KEBIJAKAN FORMULASI PIDANA MATI DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA THE DEATH PENALTY FORMULATION POLICY ON THE NARCOTICS CRIME ACT IN INDONESIA

KEBIJAKAN FORMULASI PIDANA MATI DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA THE DEATH PENALTY FORMULATION POLICY ON THE NARCOTICS CRIME ACT IN INDONESIA

I Wayan Wardana

Kementerian Pertahanan Republik Indonesia (Denpal 09-12-02 Lombok-Paldam IX/Udayana)

Email : Wardanash@yahoo.com Naskah diterima : 02/05/2014; revisi : 28/06/2014/; disetujui : 04/08/2014

A bstrAct

The international narcotic criminal acts have reached the a dangerous level for the society, state and nation even world peace. In efforts to overcome the narcotic criminal act through criminal law instrument, the Indonesian government has adopted a policy by issuing the Law No. 35 /2009 concerning Narcotics that in the criminal provisions include death penalty. The issues raised in this research is as follows: What is the legal basis of the death penalty guidelines in the Law No., 35/2009 concerning Narcotics?, And whether the death penalty still needs to be formulated in the Indonesia narcotic criminal act regulation in the future?. The method employed is the normative legal research with the legislation approach (statute approach), conceptual approach, and the comparative approach. The legal basis of the death penalty guidelines in Law No. 35/2009 concerning Narcotics is not yet regulated restrictively and is still based on Article

11 of the Criminal Code as amended in the Law No. 2/Pnps/1964, i.e. Presidential Decree No. 2/1964 enacted under Law No. 5/1969 concerning Death Penalty Procedure imposed by general or military court and the Chief Police of Indonesia Regulation No. 12/2010 concerning Death Penalty Procedure. The death penalty still need to be formulated in the narcotic criminal act of Indonesia in the future with the reason that the application of the death punishment is not contrary to religion, Pancasila, and human rights. Therefore death penalty sanction is still preserved in the Criminal Code 2012 bill, and narcotics criminal acts viewed from its extraordinary impact are very complex.

Keywords : Formulation Policy of Dead Penalty, Narcotics Crime.

A bStrAk

Tindak pidana narkotika yang bersifat transnasional berada pada tingkat yang membahayakan masyarakat, bangsa dan negara bahkan perdamaian dunia. Dalam upaya penanggulangan tindak pidana narkotika melalui sarana hukum pidana pemerintah Indonesia telah mengambil kebijakan dengan menerbitkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang dalam ketentuan pidananya mencantumkan ancaman pidana mati. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimanakah landasan hukum pedoman penjatuhan pidana mati dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ?, dan apakah pidana mati masih perlu diformulasikan dalam undang-undang tindak pidana narkotika di Indonesia di masa yang akan datang ? Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statuta approach) , pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach) . Landasan hukum pedoman penjatuhan pidana mati dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika belum diatur secara limitatif

IUS 265

Kajian Hukum dan Keadilan

J UrnAl IUS | Vol II | Nomor 5 | Agustus 2014 | hlm 265~284

dan masih berpedoman pada Pasal 11 KUHP sebagaimana diubah dalam Undang-undang Nomor 2/Pnps/1964, yaitu Penpres Nomor 2 Tahun 1964 yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Tatacara Pelaksanaan Hukuman Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Pengadilan Umum dan Militer dan Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Pidana mati masih perlu diformulasikan dalam undang-undang tindak pidana narkotika di Indonesia di masa yang akan datang dengan alasan : penerapan pidana mati tidak bertentangan dengan agama, Pancasila, dan HAM, sanksi pidana mati masih tetap dipertahankan dalam RUU KUHP Tahun 2012, dan tindak pidana narkotika dilihat dari sifatnya yang luar biasa berdampak sangat kompleks.

Kata kunci : Kebijakan Formulasi Pidana Mati, Tindak Pidana Narkotika

PENDAHULUAN

semakin maraknya pemakaian secara tidak sah bermacam-macam nar-

N arkotika merupakaN zat atau obat

kotika. Kehawatiran ini semakin di- yang bermanfaat di bidang pengobatan

pertajam akibat meluasnya peredaran atau pelayanan kesehatan dan pengem-

gelap narkotika di masyarakat, ter- bangan ilmu pengetahuan. Narkotika

masuk di kalangan generasi muda. dapat pula menimbulkan ketergantungan

Hal ini akan sangat berpengaruh yang sangat merugikan apabila disalah-

terhadap kehidupan bangsa dan gunakan atau digunakan tanpa pengen-

negara selanjutnya, karena generasi dalian dan pengawasan yang ketat dan

muda adalah penerus cita-cita bangsa saksama. Hal ini akan lebih merugikan lagi

dan negara di masa mendatang. 1 jika disertai dengan peredaran gelap nar-

kotika di tengah masyarakat yang dapat Bahaya penyalahgunaan narkotika tidak mengakibatkan bahaya yang lebih besar hanya terbatas pada diri pecandu, me- bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya lainkan dapat membawa akibat lebih jauh bangsa yang pada akhirnya akan dapat me- lagi, yaitu gangguan terhadap tata ke- lemahkan ketahanan nasional.

hidupan masyarakat. Penyalahgunaan nar- kotika ini akan memberikan dampak yang

Penyalahgunaan dan peredaran gelap sangat luas dan kompleks, yaitu terhadap narkotika sekarang ini sangat mem-

pribadi/individu pemakai, keluarga, ma- prihatinkan. Narkotika yang semula diper- sy a rakat/lingkungan sosial, maupun ter-

lu kan untuk pengobatan dalam perkem- hadap bangsa dan negara. 2 Berdasarkan bangannya kemudian justru meng hasilkan

data statistik yang diperoleh dari situs kecanduan (addiction) terhadap penderita resmi Badan Narkotika Nasional (http://

atau korban. Salah satu bentuk per kem- www.bnn.go.id) , jumlah kasus dan ter- bangan penyalahgunaan narkotika ada lah sangka tindak pidana narkotika hasil lalu lintas perdagangan gelap narkotika.

pengungkapan Polri dan Badan Narkotika Tindak pidana narkotika dalam segala Nasional dalam kurun waktu Tahun 2009-

bentuknya merupakan salah satu keja- 2011 mengalami peningkatan dalam setiap hatan internasional dan membahayakan

tahunnya. 3 Hal ini tentu membawa kepri- umat manusia. Se perti yang dikemukakan oleh Sis wanto.S: 1 H. Siswanto. S, Politik Hukum Dalam Undang-

Undang Narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009) , Cetakan

Saat ini, masyarakat Indonesia bah- Pertama, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hlm, 43 2 http://ayuusaputri. blogspot.com/2011/05/ peny- kan masyarakat dunia pada umum- alahgunaan- narkoba-diIndonesia. html/ diakses tanggal nya sedang dihadapkan pada keadaan

8 Maret 2013

3 http://www.bnn.go.id/ portal/_ uploads/ post/

yang sangat mengkhawatirkan akibat 2012/05/31 /20120531153207-10234.pdf/diakses tang-

gal 8 Maret 2013

266 IUS Kajian Hukum dan Keadilan

I Wayan Wardana | Kebijakan Formulasi Pidana Mati Dalam Tindak Pidana Narkotika Di Indonesia ...........

hatinan terhadap nasib generasi muda, produk peraturan perundang-undangan bangsa dan negara di masa yang akan tentang narkotika, yaitu Undang-undang datang.

Nomor 9 Tahun 1976, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 dan Undang-

Dengan semakin meningkatnya per- undang Nomor 35 Tahun 2009.

kembangan tindak pidana di bidang nar- kotika dan dampak yang ditimbulkan aki-

Dalam Undang-undang Nomor 35 bat penyalahgunaan dan peredaran gelap Tahun 2009 diantaranya diatur tentang narkotika yang sangat berbahaya bagi perbuatan-perbuatan yang dilarang, anca- kehidupan berbangsa dan negara khu sus- man pidana, sanksi administrasi termasuk nya bagi keberlangsungan pertumbuhan Badan Narkotika Nasional. Mengenai pe- dan per kembangan generasi muda, masya- rumusan ancaman pidananya terdapat 4 rakat internasional termasuk bangsa Indo- (empat) jenis pidana pokok, yaitu pidana nesia sebagai bagian masyarakat inter- mati, pidana penjara, denda dan kurungan. nasional menaruh perhatian yang cukup Adanya ancaman pidana dalam tindak besar dalam melakukan pencegahan dan pidana narkotika, terkait dengan ada per- pemberantasan tindak pidana narkotika. buatan yang dilarang dan orang yang me- Besarnya perhatian internasional dalam lakukan perbuatan yang dilarang. Peng- upaya pencegahan dan pemberantasan aturan pidana mati dalam Undang-Undang penyalahgunaan dan peredaran gelap nar-

35 Tahun 2009 tidak terlepas dari tujuan kotika terlihat adanya pertemuan-per- pemidanaan sebagai salah satu usaha pe- temuan internasional maupun konferensi- nanggulangan tindak pidana narkotika konferensi internasional di bidang nar- dengan menggunakan hukum pidana. kotika yang melahirkan konvensi-konvensi Achmad Ali mengemukakan “Pemidanaan

inter nasional. 4 ter masuk didalamnya pidana mati, di mak- sud kan untuk mewujudkan tujuan hu-

Pemerintah Indonesia sebagai salah satu kum, yaitu : kedamaian (peace), ke adilan

peserta dan penandatangan konvensi (justice), kemanfaatan (utility), dan ke-

tunggal narkotika 1961 dan konvensi nar-

5 pastian (certainty)”. 6 kotika 1988. Keikutsertaannya di dalam pengaturan narkotika secara inter nasional

Pidana mati merupakan salah satu telah mengambil kebijakan dalam men- bentuk sanksi yang paling berat dibanding- cegah dan memberantas penyalahgunaan kan dengan jenis pidana lainnya, sehingga dan peredaran gelap narkotika. Kebijakan diancamkan kepada pelaku tindak pidana yang diambil oleh Pemerintah Indonesia yang amat berat saja. Masalah pidana mati yaitu dengan mengeluarkan beberapa ini telah diperdebatkan ratusan tahun

lamanya oleh para sarjana hukum pidana

4 Konvensi internasional pertama yang mengatur tentang narkotika adalah Hague Opium Convention

dan kriminologi. 7

1912 dan selanjutnya berturut-turut adalah The Geneva International Opium Convention 1925, The Genewa

Di Indonesia penjatuhan pidana mati Convention for Limiting the Manufacture and Regulating termasuk pidana mati terhadap pelaku

the Distribution of Narcotic Drugs 1931, The Convention

for the Suppression of the Illicit Traffic in Dangerous tindak pidana narkotika, sampai sekarang

Drugs 1936, Single Convention on Narcotic Drugs 1961 ,

masih memunculkan persoalan yang men-

(Konvensi Tunggal Narkotika 1961), sebagaimana diubah dan ditambah dengan Protokol 1972, Convention

6 Achmad Ali, Menguak Realitas Hukum Rampai on Psycotropic Substance 1971 dan Konvensi Wina 1988,

Kolom & Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum (Buku lihat Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya Alternatif I) , Cetakan Kedua, Kencana Prenada Media Group,

Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika oleh Anak ,

Jakarta, 2010, hlm, 81

Cetakan Pertama, UMM Press, Malang, 2009, hlm, 4 7 Andi Hamzah & Sumangelipu, Pidana Mati di 5 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana

Indonesia Di Masa Lalu, Kini dan Di Masa Depan , dan Kriminologi , Cetakan Pertama, CV Mandar Maju,

Cetakan Pertama, G hlmia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm, Bandung, 1995, hlm, 34

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 267

J UrnAl IUS | Vol II | Nomor 5 | Agustus 2014 | hlm 265~284

dasar tentang perlu tidaknya ancaman kepada beberapa ter pidana mati Deni Setia pidana mati. Eksistensi pidana mati Maharwan, Melika Pranola, Peter Achim sampai saat sekarang masih menjadi suatu Franz Grodmann, dan Schapelle Leigh pembicaraan yang bersifat pro dan konta, Corby karena terbukti terlibat dalam jarin- karena masih banyak di antara para ahli gan internasional peredaran narkoba di

hukum yang mempersoalkannya dengan Indonesia. 11

berpangkal tolak dari pandangan yang

8 Dalam konteks sistem pemidanaan, berbeda. permasalahan penundaan atau tenggang

Terlepas dari pro dan kontra pidana waktu eksekusi pidana mati terhadap ter- mati sebagaimana tersebut di atas, saat ini pidana mati narkotika belum diatur secara masih tersirat adanya suatu pandangan jelas walaupun tidak memiliki upaya bahwa pidana mati hanya mengedepankan hukum lain dan grasinya ditolak. Pelaksa- ide perlindungan kepentingan masyarakat naan pidana mati yang ditunda-tunda se- yang merupakan refleksi pidana sebagai sungguhnya suatu bentuk pe midanaan sarana untuk mencegah kejahatan sedang- pula meskipun tidak dalam artian yuridis, kan di sisi lain perlindungan terhadap hal ini tentu tidak ada kepastian hukum individu (pelaku tindak pidana) kurang dan sangat merugikan terpidana. mendapatkan perhatian. Perhatian yang

Diterbitkannya Undang-undang Nomor lebih terhadap salah satu aspek, baik aspek

35 Tahun 2009 tentang Narkotika, di- perlindungan masyarakat maupun indi-

dalam ketentuan pidananya terdapat be- vidu dalam merumuskan tujuan pemida- berapa pasal yang merumuskan per buatan- naan, tidak sesuai dengan nilai-nilai yang

perbuatan yang dilarang dan diancam hidup dalam masyarakat Indonesia yang

pidana mati, yaitu Pasal 113 ayat (2), Pas- berdasarkan Pancasila yang selalu me-

al 114 ayat (2), Pasal 116 ayat (2), Pasal ngutamakan aspek keseimbangan. 9

118 ayat (2), Pasal 119 ayat (2), Pasal 121

Selain itu lemahnya penegakan hukum ayat (2), dan Pasal 133 ayat (1). Dalam terhadap pelaku tindak pidana narkotika menjatuhkan pidana mati terhadap pelaku di Indonesia belum dapat memenuhi tindak pidana narkotika harus dilakukan

harapan masyarakat pencari keadilan. Be- dengan hati-hati karena hal tersebut me- berapa kasus tindak pidana narkotika yang nyangkut nyawa manusia yang merupakan menjadi perhatian masyarakat, yaitu dian- hak hidup setiap individu. Dengan demiki- ulirnya vonis mati Hanky Gunawan pemi- an maka diharapkan putusan pidana mati lik pabrik narkotika Perkara ber nomor yang dihasilkan lebih proporsional dan 39K/Pid.Sus/2011. Dalam putusan Penin- dapat diterima oleh terpidana maupun jauan Kembali (PK) Mahkamah Agung RI masyarakat. menjadi 15 tahun penjara dengan alasan

Pidana mati dilihat dari tujuan pe-

hukuman mati melanggar konstitusi. 10 Se-

midanaan belum mampu berfungsi sebagai lain itu pemberian grasi oleh Presiden RI

sarana utama mengatur, menertibkan dan

memperbaiki masyarakat. Untuk itu diper-

8 Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum

Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi,

lukan adanya kebijakan hukum pidana

Cetakan Pertama, G hlmia Indonesia, 1990, hlm, 73 9 Kurnia, “Ide Dasar dan Kebijakan Formulasi Pidana

(penal policy) melalui kebijakan formulasi, Mati Bersyarat Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum yaitu bagaimana merumuskan peraturan

Pidana di Indonesia ” (Tesis Magister Ilmu Hukum,

Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum, Universitas perundang-undangan hukum pidana khu-

Diponegoro, Semarang, 2004), hlm, 13 10 http://www.tribunnews.com/2012/10/02/terpi-

11 http://www.antaranews.com/berita/339961/grasi- dana-hengky-gunawan-tak-dihukum -mati-ini-jawaban- presiden- terpidana- mati- narkoba-tunjukkan-inkosis-

ma/diakses tanggal 10 Maret 2013

tensi/diakses 10 Maret 2013

268 IUS Kajian Hukum dan Keadilan

I Wayan Wardana | Kebijakan Formulasi Pidana Mati Dalam Tindak Pidana Narkotika Di Indonesia ........... sus nya pidana mati dan apakah pidana

yaitu seperangkat unsur yang secara ter- mati masih diperlukan dalam undang-

atur saling berkaitan sehingga mem- undang narkotika di masa yang akan

bentuk suatu totalitas, dan juga dapat datang.

diartikan sebagai susunan yang teratur dari pada pandangan, teori, asas dan

Berdasarkan latar belakang tersebut di sebagainya atau diartikan pula sistem atas, tulisan ini hendak mengkaji landasan itu “metode”. 12 Johnson mengatakan,

hukum pedoman penjatuhan pidana mati bahwa sistem merupakan sekelompok

dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun variabel-variabel yang saling ketergan-

2009 tentang Narkotika dan relevansi tungan yang disusun untuk membentuk

pidana mati dalam undang-undang tindak suatu keseluruhan 13 Apabila dikaitkan

pidana narkotika di Indonesia di masa dengan sistem pemidanaan sebagaimana

yang akan datang penelitian ini meng- dikemukakan Barda Nawawi Arief yang gunakan 3 pendekatan secara sekaligus, mendefinisikannya sebagai “sistem pe-

yaitu pendekatan per undang-undangan

negakan hukum pidana atau sistem hu- (statuta approach), Pendekatan konseptual kum pidana”. 14 Hulsman pernah menge- (conseptual approach), untuk mengetahuai

mukakan bahwa sistem pe mi danaan dari pada keberadaan penerapan dari per-

(the sentencing system) adalah “aturan masalahan yang diangkat, Pendekatan per-

perundang-undangan yang ber hubu- bandingan (comparative approach). Untuk

ngan dengan sanksi pidana dan pemi- mengetahui perbedaan-perbedaan dari pola

danaan” (the statutory rules relating to penerapan pidana mati, baik berdasarkan

penal sanctions and punishment ). 15 undang-udangan maupun pen dekatan

historis dari penerapan pidana mati yang Selanjutnya Barda Nawawi Arief ada.

mengemukakan secara singkat, “sistem pemidanaan” dapat diartikan sebagai “sistem pemberian atau penjatuhan

PEMBAHASAN

pidana’. Sistem pemberian/penjatuhan

A. Landasan Hukum Pedoman Penjatuhan pidana (sistem pemidanaan) dapat Pidana Mati Dalam Undang-Undang

dilihat dari dua sudut, yaitu dari sudut Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

fungsional (dari sudut bekerjanya/ber- fungsinya/prosesnya) dan dari sudut

1. Sistem pemidanaan dalam KUHP norma substantif (hanya dilihat dari KUHP yang merupakan hukum pidana

nor ma-norma hukum pidana sub- materiil/substantif dalam konteks penega- 16 stantif).

kan hukum menjadi sub sistem dari hukum pidana lainnya yaitu sub sistem

12 Yrama Widya, Kamus Umum Bahasa Indonesia, ,

Hukum Pidana Formal, dan sub sistem Bandung, 2003, hlm, 565 Hukum Pelaksanaan Pidana. Ketiga sub 13 H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori

Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka

sistem tersebut merupakan satu kesatuan Kembali) , Cetakan Kelima, PT Refika Aditama, sistem pemidanaan, karena tidak mungkin Bandung, 2009, hlm, 88 14

hukum pidana dioperasionalkan/ditegak- Rama Putra, “Ide Keseimbangan Dalam

Pembaharuan Sistem Pemidanaan di Indonesia ”, (Tesis

kan secara konkret hanya dengan salah Magister Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana Ilmu satu sub sistem. Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 2009),

hlm, 30

15 Barda Nawawi Arief, Perkembangan Sistem

a. Pengertian sistem pemidanaan

Pemidanaan Di Indonesia (Buku I) , Cetakan Kedua, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang,

“Sistem” dalam kamus umum ba- 2009, hlm, 1 16

hasa Indonesia mengandung dua arti, Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum

Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan (Buku II) ,

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 269

J UrnAl IUS | Vol II | Nomor 5 | Agustus 2014 | hlm 265~284

b. Perumusan sanksi pidana dalam KUHP. Dalam KUHP juga diatur mengenai ke adaan-keadaan yang dapat me-

Dalam hukum pidana di Indonesia, sistem pemidanaan secara garis besar

ngurangi pidana (Pasal 53 ayat (2), Pasal 57 ayat (1)) dan menambah

mencakup 3 (tiga) permasalahan pokok, pi dana (perbarengan, recidive, dan

yaitu jenis pidana (strafsoort), lamanya ancaman pidana (strafmaat), dan pe-

pegawai negeri).

laksanaan pidana (strafmodus). 17 3) Pelaksanaan pidana (strafmodus)

1) Jenis pidana (Strafsoort). KUHP menganut 2 (dua) sistem pe- rumusan sanksi pidana, yaitu pe-

KUHP telah menetapkan jenis-jenis rumusan tunggal dan alternatif.

pidana yang termaktub dalam Pasal

10, yaitu : Dalam sistem perumusan tunggal ha- kim tidak mempunyai pilihan dalam

1. Pidana pokok berupa : menentukan jenis pidana (straf soort)

a. Pidana mati. yang akan dijatuhkan atau bersi- fat pasti (definite sentence) dan san-

b. Pidana penjara. gat kaku, karena bersifat imperatif.

c. Pidana kurungan. Hal ini berbeda dengan sistem peru-

d. Pidana denda. musan alternatif, hakim diberi ke- bebasan memilih jenis pi dana yang

2. Pidana tambahan berupa : dikehendaki. Sebagai konsekuensi

a. Pencabutan beberapa hak ter- dari masalah tersebut, akan terjadi tentu.

hal yang disebut dengan dis paritas

b. Perampasan barang-barang ter-

pidana.

tentu.

c. Pedoman pemidanaan dalam KUHP

c. Pengumuman putusan hakim.

1. Pengertian pedoman pemidanaan

2) Lamanya (berat ringan) ancaman pi- Berbicara pedoman pemidanaan dana (strafmaat) dalam Hukum Pidana Indonesia tentu

Dalam KUHP menganut sistem tidak bisa dilepaskan dari pengertian pidana maksimum umum dan maksi-

kata “pedoman” itu sendiri. Menurut mum khusus serta minimum umum.

Kamus Bahasa Indonesia, pengertian Ketentuan maksimum pidana penjara

“pedoman” berarti alat untuk me- adalah 15 (lima belas) tahun dan pi-

nunjuk kan, mengetahui arah atau mata dana kurungan maksimum 1 (satu)

angin, bentuknya seperti jam berjarum tahun. Ketentuan minimum pidana

besi berani, buku petunjuk; sesuatu penjara dan pidana kurungan adalah

men jadi dasar pegangan, ukuran dan

1 (satu) hari. Untuk pidana mak- se bagai nya; buku petunjuk yang me- simum khusus dicantumkan dalam

nerangkan cara menjalankan atau me- tiap-tiap rumusan delik, sedangkan

ngerjakan sesuatu; pimpinan atau pe- pidana denda tidak ada ketentuan

ngurus perkumpulan. 18

maksimum umumnya. Pedoman pe mi da naan atau guidance

of sentencing lebih merupakan arah petunjuk bagi hakim untuk menjatuh-

Cetakan Kedua, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hlm, 262-263

kan dan mene rap kan pidana atau

17 Slamet Siswanta, “Pidana Pengawasan Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia , ” (Tesis Magister

Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum, 18 Desy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Universitas Diponegoro, Semarang, 2007), hlm, 41

Cetakan Pertama, Amelia, Surabaya, 2003, hlm, 315

270 IUS Kajian Hukum dan Keadilan

I Wayan Wardana | Kebijakan Formulasi Pidana Mati Dalam Tindak Pidana Narkotika Di Indonesia ........... merupakan pe doman judicial/yudikatif

mem pertimbangkan berat ringan- bagi hakim. 19 nya pidana yang akan dijatuhkan,

Barda Nawawi Arief membedakan ini akan memudahkan dalam me ne- tap kan takaran pemidanaan, 23 akan

pengertian “pola pemidanaan“ dengan mengurangi ketidak samaan, mes-

“pedoman pemidanaan”. Dengan demi- kian dapat dikatakan, bahwa “pola

kipun tidak dapat menghapus kannya sama sekali, 24

pemidanaan ” merupakan pedoman pem buatan/penyusunan pidana”; se-

2) Sistem Pemidanaan dalam Undang- dang kan “pedoman pemidanaan” me-

undang Nomor 35 Tahun 2009 rupa kan “pedoman penjatuhan/penera-

tentang Narkotika pan pidana ”. Dapat pula dinyatakan, Dengan adanya undang-undang

bahwa “pola pemidanaan” merupakan hukum pidana substantif diluar KUHP “pe do man legislatif” bagi pembuat und-

seperti Undang-undang Nomor 35 Ta- ang-undang, dan “pedoman pemidana-

hun 2009 tentang Narkotika maka an ” me rupakan “pedoman yudisial/

sistem pemidanaan substantif meng- yudi katif” bagi hakim. 20 alami perkembangan pula sebagai pe-

1) Pentingnya pedoman pemidanaan leng kap dari hukum pidana yang di- Menurut Sudarto, KUHP (WvS) kodifikasikan. Hal ini dimungkinkan yang diberlakukan sekarang ini tidak

berdasarkan KUHP Pasal 103. memuat pedoman pemberian pi-

Pada prinsipnya setiap perumusan dana (Straftoemetingsleiddraad) yang

ketentuan tindak pidana dan sanksi umum ialah suatu pedoman yang

pidana dalam perundang-undangan di dibuat oleh pembentuk undang-un-

luar KUHP harus tetap berada dalam

d ang yang memuat asas-asas yang sistem hukum pidana materiil yang perlu diperhatikan oleh hakim dalam

berlaku saat ini, terutama keseluruhan menjatuhkan pidana, yang ada hanya

sistem aturan umum yang tercantum aturan pemberian pidana (Straf-

dalam Buku I KUHP. Tujuannya adalah

toemetingsregels). 21 Dengan ke ti adaan

agar tercipta harmonisasi dan kesatuan pedoman pemidanaan dalam KUHP, sistem pemidaan substantif. 25

Barda Nawawi Arief mengemukakan,

d. Tinjauan Undang-undang Nomor 35 bahwa secara umum keseluruhan

Tahun 2009 tentang Narkotika aturan hukum pidana yang terdapat di

dalam KUHP dan UU lainnya di luar

1) Tinjauan sistematika KUHP, pada haki katnya merupakan

Secara garis besar materi yang di- pedoman untuk menjatuhkan pi-

atur dalam Undang-undang Nomor 35 dana”. 22 Tahun 2009 tentang Narkotika yang

Pedoman pemidanaan sangat di per- diberlakukan pada tanggal 12 Oktober lukan dan membantu hakim dalam

2009 dan dimuat dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2009

19 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan

Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep

Nomor 143, Tambahan Lembaran

KUHP Baru) (Buku III), Cetakan Ketiga, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2011, hlm, 167-168

20 Barda Nawawi Arief, Buku III, Op, Cit, hlm, 151 23 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana 21 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana (Buku I),

Perspektif, Teoritis. Dan Praktik , Cetakan Kedua, Alumni, Bandung, 1986, hlm, 76

Alumni, Bandung, 2012, hlm, 309 22 Dwi Haryadi, “Kebijakan Formulasi Hukum

24 Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Pidana Terhadap Penanggulangan Cyberporn Dalam Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm, 56

Rangka Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia ”, 25 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Tesis Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro,

Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm, 213 Semarang, 2007), hlm, 47

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 271

J UrnAl IUS | Vol II | Nomor 5 | Agustus 2014 | hlm 265~284

Negara Republik Indonesia Tahun 2009 dang Nomor 35 Tahun 2009 ten- Nomor 5062 terdiri dari 17 Bab dan 155

tang Narkotika, yaitu Pasal 111, pasal, dengan sistematika sebagai be-

112, 117, 122, 113 ayat (1) 118 rikut:

ayat (1), 123, 114 ayat (1), 119 ayat (1), 124, 115, 120, 125,

a. Bab I : Ketentuan Umum (Pasal l 1) 116 ayat (1), 121 ayat (1), 126,

b. Bab II : Dasar, Asas, dan Tujuan 127, 128, 129, 131, 132, 133 (Pasal 2-4)

ayat (2), 134, 135, 137 ayat (1),

c. Bab III : Ruang Lingkup (Pasal 5-8) (2), 138, 139, 140, 142, 143, 144, dan Pasal 147).

d. Bab IV : Pengadaan (Pasal 9-14)

b. Perbuatan-perbuatan yang dian-

e. Bab V : Impor dan Ekspor (Pasal

cam pidana mati

15-34) Pengaturan perbuatan-perbuatan

f. Bab VI : Peredaran (Pasal 35-44) yang diancam pidana mati, yaitu

g. Bab VII : Label dan Publikasi (Pasal Pasal 113 ayat (2), 114 ayat (2), 45-47)

116 ayat (2), 118 ayat (2), 119

h. Bab VIII : Prekursor Narkotika ayat (2) 121 ayat (2) dan Pasal 133 (Pasal 48-52)

ayat (1).

c. Perumusan sanksi pidana dalam si (Pasal 53-59)

i. Bab IX : Pengobatan dan Rehabilita-

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009.

j. Bab XI : Pembinaan dan Penga-

1) Jenis pidana (strafsoort) wasan (Pasal 60-63)

Sejalan dengan ketentuan k. Bab XII : Penyidikan, Penuntutan, Pasal 10 KUHP, maka jenis-jenis dan Pemeriksaan di Sisang Peng- pidana (strafsoort) dalam Undang- adilan (Pasal 73-103) undang Nomor 35 Tahun 2009

l. Bab XIII : Peran Serta Masyarakat tentang Narkotika terdiri dari (Pasal 104-108)

pidana pokok dan tambahan, m. Bab XIV : Penghargaan (Pasal 109-

yaitu :

a. Pidana pokok yang terdiri dari 4 (empat) jenis, yaitu :

n. Bab XV : Ketentuan Pidana (Pasal 111-148)

a) Pidana mati.

b) Pidana penjara. o. Bab XVI : Ketentuan Peralihan

(Pasal 149-151)

c) Pidana kurungan.

d) Pidana denda. p. Bab XVII : Ketentuan Penutup (Pas-

al 152-155).

b. Pidana tambahan terdiri dari :

2) Tinjauan perbuatan-perbuatan yang

1) Pencabutan izin usaha/pen- di ancam pidana

cabutan hak tertentu.

2) Tindakan pengusiran bagi war-

a. Perbuatan-perbuatan yang dian-

ga negara asing. cam selain pidana mati

2) Lamanya (berat ringan) ancaman Pengaturan perbuatan-perbuatan

pidana (strafmaat) yang diancam selain pidana mati

yang terdapat dalam Undang-un-

272 IUS Kajian Hukum dan Keadilan

I Wayan Wardana | Kebijakan Formulasi Pidana Mati Dalam Tindak Pidana Narkotika Di Indonesia ...........

Sistem perumusan lamanya cara umum sedangkan praktik (berat ringan) ancaman pidana

per adilan menterapkan undang- (strafmaat) dalam Undang- un-

undang secara kasuistis. Dari as- dang Nomor 35 Tahun 2009 me-

pek demikian adanya pem batasan nganut sistem determinate sen-

limit pidana minimum khu sus se- tence , yaitu menentukan batas

cara teoritis membatasi ke bebasan mini mum dan maksimum lama-

hakim menjatuhkan pidana guna

memberikan ke adilan secara kasu- mor 35 Tahun 2009 menganut

nya pidana. 26 Undang-undang No-

istik.

sistem pidana maksimum khusus Berdasarkan pengaturan sanksi pidana

dan minimum khusus. Jumlah/la- yang terdapat dalam Undang-undang No-

manya pidana bervariasi, untuk mor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,

pidana denda berkisar antara Rp. kebijakan sanksi pidana dan pemidanaan 1.000.000 (Satu juta rupiah) sam-

antara lain :

pai dengan Rp 20.000.000.000 (Dua puluh miliar rupiah) dan

1. Jenis sanksi dapat berupa pidana pokok pidana penjara berkisar antara 3

(denda, kurungan, penjara dalam waktu (tiga) bulan sampai 20 (dua pu-

tertentu/seumur hidup, dan pidana luh) tahun dan seumur hidup.

mati), pidana tambahan (pencabutan Dalam Undang-undang Nomor 35

ijin usaha/pencabutan hak tertentu), Tahun 2009 juga diatur mengenai

dan tindakan pengusiran (bagi warga keadaan-keadaan yang dapat negara asing); menam bah pidana, yaitu terdapat

2. Jumlah/lamanya pidana bervariasi, un- dalam Pasal 132 dan Pasal 144.

tuk denda berkisar antara 1 (satu) juta

3) Pelaksanaan pidana (strafmo- sampai 20 (duapuluh) miliar dan pidana dus)

penjara berkisar antara 3 (tiga) bulan Sehubungan dengan dianut-

sampai 20 (duapuluh) tahun dan se- nya determinate sintence da lam un-

umur hidup;

dang-undang ini, hakim dalam me-

3. Sanksi pidana pada umumnya diancam- mutus suatu perkara harus lah kan secara kumulatif terutama penjara

berpatokan pada batas yang telah

dan denda;

ditentukan, yaitu an tara batas

4. Untuk pidana tertentu ada yang di- mak simum dan mini mum. Pada ancam dengan pidana minimum khu- dasarnya sistem deter minate sen- sus, penjara maupun denda; tence ditinjau dari segi teoretis

dan praktik juga memiliki ke-

5. Ada pemberatan pidana terhadap tindak lemahan. Undang-undang nar koti-

pidana yang didahului pemufakatan ka sebagai kebijakan formula tif

jahat, dilakukan secara organisasi, di la- mamandang apa yang diformu-

ku kan oleh korporasi, dilakukan dengan lasikan dalam undang-undang se -

menggunakan anak belum cukup umur, dan apabila ada pengulangan (reci-

26 Tendik Wicaksono, “Penjatuhan Pidana

dive). 27

Oleh Hakim di Bawah Batas Minimal Khusus Dari Ketentuan Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika (Studi Kasus : Putusan No. 2597/PID.B/2009/PN. TNG, Putusan No. 297/PID.B/2010PN.TNG, dan Putusan No. 904/PID/B/2010/PN.TNG Pada Pengadilan Negeri Tangerang ”, (Tesis Magister Fakultas Hukum Program

27 http://repository.unsur.ac.id/ unggah.php? Pascasarjana Kekhususan Hukum dan Sistem Peradilan file=berkas/ Jurnal Tesis Pak Marudut Manalu.pdf/

Pidana, Universitas Indonesia, 2011), hlm, 101 diakses tanggal 30 Agustus 2013

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 273

J UrnAl IUS | Vol II | Nomor 5 | Agustus 2014 | hlm 265~284

5) Ketentuan perundang-undangan khusus. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009

B. Pedoman penerapan pidana mati dalam

b. Pertimbangan yang bersifat non tentang Narkotika

yuridis.

Berkaitan dengan penjatuhan pidana Pertimbangan yang bersifat non mati terhadap pelaku tindak pidana nar-

yuridis juga di dasarkan pada faktor- kotika bahwa dalam Undang-undang No-

faktor yang terungkap di dalam per- mor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

sidangan, antara lain :

tidak mengatur secara limitatif pedoman 1) Akibat perbuatan terdakwa. pemidanaan. Tidak diaturnya ketentuan

2) Kondisi diri terdakwa. pedoman pemidanaan dalam Undang-un-

3) Peranan kedudukan terdakwa. dang Nomor 35 Tahun 2009. Barda Na-

wawi Arief mengemukakan secara umum

4) Hal-hal yang memberatkan dan me- keseluruhan aturan hukum pidana yang

ringankan.

terdapat di dalam KUHP dan undang-un- Pertimbangan ini dimuat dalam dang lainnya di luar KUHP, pada hakikat-

Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP, nya merupakan pedoman untuk menjatuh-

yang menyebutkan “Putusan pemidana- kan pidana. 28 an memuat keadaan yang memberatkan

dan meringankan terdakwa ”. 29 Pada dasarnya dalam menjatuhkan

putusan, termasuk putusan terhadap pe- Secara yuridis pertimbangan hakim laku tindak pidana narkotika yang di-

dalam menjatuhkan pidana mati, yaitu ancam pidana mati, hakim dapat meng-

dengan mencocokkan perbuatan ter- gunakan beberapa hal yang menjadi dasar

dakwa dengan rumusan pasal apakah pertimbangan. Adapun dasar pertim-

telah memenuhi unsur-unsur pasal yang bangannya adalah sebagai berikut :

telah didakwakan, sebagaimana diurai- kan di bawah ini :

1. Pertimbangan yang bersifat yuridis

a. Pertimbangan yang bersifat yuridis. Dalam persidangan pasal-pasal dalam undang-undang narkotika itu

Pertimbangan yang bersifat yuridis selalu dihubungkan dengan perbuatan adalah pertimbangan hakim didasarkan

terdakwa. Penuntut umum dan hakim pada faktor-faktor yang terungkap di

berusaha untuk membuktikan dan dalam persidangan dan oleh undang-

memeriksa melalui alat bukti tentang undang telah ditetapkan sebagai hal

apakah perbuatan terdakwa telah atau yang harus dimuat di dalam putusan.

tidak memenuhi unsur yang dirumus- Pertimbangan yang bersifat yuridis, kan dalam pasal-pasal undang-un-

diantaranya : dang narkotika tersebut. Apabila

1) Surat dakwaan dan surat tuntutan/ ternyata perbuatan terdakwa meme - tuntutan pidana jaksa penuntut

nuhi unsur-unsur dari setiap pasal umum (Pasal 143 ayat (1) dan (2)

yang dilanggar, berarti terbuktilah KUHAP).

menurut hukum kesalahan terdakwa

2) Alat bukti yang sah (Pasal 184 melakukan perbuatan seperti dalam KUHAP).

pasal yang di dakwakan kepadanya.

3) Barang bukti. Pasal-pasal yang didakwakan oleh penuntut umum sebagaimana di-

4) Pasal-pasal dalam undang-undang tuang kan di dalam tuntutan pidana-

narkotika. nya, menjadi dasar pertimbangan ha-

28 Dwi Haryadi, Op, Cit, hlm, 47 29 Tendik Wicaksono, Op, Cit, hlm, 103-106

274 IUS Kajian Hukum dan Keadilan

I Wayan Wardana | Kebijakan Formulasi Pidana Mati Dalam Tindak Pidana Narkotika Di Indonesia ........... kim dalam menjatuhkan putusan.

Berkaitan dengan eksekusi pidana mati

Berdasarkan Pasal 197 huruf f KU- telah dikeluarkan pula Peraturan Kapolri HAP, yaitu salah satu yang harus Nomor 12 Tahun 2010 (Berita Negara RI dimuat dalam surat putusan pe- Tahun 2010 Nomor 242) tentang Tata midanaan adalah pasal perundang- Cara Pelaksanaan Pidana Mati sekaligus undangan yang menjadi dasar pe- menggantikan Surat Keputusan Kakorbri- midanaan, sedangkan berdasarkan mob Polri Nomor Pol. : Skep/122/VIII/ Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang 2007, tentang Buku Pedoman Pelaksanaan Nomor 48 Tahun 2009, disebutkan Eksekusi Terhadap Terpidana Mati bahwa “Putusan Pengadilan selain ha- rus memuat alasan dan dasar putusan

C. Formulasi Pidana Mati Dalam Undang- juga memuat pasal tertentu dari pe-

Undang Tindak Pidana Narkotika di rundang-undangan yang ber sang-

Indonesia di Masa Yang Akan Datang kutan atau sumber hukum tak tertulis

Masalah pidana merupakan masalah yang dijadikan dasar untuk meng-

yang sangat sensitif, mengingat masalah tersebut sangat erat bersinggungan dengan

adili. 30

b. Pedoman eksekusi pidana mati harkat martabat manusia. Lebih-lebih pada masa sekarang ini di mana tuntutan akan

Pada awalnya pedoman eksekusi pengakuan dan penghormatan terhadap

pidana mati terhadap pelaku tindak hak asasi manusia sangat menonjol sebagai

pidana di Indonesia termasuk tindak akibat munculnya arus demokratisasi dan pidana narkotika masih mengacu pada

globalisasi. Masalah pidana menjadi se- Pasal 11 KUHP yang berbunyi :

makin urgen dibicarakan dan orang mulai Hukuman mati dijalankan oleh algojo melihat pidana sebagai primadona dalam ditempat penggantungan, dengan pembicaraan. 31 me ng gunakan sebuah jerat dileher

1. Pidana mati ditinjau dari beberapa ter hukum dan mengikatkan jerat

aspek

itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang

a. Pidana mati dalam perspektif agama berdiri.

Pidana mati tidak bertentangan dengan agama baik Islam, Kristen, Bud-

Dari sisi tata cara pelaksanaannya

ha dan Hindu. Dasar eksistensi pidana Pasal 11 KUHP tersebut sudah tidak

mati yang terdapat pada masing-masing sesuai lagi dengan perkembangan ke-

agama, yaitu:

majuan keadaan serta jiwa revolusi Indonesia, dan sebagai solusinya adalah

1) Agama Islam : Q.S Al-Baqarah, ayat dengan dikeluarkannya Undang-undang

Nomor 2/Pnps/1964, yaitu Penpres No-

2) Agama Kristen : Kitab Suci Injil Perjan- mor 2 Tahun 1964 (Lembaran Negara

jian Lama, yaitu Surat Mathius 5:38, 1964 Nomor 38) yang ditetapkan

dan menurut bilangan 35 :31. berdasarkan Undang-undang Nomor 5

3) Agama Budha : Samyutta Nikaya I : Ta hun 1969 tentang Tatacara Pelaksa-

227 dan Kitab Suci Dhammapada Bab I naan Hukuman Mati yang dijatuhkan

ayat 17.

oleh Pengadilan di Lingkungan Peng- adilan Umum dan Militer.

31 Tongat, Pidana Seumur Hidup Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia, Cetakan Pertama,

30 Ibid, 195 Universitas Muhammadiyah Malang, 2004, hlm, 6

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 275

J UrnAl IUS | Vol II | Nomor 5 | Agustus 2014 | hlm 265~284

4) Agama Hindu : Wisnu Smrti, hukum Indonesia Dalam Perspektif Hak Asasi kuno dalam agama Hindu.

Manusia Berdasarkan UUD 1945”. Dari

b. Pidana mati dalam perspektif Pancasila hasil penelitiannya disimpulkan bahwa : Bambang Poernomo, mengemuka-

Penjatuhan pidana mati terhadap kan pandangannya tentang pidana mati

pelaku tindak pidana narkotika dan dapat dipertanggungjawabkan dalam

psikotropika tidak melanggar hak asasi negara Pancasila, yang diujudkan se-

manusia karena tidak bertentangan bagai perlindungan individu sekaligus

dengan ketentuan Pasal 28A, Pasal 28I juga melindungi masyarakat demi ter-

ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD cipta nya keadilan dan kebenaran dalam

1945 dan tidak melanggar kewajiban hukum berdasarkan Ketuhanan Yang

hukum internasional Indonesia yang Maha Esa. 32 lahir dari perjanjian internasional ten-

tang pemberantasan peredaran gelap Pidana mati dalam perspektif

narkotika dan psikotropika sehingga Pancasila pada hakikatnya dari kelima penegakan hukumnya perlu ditingkat- silanya membenarkan adanya pidana

kan. 33

mati. Pidana mati untuk Negara Indonesia masih dibutuhkan terhadap

2. Pidana mati dalam KUHP dan RUU pelaku kejahatan berat, pembunuhan

KUHP Tahun 2012

berencana yang dilakukan secara sadis,

a. Pidana mati dalam KUHP termasuk pelaku genosaida dan crime

KUHP sebagai salah satu hukum againt humanity, pengedar narkotika,

pidana materiil/substantif yang merupa- koruptor kelas kakap dan teroris. Hanya

kan bagian dari sistem pemidanaan di saja, memang teknis pelaksanaan ekse-

Indonesia masih mencantumkan pidana kusi pidana mati itu yang perlu direvisi,

mati sebagai sanksi pidana yang ter- sehingga mengurangi rasa sakit ter-

berat. Pidana mati dalam KUHP pidana, misalnya dengan meng guna kan

dimasukkan sebagai pidana pokok. suntikan yang tidak menyakit kan. Dilihat dari kualifikasinya, tindak

2. Pidana mati dalam perspektif Hak Asasi pidana yang diancam dengan pidana

Manusia mati adalah tindak pidana yang dikua- Berdasarkan Putusan Mahkamah

lifikasikan sebagai kejahatan berat. Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007, Penempatan kelompok tindak pidana

yang menyatakan pidana mati tidak yang diancam pidana mati dalam Buku bertentangan dengan UUD 1945 dan

II KUHP ini dapat dipahami oleh juga tidak melanggar kewajiban hukum

karena tindak pidana menurut sistem internasional Indonesia yang lahir dari

KUHP dibedakan secara “kualitatif” perjanjian internasional.

atas kejahatan dan pelanggaran. Keja- hatan yang secara umum “dianggap”

Putusan Mahkamah Konstitusi ter- sebut di atas ditegaskan lagi berdasar-

lebih berat diatur dalam Buku II dam pelanggaran diatur dalam Buku III.

kan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suprapto pada tahun 2010 dalam

Terdapat 9 tindak pidana yang disertasinya yang berjudul “Penjatuhan

diancam dengan pidana mati, yaitu Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika di 33 http://cisral.unpad.ac.id/ unpad-content/ uploads/

2011/01/ penjatuhan- pidana-mati-terhadap-pelaku- tin- 32 Hans C. Tangkau, Pidana Mati Dalam Pergolakan

dak- pidana-narkotika-dan- psikotropika-di- Indone- Pemikiran , Karya Tulis Ilmiah, Universitas Sam sia- dalam -perspektif-hak-asasi-manusia-berdasarkan- Ratulangi, Manado, 2011, hlm, 7

uud-1945.pdf/diakses tanggal 15 Oktober 2013

276 IUS Kajian Hukum dan Keadilan

I Wayan Wardana | Kebijakan Formulasi Pidana Mati Dalam Tindak Pidana Narkotika Di Indonesia ........... Pasal 104, 111 ayat (1), 124 ayat (3),

dakan/digunakannya hukum pidana 140 ayat (3), 340), 365 ayat (4), 444,

(sebagai salah satu sarana “kebijakan 479k ayat (2) dan Pasal 479o ayat (2).

kri minal ” dan “kebijakan sosial”), pidana mati pada hakikatnya me mang

Ancaman pidana mati yang ter- bukanlah sarana utama (sa rana pokok)

dapat dalam KUHP dirumuskan secara alternatif, artinya hakim dalam men-

untuk mengatur, me nertib kan dan memperbaiki masya rakat. Pidana mati

jatuhkan pidana kepada terdakwa di- hanya merupakan sarana perkecual-

mungkinkan untuk memilih pidana yang diancamkan dalam rumusan pasal-

ian. 36

pasal di atas, yaitu pidana mati, atau Dalam RUU KUHP Tahun 2012 seumur hidup, atau pidana penjara se-

semua jenis tindak pidana terdapat lama-lamanya dua puluh tahun.

dalam Buku II tentang Tindak Pidana

b. Pidana mati dalam RUU KUHP (Pasal 212-Pasal 766). Tindak pidana Tahun 2012

dalam RUU KUHP Tahun 2012 tidak lagi mengenal pembagian kejahatan dan

Pidana mati dalam ketentuan pelanggaran sebagai suatu “kualifikasi

umum RUU KUHP Tahun 2012 masih delik” tetapi diklasifikasikan atas bobot

tetap dipertahankan akan tetapi tidak delik “sangat ringan”, “berat”, dan

dimasukkan dalam deretan “pidana po-

sangat “berat/serius”.

kok ”, dan ditempatkan tersendiri seb- agai jenis pidana yang bersifat khusus

Dalam RUU KUHP Tahun 2012 dan eksepsional. Jenis pidana mati

terdapat 27 jenis tindak pidana yang di- dalam RUU KUHP Tahun 2012 diatur

ancam pidana mati yang tersebar dalam dalam Bab III Pemidanaan, Pidana dan

beberapa bab yang terdapat dalam Pasal Tindakan Bagian Kedua Pidana Paragraf

215, 220, 228 ayat (2), 242, 244, 247,

1 Jenis Pidana, Pasal 66 yang berbunyi : 249, 250 ayat (2), 251, 262 ayat (2), Pidana mati merupakan pidana pokok

269 ayat (2), 275, 394, 395, 396, 397, yang bersifat khusus dan selalu dian-

398, 399, 400 ayat (3), 506 ayat (2), camkan secara alternatif.

507 ayat (2), 509 ayat (2), 511 ayat (2), 512 ayat (2), 514 ayat (2), 523 dan

Dipertahankannya pidana mati

Pasal 581.

dalam RUU KUHP Tahun 2012, dilihat dari pokok pemikiran yang lebih Ancaman pidana mati yang ter- menitik beratkan perlindungan kepenti-

dapat dalam RUU KUHP Tahun 2012

dirumuskan secara bervariasi. yaitu se- pemikiran di atas, dipertahankannya

ngan masyarakat. 34 Di samping pokok

cara alternatif dan kumulatif alter natif. pidana mati juga di dasarkan pada ide

Untuk tindak pidana penyalah gunaan “menghindari tuntutan/reaksi masya-

narkotika dirumuskan secara kumulatif rakat yang bersifat balas dendam/emo -

alternatif, artinya hakim dapat memilih sional/sewenang-wenang/tidak terken-

salah satu jenis pidana yang diancam- dali atau bersifat “extralegal execution”. 35 kan kepada terdakwa, yaitu pidana

mati atau pidana penjara seumur hidup Di samping itu pertimbangan uta-

atau pidana penjara paling singkat 5 ma digesernya kedudukan pidana mati

(lima) tahun dan paling lama 20 (dua di dalam RUU KUHP Tahun 2012 di- puluh) tahun dan dapat juga menjatuh- dasarkan pada pemikiran, bahwa di lihat

kan pidana secara ku mulatif (penjara dari tujuan pemidanaan dan tujuan dia-

dan denda).

34 Barda Nawawi Arief, Buku III, Op, Cit, hlm, 94 35 Barda Nawawi Arief, Buku II, Op, Cit, hlm, 289,

36 Barda Nawawi Arief, Buku III, Op, Cit, hlm, 94,

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 277

J UrnAl IUS | Vol II | Nomor 5 | Agustus 2014 | hlm 265~284

3. Pidana mati dalam perspeltif Inter nasi- negara kelompok abolisionist yang me- onal

ng hapuskan hukum maupun praktik nya

a. Eksistensi pidana mati dalam per- adalah 139 negara (70, 56%), sedang- spektif global

kan kelompok negara-negara yang tetap mempertahankan pidana mati (reten-

Berdasarkan data mutakhir Am- sionist) berjumlah 58 negara (29, 44%).

nesty International , pada tanggal 23

b. Penundaan dan alternatif pidana mati Maret 2010, bahwa lebih dari dua per

tiga dari negara-negara di dunia, kini Di negara-negara yang menganut telah menghapuskan pidana mati dalam

pidana mati, tampak adanya per ke- hukumnya maupun praktiknya yang

mbangan atau gerakan untuk mem per- dapat dilihat dalam tabel berikut : 37 lunak pelaksanaan/eksekusi pidana mati. Pertama, dengan melakukan “pe-

Tabel 1 nun da an pidana mati ” (“suspended

Jumlah Negara-Negara Kelompok death penalty”), “suspended execution” , Abolisionis dan Retensionis

atau “mor a tor ium”). Kedua, mencari me na war kan “alternatif pidana mati”

(alternative to death penalty) . 38 No. Kelompok

Di negara-negara bagian Amerika,

1 Abolitionist for

penundaan pidana mati atau mora- all crimes

torium dimaksudkan sebagai penunda-

an/penghentian sementara waktu pen- ordinary crimes

2. Abolitionist for

jatuhan pidana mati sambil menunggu only

kajian yang lebih mendalam dan tuntas mengenai pembaharuan sistem pidana

3. Abolisionist in

mati yang ada. Penundaan pidana mati practice

ini ada yang berdasarkan putusan

4. Retensionist

Mahkamah Agung, ada yang dengan Jumlah

“executive order” dari gubernur, dan ada Dari tabel di atas, dapat dilihat

yang melalui badan legislatif. 39 bahwa kelompok Abolitionist for all

Secara keseluruhan negara-negara crimes, yaitu kelompok negara-negara bagian di Amerika Serikat menunda yang menghapuskan pidana mati untuk pidana mati sejak tahun 1972 dan me- semua tindak pidana berjumlah 95 ngundangkan kembali antara 1-23 ta- negara. Abolitionist for ordinary crimes hun. Dari beberapa negara bagian terse- only adalah kelompok negara-negara but terdapat 7 negara bagian yang tidak yang menghapuskan pidana mati hanya menjatuhkan pidana mati sejak di- pada tindak pidana biasa, berjumlah 9 undangkannya kembali. negara. Sedangkan Abolisionist in pra-

ctice yang merupakan kelompok negara- Salah satu tindak pidana yang men- negara yang menghapuskan pidana mati

jadi ancaman negara-negara di dunia dalam praktiknya berjumlah 35 negara.

adalah tindak pidana narkotika. Se luruh Dengan demikian maka jumlah negara-

bangsa di dunia, di bawah koor dinasi

38 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum 37 Hj, Rodliyah, Pembaharuan Hukum Pidana Pidana (Buku IV) , Cetakan Kedua, PT Citra Aditya Tentang Eksekusi Pidana Mati Perempuan Hamil Bakti, Bandung, 2010, hlm, 284 (Pokok-Pokok Pikiran Revisi Undang-Undang Nomor 2/

39 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pnps/1964) (Buku I) , CV Arti Bumi Intaran, Yogyakarta,

Pidana (Buku V) , Cetakan Ketiga, PT Citra Aditya 2011, hlm, 108

Bakti, Bandung, 2013, hlm, 228-230

278 IUS Kajian Hukum dan Keadilan

I Wayan Wardana | Kebijakan Formulasi Pidana Mati Dalam Tindak Pidana Narkotika Di Indonesia ........... UNDCP, yaitu organisasi yang menan-

penyalahgunaan narkotika tidak hanya gani tindak pidana nar kotika dan

mengancam kelangsungan hidup dan psikotropika (narkoba) inter nasional,

masa depan penyalahgunanya saja, na- mengajak seluruh bangsa di belahan du-

mun juga masa depan bangsa dan nia manapun untuk me nyata kan perang

negara, tanpa membedakan strata sosial, terhadap narkoba sejak tahun 1992. Se-

ekonomi, usia maupun tingkat pendi- jak itu berbagai ke bijakan dan strategi

dikan. Soedjono Dirdjosisworo, menya- penanggulangan ancaman bahaya nar-

ta kan bahwa bahaya dan akibat nar- kotika dan psiko tropika dilakukan ter-

kotika jika disalahgunakan dapat masuk pem berl akuan pidana yang berat

ber sifat:

1. Bahaya pribadi bagi si pemakai, yai- keras memberlakukan pidana mati itu,

bagi pe laku nya. Beberapa negara yang

tu dapat menimbulkan pengaruh dan antara lain Republik Rakyat China

efek-efek terhadap tubuh si pemakai (RRC), Malaysia, Singapura, Thailand,

dengan gejala, yaitu euph oris, dellir- dan Jepang. 40 ium, halusinasi , weakness, drowsi-

4. Pidana mati bagi tindak pidana nar-

ness , dan koma.

kotika

2. Bahaya sosial (kemasyarakatan), yai-

a. Tindak pidana narkotika sebagai ke- tu bahaya penyalahgunaan nar kotika jahatan luar biasa (extra ordinary

terhadap masyarakat. Sebagai mana crime )

diketahui bahwa orang-orang yang kecanduan narkotika disaat ketagi-

Tindak pidana narkotika (the drug han mengalami penderitaan yang he- trafficking industry ), merupakan bagian bat yang harus dipenuhi dengan cara

dari kelompok kegiatan organisasi-orga- bagaimanapun saja. Bagi orang yang

nisasi kejahatan transnasional (Acti vi- ber penghasilan rendah maka korban ties of Transnational Criminal Organi- narkotika itu akan terpaksa melaku-

zations ) di samping jenis kejahatan kan pencurian, penjambretan dan

lainnya, yaitu, smuggling of illegal mig- berbagai tindak kriminal lainnya,

rants , arms trafficking, trafficking in sehingga dalam hal ini akan meng-

nuclear material , transnational criminal ganggu ketentraman masyarakat.

organizations and terrorism, trafficking in body parts , theft and smuggling of

Di samping itu, pembuatan, penyi- vehicles , money laundering. 41 m pa nan, pengedaran dan peng guna an

narkotika tanpa pembatasan dan peng- Maraknya tindak pidana narkotika awasan yang saksama dan ber ten tangan telah menimbulkan kekhawatiran masy-

peraturan yang berlaku merupakan ke-

a rakat dunia, karena disadari bahwa jahatan yang sangat me rugikan per-

apa bila tidak tertanggulanginya tindak orangan, masyarakat dan merupa kan pidana tersebut akan mem percepat ke- bahaya besar bagi peri ke hidupan manu-

Dokumen yang terkait

PENERAPAN PRINSIP MUDHARABAH DALAM PERBANKAN SYARIAH MUDHARABAH PRINCIPLE OF BANKING PRODUCTS

0 0 12

PERLINDUNGAN HUKUM HAK-HAK MASYARAKAT DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA MATARAM BERDASARKAN PERDA NOMOR 12 TAHUN 2011 THE LEGAL PROTECTION OF COMMUNITY RIGHTS IN AREA SPATIAL PLANNING OF MATARAM CITY BASE ON THE LOCAL REGULATION NUMBER 12 YEAR 2011

0 0 14

KONSEP NEGARA HUKUM DALAM HUBUNGAN KEKUASAAN FREISS ERMERSSEN DALAM WELFARE STATE CONCEPT OF RULE OF LAW IN RELATED TO FREISS ERMERSSEN AUTHORITY ON WELFARE STATE

0 0 10

KEIDENTIKAN MAKNA KONSTITUSI DENGAN UUD DALAM SISTEM KETATANEGARAAN THE IDENTICAL VALUE BETWEEN CONSTITUTION AND CONSTITUTIONAL LAW IN THE CONSTITUTIONAL SYSTEM

0 0 17

PELAKSANAAN TRANSAKSI E-COMMERCE BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 THE PRACTICE of E-COMMERCE IS REGULATED UNDER LAW NUMBER 11 YEAR 2008

1 1 11

PENYELESAIAN SENGKETA KEPEGAWAIAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 43 TAHUN 1999 DARI ASPEK HUKUM KEPEGAWAIAN DAN SISTEM PERADILAN ADMINISTRASI THE EMPLOYMENT DISPUTE SETTLEMENT ACCORDING TO LAW NUMBER 43 OF 1999 ANALYZED FROM THE EMPLOYMENT AND ADMINISTRA

0 0 18

KAJIAN TERHADAP PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM TATA RUANG KOTA MATARAM STUDYING TO PROTECT AND MANAGE ENVIRONMENT IN MATARAM TOWN

0 3 18

EKSISTENSI KOALISI DALAM SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIIL DI INDONESIA MENURUT UUD 1945 COALITION EXISTENCE IN PRESIDENTIAL SYSTEM IN INDONESIA ACCORDING TO THE CONSTITUTION OF REPUBLIC OF INDONESIA 1945

0 0 11

DISIPLIN PEGAWAI NEGERI SIPIL BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 53 TAHUN 2010 DITINJAU DARI ASPEK HUKUM KEPEGAWAIAN DI INDONESIA CIVIL SERVICE DISCIPLINE BASED ON THE GOVERNMENT REGULATION NUMBER 53 YEAR 2010 VIEWED FROM THE PERSONEL LAW ASPECT IN IN

0 0 13

KEBIJAKAN PROGRAM BANTUAN LANGSUNG SEMENTARA MASYARAKAT DITINJAU DARI KONSEP NEGARA WELFARE STATE POLICY OF TEMPORARY DIRECT AID PROGRAM ANALYZED FROM WELFARE STATE CONCEPT

0 2 19