Konsep Manusia dalam Al Quran (1)

Konsep Manusia dalam Al Qur’an
Dalam Al Qur’an, manusia berulang kali diangkat derajatnya, dan berulangkali pula direndahkan. Manusia dinobatkan
jauh mengungguli alam surga bahkan Malikat, tetapi pada saat yang sama mereka tak lebih berarti dibandingkam dengan setan
terkutuk dan binatang melata sekalipun. Manusia dihargai sebagai khalifah dan makhluk yang mampu menaklukkan alam
(taskhir). Namun, posisi ini bisa merosot ke tingkat ‘yang paling rendah dari segala yang rendah (asfala safiin)’.
Gambaran kontradiktif menyangkut keberadaan manusia itu menandakan bahwa makhluk yang namanya manusia itu
unik, makhluk yang serba dimensi, ada di antara predisposisi negative dan positif. Al Qur’an memperkenalkan tiga istilah kunci
(key term) yang mengacu pada makna pokok manusia, yaitu Al Basyar, Al Insan, dan An Nas. Penggunaan ketiga istilah itu jelas
memiliki makna signifikan.
A.

AL-BASYAR
Dalam firman Allah SWT:
“Bukankah Rosul itu memakan makanan dan berjalan-jalan di pasar”. QS. Al Furqon(25): 7,
“Tidak Kami utus sebelummu para utusan kecuali merekaitu makan makanan dan berjalan-jalan di pasar”. QS. Al
Furqon(25):20
Keterjebakan orang-orang kafir_selain karena kecongkakannya, terletak pada pandangannya yang melihat seorang Nabi
hanya pada sisi biologis. Karena itu, dalam pandangan mereka, ajakan Nabi tidak harus dan tidak mesti dipatuhi, karena mereka
beranggapan Nabi itu berasal dari komunitasnya sendiri. Mereka tidak mempertimbangkan aspek lain dari kehadiran seorang
utusan Allah, misalnya kapasitas, moralitas, kredibilitas kepribadiannya, dan akseptabilitasnya di mata umatnya. Merujuk pada
Nabi-nabi sebelumnya, Allah menyuruh Nabi Muhammad untuk menegaskan bahwa secara biologis ia memang seperti manusia

yang lain,
“Katakanlah (Muhammad kepada mereka bahwa), aku ini manusia biasa (basyar) seperti kamu. Hanya saja aku diberi
wahyu (oleh Allah dan diberi mandat untuk menyampaikan dakwah) bahwa Tuhanmu adalah Tuhan yang satu” QS. Al
Kahfi(18):110 (lihat juga QS.41:6).
Kelebihan dan letak perbadaan Nabi dan manusia biasa dalam komunitasnya bukan dari aspek biologisnya, tetapi
keterutusannya dan penunjukan langsung dari Allah untuk membawa risalah-Nya. Pada sisi inilah Nabi dipandang sebagai
“manusia luar biasa”.
Beberapa ayat tadi dengan jelas menegaskan bahwa konsep basyar selalu dihubungkan denga sifat-sifat ketubuhan
(biologis) manusia yang mempunyai bentuk/postur tubuh, mengalami pertumbuhan dan perkembangan jasmani, makan, minum,
berjalan-jalan di pasar, bergerak dan lain-lain. Dengan kata lain, basyar dipakai untuk merujuk dimensi alamiah yang menjadi ciri
pokok manusia pada umumnya.

B.

AL-INSAN
Kata Al Insan disebut sebanyak 65 kali dalam Al Qur’an. Hampir semua ayat yang menyebut manusia dengan
menggunakan Al Insan, konteksnya selalu menampilkan manusia sebagai makhluk yang istimewa, secara moral maupun
spiritual. Makhluk yang memiliki keistimewaan dan keunggulan-keunggulan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Jalaluddin
Rahmat (1994) memberi pengertian luas Al Insan ini pada tiga kategori.
Pertama, Al Insan dibubungkan dengan keistimewaan manusia sebagai khalifah di muka bumi dan pemikul amanah.

Kedua, Al Insan dikaitkan dengan predisposisi negative yang inheren dan laten pada diri manusia. Kedua konteks di atasmerujuk
pada sifat-sifat psikologis atau spiritual.

Ketiga, Al Insan disebut-sebut dalam hubungannya dengan proses penciptaan manusia.
Kategori pertama
Menunjuk pada keistimewaan manusia sebagai wujud yang berbeda dengan makhluk lain. Keberadaan dan keistimewaan_dalam
hal ini juga berarti keunggulan_ manusia itu bisa dijelaskan, sebagai berikut:
Pertama: Al Qur’an memandang manusia sebagai “makhluk unggulan” atau “puncak penciptaan” Tuhan, keunggulan manusia
terletak pada wujud kejadiannya sebagai makhluk yang diciptakan dengan kualitas “ahsanu taqwim”, sebaik-baik penciptaan
(QS. At Tin(95):5). Manusia juga disebut sebagai makhluk yang dipilih oleh Tuhan (QS. Thahaa(20):112) untuk mengemban
tugas kekhalifahan di muka bumi (QS. Al Baqarah(2):30).
Kedua: Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dipercaya Tuhan untuk mengemban amanah (QS. Al Ahzab(33):72), sebuah
beban sekaligus tanggung jawabnya sebagai makhluk yang dipercaya dan diberi mandat mengelola bumi. Menurut Fazlurrahman
(1990), amanah terkait dengan fungsi kreatif manusia untuk menemukan hukum alam, menguasainya_atau dalam bahasa Al
Qur’an dengan istilah “mengetahui nama-nama semua benda” (al asma’ kullaha)_ dan kemudian menggunakannya dengan
inisiatif moral untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih baik. Sedangkan Thathaba’I (tt,XVI:349-51) memaknai amanah lebih
sebagai predisposisi (isti’dad) untuk beriman dan mentaati Allah. Di dalamnya terkandung makna khilafah, manusia sebagai
pemikul al wilayah al ilahiyah. Amanah inilah yang dalam ayat-ayat lain disebut sebagai perjanjian primordial atau perennial
(‘ahd, mitsaq, ’isr). Perjanjian itu digambarkan secara metaforis perennial kepada janin yang berada dalam kandungan. Tuhan
bertanya,

“Bukankah Aku ini Tuhanmu?”.”Ya”, jawab si janin “kami menjadi saksi”.
Ketiga: karena manusia memikul tugas berat sebagai khalifah dan pemegang amanah yang semua makhluk tidak bersedia, maka
manusia dibekali dengan seperangkat kemampuan untuk melaksanakan tugas tersebut.
Salah satu kemampuan itu adalah dibekalinya manusia dengan akal kreatif. Melalui akal kreatifnya manusia diberi konsesi untuk
memilliki, menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan kreatif. Sebab, menurut Al Qur’an, manusia adalah makhluk
yang diberi ilmu,
“Dia yang mengajar dengan pena, mengajar insan apa yang tidak diketahuinya” (QS.Al Alaq(96):4-5).
“Ia mengajar (insan) al bayan” (QS. Ar Rahman(55):3).
Manusia diberi kemampuan mengembangkan ilmu berkat nalar kreatifnya. Sebab itujuga, berkali-kali kata al insan dihubungkan
dengan kata nadzar, Allah memerintahkan al insan untuk menadzar (mengamati, merenungkan, memikirkan, menganalisis)
perbuatannya (QS.79:35), proses terbentuknya makanan dari siraman air hujan hingga terbentuk buah-buahan (QS.80:24-36),
dan penciptaannya (QS.88:5). Dengan kemampuan ini al insan dipakai untuk menunjuk kuallitas pemikiran rasional dan
kesadaran yang khusus dimiliki manusia. Dalam hubungan inilah, setelah Allah mengingatkan sifat al insan yang labil dan
cenderung lupa diri, Dia berfirman :
“Akan Kami perlihatkan kepada mereka (insan) tanda-tanda Kami di alam dan diri mereka sendiri supaya jelas baginya bahwa
itu al Haq”. (QS. Al Fushilat:3)
Tugas kekhalifahan dan amanah juga membawa konsekuensi bahwa al insan dibebani atau dihubungkan dengan konsep tanggung
jawab (QS.75:3,36, dan QS.50:16) untuk melakukan yang terbaik. Manusia diwasiatkan agar berbuat baik (QS.29:8, QS.31:14,
QS.46:15) karena setiap amalnya dicatat dengan cermat dan diberi balasan setimpal (QS.53:39). Dalam rangka itu manusia
diingatkan dengan sejumlah tantangan karena insanlah yang dimusuhi syetan (QS.17:53, QS.59:16) dan ditentukan nasibnya di

hari kiamat (QS.75:10,13,14; QS.79:35; QS.80:17;QS.89:23), sebagai bentuk pertanggungjawaban.

Keempat: dalam mengabdi kepada Allah manusia (al insan) sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan kondisi psikologisnya. Jika
mendapat keberuntungan dan keseuksesan hidup akan cenderung sombong, takabur, dan musyrik (QS.10:12; QS.11:9;
QS.17:67,83; QS.39:8,49; QS.41:49,51; QS.42:48; QS.89:15).
Pada kategori kedua, Al Insan dikaitkan dengan predisposisi negative pada diri manusia. Menurut Al Qur’an, manusia itu
cenderung berbuat dzalim dan kafir (QS.14:34,QS.22:66, QS.43:15), tergesa-gesa (QS.17:11, QS.21:37), bakhil (QS.17:100),
bodoh (QS.33:72), banyak membantah dan suka berdebat tentang hal-hal yang sepele sekalipun (QS.16:4,QS.18:54,QS.36:77),
resah, gelisah, dan enggan membantu orang lain (QS.70:19-21), ditakdirkan untuk bersusah payah dan menderita (QS.84:6,
QS.90:4), ingkar dan enggan berterima kasih kepada Tuhan (QS.100:6), suka berbuat dosa (QS.96:6, QS.75:5), dan meragukan
hari akhirat (QS.19:66).
Bila dihubungkan dengan sifat-sifat manusia pada kategori pertama, Al Insan menjadi makhluk yang paradoksal, yang berjuang
mengatasi konflik dan kekuatan yang saling bertentangan: tarik menarik antara mengikuti fitrah (memikul amanah dan menjadi
khalifah) dan mengikuti nafsu negative dan merusak. Kedua kekuatan ini digambarkan dengan sangat menarik pada kategori
ketiga.

Proses penciptaan manusia atau asal kejadian manusia dinisbahkan pada konsep al insan dan basyar sekaligus. Sebagai al insan,
manusia diciptakan dari tanah liat, sari pati tanah, tanah (QS.15:26,QS.23:12, QS.32:7, QS.55:14). Demikian pula basyar berasal
dari tanah, tanah liat kering (QS.15:28, QS.38:71,QS.30:20) dan air (QS.25:54). Sementara di ayat lain manusia disempurnakan
kejadiannya dengan ditiupkannya ruh Allah ke dalam tubuhnya (QS.15:29, QS.38:72) Konsep Manusia dalam al-Qur’an

Muqaddimah
Wacana tentang asal-usul manusia, menjadi satu hal yang menarik untuk dikaji dan dikaji lagi lebih dalam. Dua konsep (konsep
evolusi dan konsep Adam sang manusia pertama) menimbulkan perdebatan yang tak habis-habis untuk dibahas.
Di satu sisi konsep evolusi menawarkan satu gagasan bahwa manusia adalah wujud sempurna dari evolusi makhluk di bumi ini.
Sedangkan konsep yang kedua mengatakan bahwa manusia adalah keturunan Adam dan Hawa.
Dalam tulisan ini benar-salah kedua konsep itu tidak dibahas secara intens. Tulisan ini akan lebih menakankan konsep manusia
dalam al-Qur’an (konsep kedua), dan sedikit memberi ruang penjelasan untuk konsep manusia melalui teori evolusi, sekedar
analisa perbandingan saja. Dari sini korelasi kedua konsep ini akan sedikit sekali diperlihatkan.
Konsep manusia dalam al-Qur’an
Sedikit disinggung di atas, bahwa adanya manusia menurut al-Qur’an adalah karena sepasang manusia pertama yaitu Adam dan
Hawa. Disebutkan bahwa, dua insan ini pada awalnya hidup di Surga. Namun, karena melanggar perintah Allah maka mereka
diturunkan ke bumi. Setelah diturunkan ke bumi, sepasang manusia ini kemudian beranak-pinak,[1]menjaga dan menjadi wakil-Nya di dunia baru itu.[2]
Tugas yang amat berat untuk menjadi penjaga bumi. Karena beratnya tugas yang akan diemban manusia, maka Allah
memberikan pengetahuan tentang segala sesuatu pada manusia. Satu nilai lebih pada diri manusia, yaitu dianugerahi
pengetahuan. Manusia dengan segala kelebihannya kemudian ditetapkan menjadi khalifah di bumi ini. Satu kebijakan Allah yang

sempat ditentang oleh Iblis dan dipertanyakan oleh para malaikat. Dan Allah berfirman: “….Hai Adam, beritahukanlah kepada
mereka nama-nama mereka…” (al-Baqarah ayat 33). Setelah Adam menyebutkan nama-nama itu pada malaikat, akhirya
Malaikatpun tahu bahwa manusia pada hakikatnya mampu menjaga dunia.
Dari uraian ini dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan Allah SWT. Dengan segala

pengetahuan yang diberikan Allah manusia memperoleh kedudukannya yang paling tinggi dibandingkan dengan makhluk
lainnya. Inipun dijelaskan dalam firman Allah SWT: “…..kemudian kami katakan kepada para Malaikat: Bersujudlah kamu
kepada Adam”; maka merekapun bersujud kecuali Iblis, dia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang
yang kafir” (al-Baqarah ayat 34). Ini menunjukkan bahwa manusia memiliki keistimewaan dibanding makhluk Allah yang
lainnya, bahkan Malaikat sekalipun.[3]
Menjadi menarik dari sini jika legitimasi kesempurnaan ini diterapkan pada model manusia saat ini, atau manusia-manusia pada
umumnya selain mereka para Nabi dan orang-orang maksum. Para nabi dan orang-orang maksum menjadi pengecualian karena
sudah jelas dalam diri mereka terdapat kesempurnaan diri, dan kebaikan diri selalu menyertai mereka. Lalu, kenapa pembahasan
ini menjadi menarik ketika ditarik dalam bahasan manusia pada umumnya. Pertama, manusia umumnya nampak lebih sering
melanggar perintah Allah dan senang sekali melakukan dosa. Kedua, jika demikian maka manusia semacam ini jauh di bawah
standar Malaikat yang selalu beribadah dan menjalankan perintah Allah SWT, padahal dijelaskan dalam al-Qur’an Malaikatpun
sujud pada manusia. Kemudian, ketiga, bagaimanakah mempertanggungjawabkan firman Allah di atas, yang menyebutkan bahwa
manusia adalah sebaik-baiknya makhluk Allah.
Tiga hal inilah yang menjadi inti pembahasan ini.
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia memang memiliki kecenderungan untuk melanggar perintah Allah, padahal Allah
telah menjanjikannya kedudukan yang tinggi. Allah berfirman: “Dan kalau Kami menghendaki sesungguhnya Kami tinggikan
(derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah………….”
(al-A’raaf, ayat 176). Dari ayat ini dapat dilihat bahwa sejak awal Allah menghendaki manusia untuk menjadi hamba-Nya yang
paling baik, tetapi karena sifat dasar alamiahnya, manusia mengabaikan itu. Ini memperlihatkan bahwa pada diri manusia itu
terdapat potensi-potensi baik, namun karena potensi itu tidak didayagunakan maka manusia terjerebab dalam lembah kenistaan,

bahkan terkadang jatuh pada tingkatan di bawah hewan. [4]
Satu hal yang tergambar dari uraian di atas adalah untuk mewujudkan potensi-potensi itu, manusia harus benar-benar
menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dan tentu manusia mampu untuk menjalani ini. Sesuai dengan firman-Nya:
“Allah tidak akan membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikannya) dan ia
mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya…….” (al-Baqarah ayat 286). Jelas sekali bahwa Allah tidak akan
membebani hamba-Nya dengan kadar yang tak dapat dilaksanakan oleh mereka. Kemudian, bila perintah-perintah Allah itu tak
dapat dikerjakan, hal itu karena kelalaian manusia sendiri. “ Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan
kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya menetapi
kesabaran.” Mengenai kelalaian manusia, melalui surat al-Ashr ini Allah selalu memperingatkan manusia untuk tidak menyianyiakan waktunya hanya untuk kehidupan dunia mereka saja. Bahkan Allah sampai bersumpah pada masa, untuk menekankan
peringatan-Nya pada manusia. Namun, lagi-lagi manusi cenderung lalai dan mengumbar hawa nafsunya.
Unsur-unsur dalam diri manusia

Membahas sifat-sifat manusia tidaklah lengkap jika hanya menjelaskan bagaimana sifat manusia itu, tanpa melihat gerangan apa
di balik sifat-sifat itu. Murtadha Muthahari di dalam bukunya Manusia dan Alam Semesta sedikit menyinggung hal ini.
Menurutnya fisik manusia terdiri dari unsur mineral, tumbuhan, dan hewan. Dan hal ini juga dijelaskan di dalam firman Allah :
Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan memulai penciptaan manusia dai tanah. Kemudian Dia
menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam
(tubuh)nya roh (ciptaan)Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tapi) kamu sedikit sekali
bersyukur. (as-Sajdah ayat 7-9). Sejalan dengan Muthahari dan ayat-ayat ini, maka manusia memiliki unsur paling lengkap
dibanding dengan makhluk Allah yang lain. Selain unsur mineral, tumbuhan, dan hewan (fisis), ternyata manusia memiliki jiwa

atau ruh.[5] Kombinasi inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk penuh
potensial.
Jika unsur-unsur ditarik garis lurus maka, ketika manusia didominasi oleh unsur fisisnya maka dapat dikatakan bahwa ia semakin
menjauhi kehakikiannya. Dan implikasinya, manusia semakin menjauhi Allah SWT. Tipe manusia inilah yang dalam al-Qur’an di
sebut sebagai al-Basyar, manusia jasadiyyah. Dan demikianpun sebaliknya, semakin manusia mengarahkan keinginannya agar
sejalan dengan jiwanya, maka ia akan memperoleh tingkatan semakin tinggi. Bahkan dikatakan oleh para sufi-sufi besar, manusia
sebenarnya mampu melampaui malaikat, bahkan mampu menyatu kembali dengan sang Khalik. Manusia seperti inilah yang
disebut sebagai al-insaniyyah.
Luar biasanya manusia jika ia mampu mengelola potensinya dengan baik. Di dalam dirinya ada bagian-bagian yang tak dimiliki
malaikat, hewan, tumbuhan, dan mineral—satu persatu. Itu karena di dalam diri manusia unsur-unsur makhluk Allah yang lain
ada. Tidak salah bila dikatakan bahwa alam semesta ini makrokosmos dan manusia adalah mikrokosmosnya.

C.

AN-NAS
Konsep An Nas mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial. Manusia dalam arti An Nas ini paling banyak disebut Al
Qur’an (240 kali). Menariknya, dalam mengungkapkan manusia sebagai makhluk sosial, Al Qur’an tidak pernah melakukan
generalisasi.
Penjelasan konsep ini dapat ditunjukkan dalam dua hal:
Pertama

Banyak ayat yang menunjukkan kelompok-kelompok sosial dengan karakteristiknya masing-masing yang satu sama lain belum
tentu sama. Ayat-ayat ini biasanya menggunakan ungkapan wa min al nas (dan diantara manusia). Memperhatikan ungkapan ini
kita menemukan perunjuk Tuhan bahwa ada kelompok manusia yang menyatakan beriman padahal sebetulnya tidakberiman
(QS.2:8), yang mengambil sekutu-sekutu selain Allah (QS.2:165), yang hanya memikirkan kehidupan dunia (QS.2:200), yang
mempesonakan orang dalam pembicaraan tentang kehidupan dunia padahal memusuhi kebenaran (QS.2:204), yang berdebat
dengan Allah tanpa ilmu, petunjuk dan kitab Allah (QS.22:3, QS.31:20), yang menyembah Allah dengan iman yang lemah
(QS.22:11, QS.29:10)(Rahmat:79).
Kedua
Pengelompokan manusia berdasarkan mayoritas, yang umumnya menggunakan ungkapan aksaran al nas (sebagian besar
manusia). Memperhatikan ungkapan ini kita menemukan bahwa sebagian besar (mayoritas) manusia mempunyai kualitas rendah,
baik dari segi ilmu maupun iman. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Al Qur’an bahwa kebanyakan manusia tidak berilmu

(QS.7:187; QS.12:21; QS.28:68; QS.30:6,30; QS.45:26; QS.34:28,36; QS.40:57), tidak bersyukur (QS.2:243, QS.12:38,
QS.40:61), tidak beriman (QS.11:17, QS.12:103, QS.13:1), fasiq (QS.5:49), melalaikan ayat-ayat Allah (QS.10:92), kafir
(QS.17:89, QS.25:50), dan kebanyakan harus menanggung adzab (QS.22:18). Ayat-ayat di atas dipertegas dengan ayat-ayat yang
lain untuk menunjukkan betapa sedikitnya (qolil) kelompok manusia yang beriman (QS.2:88; QS.4:46,66,155; QS.38:24), yang
berilmu atau dapat mengambil pelajaran (QS.7:3, QS.18:22, QS.27:62, QS.40:58,QS.69:42), yang mau bersyukur atas nikmat
Allah (QS.7:10, QS.23:78, QS.32:9, QS.34:13, QS.67:23), dan_sebagian kelompok sosial lain_ selamat dari azab Allah
(QS.11:116), dan tidak bisa diperdayakan syetan (QS.4:83). Kedua kelompok tersebut dapat disimpulkan dalam ayat berikut:
“Jika kamu ikuti kebanyakan yang ada di bumi, mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah”. (QS.6:116)

Dari uraian di atas, tampak Al Qur’an memandang manusia dari serbadimensi, sebagai makhluk biologis, psikologis, dan sosial.
Sebagaimana ada hukum biologis manusia, maka ada juga hukum-hukum yang mengendalikan manusia sebagai makhluk
psikologis dan sosial.
Manusia sebagai basyar berkaitan erat dengan unsur material yang dilambangkan dengan tunduk kepada “takdir” Allah di alam
semesta. Sama taatnya dengan matahari, gunung, hewan dan tumbuhan. Ia tumbuh dan berkembang akhirnya mati. Dalam
keadaan ini manusia dengan sendirinya musayyar (menerima apa adanya, nrimo ing pandhum, tidak punya pilihan). Akan tetapi,
manusia sebagai al insan dn an nas beetalian dengan hembusan ruh Tuhan. Keduanya tetap dikenakan aturan-aturan
(sunnatullah), tetapi ia diberikan kebebasan dari kekuatan untuk tunduk atau melepaskan diri dari hukum itu. Dititik ini manusia
menjadi makhluk yang mukhayaar(punya kebebasan dan pilihan alternative). Ia bisa terjerembab ke lembah nista, tetapi ia bisa
melakukan pendakian spiritual luar biasa, menyerap sifat-sifat rabbaniyah_menurut ungkapan Ibn’Arabi_seperti sama’, basyar,
kalam, qadar, rahman, malik, ghoffar, alim, dansebagainya. Ia mengemban wilayah Ilahiyah seperti Thabathaba’i. Karena itu, ia
dituntut untuk bertanggung jawab.
Karena pada manusia ada predisposisi negative dan positif sekaligus. Menurut Al Qur’an, kewajiban manusia adalah
memenangkan predisposisi positif. Ini terjadi bila manusia tetap setia pada amanah yang dipikulnya. Secara konkrit kesetiaan ini
diungkapkan dengan kepatuhan pada syariat yang dirancang sesuai amanah. Al Qur’an tidak lain merupakan rangkaian ayat yang
mengingatkan manusia untuk memenuhi janjinya itu.
Ada dua komponen esensial yang membentuk hakikat manusia berbeda dan membedakannya dengan makhluk lain, yaitu potensi
mengembangkan iman dan ilmu. Buah dari keduanya adalah amal shalih. Di kedua aspek ini hakikat kemanusiaan sesungguhnya.
Karena menurut Al Qur’an sedikit manusia yang beriman dan berilmu. Kelompok terakhir inilah yang disebut Al Qur’an,
“Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu diantara kamu”. (QS. Al Mujadilah(58):11)


.

Kebutuhan Menurut Intensitas PenggunaanKebutuhan menurut intensitas (tingkat) kegunaan diukur

dengan prioritas atau ukuran tingkat penting suatu kebutuhan. Macam-macam kebutuhan menurut intensitasnya
yaitu:
1) Kebutuhan Primer
Kebutuhan primer (pokok) adalah kebutuhan minimal yang mutlak harus dipenuhi untuk hidup sebagai layaknya
manusia. Kebutuhan primer meliputi makanan dan minuman, pakaian, serta tempat tinggal. Dalam hal kebutuhan
makanan, untuk hidup sehari-hari dibutuhkan rata-rata 2.100–2.500 kalori per hari. Sedangkan untuk kebutuhan
rumah, masalahnya bukan hanya ada tidaknya tempat berteduh, tetapi juga tersedianya penerangan listrik,
sumber air bersih, tempat mandi, buang air, sanitasi, keamanan, dan sebagainya.

Demikian pula untuk pakaian, setidaknya baju harus layak digunakan. Pada perkembangannya kebutuhan primer
ini juga menyangkut kebutuhan akan pendidikan. Sebab dengan pendidikan, orang dewasa memiliki keterampilan
di bidang tertentu untuk bekal mencari nafkah sendiri.

2) Kebutuhan Sekunder
Manusia adalah makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat, sehingga keberadaannya menuntut kebutuhan
selain kebutuhan primer. Kebutuhan yang dipenuhi setelah kebutuhan primer disebut kebutuhan sekunder
(tambahan). Kebutuhan sekunder terkait erat dengan faktor lingkungan hidup dan tradisi masyarakat serta faktor
psikologis.
3) Kebutuhan Tersier
Setelah kebutuhan pokok dan kebutuhan tambahan terpenuhi akan muncul kebutuhan tersier (barang mewah)
untuk dipenuhi. Kebutuhan tersier lebih terarah pada tujuan untuk mempertinggi status sosial (prestise)
seseorang atau terkait dengan hobi dan kegemaran tertentu. Contoh kebutuhan tersier adalah mobil mewah,
perhiasan, vila, dan lain-lain.
b. Kebutuhan Menurut Bentuk dan Sifatnya.Menurut bentuk dan sifatnya, kebutuhan manusia dibagi
menjadi:
1) Kebutuhan JasmaniKebutuhan jasmani (materiil) diperlukan untuk memenuhi keperluan jasmani (raga)
seseorang. Kebutuhan ini misalnya makanan sehat, pakaian bersih, tempat berlindung, olahraga, dan lain-lain.
2) Kebutuhan RohaniKebutuhan rohani (spiritual) diperlukan untuk memenuhi keperluan rohani (jiwa atau
pikiran) seseorang. Jika kebutuhan rohani dipenuhi maka seseorang akan mendapat kepuasan batin. Contoh
kebutuhan rohani antara lain pendidikan, ibadah, dan rekreasi.
c. Kebutuhan Menurut Waktu PemenuhanPembagian kebutuhan atas dasar waktu dibagi menjadi:
1) Kebutuhan SekaranKebutuhan sekarang adalah kebutuhan yang harus dipenuhi saat ini dan harus
didahulukan. Yang termasuk kebutuhan ini misalnya makan, minum, dan kesehatan.. Misalnya manusia
membutuhkan obat di saat sakit, payung di saat hujan, dan makanan ketika merasa lapar.
2) Kebutuhan Masa Depan
Kebutuhan masa depan adalah kebutuhan yang pemenuhannya sudah dipersiapkan jauh hari sebelumnya.
Misalnya kebutuhan untuk memiliki rumah sendiri dan pendidikan anak. Pemenuhan kebutuhan masa depan
biasanya dilakukan dengan menabung.
3) Kebutuhan yang Tidak Tentu Waktunya atau Tidak Terduga
Kebutuhan ini terjadi tiba-tiba dan bersifat insidentil (kadang-kadang terjadi). Misalnya, kebutuhan berupa
bantuan untuk saudara yang tertimpa musibah dan biaya pengurusan kecelakaan.
4) Kebutuhan Sepanjang Waktu
Kebutuhan ini memerlukan waktu yang lama dan boleh dikatakan sepanjang waktu. Kebutuhan ini misalnya
kebutuhan menuntut ilmu atau belajar. Saat ini, belajar atau mencari ilmu merupakan kebutuhan pokok bagi
manusia dan diperlukan sepanjang hidupnya. Untuk itu, manusia membutuhkan pendidikan.

Apa yang dapat kita pahami dari uraian berbagai kebutuhan menurut waktu ? Tentunya kita tidak ingin terjebak
pada cara berpikir keliru, yaitu asal senang dan puas sekarang, sedangkan kebutuhan masa depan tidak
dipikirkan. Sebagai calon ekonom yang bijaksana, kita perlu melihat ke masa depan dan membuat perencanaan
mulai dari sekarang. Percayalah, dengan ”berakit-rakit ke hulu” atau ”sehari selembar benang” kita akan
mencapai kesuksesan di masa datang.
d. Kebutuhan Menurut Subjek Penggolongan kebutuhan ini berdasarkan siapa pada yang membutuhkan.
1) Kebutuhan Individu
Kebutuhan individu (perorangan) adalah kebutuhan yang diperlukan oleh masing-masing orang. Kebutuhan antara
orang yang satu dengan yang lainnya berbeda. Misalnya kebutuhan seorang anak berbeda dengan orang dewasa,
kebutuhan nelayan berbeda dengan petani, dan kebutuhan pelajar berbeda dengan karyawan.
2) Kebutuhan Kelompok
Kebutuhan kelompok (kolektif) adalah kebutuhan yang diperlukan oleh sekelompok orang secara bersama-sama,
misalnya masyarakat dalam satu desa atau kota. Kebutuhan kelompok yang berwujud misalnya jalan, jembatan,
listrik, dan angkutan umum. Kebutuhan kelompok yang tidak berwujud misalnya keamanan, ketertiban,
kebersihan umum, dan menang dalam pertandingan. Berbagai kebutuhan kelompok tersebut diselenggarakan
oleh umum, dengan jalan usaha bersama dan atau dibiayai oleh pemerintah dari uang hasil pajak.
uhan Manusia
Kebutuhan adalah keinginan yang timbul dalam diri manusia terhadap benda dan jasa yang dapat
memberi kepuasan jasmani dan rohani untuk mencapai kemakmuran. Sedangkan kebutuhan ekonomi adalah
keinginan yang timbul terhadap barang dan jasa untuk keperluan hidup yang dapat dinilai dengan uang.
1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perbedaan Kebutuhan
Kebutuhan manusia tentu saja akan berbeda, baik secara individu, kelompok, maupun masyarakat seperti rumah
tangga keluarga, rumah tangga perusahaan, rumah tangga negara. Faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan
kebutuhan antara lain adalah berikut ini.
a. Masalah pribadi, misalnya:


Perbedaan fisik. Pertumbuhan fisik seseorang tidak sama, ada yang pendek, tinggi, kurus, gemuk. Untuk
bahan pakaian, tentu saja ukurannya tidak sama.



Perbedaan usia. Bayi minum susu menggunakan botol dan dot, sedangkan orang dewasa menggunakan
gelas.



Perbedaan jenis kelamin. Pakaian laki-laki berbeda dengan pakaian anak perempuan.

b. Perbedaan jumlah anggota keluarga.
c. Perbedaan status ekonomi.
d. Perbedaan status pendidikan.
e. Perbedaan lingkungan masyarakat.
2. Motif Ekonomi
Adanya dorongan terhadap keinginan atau alasan pada diri manusia untuk melakukan tindakan atau perbuatan
yang berkaitan dengan benda maupun jasa untuk memperoleh kepuasan. dorongan yang menyebabkan manusia
melakukan tindakan ekonomi disebut motif ekonomi. Adapun motif ekonomi dapat dikelompokkan ke dalam lima
macam, yaitu berikut ini.

a.Motifuntukmemenuhikebutuhansendiri.
b.Motif untuk memperoleh keuntungan.
c.Motif untuk memperoleh penghargaan.
d.Motif untuk mendapatkan kekuasaan.
e.Motif sosial atau menolong sesama manusia.
3.PrinsipEkonomi
Pengertian prinsip ekonomi di dalam ilmu ekonomi adalah usaha dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya
(minimal) untuk mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya (maksimal). Prinsip ekonomi merupakan tindakan
manusia untuk mengatasi permasalahan-permasalahan ekonomi yang dilakukan tiga pelaku ekonomi yang saling
berkaitan, yaitu konsumen, produsen, dan pedagang/distributor yang menyalurkan barang
Tindakan ekonomi, prinsip ekonomi, dan motif ekonomi merupakan peristiwa yang terjadi dalam ilmu
ekonomi. Peristiwa-peristiwa tersebut selalu saling berkaitan dan mengakibatkan terjadinya peristiwa lain
sehingga dalam ilmu ekonomi terdapat hukum ekonomi. Yang dimaksud dengan hukum ekonomi adalah
keterangan hasil dari hubungan dua peristiwa atau lebih di bidang yang saling berkaitan yang terjadi berulangulang. Contoh terjadinya hukum ekonomi adalah seperti berikut ini.