Hukum tidak gagap pada bio teknologi
Atas kertas diskusi yang disampaikan oleh Konphalindo, kiranya pendapat yang dapat saya sampaikan
sebagai berikut:
HUKUM (TIDAK) GAGAP PADA TEKNOLOGI
Bioteknologi kita fahumi bersama sebagai sebuah industri masa depan yang dinilai dapat
memberikan keuntungan yang berlimpah bagi pelaku dan masyarakat luas, tetapi memiliki dampak
negatif jika tidak dibatasi oleh peraturan-peraturan yang bersifat sebagai sebuah kekuatan
penyeimbang. Di satu sisi, perkembangan teknologi ini sudah sedemikian pesatnya, sementara di sisi
lain, masyarakat kita secara umum pun “buta” terhadap yang namanya produk bioteknologi.
Dalam bidang pangan semisalnya, terlihat gap yang sangat timpang antara pemahaman
masyarakat dengan perkembangan produk pangan hasil rekayasa genetika. Sebagai contoh untuk hal
paling simple yang diperhatikan konsumen dalam membeli suatu produk adalah label pangannya.
Informasi terpenting yang dibaca konsumen dari label adalah expiry date – itupun tidak semua
konsumen cukup peka dan peduli terhadap hal tersebut. Keberadaan informasi pada label yang ada
saat ini belum cukup dan juga informasi keberadaan ingridien atau bahan pembuat maupun
kandungan nutrisi yang diperoleh dari proses bioteknologi, belum menjadi perhatian bagi
masyarakat. Satu contoh mendasar tersebut menunjukkan bahwa aspek hukum yang terkait dengan
food safety jika dirunut lebih jauh akan memiliki jejaring keterkaitan yang sangat luas.
Dalam kaitannya dengan regulasi Indonesia, beberapa aspek hukum yang ada dan perlu kita
perhatikan di antaranya sebagai berikut:
a. Konsep Legal dan Kerangka Hukum yang Belum Memadai
Aspek hukum terkait bioteknologi secara keseluruhan bisa jadi akan sangat ambigu dalam
penerapannya. Baik pada penentuan hukumnya maupun dalam penerapan fakta hukum yang ada
bisa jadi akan sangat sulit. Konsep legal terkait bioteknologi terdiri atas tiga konsep dasar yaitu:
Perlindungan Hukum, Pengaturan Hukum (Regulasi), dan Pertanggungjawaban Hukumnya.
Pertama, dalam hal perlindungan hukum, kita perlu fokuskan pembicaraan pada perlindungan
atas hak kekayaan intelektual (paten, merek, hak cipta, rahasia dagang, disain industri, dan
perlindungan varietas tanaman) maupun aplikasinya. Peraturan mengenai hal ini di Indonesia
terhitung cukup memadai, terlebih fakta bahwa keseluruhan aturan yang ada terkait hak kekayaan
intelektual sudah diselaraskan dengan ketentuan dalam TRIPs-WTO. Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2001 tentang Hak Paten contohnya, telah mengadopsi secara penuh ketentuan yang
dipersyaratkan dalam TRIPs Agreement.
Namun demikian, masalah utamanya justru kepada instrumentasi pelaksanaan serta
sumberdaya manusia yang ada. Jika menilik permasalahan umum tentang paten produk bioteknologi
yang telah ada, maka keharusan adanya sistem klasifikasi dan pemantauan (tracking) yang tepat,
terpadu, dan jelas menjadi mutlak adanya. Hal ini akan menjadi kompleks lagi dalam hal produk
bioteknologi tersebut tersedia dalam ukuran nanometer. Dalam hal nanoteknologi, diperlukan
keseragaman pendapat mengenai apakah produk bioteknologi yang berikuran nano tersebut hanya
merupakan miniatur dari poduk yang telah ada karena hanya terkait perbedaan dimensi ukuran
tanpa adanya perbedaan substansi, ataukah justru sebaliknya. Dalam ketentuan hukum Indonesia,
khususnya Petunjuk Teknis Pemeriksaan Paten, tidak atau belum mengenal atau mengatur mengenai
nanoteknologi. Disamping itu diperlukan pula sistem penilaian permohonan paten dari lintas bidang
keilmuan yang menyeluruh dan teliti. Inipun masih pada level awal, persoalan lanjutan adalah pada
proteksi pasca pendaftaran yang wajib dipenuhi oleh Negara. Isu ini tentu saja perlu untuk dibahas
tersendiri, terlebih saat ini rerata ilmuwan yang aktif dalam bidang bioteknologi dan nanoteknologi
memiliki preferensi lebih terhadap negara lain sebagai tempat tujuan pendaftaran patennya daripada
di Negeri sendiri.
Selain itu, isu krusial yang terkait dengan perlindungan kekayaan intelektual dalam bioteknologi
adalah permasalahan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Pada dasarnya keberadaan hukum
persaingan usaha adalah untuk mengupayakan secara optimal terciptanya persaingan usaha yang
sehat (fair competition) dan efektif pada suatu pasar tertentu, yang mendorong para pelaku usaha
melakukan efisiensi agar mampu bersaing dengan para pesaingnya. Persaingan usaha yang sehat
merupakan salah satu kunci sukses bagi sistem ekonomi pasar yang wajar, hal ini dapat
diimplementasikan dalam 2 (dua) hal yaitu melalui penegakan hukum persaingan, dan kebijakan
pemerintah yang kondusif terhadap perkembangan sektor ekonomi.
Dalam dunia usaha sesungguhnya banyak ditemukan perjanjian-perjanjian dan kegiatankegiatan usaha yang kurang adil terhadap pihak yang ekonomi dan sosialnya lemah, dimana hal
tersebut dijadikan suatu dalil persaingan yang sehat . Suatu persaingan usaha memang dapat
membantu meningkatkan kualitas produk barang dan atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha,
sehingga dapat didapatkan harga yang terjangkau bagi konsumen. persaingan usaha dapat dianggap
sebagai katalisator menju perkembangn industry, usaha, dan ekonomi.
Perkembangan pada bioteknologi tanaman maupun pangan, baik dari segi harga pemasaran,
inovatif dan varietas tamanam tidak terhindarkan dari suatu persaingan. Meski banyak perlindungan
hukum yang telah diberikan oleh Pemerintah,namun masih banyak celah yang dapat digunakan oleh
para pelaku usaha ataupun para pemegang hak tertentu untuk melakukan suatu penguasaan atas
suatu bidang tertentu.
Hal tersebut dapat kita lihat pada pasal 50 huruf a dan b UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat yang memberikan suatu pengecualian terhadap
perbuatan dan perjanjian yang dapat menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat, yaitu perbuatan dan perjanjian yang bertujuan untuk melaksanakan undang-undang, dan
perjanjian yang berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak
cipta, desain produk industry, rangkaian elektronik terpadu dan rahasia dagang serta perjanjian yang
berkaitan dengan waralaba.
Dalam kaitannya dengan paten, paten tidak dapat serta merta dikaitkan sebagai bentuk
monopoli. Hal ini disebabkan karena pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan
praktek monopoli dan persaingan tidak sehat, terdapat pengecualian dalam Pasal 50 huruf b yaitu
untuk “perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek
dagang, hak cipta, disain produk industri dan rahasia dagang serta perjanjian yang berkaitan dengan
waralaba”.
Paten merupakan cara untuk mengkomersialisasi hasil invensinya yang mana berbeda berbeda
dengan monopoli. Namun, analisis yang dilakukan pada penggunaan rahasia dagang menunjukkan
timbulnya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam penggunaan hak paten.
Ketentuan dalam Undang-Undang tentang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU PUTS)
ternyata justru membuka ruang bagi terciptanya monopoli dan persaingan tidak sehat dalam
penggunaan hak paten dan rahasia dagang sebagai bentuk perlindungan invensi.
Menganalisis fakta-fakta diatas pemilik paten dan rahasia dagang berpotensi melakukan
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dengan eksklusifitas perlindungan hak tersebut. Jika
melihat ketentuan larangan perbuatan untuk menghindari monopoli di dalam Pasal 17, 18, 19, dan
25 UU PUTS terdapat kontradiksi dengan Pasal 50 tersebut di atas.
Demikian juga permasalahannya dengan pemilik hak paten, biasanya pemegang paten produk
bioteknologi menggunakan haknya untuk menghambat pihak lain dalam pengembangan riset dengan
produk yang tidka dapat digunakan untuk riset. Seperti halnya suicide seed atau pemegang paten
cenderung membuat produk bioteknologi yang memerlukan produk pendukung khusus yang hanya
ia produksi. Contohnya Monsanto, perusahaan tersebut menciptakan benih bunuh diri dan melarang
petani memebeli benih dan pupuk selain pada Perusahaan Monsato. Hal tersebut menyebabkan
petani tidak dapat membeli benih dan herbisidanya dari perusahaan Monsanto.
Pengecualian-pengecualian yang diberikan undang-undang tersebut banyak disalahgunakan
oleh banyak orang khususnya para pemegang hak. Sebagai contoh pada produk bioteknologi berupa
varietas tanaman yang dapat dilindungi dengan 2 hak yang melekat padanya yaitu Paten terhadap
proses pembuatannya dan PVT (Perlindungan Varietas Tanaman) terhadap produknya. Hal ini sangat
berpotensi untuk menimbulkan suatu praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Memang praktek monopoli yang dilakukan cukup terselubung, di mana biasanya perjanjian yang
sering dilakukan oleh para pemegang Hak ini berupa pembagian pasar dimana salah satu pihak
memberikan suatu hak tertentu untuk membuat produk yang sama namun nama dan daerah
pemasarannya dibedakan sehingga tidak akan terlihat seperti suatu rekayasa yang dibuat oleh pihakpihak tersebut. Perjanjian tersebut biasanya tidak dalam bentuk tertulis, hanya suatu kesepakatan
antar para pihak dimana keduanya saling berkomitmen untuk melakukan hal-hal yang telah
disepakati, cara tersebut dilakukan untuk menghindari aturan yang ada.
Hal ini dilakukan untuk menghindari pelanggaran terhadap Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan
bahwa “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersamasama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran secara bersama-sama melakukan
penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat” dan pasal 9 mengenai pembagian wilayah yaitu
“pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk
membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan usaha tidak sehat” , kebanyakan para pelaku usaha
atau para pemegang hak melakukan hal tersebut karena tidak ingin repot dengan birokrasi
pendaftaran hak Paten dan PVT yang mana biaya pendaftarannya mahal dan waktu yang diperlukan
untuk mengeluarkan sertifikat Hak Paten maupun PVT sangat lama dan tidak bisa ditentukan
tergantung hasil karya yang didaftarkan, para pelaku usaha sengaja tidak membuat suatu perjanjian
tertulis agar tidak ada bukti mengenai adanya perjanjian tersebut karena kedua pasal tersebut
bersifat “rule of reason” yaitu harus dibuktikan, sehingga dalam praktiknya sangat sulit untuk
membuktikan adanya suatu perbuatan atau perjanjian yang dapat mengakibatkan praktik monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat yang secara nyata dapat dirasakan oleh banyak orang.
Kedua, isu terkait regulasi akan sangat relevan dengan perlindungan terhadap hak warga negara,
maupun juga permasalahan sektoralisme dan tarik kepentingan antar kewenangan baik Pemerintah
dengan pemerintah daerah, maupun antar lembaga. Bisa dikatakan Indonesia termasuk negara yang
sangat produktif dan beragam produk hukumnya. Kita memiliki sekian banyak regulasi, baik level
Undang-undang hingga level Perda yang memuat sekian ragam permasalahan hukum di masyarakat.
Terkait bioteknologi, sudah sekian banyak regulasi yang ada. Ratifikasi CBD dan Protocol Cartagena
jelas sudah ada lama. Undang-Undang tersedia berlimpah: UU Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, UU Pangan, UU Kesehatan, UU Paten, UU Penanaman Modal Asing, dan lainnya
sudah masuk dalam jajaran regulasi yang sekurangnya harus ada dalam perlindungan hukum terkait
bioteknologi. Betul bahwa beberapa regulasi tersebut masih sangat tertinggal, seperti contoh UU
Pangan yang masih menunggu revisi hingga sekarang, namun hal tersebut tidak sebagai alasan
penghambat dalam implementasi hukumnya. Terkait komersialisasi PRG, ketertinggalan ini jelas
terlihat dalam UU Pangan.
Namun, disamping hal tersebut diatas, poin utama yang perlu diduduk-benarkan justru terkait
aspek kewenangan kelembagaan yang seringkali tumpang tindih di dalam pelaksanaannya. Beberapa
lembaga yang memiliki kewenangan dalam aspek bioteknologi ini seperti Kemenristek, LIPI,
Kemendag, Kemenkes, KemenLH, maupun BPOM RI. Lebih lanjut lagi, kewenangan daerah dalam era
otonomi daerah ini juga perlu disinkronkan dengan pemahaman atas konsep produk bioteknologi
sehingga delegasi dan interpretasi kewenangan di daerah selaras dengan kerangka nasional.
Ketiga, terkait dengan aspek pertanggungjawaban hukumnya, beberapa isu yang ada
diantaranya:
1) Strict Liability atau Tanggungjawab Mutlak
Tanggung jawab mutlak mendahulukan terlebih dulu upaya pemulihan atas dampak yang
ditimbulkan selain pembuktian. Beban pembuktian pun diletakkan pada pundak operator atau
pelaku usaha. Atas hal ini, konsep strict liability lebih dekat pada permasalahan gugatan perdata
atau terkait kompensasi atas kerugian. Secara sederhana strict liability melekat pada tiap pihak
yang mengintrodusir suatu produk yang dapat berdampak pada lingkungan hidup dan kesehatan
manusia. Aturan hukum kita telah mengadopsi konsep ini dalam UU Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32 Tahun 2009). Hanya saja dikarenakan konsep ini
berbeda dengan konsep perdata umum yang ada (Liability Based on Fault), sering para penegak
hukum tidak tahu ataupun lebih mengedepankan ketentuan hukum umum yang ada.
2) Tanggung Jawab Korporasi
Tanggung jawab korporasi sudah bukan lagi menjadi isu yang baru dalam hukum. Sebagaimana
dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai misal, dalam hal suatu tindak
pidana dilakukan secara sistematis oleh perusahaan, maka Pimpinan, atau Pemberi Perintah,
atau yang mengetahui secara langsung (dalam tingkat tanggungjawabnya/jenjang hierarkis di
perusahaan) atas tindak pidananya dapat dikenakan pidana dengan tambahan sanksi pidana 1/3
dari hukuman yang dijatuhkan.
3) Corporate Social Responsibility
Diwajibkan dalam UU PT, CSR menjadi suatu keharusan dan juga kebutuhan pada saat ini,
terutama pada perusahaan besar yang lingkup kegiatannya memberikan dampak yang potensial
bagi lingkungan dan masyarakat. Dengan tiga konsep dasar yang melekat, yaitu keseimbangan
antara 3 P: People, Profit, Planet; CSR bisa menjadi pintu masuk yang tepat dalam menjembatani
kesiapan Indonesia untuk memoles legal framework dalam bioteknologi.
4) Perlindungan Masyarakat
Saat ini kita memiliki dua mekanisme dasar yang dapat diterapkan dalam perlindungan
masyarakat terkait produk bioteknologi mengingat tingkat persebaran maupun dampaknya, yaitu
class action dan legal standing. Class action atau gugatan perwakilan memungkinkan adanya
gugatan ganti kerugian secara kolektif oleh perwakilan masyarakat. Sedangkan legal standing
memungkinkan bagi organisasi lingkungan hidup untuk melakukan gugatan atas nama
kepentingan lingkungan hidup. Saat ini, terdapat perkembangan yang cukup signifikan dan
menggembirakan dimana posisi tawar atas class action dan legal standing lebih kuat dalam
konteks upaya litigasi (di dalam pengadilan). Class action telah dijembatani oleh UU Perlindungan
Konsumen maupun UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan.
b. Penerapan Prinsip Hukum Umum yang Tidak Optimal
Salah satu prinsip hukum umum terkait dengan persoalan bioteknologi adalah prinsip
pendekatan kehati-kehatian (precautionary principle). Protokol Cartagena disusun berdasarkan
prinsip pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) sebagaimana tercantum dalam prinsip ke
15 Deklarasi Rio yang berarti bila terdapat ancaman serius atau kerusakan yang tidak dapat
dipulihkan, kekurangan ilmu pengetahuan (scientific uncertainty) seharusnya tidak dipakai sebagai
alasan untuk mencegah kerusakan lingkungan.
Beberapa elemen mendasar yang perlu diperhatikan dalam penerapan prinsip ini adalah:
adanya langkah kehati-kehatian apabila menghadapi kekurangan bukti ilmiah (scientific uncertainty);
adanya eksplorasi terhadap upaya alternatif yang mungkin diterapkan apabila ancaman bahaya atau
kerusakan (damage) tersebut muncul; pemberian beban pembuktian terbalik kepada pelaku usaha;
serta perlu adanya proses yang demokratis dan transparan dalam penerapan prinsip ini, termasuk
juga perlunya hak publik atas informasi.
Atas dasar hal ini, prinsip ini dapat kita terjemahkan bahwa ketika terdapat alasan ilmiah yang
beralasan untuk membuat kita percaya bahwa suatu aktivitas, teknologi, atau suatu substansi dapat
menimbulkan bahaya, maka kita perlu melakukan sesuatu dalam mencegah bahaya tersebut. Jika
kita selalu menunggu adanya suatu kepastian ilmiah (scientific certainty), bisa jadi akan ada orang
atau masyarakat yang dirugikan atau meninggal, dan dampak kerusakan terhadap lingkungan bisa
jadi semakin sulit untuk dipulihkan.
Hanya saja memang, penerapan prinsip ini cukup sulit. Di dalam regulasi kita, seperti UU
Kesehatan dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan, prinsip kehati-hatian ini sudah jelas,
namun lemah dalam pemahaman dan penerapannya. Beberapa kelemahan tersebut tercermin jelas
dari konsep yang dipahami atas prinsip precautionary ini.
Pertama, yaitu pemahaman atas “scientific certainty” atau kepastian ilmiah sebagai standar
penerapan. Seringkali diasumsikan bahwa dalam hal sesuatu tidak dapat dibuktikan secara ilmiah,
maka itu tidak benar. Ini sekaligus menjadi alasan bahwa kurangnya kepastian secara ilmiah akan
dampak dari sesuatu digunakan untuk justifikasi keberlangsungan penggunaan substansi atau
teknologi yang memiliki potensi bahaya.
Kedua, adalah penggunaan “analisis risiko” untuk menentukan apakah suatu substansi atau
aktivitas dapat diperbolehkan. Permasalahannya terletak pada ukuran risiko yang seringkali sangat
sempit dan tidak adanya keterbukaan informasi terkait risiko riil dari suatu substansi atau aktivitas
tersebut.
Ketiga, adalah penerapan cost-benefit analysis yang menjadi prasyarat utama dalam
penggunaan precautionary principle. Dengan pertimbangan untung-rugi ini harus ditentukan apakah
biaya pembuatan regulasi secara keseluruhan sebanding dengan kemanfaatan yang akan diberikan.
Atau justru dengan suatu regulasi yang membatasi suatu aktivitas atau substansi yang berbahaya –
dengan kepastian ilmiah yang kurang – akan membawa dampak merugikan perekonomian
keseluruhan. Alasan inilah yang masih membayangi efektivitas penerapan precautionary principle.
Contoh riil adalah keengganan Pemerintah melaksanakan putusan Mahkamah Agung yang
memenangkan gugatan publik untuk mengumumkan sampel produk susu yang mengandung bakteri
E.Saccazacci sesuai penelitian IPB Tahun 2007-2008.
Meskipun berat dalam penerapan dan beberapa kelemahan tersebut diatas, pendekatan kehatihatian perlu terus dikembangkan dan disosialisasikan ke publik. Karena dengan adanya precautionary
approach ini akan meningkatkan eksplorasi atas produk dan teknologi alternatif yang bisa
menawarkan cara yang lebih baik, lebih murah, dan lebih aman. Prinsip ini pun akan memindahkan
tanggung jawab pembuktian kepada pemilik teknologi, sekaligus dapat menjadi alat untuk
memastikan bahwa publik memiliki akses informasi atas teknologi tersebut. Ini tentu saja menjadi
modal yang sangat penting dalam perlindungan hukum atas penggunaan produk hasil rekayasa
genetika.
c. Keamanan Produk Bioteknologi Pangan di Indonesia
Keamanan pangan merupakan syarat penting yang harus melekat pada pangan yang hendak
dikonsumsi oleh semua masyarakat Indonesia. Pangan yang bermutu dan aman dapat dihasilkan dari
dapur rumah tangga maupun dari industri pangan. Oleh karena itu industri pangan adalah salah satu
faktor penentu beredarnya pangan yang memenuhi standar mutu dan keamanan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.
Keamanan pangan bukan hanya merupakan isu dunia tapi juga menyangkut kepedulian individu.
Jaminan akan keamanan pangan adalah merupakan hak asasi konsumen. Pangan termasuk
kebutuhan dasar terpenting dan sangat esensial dalam kehidupan manusia. Walaupun pangan itu
menarik, nikmat, tinggi gizinya jika tidak aman dikonsumsi, praktis tidak ada nilainya sama sekali.
Berbicara tentang produk pangan bioteknologi, yang juga dikenal dengan produk transgenik
merupakan produk yang dihasilkan dari rekayasa genetika, dimana dalam proses ini dimungkinkan
terjadinya introduksi gen dari satu organisme ke organisme lain yang berbeda spesies seperti gen
dari bakteri, virus atau tanaman, sehingga kehadiran teknologi ini memberikan wahana baru bagi
pemulia tanaman untuk memperoleh kelompok gen baru yang lebih luas sumbernya.
Untuk menjamin keamanan produk bioteknologi, prinsip kehati-hatian dalam penggunaan
produk tersebut baik sebagai bahan pangan, pakan atau untuk obat-obatan harus bersumber pada
persepsi risiko yang dapat diterima (acceptable risk). Dilihat dari manfaat dan risiko produk
bioteknologi yang beragam maka juga diperlukan kesediaan untuk menerima resiko itu sendiri, oleh
karena itu yang terpenting adalah mencari solusi bagaimana prinsip kehati-hatian tersebut
diterjemahkan ke dalam undang-undang, kebijakan dan praktek pengelolaan manfaat dan risiko.
Jika kita ingin mengadopsi suatu teknologi baru tentu saja tidak mungkin tanpa resiko sama
sekali, pekerjaan yang sederhana saja pasti mengandung suatu resiko yang terpenting dari semuanya
itu adalah bagaimana menyikapi dan mengantisipasi risiko yang muncul tersebut seminimal mungkin.
Dalam hal inilah prinsip kehati-hatian (precautionary approach) diperlukan sebelum produk
bioteknologi itu dilepas ke lingkungan atau dikonsumsi sebagai bahan makanan, obat atau pakan
ternak.
Perangkat peraturan untuk pelepasan produk bioteknologi tanaman, ikan hewan dan pakan saat
ini telah dimiliki Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2005.
Indonesia menaruh perhatian terhadap bioteknologi melalui dukungan pada peraturan produk
rekayasa genetika tersebut diantaranya PP No. 21/2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa
Genetika, selain itu Pedoman Pengkajian Keamanan Pangan Produk Rekayasa Genetika yang
dikeluarkan BPOM pada 2008. Peraturan ini merupakan peningkatan atau penyempurnaan dari
peraturan yang sebelumnya dari Keputusan Bersama Empat Menteri Tahun 1999 serta khusus dibuat
untuk mengatur produk bioteknologi di Indonesia. Peraturan Pemerintah ini dibuat atas dasar
pendekatan kehati-hatian dan mengacu pada Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati. Protokol
ini sebelumnya telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang No 21 Tahun 2004.
Salah satu badan pengimplementasi dari Protokol Cartagena adalah Balai Kliring Keamanan
Hayati (BKKH) yang merupakan perangkat dari KKH. BKKH ini merupakan kewajiban suatu Negara
yang telah meratifikasi Protokol Cartagena untuk mendirikannya. Karena Indonesia telah
menandatangani dan meratifikasi Protokol sejak Tahun 2004 melalui Undang-Undang No 21 Tahun
2004, maka kewajiban bagi Indonesia untuk mendirikan BKKH sebagai wacana informasi publik dan
pertukaran informasi dalam bidang bioteknologi modern yang belum dicakup dalam protokol lain.
BKKH digunakan untuk memfasilitasi konsultasi publik terhadap hasil pengkajian TTKH. Sehingga
masukan dari masyarakat tersebut melalui BKKH akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh
TTKH dalam memberikan rekomendasi keamanan hayati produk bioteknologi tersebut kepada
pemerintah. Kehadiran BKKH ini sebagai wadah yang dapat dijadikan wahana komunikasi antara
pemangku kepentingan dengan Institusi terkait serta mengelola dan menyajikan informasi kepada
publik mengenai prosedur, penerimaan permohonan, proses dan ringkasan hasil pengkajian seperti
yang tercantum dalam PP No 21 Tahun 2005 pasal 31.
Selain Protokol Cartagena, dalam rangka pengaturan keamanan hayati suatu produk
bioteknologi pertanian hasil rekayasa genetik, Departemen Pertanian telah pengeluarkan Keputusan
Menteri No. 856/Kpts/HK.330/1997 tentang ketentuan keamanan hayati Produk Pertanian Hasil
Rekayasa Genetik (PPHRG).
Keamanan hayati PPHRG dimaksudkan bahwa PPHRG bersangkutan tidak mengganggu,
merugikan dan/atau membahayakan kesehatan manusia, keanekaragaman hayati, dan lingkungan.
Untuk pelaksanaan SK Mentan tersebut diperlukan pengujian PPHRG secara cermat, mengikuti
prosedur dan standar protokol yang baku. Keamanan hayati PPHRG perlu diuji secara bertahap di
fasilitas uji terbatas (biosafety containment) mulai dari tingkat labortorium, rumah
kaca/kandang/kolam hingga lapangan terbatas. Pedoman pengujian keamanan hayati PPHRG ini ada
yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus, karena teknik pengujian yang berbeda sesuai
dengan jenisnya.
Oleh karena itu, pedoman ini terdiri dari lima seri, yaitu umum, tanaman, hewan, ikan, dan jasad
renik. Apabila hasil pengujian diberbagai tahapan tersebut tidak menemukan faktor-faktor yang
dapat menimbulkan bahaya dan kerugian bagi masyarakat sera lingkungan, maka produksi dan
adaptibilitas PPHRG dapat diuji lebih lanjut. Hasil pengujian ini dilakukan melalui perbandingan
kesamaan substansial dengan produk pangan sejenis yang diolah secara tradisional tanpa
menggunakan proses bioteknologi. Perbandingan ini difokuskan pada:
a. Phenotypic dan genotypic character dari organisme;
b. Komposisi kimiawi dari produk baku dan produk olahan;
c. Efek biologis; dan
d. Penggunaan makanan.
Penerapan konsep kesamaan substansial ini pada hakekatnya bukan sebagai evaluasi keamanan,
tetapi lebih menunjukkan keamanan dari makanan baru dibandingkan dengan makanan
konvensional. Pendekatan ini khususnya dilakukan ketika terdapat keberatan akan makanan
bioteknologi yang asal organismenya seringkali merupakan sumber makanan tradisional dan ini, atau
makanan turunannya, dapat digunakan sebagai pembanding.
Penerapan konsep kesamaan substansial memberikan jaminan tingkat kepercayaan untuk
keamanan dari makanan yang dihasilkan melalui bioteknologi bahwa paling tidak setingkat dengan
yang terdapat dalam produk yang dihasilkan melalui pemeliharaan secara tradisional dimana
mengurangi prosedur formal tetapi beberapa parameter yang sama diujikan. Karenanya, di masa
lampau, peternak/petanam telah menolak varietas baru dengan perubahan yang signifikan dari
induknya (fenotipnya) atau dengan penyimpangan tingkat racun alaminya.
Rekayasa genetika akan menghasilkan produk yang mengandung gen baru, karena itu sepertinya
mereka tidak akan mempunyai kesamaan substansial dengan organisme induknya. Sebuah
pengecualian adalah rekayasa genetika modifikasi ragi pengembang dimana gen yang
bertanggungjawab terhadap formasi karbon dioksida dipindahkan ke tempat dimana mereka dapat
dikontrol dari yang sudah ada, dan lebih kuat. Walaupun jika hasil rekayasa dan organisme induknya
tidak mempunyai kesamaan substansial, membandingkan mereka dapat mengungkapkan bahwa
hasil rekayasa mempunyai efek yang tidak diinginkan yang harus diperhatikan terhadap implikasi
keamanan pangannya.
Dari sekian pertimbangan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya hukum nasional
kita tidaklah gagap terhadap teknologi yang, termasuk bioteknologi. Hanya saja masih banyak
elemen puzzle yang tidak tersusun dengan baik, sehingga gambaran keseluruhan dari kerangka
hukum nasional atas bioteknologi terkesan masih sangat buram saat ini.
Yogyakarta, 01 Februari 2012
Hormat saya,
Wahyu Yun S.
Pengajar Hukum Bioteknologi
Fakultas Hukum UGM Yogyakarta
Hp: 081328605445
Email: [email protected]
sebagai berikut:
HUKUM (TIDAK) GAGAP PADA TEKNOLOGI
Bioteknologi kita fahumi bersama sebagai sebuah industri masa depan yang dinilai dapat
memberikan keuntungan yang berlimpah bagi pelaku dan masyarakat luas, tetapi memiliki dampak
negatif jika tidak dibatasi oleh peraturan-peraturan yang bersifat sebagai sebuah kekuatan
penyeimbang. Di satu sisi, perkembangan teknologi ini sudah sedemikian pesatnya, sementara di sisi
lain, masyarakat kita secara umum pun “buta” terhadap yang namanya produk bioteknologi.
Dalam bidang pangan semisalnya, terlihat gap yang sangat timpang antara pemahaman
masyarakat dengan perkembangan produk pangan hasil rekayasa genetika. Sebagai contoh untuk hal
paling simple yang diperhatikan konsumen dalam membeli suatu produk adalah label pangannya.
Informasi terpenting yang dibaca konsumen dari label adalah expiry date – itupun tidak semua
konsumen cukup peka dan peduli terhadap hal tersebut. Keberadaan informasi pada label yang ada
saat ini belum cukup dan juga informasi keberadaan ingridien atau bahan pembuat maupun
kandungan nutrisi yang diperoleh dari proses bioteknologi, belum menjadi perhatian bagi
masyarakat. Satu contoh mendasar tersebut menunjukkan bahwa aspek hukum yang terkait dengan
food safety jika dirunut lebih jauh akan memiliki jejaring keterkaitan yang sangat luas.
Dalam kaitannya dengan regulasi Indonesia, beberapa aspek hukum yang ada dan perlu kita
perhatikan di antaranya sebagai berikut:
a. Konsep Legal dan Kerangka Hukum yang Belum Memadai
Aspek hukum terkait bioteknologi secara keseluruhan bisa jadi akan sangat ambigu dalam
penerapannya. Baik pada penentuan hukumnya maupun dalam penerapan fakta hukum yang ada
bisa jadi akan sangat sulit. Konsep legal terkait bioteknologi terdiri atas tiga konsep dasar yaitu:
Perlindungan Hukum, Pengaturan Hukum (Regulasi), dan Pertanggungjawaban Hukumnya.
Pertama, dalam hal perlindungan hukum, kita perlu fokuskan pembicaraan pada perlindungan
atas hak kekayaan intelektual (paten, merek, hak cipta, rahasia dagang, disain industri, dan
perlindungan varietas tanaman) maupun aplikasinya. Peraturan mengenai hal ini di Indonesia
terhitung cukup memadai, terlebih fakta bahwa keseluruhan aturan yang ada terkait hak kekayaan
intelektual sudah diselaraskan dengan ketentuan dalam TRIPs-WTO. Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2001 tentang Hak Paten contohnya, telah mengadopsi secara penuh ketentuan yang
dipersyaratkan dalam TRIPs Agreement.
Namun demikian, masalah utamanya justru kepada instrumentasi pelaksanaan serta
sumberdaya manusia yang ada. Jika menilik permasalahan umum tentang paten produk bioteknologi
yang telah ada, maka keharusan adanya sistem klasifikasi dan pemantauan (tracking) yang tepat,
terpadu, dan jelas menjadi mutlak adanya. Hal ini akan menjadi kompleks lagi dalam hal produk
bioteknologi tersebut tersedia dalam ukuran nanometer. Dalam hal nanoteknologi, diperlukan
keseragaman pendapat mengenai apakah produk bioteknologi yang berikuran nano tersebut hanya
merupakan miniatur dari poduk yang telah ada karena hanya terkait perbedaan dimensi ukuran
tanpa adanya perbedaan substansi, ataukah justru sebaliknya. Dalam ketentuan hukum Indonesia,
khususnya Petunjuk Teknis Pemeriksaan Paten, tidak atau belum mengenal atau mengatur mengenai
nanoteknologi. Disamping itu diperlukan pula sistem penilaian permohonan paten dari lintas bidang
keilmuan yang menyeluruh dan teliti. Inipun masih pada level awal, persoalan lanjutan adalah pada
proteksi pasca pendaftaran yang wajib dipenuhi oleh Negara. Isu ini tentu saja perlu untuk dibahas
tersendiri, terlebih saat ini rerata ilmuwan yang aktif dalam bidang bioteknologi dan nanoteknologi
memiliki preferensi lebih terhadap negara lain sebagai tempat tujuan pendaftaran patennya daripada
di Negeri sendiri.
Selain itu, isu krusial yang terkait dengan perlindungan kekayaan intelektual dalam bioteknologi
adalah permasalahan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Pada dasarnya keberadaan hukum
persaingan usaha adalah untuk mengupayakan secara optimal terciptanya persaingan usaha yang
sehat (fair competition) dan efektif pada suatu pasar tertentu, yang mendorong para pelaku usaha
melakukan efisiensi agar mampu bersaing dengan para pesaingnya. Persaingan usaha yang sehat
merupakan salah satu kunci sukses bagi sistem ekonomi pasar yang wajar, hal ini dapat
diimplementasikan dalam 2 (dua) hal yaitu melalui penegakan hukum persaingan, dan kebijakan
pemerintah yang kondusif terhadap perkembangan sektor ekonomi.
Dalam dunia usaha sesungguhnya banyak ditemukan perjanjian-perjanjian dan kegiatankegiatan usaha yang kurang adil terhadap pihak yang ekonomi dan sosialnya lemah, dimana hal
tersebut dijadikan suatu dalil persaingan yang sehat . Suatu persaingan usaha memang dapat
membantu meningkatkan kualitas produk barang dan atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha,
sehingga dapat didapatkan harga yang terjangkau bagi konsumen. persaingan usaha dapat dianggap
sebagai katalisator menju perkembangn industry, usaha, dan ekonomi.
Perkembangan pada bioteknologi tanaman maupun pangan, baik dari segi harga pemasaran,
inovatif dan varietas tamanam tidak terhindarkan dari suatu persaingan. Meski banyak perlindungan
hukum yang telah diberikan oleh Pemerintah,namun masih banyak celah yang dapat digunakan oleh
para pelaku usaha ataupun para pemegang hak tertentu untuk melakukan suatu penguasaan atas
suatu bidang tertentu.
Hal tersebut dapat kita lihat pada pasal 50 huruf a dan b UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat yang memberikan suatu pengecualian terhadap
perbuatan dan perjanjian yang dapat menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat, yaitu perbuatan dan perjanjian yang bertujuan untuk melaksanakan undang-undang, dan
perjanjian yang berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak
cipta, desain produk industry, rangkaian elektronik terpadu dan rahasia dagang serta perjanjian yang
berkaitan dengan waralaba.
Dalam kaitannya dengan paten, paten tidak dapat serta merta dikaitkan sebagai bentuk
monopoli. Hal ini disebabkan karena pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan
praktek monopoli dan persaingan tidak sehat, terdapat pengecualian dalam Pasal 50 huruf b yaitu
untuk “perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek
dagang, hak cipta, disain produk industri dan rahasia dagang serta perjanjian yang berkaitan dengan
waralaba”.
Paten merupakan cara untuk mengkomersialisasi hasil invensinya yang mana berbeda berbeda
dengan monopoli. Namun, analisis yang dilakukan pada penggunaan rahasia dagang menunjukkan
timbulnya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam penggunaan hak paten.
Ketentuan dalam Undang-Undang tentang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU PUTS)
ternyata justru membuka ruang bagi terciptanya monopoli dan persaingan tidak sehat dalam
penggunaan hak paten dan rahasia dagang sebagai bentuk perlindungan invensi.
Menganalisis fakta-fakta diatas pemilik paten dan rahasia dagang berpotensi melakukan
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dengan eksklusifitas perlindungan hak tersebut. Jika
melihat ketentuan larangan perbuatan untuk menghindari monopoli di dalam Pasal 17, 18, 19, dan
25 UU PUTS terdapat kontradiksi dengan Pasal 50 tersebut di atas.
Demikian juga permasalahannya dengan pemilik hak paten, biasanya pemegang paten produk
bioteknologi menggunakan haknya untuk menghambat pihak lain dalam pengembangan riset dengan
produk yang tidka dapat digunakan untuk riset. Seperti halnya suicide seed atau pemegang paten
cenderung membuat produk bioteknologi yang memerlukan produk pendukung khusus yang hanya
ia produksi. Contohnya Monsanto, perusahaan tersebut menciptakan benih bunuh diri dan melarang
petani memebeli benih dan pupuk selain pada Perusahaan Monsato. Hal tersebut menyebabkan
petani tidak dapat membeli benih dan herbisidanya dari perusahaan Monsanto.
Pengecualian-pengecualian yang diberikan undang-undang tersebut banyak disalahgunakan
oleh banyak orang khususnya para pemegang hak. Sebagai contoh pada produk bioteknologi berupa
varietas tanaman yang dapat dilindungi dengan 2 hak yang melekat padanya yaitu Paten terhadap
proses pembuatannya dan PVT (Perlindungan Varietas Tanaman) terhadap produknya. Hal ini sangat
berpotensi untuk menimbulkan suatu praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Memang praktek monopoli yang dilakukan cukup terselubung, di mana biasanya perjanjian yang
sering dilakukan oleh para pemegang Hak ini berupa pembagian pasar dimana salah satu pihak
memberikan suatu hak tertentu untuk membuat produk yang sama namun nama dan daerah
pemasarannya dibedakan sehingga tidak akan terlihat seperti suatu rekayasa yang dibuat oleh pihakpihak tersebut. Perjanjian tersebut biasanya tidak dalam bentuk tertulis, hanya suatu kesepakatan
antar para pihak dimana keduanya saling berkomitmen untuk melakukan hal-hal yang telah
disepakati, cara tersebut dilakukan untuk menghindari aturan yang ada.
Hal ini dilakukan untuk menghindari pelanggaran terhadap Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan
bahwa “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersamasama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran secara bersama-sama melakukan
penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat” dan pasal 9 mengenai pembagian wilayah yaitu
“pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk
membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan usaha tidak sehat” , kebanyakan para pelaku usaha
atau para pemegang hak melakukan hal tersebut karena tidak ingin repot dengan birokrasi
pendaftaran hak Paten dan PVT yang mana biaya pendaftarannya mahal dan waktu yang diperlukan
untuk mengeluarkan sertifikat Hak Paten maupun PVT sangat lama dan tidak bisa ditentukan
tergantung hasil karya yang didaftarkan, para pelaku usaha sengaja tidak membuat suatu perjanjian
tertulis agar tidak ada bukti mengenai adanya perjanjian tersebut karena kedua pasal tersebut
bersifat “rule of reason” yaitu harus dibuktikan, sehingga dalam praktiknya sangat sulit untuk
membuktikan adanya suatu perbuatan atau perjanjian yang dapat mengakibatkan praktik monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat yang secara nyata dapat dirasakan oleh banyak orang.
Kedua, isu terkait regulasi akan sangat relevan dengan perlindungan terhadap hak warga negara,
maupun juga permasalahan sektoralisme dan tarik kepentingan antar kewenangan baik Pemerintah
dengan pemerintah daerah, maupun antar lembaga. Bisa dikatakan Indonesia termasuk negara yang
sangat produktif dan beragam produk hukumnya. Kita memiliki sekian banyak regulasi, baik level
Undang-undang hingga level Perda yang memuat sekian ragam permasalahan hukum di masyarakat.
Terkait bioteknologi, sudah sekian banyak regulasi yang ada. Ratifikasi CBD dan Protocol Cartagena
jelas sudah ada lama. Undang-Undang tersedia berlimpah: UU Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, UU Pangan, UU Kesehatan, UU Paten, UU Penanaman Modal Asing, dan lainnya
sudah masuk dalam jajaran regulasi yang sekurangnya harus ada dalam perlindungan hukum terkait
bioteknologi. Betul bahwa beberapa regulasi tersebut masih sangat tertinggal, seperti contoh UU
Pangan yang masih menunggu revisi hingga sekarang, namun hal tersebut tidak sebagai alasan
penghambat dalam implementasi hukumnya. Terkait komersialisasi PRG, ketertinggalan ini jelas
terlihat dalam UU Pangan.
Namun, disamping hal tersebut diatas, poin utama yang perlu diduduk-benarkan justru terkait
aspek kewenangan kelembagaan yang seringkali tumpang tindih di dalam pelaksanaannya. Beberapa
lembaga yang memiliki kewenangan dalam aspek bioteknologi ini seperti Kemenristek, LIPI,
Kemendag, Kemenkes, KemenLH, maupun BPOM RI. Lebih lanjut lagi, kewenangan daerah dalam era
otonomi daerah ini juga perlu disinkronkan dengan pemahaman atas konsep produk bioteknologi
sehingga delegasi dan interpretasi kewenangan di daerah selaras dengan kerangka nasional.
Ketiga, terkait dengan aspek pertanggungjawaban hukumnya, beberapa isu yang ada
diantaranya:
1) Strict Liability atau Tanggungjawab Mutlak
Tanggung jawab mutlak mendahulukan terlebih dulu upaya pemulihan atas dampak yang
ditimbulkan selain pembuktian. Beban pembuktian pun diletakkan pada pundak operator atau
pelaku usaha. Atas hal ini, konsep strict liability lebih dekat pada permasalahan gugatan perdata
atau terkait kompensasi atas kerugian. Secara sederhana strict liability melekat pada tiap pihak
yang mengintrodusir suatu produk yang dapat berdampak pada lingkungan hidup dan kesehatan
manusia. Aturan hukum kita telah mengadopsi konsep ini dalam UU Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32 Tahun 2009). Hanya saja dikarenakan konsep ini
berbeda dengan konsep perdata umum yang ada (Liability Based on Fault), sering para penegak
hukum tidak tahu ataupun lebih mengedepankan ketentuan hukum umum yang ada.
2) Tanggung Jawab Korporasi
Tanggung jawab korporasi sudah bukan lagi menjadi isu yang baru dalam hukum. Sebagaimana
dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai misal, dalam hal suatu tindak
pidana dilakukan secara sistematis oleh perusahaan, maka Pimpinan, atau Pemberi Perintah,
atau yang mengetahui secara langsung (dalam tingkat tanggungjawabnya/jenjang hierarkis di
perusahaan) atas tindak pidananya dapat dikenakan pidana dengan tambahan sanksi pidana 1/3
dari hukuman yang dijatuhkan.
3) Corporate Social Responsibility
Diwajibkan dalam UU PT, CSR menjadi suatu keharusan dan juga kebutuhan pada saat ini,
terutama pada perusahaan besar yang lingkup kegiatannya memberikan dampak yang potensial
bagi lingkungan dan masyarakat. Dengan tiga konsep dasar yang melekat, yaitu keseimbangan
antara 3 P: People, Profit, Planet; CSR bisa menjadi pintu masuk yang tepat dalam menjembatani
kesiapan Indonesia untuk memoles legal framework dalam bioteknologi.
4) Perlindungan Masyarakat
Saat ini kita memiliki dua mekanisme dasar yang dapat diterapkan dalam perlindungan
masyarakat terkait produk bioteknologi mengingat tingkat persebaran maupun dampaknya, yaitu
class action dan legal standing. Class action atau gugatan perwakilan memungkinkan adanya
gugatan ganti kerugian secara kolektif oleh perwakilan masyarakat. Sedangkan legal standing
memungkinkan bagi organisasi lingkungan hidup untuk melakukan gugatan atas nama
kepentingan lingkungan hidup. Saat ini, terdapat perkembangan yang cukup signifikan dan
menggembirakan dimana posisi tawar atas class action dan legal standing lebih kuat dalam
konteks upaya litigasi (di dalam pengadilan). Class action telah dijembatani oleh UU Perlindungan
Konsumen maupun UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan.
b. Penerapan Prinsip Hukum Umum yang Tidak Optimal
Salah satu prinsip hukum umum terkait dengan persoalan bioteknologi adalah prinsip
pendekatan kehati-kehatian (precautionary principle). Protokol Cartagena disusun berdasarkan
prinsip pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) sebagaimana tercantum dalam prinsip ke
15 Deklarasi Rio yang berarti bila terdapat ancaman serius atau kerusakan yang tidak dapat
dipulihkan, kekurangan ilmu pengetahuan (scientific uncertainty) seharusnya tidak dipakai sebagai
alasan untuk mencegah kerusakan lingkungan.
Beberapa elemen mendasar yang perlu diperhatikan dalam penerapan prinsip ini adalah:
adanya langkah kehati-kehatian apabila menghadapi kekurangan bukti ilmiah (scientific uncertainty);
adanya eksplorasi terhadap upaya alternatif yang mungkin diterapkan apabila ancaman bahaya atau
kerusakan (damage) tersebut muncul; pemberian beban pembuktian terbalik kepada pelaku usaha;
serta perlu adanya proses yang demokratis dan transparan dalam penerapan prinsip ini, termasuk
juga perlunya hak publik atas informasi.
Atas dasar hal ini, prinsip ini dapat kita terjemahkan bahwa ketika terdapat alasan ilmiah yang
beralasan untuk membuat kita percaya bahwa suatu aktivitas, teknologi, atau suatu substansi dapat
menimbulkan bahaya, maka kita perlu melakukan sesuatu dalam mencegah bahaya tersebut. Jika
kita selalu menunggu adanya suatu kepastian ilmiah (scientific certainty), bisa jadi akan ada orang
atau masyarakat yang dirugikan atau meninggal, dan dampak kerusakan terhadap lingkungan bisa
jadi semakin sulit untuk dipulihkan.
Hanya saja memang, penerapan prinsip ini cukup sulit. Di dalam regulasi kita, seperti UU
Kesehatan dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan, prinsip kehati-hatian ini sudah jelas,
namun lemah dalam pemahaman dan penerapannya. Beberapa kelemahan tersebut tercermin jelas
dari konsep yang dipahami atas prinsip precautionary ini.
Pertama, yaitu pemahaman atas “scientific certainty” atau kepastian ilmiah sebagai standar
penerapan. Seringkali diasumsikan bahwa dalam hal sesuatu tidak dapat dibuktikan secara ilmiah,
maka itu tidak benar. Ini sekaligus menjadi alasan bahwa kurangnya kepastian secara ilmiah akan
dampak dari sesuatu digunakan untuk justifikasi keberlangsungan penggunaan substansi atau
teknologi yang memiliki potensi bahaya.
Kedua, adalah penggunaan “analisis risiko” untuk menentukan apakah suatu substansi atau
aktivitas dapat diperbolehkan. Permasalahannya terletak pada ukuran risiko yang seringkali sangat
sempit dan tidak adanya keterbukaan informasi terkait risiko riil dari suatu substansi atau aktivitas
tersebut.
Ketiga, adalah penerapan cost-benefit analysis yang menjadi prasyarat utama dalam
penggunaan precautionary principle. Dengan pertimbangan untung-rugi ini harus ditentukan apakah
biaya pembuatan regulasi secara keseluruhan sebanding dengan kemanfaatan yang akan diberikan.
Atau justru dengan suatu regulasi yang membatasi suatu aktivitas atau substansi yang berbahaya –
dengan kepastian ilmiah yang kurang – akan membawa dampak merugikan perekonomian
keseluruhan. Alasan inilah yang masih membayangi efektivitas penerapan precautionary principle.
Contoh riil adalah keengganan Pemerintah melaksanakan putusan Mahkamah Agung yang
memenangkan gugatan publik untuk mengumumkan sampel produk susu yang mengandung bakteri
E.Saccazacci sesuai penelitian IPB Tahun 2007-2008.
Meskipun berat dalam penerapan dan beberapa kelemahan tersebut diatas, pendekatan kehatihatian perlu terus dikembangkan dan disosialisasikan ke publik. Karena dengan adanya precautionary
approach ini akan meningkatkan eksplorasi atas produk dan teknologi alternatif yang bisa
menawarkan cara yang lebih baik, lebih murah, dan lebih aman. Prinsip ini pun akan memindahkan
tanggung jawab pembuktian kepada pemilik teknologi, sekaligus dapat menjadi alat untuk
memastikan bahwa publik memiliki akses informasi atas teknologi tersebut. Ini tentu saja menjadi
modal yang sangat penting dalam perlindungan hukum atas penggunaan produk hasil rekayasa
genetika.
c. Keamanan Produk Bioteknologi Pangan di Indonesia
Keamanan pangan merupakan syarat penting yang harus melekat pada pangan yang hendak
dikonsumsi oleh semua masyarakat Indonesia. Pangan yang bermutu dan aman dapat dihasilkan dari
dapur rumah tangga maupun dari industri pangan. Oleh karena itu industri pangan adalah salah satu
faktor penentu beredarnya pangan yang memenuhi standar mutu dan keamanan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.
Keamanan pangan bukan hanya merupakan isu dunia tapi juga menyangkut kepedulian individu.
Jaminan akan keamanan pangan adalah merupakan hak asasi konsumen. Pangan termasuk
kebutuhan dasar terpenting dan sangat esensial dalam kehidupan manusia. Walaupun pangan itu
menarik, nikmat, tinggi gizinya jika tidak aman dikonsumsi, praktis tidak ada nilainya sama sekali.
Berbicara tentang produk pangan bioteknologi, yang juga dikenal dengan produk transgenik
merupakan produk yang dihasilkan dari rekayasa genetika, dimana dalam proses ini dimungkinkan
terjadinya introduksi gen dari satu organisme ke organisme lain yang berbeda spesies seperti gen
dari bakteri, virus atau tanaman, sehingga kehadiran teknologi ini memberikan wahana baru bagi
pemulia tanaman untuk memperoleh kelompok gen baru yang lebih luas sumbernya.
Untuk menjamin keamanan produk bioteknologi, prinsip kehati-hatian dalam penggunaan
produk tersebut baik sebagai bahan pangan, pakan atau untuk obat-obatan harus bersumber pada
persepsi risiko yang dapat diterima (acceptable risk). Dilihat dari manfaat dan risiko produk
bioteknologi yang beragam maka juga diperlukan kesediaan untuk menerima resiko itu sendiri, oleh
karena itu yang terpenting adalah mencari solusi bagaimana prinsip kehati-hatian tersebut
diterjemahkan ke dalam undang-undang, kebijakan dan praktek pengelolaan manfaat dan risiko.
Jika kita ingin mengadopsi suatu teknologi baru tentu saja tidak mungkin tanpa resiko sama
sekali, pekerjaan yang sederhana saja pasti mengandung suatu resiko yang terpenting dari semuanya
itu adalah bagaimana menyikapi dan mengantisipasi risiko yang muncul tersebut seminimal mungkin.
Dalam hal inilah prinsip kehati-hatian (precautionary approach) diperlukan sebelum produk
bioteknologi itu dilepas ke lingkungan atau dikonsumsi sebagai bahan makanan, obat atau pakan
ternak.
Perangkat peraturan untuk pelepasan produk bioteknologi tanaman, ikan hewan dan pakan saat
ini telah dimiliki Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2005.
Indonesia menaruh perhatian terhadap bioteknologi melalui dukungan pada peraturan produk
rekayasa genetika tersebut diantaranya PP No. 21/2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa
Genetika, selain itu Pedoman Pengkajian Keamanan Pangan Produk Rekayasa Genetika yang
dikeluarkan BPOM pada 2008. Peraturan ini merupakan peningkatan atau penyempurnaan dari
peraturan yang sebelumnya dari Keputusan Bersama Empat Menteri Tahun 1999 serta khusus dibuat
untuk mengatur produk bioteknologi di Indonesia. Peraturan Pemerintah ini dibuat atas dasar
pendekatan kehati-hatian dan mengacu pada Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati. Protokol
ini sebelumnya telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang No 21 Tahun 2004.
Salah satu badan pengimplementasi dari Protokol Cartagena adalah Balai Kliring Keamanan
Hayati (BKKH) yang merupakan perangkat dari KKH. BKKH ini merupakan kewajiban suatu Negara
yang telah meratifikasi Protokol Cartagena untuk mendirikannya. Karena Indonesia telah
menandatangani dan meratifikasi Protokol sejak Tahun 2004 melalui Undang-Undang No 21 Tahun
2004, maka kewajiban bagi Indonesia untuk mendirikan BKKH sebagai wacana informasi publik dan
pertukaran informasi dalam bidang bioteknologi modern yang belum dicakup dalam protokol lain.
BKKH digunakan untuk memfasilitasi konsultasi publik terhadap hasil pengkajian TTKH. Sehingga
masukan dari masyarakat tersebut melalui BKKH akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh
TTKH dalam memberikan rekomendasi keamanan hayati produk bioteknologi tersebut kepada
pemerintah. Kehadiran BKKH ini sebagai wadah yang dapat dijadikan wahana komunikasi antara
pemangku kepentingan dengan Institusi terkait serta mengelola dan menyajikan informasi kepada
publik mengenai prosedur, penerimaan permohonan, proses dan ringkasan hasil pengkajian seperti
yang tercantum dalam PP No 21 Tahun 2005 pasal 31.
Selain Protokol Cartagena, dalam rangka pengaturan keamanan hayati suatu produk
bioteknologi pertanian hasil rekayasa genetik, Departemen Pertanian telah pengeluarkan Keputusan
Menteri No. 856/Kpts/HK.330/1997 tentang ketentuan keamanan hayati Produk Pertanian Hasil
Rekayasa Genetik (PPHRG).
Keamanan hayati PPHRG dimaksudkan bahwa PPHRG bersangkutan tidak mengganggu,
merugikan dan/atau membahayakan kesehatan manusia, keanekaragaman hayati, dan lingkungan.
Untuk pelaksanaan SK Mentan tersebut diperlukan pengujian PPHRG secara cermat, mengikuti
prosedur dan standar protokol yang baku. Keamanan hayati PPHRG perlu diuji secara bertahap di
fasilitas uji terbatas (biosafety containment) mulai dari tingkat labortorium, rumah
kaca/kandang/kolam hingga lapangan terbatas. Pedoman pengujian keamanan hayati PPHRG ini ada
yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus, karena teknik pengujian yang berbeda sesuai
dengan jenisnya.
Oleh karena itu, pedoman ini terdiri dari lima seri, yaitu umum, tanaman, hewan, ikan, dan jasad
renik. Apabila hasil pengujian diberbagai tahapan tersebut tidak menemukan faktor-faktor yang
dapat menimbulkan bahaya dan kerugian bagi masyarakat sera lingkungan, maka produksi dan
adaptibilitas PPHRG dapat diuji lebih lanjut. Hasil pengujian ini dilakukan melalui perbandingan
kesamaan substansial dengan produk pangan sejenis yang diolah secara tradisional tanpa
menggunakan proses bioteknologi. Perbandingan ini difokuskan pada:
a. Phenotypic dan genotypic character dari organisme;
b. Komposisi kimiawi dari produk baku dan produk olahan;
c. Efek biologis; dan
d. Penggunaan makanan.
Penerapan konsep kesamaan substansial ini pada hakekatnya bukan sebagai evaluasi keamanan,
tetapi lebih menunjukkan keamanan dari makanan baru dibandingkan dengan makanan
konvensional. Pendekatan ini khususnya dilakukan ketika terdapat keberatan akan makanan
bioteknologi yang asal organismenya seringkali merupakan sumber makanan tradisional dan ini, atau
makanan turunannya, dapat digunakan sebagai pembanding.
Penerapan konsep kesamaan substansial memberikan jaminan tingkat kepercayaan untuk
keamanan dari makanan yang dihasilkan melalui bioteknologi bahwa paling tidak setingkat dengan
yang terdapat dalam produk yang dihasilkan melalui pemeliharaan secara tradisional dimana
mengurangi prosedur formal tetapi beberapa parameter yang sama diujikan. Karenanya, di masa
lampau, peternak/petanam telah menolak varietas baru dengan perubahan yang signifikan dari
induknya (fenotipnya) atau dengan penyimpangan tingkat racun alaminya.
Rekayasa genetika akan menghasilkan produk yang mengandung gen baru, karena itu sepertinya
mereka tidak akan mempunyai kesamaan substansial dengan organisme induknya. Sebuah
pengecualian adalah rekayasa genetika modifikasi ragi pengembang dimana gen yang
bertanggungjawab terhadap formasi karbon dioksida dipindahkan ke tempat dimana mereka dapat
dikontrol dari yang sudah ada, dan lebih kuat. Walaupun jika hasil rekayasa dan organisme induknya
tidak mempunyai kesamaan substansial, membandingkan mereka dapat mengungkapkan bahwa
hasil rekayasa mempunyai efek yang tidak diinginkan yang harus diperhatikan terhadap implikasi
keamanan pangannya.
Dari sekian pertimbangan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya hukum nasional
kita tidaklah gagap terhadap teknologi yang, termasuk bioteknologi. Hanya saja masih banyak
elemen puzzle yang tidak tersusun dengan baik, sehingga gambaran keseluruhan dari kerangka
hukum nasional atas bioteknologi terkesan masih sangat buram saat ini.
Yogyakarta, 01 Februari 2012
Hormat saya,
Wahyu Yun S.
Pengajar Hukum Bioteknologi
Fakultas Hukum UGM Yogyakarta
Hp: 081328605445
Email: [email protected]