Kerajaan Kerajaan Islam di Aceh

 About
 Contact Us
 Privacy Policy




Acehpedia
 Home
 ACEH PEDIA
o
o
o
o
o
 INFO BERITA
 PENDIDIKAN DAN HUKUM
o
o
o
o

o
 SYAR'IAH
 WISATA ACEH
 INDEKS
Search...

Home » New Posting » Sejarah Aceh » Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh
Boy Mawardi SH 13.29 New Posting , Sejarah Aceh

Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh
Kesultanan Islam Lamuri

Lamuri Sulthanate
Place

1. Sejarah
Data tentang sejarah berdirinya Kesultanan Lamuri masih simpang siur. Data yang
pernah dikemukakan sejumlah orang tentang kesultanan ini masih bersifat spekulatif
dan tentatif. Tulisan ini masih sangat sederhana dan bersifat sementara karena
keterbatasan data yang diperoleh.

Secara umum, data tentang kesultanan ini didasarkan pada berita-berita dari luar,
seperti yang dikemukakan oleh pedagang-pedagang dan pelaut-pelaut asing (Arab,
India, dan Cina) sebelum tahun 1500 M. Di samping itu, ada beberapa sumber lokal,
seperti Hikayat Melayu dan Hikayat Atjeh, yang dapat dijadikan rujukan tentang
keberadaan kesultanan ini.
Data tentang lokasi kesultanan ini juga masih menjadi perdebatan. W. P. Groeneveldt,
seorang ahli sejarah Belanda, menyebut bahwa kesultanan ini terletak di sudut sebelah
barat laut Pulau Sumatera, kini tepatnya berada di Kabupaten Aceh Besar. Ahli sejarah
lainnya, H. Ylue menyebut bahwa Lambri atau Lamuri merupakan suatu tempat yang
pernah disinggahi pertama kali oleh para pedagang dan pelaut dari Arab dan India.
Menurut pandangan seorang pengembara dan penulis asing, Tome Pires, letak
Kesultanan Lamuri adalah di antara Kesultanan Aceh Darusalam dan wilayah Biheue.
Artinya, wilayah Kesultanan Lamuri meluas dari pantai hingga ke daerah pedalaman.
Menurut T. Iskandar dalam disertasinya De Hikayat Atjeh (1958), diperkirakan bahwa
kesultanan ini berada di tepi laut (pantai), tepatnya berada di dekat Krueng Raya,
Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. H. M. Zainuddin, salah
seorang peminat sejarah Aceh, menyebutkan bahwa kesultanan ini terletak di Aceh
Besar dekat dengan Indrapatra, yang kini berada di Kampung Lamnga. Peminat sejarah
Aceh lainnya, M. Junus Jamil, menyebutkan bahwa kesultanan ini terletak di dekat
Kampung Lam Krak di Kecamatan Suka Makmur, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam.

Berdasarkan sejumlah data di atas, sejarah berdirinya dan letak kesultanan ini masih
menjadi perdebatan di kalangan pakar dan pemerhati sejarah Aceh. Namun demikian,
dapat diprediksikan bahwa letak Kesultanan Lamuri berdekatan dengan laut atau pantai
dan kemudian meluas ke daerah pedalaman. Persisnya, letak kesultanan ini berada di
sebuah teluk di sekitar daerah Krueng Raya. Teluk itu bernama Bandar Lamuri. Kata
“Lamuri” sebenarnya merujuk pada “Lamreh” di Pelabuhan Malahayati (Krueng Raya).
Istana Lamuri sendiri berada di tepi Kuala Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh) di
Kampung Pande sekarang ini dengan nama Kandang Aceh.
Berdasarkan sumber-sumber berita dari pedagang Arab, Kesultanan Lamuri telah ada
sejak pertengahan abad ke-IX M. Artinya, kesultanan ini telah berdiri sejak sekitar tahun
900-an Masehi. Pada awal abad ini, Kerajaan Sriwijaya telah menjadi sebuah kerajaan
yang menguasai dan memiliki banyak daerah taklukan. Pada tahun 943 M, Kesultanan
Lamuri tunduk di bawah kekuasaan Sriwijaya. Meski di bawah kekuasaan Sriwijaya,
Kesultanan Lamuri tetap mendapatkan haknya sebagai kerajaan Islam yang berdaulat.
Hanya saja, kesultanan ini memiliki kewajiban untuk mempersembahkan upeti,
memberikan bantuan jika diperlukan, dan juga datang melapor ke Sriwijaya jika
memang diperlukan.
Menurut Prasasti Tanjore di India, pada tahun 1030 M, Kesultanan Lamuri pernah

diserang oleh Kerajaan Chola di bawah kepemimpinan Raja Rayendracoladewa I. Pada
akhirnya, Kesultanan Lamuri dapat dikalahkan oleh Kerajaan Chola, meskipun telah
memberikan perlawanan yang sangat hebat. Bukti perlawanan tersebut
mengindikasikan bahwa Kesultanan Lamuri bukan kerajaan kecil karena terbukti
sanggup memberikan perlawanan yang tangguh terhadap kerajaan besar, seperti
Kerajaan Chola.

Berdasarkan sumber-sumber berita dari pedagang Arab, Kesultanan Lamuri merupakan
tempat pertama kali yang disinggahi oleh oleh pedagang-pedagang dan pelaut-pelaut
yang datang dari India dan Arab. Ajaran Islam telah dibawa sekaligus oleh para
pendatang tersebut. Berdasarkan analisis W. P. Groeneveldt, pada tahun 1416 M
semua rakyat di Kesultanan Lamuri telah memeluk Islam. Menurut sebuah
historiografi Hikayat Melayu, Kesultanan Lamiri (maksudnya adalah Lamuri) merupakan
daerah kedua di Pulau Sumatera yang diislamkan oleh Syaikh Ismail sebelum ia

mengislamkan Kesultanan Samudera Pasai. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
Kesultanan Lamiri jelas merupakan salah satu kerajaan Islam di Aceh.
Menurut Hikayat Atjeh, salah seorang sultan yang cukup terkenal di Kesultanan Lamuri
adalah Sultan Munawwar Syah. Konon, ia adalah moyang dari salah seorang sultan di
Aceh yang sangat terkenal, yaitu Sultan Iskandar Muda. Pada akhir abad ke-15, pusat

pemerintahan Kesultanan Lamuri dipindahkan ke Makota Alam (kini dinamakan Kuta
Alam, Banda Aceh) yang terletak di sisi utara Krueng Aceh. Pemindahan tersebut
dikarenakan adanya serangan dari Kerajaan Pidie dan adanya pendangkalan muara
sungai. Sejak saat itu, nama Kesultanan Lamuri dikenal dengan nama Kesultanan
Makota Alam.
Dalam perkembangan selanjutnya, tepatnya pada tahun 1513 M, Kesultanan Lamuri
beserta
dengan Kerajaan
Pase, Daya, Lingga,
Pedir
(Pidie), Perlak, Benua
Tamiang, dan Samudera Pasai bersatu menjadi Kesultanan Aceh Darussalam di bawah
kekuasaan Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M). Jadi, bisa dikatakan bahwa
Kesultanan Lamuri merupakan bagian dari cikal bakal berdirinya Kesultanan Aceh
Darussalam. Nama kesultanan ini berasal dari salah satu desa di Kabupaten Aceh
Besar, yang pusat pemerintahannya berada di Kampung Lamreh.
2. Silsilah
(Masih dalam proses pengumpulan data)
3. Periode Pemerintahan
Kesultanan Lamuri berumur sekitar lebih dari 6 abad karena terhitung sejak tahun 900an hingga tahun 1513. Kesultanan ini berakhir setelah menyatu bersama dengan

beberapa kerajaan lain di Aceh ke dalam Kesultanan Aceh Darussalam.
4. Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Kesultanan Lamuri mencakup daerah yang kini dikenal sebagai
wilayah administratif Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam,
Indonesia.
5. Struktur Pemerintahan
Struktur pemerintahan Kesultanan Lamuri tidak jauh berbeda dengan struktur
pemerintahan yang berlaku di Kesultanan Samudera Pasai karena kedua kesultanan ini
memiliki pola pemerintahan yang berdasarkan pada konsep Islam dan konsep maritim
(kelautan). Dalam struktur pemerintahan Kesultanan Lamuri, sultan merupakan

penguasa yang tertinggi. Ia dibantu oleh sejumlah pejabat lainnya, yaitu seorang
perdana menteri, seorang bendahara, seorang komandan militer Angkatan Laut
(dengan gelar laksamana), seorang sekretaris, seorang kepala Mahkamah Agama
(atau disebut sebagai qadhi), dan beberapa orang syahbandar yang bertanggung jawab
pada urusan pelabuhan (biasanya juga berperan sebagai penghubung komunikasi
antara sultan dan pedagang-pedagang dari luar).
6. Kehidupan Sosial-Budaya
Kesultanan Lamuri merupakan kerajaan laut agraris. Artinya, dasar kehidupan
masyarakat di kesultanan ini di samping mengandalkan hasil pertanian juga

mengandalkan hasil perdagangan yang dilakukan masyarakat sekitar dengan
pedagang-pedagang dari luar, seperti dari Arab, India, dan Cina. Hasil perdagangan
yang dimaksud berupa lada dan jenis rempah-rempah lain, emas, beras, dan hewan
ternak. Hasil-hasil perdagangan tersebut memang telah mengundang perhatian banyak
perdagangan dari luar untuk datang ke Lamuri dan wilayah Aceh secara keseluruhan.
(HS/sej/36/12-07)
Sumber:
 “Kerajaan Lamuri”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Lamuri, diakses
tanggal 15 Desember 2007.
 “PariwisataNangroeAcehDarussalam”,dalamhttp://www.tamanmini.com/
anjungan/nad/pariwisata/kota_banda_aceh, diakses tanggal 15 Desember 2007.
 Sufi, Rusdi dan Agus Budi Wibowo. 2006. Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh.
Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.
 “Menapaki
Sejarah
Kota
Banda
Aceh”,
dalam
http://zainalbakri.multiply.com/journal?&page_start=60, diakses tanggal 15

Desember 2007.

Kerajaan Islam Jeumpa, Khilafah
Islam Pertama Nusantara
Latar Belakang (Menurut Teori, Data, Penelitian dan Sejumlah Ahli Sejarah)
Teori tentang kerajaan Islam pertama di Nusantara sampai saat ini masih
banyak diperdebatkan oleh para peneliti, baik cendekiawan Muslim maupun
non Muslim. Umumnya perbedaan pendapat tentang teori ini didasarkan
pada teori awal mula masuknya Islam ke Nusantara. Mengenai teori

Islamisasi di Nusantara, para ahli sejarah terbagi menjadi 3 kelompok besar,
yaitu pendukung (i) Teori Gujarat (ii) Teori Parsia dan (iii) Teori Mekah
(Arab).
Bukan maksud tulisan ini untuk membahas teori-teori tersebut secara
mendetil, namun dari penelitian yang penulis lakukan, maka dapat
disimpulkan bahwa Teori Mekkah (Arab) lebih mendekati kebenaran dengan
fakta-fakta yang dikemukakan. Teori Mekkah (Arab) hakikatnya adalah
koreksi terhadap teori Gujarat dan bantahan terhadap teori Persia.
Sebagaimana dikemukakan terdahulu, bahwa sebelum Nabi Muhammad saw
membawa Islam, Dunia Arab dengan Dunia Melayu sudah menjalin

hubungan dagang yang erat sebagai dampak hubungan dagang Arab-Cina
melalui jalur laut yang telah menumbuhkan perkampungan-perkampungan
Arab, Parsia, Hindia dan lainnya di sepanjang pesisir pulau Sumatera.
Karena letak gegrafisnya yang sangat strategis di ujung barat pulau
Sumatra, menjadikan wilayah Aceh sebagai kota pelabuhan transit yang
berkembang pesat, terutama untuk mempersiapkan logistik dalam pelayaran
yang akan menempuh samudra luas perjalanan dari Cina menuju Persia
ataupun Arab.
Hadirnya pelabuhan transito sekaligus kota perdagangan seperti Barus,
Fansur, Lamri, Jeumpa dan lainnya dengan komuditas unggulan seperti
kafur, yang memiliki banyak manfaat dan kegunaan telah melambungkan
wilayah asalnya dalam jejaran kota pertumbuhan peradaban dunia. ”Kafur
Barus”, ”Kafur Fansur”, ”Kafur Barus min Fansur” yang telah menjadi idiom
kemewahan para Raja dan bangsawan di Yunani, Romawi, Mesir, Persia dan
lainnya. Kedudukan Barus-Fansur lebih kurang seperti kedudukan Paris saat
ini yang terkenal dengan inovasi minyak wangi mewahnya.
Sejak dahulu perdagangan antara negara-negara Timur dengan Timur
Tengah dan Eropa berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut.
Jalur darat, yang juga disebut ”jalur sutra” (silk road), dimulai dari Cina
Utara lewat Asia Tengah dan Turkistan terus ke Laut Tengah. Jalur

perdagangan ini, yang menghubungkan Cina dan India dengan Eropa,
merupakan jalur tertua yang sudah di kenal sejak 500 tahun sebelum
Masehi. Sedangkan jalan laut dimulai dari Cina (Semenanjung Shantung)
dan Indonesia, melalui Selat Malaka ke India; dari sini ke Laut Tengah dan

Eropa, ada yang melalui Teluk Persia dan Suriah, dan ada juga yang melalui
Laut Merah dan Mesir. Diduga perdagangan lewat laut antara Laut Merah,
Cina dan Indonesia sudah berjalan sejak abad pertama sesudah Masehi.lv
Akan tetapi, karena sering terjadi gangguan keamanan pada jalur
perdagangan darat di Asia Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi
perdagangan Timur-Barat melalui laut (Selat Malaka) menjadi semakin
ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal Arab, Persia dan India telah mondar
mandir dari Barat ke Timur dan terus ke Negeri Cina dengan menggunakan
angin musim, untuk pelayaran pulang pergi. Juga kapal-kapal Sumatra telah
mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman Sriwijaya,
pedagang-pedagangnya telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan
pantai timur Afrika.lvi
Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, telah menumbuhkan kotakota pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatra.
Perkembangan perdagangan yang semakin banyak di antara Arab, Cina dan
Eropa melalui jalur laut telah menjadikan kota pelabuhan semakin ramai,

termasuk di wilayah Aceh yang diketahui telah memiliki beberapa kota
pelabuhan yang umumnya terdapat di beberapa delta sungai. Kota-kota
pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau kota perdagangan.
Maka berdasarkan fakta sejarah ini pulalah, keberadaan Kerajaan Islam
Jeumpa Aceh yang diperkirakan berdiri pada abad ke 7 Masehi dan berada
disekitar Kabupaten Bireuen sekarang menjadi sangat logis. Sebagaimana
kerajaan-kerajaan purba pra-Islam yang banyak terdapat di sekitar pulau
Sumatra, Kerajaan Jeumpa juga tumbuh dari pemukiman-pemukiman
penduduk yang semakin banyak akibat ramainya perdagangan dan memiliki
daya tarik bagi kota persinggahan. Melihat topografinya, Kuala Jeumpa
sebagai kota pelabuhan memang tempat yang indah dan sesuai untuk
peristirahatan setelah melalui perjalanan panjang.
Shahrianshah Salman Al-Farisi Pendiri Kerajaan Jeumpa Aceh (777 M)
Kerajaan Jeumpa Aceh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis
Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah
Kerajaan yang benar keberadaannya pada sekitar abad ke 777 Masehi yang
berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di
sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. Istana Raja

Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara,
sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet.
Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat
penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang
terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada
sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu
kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke
Cot Cut Abeuk Usong atau ke ”Pintoe Rayeuk” (Pintu Besar).
Menurut silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh
Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam
Jeumpa dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia (India Belakang ) yang
bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan
Puteri Mayang Seuludong dan memiliki beberapa anak, antara lain Syahri
Poli, Syahri Tanti, Syahri Nuwi, Syahri Dito dan Makhdum Tansyuri yang
menjadi ibu daripada Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak yang berdiri
pada tahun 805 Masehi.
Menurut penelitian Sayed Dahlan al-Habsyi, Syahri adalah gelar pertama
yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum
menggunakan gelar Meurah, Habib, Sayid, Syarief, Sunan, Teuku dan
lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri
Syahribanun, anak Maha Raja Parsia terakhir yang ditaklukkan Islam.
Sampai saat ini, penulis belum menemukan silsilah keturunan Pengeran
Salman ke atas, apakah beliau termasuk dari keturunan Nabi Muhammad
saw atau keturunan raja-raja Parsia. Karena di silsilah yang dikeluarkan
Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sulu tidak disebutkan. Namun menurut
pengamatan pakar sejarah Aceh, Sayed Hahlan al-Habsyi, beliau adalah
termasuk keturunan Sayyidina Husein ra. Dikarenakan :
Beliau memberikan gelar Syahri kepada anak-anaknya, yang jelas menunjuk
kepada moyangnya. Beliau mengawinkan anak perempuannya dengan cucu
Imam Ja’far Sadiq, yang menjadi tradisi para Sayid sampai saat ini.
anak beliau, Syahri Nuwi adalah patron dari rombongan Nakhoda Khalifah,
bahkan ada yang menganggap kedatangan rombongan ini atas permintaan

Syahri Nuwi untuk mengembangkan kekuatan Ahlul Bayt atau keturunan
Nabi saw di Nusantara setelah mendapat pukulan di Arab dan Parsia.
Itulah sebabnya, hubungan Syahri Nuwi dengan rombongan Nakhoda
Khalifah yang bermazhab Syi’ah sangat dekat dan menganggap mereka
sebagai bagian keluarga.
Yang perlu dicermati, kenapa Pangeran Salman Al-Parsi memilih kota kecil di
wilayah Jeumpa sebagai tempat mukimnya, dan tidak memilih kota
metropolitan seperti Barus, Fansur, Lamuri dan sekitarnya yang sudah
berkembang pesat dan menjadi persinggahan para pedagang manca
negara? Ada beberapa kemungkinan, Beliau diterima dengan baik oleh
masyarakat Jeumpa dan memutuskan tinggal di sana, Beliau merasa
nyaman dan sesuai dengan penguasa (meurah), Keinginan untuk
mengembangkan wilayah ini setingkat Barus, Lamuri dan lainnya
dan Menghindar dari pandangan penguasa.
Alasan terakhir ini, mungkin dapat diterima sebagai alasan utama.
Mengingat Pangeran Salman adalah salah seorang pelarian politik dari Parsia
yang tengah bergejolak akibat peperangan antara Keturunan Nabi saw yang
didukung pengikut Syiah dengan Penguasa Bani Abbasiah masa itu (tahun
150an Hijriah). Beliau bersama para pengikut setianya memilih ujung utara
pulau Sumatera sebagai tujuan karena memang daerah sudah terkenal dan
sudah terdapat banyak pemeluk Islam yang mendiami perkampunganperkampungan Arab atau Persia.
Kemungkinan Jeumpa adalah salah satu pemukiman baru tersebut. Untuk
menghindari pengejaran itulah, beliau memilih daerah pinggiriran agar tidak
terlalu menyolok. Itulah sebabnya, Pangeran Salman juga dikenal dengan
nama-nama lainnya, seperti Meurah Jeumpa, atau ada yang mengatakan
beliau sebagai Abdullah.
Di bawah pemerintahan Pangeran Salman, Kerajaan Islam Jeumpa
berkembang pesat menjadi sebuah kota baru yang memiliki hubungan luas
dengan Kerajaan-Kerajaan besar lainnya. Potensi, karakter, pengetahuan
dan pengalaman Pangeran Salman sebagai seorang bangsawan calon
pemimpin di Kerajaan maju dan besar seperti Persia yang telah mendapat
pendidikan khusus sebagaimana lazimnya Pangeran Islam, tentu telah

mendorong pertumbuhan Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat
pemerintahan dan perdagangan yang berpengaruh di sekitar pesisir utara
pulau Sumatra.
Jeumpa sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara memperluas
hubungan diplomatik dan perdagangannya dengan Kerajaan-Kerajaan
lainnya, baik di sekitar Pulau Sumatera atau negeri-negeri lainnya, terutama
Arab dan Cina. Banyak tempat di sekitar Jeumpa berasal dari bahasa Parsi,
yang paling jelas adalah Bireuen, yang artinya kemenangan, sama dengan
makna Jayakarta, asal nama Jakarta yang didirikan Fatahillah, yang dalam
bahasa Arab semakna, Fath mubin, kemenangan yang nyata.
Untuk mengembangkan Kerajaannya, Pangeran Salman telah mengangkat
anak-anaknya menjadi Meurah-Meurah baru. Ke wilayah barat, berhampiran
dengan Barus-Fansur-Lamuri yang sudah berkembang terlebih dahulu,
beliau mengangkat anaknya, Syahri Poli menjadi Meurah mendirikan
Kerajaan Poli yang selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Pidie. Ke
sebelah timur, beliau mengangkat anaknya Syahr Nawi sebagai Meurah di
sebuah kota baru bernama Perlak pada tahun 804. Namun dalam
perkembangannya, Kerajaan Perlak tumbuh pesat menjadi kota pelabuhan
baru terutama setelah kedatangan rombongan keturunan Nabi yang
dipimpin Nakhoda Khalifah berjumlah 100 orang.
Syahr Nuwi mengawinkan adiknya Makhdum Tansyuri dengan salah seorang
tokoh rombongan tersebut bernama Ali bin Muhammad bin Jafar Sadik, cicit
kepada Nabi Muhammad saw. Dari perkawinan ini lahir seorang putra
bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H atau tahun 840 M
dilantik menjadi Raja dari Kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan
Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Melalui jalur perkawinan ini,
hubungan erat terbina antara Kerajaan Islam Jeumpa dengan Kerajaan
Islam Perlak. Karena wilayahnya yang strategis Kerajaan Islam Perlak
akhirnya berkembang menjadi sebuah Kerajaan yang maju menggantikan
peran dari Kerajaan Islam Jeumpa.
Setelah tampilnya Kerajaan Islam Perlak sebagai pusat pertumbuhan
perdagangan dan kota pelabuhan yang baru, peran Kerajaan Islam Jeumpa
menjadi kurang menonjol. Namun demikian, Kerajaan ini tetap eksis, yang
mungkin berubah fungsi sebagai sebuah kota pendidikan bagi kader-kader

ulama dan pendakwah Islam. Karena diketahui bahwa Puteri Jeumpa yang
menjadi ibunda Raden Fatah adalah keponakan dari Sunan Ampel.
Berarti Raja Jeumpa masa itu bersaudara dengan Sunan Ampel. Sementara
Sunan Ampel adalah keponakan dari Maulana Malik Ibrahim, yang artinya
kakek, mungkin kakek saudara dari Puteri Jeumpa. Maka dari hubungan ini
dapat dibuat sebuah kesimpulan bahwa, para wali memiliki hubungan
dengan Kerajaan Jeumpa yang boleh jadi Jeumpa masa itu menjadi pusat
pendidikan bagi para ulama dan pendakwah Islam Nusantara. Namun belum
ditemukan data tentang masalah ini.
Setelah berdirinya beberapa Kerajaan Islam baru sebagai pusat Islamisasi
Nusantara seperti Kerajaan Islam Perlak (840an) dan Kerajaan Islam Pasai
(1200an), Kerajaan Islam Jeumpa yang menjalin kerjasama diplomatik tetap
memiliki peran besar dalam Islamisasi Nusantara, khususnya dalam
penaklukkan beberapa kerajaan besar Jawa-Hindu seperti Majapahit
misalnya. Di kisahkan bahwa Raja terakhir Majapahit, Brawijaya V memiliki
seorang istri yang berasal dari Jeumpa (Champa), yang menurut pendapat
Raffless berada di wilayah Aceh dan bukan di Kamboja sebagaimana
difahami selama ini. Puteri cantik jelita yang terkenal dengan nama Puteri
Jeumpa (Puteri Champa) ini adalah anak dari salah seorang Raja Muslim
Jeumpa yang juga keponakan dari pemimpin para Wali di Jawa, Sunan
Ampel dan Maulana Malik Ibrahim.
Mereka adalah para Wali keturunan Nabi Muhammad yang dilahirkan,
dibesarkan dan dididik di wilayah Aceh, baik Jeumpa, Perlak, Pasai, Kedah,
Pattani dan sekitarnya. Dan merekalah konseptor penaklukan Kerajaan
Jawa-Hindu Majapahit dengan gerakannya yang terkenal dengan sebutan
Wali Songo atau Wali Sembilan. Perkawinan Puteri Muslim Jeumpa Aceh
dengan Raja terakhir Majapahit melahirkan Raden Fatah, yang dididik dan
dibesarkan oleh para Wali, yang selanjutnya dinobatkan sebagai Sultan pada
Kerajaan Islam Demak, yang ketahui sebagai Kerajaan Islam pertama di
pulau Jawa. Kehadiran Kerajaan Islam Demak inilah yang telah mengakhiri
riwayat kegemilangan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.
Sejarah ini dapat diartikan sebagai keberhasilan strategi Kerajaan Islam
Jeumpa Aceh yang kala itu sudah berafiliasi dengan Kerajaan Islam Pasai
yang telah menggantikan peranan Kerajaan Islam Perlak dalam

menaklukkan dan mengalahkan sebuah kerajaan besar Jawa-Hindu
Majapahit dan mengakhiri sejarahnya dan menjadikan pulau Jawa sebagai
wilayah kekuasaan Islam di bawah Kerajaan Islam Demak yang dipimpin
oleh Raden Fatah, yang ibunya berasal dari Kerajaan Jeumpa di Aceh. Jadi
dapat dikatakan bahwa, Kerajaan Jeumpa Acehlah yang telah mengalahkan
dominasi Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dengan strategi penaklukan lewat
perkawinan yang dilakukan oleh para Wali Sembilan, yang memiliki garis
hubungan dengan Jeumpa, Perlak, Pasai ataupun Kerajaan Aceh
Darussalam.
Setelah Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi tumbuh dan
berkembang, maka pusat aktivitas Islamisasi nusantarapun berpindah ke wilayah ini.
Dapat dikatakan bahwa Kerajaan Islam Perlak adalah kelanjutan atau pengembangan
daripada Kerajaan Islam Jeumpa yang sudah mulai menurun peranannya. Namun
secara diplomatik kedua Kerajaan ini merupakan sebuah keluarga yang terikat dengan
aturan Islam yang mengutamakan persaudaraan. Apalagi para Sultan adalah keturunan
dari Nabi Muhammad yang senantiasa mengutamakan kepentingan agama Islam di
atas segala kepentingan duniawi dan diri mereka. Bahkan dalam silsilahnya, Sultan
Perlak yang ke V berasal dari keturunan Kerajaan Islam Jeumpa.

Kesultanan Islam Peureulak
1.
Sejarah
Analisis dan pemikiran tentang bagaimana sejarah masuknya Islam di Indonesia
dipahami melalui sejumlah teori. Aji Setiawan, misalnya melihat bahwa datangnya Islam
ke nusantara bisa ditelisik melalui tiga teori, yaitu teori Gujarat, teori Arab, dan teori
Persia. Teori Gujarat memandang bahwa asal muasal datangnya Islam di Indonesia
adalah melalui jalur perdagangan Gujarat India pada abad 13-14. Teori ini biasanya
banyak digunakan oleh ahli-ahli dari Belanda. Salah seorang penganutnya, W.F.
Stuterheim menyatakan bahwa Islam mulai masuk ke nusantara pada abad ke-13 yang
didasarkan pada bukti batu nisan sultan pertama dari Kerajaan Samudera Pasai, yakni
Malik Al-Saleh pada tahun 1297. Menurut teori ini, masuknya Islam ke nusantara
melalui jalur perdagangan Indonesia-Cambay (India)-Timur Tengah–Eropa.
Teori Persia lebih menitikberatkan pada realitas kesamaan kebudayaan antara
masyarakat Indonesia pada saat itu dengan budaya Persia. Sebagai contoh misalnya
kesamaan konsep wahdatul wujud-nya Hamzah Fanshuri dengan al-Hallaj. Sedangkan
teori Arab berpandangan sebaliknya. T.W. Arnold, salah seorang penganutnya

berargumen bahwa para pedagang Arab yang mendominasi perdagangan Barat-Timur
sejak abad ke-7 atau 8 juga sekaligus melakukan penyebaran Islam di nusantara pada
saat itu. Penganut teori ini lainnya, Naquib al-Attas melihat bahwa bukti kedatangan
Islam ke nusantara ditandai dengan karaktek Islam yang khas, atau disebut dengan
“teori umum tentang Islamisasi nusantara” yang didasarkan pada literatur nusantara
dan pandangan dunia Melayu. Di samping tiga teori umum di atas, ada teori lain yang
memandang bahwa datangnya Islam ke nusantara berasal dari Cina, atau yang disebut
dengan teori Cina.
Berdasarkan paparan teori-teori di atas, dapat diperkirakan bahwa Islam telah masuk
ke Indonesia sejak abad 7 atau 8 M. Pada abad ke-13, Islam sudah berkembang pesat.
Menurut catatan A. Hasymi, Kesultanan Perlak merupakan kerajaan Islam pertama di
Indonesia yang berdiri pada tanggal 1 Muharam 225 H atau 804 M. Kesultanan ini
terletak di wilayah Perlak, Aceh Timur, Negeri Aceh.
Nama Kesultanan Perlak sebagai sejarah permulaan masuknya Islam di Indonesia
kurang begitu dikenal dibandingkan dengan Kesultanan Samudera Pasai. Namun
demikian, nama Kesultanan Perlak justru terkenal di Eropa karena kunjungan Marco
Polo pada tahun 1293.
a. Sejarah Masuknya Islam
Kesultanan Perlak berdiri pada tahun 840 dan berakhir pada tahun 1292. Proses
berdirinya tidak terlepas dari pengaruh Islam di wilayah Sumatera. Sebelum Kesultanan
Perlak berdiri, di wilayah Perlak sebenarnya sudah berdiri Negeri Perlak yang raja dan
rakyatnya merupakan keturunan dari Maharaja Pho He La (Meurah Perlak Syahir Nuwi)
serta keturunan dari pasukan-pasukan pengikutnya.
Pada tahun 840 ini, rombongan berjumlah 100 orang dari Timur Tengah menuju pantai
Sumatera yang dipimpin oleh Nakhoda Khilafah. Rombongan ini bertujuan untuk
berdagang sekaligus membawa sejumlah da‘i yang bertugas untuk membawa dan
menyebarkan Islam ke Perlak. Dalam waktu kurang dari setengah abad, raja dan rakyat
Perlak meninggalkan agama lama mereka (Hindu dan Buddha), yang kemudian secara
sukarela berbondong-bondong memeluk Islam.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa salah seorang anak buah dari
Nakhoda Khalifah, Ali bin Muhammad bin Ja‘far Shadiq dikawinkan dengan Makhdum
Tansyuri, yang merupakan adik dari Syahir Nuwi, Raja Negeri Perlak yang
berketurunan Parsi. Dari buah perkawinan mereka lahirlah Sultan Alaiddin Sayyid

Maulana Abdul Aziz Shah, yang menjadi sultan pertama di Kesultanan Perlak sejak
tahun 840. Ibu kotanya Perlak yang semula bernama Bandar Perlak kemudian diubah
menjadi Bandar Khalifah sebagai bentuk perhargaan terhadap jasa Nakhoda Khalifah.

b. Masa Permusuhan Sunni-Syiah
Sejarah keislaman di Kesultanan Perlak tidak luput dari persaingan antara kelompok
Sunni dan Syiah. Perebutan kekuasaan antara dua kelompok Muslim ini menyebabkan
terjadinya perang saudara dan pertumpahan darah. Silih berganti kelompok yang
menang mengambil alih kekuasaan dari tangan pesaingnya.
Aliran Syi‘ah datang ke Indonesia melalui para pedagang dari Gujarat, Arab, dan
Persia. Mereka masuk pertama kali melalui Kesultanan Perlak dengan dukungan penuh
dari dinasti Fatimiah di Mesir. Ketika dinasti ini runtuh pada tahun 1268, hubungan
antara kelompok Syi‘ah di pantai Sumatera dengan kelompok Syi‘ah di Mesir mulai
terputus. Kondisi ini menyebabkan konstelasi politik Mesir berubah haluan. Dinasti
Mamaluk memerintahkan pasukan yang dipimpin oleh Syaikh Ismail untuk pergi ke
pantai timur Sumatra dengan tujuan utamanya adalah melenyapkan pengikut Syi‘ah di
Kesultanan Perlak dan Kerajaan Samudera Pasai.
Sebagai informasi tambahan bahwa raja pertama Kerajaan Samudera Pasai, Marah
Silu dengan gelar Malikul Saleh berpindah agama, yang awalnya beragama Hindu
kemudian memeluk Islam aliran Syiah. Oleh karena dapat dibujuk oleh Syaikh Ismail,
Marah Silu kemudian menganut paham Syafii. Dua pengikut Marah Silu, Seri Kaya dan
Bawa Kaya juga menganut paham Syafii, sehingga nama mereka berubah menjadi Sidi
Ali Chiatuddin dan Sidi Ali Hasanuddin. Ketika berkuasa Marah Silu dikenal sebagai
raja yang sangat anti terhadap pemikiran dan pengikut Syi‘ah.
Aliran Sunni mulai masuk ke Kesultanan Perlak, yaitu pada masa pemerintahan sultan
ke-3, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah. Setelah ia meninggal pada tahun 363
H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni, yang menyebabkan
kesultanan dalam kondisi tanpa pemimpin. Pada tahun 302 H (915 M), kelompok Syiah
memenangkan perang. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah
kemudian memegang kekuasaan kesultanan sebagai sultan ke-4 (915-918). Ketika
pemerintahannya berakhir, terjadi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni, hanya saja
untuk kali ini justru dimenangkan oleh kelompok Sunni.

Kurun waktu antara tahun 918 hingga tahun 956 relatif tidak terjadi gejolak yang berarti.
Hanya saja, pada tahun 362 H (956 M), setelah sultan ke-7, Sultan Makhdum Alaiddin
Abdul Malik Shah Johan Berdaulat meninggal, terjadi lagi pergolakan antara kelompok
Syiah dan Sunni selama kurang lebih empat tahun. Bedanya, pergolakan kali ini diakhiri
dengan adanya itikad perdamaian dari keduanya. Kesultanan kemudian dibagi menjadi
dua bagian. Pertama, Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed
Maulana Shah (986 – 988). Kedua, Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan
Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023).
Kedua kepemimpinan tersebut bersatu kembali ketika salah satu dari pemimpin kedua
wilayah tersebut, yaitu Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal. Ia meninggal
ketika Perlak berhasil dikalahkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Kondisi perang inilah yang
membangkitkan semangat bersatunya kembali kepemimpinan dalam Kesultanan
Perlak. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat, yang awalnya
hanya menguasai Perlak Pedalaman kemudian ditetapkan sebagai Sultan ke-8 pada
Kesultanan Perlak. Ia melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006.
Sultan ke-8 sebenarnya berpaham aliran Sunni, namun sayangnya belum ditemukan
data yang menyebutkan apakah terjadi lagi pergolakan antar kedua aliran tersebut.
2. Silsilah
Sebelum berdirinya Kesultanan Perlak, di wilayah Negeri Perlak sudah ada rajanya,
yaitu Meurah Perlak Syahir Nuwi. Namun, data tentang raja-raja Negeri Perlak secara
lengkap belum ditemukan. Sedangkan daftar nama sultan yang pernah berkuasa di
Kesultanan Pelak adalah sebagai berikut:
1. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah (840-864)
2. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rahim Shah (864-888)
3. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (888-913)
4. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah (915-918)
5. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah Johan Berdaulat (928-932)
6. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah Johan Berdaulat (932-956)
7. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat (956-983)
8. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986-1023)
9. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1023-1059)
10. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Shah Johan Berdaulat (1059-1078)
11. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Shah Johan Berdaulat (1078-1109)
12. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Shah Johan Berdaulat (1109-1135)
13. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1135-1160)
14. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Shah Johan Berdaulat (1160-1173)
15. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Shah Johan Berdaulat (1173-1200)
16. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Shah Johan Berdaulat (1200-1230)

17. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (1230-1267
18. 18. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267-1292)
Catatan: Sultan-sultan di atas dibagi menurut dua dinasti, yaitu dinasti Syed Maulana
Abdul Azis Shah dan dinasti Johan Berdaulat, yang merupakan keturunan dari Meurah
Perlak asli (Syahir Nuwi).

3. Periode Pemerintahan
Sultan Perlak ke-17, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan
Berdaulat, melakukan politik persahabatan dengan negeri-negeri tetangga. Ia
menikahkan dua orang puterinya, yaitu: Putri Ratna Kamala dinikahkan dengan Raja
Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Shah (Parameswara) dan Putri Ganggang
dinikahkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, al-Malik al-Saleh.
Kesultanan Perlak berakhir setelah Sultan yang ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik
Abdul Aziz Johan Berdaulat meninggal pada tahun 1292. Kesultanan Perlak kemudian
menyatu dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah kekuasaan sultan Samudera
Pasai yang memerintah pada saat itu, Sultan Muhammad Malik Al Zahir yang juga
merupakan putera dari al-Malik al-Saleh.

4. Wilayah Kekuasaan
Sebelum bersatu dengan Kerajaan Samudera Pasai, wilayah kekuasaan Kesultanan
Perlak hanya mencakup kawasan sekitar Perlak saja. Saat ini, kesultanan ini terletak di
pesisir timur daerah aceh yang tepatnya berada di wilayah Perlak, Aceh Timur,
Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia.

6. Kehidupan Sosial-Budaya
Perlak dikenal dengan kekayaan hasil alamnya yang didukung dengan letaknya yang
sangat strategis. Apalagi, Perlak sangat dikenal sebagai penghasil kayu perlak, yaitu
jenis kayu yang sangat bagus untuk membuat kapal. Kondisi semacam inilah yang
membuat para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia tertarik untuk datang ke daerah
ini. Masuknya para pedagang tersebut juga sekaligus menyebarkan ajaran Islam di
kawasan ini. Kedatangan mereka berpengaruh terhadap kehidupan sosio-budaya
masyarakat Perlak pada saat itu. Sebab, ketika itu masyarakat Perlak mulai
diperkenalkan tentang bagaimana caranya berdagang. Pada awal abad ke-8, Perlak
dikenal sebagai pelabuhan niaga yang sangat maju.

Model pernikahan percampuran mulai terjadi di daerah ini sebagai konsekuensi dari
membaurnya antara masyarakat pribumi dengan masyarakat pendatang. Kelompok
pendatang bermaksud menyebarluaskan misi Islamisasi dengan cara menikahi wanitawanita setempat. Sebenarnya tidak hanya itu saja, pernikahan campuran juga
dimaksudkan untuk mengembangkan sayap perdagangan dari pihak pendatang di
daerah ini.
Sumber :





Setiawan, Aji. 2006. “Islam Masuk ke Indonesia”, www.islamlib.com.
Smith Alhadar, “Sejarah dan Tradisi Syiah Ternate”, www.fatimah.org.
www.osdir.com.
wikipedia.org.

Kesultanan Samudera Pasai

Nisan Pasai

1.
sejarah
Kapan berdirinya Kesultanan Samudera Pasai belum bisa dipastikan dengan tepat dan
masih menjadi perdebatan para ahli sejarah. Namun, terdapat keyakinan bahwa
Kesultanan Samudera Pasai berdiri lebih awal dibanding Dinasti Usmani di Turki yang
pernah menjadi salah satu peradaban adikuasa di dunia. Jika Dinasti Ottoman mulai
menancapkan kekuasaannya pada sekitar tahun 1385 Masehi, maka Kesultanan
Samudera Pasai sudah menebarkan pengaruhnya di wilayah Asia Tenggara sejak
tahun 1297 Masehi.
Sejumlah ahli sejarah dan peneliti dari Eropa pada masa pendudukan kolonial Hindia
Belanda telah beberapa kali melakukan penyelidikan untuk menguak asal-usul
keberadaan salah satu kerajaan terbesar di bumi Aceh ini. Beberapa sarjana dan
peneliti dari Belanda, termasuk Snouck Hurgronje, J.P. Moquette, J.L. Moens, J.

Hushoff Poll, G.P. Rouffaer, H.K.J. Cowan, dan lainnya, menyepakati perkiraan bahwa
Kesultanan Samudera Pasai baru berdiri pada pertengahan abad ke-13 serta
menempatkan nama Sultan Malik Al Salih sebagai pendirinya (Rusdi Sufi & Agus Budi
Wibowo, 2006:50). Nama Malik Al Salih sendiri dikenal dengan sebutan dan penulisan
yang berbeda, antara lain Malik Ul Salih, Malik Al Saleh, Malikussaleh, Malik Al Salih,
atau Malik Ul Saleh.

a. Asal-Usul Penamaan Samudera Pasai
Nama lengkap Kesultanan Samudera Pasai adalah “Samudera Aca Pasai”, yang
artinya “Kerajaan Samudera yang baik dengan ibukota di Pasai” (H.M. Zainuddin,
1961:116). Pusat pemerintahan kerajaan tersebut sekarang sudah tidak ada lagi namun
diperkirakan lokasinya berada di sekitar negeri Blang Melayu. Nama “Samudera” itulah
yang dijadikan sebagai nama pulau yang kini disebut sebagai Sumatra, seperti yang
disebut oleh orang-orang Portugis. Sebelumnya, nama wilayah tersebut adalah Pulau
Perca.
Sedangkan para pengelana yang berasal dari Tiongkok/Cina menyebutnya dengan
nama “Chincou”, yang artinya “Pulau Emas”, seperti misalnya yang diketahui
berdasarkan tulisan-tulisan I‘tsing. Raja Kertanegara, pemimpin Kerajaan Singasari
yang terkenal, menyebut daerah ini dengan nama Suwarnabhumi, yang artinya ternyata
sama dengan apa yang disebut oleh orang-orang Tiongkok, yakni “Pulau Emas”.
Kesultanan Samudera Pasai merupakan kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai
utara Sumatra, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sekarang.
Catatan tertulis yang selama ini diyakini oleh para sejarawan untuk melacak sejarah
Kesultanan Samudera Pasai adalah tiga kitab historiografi Melayu yakni Hikayat Raja
Pasai, Sejarah Melayu, danHikayat Raja Bakoy. Hikayat Raja Pasai memberikan andil
yang cukup besar dalam upaya menguak riwayat Kesultanan Samudera Pasai,
meskipun nuansa mitos masih menjadi kendala dalam menafsirkan kebenarannya.
Mengenai nama “Samudera” dan “Pasai”, muncul sejumlah pendapat yang mencoba
mengurai asal-usul penggunaan kedua nama tersebut. Salah satunya adalah seperti
yang dikemukakan oleh sarjana Eropa, J.L. Moens, yang menyebut bahwa kata “Pasai”
berasal dari istilah “Parsi”. Menurut Moens, kaum pedagang yang datang dari Persia
mengucapkan kata “Pasai” dengan lafal “Pa‘Se”. Analisis Moens ini bisa jadi berlaku,
dengan catatan bahwa sejak abad ke-7 Masehi para saudagar yang datang dari Persia

sudah tiba dan singgah di daerah yang kemudian menjadi tempat berdirinya Kesultanan
Samudera Pasai (M.D. Mansoer, 1963:59).
Pendapat Moens mendapat dukungan dari beberapa kalangan, termasuk Prof. Gabriel
Ferrand, melalui karyanya yang berjudul L‘Empire (1922), juga dalam buku The Golden
Khersonese (1961) yang ditulis oleh Prof. Paul Wheatley. Kedua karya itu
menyandarkan data-datanya pada keterangan para pengelana dari Timur Tengah yang
melakukan perjalanan ke wilayah Asia Tenggara. Baik Gabriel Ferrand maupun Paul
Wheatley sama-sama menyepakati bahwa sejak abad ke-7 Masehi, pelabuhanpelabuhan besar di Asia Tenggara, termasuk di kawasan Selat Malaka, telah ramai
dikunjungi oleh kaum musafir dan para saudagar yang berasal dari Asia Barat.
Disebutkan juga bahwa pada setiap kota-kota dagang tersebut telah terdapat fondasifondasi atau permukiman-permukiman dari para pedagang Islam yang singgah dan
menetap di situ.
H. Mohammad Said, seorang jurnalis sekaligus penulis yang mendedikasikan hidupnya
untuk meneliti dan menerbitkan buku-buku hal ihwal Aceh, termasuk tentang
Kesultanan Samudera Pasai dan Kesultanan Aceh Darussalam, cenderung
menyimpulkan bahwa asal-muasal penamaan “Pasai” berasal dari para pedagang Cina.
Menurut Said, istilah “Po Se” yang populer digunakan pada pertengahan abad ke-8
Masehi, seperti yang terdapat dalam catatan-catatan dan laporan perjalanan pengelana
dari Cina, identik dan mirip sekali dengan penyebutan kata “Pase” atau “Pasai” (Said,
1963:2004-205).
Ada pula pendapat yang menyebut bahwa nama “Pasai” berasal dari kata
“tapasai”, yang artinya “tepi laut”. Kata “tapa” masih banyak dijumpai dalam bahasabahasa Polinesia yang berarti “tepi”. Kata “sai” dapat dimaknai sebagai “laut”, yang juga
termasuk dalam kosa kata Melayu-Polinesia atau Nusantara. Kata “Pasai” adalah
sinonim dari kata “pantai”. Begitu pula kata “samudera” yang juga berarti “tidak jauh dari
laut”. Jadi, baik “Samudera” atau “Pasai” mengandung arti yang kurang lebih sama,
yaitu “negara yang terletak di tepi laut” (Slamet Muljana, 2005:136).
Nama Samudera dan Pasai sering disebut-sebut dalam berbagai sumber yang berhasil
ditemukan, baik sumber yang berasal dari luar maupun sumber-sumber lokal. Sumbersumber dari luar nusantara yang kerap menyebut keberadaan wilayah yang bernama
Samudera dan Pasai antara lain adalah laporan atau catatan perjalanan para musafir
asal Cina, Arab, India, maupun Eropa, yang pernah singgah ke wilayah Samudera
Pasai. Catatan-catatan perjalanan tersebut seperti yang ditulis oleh Marco Polo,

Odorico, Ibnu Batutah, Tome Pires, serta berita-berita dari Cina. Sedangkan sumber
dari dalam negeri salah satunya seperti yang termaktub dalam kitab Negara
Kertagama karya Mpu Prapanca yang ditulis dalam kurun abad ke-13 sampai abad ke14 Masehi.
Ibnu Batutah, seorang pengembara muslim dari Maghribi, Maroko, misalnya, dalam
catatannya mengatakan bahwa ia sempat mengunjungi Pasai pada 1345 M. Ibnu
Batutah, yang singgah di Pasai selama 15 hari, menggambarkan Kesultanan Samudera
Pasai sebagai “sebuah negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang besar dan
indah.‘‘ Ibnu Batutah menceritakan, ketika sampai di negeri Cina, ia melihat kapal
Sultan Pasai di negeri itu. Memang, sumber-sumber Cina ada yang menyebutkan
bahwa utusan Pasai secara rutin datang ke Cina untuk menyerahkan upeti.
Catatan pada Dinasti Mongol di Cina menunjukkan beberapa kerajaan di Sumatra,
termasuk Kerajaan Samudera/Pasai, sempat menjalin relasi dengan Kerajaan Mongol
yang berada di bawah komando Kubhilai Khan. Kerajaan Samudera/Pasai mulai
mengadakan hubungan dengan Dinasti Mongol pada 1282. Kerajaan Samudera/Pasai
menjalin hubungan dengan imperium besar di Asia itu melalui perutusan Cina yang
kembali dari India Selatan dan singgah di Samudera Pasai. Peristiwa ini dianggap
sebagai permulaan kontak antara Samudera Pasai dengan Cina/Mongol (Muhammad
Gade Ismail, 1997:23).

Papan Makam Sultan Pertama Samudera
Pasai

Informasi lain juga menyebutkan bahwa Sultan Samudera Pasai pernah mengirimkan
utusan ke Quilon, India Barat, pada 1282 M. Ini membuktikan bahwa Kesultanan Pasai
memiliki relasi yang cukup luas dengan kerajaan-kerajaan lain di luar negeri. Selain itu,
dalam catatan perjalanan berjudul Tuhfat Al-Nazha, Ibnu Batutah menuturkan, pada
masa itu Pasai telah menjelma sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara.
Pencatat asal Portugis yang pernah menetap di Malaka pada kurun 1512-1515, Tomi
Pires, menyebutkan bahwa Pasai adalah kota terpenting pada masanya untuk seluruh
Sumatra, karena tidak ada tempat lain yang penting di pulau itu kecuali Pasai. Nama

kota tersebut oleh sebagian orang disebut sebagai Samudera dan kemudian lekat
dengan nama Samudera Pasai serta menjadi simbol untuk menyebut Pulau Sumatra.
Kota Pasai, menurut catatan Tomi Pires, ditaksir berpenduduk tidak kurang dari 20.000
orang (Ismail, 1997:37).
Marco Polo melaporkan, pada 1267 Masehi telah berdiri kerajaan Islam pertama di
kepulauan nusantara, yang tidak lain adalah Kesultanan Pasai. Marco Polo berkunjung
ke Pasai pada masa pemerintahan Sultan Malik Al Salih, tepatnya tahun 1292 Masehi,
ketika kerajaan ini belum lama berdiri namun sudah memperlihatkan potensi
kemakmurannya. Marco Polo singgah ke Samudera Pasai dalam rangkaian
perjalanannya dari Tiongkok ke Persia. Kala itu, Marco Polo ikut dalam rombongan dari
Italia yang melawat ke Sumatra sepulang menghadiri undangan dari Kubilai Khan, Raja
Mongol, yang juga menguasai wilayah Tiongkok. Marco Polo menyebutkan, penduduk
di Pasai pada waktu itu masih banyak yang belum memeluk agama (Islam), namun
komunitas orang-orang Arab —yang disebut Marco dengan nama Saraceen— sudah
cukup banyak dan berperan penting dalam upaya mengislamkan penduduk Aceh.
Marco Polo menyebut kawasan yang disinggahinya itu dengan nama “Giava Minor”
atau “Jawa Minor” (H. Mohammad Said, 1963:82-83).
Selain sumber-sumber tertulis dan catatan perjalanan dari kaum pengelana, keterangan
lain yang setidaknya dapat sedikit membantu dalam menguak riwayat Kesultanan
Samudera Pasai diperoleh dari sisa-sisa peradaban yang ditinggalkan, seperti makammakam kuno yang dibuat dari batu granit atau pualam dan mata uang—
bernama Deureuham atau Dirham— yang ditemukan di Kecamatan Samudera,
Kabupaten Aceh Utara, Nanggroe Aceh Darussalam. Waktu wafatnya Sultan Malik As
Salih, pendiri Kesultanan Samudera Pasai, sendiri dapat diketahui dari tulisan yang
tertera pada sebuah nisan yang ditemukan di Blang Me, yakni tahun 697 Hijriah atau
bertepatan dengan tahun 1297 Masehi. Sedangkan kapan Malik Al Salih dilahirkan
belum ditemukan keterangan yang lebih jelas.

Mata Uang yang Berlaku di Samudera Pasai

Sumber-sumber tentang asal-muasal Kesultanan Samudera Pasai versi sarjana-sarjana
Barat yang dirumuskan pada era pemerintahan kolonial Hindia Belanda ternyata
berbeda dengan apa yang diyakini tokoh-tokoh sejarawan dan cendekiawan nasional
pada masa setelah Indonesia merdeka. Dalam “Seminar Sejarah Nasional” yang
diselenggarakan di Medan, Sumatra Utara, tanggal 17-20 Maret 1963, maupun dalam
seminar "Masuk dan Berkembangnya Islam di Daerah Istimewa Aceh", yang digelar
pada 10-16 Juli 1978 di Banda Aceh, yang antara lain dihadiri oleh Prof Hamka, Prof A.
Hasjmy, Prof H. Aboe Bakar Atjeh, H. Mohammad Said, dan M.D. Mansoer, telah
dimunculkan perspektif yang berbeda dalam upaya menelisik riwayat berdirinya
Kesultanan Samudera Pasai.
Berdasarkan sejumlah petunjuk dan sumber-sumber yang lebih baru, di antaranya dari
keterangan-keterangan para musafir Arab tentang Asia Tenggara serta dua naskah
lokal yang ditemukan di Aceh yakni "Idhahul Hak Fi Mamlakatil Peureula" karya Abu
Ishaq Al Makarany dan "Tawarich Raja-Raja Kerajaan Aceh", para pakar sejarah
nasional berkesimpulan bahwa Kerajaan Islam Samudera Pasai sudah berdiri sejak
abad ke-11, atau tepatnya tahun 433 Hijriah alias tahun 1042 dalam penanggalan
Masehi (Sufi & Wibowo, 2005:52).
Mengenai lokasi berdirinya Kesultanan Samudera Pasai, telah dilakukan juga usahausaha penelitian dan penyelidikan, salah satunya upaya penggalian yang dikerjakan
oleh Dinas Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Dari upaya penyelidikan ini diketahui bahwa lokasi Kesultanan Samudera Pasai terletak
di daerah bernama Pasai, yakni yang sekarang berada di wilayah Kabupaten Aceh
Utara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Menurut G.P. Rouffaer, salah seorang sarjana Belanda yang serius menyelidiki tentang
sejarah Kesultanan Samudera Pasai, mengatakan bahwa letak Pasai mula-mula
berada di sebelah kanan Sungai Pasai, sementara Samudera terletak di sisi kiri sungai.
Namun, lama-kelamaan, kedua tempat ini terhimpun menjadi satu dan kemudian
dijadikan tempat berdirinya sebuah kerajaan besar, yakni Kesultanan Samudera Pasai
(T. Ibrahim Alfian, 1973:21).

b. Samudera, Pasai, dan Pengaruh Mesir
Terdapat beberapa pendapat berbeda yang merumuskan serta menafsirkan tentang
asal muasal berdirinya Kesultanan Samudera Pasai. Salah satunya adalah pendapat
yang mengatakan bahwa Kesultanan Samudera Pasai merupakan kelanjutan dari
riwayat kerajaan-kerajaan pra Islam yang telah eksis sebelumnya. Dalam buku berjudul

“Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara”,
Slamet Muljana menulis bahwa Nazimuddin Al Kamil, Laksamana Laut dari Dinasti
Fathimiah di Mesir, berhasil menaklukkan sejumlah kerajaan Hindu/Buddha yang
terdapat di Aceh dan berhasil menguasai daerah subur yang dikenal dengan nama
Pasai. Nazimuddin Al-Kamil kemudian mendirikan sebuah kerajaan di muara Sungai
Pasai itu pada 1128 Masehi dengan nama Kerajaan Pasai. Alasan Dinasti Fathimiah
mendirikan pemerintahan di Pasai didasarkan atas keinginan untuk menguasai
perdagangan di wilayah pantai timur Sumatra yang memang sangat ramai.
Untuk memuluskan ambisi itu, Dinasti Fathimiah mengerahkan armada perangnya demi
merebut Kota Kambayat di Gujarat, membuka kota pelabuhan di Pasai, dan menyerang
daerah penghasil lada yakni Kampar Kanan dan Kampar Kiri di Minangkabau. Dalam
ekspedisi militer untuk merebut daerah di Minangkabau itu, Nazimuddin Al-Kamil gugur
dan jenazahnya dikuburkan di Bangkinang, di tepi Sungai Kampar Kanan pada 1128 itu
juga (Muljana, 2005:133). Pada 1168, Dinasti Fathimiah, yang berdiri sejak tahun 976
Masehi, dikalahkan oleh tentara Salahuddin yang menganut madzhab Syafi‘i. Dengan
runtuhnya Dinasti Fathimiah, maka hubungan Pasai dengan Mesir otomatis terputus.
Dalam sumber yang sama disebutkan bahwa penerus Nazimuddin Al-Kamil sebagai
penguasa Kerajaan Samudera adalah Laksamana Kafrawi Al-Kamil, namun pada 1204
Masehi kekuasaan Kerajaan Pasai jatuh ke tangan Laksamana Johan Jani dari Pulau
We. Di bawah kendali Laksamana Johan Jani yang merupakan peranakan India-Parsi,
Kerajaan Pasai bertambah kuat dan sempat menjelma menjadi negara maritim yang
paling kuat di Nusantara (Muljana, 2005:114).
Di Mesir, muncul dinasti baru untuk menggantikan Dinasti Fathimiah. Dinasti baru itu
adalah Dinasti Mamaluk yang hidup dalam rentang waktu dari tahun 1285 sampai
dengan 1522. Seperti halnya pendahulunya, Dinasti Mamaluk juga ingin menguasai
perdagangan di Pasai. Pada tahun-tahun awal berdirinya, Dinasti Mamaluk mengirim
utusan ke Pasai, yakni seorang pendakwah yang lama belajar agama Islam di tanah
suci Mekkah bernama Syaikh Ismail dan Fakir Muhammad, bekas ulama dari Pantai
Barat India.
Di Pasai, kedua utusan ini bertemu dengan Marah Silu yang kala itu menjadi anggota
angkatan perang Kerajaan Pasai. Syaikh Ismail dan Fakir Muhammad berhasil
membujuk Marah Silu untuk memeluk agama Islam. Selanjutnya, dengan bantuan
Dinasti Mamaluk di Mesir, mereka mendirikan Kerajaan Samudera sebagai tandingan
bagi Kerajaan Pasai. Marah Silu ditabalkan menjadi Sultan Kerajaan Samudera. Baik

Kerajaan Samudera maupun Kerajaan Pasai, keduanya berada di muara Sungai Pasai
dan menghadap ke arah Selat Malaka.

c. Riwayat Samudera Pasai dalam Hikayat
Versi lain tent