AKIBAT HUKUM SK KPUD TTU YANG MENGALAMI KEKURANGAN YURIDIS DAN PROBLEMATIKA PENEGAKANNYA (Tinjauan Yuridis terhadap SK No. 18 dan 19 Tahun 2010 Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Bupati/Wabup TTU)

AKIBAT HUKUM SK KPUD TTU YANG MENGALAMI KEKURANGAN
YURIDIS DAN PROBLEMATIKA PENEGAKANNYA (Tinjauan Yuridis
terhadap SK No. 18 dan 19 Tahun 2010 Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap
Bupati/Wabup TTU)
Oleh : Ferdinandus N. Lobo, SH. MH1
ABSTRACT
Sengkata-sengketa hukum yang dilatari oleh Pilkadal/pemilukadal mekanisme
penyelesaiannya sangatlah fariatif atau beragam dan bergantung pada bentuk
pelanggarannya. Pelanggaran bisa berbentuk pelanggaran administratif, pidana pemilu
atau sengketa atas hasil pemilu. Yang menjadi fokus saya dalam tulisan ini yaitu
pelanggaran yang berbentuk pelanggaran administrative di dalam proses Pemilihan
Kepala Daerah. Berkenaan dengan hal ini, gugatan tersebut harus diajukan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara. Prosedur Pemilihan Umum Kepala Daerah (termasuk
sengkate hasil Pemilukadal yang diajukan di MK RI). Padahal, penyelesaian melalui
Peradilan Tata Usaha Negara akan dapat dilaksanakan jikalau putusan telah berkekuatan
hukum tetap (inkracht). Putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah putusan terhadap
upaya hukum kasasi yang dilakukan oleh Justisiabelen. Namun, meskipun sudah
berkekuatan hukum tetap sekalipun, akan sangat sulit Putusan tersebut baru dapat
dilaksanakan setelah melalui suatu proses yang panjang dan dipihak lain putusan
terhadap gugatan terhadap hasil Pemilukadal telah dikeluarkan oleh MK RI. Putusan
tersebut bersifat final and binding, dengan demikian proses hukum yang demikian lama

tersebut menjadi sia-sia.
Key words : Akibat hukum, Keputusan administrasi, kekurangan yuridis
Legal disputes are backed by direct elections of regional heads (Pilkadal / pemilukadal)
settlement mechanism is fariatif or vary and depend on the nature of the infraction.
Violations may take the form of administrative violations, criminal or electoral disputes
over election results. That became my focus in this paper is a violation shaped
administrative violations in the process of local elections. In this regard, the lawsuit
must be filed with the State Administrative Court. Regional Head Election Procedures
(including sengkate results Pemilukadal filed in the Court RI). In fact, the settlement
through the State Administrative Court will be implemented if the judgment became
final and binding (inkracht). The verdict is final and binding decision of the cassation
made by Justisiabelen. However, despite being legally enforceable notwithstanding, the
verdict would be very difficult to only be carried out after going through a long process
and on the other hand its ruling on a lawsuit against Pemilukadal results have been

1

Dosen FH-UNWIRA Kupang

13


issued by the Constitutional Court. Such decision shall be final and binding, so long as
the law is to be in vain.

egal disputes are backed by direct elections of regional heads Pilkadal / pemilukadal.
Key words: Due to legal, administrative decree, lack of juridical

A. PENDAHULUAN
Setelah era reformasi,

Negara Indonesia terus giat berbenah diri untuk

mewujudkan diri sebagai Negara yang demokratis. Konsep-konsep penyelenggaraan
pemerintahan yang demokratis secara normative telah tertuang di dalam dalam UUD
1945 (sesudah amndemen) yang kemudian dijabarkan lebih lanjut melalui Peraturaan
perundang-undangan pelaksananya.

Baik di dalam UUD 1945 maupun peraturan

perundang-undaangan pelaksananya telah


memencarkan kekuasaan penyelengaraan

Negara baik melalui pemencaran kekuasaan secara horizontal melalui Lembagalembaga Negara maupun secara vertical dengan mendistribusikan kekuasaan kepada
Pemerintah daerah (desentralisasi) melalui pemberian otonomi daerah.
Pemberian otonomi daerah sesungguhnya bertujuan agar semua potensi daerah
dapat diberdayakan secara optimal dan bermuara pada terwujudnya kesejahteraan
rakyat. Ada yang mengetengahkan bahwa pergeseran penyelenggaraan pemerintahan
dari sentralisasi ke desentralisasi tersebut akan membawa dampak positif yaitu2:
1) Secara politis, meningkatkan kemampuan dan tanggung jawab politik
daerah, membangun proses demokratisasi (kompetisi, partisipasi dan
transparansi), konsilidasi integrasi nasional (menghindari konflik pusatdaerah dan antar daerah.
2) Secara

administratif akan mampu meningkatkan kemampuan daerah

merumuskan

perencanaan


dan

mengambil

keputusan

strategis,

meningkatkan akuntabilitas public dan pertanggungjawaban public.

2

Sunyot o Usman, Ot onomi Daerah, Desent ralisasi dan Demokrat isasi, dalam Edy
Suandi, Sobirin M alian (ed.), M emperkokoh Ot onomi Daerah (Kebijakan, Evaluasi dan Saran),
UII Press, Yogyakar t a hlm. 110.
2
Tur ner, M ark and David Hulme, Governance, Administ rat ion and Development ,
M acM illan Press Lt d. London, 1997, p. 156.

14


3) Secara ekonomis, akan mampu membangun keadilan di semua daerah
(maju bersama), mencegah eksploitasi pusat terhadap daerah, serta
meningkatkan kemampuan daerah memberikan public goods and services.
4) Secara spasial akan meningkatkan pemerataan kemampuan politik,
administrative dan ekonomi ke daerah-daerah, sehingga pada glirannya
dapat menghapus dikotomi Jawa luar Jawa atau Indonesia timur dan barat,
serta perkotaan dan pedesaan.

Untuk mewujudkan demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,
daerah diberikan keleluasaan untuk memilih dan menentukan sendiri Kepala Daerahnya
(Gubernur/Wakil

Gubernur,

Bupati/Wakil

Bupati

maupun


Walikota/Wakil

Walikotanya). Dasar hukum penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah secara langsung diatur dalam Ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945
bahwa : Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan
daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Prinsip yang sama
ditemukan

pula

Indonesia Nomor
Pengaturan;

pada

Ketetapan Majelis

XV/MPR/1998


Pembagian,

Tentang

Dan Pemanfaatan

Permusyawaratan

Rakyat

Republik

Penyelenggaraan

Otonomi

Daerah;

Sumber


Daya

Nasional,

Yang

Berkeadilan; Serta Perimbangan Keuangan Pusat Dan Daerah Dalam Kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 2 menentukan : Penyelenggaraan otonomi daerah
dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan memperhatikan keanekaragaman
daerah.
Hal positif yang dapat ditimba dari pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah
secara Langsung adalah terserapnya aspirasi masyarakat (representation in ideas) di
dalam menentukan pemimpinnya di daerah. Karena dalam ajang Pilkadal/Pemilukada,
pemimpin yang dipilih adalah pemimpin yang dikenal dan dikehendaki oleh masyarakat
dan tentu saja secara kualitaas dapat manjadi pertimbaangan di dalam memilihnya.
Sedangkan pada era sebelumnya, pemilihan kepala daerah dilaksanakan oleh anggota
DPRD baik di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota (representation in presence), figur
yang terpilih belum tentu sesuai dengan aspirasi masyarakat dan dikenal masyarakat.
Bahkan yang paling ekstrim, pada era Orde Baru pemilihan kepala Daerah hanyalah
suatu pemenuhan persyaratan formal semata karena Gubernur maupun bupati

ditentukan oleh Pemerintah Pusat melalui Menteri dalam Negeri.
15

Perubahan mekanisme pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang secara
langsung (pilkadal/pemilukada) di satu sisi memang membawa dampak positif untuk
berkembangnya atmosfer demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah,
namun di sisi lain terdapat juga catatan hitam yang tertoreh akibat pelaksanaan
pilkadal/pemilukadal

tersebut.

Catatan

hitam

yang

diakibatkan

pelaksanaan


Pilkadal/Pemilukadal di antaranya berupa besarnya biaya politik yang harus dikeluarkan
oleh masing-masing calon dan terbitnya aneka sengketa hukum yang tercetus oleh
pelaksanaan pilkadal/pemilukadal.
Sengkata-sengketa hukum yang dilatari oleh Pilkadal/pemilukadal mekanisme
penyelesaiannya sangatlah fariatif atau beragam dan bergantung pada bentuk
pelanggarannya. Pelanggaran bisa berbentuk pelanggaran administratif, pidana pemilu
atau sengketa atas hasil pemilu. Dari jenis pelanggaran yang dibuat dapat ditelusuri ke
mana sengketa hukum tersebut akan diselesaikan. Jikalau sengketanya berkenaan
dengan hasil pemilu, maka upaya penyelesaiannya diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Sedangkan sengketa yang berkaitan dengan pidana Pemilu diselesaikan melalui
Peradilan Umum, kemudian jika sengketa berkaitam aspek administrative khususnya
berhubungan

dengan

Surat

Keputusan


Penetapan

Calon

(Gubernur/Wagub,

Bupati/Wabup, Walikota/Wakil Walikota) maka sengketa tersebut haruslah diajukan ke
PTUN. Begitu banyaknya jenis sengketa hukum yang tercetus dalam Pemilukadal,
membutuhkan penyelesaian hukum yang tuntas melalui jalur-jalur peradilan yang
relevan. Jikalau penyelesaiannya tidak tuntas, bukanlah tidak mungkin Kepala Daerah
yang terpilih legitimasinya terus dipertanyakan dan terus diobok-obok3.
Berkiblat pada sengketa pemilukada, saya lebih memfokuskan pada akibat
hukum Keputusan KPU yang mengalami kekurangan yuridis dalam tahapan
Pemilukada. Sepanjang kurun waktu lebih dari 1,5 tahun terakhir kekisruhan politik
terus berkecamuk di Kabupaten TTU yang dilatari sengketa hukum Pemilihan umum
Kepala Daerah. Dalam Pemilukadal di TTU tahun 2010 terdapat dua jenis sengketa
yaitu Sengketa yang berkaitan dengan hasil pemilu (diajukan ke MK) dan sengketa
hukum yang berkenaan dengan SK KPU yang berkaitan dengan Penetapan Calon
Bupati/Wabup. Sengketa yang berkaitan dengan hasil pemilikadal telah dapat
diselesaikan secara tuntas, namun yang berkaitan dengan SK KPU tentang penetapan

3

Pasangan Raym undus Fernandez dan Aloisius Kobes (Bupat i / Wabup TTU sekarang)

16

calon Bupati/Wakil Bupati masih belum tuntas hingga saat ini. Sengketa hukum
tersebut bahkan sudah berkembang meenjadi kekisruhan massa dan bentrokan fisik4.
Ditengarai, bahwa konflik tersebut berawal dari sebelumnya Ferdi Meol yang
berpasangan dengan Dominikus Saijao (Paket ESA) hendak bertarung dalam Pemilihan
Umum Kepala Daerah (Pemilu Kada) Timor Tengah Utara dari jalur independen, tidak
lolos verifikasi di KPUD. Paket ESA kemudian menggugat KPUD TTU ke Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN) Kupang dan menang. KPUD lalu mengajukan banding ke
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di Surabaya, namun tetap kalah dan upaya
kasasinya disampaikan ke MA KPUD tetap menelan kekalahan5. Padahal, semua
tahapan pemilukada sudah selesai dan berlangsung pada tahun 2010. Bupati/Wabup
terpilih yaitu Raymundus-Kobes (DUbes) sudah dilantik dan menjalankan tugasnya
sejak 21 Desember 2010. Tentu saja KPUD TTU mengalami kondisi yang dilematis
untuk melaksanakan dan tidak melaksanakan putusan PTUN.
Dari kasus hukum di TTU tersebut, yang menjadi obyek dalam sengketa
tersebut adalah Surat Keputusan KPU No. 18 dan 19 Tahun 2010 tentang Penetapan
Calon Bupati/Wakil Bupati TTU. Keputusan KPU tersebut termasuk dalam kategori
sebagai Keputusan Tata Usaha Negara/KTUN (beschikking). Dasar pijakannya adalah
Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 yang menegaskan, Keputusan Tata Usaha
Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan
peraturanperundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual,dan final,
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Dengan demikian, sengketa yang terjadi antara Paket ESA dan KPUD
termassuk dalam kategori sebagai sengketa TUN sebagaimana yang ditegaskan dalam
Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 :
“Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata
Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4

Ribuan M assa Demo Agar Bupat i TTU Turun Dari Jabat annya, Jejaknews.com yang diakses t anggal 2
M ei 2012.
5

Bupati dan Wakil Bupati Timor Tengah Utara Terancam Diberhentikan, Victory New s, 19 April

2012., hlm. 1

17

Sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 5 tahun 1986, penyelesaian sengketa
TUN merupakan kewenangan mutlak PTUN. Paket ESA sudah menggunakan haknya
untuk mengajukan gugatan terhadap Keputusan KPU No. 18 dan nomor 19 Tahun 2010
ke PTUN. Tujuan gugatan tersebut adalah untuk menguji apakah keputusan KPUD
(beschikking)

mengandung kekurangan yuridis (rechts-gebreken) ataukah tidak.

kekurangan yuridis bisa berupa kompetensi atau kewenangan dan bias yang berupa
prosedur. Kekurangan-kekurangan yuridis inilah yang dapat menyebabkan suatu
keputusan itu tidak sah (niet rechts-geldig beschikking)6.

B. KEPUTUSAN TUN DAN AKIBAT HUKUM KEPUTUSAN KPU YANG
MENGANDUNG KEKURANGAN YURIDIS

Van Der Pot menguraikan secara positif, empat syarat agar ketetapan dapat berlaku
sebagai ketetapan sah yaitu :
1) Ketetapan haruslah dibuat oleh alat atau organ yang berkuasa (bevoegd).
2) Karena ketetapan merupakan suatu pernyataan kehendak, (wils verklaring) maka
pembentukan kehendak tersebut tidak memuata kekuarangan yuridis.
3) Ketetapan harus diberi bentuk (vorm) yang telah ditetapkan dalam perturan
yang menjadi dasarnya dan prosedur prmbuatannya harus memperhatikasn cara
(prosedur pembuatannya.
4) Isi dan tujuan ketetepan harus sesuai dengan isi dan tujuan ketetapan dasarnya.
Menurut Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986, Keputusan Tata Usaha Negara
adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan
peraturanperundang-undangan

yang

berlaku,

yang

bersifat

konkret,

individual,dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata.
Jika diurai apa yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut,
akan ditemukan unsur-unsurnya sebagai berikut :
a. Penetapan tertulis
b. Dikeluarkan oleh badan atau Pejabat TUN
6

E. Ut r echt , Pengant ar Hukum Administ rasi Indonesia, Pust aka Tint a M as, Surabaya, 1994, hlm.

18

c. Berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundangundangan
d. Bersifat kongkrit individual dan final
e. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Jikalau ketetapan tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka ketetapan
tersebut termasuk dalam ketetapan/keputusan yang mengandung kekurangan yuridis
(rechts brekking). Donner mengemukakan bahwa kekurangan dalam ketetapan dapat
mengakibatkan bahwa :
1) Ketetapan harus dianggap batal sama sekali.
2) Berlakunya ketetapan dapat digugat :
a) Dalam banding (beroep)
b) Dalam pembatalan oleh jabatan (amtshalve vernietiging)karena
bertentangan dengan undang-undang.
c) Dalam penarikan kembali (intrekking) oleh kekuasaan yang berhak
(competent) mengeluarkan ketetapan tersebut
3) Dalam hal ketetapan tersebut, sebelum dapat berlaku membutuhkan
persetujuan (peneguhan) suatu badan kenegaraan yang lebih tinggi, maka
persetujuan tersebut tidak diberi.
4) Ketetapan tersebut diberikan tujuan lain daripada tujuan permulaannya 7.
Mengenai

ketetapan

yang

mengandung

kekurangan,

oleh

Bachsan Mustafa

mengemukakan pendapatnya sebagai berikut :
“menerima tidaknya suatu ketetapan yang mengandung kekurangan sebagai
ketetapan yang sah pada umumnya tergantung pada hal, apakah syarat yang
tidak dipenuhi merupakan Bestaanvoorwarde (syarat mutlak agar sesuatu itu
ada. Jika syarat mutlak tidak dipenuhi maka sesuatu tersebut dianggap tidak
ada)8. Akibat hukum kebatalan yang seperti ini namanya ongeldigheid extunc
atau atau batal mutlak di mana akibat hukumnya adalah ketetapan dianggap
tidak pernah ada karena yang mengandung kekuarangan yuridis dari sisi
materinya/substansi. Dari kasus SK KPUD TTU akan berakibat batal mutlak
jikalau pada esesnsinya KPUD tidak wenang untuk mengeluarkan SK tersebut.
Namun, KPUD TTU memiliki kewenangan untuk mengeluarkan SK Tentang
Calon Bupati dan Wakil Bupati yang diperintahkan oleh UU No. 22 Tahun
2007.
Selain itu, dapat juga ketetapan yang tidak sah itu akibatnya adalah sampai
waktu pembatalan yang biasa dikenal dengan tidak sah ex nunc (ongeldigheid ex
7
8

Ibid., hlm. 114.
Bachsan M ust afa, pokok-Pokok hukum Administ rasi Negara, PT Citra Adit ya, Bandung, 1990, hlm. 115.

19

nunc). Kebatalan jenis ini oleh Utrecht biasanya dikenal dengan kebatalan nisbih
atau relatief vernietigbaar di mana pembatalannya hanya dapat dilakukan oleh
hakim dan administrasi Negara. Kabatalan nsibih biasanya berkaitan dengan
prosedur.
Beranjak dari teori tersebut, SK KPUD TTU digugat karena dinilai mengandung
kekuarangan yuridis dari sisi prosedur. Kebatalannya termasuk dalam kategori
kebatalan nisbih atau relatief vernietigbaar yang kewenangan pembatalannya
hanya dapat dilakukan oleh hakim PTUN dan Adminstrasi Negara yang
mengeluarkannya atau AN yang tingkatnya lebih tinggi (KPUD Provinsi atau
KPU Pusat). Pembatalan jenis ini akibat hukumnya adalah batal sebagian saja
atau gedeeltelijk nietig, bagian lain dari akibat tersebut dianggap sah. Di sini
berarti, SK KPU No. 18 dan 19 batal sejak putusan Peradilan TUN berkekuatan
hukum tetap (inkracht) sedangkan akibat SK sebelum dibatalkan dianggap
vermoden rechtmatigheid.SK KPUD KPUD sebagiannya dianggap sah karena
pembuatannya di dasari kewenangan/bevoedgheid

C. PROBLEMATIKA PELAKSANAAN PUTUSAN TUN

Selama dua puluh delapan tahun eksistensi PTUN (Peradilan Tata Usaha
Negara) di Indonesia, dirasakan masih belum memenuhi harapan masyarakat
pencari keadilan. Banyak putusan PTUN yang tidak dapat dieksekusi dan telah
menimbulkan sikap pesimisme dan apatisme dalam masyarakat.
Masalahnya adalah penyelesaian sengketa “Administrasi Pemerintahan”
tidak mempunyai kekuatan eksekutorial dalam UU No. 5 Tahun 1986 Tentang
PTUN. Kondisi merupakan suatu fakta memprihatinkan bahwa keberadaan PTUN
belum dapat membawa keadilan bagi masyarakat dalam lingkup administrative
pemerintahan. Prinsip adanya peradilan TUN, untuk menempatkan control yudisial
dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik menjadi bias dalam system
ketatanegaraan Indonesia. Bila suatu putusan PTUN tidak memiliki kekuatan
eksekutorial bagaiman mungkin hukum dan masyarakat dapat mengawasi jalannya
pemerintgah yang dilaksanakan oleh pejabat-pejabat TUN.

20

Permasalahan eksekusi putusan PTUN ini juga dapat timbul terkait dengan
diberlakukannya otonomi daerah, karena dengan adanya otonomi daerah seluruh
pejabat kepala daerah di kabupaten/kota memiliki kewenangan yang luas dalam
mengelola daerahnya dan hal tersebut pasti menggunakan metode keputusankeputusan administratif.
Meskipun UU No. 5 Tahun 1986 telah dirubah sebanya dua kali yaitu
dengan UU no. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009, ternyata tetap saja
mengalami kendala di dalam penegakannya.
Fakta pembangkangan yang dilakukan oleh KPUD TTU terhadap Putusan
Peradilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) ditimbulkan oleh
beberapa sebab antara lain :
1) Di dalam UU Tentang PTUN masih terdapat klausul yang menakomodir Asas
vermoden van rechtmatigheid atau asas Praesumtio iustae causae yang
termaktub dalam Pasal 67 ayat (1) Gugatan tidak menunda atau menghalangi
dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara serta
tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat. Dengan
demikian, untuk membatalkan KTUN haruslah melwati semua tahapan peradilan
TUN yang tentu saja memakan waktu yang lama, sedangkan tahapan-tahapan
yang berhubungan dengan keberadaan KTUN tidak dapat ditunda/dipending dan
ketika putusan PTUN yang inkracht dijatuhkan

justeru semua tahapan

pemilukadal sudah selesai.
Bahwa dalam Pasal 115 UU PTUN disebutkan bahwa: “Hanya putusan yang
telah memperoleh kekuatan bahwa: “Hanya putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap tidak

memiliki kekuatan eksekusi atau

dengan kata lain putusan pengadilan yang masih mempunyai upaya hukum tidak
dapat dimintakan eksekusinya9.berlakunya Pasal ini dapat berdampak pada
terjadi perubahan keadaan, sebagaimana yang terjadi di TTU di mana semua
tahapan Pemilukada langsung telah selesai.

9

Zairin Harahap. 1997. HukumAcara Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: PT.Raja

Grafindo Persada. Hlm. 150

21

2) Pelaksanaan keputusan TUN telah bersinggungan/berbenturan dengan Putusan
MK tentang sengketa Pilkada TTU atas Perkara NO. 192/PHPU.D-VIII/2010 dan
Perkara No. 193 PHPU.D-VIII/2010 yang kemudian dimenangkan oleh
Raymundus Fernandez/Aloisius Kobes (Dubes) terhadap gugatan Manis. Sesuai
dengan ketentuan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UndangUndang

Dasar,

memutus

yangkewenangannya

sengketa

diberikan

oleh

kewenangan
Undang-Undang

lembaga
Dasar,

negara
memutus

pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.
Di pihak lain, putusan Kasasi yang dikeluarkan oleh MA terhadap Keputusan
KPUD TTU No. 18 dan No. 19 Tentang Penetapan Calon Bupati/Wakil Bupati
Timor Tengah Utara yang mengabulkan gugatan Paket ESA (Edy Meol dan
Dominikus Saijao) atau telah dimenangkan oleh Paket ESA. Sesuai dengan
perintah UUD 1945, sifat putusan MK adalah final dan meengikat (final and
binding) sebagaimana diteegaskan dalam UUD 1945 Pasal 24 C ayat (1)

3) Meskipun sudah ada langkah maju ketentuan Pasal 116 yang mngatur ketentuan
seperti :
(1) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah
90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak
dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua
pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan
memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
(2) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh

kekuatan

hukum

tetap,

terhadap

pejabat

yang

bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang
paksa dan/atau sanksi administratif.

22

(3) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera
sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(4) Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada
Presiden

sebagai pemegang

kekuasaan pemerintah tertinggi untuk

memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan
kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
(5) Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata
cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif
diatur

Penjatuhan sanksi sangat bergantung pada peran AN tingkat atasnya akan sangat
sulit diterapkan jikalau tidak mempunyai hubungan kewenangan. Dalam kasus
hukum di TTU, meskipun sudah Perintah Mensesneg tersebut disampaikan
melalui surat bernomor R.73/M.Sesneg/D-4/PU.10.01/4/2012 yang dikeluarkan
5 April lalu. Surat itu sekaligus menanggapi pengaduan kandidat bupati Timor
Tengah Utara Ferdi Meol kepada presiden yang mempersoalkan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) setempat belum melaksanakan putusan Mahkamah
Agung mengenai pencabutan surat keputusan (SK) penetapan calon pasangan
bupati/wabup menjadi macan ompong karena antara Presiden dan Mendagri
dengan KPUD tidak mempunyai hubungan kewenangan. KPU menurut UUD
1945 merupakan suatu lembaga yang indipenden. Kewengan yang dimiliki oleh
KPUD merupakan kewenangan atributuf. Kewenangan KPUD tidak bias dicabut
oleh presiden karena kekuasaan KPU bukan merupakan pendelegasian
kewenangan dari Presiden.
Dalam Pasal 116 baru mengenal 2(dua) jenis upaya paksa yang dapat diterapkan
manakala pihak tergugat (baca: Pejabat Tata Usaha Negara) tidak mentaati dan
melaksanakan secara suka rela putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap, yaitu:
a. Upaya paksa berupa sanksi administrasi dan atau;

23

b. Upaya paksa berupa pembayaran uang paksa (dwangsom) dan masih
dapat diterapkan pula kemungkinan untuk adanya sanksi pengumuman
(publikasi) putusan dalam media massa cetak.
Penjatuhan uang paksa (dwangsom) bagi pejabat TUN yang tidak
melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap atau sanksi
administrative serta publikasi di media cetak diharapkan dapat
memberikan efek jera terhadap pejabat TUN yang sebelumnya sulit
untuk dijerat. Pemberlakuan uang paksa merupakan salah satu tekanan
agar orang atau pihak yang dihukum mematuhi dan melaksanakan
hukuman. Namun, dalam penerapannya pemberlakuan uang paksa
(dwangsom)masih menimbulkan problema

berkenaan dengan siapa

yang akan dibeebankan uang paksa (dwangsom) dan sejak kapan uang
paksa (dwangsom) diberlakukan.
Bahwa penerapan dwangsom tidak dapat diterapkan pada semua
putusan PTUN. Penerapan dwangsom hanya dapat dibebankan pada
putusan PTUN yang bersifat penghukuman (putusan condemnatoir).
Pejabat TUN yang sedang menjalankan tugasnya dalam kedinasan dan
kemudian menimbulkan suatu kerugian bagi masyarakat, namun tugas
tersebut dilaksanakan sesuai dengan hukum maka kerugian yang
dialami masyarakat harus dibebankan kepada negara karena merupakan
kesalahan teknis di dalam menjalankan fungsi Tata Usaha Negara.
Lain halnya jika pada saat Pejabat TUN tidak patuh untuk
meklaksanakan putusan PTUN pada saat pejabat tersebut tidak sedang
melaksanakan tugas negara. Apabila terjadi hal demikian, maka
pertanggungjawabannya dibebankan secara pribadi kepada pejabat
TUN yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan teori kesalahan yang
dikembangkan oleeh Yurisprudensi Counsil d’Etat yang membedakan
kesalahan dinas faute de serve) dan kesalahan pribadi (faute de
personelle).
Dalam pelaksanaan uang paksa, mekanisme pembayaran uang paksa
juga perlu diperhatikan, karena yang dihukum untuk melaksanakan
24

putusan PTUN adalah pejabat TUN yang

masih aktif dan masih

mendapatkan gaji secara rutin. Alangkah efektifnya jikalau pengenaan
dwangsom diambil dari gaji bulanan pejabat TUN yang bersangkutan.
Berkenaan dengan ini, perintah pemotongan gaji harus tertuang dalam
amar putusan hakim yang memerintah Kepala kantor Perbendaharaan
dan Kas Negara (KPKN).
Namun untuk melaksanakan pembayaran uang paksa yang dikenakan
kepada pejabat TUN yang bersangkutan masih menimbulkan kendala.
Kendala yang pertama adalah apabila dalam pelaksanaan eksekusi
ternyata pejabat TUN yang bersangkutan dipindahtugaskan ke tempat
wilayah kerja KPKN yang berbeda. Upaya yang dapat dilakukan untuk
menghadapi kendala pertama adalah dengan adanya kordinasi antara
PTUN yang satu dengan PTUN yang lainnya, dan antara PTUN dengan
Pengadilan Negeri jika ternyata pejabat TUN pindah di tempat yang
tidak ada PTUN. Kendala selanjutnya adalah apabila gaji pejabat yang
bersangkutan tidak mencukupi untuk membayar uang paksa. Adapun
upaya yang dapat dilakukan untuk menhadapi kondisi ini adalah dengan
cara pejabat yang bersangkutan dapat mengangsur setiap bulan dengan
mempertimbangkan sisa gai yang layak untuk biaya hidup.

4) Penjatuhan sanksi sangat bergantung pada peran AN tingkat atasnya akan sangat
sulit diterapkan jikalau tidak mempunyai hubungan kewenangan. Dalam kasus
hukum di TTU, meskipun sudah Perintah Mensesneg tersebut disampaikan
melalui surat bernomor R.73/M.Sesneg/D-4/PU.10.01/4/2012 yang dikeluarkan
5 April lalu. Surat itu sekaligus menanggapi pengaduan kandidat bupati Timor
Tengah Utara Ferdi Meol kepada presiden yang mempersoalkan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) setempat belum melaksanakan putusan Mahkamah
Agung mengenai pencabutan surat keputusan (SK) penetapan calon pasangan
bupati/wabup menjadi macan ompong karena antara Presiden dan Mendagri
dengan KPUD tidak mempunyai hubungan kewenangan. KPU menurut UUD
1945 merupakan suatu lembaga yang indipenden. Kewengan yang dimiliki oleh
KPUD merupakan kewenangan atributuf. Kewenangan KPUD tidak bias dicabut
25

oleh presiden karena kekuasaan KPU bukan merupakan pendelegasian
kewenangan dari Presiden.

5) Dalam UU PTUN juga masih terdapat klausul yang memungkinkan AN untuk
mengabaikan Putusan PTUN yang tertuang dalam Pasal 117 ayat (1) UU No. 5
Tahun 1986 yang isinya :
“Sepanjang mengenai kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat
11) apabila tergugat tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna malaksanakan
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap disebabkan
oleh berubahnya keadaan yang terjadi setelah putusan Pengadilan dijatuhkan
dan/atau memperoleh kekautan hukum tetap, ia wajib memberitahukan hal itu
kepada Ketua Pengadilan. Pasal ini, memberikan ruang untuk AN termasuk
KPUD TTU untuk menginterpretasikan “berubahnya keadaan”, untuk
menghambat pelaksanaan putusan PTUN.
6) Hal yang paling prinsip adalah tidak adanya eksekutor yang mandiri untuk
melaksanakan putusan PTUN.

D. KESIMPULAN
SK KPUD TTU termasuk dalam kategori keputusan/beschikking yang
mengandung kekurangan yuridis (rechts-brekking) dari sisi prosedur

karena

pembuatannya tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam UU No. 22
Tahun 2007. Namun untuk melaksanakan putusan peradilan yang telah berkekuatan
hukum tetap (inkracht), putusan PTUN memiliki kelemahan :
1. Keputusan TUN dianggap rechtmatigheid sebelum mempunyai kekuatan hukum
tetap `karena PTUN tidak mengenal penundaan pelaksanaan KTUN, sehingga
pelaksanaan SK No.18 dan 19 Tahun 2010 KPUD
2. Pelaksanaa putusan PTUN tentang Pembatalan KTUN No.18 dan 19 telah
didahului dengan keluarnya putusan MK berkenaan dengan gugatan tentang
hassil pilkada yang sifatnya final dan mengikat. Dengan kondisi ini Putusan
PTUN menjadi tidak berkekuatan kesekutorial.
3. Pelaksanaan putusan sangat bergantung pada kesadaran hukum AN (KPUD
TTU) karena PTUN tidak ada lembaga eksekutor yang dapat memaksa
pelaksanaan putusan TUN.
26

4. Perintah Presiden melalui Mensesneg yang disampaikan melalui surat bernomor
R.73/M.Sesneg/D-4/PU.10.01/4/2012

tertangga5

April

tentang perintah melaksanakan putusan peradilan TUN yang sudah berkekuatan
hukum tetap (inkracht) tidak mengikat atau wajib dilaksanakan oleh KPUD
karena KPUD adalah lembaga indipenden yang tidak mempunyai hubungan
kewenangan dengan Mensesneg bahkan Presiden sekalipun. Institusi yang dapat
memaksa KPUD untuk membatalkan SK No. 18 dan 19 Tahun 2010 adalah
KPUD Provinsi atau KPU Pusat karena KPUD menjalankan kewenangan yang
didelegasikan oleh KPU Pusat.
5. Sebenarnya penerapan pasal 116, UU No. 9 tahun 2004 sudah menjadi lebih
baik dari pada sebelom di revisi. Hal ini dapat dilihat dari sangsi yang lebih
berat didalamnya. Namun Uang paksa (dwangsom) masih menimbulkan
permasalahan, antara lain jenis putusan apa yang dapat dikenakan uang paksa
(dwangsom), siapa yang akan dibebankan uang paksa (dwangsom), dan sejak
kapan uang paksa (dwangsom) diberlakukan.
6. Bahwa penerapan dwangsom tidak dapat dapat diterapkan pada semua putusan
PTUN. Penerapan dwangsom hanya dapat dibebankan pada putusan PTUN yang
bersifat penghukuman (putusan condemnatoir).
7. Untuk melaksanakan Pasal 116 UU No. 51 tahun 2004 tersebut diperlukan
adanya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. Diharapkan nantinya dengan
adanya kepastian tentang pejunjuk-petunjuk tersebut pelaksanaan UU Pasal 116
No. 9 tahun 2004 dapat terkontrol dengan seimbang dan adil sehingga membawa
kepastian hukum bagi masyarakat.

E. SARAN
Melihat kendala yang dialami PTUN untuk melaksanakan putusan yang
sudah berkekuatan hukum tetap sebaiknya perlu dilakukan amandemen UU No. 5
Tahun 1986 yang memuat :
1. Sengketa berkeenaan dengan tahapan pilkada di PTUN haruslah
menggunanakan system acara cepat sehingga PTUN dapat mengambil
putusan secara cepat dan permasalahannya ini tidak berlarut-larut.
2. Lembaga khusus yang memiliki kewenangan eksekutorial agar putusan
PTUN berwibawa dan mempunyai dampak eksekutorial.
27

3. Perlu ditinjau lagi pemberlakuan asas praesumptio iustae causa yang
termaktub dalam Pasal 67 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986.
4. Perlu diatur secara mendetail berkenaan dengan bentuk-bentuk sanksi
bagi AN yang melakukan pembangkangan terhadap Putusan PTUN
yang sudah berkekuatan hukum tetap, termasuk sanksi administrative
seperti sanksi pemberhentian bagi yang melakukan pembangkangan.
5. Pasal 116 ayat (5) UU No. 51 Tahun 2009 perlu memperjelas “SIAPA”
yang wajib membayar sanksi apakah AN sebagai personal ataukah
sebagai

institusi!!!

Sebaiknya

tanggung

jawab

pelaksanaannya

dikenanakan pada personal/individu sehingga ada efek jera. Besaran
sanksi haruslah ada standard minimal pengenaan sanksi pembayaran
uang paksa

dan/sanksi administrative. Bila perlu mencantumkan

pembangkangan sebagai “contempt of court” dan sanksinya juga harus
konkrit dan memberikan efek jera.

DAFTAR PUSTAKA
Harahap, Zairin, 1997. HukumAcara Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta:
PT.Raja Grafindo Persada.
Mustafa, Bachsan, Pokok-Pokok hukum Administrasi Negara, PT Citra Aditya,
Bandung, 1990.
Usman, Sunyoto, Otonomi Daerah, Desentralisasi dan Demokratisasi, dalam
Edy Suandi, Sobirin Malian (ed.), Memperkokoh Otonomi
Daerah (Kebijakan, Evaluasi dan Saran), UII Press,
Yogyakarta
Turner, Mark and David Hulme, Governance, Administration and Development,
MacMillan Press Ltd. London, 1997
Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya,
1994..
Mustafa, Bachsan, Pokok-Pokok hukum Administrasi Negara, PT Citra Aditya,
Bandung, 1990.
Harahap, Zairin, 1997. HukumAcara Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta:
PT.Raja Grafindo Persada.
28

Jejaknews.com, Ribuan Massa Demo Agar Bupati TTU Turun Dari Jabatannya.
Victory News, 19 April 2012, Bupati dan Wakil Bupati Timor Tengah Utara
Terancam Diberhentikan,

29

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24