosofis yang saya dapatkan dari beberapa sumber pustaka, dan semoga tulisan ini dapat
bermanfaat bagi umat hindu yang memerlukannya.
Seiring dengan pesatnya perkembangan Iptek dan gencarnya penyiaran agama baik yang
dilakukan oleh PHDI, Departemen Agama, LSM, Organisasi Kepemudaan, Banjar dan Desa
Adat, membuat perkembangan umat Hindu terutama dari sisi kualitas semakin
menggembirakan. Hal ini tampak dengan semarak diadakannya acara-acara keagamaan baik
dalam bidang ritual, kesenian, seminar keagamaan, munculnya kelompok – kelompok kajian
Veda, sekeha pesantian, kelompok meditasi dan sebagainya. Kondisi ini menggambarkan
adanya penyadaran akan eksisitensi sebagai hamba Hyang Widhi, dengan selalu mendekatkan
diri kepadaNya melalui jalan Bhakti, dengan melakukan pemujaan ataupun dengan Upacāra
yajña. Namun di balik semua kemeriahan dan ketaatan itu, belum kita rasakan ada
dampaknya terhadap kehidupan Umat Hindu secara umum, justru semakin banyaknya konflik
yang terjadi, rasa kebersamaan, kesetaraan dan toleransi di antara sesama umat Hindu
semakin menipis, masih adanya diskriminasi dalam kehidupan beragama (apalagi di Bali),
dengan dalih ”Aywa Wera” dan masih banyaknya oknum yang mengobjekkan umatnya

sendiri, dengan memanfaatkan berbagai kelemahan dan ketidaktahuan umat, demi
keuntungan pribadi dan kelompok mereka sendiri, dengan mengatakan ’kamu tidak boleh
membuat ini ataupun itu, karena kamu orang sudra/panjak, berasal dari non- Bali dan
tadinya non- Hindu, kamu tidak boleh memada-mada’.
Berbeda dari apa yang terdapat dalam susastra Veda, bahwa semua umat berhak dan wajib
mengetahui, meresapi, menghayati dan melaksanakan segala kewajiban agama sebagai
sebuah Dharma sesuai dengan guna dan swadharmanya masing-masing, terlepas dari siapa
mereka, apa warna kulitnya, dari kelahiran mana mereka berasal, apa jabatannya, semuanya
harus tunduk kepada hukum hukum agama, baik Sruti Smrti, Sila, Acara dan Ātma nastusti
(Manawadharmasastra, II.6).
Ajaran Agama tidak cukup hanya diketahui dan dimengerti saja, harus dibarengi dengan
penghayatannya, dari semua itu pengamalan dalam bentuk perilaku sehari-hari kita di dalam
bermasyarakat itulah yang paling utama. Semakin sering kita sembahyang, beryajña,
membuat Upakāra hendaknya kita dapat meningkatkan sikap, moral dan perilaku kita
menuju kualitas yang lebih baik dan benar sesuai dengan kaidah Dharma. Karena setiap
Upacāra dan Upakāra yang kita buat pada dasarnya merupakan penjabaran ajaran agama dan
memiliki hakekat sebagai pembelajaran diri, dalam menata hidup dan kehidupan sehingga
dapat meniti ke tujuan utama kelahiran ini, yaitu ”Mokshartam Jagadhita”

Setiap Upacāra (proses untuk mendekatkan diri dengan Brahman) agama selalu disertai

dengan Upakāra (sarana yang dipakai sebagai media pemujaan Brahman), baik dalam
wujud kecil (sederhana/kanistama), menengah (madhyama) maupun besar (mewah/uttama),
hendaknya dibarengi dengan memahami akan tujuan Upacāra tersebut dan memahami
makna Upakāra nya. Oleh karena itu Upacāra dan Upakāra harus mengacu kepada sastrasastra agama, bukan hanya dilandasi dengan ”Gugon Tuwon, Anak Mula Keto”
Banten dalam agama Hindu adalah bahasa agama. Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu
disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Ada yang meggunakan bahasa tulis seperti
dalam kitab Veda Samhita disampaikan dengan bahasa Sanskerta, ada disampaikan dengan
bahasa lisan. Bahasa lisan ini sesuai dengan bahasa tulisnya. Setelah di Indonesia
disampaikan dengan bahasa Jawa Kuno dan di Bali disampaikan dengan bahasa Bali.
Disamping itu Veda juga disampaikan dengan bahasa Mona. Mona artinya diam namun
banyak mengandung informasi tentang kebenaran Veda dan bahasa Mona itu adalah banten.
Dalam Lontar Yajña Prakrti disebutkan: “ sahananing bebanten pinaka raganta tuwi,
pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana” artinya: semua jenis banten
(upakāra) adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan
sebagai lambang Bhuana Agung (alam semesta) Demikian pula dalam Lontar Tegesing
Sarwa Banten, dinyatakan: “ Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane
jangkep galang” Artinya: Banten itu adalah buah pemikiran artinya pemikiran yang lengkap
dan bersih.
Bila dihayati secara mendalam, banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap yang
didasari dengan hati yang tulus dan suci. Mewujudkan banten yang akan dapat disaksikan

berwujud indah, rapi, meriah dan unik mengandung simbol, diawali dari pemikiran yang
bersih, tulus dan suci. Bentuk banten itu mempunyai makna dan nilai yang tinggi
mengandung simbolis filosofis yang mendalam. Banten itu kemudian dipakai untuk
menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih.
Fungsi Upakāra Secara Umum
1. Sebagai linggih dan perwujudan Hyang Widhi
2. Sebagai sarana cetusan angayu bagia (persembahan)
3. Seagai sarana permohonan
4. Sebagai sarana pensucian lahir-batin

Umbul-Umbul Sebagai Sarana Upacara Agama Hindu Di Bali
By Mudra I Wayan

Abstract
Budaya masyarakat Bali yang sarat aktivitas keagamaan, adat, dan seni dengan konsep dasar
sistem simbol yang menyatu dan berhubungan erat dengan keyakinan dan kepercayaan pada
dewa-dewa maupun totemisme. Sistem budaya yang terdiri dari gagasan, pikiran, konsep,
nilai-nilai, norma, dan pandangan oleh pemangku kebudayaan diwujudkan secara yang
disebut social system atau sistem kemasyarakatan yang berwujud "kelakuan" maupun
material culture "hasil karya kelakuan. Umbul-umbul sebagai material kultur, tidak cukup

hanya diberi perhatian/perlindungan. Kreativitas yang inovatif di jaman sekarang perlu
diantisipasi dan menjadi tanggungjawab kita bersama khususnya PHDI (Parisada Hindu
dharma Indonesia) yang wajib dan berkepentingan dibidang tersebut. Generasi kini tanpa
diharapkan telah mencari dan mengupayakan penciptaan karya seni baru seperti umbulumbul sesuai dengan jiwa zamannya dan secara tidak disadari memilah dan
mengesampingkan nilai-nilai filosofis yang terkandung didalamnya. Padahal umbul-umbul
terkait erat dengan sarana ritual keagamaam. Perubahan yang kerap terjadi pada jenis umbulumbul berdasarkan pengamatan yang dilakukan terletak pada penempatan dan struktur yang
ada. Kesamaan struktur umbul-umbul yang dijadikan sarana upacara keagamaan dengan yang
dijadikan dekorasi dibeberapa tempat umum hampir tidak ada perbedaan. Menurut ketua
Parisada Hindu dharma Indonesia umbul-umbul yang disakralkan hendaknya diisi gantungan.
Gantungan yang dimaksud mungkin bentuk jantung/hati yang ada pada ujung umbul-umbul.
Sedangkan menurut Ida Pedanda Gde Pasuruan dari Griya Sibetan Karangasem, yang
terpenting dalam umbul-umbul selain ada gambar naga taksaka sebagai penguasa alam atas,
harus ada sigi tiga pada ujungnya. Dan ujungnya itulah sebenarnya yang disebut umbulumbul. Adapun makna dari umbul-umbul tersebut adalah nada atau aksara nada. Makna dari
naga itu sendiri adalah sebagai penuntun atau tali penuntun yang menghubungkan umat
dengan tuhannya dalam upaya mendapatkan merta atau kesejahteraan. Sedangkan menurut
Ida Bagus Sudarsana seorang agamawan, hiasan umbul-umbul adalah naga gombang sebagai
simbol air dan kekuatan wisnu dengan aksara Ungkara.

Hasil dari penginderaan menoreh kesan dalam pikiran
Manusia dapat mengetahui sesuatu berkat adanya pancaindra. Panca Indra bekerja secara

otomatis dan langsung memberikan kesan atau catatan kepada otak selanjutnya menjadi
kesan dan pengetahuan. Misalnya; orang mengetahui warna darah itu merah karena mata
melihat (mengindra) terlebih dahulu sehingga otak dapat menyimpulkan bahwa warna darah
itu merah. Sehingga setiap ada yang mengatakan darah, otomatis muncul dalam pikiran kita
bahwa warna darah itu pasti merah, walaupun kita belum melihatnya langsung. Karena
pengetahuan tentang warna darah itu merah, didapati dari hasil pangindraan mata kita.
Demikian pula halnya fungsi panca indra yang lainnya. Kesemuanya itu memberikan laporan
ke otak itulah proses terjadinya pengetahuan dalam diri manusia. Sehubungan dengan hal
tersebut, memang tepat sekali usaha para leluhur kita di dalam menanamkan pengetahuan
tentang kesucian (Ketuhanan), kepada kita melalui tuntunan panca indra melalui fungsi panca
indra itu masing-masing.
Untuk dapat mengadakan kontak (hubungan) dengan Ida Sang Hyang Widhi dengan
sempurna, pertama-tama harus dibuat kesan dalam pikiran, yang mana kesan tersebut
mengarah kepada kesucian. Jadi semua indra harus merekam kesan kesucian, untuk
memunculkan rasa kesucian. Selanjutnya kita akan menghubungkan diri dengan kesucian
yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sehubungan dengan hal tersebutlah dibangun pura,
dibuatkan aktivitas upacara agama, dengan segala kelengkapannya, seperti atribut-atribut,
sebagai simbul-simbul para Dewata, dan ditetapkannya hari-hari suci keagamaan sebagai
waktu mengadakan kontak dengan Sang Pencipta pada saat-saat tertentu, selain kontak rutin
kepada Beliau yang merupakan kewajiban hidup.

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan lebih sempurna, bisa diambil satu contoh,
misalnya;
Aktivitas pujawali di Pura. Seperti yang sudah kita ketahui bersama, pura merupakan tempat
suci dan tempat memuja manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang dilakukan saat-saat
tertentu sesuai dengan waktu yang telah disepakati secara sekala maupun niskala. Pada waktu
hari puja wali sepenuhnya merupakan aktivitas rekaman dari panca indra. Mulai dari mata,
hidung, telinga, mulut (lidah), dan kulit.
Disitulah ditampilkan objek rekaman yang dapat menimbulkan kesan kesucian. Seperti;
keasrian pura dengan hiasan yang penuh dengan simbul-simbul Dewata, ada yang berupa
umbul-umbul yang bergambarkan naga, bendera (kober) yang bergambar burung garuda,
bergambar Anoman, sarat dengan makna filosofis. Yang mana semuanya akan direkam oleh
mata. Bau dupa yang harum, wanginya bau kembang (bunga), akan direkam oleh hidung.
Mengalunnya nyanyian-nyanyian kerokhanian, indahnya gemercing suara gambelan, dan
mantapnya suara genta, diselingi oleh dentuman suara kentongan, sebagai sasaran rekaman
bagi telinga. Bersihnya pakaian, akan direkam oleh kulit, dan yang terakhir enaknya
lungsuran banten akan direkam oleh lidah.

Semua itu dapat memberikan kesan kesucian yang mengarah ke Maha-Sucian Yang Kuasa.
Pada sekaligus sebagai pembuka jalan lebar-lebar menuju penyatuan pada Sang Pencipta.
Inilah yang merupakan faktor utama orang-orang Hindu terkesan ramah-ramah, penuh rasa

persaudaraan, sehingga memunculkan predikat Bali sebagai Pulau Dewata, Bali sebagai
pulau Sorga dan Bali sebagai pulai seribu Pura. Sekaligus merupaka daya tarik tersendiri,
sehingga tak terbendung adanya urbanisasi. Berbicara dari sisi positifnya, kedatangan mereka
ke Bali akan dapat menambah pendapatan perkapita menjadi meningkat. Tetapi dari sisi
negatifnya sangat banyak pula yang dapat merugikan kita dan merugikan generasi yang akan
datang. Sebab kerusakan-kerusakan akan terus terjadi, dengan dalih bermacam-macam. Yang
paling ditakuti adalah kerusakan moral bagi pendukung Bali itu sendiri. Lalu apa yang dapat
kita lakukan?
Yang paling mendasar harus dilakukan adalah kesadaran bagi pendukungnya dalam hal ini
umat Hindu, sebab keterkenalan Bali di mata orang luar adalah dengan danya keunikan
budaya, adat istiadat kehidupan orang Bali (orang Hindu di Bali) sebagai modal dasar. Sebab
keberadaan dapat dipungkiri. Makanya orang Hindu di Bali sebagai pendukung utamanya
harus secepatnya menyadari.
Sasaran rekaman panca indra yang telah diuraikan di atas tadi telah berubah, sehingga
pembentukan kesan di otak akan berubah, selanjutnya di ikuti oleh perubahan mental. Pura
sebagai tempat yang dapat dipakai arena memunculkan kesan kesucian telah berubah menjadi
tempat memunculkan kesan kumuh, penuh dengan emosi, egois dan kesan nafsu.
Sebagai contoh agar lebih cepat dapat dipahami adalah; Setiap pujawali di sebagaian besar
pura, tidak terlepas dari nuansa judi dengan dalih bermacam-macam sebagai pembenaran,
apakah dalih penggalian dana dan sebagainya.

Di samping itu di depan pura dipenuhi oleh pedagang-pedagang yang membangun warungwarung berdinding dan beratap plastik tak ubahnya seperti di daerah kumuh tempat-tempat
para tuna wisma. Sehingga setiap mereka yang mau tangkil ke Pura, panca indranya akan
merekam hal-hal yang bertolak belakang dari kesucian. Indahnya penjor dan umbul-umbul
diganti dengan kumuhnya warung-warung plastik, indahnya lagu-lagu kerohanian dan tabuh
gambelan diganti oleh semaraknya lagu-lagu dangdut yang diputar oleh para pedagang kaset,
harumnya bau dupa dan kembang-kembang wangi, diganti dengan merambahnya bau sate
languan dan bau makanan yang lainnya. Banten lungsuran Bhatara tidak lagi enak dimakan
karena diganti oleh rasa bakso.
Suara-suara merdu lainnya tidak kedengaran dikalahkan oleh gemuruhnya sorak serai para
bebotoh di arena judian. Kesemuanya itu dapat mengubah sikap mental kita, menjadi tidak
peduli terhadap masa depan. Predikat Bali sebagai pulau Sorga, Pulau Dewata akan pelanpelan ditelan oleh sikap angkara murka yang terbentuk dari hasil rekaman panca indra seperti
yang telah diuraikan tadi.
Hasil jerih payah, ketulusan, keluguan dan kejujuran para leluhur kita akan sirna dibakar api
kebodohan kita. Pernahkah kita berpikir, mengapa para leluhur kita terdahulu mewariskan
kepada kita seperti itu? Mungkin Beliau telah sangat memikirkan bahwa pulai Bali yang
dihuni oleh keturunannya seperti kita ini tidak memiliki kekayaan sumber alam untuk
menunjang kehidupan. Makanya diterapkan konsep agama yang menyatu dengan budaya,
seni dan adat istiadat dan sekaligus merupakan media pendidikan dalam membentuk manusia

yang penuh kesabaran, penuh kecintaan dan kasih sayang. Bisakah hal seperti itu kita

pertahankan?
Jawabannya adalah bisa.
Apabila didukung oleh kesadaran dari semua pihak, baik masyarakat, pemerintah, politikus,
budayawan, seniman, pengusaha. Supaya mewujudnyatakan slogan-slogan manis dan indah
yang pernah di ucapkan, seperti; AJEG BALI, TRI HITTAKARANA, dan lain sebagainya
yang senada dengan itu. Jangan hanya dipakai pemanis bibir untuk melicinkan tercapainya
kepentingan kelompok dan kepentingan pribadi, dan jangan terpatok sampai di janji mulikmuluk yang dapat memualkan dan mempercepat proses muntah.
Marilah kita berbuat demi masa depan anak cucu kita. Luwangkanlah waktu untuk
memikirkan mereka. Stoplah keangkaramurkaan demi mereka dikemudian hari.



Layanan



Produk



Alat



Beranda



Tentang



Hubungi Penulis



Sitemap



o

Sub Page #1

o

Sub Page #2

o

Sub Page #3

Halaman Download

Kalender Bali Online

Makna Umbul-umbul
Diposkan oleh I WAYAN SUDIRA at Jumat, September 28, 2012

Umbul-umbul adalah salah satu alat upacara yang dipergunakan di pura
pada waktu piodalan atau upacara lainnya di suatu pura. Tetapi umbul-umbul
sudah menghias tempat-tempat pertunjukan kesenian yang nota bene tempat
tersebut hanya sebagai tempat hiburan atau kegiatan yang bersifat seremonial
saja dan tidak ada kaitannya dengan kegiatan upacara. Andaikata ada seorang
bapak dari desa lewat melalui jalan di desa Batu Bulan, Celuk, Sukawati, Mas dan
terus ke Ubud tentu dia akan bertanya dalam hati “rerainan apa sekarang kok
banyak orang ngodalin, memasang umbul-umbul?” bapak kita yang dari desa ini
berpikir polos karena dai tidak mengetahui perkembangan jaman, karena dahulu
kalau tidak ada upacara odalan “nadi” tidak akan memasang umbul-umbul.
Tetapi

sekarang

demi

menarik

wisatawan

segala

yang

unik

dan

aneh

dipertunjukkan walau pun itu tidak pada tempatnya.
Dimana kita ketahui umbul-umbul mempunyai mythologi yang mengambil
cerita Arjuna Pramada yaitu diceritakan prabu yudistira bermaksud membuat
istana yang indah maka disuruhlah adik-adiknya mencari contoh istana yang bisa
akan ditiru. Dalam persidangan arjuna melaporkan bahwa konon ada istana yang
sangat indah yaitu istana alengka tempat Dewi Sita disita oleh Rahwana. Dimana
katanya matahari selalu bersinar lembut dan angin yang datang setelah datang
da istana ini menjadi sepoi-sepoi basa dan sebagainya. Akhirnya Yudistira
mengutus Arjuna untuk pergi kesana dan Arjuna minta bantuan Krisna untuk
menganter kesana di dalam perjalanan menuju Alengka setelah sampai di tepi
pantai, menyebrang ke alengka maka dilihatlah jembatan yang dahulu dibuat
oleh bala bantuan tentara monyet dari Sri Rama. Krisna dan Arjuna tertegun
termenung dengan pikirannya masing-masing setelah melihat jembatan itu. Sri
krisna terkenang dengan penjelmaannya yang dahulu pada waktu beliau
berinkarnasi lahir sebagai Rama Dewa dan terinagt serta rindu pada kesetiaan
Hanoman. Kerinduan ini menyebabkan Hanoman yang sedang bertapa tertarik
oleh kerinduan Sri Krisna (Rainkarnasi Wisnu) dan datang meloncat kehadapan
Sri Krisna. Dilain pihak Arjuna berkata kepada Sri Krisna “kanda saya kok tidak
percaya pada kehebatan Hanoman Sugriwa, anila dan kera yang lainnya yang
dikatakan begitu sakti mengapa mebuat jembatan yang sebegini mengambil
waktu beberapa hari. Saya dengan sekejap saja bisa membuatnya kata arjuan
dan ini didengar oleh Anoman dan berkata “ya Arjuan bala tentara Sang Rama
adalah banyak sekali sebab itu kami membuat jembatan yang kokoh”, Arjuna
menjawab “ ya saya bisa membuat jembatan yang kokoh barang siapa yang bisa

mematahkan jembatan saya saya akan sembah”. Kalua begitu cobalah kata
Hanoman. Arjuna mengambil panah Naganya dan begitu dilontarkan dan
lansung menjadi jembatan yang kokoh yang sejajar dengan jembatan yang
sudah ada, kemudian Hanoman meloncat keatas jembatan itu dan begitu
meloncat patahlah kembatan itu, Sti Krisna melihat kejadian itu lalu melepaskan
panahnya lagi sehingga jembatan itu kembali sebagaiman semila dan Hanoman
mencoba mematahkan lagi tetapi tidak bisa, sadarlah naoman bahwa yang di
hadapinya itu adalah junjungannya Sang Rama Dewa yang lahir kembali menjadi
Sri Krisna lalu mendekatinya mau menyembahnya.
Sebaliknay Arjuna mendekati Hanoman untuk emnyembahnya karena
jembatan yang dibuat Arjuan telah bisa dipatahkan oleh Hanoman tetapi
Hanoman menolak dengan mengatakan bahwa manusia tidak boleh menyembah
binatang karena dia masih berupa Monyet. Arjuan berkeras untuk menyebah
dengan mengatakan “ saya adalah kesatria Pandawa, saya tidak boleh ingkar
pada kata-kata saya” perdebatan ini akhirnya diketahui oelh Sri Krisna dengan
menasehati Arjuan janganlah merasa diri sakti bahw atidak ada makhluk di dunia
ini yang sakti hanya Ida Sanghyang Widhi Yang Maha sakti sebab hanya
beliaulah yang patut disembah. Namun agar hutang sembah Arjuna bisa dilunasi
maka dikutuklah jembatan yang dibuat Arjuan itu sebagai umbul-umbul, dengan
pesan agar manusia jangan takabur seperti Arjuna.
Maka dimanapun ada parhyangan atau palinggih Dewa maka di mukanya
dipancangkan

umbul-umbul

dan

kober

(bendera)

bergambar

wanara.

Dengandemikain orang orang akan selalu ingat dengan peristiwa Arjuna
dengaan Hanoman, dan dengan menyembah dihadapan parhyangan maka
umbul-umbul dan bendera Hanomanpun ikut tersembah sebagai penebus janji
bagi Arjuna.
Untuk menyakinkan peristiwa itu maka umbul-umbul itu dihiasi dengan
dengan gambar naga (panah) naga dari Arjuan dan gambar wanara yaitu
gambar Hanoman, maka dari itu dapat kita mengerti dan sadari mengapa kita
harus menyucikan umbul-umbul yang tidak lain karena mempunyai mythologo
yang baik bahkan disakralkan oleh umat Hindu.
Tags: Tattwa, Upacara/Upakara

















Related Posts: Tattwa, Upacara/Upakara


Sejarah Agama Hindu



Tri Kaya Parisudha



Hari raya Nyepi



Hari Pagerwesi
YOUR ADSENSE CODE GOES HERE

0 komentar:
Have any question? Feel Free To Post Below:
Link ke posting ini

Buat sebuah Link
« Previous Next » Beranda

Special Thanks to
Ida Pedandha Gede Putra Pinatih Geriya Sibetan Bebandem
Ida I Dewa Gede Catra Jln. Untung Surapati Amlapura
Bapak Kasi Ura Hindu Kantor Kemenag Kab. Karangasem(Ida Made Pidada
Manuaba, S.Ag, M.Si)
Bapak Kasi Penda Hindu Kantor Kemenag Kab. Karangasem (Drs. I Wayan Lipur,
M.Si)
serta jajaran Penyuluh agama Hindu Kantor Kementerian Agama Kabupaten
Karangasem Mohon ijin mempublikasikan artikelnya

Like Saya di
FACEBOOK SAYA dan TWITTER SAYA
Korupsi Kementerian Tamparan Keras di Akhir Jabatan SBY
Okezone
Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Pertanian, Kementerian ESDM,
Kementerian Agama , dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal
(Kemen-PDT) tersangkut kasus korupsi. Peneliti Indonesian Corruption Watch
(ICW), Donal Fariz, ...
Lukman Diminta Kembalikan Wibawa Kementerian Agama
KOMPAS.com
TRIBUNNEWS/DANY PERMANA Menteri Agama yang baru Lukman Hakim
Saefuddin (kiri) bersalaman dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu
Negara Ani Yudhoyono usai pelantikan Menag di Istana Negara, Jakarta, Senin
(9/6/2014).
Related Articles »
Muhammadiyah Berencana Tak Hadiri Sidang Isbat Kementerian Agama
KOMPAS.com

KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES Menteri Agama, Suryadharma Ali
memimpin jalannya Sidang Isbat penetapan 1 Syawal 1433 H di Kementerian
Agama, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Sabtu (18/8/2012). Sidang Isbat menetapkan
Hari Raya Idul ...
Related Articles »
Staf Khusus Menteri Agama Diperiksa Terkait Kasus Haji
BeritaSatu
Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Staf Khusus Menteri
Agama Ermalena Muslim untuk diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi
penyelenggaraan ibadah haji tahun 2012/2013 di Kementerian Agama. Kepala
Bagian ...
Related Articles »
powered
by

Total Tayangan Laman
47389
yandira@copyright. Diberdayakan oleh Blogger.

Follow by Email

Followers


YouTube



Twitter



Google Plus

Labels


Etika (16)



Tattwa (28)



Upacara (8)



Upacara/Upakara (16)

Archive

Popular Posts


Sesananing Pemangku atau Pinandita



Konsepsi Catur Warna dalam ajaran agama Hindu



JENIS-JENIS UPAKARA PIODALAN ALIT TINGKAT MADYA DAN FILOSOFINYA



Makna Canang sari dan Kwangen



Tingkatan Upakara Bhuta Yadnya



Sejarah Agama Hindu



Makna Hari Siwaratri



Tata cara Membakar Mayat (Sawa Preteka) menurut adat Hindu Bali



HUKUM KARMA PHALA



Makna Penjor

About Me

Lihat profil lengkapku
© 2012 Ferrycute. All Rights Reserved.
Design Oleh SHREE MADHAN | Modifikasi dan Publikasi Kodokoala
© 2012 SOFTECHNOGEEK | Modifikasi dan Publikasi Kodokoala. All Rights
Reserved.