Kebijakan Pertahanan Jepang Tinjauan Str

KEBIJAKAN PERTAHANAN JEPANG: TINJAUAN STRATEGIS NDPG 2005

Asra Virgianita Nara Masista Rakhmatia

PENDAHULUAN

Perhatian utama Jepang terhadap situasi keamanan kawasan Asia Timur 1 dalam menyusun kebijakan pertahanan merupakan suatu tuntutan karena potensi ancaman semakin

besar jika datang dari negara lain yang memiliki kedekatan geografis. Hal ini dinyatakan oleh Barry Buzan bahwa sebagian besar negara lebih takut pada tetangga mereka dibanding

powers 2 dalam jarak jauh. Jepang termasuk negara yang merasakan hal tersebut, dengan memiliki permasalahan keamanan dengan Korea Utara, Cina, dan Korea Selatan yang tidak

lain adalah negara tetangga di kawasan Asia Timur. Dalam terminologi keamanan, ‘kawasan’ berarti sebuah subsistem hubungan keamanan yang berbeda dan signifikan terjadi antara seperangkat negara yang nasib di antara

mereka terikat oleh kedekatan geografis satu sama lain. 3 Keamanan satu negara bergantung pada keamanan negara lain di kawasan. Kawasan Asia Timur dikenal dengan situasi dan

hubungan keamanan yang dinamis antarnegara di dalamnya yang dipengaruhi oleh keterkaitan sejarah panjang permusuhan yang terjadi hingga kini, terutama dalam politik dan militer. Kondisi seperti ini sesuai dengan konsep subsistem keamanan kawasan menurut Buzan yang dapat dilihat dalam pola amity (persahabatan) dan enmity (permusuhan) di area

geografis tertentu. 4

1 Penulis menggunakan terminologi Asia Timur untuk kawasan yang mencakup Jepang, Cina, Taiwan, Korea Utara dan Korea Selatan.

2 Barry Buzan, “The Post-Cold War Asia-Pacific Security Order: Conflict or Cooperation?”, dalam Andrew Mack and John Ravenhill, (ed.), Pacific Cooperation: Building Economic and Security Regimes in the Asia -

Pacific Region , (Boulder: Westview Press, 1995) hal. 131. 3 Barry Buzan, People, States & Fear, 2nd ed., (New York: Harvester Wheatsheaf, 1991), hal. 188.

4 Terminologi security complex digunakan untuk hasil formasi yang terbentuk dari amity dan enmity . Security complex didefinisikan sebagai kelompok negara yang perhatian keamanan primernya saling terkait secara dekat di mana keamanan

nasional mereka tidak dapat secara nyata dipertimbangkan terpisah satu sama lain. Ibid., hal. 190.

Berdasarkan pola tersebut diatas, Jepang perlu melihat pola hubungan di dalam kawasan secara lebih menyeluruh untuk dapat menghasilkan kebijakan pertahanan negara yang sesuai. Kebijakan pertahanan negara didasarkan pada upaya untuk menghilangkan potensi ketidakamanan yang merupakan kombinasi dari ancaman (bersumber pada bahaya dari luar negara) dan kerawanan (bersumber dari situasi di dalam negara). Intensitas ancaman dipengaruhi oleh faktor identitas yang spesifik, kedekatan jarak dan waktu, kemungkinan terjadi, beban konsekuensi, dan apakah persepsi ancaman ditambah oleh situasi sejarah. Jepang melihat potensi ancaman yang tinggi dari kawasan, sementara di sisi lain Jepang juga memiliki beberapa kerawanan yang signifikan.

Dalam mengantisipasi ancaman dan kerawanan, Buzan menyebut dua pilihan strategi yang dapat dipilih, yaitu strategi keamanan nasional dan strategi keamanan internasional . Strategi keamanan nasional memfokuskan kebijakan pada upaya mengurangi kerawanan dari

negara. 5 Kerawanan dapat dikurangi dengan meningkatkan kemampuan atau kekuatan perlawanan untuk menghadapi ancaman tertentu. Ancaman militer dapat diatasi dengan

memperkuat kekuatan militer, melakukan aliansi, atau mempertangguh negara dari serangan. Aliansi perlu dilakukan jika negara tidak dapat mengatasi ancaman dan kerawanan yang ada

dengan kekuatan sendiri. 6 Dibatasi oleh kerawanan dalam negeri, Jepang melihat aliansi dengan AS merupakan strategi penting yang diperlukan dalam kebijakan pertahanan Jepang. 7

5 Ibid., hal. 331. 6 K.J. Holsti, International Politics: A Framework for Analysis, 5 th ed., (New Jersey: Prentice Hall, 1988), hal.

105. 7 Jaminan keamanan dari AS untuk Jepang didasarkan pada Treaty of Mutual Cooperation and Security yang

ditandatangani Januari 1960. Perjanjian ini menjadi dasar kerjasama pertahanan Jepang-AS selanjutnya. Jaminan keamanan Jepang dari AS kemudian diperkuat melalui kerjasama pertahanan, Bilateral Defense Cooperation , yang dibentuk tahun 1978, dengan ditandatanganinya Defense Cooperation Guidelines. Dalam upaya menghadapi perubahan situasi keamanan di kawasan pasca-Perang Dingin, Jepang pun memperluas kerjasama pertahanan dengan AS pada 17 April 1996 melalui “Japan-U.S. Joint Declaration On Security: Alliance for the 21st Century ”. “Japan-U.S. Joint Declaration On Security: Alliance For The 21st Century”, diakses dari http://www.mofa.go.jp/region/n-america/us/security/security.html, pada tgl. 9 April 2005, pkl.

21.47 WIB.

Strategi keamanan internasional memfokuskan kebijakan pada sumber dan penyebab ancaman, tujuannya tidak untuk menahan kemunculan ancaman, tetapi untuk mengurangi

atau menghilangkan mereka melalui aksi politik. 8 Strategi ini memungkinkan upaya mengatasi masalah keamanan pada level kawasan dan sistem secara menyeluruh, dan

menawarkan kebijakan keamanan dengan dana lebih efisien. Strategi keamanan yang dipilih Jepang, baik nasional atau internasional, akan menentukan kemampuan dalam mengantisipasi ancaman dan kerawanan yang dimiliki sehingga mempengaruhi tingkat keamanan

negaranya. 9 Jepang dalam hal ini harus selalu mengamati situasi keamanan di Asia Timur yang dinamis dan mereview situasi dalam negeri untuk dapat selalu merumuskan kebijakan

pertahanan yang adaptif terhadap perubahan. National Defense Program Guidelines (NDPG) – sebagai landasan kebijakan pertahanan Jepang – tidak hanya mendefinisikan apa dan bagaimana seharusnya kemampuan pertahanan Jepang, tetapi juga menetapkan dengan jelas kebijakan keamanan mendasar

Jepang. 10 NDPG tersebut menegaskan kebijakan keamanan Jepang secara menyeluruh yang berorientasi eksklusif pada pertahanan, tidak menjadi power militer besar yang dapat

menciptakan ancaman ke seluruh dunia dengan membangun kemampuan pertahanan moderat.

PENINGKATAN ANCAMAN KAWASAN: NDPG 2005 SEBAGAI SOLUSI? Isu Nuklir Korea Utara: Ancaman Nyata

Isu nuklir Korea Utara merupakan ancaman bagi Jepang, Asia Timur, dan juga dunia internasional. AS bahkan memasukkan Korea Utara sebagai bagian dari Axis of evil . Jepang

8 Barry Buzan, People, States & Fear, Op. Cit., hal. 334. 9 Ancaman dan kerawanan kerap berubah, sebagai respon atas perkembangan sarana ancaman dan evolusi dalam

negara yang mengubah sifat kerawanan. Raymond Aron menyebutnya dengan ‘hukum perubahan’, yaitu ‘nilai militer, demografi, atau ekonomi dari sebuah wilayah berubah dalam teknik pertempuran dan produksi, dengan

10 hubungan manusia dan institusi’, Dikutip dari Barry Buzan, Ibid., hal. 144. “Overview of Japanese Defense”, diakses dari www.jda.go.jp/e/index_.htm pada tgl. 5 Maret 2006, pkl.21.43 WIB.

merasakan ancaman nyata itu karena Korea Utara telah beberapa kali melancarkan uji coba rudal, yang dapat digunakan untuk membawa hulu ledak nuklir, hingga mencapai wilayah

Jepang. 11 Upaya internasional dan tekanan dari AS untuk mengawasi program nuklir Korea Utara dilakukan. Korea Utara pada Juli 1977 menandatangani kesepakatan dengan Badan

Energi Atom Internasional (IAEA) untuk mengawasi situs penelitian nuklir Yongbyon. 12 Pada 1985 Korea Utara juga menandatangani Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT).

Pasca-Perang Dingin, AS berhasil memaksa Korea Utara menyetujui kesepakatan denuklirisasi dengan Korea Selatan dan menandatangani “ Full Scope Safeguard Agreement ” dengan IAEA pada 30 Januari 1992. IAEA dapat memonitor semua fasilitas nuklir Korea Utara dan melakukan rangkaian enam inspeksi dari Juni 1992 hingga Februari 1993. Korea Utara dan AS pada 21 Oktober 1994 di Jenewa menandatangani Agreed Framework , di mana

Korea Utara akan membekukan program nuklir dan kedua pihak akan bekerjasama mengganti reaktor 13 graphite-moderated dengan fasilitas sumber pembangkit listrik tenaga air (LWR).

AS akan memimpin konsorsium internasional, Korean-peninsula Energy Development Organization (KEDO), guna membangun dua reaktor air pembangkit tenaga listrik dan menyediakan 500.000 ton per tahun sumber energi minyak, heavy fuel oil , (HFO) untuk Korea Utara hingga reaktor pertama siap dioperasikan pada target tahun 2003. Setelah menandatangani Agreed Framework , Korea Utara justru mencari bahan bakar nuklir pengganti plutonium melalui program pengayaan uranium, highly enriched uranium (HEU). Dibandingkan fasilitas produksi plutonium, fasilitas produksi HEU lebih sulit dideteksi, hingga sulit diketahui secara akurat tahap pengembangan program.

11 Pengembangan nuklir Korea Utara dimulai tahun 1959 saat Uni Soviet dan Korea Utara membangun fasilitas penelitian nuklir di Yongbyon, 100 km sebelah utara ibukota Pyongyang, yang dibuka tahun 1962. Reaktor

sebesar dua-kilowatt selesai tahun 1965 dan mulai aktif tahun 1967. Selama Perang Dingin Korea Utara terus mengembangkan fasilitas reaktor nuklir. Liz Harper, “A Continuation of Nuclear Research”, diakses dari http://www.pbs.org/newshour/bb/asia/northkorea/nuclear.html, pada tgl. 26 Maret 2006, pkl. 22.43 WIB.

12 Liz Harper, “Post-War Rebuilding and the Chinese-Soviet Alliance”, diakses dari http://www.pbs.org/newshour/bb/asia/northkorea/time5.html, pada tgl. 26 Maret 2006, pkl. 22.32 WIB.

13 “Nuclear Weapons Program”, diakses dari http://www.fas.org/nuke/guide/dprk/nuke/index.html, pada tgl 26

Maret 2006, pkl. 23.13 WIB.

Pada 6 Oktober 2002 AS mengumumkan bahwa Korea Utara, saat pertemuan dengan Asisten Menteri Luar Negeri James Kelly di Pyongyang, mengaku memiliki program

senjata nuklir. 14 Korea Utara pada 10 Desember 2002 mengaktifkan kembali fasilitas nuklir Yongbyon dan mengusir seluruh pengawas PBB. Menurut Korea Utara, pengaktifan adalah

untuk menghasilkan tenaga listrik akibat kekurangan pasokan bahan bakar, bukan mengembangkan senjata nuklir. Pengakuan itu tidak didukung hasil foto satelit yang menunjukkan reaktor nuklir tidak terkait pada sambungan listrik, seperti jika digunakan untuk pembangkit tenaga listrik. Maka, Jepang melalui pernyataan Menteri Luar Negeri pada 22 Desember 2002 menyatakan kekhawatiran terhadap pemindahan segel yang dilakukan Korea Utara dan penghapusan fungsi perangkat pengawas yang dipasang di reaktor percobaan

5MWe 15 graphite-moderated Yongbyon. Pada April 2003, dialog multilateral dimulai di Beijing, Cina, dengan tujuan

mengakhiri program senjata nuklir Korea Utara. 16 Akhirnya dalam kesempatan itu, pada 24 April 2003, Korea Utara untuk pertama kalinya mengaku memiliki senjata nuklir. 17 Ketua

Delegasi Korea Utara, Kim Jong Il, dalam pertemuan six-party talks di Beijing, Cina, pada Agustus 2003 memperingatkan bahwa negaranya dapat melakukan uji coba senjata nuklir, dan bahkan mampu membuktikan bahwa negaranya mempunyai wahana untuk membawa

senjata nuklir. 18 Pada 2 Oktober, Korea Utara menyatakan telah memproses kembali 8000

14 Liz Harper, “Crisis Reignited”, diakses dari http://www.pbs.org/newshour/bb/asia/northkorea/time9.html, pada tgl. 26 Maret 2006, pkl. 22.49 WIB.

15 “Statement by the Press Secretary/Director-General for Press and Public Relations, Ministry of Foreign

Affairs, on North Korea's Removal of the Protective Seals of the Graphite-Moderated Experiment al Reactor”, diakses dari http://www.mofa.go.jp/announce/announce/2002/12/1222.html, pada tgl. 21 April, pkl. 22.21 WIB.

16 Dengan format awal trilateral, terdiri atas Cina, Korea Utara dan AS, proses tersebut meluas menjadi format enam pihak dengan masuknya Jepang, Rusia, dan Korea Selatan. Dialog ini dinamakan dengan six-party talks.

Six-party talks hingga akhir tahun 2004 sendiri telah diadakan sebanyak 3 kali, yaitu pada 27-29 Agustus 2003, 25-28 Februari 2004, dan 23-26 Juni 2004, yang akan dijelaskan lebih lanjut pada subbab II.1.3. 17

18 “Nuclear Weapons Program”, diakses dari http://www.fas.org/nuke/guide/dprk/nuke/index.html, Loc. Cit.

Poltak Partogi Nainggolan (ed.), “Konflik dan Perkembangan Kawasan Pasca-Perang Dingin”, (Jakarta: Pusat

Pengkajian dan Pelayanan Informasi Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2004), hal 247.

tabung limbah bahan bakar campuran yang dapat menghasilkan empat hingga enam bom nuklir dan mengancam akan mengekspor bahan nuklir. 19

Selain pengembangan nuklir, Korea Utara juga melakukan pengembangan rudal. Yang dimulai pada 1970-an dan menguji coba rudal balistik Scud-B buatan sendiri pada

April 1984. 20 Pengembangan rudal berlanjut hingga pasca-Perang Dingin. Korea Utara memiliki rudal Scud jangkauan pendek yang dapat digunakan untuk mengenai target di

negara tetangga. Korea Utara memproduksi Scud-C berjarak 500km, Scud-D berjarak 800km, dan rudal Nodong berjarak 1300km. Korea Utara mungkin memiliki 100 rudal

Nodong I jarak pendek. 21 Untuk jangkauan lebih jauh, Korea Utara mengembangkan rudal Taepodong 1 yang berjarak tempuh lebih dari 1.500-2.200 km.

Uji coba rudal Nodong yang dilakukan Korea Utara pada Mei 1993 mencapai Laut Jepang. Insiden ini memunculkan kesadaran Jepang terhadap ancaman nyata Korea Utara. Bahkan, pada 31 Agustus 1998, Korea Utara meluncurkan rudal Taepodong 1, hingga melampaui wilayah Jepang dan mendarat di lepas pantai Sanriku. Ketua Sekretaris Kabinet Jepang pada 1 September mengumumkan respon keras terhadap peluncuran rudal dan mengambil tindakan tegas dengan menunda upaya normalisasi hubungan, menghentikan sementara bantuan pangan ke Korea Utara, menunda perkembangan KEDO dan membawa

isu peluncuran rudal itu ke Dewan Keamanan PBB. 22 Di dalam negeri, Jepang meneruskan

19 Korea Utara memang diperkirakan memiliki kemampuan memproduksi hulu ledak nuklir. Fasilitas Yongbyon pada tahun 2003 memiliki 3000 ilmuwan dan peneliti, yang banyak diantaranya mempelajari teknologi nuklir di

Uni Soviet, Cina, dan Pakistan lihat Benjamin Friedman, “Fact Sheet: North Korea’s Nuclear Weapons Program”, 23 Januari 2003, diakses dari http://www.cdi.org/nuclear/nk-fact-sheet.cfm, pada tgl. 26 Maret 2006, pkl. 23.12 WIB. Jika dua fasilitas reaktor baru yang dibangun pada akhir 2002 selesai, fasilitas tersebut akan dapat menghasilkan 55 senjata nuklir setiap tahun. Bersama dengan keseluruhan fasilitas Yongbyon yang berjalan, Korea Utara dapat membuat lebih dari 200 senjata nuklir pada akhir dekade, David Albright, "North Korea's Current and Future Plutonium and Nuclear Weapon Stocks," Institute for Science and International Security, 15 Januari 2003,diakses dari http://www.isis-online.org/publications/dprk/fastfacts.html, pada tgl. 2 Maret 2006, pkl. 13.30 WIB.

20 Diakses dari http://www.nti.org/e_research/profiles/NK/, pada tgl. 19 April 2006, pkl. 21.44 WIB. 21 "North

Security.org, diakses dari http://www.globalsecurity.org/wmd/world/dprk/index.html, pada tgl. tgl. 26 Maret 2006, pkl. 23.32 WIB.

22 “Announcement by the Chief Cabinet Secretary on Japan's immediate response to North Korea's missile

launch”, diakses dari http://www.mofa.go.jp/announce/announce/1998/9/901-2.html, pada tgl. 21 April 2006, pkl. 22.26 WIB.

pembelajaran terhadap sistem pertahanan rudal balistik. Pada September 1999, melalui dialog dengan AS, Korea Utara menyetujui penundaan peluncuran rudal hingga tahun 2003.

Situasi memanas saat Korea Utara pada 10 Januari 2003 mengumumkan menarik diri dari NPT. Menteri Luar Negeri Yoriko Kawaguchi langsung menyatakan penyesalan atas

keputusan Korea Utara dan menyatakan Jepang sangat khawatir terhadap situasi itu. 23 Perdana Menteri Jepang, Junichiro Koizumi, mendesak Pyongyang membatalkan keputusan

menarik diri dari NPT. 24 Akan tetapi, Korea Utara tidak mengubris permintaan tersebut bahkan pengembangan rudal Korea Utara terus dilakukan. Tahun 2003, satelit pengindera AS

mendeteksi pengerjaan sebuah rudal balistik baru yang didasarkan pada model R-27 Uni Soviet. Rudal balistik ini diluncurkan dari bawah permukaan air berbahan cair dengan jarak 2500km. Versi berbasis daratnya memiliki panjang 12 meter dan diameter 1.5 meter dengan jarak 2500- 4000km. Korea Utara sementara itu terus mengembangkan “Taepodong 2” yang diperkirakan memiliki jarak antarbenua.

Ancaman nyata Korea Utara kembali terjadi pada 5 Juli 2006, dengan peluncuran tujuh rudal balistik sekaligus yang terdiri atas bermacam jarak tempuh, yaitu lima rudal berjarak tempuh dekat, satu berjarak menengah, dan satu berjarak jauh. Namun, rudal berjarak jauh yang diperkirakan sebagai Taepodong 2 gagal meluncur setelah 40 detik. Sementara itu, semua rudal berjarak dekat jatuh di perairan laut Jepang. Tentu saja hal ini menunjukkan bagaimana Korea Utara menjadi ancaman nyata bagi Jepang.

Selain isu nuklir dan rudal, persepsi ancaman Korea Utara datang dari kasus penculikan tiga belas warga negara Jepang oleh Korea Utara. Warga Jepang menjadi korban penculikan Korea Utara pada tahun 1977 hingga 1982. Kecurigaan Jepang akan penculikan

23 “Statement by Ms. Yoriko Kawaguchi, Minister for Foreign Affairs, on the Declaration by North Korea to Withdraw

diakses dari http://www.mofa.go.jp/announce/announce/2003/1/0110.html, pada tgl. 2 Mei 2006, pkl. 23.12 WIB.

24 Korea Utara mengadakan uji coba peluncur rudal pada 24 Februari dan 10 Maret 2003 yang mendarat di Laut Jepang., dimana sebelumnya telah melakukan uji coba rudal balistik sejak Agustus 1998.Diakses dari

http://www.nti.org/e_research/profiles/NK/, Loc. Cit.

yang dilakukan Korea Utara mulai dimunculkan pada pertemuan ketiga normalisasi Jepang- Korea Utara, Mei 1991. Korea Utara menolak tuduhan kasus penculikan dan meninggalkan konsultasi pertemuan kedelapan normalisasi pada November 1992 hingga mengakibatkan penundaan pembicaraan normalisasi Jepang-Korea Utara.

Jepang juga membahas isu penculikan pada Pertemuan Palang Merah Jepang-Korea Utara pada September 1997, Desember 1997, dan Maret 2000 dengan mendesak Korea Utara melakukan penyelidikan menyeluruh dan mengambil tindakan penyelesaian masalah. Parlemen Jepang bahkan membentuk misi Murayama yang meminta Korea Utara terus melakukan penyelidikan. Pada lanjutan pembicaraan normalisasi Jepang-Korea Utara April 2000 di Pyongyang dan Agustus 2000 di Jepang, Jepang menyatakan bahwa pembahasan sangkaan penculikan tidak dapat dihindari dalam rangka meningkatkan hubungan Jepang dan Korea Utara. Sebagai respon, Korea Utara menolak melakukan pembicaraan lebih lanjut jika Jepang terus menggunakan istilah “penculikan” dan memaksa agar kasus itu tidak lagi

dimasukkan sebagai topik dalam pembicaraan normalisasi. Akhirnya, dalam pertemuan antara Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi dan pemimpin Korea Utara Kim Jong Il pada 17 September 2002, Korea Utara untuk pertama kalinya secara resmi mengakui telah menculik tiga belas warga negara Jepang selama periode 1970-an dan 1980-an. Menurut Korea Utara, delapan dari tiga belas warga yang diculik telah meninggal dunia. Pada Oktober 2002, lima warga yang masih hidup mengunjungi Jepang. Namun, Korea Utara melarang mereka membawa serta keluarga. Publik Jepang menganggap pelarangan itu sebagai upaya Korea Utara menyandera warga Jepang. Pada 19 Desember 2002, Kementerian Luar Negeri Jepang mengeluarkan pernyataan tentang “penghilangan paksa” ( enforced or involuntary disappearances ) dari warga Jepang. Dalam pernyataan itu Jepang menyambut pengeluaran resolusi mengenai penghilangan paksa “ the Question of Enforced or Involuntary Disappearances ”, dan memaksa bangsa terkait untuk mengatasi dimasukkan sebagai topik dalam pembicaraan normalisasi. Akhirnya, dalam pertemuan antara Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi dan pemimpin Korea Utara Kim Jong Il pada 17 September 2002, Korea Utara untuk pertama kalinya secara resmi mengakui telah menculik tiga belas warga negara Jepang selama periode 1970-an dan 1980-an. Menurut Korea Utara, delapan dari tiga belas warga yang diculik telah meninggal dunia. Pada Oktober 2002, lima warga yang masih hidup mengunjungi Jepang. Namun, Korea Utara melarang mereka membawa serta keluarga. Publik Jepang menganggap pelarangan itu sebagai upaya Korea Utara menyandera warga Jepang. Pada 19 Desember 2002, Kementerian Luar Negeri Jepang mengeluarkan pernyataan tentang “penghilangan paksa” ( enforced or involuntary disappearances ) dari warga Jepang. Dalam pernyataan itu Jepang menyambut pengeluaran resolusi mengenai penghilangan paksa “ the Question of Enforced or Involuntary Disappearances ”, dan memaksa bangsa terkait untuk mengatasi

dalam setiap pembicaraan yang melibatkan Korea Utara, termasuk pembicaraan normalisasi ataupun six-party talks, Jepang selalu memasukkan kasus penculikan ke dalam pembicaraan.

Modernisasi Persenjataan Cina dan Sengketa Wilayah

Permasalahan lain yang dihadapi Jepang di kawasan adalah modernisasi persenjataan Cina. Kemampuan militer Cina terus meningkat melalui modernisasi persenjataan dan profesionalisasi pasukan yang dilakukan sejak tahun 1978 hingga kini. Upaya peningkatan kapabilitas militer Cina juga sejalan dengan peningkatan anggaran pertahanan pasca-Perang

Dingin, yang mengalami peningkatan sekitar 13%-17% terhitung sejak tahun 1991-2004. 26 Peningkatan anggaran pertahanan yang signifikan dari tahun ke tahun, menandakan

keseriusan Cina dalam meningkatkan kapabilitas militer. Kemampuan penyediaan anggaran militer yang besar didukung oleh perkembangan ekonomi Cina saat ini.

Untuk personil militer, Cina mempunyai 2, 5 juta personel pada tahun 2000. 27 Terdapat juga 1,1 juta personel bertugas di kelompok People’s Armed Police yang mengurus

masalah internal dan perbatasan. Jumlah personel yang besar itu dibarengi usaha untuk meningkatkan profesionalisme melalui pembatasan personel dan penataan organisasi dan sistem demi meningkatkan efisiensi. Upaya peningkatan kemampuan personel dilakukan melalui latihan gabungan skala besar dari Angkatan Darat (AD), Laut (AL) dan Udara (AU), dan latihan pendaratan, serta upaya penguasaan pengetahuan dan teknologi.

Pada Mei 2004, setelah Perdana Menteri Koizumi bertemu dengan Kim Jong Il, Korea Utara setuju mengembalikan lima anggota keluarga dari dua korban penculikan dan berjanji melakukan penyelidikan terhadap kasus penculikan sepuluh warga

Jepang lain yang keberadaannya belum diketahui hingga saat ini. “Statement by the Press Secretary/Director-General for Press and Public Relations, Ministry of Foreign Affairs, on the Resolution on the Question of Enforced or Involuntary Disappearances”, dari http://www.mofa.go.jp/announce/announce/2002/12/1219.html, pada tgl. 19 April, pkl. 23.39 WIB. 26

White Paper on National Defense issued by Chinese Government and other government publications , diakses dari http://www.chinatoday.com/arm/, tgl. 1 Januari 2005, pkl. 22.13 WIB.

27 Frank W Moore, IDDS Research Analyst, “China's Military Capabilities”, Juni 2000, diakses dari http://www.comw.org/cmp/fulltext/iddschina.html, pada tgl. 1 Januari 2005, pkl. 22.08 WIB.

Modernisasi perlengkapan militer juga menjadi langkah penting yang dilakukan Cina. AD Cina memiliki jumlah simpanan tank yang diperkirakan mencapai 10.100, 28 dengan

sistem loading senjata otomatis. Cina juga memiliki hampir 2000 tank ringan. AU Cina kini memiliki sekitar 4350 pesawat tempur dengan teknologi canggih dan terus mengimpor pesawat tempur dari Rusia, yang dilengkapi dengan rudal antipesawat canggih. Tahun 2002, Cina menandatangani kontrak pembelian senilai $5 milyar, dan akan secara tambahan

melakukan pembelian ketiga 38 pesawat tempur Su 30. 29 Cina kini secara domestik mengembangkan pesawat tempur canggih J-10 (F-10) dan memodernisasi kekuatan udara

dengan kemampuan pengisian bahan bakar saat penerbangan, sistem peringatan dini, kontrol dalam menjalankan aksi udara modern, sambil mengembangkan rudal penjelajah.

Angkatan Laut Cina tengah membangun apa yang disebut dengan 30 blue-water navy . Modernisasi dijalankan dengan pengenalan kapal selam kelas-Kilo dan kapal penghancur

kelas-Sovremenny dengan rudal anti-kapal supersonik dari Rusia. Cina juga memiliki kombatan aktif permukaan, program konstruksi kapal amfibi, dan beberapa vessels yang saat ini sedang dibuat dan dalam rencana tambahan unit. Cina pun berupaya mengembangkan kekuatan kapal selamnya dengan mengintensifkan pembangunan dan akuisisi kapal selam baru. Beberapa tahun belakangan Jepang menyaksikan kegiatan laut yang agresif dari kapal Angkatan Laut Cina yang berlayar di perairan dekat Jepang, seperti kasus kecelakaan yang diakibatkan oleh penyelaman kapal selam bertenaga nuklir Cina yang mengintrusi wilayah perairan Jepang pada November 2004.

Cina saat ini juga mengembangkan satelit sebagai perlengkapan militer, seperti dua satelit baru pengindera, remote-sensing , yang dikenal dengan Ziyuan-1 dan -2. Upaya intelijen Cina terhadap negara tetangga akan lebih maksimal. Sebaliknya, Cina

28 Ibid. 29 The National Institute for Defense Studies, East asian Strategic Review: 2003, (Tokyo: The national Institute

for Defense Studies, 2003), hal. 186.

30 Blue-water navy adalah kekuatan Angkatan Laut yang memiliki kemampuan proyeksi kekuatan laut dalam. Angkatan Laut seperti itu mampu beroperasi secara efektif melampaui pantai nasional mereka.

mengembangkan senjata anti-satelit yang dirancang untuk menyerang satelit musuh agar tidak mampu mendeteksi dan kemudian membuatnya macet saat diaktifkan, yang dinamakan

“satelit parasit” 31 Satelit parasit ini dapat digunakan untuk menyerang segala jenis satelit dan tetap tidak terdeteksi karena tidak mengganggu fungsi normal satelit musuh jika satelit parasit

tidak diaktifkan. Selain peningkatan anggaran militer dan modernisasi peralatan militer konvensional, masih terdapat kapabilitas militer Cina yang menambah tingkat ancaman di kawasan. Cina

merupakan satu-satunya kekuatan Asia dengan senjata nuklir berbasis laut, udara, dan darat. 32 Menurut Bulletin of the Atomic Scientist dan SIPRI Yearbook 1999 , ukuran gudang nuklir

Cina sekitar 400 hulu ledak. Buletin itu memperkirakan bahwa 20 rudal bersenjata nuklir ditempatkan untuk perang antarbenua, 230 senjata nuklir lain ditempatkan untuk angkatan udara, rudal, dan kapal selam dengan kemampuan regional, dan 150 hulu ledak nuklir dipercaya disimpan untuk penggunaan taktikal (rudal jarak pendek, pesawat penjatuh bom

lingkup kecil, dan kemungkinan amunisi artileri atau senjata penghancur). 33 Cina pertama kali menguji coba perangkat nuklir pada tahun 1964. Sejak saat itu Cina telah

mempercanggih dan memperkecil wujud perangkat nuklirnya. Cina juga memiliki tiga rudal dengan kategori rudal balistik jarak intermediasi (IRBM) dan rudal balistik jarak menengah (MRBM) yang dapat menjangkau seluruh kawasan Asia. Saat ini Cina tengah mengembangkan tipe baru rudal balistik antarbenua DF-

31 dan rudal balistik diluncurkan dari kapal selam. Sebagai tambahan, Cina menambah penempatan rudal balistik jarak pendek di sepanjang pantai yang menghadap Selat Taiwan. Terakhir, Cina telah mengadakan penelitian dan pengembangan langkah- counter terhadap

31 Jon Dougherty, “China develops anti-satellite weapon”, 19 januari 2001, diakses dari http://www.worldnetdaily.com/news/article.asp?ARTICLE_ID=21409, pada tgl. 5 April 2006, pkl. 22.13 WIB.

32 Samuel S. Kim, ed., China and the World: Chinese Foreign Relations in the Post-Cold Wa r Era, (Colorado: Westview Press, Inc., 1994), hal. 176.

33 William Arkin, "Nuclear Notebook: Chinese nuclear forces, 1999," dalam Bulletin of the Atomic Scientists, Vol. 55, No. 4, Mei/Juni 1999.

pertahanan rudal. Grafik-grafik dibawah ini memperlihatkan dengan jelas bagaimana perkembangan kekuatan militer khususnys tank, armada perang darat dan laut.

Grafik 1. Perbandingan Jumlah Tank Yang Dimiliki Oleh Negara- Negara di Asia Timur

Source: Frank W. Morore, IDDS Research Analyst, ”China’s Military Capabilities,” Juni 2000. diakses dari http://www.comw.org/cmp/fulltext/iddschina.html

Grafik 2. Perbandingan Jumlah Pesawat Perang yang Dimiliki oleh Negara- Negara di Asia Timur

Source: Frank W. Morore, IDDS Research Analyst, ”China’s Military Capabilities,” Juni 2000. diakses dari http://www.comw.org/cmp/fulltext/iddschina.html

Grafik 3.

Perbandingan Jumlah Armada Kapal Perang Permukaan yang Dimiliki oleh Negara- Negara

di Asia Timur

Source: Frank W. Morore, IDDS Research Analyst, ”China’s Military Capabilities,” Juni 2000. diakses dari http://www.comw.org/cmp/fulltext/iddschina.html

Grafik 4. Perbandingan Jumlah Armada Kapal Selam yang Dimiliki oleh Negara- Negara di Asia Timur

Source: Frank W. Morore, IDDS Research Analyst, ”China’s Military Capabilities,” Juni 2000. diakses dari http://www.comw.org/cmp/fulltext/iddschina.html

Dari penjabaran dan grafik diatas terlihat bagaimana Cina berupaya keras untuk terus memodernisasi kemampuan militernya. Profesionalisasi personel, pemanfaatan teknologi canggih pada peralatan militer, serta pengembangan teknologi nuklir dan rudal menjadi prioritas Cina saat ini. Jepang pun melihat peningkatan kemampuan militer Cina tersebut Dari penjabaran dan grafik diatas terlihat bagaimana Cina berupaya keras untuk terus memodernisasi kemampuan militernya. Profesionalisasi personel, pemanfaatan teknologi canggih pada peralatan militer, serta pengembangan teknologi nuklir dan rudal menjadi prioritas Cina saat ini. Jepang pun melihat peningkatan kemampuan militer Cina tersebut

Tabel 1. Tren Anggaran Belanja Militer Negara-negara di Asia Timur

Tahun 1987-1997

In million dollars

Source: World Military Expenditures and Arms Transfers, GPO, berbagai edisi dalam Anthony H Cordesman,

Balance, diakses dari: http://www.csis.org/media/csis/pubs/asai_ro_asian_mb_comp

Sengketa atas kepulauan Senkaku adalah satu masalah yang menambah daftar konflik antara Jepang dan Cina. 34 Senkaku merupakan kumpulan lima pulau kecil yaitu Uotsuri, Kita,

34 Cina mengklaim Senkaku sebagai bagian dari Cina saat Dinasti Ming pada abad 13. Namun, kemenangan

Jepang dalam perang Sino-Jepang tahun 1879 membuat Cina harus menyerahkan Senkaku ke Jepang. Penyerahan itu tertuang dalam Perjanjian Shimonoseki pada 17 April 1895. Senkaku terus berada di bawah kedaulatan Jepang hingga akhir Perang Dunia (PD) II. Perjanjian Kairo tahun 1943 menyebut bahwa Jepang harus mengembalikan wilayah Cina yang dianeksasi sebelum PD II. Namun, Jepang tidak mengembalikan Senkaku ke Cina, justru menjadikannya sebagai area manuver AL AS, bagian dari pemerintahan pendudukan di Okinawa. Ketika AS mengembalikan Okinawa ke Jepang tahun 1972, Jepang juga mendapat hak pemerintahan atas Senkaku. Setelah pengembalian Okinawa ke Jepang, AS tetap menjadikan Senkaku sebagai tempat uji coba militer dengan menyewanya dari pemerintah Jepang. Saat ini, empat pulau Senkaku dijadikan pulau-pulau pribadi.

Kojima, Kuba, dan Taisho dengan luas sekitar 7 km ² yang terletak sekitar 200 km di barat laut Taiwan dan 400 km di barat Okinawa.(lihat Gambar II.1).

Gambar II.1 Kepulauan Senkaku

Sumber: Diaoyutai Islands (Disputed) Map”, dalam Microsoft® Encarta® Encyclopedia 2002. © 1993-

2001 Microsoft Corporation

Pertikaian Jepang dan Cina atas Kepulauan Senkaku mencuat setelah United Nations Economic Commission for Asia and the Far East melaporkan dugaan adanya minyak di

bawah Laut Cina Timur pada tahun 1968. 35 Sejak saat itu, Jepang dan Cina memulai serangkaian pertikaian dan klaim kedaulatan atas Kepulauan Senkaku. Pada tahun 1978,

kelompok sayap kanan Jepang membangun sebuah mercusuar di salah satu pulau, yang kemudian menjadi titik penting dari ketegangan antara Jepang dan Cina. Serangkaian ketegangan antara kelompok sayap kanan Jepang dan pemerintah Cina terus terjadi selama tahun 1980-an hingga 1990-an.

Pada tahun 1992, Cina mencantumkan dalam Territorial Water Laws klaimnya atas Senkaku dengan menyatakan bahwa Senkaku adalah wilayah Cina, dan Cina boleh mengusir kapal-kapal asing dari wilayahnya. Protes datang dari Jepang. Sejumlah insiden terjadi sepanjang tahun 1995 sampai tahun 1997. Cina sempat mengirimkan beberapa Sukhoi

35 Daniel Dzurek, “The Senkaku/Diaoyu Islands Dispute”, 18 Oktober 1996, diakses dari http://www- ibru.dur.ac.uk/docs/senkaku.html pada tanggal 3 Januari 2005 pukul 13.05 WIB.

menuju Senkaku. AU Jepang (ASDF) membalas dengan mengirimkan dua jet tempur. Pada Juni 1996 Jepang menyatakan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di sekitar Kepulauan Senkaku. Namun, kemudian kapal laut Cina ditemukan berada di dekat Senkaku untuk melakukan tes eksplorasi minyak. Hal ini semakin meningkat dari 1996 hingga 1997.

Pada tahun 1996, krisis mencuat dipicu kelompok sayap-kanan Jepang yang kembali membangun dan meresmikan mercusuar di Senkaku. Juru bicara Kementerian Luar Negeri

Cina Shen Guofang menuduh Jepang 36 mendukung “ right-wing militarist ” dengan mengizinkan pembangunan mercusuar di Senkaku. Cina membatalkan kunjungan wakil

Perdana Menteri Li Lanqing ke Jepang dan mengambil langkah militer provokatif dengan mengirim dua kapal selam dan beberapa pesawat tempur ke Senkaku. Krisis kembali menegang pada Mei 1997, ketika anggota Parlemen Jepang, Shingo Nishimura, mengadakan inspeksi ke Senkaku sebagai bagian wilayah Jepang. Cina menganggap ini sebagai pelanggaran serius atas kedaulatan Cina. Kunjungan Perdana Menteri Hashimoto ke Cina pada September 1997 mampu menurunkan tensi isu Senkaku. Hashimoto mengatakan bahwa “tetangga” cenderung memiliki persoalan karena kedekatan hubungan mereka. Pada titik ini, isu Senkaku sempat mereda.

Pertikaian atas Senkaku terus berlangsung. Namun, Cina dan Jepang tetap berupaya menggunakan jalur diplomasi untuk penyelesaiannya. Langkah diplomasi dilakukan melalui diskusi bilateral tingkat Menteri Luar Negeri pada tanggal 10 Mei 2000. Namun, diskusi itu gagal dan keinginan Cina untuk menetapkan daerah-daerah wilayahnya di kepulauan Senkaku tidak membuahkan hasil. Jepang tetap mengklaim Kepulauan Senkaku sebagai miliknya. Di tahun-tahun selanjutnya, Jepang terus melakukan eksplorasi minyak di Laut

36 Dalam perspektif Cina, asosiasi militer Jepang dengan AS potensial untuk kebangkitan kembali militerisme Jepang.

Cina Timur. Hal ini dianggap Cina sebagai sebuah tindakan unilateral tanpa kesepakatan terlebih dahulu dengan Cina. 37

Kapal-kapal Cina di lain pihak secara rutin tetap menerobos wilayah perairan Senkaku dan hal ini menambah keributan-keributan diplomatik. Sebagai reaksi atas keributan ini, Jepang dan Cina menegosi asikan sebuah persetujuan “ confidence-building ” pada Februari 2001. Persetujuan ini menyatakan bahwa setiap pihak akan memberi tahu bila ada satu pihak yang melakukan penelitian ilmiah maritim di dekat pesisir pihak yang lain, kecuali untuk perairan teritorial. Cina beberapa kali melanggar hal ini. Belakangan Cina juga berupaya

meningkatkan kapabilitas maritimnya di sekitar wilayah Senkaku. 38 Pada 15 Januari 2004 kapal patroli Jepang dituduh Cina menyerang dua kapal nelayan Cina. Pada 24 Maret tahun

itu tujuh aktivis Cina yang berencana tinggal di Senkaku selama 3 hari ditangkap oleh Jepang dengan alasan masuk secara ilegal. Hingga saat ini kasus sengketa wilayah Kepulauan Senkaku belum menghasilkan kesepakatan yang signifikan bagi perselisihan antara Jepang dan Cina. Oleh karena itu, perkembangan yang terjadi dari permasalahan ini turut menjadi perhatian utama Jepang.

Selain itu, pertikaian antara Cina ( People’s Republic of China/PRC) dan Taiwan ( Republic of China /RoC) yang masih terjadi saat ini juga cukup menarik perhatian Jepang. Perhatian Jepang terhadap masalah ini adalah apabila terjadi ketegangan yang mengarah pada konflik militer di Selat Taiwan, hal itu akan menimbulkan gangguan keamanan terhadap keseluruhan kawasan, termasuk bagi keamanan Jepang. Posisi Jepang mengenai isu Taiwan pun jelas, bahwa Jepang hanya mengakui PRC sebagai pemerintah Cina yang sah.

37 Pada 2 Maret 2000 armada kapal angkatan laut Cina melakukan latihan tempur di area pusat Laut Cina Timur yang masuk ke dalam wilayah ZEE Jepang. Jepang turut melakukan tindakan yang provokatif di mana LDP

memasukan Kedaulatan Senkaku sebagai platform partai mereka. “Japan-China’s Foreign Ministers Meeting: Summary”, diakses dari http://www.mofa.go.jp pada tanggal 15 November 2005, pukul 20.13 WIB.

38 Richard Fisher, Jr. “Submarine Incident Highlights Military Buildup”, Asian Wall Street Journal, (November 17th,

dari http://66.102.7.104/search?q=cache:BPqHsJrZiYQJ:ftp.access.ba/bcc%2520thera%2520case/Heflin%2520- %2520Territorial%2520Disputes%2520of%2520Islands%2520(Asian- Pac.%2520JLP%2520200.doc+diayou+islands,+China,+diplomacy&hl=id, pada 15 November 2005, pukul

diakses

20.05 WIB.

Sengketa Kepulauan Takeshima

Ancaman lain dari kawasan yang dialami Jepang adalah sengketa wilayah dengan Korea Selatan atas wilayah Takeshima. 39 Takeshima merupakan gabungan dari dua pulau

batu yang masing-masing berjarak 200 meter, yaitu pulau Onnajima yang berarti pulau Timur dan Otokojima yang berarti pulau Barat. Takeshima terletak di sebelah barat laut pulau Oki, propinsi Shimane, Jepang. Korea Selatan sendiri menyebut pulau ini dengan nama Dokdo.

Pertikaian Jepang dan Korea Selatan atas Takeshima dimulai saat pada September 1952 Presiden Korea Selatan Syngman Rhee mengirim kapal untuk penelitian ke Takeshima yang berujung pada tragedi pengeboman, mengakibatkan sengketa wilayah menjadi perhatian publik Jepang dan Korea Selatan untuk pertama kalinya. Konflik dan insiden pertikaian antara Jepang dan Korea Selatan di sekitar Takeshima terjadi beberapa kali selama tahun 1950-an. Saat normalisasi hubungan antara Jepang dan Korea Selatan tercapai pada tahun 1965, penyelesaian sengketa Takeshima tidak dimasukkan dalam perjanjian. Selama Perang Dingin, isu pertikaian wilayah ini pun berupaya ditekan.

39 Jepang menyatakan bahwa sesuai dengan fakta sejarah dan hukum internasional, pulau Takeshima merupakan bagian integral dari wilayah Jepang. Penguasaan Jepang atas Takeshima didukung oleh bukti sejarah bahwa

sejak abad ke-17 Jepang telah memiliki kedaulatan atas Takeshima melalui penguasaan efektif. Kedaulatan Jepang atas Takeshima diperkuat dengan keputusan Kabinet pada tahun 1905 yang menyatakan penguasaan efektif Jepang sebagai negara modern atas Takeshima. Dokumen-dokumen Jepang sejak Era Meiji menunjukkan kepemilikan Jepang atas pulau dengan posisi yang sesuai dengan posisi Takeshima saat ini. Hal itu menunjukkan bahwa berdasar sejarah, Takeshima merupakan bagian wilayah Jepang, bukan hasil rebutan dari negara lain. Korea Selatan sendiri mendasarkan klaimnya atas Takeshima berdasarkan data sejarah yang lebih awal dari Jepang. Korea Selatan menunjukkan dokumen yang memasukkan Takeshima sebagai wilayah pertama yang tergabung dalam Dinasti Shilla Korea pada 512 SM. Berbagai survei lahan dan peta yang digambar beberapa abad kemudian juga menunjukkan fakta bahwa Takeshima dengan posisi geografi yang akurat, merupakan wilayah Korea. Korea Selatan kemudian mengeluhkan posisi politik lemah Korea terhadap Jepang yang terjadi pada tahun 1905. Kontrol politik Jepang atas Korea pada saat itu membuat Korea tidak dapat memprotes pengakuan Jepang bahwa Takeshima masuk ke dalam propinsi Shimane Jepang. Tidak ada aksi yang dapat dilakukan Korea saat itu. lihat

“The Issue of Takeshima”, Maret 2004, diakses dari http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/takeshima/position.html, pada tgl. 13 Mei 2006, pkl. 23.05 WIB dan “The Territorial Dispute Over Dokdo”, diakses dari http://www.geocities.com/mlovmo/page4.html, pada tgl. 13 Mei 2006, pkl. 23.14 WIB.

Sengketa wilayah Takeshima kembali memanas setelah berakhirnya Perang Dingin. Pada Februari 1996 Menteri Luar Negeri Jepang Yukihiko Ikeda menegaskan kembali kepada publik penguasaan Jepang atas Takeshima setelah Korea Selatan memutuskan akan membangun pelabuhan di sana. Pada tahun 1997, tanpa mengindahkan protes dari Jepang, Korea Selatan bahkan membangun fasilitas pelabuhan yang dapat menampung 500 kapal pengangkut. Pada Desember 1998, sebuah menara lampu berpenjaga juga selesai dibuat.

Memasuki abad ke-21, pertikaian atas Takeshima semakin sulit untuk dipersatukan. Pada April 2002, pemerintah Jepang menyetujui teks buku pelajaran yang memasukkan Takeshima ke dalam wilayah Jepang, tanpa memasukkan fakta terjadinya tumpang tindih sengketa wilayah dengan Korea Selatan. Pemerintah Korea Selatan di lain pihak sejak Agustus 2002 mengeluarkan rencana untuk membuat perangko dengan tema Takeshima. Mengabaikan teguran Jepang, pada 16 Januari 2004, Korea Selatan mengeluarkan

seperangkat perangko dengan tema dan gambar Takeshima. 40 Konflik kedua negara ini sesungguhnya tidak semata mengenai kepemilikan dua

pulau Takeshima. Ketertarikan menguasai Takeshima berdasar pada sumber daya yang terdapat di perairan sekitar Takeshima, yaitu wilayah laut dan dasar laut seluas 16.600 mil persegi, termasuk wilayah yang mungkin mengandung 600 juta ton sumber daya gas hidrasi di sekitar Takeshima. Gas hidrasi adalah gas alami yang terkondensasi menjadi bentuk semipadat. Gas hidrasi adalah sumber energi generasi mendatang yang dapat dibuat menjadi gas alam cair jika sudah tercipta teknologi yang memadai. Takeshima juga dikelilingi oleh perairan kaya ikan. Alasan-alasan inilah yang membuat Jepang dan Korea Selatan terus memperkuat klaim mereka atas Takeshima. Jepang sendiri tidak dapat mengacuhkan permasalahan Takeshima ini karena menurut Jepang, Korea Selatan telah melakukan intrusi ke wilayah pulau terluar kedaulatan Jepang.

40 “The Issue of Takeshima”, Maret 2004, diakses dari http://www.mofa.go.jp/region/asia- paci/takeshima/position.html, Loc. Cit.

Terorisme: Ancaman Internasional

Potensi ancaman yang dianggap paling mengganggu keamanan internasional saat ini, sejak tragedi 11 September 2001 di AS, tidak lain adalah terorisme. Jepang sebagai aliansi AS di kawasan Asia Timur memiliki pemikiran yang sama mengenai potensi ancaman teroris di kawasan ini. Jepang pernah mengalami peristiwa serangan teroris di dalam negeri, yang dilakoni oleh kelompok Aum Shinrikyo, sebuah kelompok religius yang mencampurkan kepercayaan Budha dan Hindu. Serangan kelompok ini terjadi tahun 1995 ketika sekelompok pengikutnya melakukan serangan gas beracun sarin di stasiun kereta bawah tanah. Serangan itu menewaskan 12 warga dan melukai ribuan lainnya.

Pengalaman mengalami aksi terorisme dalam negeri memberi alasan kuat bagi Jepang untuk aktif memerangi isu teroris internasional. Peran aktif Jepang dalam memerangi aksi terorisme internasional telah dimulai sejak sebelum terjadi peristiwa 11 September. Hal itu juga terlihat dari pidato perwakilan resmi Jepang di PBB, Hiroshi Kawamura, pada 12 November 1999. Pada pidato tersebut disebutkan bahwa Jepang mengutuk terorisme dengan segala bentuk dan manifestasinya. Sepenuhnya menyadari bahwa terorisme adalah ancaman utama bagi perdamaian dan keamanan dunia, Jepang berkeinginan terorisme dihadapi melalui

semua sarana yang memungkinkan. 41 Perhatian Jepang terhadap isu terorisme semakin meningkat sejak peristiwa 11

September 2001 menimpa AS. Perdana Menteri Junichiro Koizumi pada menyatakan bahwa Jepang tidak akan melupakan tragedi 11 September yang turut menewaskan 24 warga Jepang. Jepang akan terus berdiri di samping AS dalam perang melawan terorisme, dan secara aktif berkontribusi dalam upaya komunitas internasional untuk mencegah dan menghapus

41 Press Release MR.HIROSHI KAWAMURA, Representative of Japan to the United Nations, “Measures to Eliminate International Terrorism”, New York, 12 November 1999, diakses dari http://www.un.int/japan/3-

statements/archives/111299-2-7.html, pada tgl. 10 Mei 2006, pkl. 22.43 WIB.

terorisme internasional dan untuk menjamin bahwa tindakan teroris seperti itu tidak akan terulang. 42

Jepang juga tidak luput memberi perhatian terhadap kasus terorisme yang menimpa negara di Asia tenggara. Salah satu kasus terbaru adalah serangan teroris di Jakarta. Menteri Luar Negeri Yoriko Kawaguchi pada 9 September 2004 menyatakan keterkejutan atas

peristiwa pengeboman yang terjadi di dekat Kedutaan Australia di Jakarta. 43 Ia menyatakan serangan tersebut sebagai suatu hal yang sangat brutal dan tidak termaafkan. Ditegaskan pula

dalam pernyataannya bahwa Jepang akan terus bekerja secara proaktif dalam perang melawan terorisme.

NDPG 2005: Kebijakan Pertahanan Aktif & Mandiri

Perkembangan situasi keamanan kawasan Asia Timur telah membuka mata Jepang untuk melahirkan kebijakan pertahanan yang lebih aktif dan mandiri. Kebijakan pertahanan Jepang yang pasif dan tidak mandiri merupakan figur kebijakan pertahanan Jepang selama ini. Hal ini membuat Jepang yang merupakan “Macan Asia” karena keunggulan ekonominya tampak seperti Macan yang tak bergigi karena tidak memiliki ancaman militer nyata terhadap

negara lawan. 44

42 Jepang kemudian turut berupaya aktif dalam memerangi aksi terorisme, dengan mengeluarkan pengaturan yang dibutuhkan dalam enam bidang, yaitu imigrasi, keamanan penerbangan, kerjasama masyarakat, kontrol

ekspor, kerjasama penegakan hukum dan pembiayaan anti-teroris. Tidak ketinggalan Jepang pun mengadakan kesepakatan bilateral atau multilateral untuk bersama-sama berperang melawan terorisme, seperti dengan ASEAN, APEC, Indonesia, ataupun Rusia. “Comment by Prime Minister Junichiro Koizumi”, 11 Desember 2001, diakses dari http://www.mofa.go.jp/announce/announce/2001/12/1211.html, pada tgl. 29 Mei 2006, pkl.

00.13 WIB. 43 “Statement by Ms. Yoriko Kawaguchi, Minister for Foreign Affairs, on the Terrorist Attack in Jakarta,

Indonesia”, diakses dari http://www.mofa.go.jp/announce/announce/2004/9/0909.html, paga tgl. 29 Mei, pkl. 00.21 WIB.

44 Pembatasan terhadap kebijakan pertahanan Jepang didasarkan pada Konstitusi Pasal 9 tahun 1947, di mana Jepang dilarang untuk mengembangkan pasukan bersenjata yang kuat yang memiliki senjata nuklir ataupun

senjata ofensif lainnya atau ditempatkan di luar Jepang. Setelah pecahnya Perang Korea tahun 1950 disusunlah pilar kebijakan pertahanan Jepang Doktrin Yoshida yang menetapkan kemampuan pertahanan diri Jepang melalui pembentukan National Police Reserve pada tahun 1950 sebagai cikal bakal Pasukan Bela Diri Jepang. Kebutuhan untuk memperkuat pertahanan Jepang diwujudkan melalui penyusunan “Kebijakan Dasar Pertahanan Nasional” pada Mei 1957.

Demi mengantisipasi perubahan situasi keamanan pada masa Perang Dingin, Jepang pun menyusun National Defense Program Outline (NDPO) 1976 yang menambahkan beberapa prinsip pada kebijakan pertahanan Jepang. Prinsip tersebut antara lain kebijakan yang berorientasi pertahanan, tidak menjadi power militer, menerapkan Three Non-Nuclear Principles , mempertahankan kontrol sipil atas militer, menerapkan Three Principles on Arms Export , dan menetapkan batas maksimum anggaran pertahanan sebesar 1% dari GNP ( Gross National Product ).