Calon Perseorangan di Masa Transisi Pemi

1
Calon Perseorangan di Masa Transisi Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung

Teguh Kurniawan, M.Sc
Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Administrasi Negara FISIPOL UGM
Email: teguh1@ui.edu, teguh1@mail.ugm.ac.id

Abstract
The verdict of Constitutional Court (MK) on 23 July 2007 regarding the request to examine the Law No. 32
year 2004 about Regional Government has bring new hope of opportunity for individual candidates to be
participate in the local direct election of the governor/mayor/regent. The opportunity becomes wider since
the agreement of the House of Representatives (DPR) to the Bill on the Revision of the Law No. 32 year
2004 in April 1st 2008 after such a long time debates and lobbying. The bill then become the Law No. 12
year 2008 after the President approve it and signing the bill in April 28th 2008. The promulgation of the
new law has given consequence that the local direct election of the governor/mayor/regent that held after
April 28th 2008 should have accommodating the individual candidates. However, this issue is not simple as
it seen. There are some problems that appear regarding the possibility for individual candidates to be
participate in the local direct election, especially at several regions that has entering the phase of candidates
registration in early May. This condition becomes a problem since the fact that there are some technical
rules that should be follows by these individual candidates before they can register as a candidate. If the

problems could not be address wisely, the situation will becomes susceptible for the possibility of disputes
as well as horizontal conflicts in those regions.
Keywords: individual candidates, the direct election of governor/major/regent, transition era

1. Pendahuluan
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Permohonan Pengujian Undang-Undang
(UU) 32/2004 pada 23 Juli 2007 telah membawa harapan baru terkait peluang calon
perseorangan untuk turut bersaing dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah secara
Langsung (Pilkadasung). Peluang tersebut menjadi semakin besar dengan telah
disetujuinya Draft UU Revisi UU 32/2004 oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 1
April 2008 setelah melalui perdebatan yang cukup panjang dan relatif lama. UU ini untuk
kemudian diundangkan menjadi UU 12/2008 (LN No. 59 Tahun 2008 dan Tambahan LN
No. 4844 Tahun 2008) setelah ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
pada 28 April 2008. Dengan berlakunya UU 12/2008 ini maka seharusnya Pilkadasung
yang diselenggarakan setelah 28 April 2008 haruslah dapat mengakomodir para calon
perseorangan.
Kondisi tersebut ternyata tidak mudah untuk segera diwujudkan. Terdapat sejumlah
permasalahan yang muncul terkait dengan keikutsertaan dari calon perseorangan dalam
pelaksanaan Pilkadasung. Permasalahan yang muncul diantaranya adalah perdebatan
mengenai kemungkinan keikutsertaan para calon perseorangan ini dalam Pilkadasung di

sejumlah Daerah khususnya yang pada awal Mei 2008 memasuki masa pendaftaran
calon, mengingat ada sejumlah ketentuan teknis yang harus diikuti oleh para calon
Tulisan ini dipresentasikan dalam “Konferensi Administrasi Negara”, Program Pascasarjana Ilmu
Administrasi Negara FISIPOL UGM, Yogyakarta 27-28 Juni 2008

2
perseorangan tersebut. Kondisi ini apabila tidak disikapi secara bijaksana dikhawatirkan
menimbulkan kerentanan akan terjadinya sengketa, gesekan serta konflik horisontal di
Daerah-Daerah tersebut.
Tulisan ini berusaha untuk mengkaji permasalahan tersebut dari perspektif Politik,
Pemerintahan Daerah dan Hukum Administrasi Negara. Terdapat sejumlah issue utama
yang dicoba untuk dibahas didalam tulisan ini seperti hak konstitusional versus masalah
teknis; undang-undang versus peraturan pelaksanaan yang lebih rendah; rezim pemda
versus rezim pemilu; serta permasalahan akuntabilitas dari calon perseorangan.
Diharapkan melalui tulisan ini dapat memberikan gambaran dan perspektif mengenai
kondisi yang terjadi dan solusi bijaksana yang dapat dan telah ditempuh guna
mengakomodir calon perseorangan dalam pilkadasung sekaligus mencegah kemungkinan
sengketa, gesekan serta konflik horisontal yang dapat terjadi. Selain itu, tulisan ini juga
diharapkan dapat memberikan sumbang saran bagi pelaksanaan Pilkadasung yang lebih
baik lagi di masa mendatang.

2. Hak Konstitusional versus Masalah Teknis
Berdasarkan perspektif hukum, sebuah Undang-Undang dinyatakan berlaku ketika telah
diundangkan dalam lembaran negara (LN) oleh Menteri Sekretaris Negara. Dengan
demikian, semenjak 28 April 2008 calon perseorangan telah dapat menggunakan haknya
untuk dapat turut serta dalam bursa pemilihan Kepala Daerah. Peluang ini menjadi
terbuka dengan merujuk kepada ketentuan Pasal 56 ayat (2) UU 32/2004 sebagaimana
telah diubah dengan UU 12/2008 yang memungkinkan pasangan calon perseorangan
untuk mengikuti sebuah pemilihan Kepala Daerah. Pasal ini merupakan pasal revisi dari
Pasal 56 ayat (2) UU 32/2004 sebagai akibat dari Putusan MK No. 5/PUU-V/2007 yang
menyatakan bahwa sejumlah pasal dari UU 32/2004 (diantaranya Pasal 56 ayat (2))
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 karena hanya memberikan kesempatan
kepada partai politik atau gabungan partai politik dan menutup hak konstitusional calon
perseorangan dalam Pilkada.
Dengan berlakunya UU 12/2008 pada kenyataannya tidak serta merta membuat calon
perseorangan dapat mengikuti bursa pemilihan Kepala Daerah. Hal ini dikarenakan
adanya sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon perseorangan untuk dapat
ikut serta dalam sebuah Pilkadasung. Persyaratan yang dimaksud adalah persyaratan
adanya dukungan dari sejumlah orang yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur
dalam UU 12/2008. Berdasarkan ketentuan dalam UU 12/2008, untuk dapat maju dalam
Pilkadasung, pasangan calon perseorangan harus mendapatkan dukungan dari sejumlah

orang dalam persentase tertentu yang dibuktikan dengan surat dukungan dan fotokopi
Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari orang yang memberikan dukungan. Bukti dukungan
ini harus diserahkan kepada penyelenggaran Pilkadasung (Komisi Pemilihan Umum/KPU
Daerah) dalam waktu tertentu (21-28 hari sebelum waktu pendaftaran calon) untuk
kemudian akan diverifikasi.
Permasalahan persyaratan dukungan dan verifikasi-nya inilah yang kemudian dijadikan
sebagai alasan atau menjadi penyebab gagalnya pasangan calon perseorangan untuk dapat
Tulisan ini dipresentasikan dalam “Konferensi Administrasi Negara”, Program Pascasarjana Ilmu
Administrasi Negara FISIPOL UGM, Yogyakarta 27-28 Juni 2008

3
ikut serta dalam pelaksanaan Pilkadasung di sejumlah Daerah. Terdapat sejumlah KPU
Daerah—khususnya di Daerah yang pada awal Mei 2008 telah memasuki tahapan
pendaftaran calon1—yang menolak untuk mengakomodir pasangan calon perseorangan
karena alasan masalah waktu penyerahan syarat dukungan dan verifikasi-nya. KPU di
Daerah-Daerah ini merasa bahwa tidak cukup waktu lagi untuk dapat memasukkan
berkas dukungan bagi pasangan calon perseorangan. Mereka beranggapan bahwa tahapan
pelaksanaan Pilkadasung sudah tidak mungkin lagi diubah. Menurut mereka, hanya
kejadian bencana alam dan kerusuhan massal saja yang yang dapat mengubah tahapan
pelaksanaan Pilkadasung yang sudah ditetapkan sebagaimana diatur dalam Peraturan

Pemerintah (PP) 6/2005 sebagaimana telah diubah dengan PP 17/2007. Selain itu, KPU
Daerah yang menolak ini juga beralasan bahwa mereka menunggu Petunjuk Pelaksanaan
(Juklak) dari KPU Pusat mengenai penyerahan persyaratan dukungan dan verifikasi-nya.
Dilain pihak, ada sejumlah KPU Daerah yang mau mengakomodir pasangan calon
perseorangan untuk turut serta dalam pelaksanaan Pilkadasung. Padahal Daerah-Daerah
ini juga melaksanakan tahapan pendaftaran calon di awal Mei 20082. KPU Provinsi
Sumatera Selatan misalnya, mereka telah jauh-jauh hari menyiapkan kemungkinan
keikutsertaan calon perseorangan dan mensosialisasikannya kepada masyarakat luas.
Langkah ini diambil oleh KPU Provinsi Sumatera Selatan dengan mempertimbangkan
telah disetujuinya Draft Revisi UU 32/2004 pada 1 April 2008, sehingga menurut mereka
paling lambat tanggal 1 Mei 2008 Draft RUU tersebut akan resmi menjadi UU sehingga
calon perseorangan harus diakomodir. Langkah yang berbeda ditempuh oleh KPU
Kabupaten Bogor dan KPU Kota Bandung. Kedua KPU Daerah ini melakukan revisi
terhadap SK Penetapan Pentahapan Pilkadasung yang telah mereka buat. Bahkan KPU
Kabupaten Bogor berani mengambil langkah untuk memundurkan Jadwal Pencoblosan
selama 21 (dua puluh satu) hari guna mengakomodir calon perseorangan3.
Berangkat dari kasus-kasus di atas, terlihat bahwa gagalnya keikutsertaan calon
perseorang di sejumlah Daerah lebih dikarenakan alasan teknis meskipun konstitusi
secara sah telah menjamin hak dari calon perseorangan untuk dapat turut serta dalam
Pilkadasung. Terkait hal ini, menurut pandangan sejumlah pakar, masalah konstitusional

tidak boleh dikalahkan oleh persoalan teknis. Seharusnya dicari jalan teknis untuk
mencapai tujuan konstitusional, misalnya dengan mengundurkan jadwal atau
menggunakan teknologi baru untuk mempermudah proses verifikasi dukungan. Dengan
kata lain, permasalahan teknis tidak boleh menghambat hak-hak warga negara yang telah
diatur dalam konstitusi. Namun demikian, hal-hal seperti ini seringkali tidak dipahami
oleh para penyelenggara negara termasuk KPU (baik di Pusat maupun Daerah). Apabila
mereka paham, maka penolakan terhadap calon perseorangan untuk turut dalam
Pilkadasung di sejumlah Daerah transisi tentu tidak akan terjadi. KPU Pusat seharusnya
sudah dari jauh-jauh hari menyiapkan Draft Petunjuk Pelaksanaan Penyerahan Dukungan
1

Daerah-Daerah di maksud misalnya Kabupaten Enrekang dan Kota Pare-Pare di Provinsi Sulawesi
Selatan
2
Daerah-Daerah di maksud misalnya Provinsi Sumatera Selatan, Kabupaten Bogor dan Kota Bandung di
Provinsi Jawa Barat
3
Langkah ini dilakukan oleh KPU Kabupaten Bogor dengan membuat SK No. 15 Tahun 2008 tentang
Perubahan atas SK KPU Kabupaten Bogor No. 4 Tahun 2008 tentang Tahapan, Program dan Jadwal
Peneyelenggaraan Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Bogor.

Tulisan ini dipresentasikan dalam “Konferensi Administrasi Negara”, Program Pascasarjana Ilmu
Administrasi Negara FISIPOL UGM, Yogyakarta 27-28 Juni 2008

4
dan Verifikasinya untuk mengantisipasi berlakunya UU Revisi terhadap UU 32/2004.
Permasalahan ini juga tidak akan muncul apabila Pembuat UU (baca DPR) membuat
aturan peralihan yang tegas mengenai pelaksanaan Pilkadasung di Daerah-Daerah yang
dalam waktu dekat akan melaksanakan Pilkadasung. Ketidakpahaman dari para
penyelenggara mengenai urgensi hak konstitusional ini yang disinyalir menjadi sebab
gagalnya keikutsertaan calon perseorangan dalam Pilkadasung di sejumlah Daerah.
3. Undang-Undang versus Peraturan Pelaksanaan yang lebih rendah
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, kegagalan keikutsertaan
pasangan calon perseorangan di sejumlah Daerah salah satunya dikarenakan adanya
keengganan dari KPU setempat untuk mengubah Tahapan Pilkadasung yang telah mereka
tetapkan. Mereka bersikeras bahwa hanya sejumlah klausul tertentu lah sebagaimana
diatur dalam PP 6/2005 juncto PP 17/2007 yang dapat dijadikan alasan untuk melakukan
pengubahan Tahapan Pilkadasung. Mereka seakan menutup mata terhadap telah
berlakunya UU 12/2008 yang dalam struktur perundang-undangan memiliki hierarkhi
yang lebih tinggi dibandingkan sebuah PP.
Pada sisi lainnya, kalau kita pelajari secara seksama Keputusan dari KPU di Daerah

mengenai Pentahapan Pilkadasung sendiri sebenarnya juga telah didasarkan pada Dasar
Hukum yang salah. Kasus di Kabupaten Enrekang misalnya, KPU setempat telah
memutuskan bahwa pencoblosan akan dilaksanakan pada Agustus 2008 atau 60 (enam
puluh) hari sebelum masa jabatan Bupati berakhir dengan berdasarkan kepada Peraturan
KPU Pusat No. 11 Tahun 2007. Menurut Peraturan KPU Pusat No. 11 Tahun 2007,
waktu pencoblosan 60 (enam puluh) hari sebelum masa jabatan Kepala Daerah berakhir
itu dalam rangka mengantisipasi terjadinya putaran kedua. Padahal dalam UU 32/2004
diatur bahwa pencoblosan dapat dilakukan 30 (tiga puluh) hari sebelum masa jabatan
Kepala Daerah berakhir. Artinya, untuk kasus di Kabupaten Enrekang, pelaksanaan
pemungutan suara dapat dilakukan September 2008. Dengan demikian, waktu
pendaftaran baru dibuka 3 (tiga) bulan sebelum pencoblosan atau Juni 2008 sehingga
masih memungkinkan calon perseorangan untuk mendaftar.
Menyangkut hal ini, salah seorang pakar yang menjadi nara sumber penulis mengatakan
bahwa Peraturan KPU Pusat No. 11 Tahun 2007 tersebut dapat dikatakan telah menyalahi
ketentuan pengawasan hukum. Menurut nara sumber, dalam hukum terdapat 2 (dua) jenis
pengawasan yakni kesesuaian hukum (prinsip kepastian negara hukum) dan kesesuaian
tujuan. Kesesuaian hukum harus berada di atas kesesuaian tujuan. UU 32/2004 mengatur
waktu pencoblosan 30 (tiga puluh) hari dalam rangka kepastian hukum, sehingga
Peraturan KPU Pusat tersebut bertentangan dengan UU. KPU Pusat harus dapat
membuktikan bahwa kalau dilaksanakan 30 (tiga puluh) hari akan terjadi masalah

sehingga diperlukan waktu 60 (enam puluh) hari. Kalau KPU Pusat tidak bisa
membuktikan maka aturan yang dibuat oleh KPU Pusat harus merujuk kepada UU yakni
30 (tiga puluh) hari.
Pakar lain yang menjadi nara sumber penulis berpendapat sedikit berbeda. Menurut nara
sumber ini, apa yang diputuskan oleh KPU Pusat boleh saja dilakukan dalam kerangka
Tulisan ini dipresentasikan dalam “Konferensi Administrasi Negara”, Program Pascasarjana Ilmu
Administrasi Negara FISIPOL UGM, Yogyakarta 27-28 Juni 2008

5
diskresi. Namun demikian, jangan terlalu kaku. Artinya peraturan dan pelaksanaan dari
Peraturan KPU tersebut harus disesuaikan juga dengan kondisi di Daerah. Kalau memang
di Daerah memungkinkan untuk dilaksanakan pencoblosan 30 (tiga puluh) hari sebelum
masa jabatan Kepala Daerah berakhir, maka waktu 60 (enam puluh) hari yang diatur oleh
KPU Pusat tidak boleh diseragamkan. Atau dengan kata lain, KPU Daerah berhak untuk
berpendapat berbeda dengan KPU Pusat sesuai dengan kondisi di wilayahnya.
Terkait permasalahan di atas, dalam pandangan awam penulis sendiri dengan berdasarkan
pada sejumlah literatur hukum yang penulis baca maka apa yang telah dilakukan oleh
KPU Pusat dengan mengeluarkan Peraturan KPU No. 11 Tahun 2007 telah melanggar
salah satu asas keberlakuan peraturan perundang-undangan, yakni Undang-Undang yang
tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang yang

kedudukannya lebih tinggi dalam mengatur hal yang sama (lex superior derogat legi in
feriori). Apabila hal ini dipahami oleh KPU Pusat dan juga KPU Daerah, maka kegagalan
dari calon perseorangan untuk dapat bertarung dalam Pilkadasung di sejumlah daerah
dapat dihindarkan.
4. Rezim Pemerintahan Daerah (Pemda) versus Rezim Pemilu
Issue lainnya yang dalam pandangan penulis semakin menambah carut-marut
pelaksanaan Pilkadasung termasuk keikutsertaan calon perseorangan adalah berlakunya 2
(dua) rezim dalam pelaksanaan Pilkadasung yakni rezim pemda dan rezim pemilu4.
Pilkadasung sendiri pada dasarnya adalah merupakan mekanisme pengisian jabatan
Kepala Daerah pada suatu Daerah Otonom.
Dalam kacamata teori Pemerintahan Daerah, Daerah Otonom dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) adalah merupakan bentukan dari Pemerintah Pusat dalam
rangka pelaksanaan kewenangan dalam cabang kekuasaan eksekutif (Presiden).
Karenanya, penyelenggaraan pemerintahan di suatu Daerah Otonom harus senantiasa
merujuk kepada aturan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat (Presiden) yang dalam hal ini
dapat menugaskan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Sebagai penyelenggara
Pemerintahan Daerah, maka Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) merupakan unsur Pemerintah di Daerah.
Menyangkut kedudukan Kepala Daerah dan DPRD ini, kerancuan mulai muncul
disebabkan adanya mekanisme pengisian jabatan Kepala Daerah dan DPRD yang agak

berbeda. Dalam konteks Kepala Daerah, pemilihannya diatur berdasarkan UU 32/2004
yang artinya masuk dalam rezim pemda, sementara untuk DPRD pemilihannya diatur
dalam UU yang mengatur tentang pemilu (rezim pemilu). Kerancuan ini semakin besar
ketika UU mengatur bahwa penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan DPRD
4

Untuk memahami secara mendalam mengenai kedua jenis rezim ini dapat dilihat dalam Pheni Chalid
(Editor), 2005, Pilkada Langsung: Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance, Depok: Pusat
Kajian Politik Departemen Ilmu Politik FISIP UI dan Partnership for Governance Reform in Indonesia
serta Abdul Mukthie Fadjar, 2006, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konstitusi Press
dan Yogyakarta: Citra Media. Baca juga Eko Prasojo, Irfan Ridwan Maksum dan Teguh Kurniawan, 2006,
Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural,
Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI
Tulisan ini dipresentasikan dalam “Konferensi Administrasi Negara”, Program Pascasarjana Ilmu
Administrasi Negara FISIPOL UGM, Yogyakarta 27-28 Juni 2008

6
dilakukan oleh KPU yang tunduk pada rezim pemilu. Karena KPU masuk dalam rezim
pemilu, maka KPU di Daerah adalah merupakan bagian dari struktur KPU Pusat yang
harus tunduk dan patuh terhadap aturan-aturan yang dibuat oleh KPU Pusat, termasuk
dalam penyelenggaran Pilkadasung.
Tumpang tindih kedua rezim ini, pada kenyataannya ikut menambah kompleks
penyelenggaraan Pilkadasung termasuk dengan keberadaan calon perseorangan. Dalam
konteks ini, Surat Menteri Dalam Negeri No. 188.2/1189/SJ tertanggal 7 Mei 2008
perihal “ Tindak Lanjut UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No.
32 Tahun 2004” dapat membantu menjelaskan kompleksnya permasalahan Pilkadasung
dan keikutsertaan calon perseorangan akibat tumpang tindihnya rezim pemda dan rezim
pemilu. Surat Mendagri tersebut mengatur mengenai dapat diakomodirnya calon
perseorangan dalam Pilkadasung serta prosedur pengunduran diri dari seorang Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah incumbent.
Pada kasus di Kabupaten Enrekang misalnya, KPU setempat tetap menolak untuk
memberi kesempatan kepada calon perseorangan meskipun mereka mengetahui adanya
Surat Mendagri tersebut. KPU Daerah merasa tidak perlu untuk patuh kepada Surat
Mendagri karena atasan langsung mereka adalah KPU Pusat. Dilain pihak, dalam hal
calon incumbent, KPU Daerah merasa perlu untuk berkonsultasi kepada Departemen
Dalam Negeri (Depdagri) dan merujuk atau menggunakan aturan yang ada dalam Surat
Mendagri tersebut.
Berdasarkan kasus di atas, kita dapat melihat adanya ketidakkonsistenan sikap KPU di
Daerah akibat berlakunya 2 (dua) rezim dalam pengisian jabatan Penyelenggara Daerah,
khususnya Kepala daerah. Tidak konsistennya KPU di Daerah juga dapat dilihat dalam
hal pemberlakuan bagian per bagian dari UU 12/2008. Pada satu sisi mereka menolak
calon perseorangan sebagaimana diatur dalam UU 12/2008, tetapi di sisi lain mereka
menggunakan aturan dalam UU yang sama dalam hal wajib mundurnya calon Kepala
daerah yang berasal dari incumbent.
5. Akuntabilitas Calon Perseorangan
Issue besar lainnya yang dihembuskan oleh berbagai kalangan yang pada akhirnya
merugikan calon perseorangan adalah mengenai akuntabilitas dari calon perseorangan
apabila mereka terpilih menjadi Kepala Daerah. Bagi sejumlah pihak, calon Kepala
Daerah yang diusung oleh partai politik (parpol) dan gabungan parpol akan jauh lebih
akuntabel dibandingkan dengan calon perseorangan. Menurut kalangan ini, seorang
Kepala Daerah yang pencalonannya diusung oleh parpol atau gabungan parpol, akan
dapat ditegur oleh parpol pengusungnya apabila ternyata tidak melaksanakan tugas dan
fungsinya sebagai Kepala Daerah dengan baik. Karenanya mereka mempertanyakan siapa
yang akan dapat menegur seorang Kepala Daerah yang berasal dari calon perseorangan
apabila tidak dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik.
Tidak sependapat dengan pandangan ini, salah seorang pakar yang menjadi nara sumber
penulis mengungkapkan sejumlah alasan mengapa keberadaan calon perseorangan sangat
Tulisan ini dipresentasikan dalam “Konferensi Administrasi Negara”, Program Pascasarjana Ilmu
Administrasi Negara FISIPOL UGM, Yogyakarta 27-28 Juni 2008

7
diperlukan dalam pelaksanaan Pilkadasung. Menurut nara sumber ini, terdapat setidaknya
3 (tiga) alasan mengapa kita harus menerima calon perseorangan, yaitu: (1) parpol di
negara kita belum memiliki political merit system yang menjadi dasar sistem politik yang
baik. Bukti dari adanya kondisi ini diantaranya adalah masih banyaknya parpol yang
tidak siap untuk menjadi tulang punggung Pilkadasung sehingga banyak calon Kepala
Daerah yang diusung oleh parpol tersebut adalah bukan kader parpol sendiri; (2)
keberadaan calon perseorangan tidak melanggar konstitusi dan justru memperkuat
penyelenggaraan demokrasi; (3) dalam hal akuntabilitas, maka akuntabilitas dari calon
perseorangan adalah kepada rakyat yang memilihnya. Kalau Kepala Daerah dari calon
perseorangan bersikap tidak amanah, maka rakyatlah yang akan menurunkannya. Namun
demikian, perlu dibuat pengaturan mekanisme akuntabilitas bagi Kepala Daerah yang
berasal dari calon perseorangan.
6. Penutup
Sebagai penutup dari tulisan singkat ini dapat disimpulkan bahwa keikutsertaan dari
calon perseorangan dalam masa transisi Pilkadasung ternyata sangat dipengaruhi oleh
integritas, cara pandang dan kemampuan yang memadai dalam memahami realitas
politik, hukum dan pemerintahan daerah dari para penyelenggara Pilkadasung di daerah.
Hal ini menjadi sangat signifikan ketika lembaga supra struktur di Pusat tidak berani atau
mampu untuk bersikap tegas dan konsisten berdasarkan ketentuan konstitusi yang ada.
Bagi daerah dimana anggota KPU-nya memiliki integritas, cara pandang dan pemahaman
yang memadai, akomodasi terhadap calon perseorangan dapat dilakukan. Para anggota
KPU di Daerah-Daerah ini sangat memahami bahwa mereka memiliki kewenangan untuk
menentukan yang terbaik dalam pelaksanaan Pilkadasung di tempatnya. Mereka bersedia
untuk bekerja keras dan mengambil resiko guna mendapatkan pemimpin yang terbaik
bagi Daerahnya.
Karenanya, salah satu hal yang dapat dilakukan untuk memastikan pelaksanaan
Pilkadasung yang sukses di masa depan adalah bagaimana memastikan orang-orang yang
profesional, berintegritas dan mampu memahami realitas politik, hukum dan
pemerintahan daerah inilah yang duduk sebagai anggota KPU di Daerah.
Selain itu, para pembuat kebijakan di Pusat diharapkan untuk dapat membuat kebijakan
yang tepat, matang, dan tidak membingungkan dengan mendasarkan kepada kepentingan
umum di atas kepentingan pribadi dan atau golongannya. Carut marutnya
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Pilkadasung salah satunya disebabkan oleh
ketidakmatangan dari kebijakan yang dibuat atau karena pengaruh kepentingan pribadi
dan atau golongan yang lebih dominan dalam pembuatan kebijakan tersebut.
Ucapan Terima Kasih
Dalam penyiapan tulisan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Eko
Prasojo, Mag.rer.publ dari Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI serta Prof. Safri
Nugraha, SH, LLM, Ph.D dari Center for Law and Good Governance Studies FH UI
yang telah bersedia untuk membagi pengetahuannya mengenai permasalahan Calon
Tulisan ini dipresentasikan dalam “Konferensi Administrasi Negara”, Program Pascasarjana Ilmu
Administrasi Negara FISIPOL UGM, Yogyakarta 27-28 Juni 2008

8
Perseorangan dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung dari
perspektif Hukum Administrasi Negara dan Pemerintahan Daerah. Selain itu penulis
ingin mengucapkan terima kasih pula kepada Drs. Ahmad Fauzi, M.E. dari KPU
Kabupaten Bogor yang telah bersedia memberikan salinan sejumlah dokumen yang
sangat berguna dan menjadi referensi dalam tulisan ini serta Ir. Trigunawan
Jayawardhana, M.Si dan teman-teman lainnya pendukung calon perseorangan di
Kabupaten Enrekang yang telah membagi pengetahuan dan pengalaman praktis akan
dinamika pelaksanaan Pilkadasung 2008 di Kabupaten Enrekang.
Referensi
Chalid, Pheni (Editor), 2005, Pilkada Langsung: Demokratisasi Daerah dan Mitos Good
Governance, Depok: Pusat Kajian Politik Departemen Ilmu Politik FISIP UI dan
Partnership for Governance Reform in Indonesia
Fadjar, Abdul Mukthie, 2006, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta:
Konstitusi Press dan Yogyakarta: Citra Media
Prasojo, Eko, Irfan Ridwan Maksum dan Teguh Kurniawan, 2006, Desentralisasi dan
Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural,
Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI

Tulisan ini dipresentasikan dalam “Konferensi Administrasi Negara”, Program Pascasarjana Ilmu
Administrasi Negara FISIPOL UGM, Yogyakarta 27-28 Juni 2008