Kapitalisasi pasar Lingkungan Dan Komodifikasi

Kapitalisasi Lingkungan Dan Komodifikasi Kebudayaan Dalam Pengembangan Pariwisata
Di Pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat
4.1 Pengertian Kapitalisasi Lingkungan
Kapitalisasi Lingkungan terdiri dari dua suku kata yaitu “Kapitalisasi” dan
“Lingkungan”, merujuk dari keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor:
01/KM.12/2001. Kapitalisasi diartikan sebagai penentuan nilai pembukuan terhadap semua
pengeluaran untuk memperoleh aset tetap hingga siap pakai, untuk meningkatkan
kapasitas/efisiensi, dan atau memperpanjang umur teknisnya dalam rangka menambah nilai-nilai
aset tersebut.
Sedangkan pengertian Lingkungan yang diperoleh di Halaman Wikipedia (2004) adalah
kombinasi

antara

kondisi

fisik

yang

mencakup


keadaan

sumber

daya

alam

seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun
di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan
bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut. Lingkungan juga dapat diartikan menjadi
segala sesuatu yang ada di sekitar manusia dan mempengaruhi perkembangan kehidupan
manusia. Lingkungan terdiri dari komponen abiotik dan biotik. Komponen abiotik adalah segala
yang tidak bernyawa seperti tanah, udara, air, iklim, kelembaban, cahaya, bunyi. Sedangkan
komponen biotik adalah segala sesuatu yang bernyawa seperti tumbuhan, hewan, manusia
dan mikro-organisme (virus dan bakteri).
Apabila digabungkan dari pengertian-pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
Kapitalisasi Lingkungan adalah suatu tindakan pembukuan terhadap semua pengeluaran untuk
memperoleh aset baik itu aset sumber daya alam seperti tanah, air , energi surya, mineral, serta

flora dan fauna yang tumbuh diatas tanah maupun di dalam lautan hingga siap pakai untuk
meningkatkan kapasitas/efisiensi dalam rangka menambah nilai-nilai aset tersebut.
4.2 Pengertian Komodifikasi Kebudayaan
Komodifikasi kebudayaan Menurut Sariyanta (2012) berarti perubahan sebagian atau
bahkan hampir seluruh budaya agar lebih komersial dan memiliki nilai jual yang tinggi yang
tujuan utamanya adalah menarik minat wisatawan yang melihatnya. Hal ini membuat budaya
tidak lagi hanya dinilai dari aspek sentimental, tetapi juga sudah dinilai dengan material (uang).
Di satu sisi masyarakat dengan berbagai komponen di dalamnya berusaha melestarikan dengan
tetap mempertahankan nilai-nilai kesakralan, tetapi di sisi lain adanya pengaruh berbagai faktor,

khususnya faktor ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan, menjadikan masyarakat
pendukung budaya dilematis.
4.3 Deskripsi Kasus Kapitalisasi Lingkungan
Salah satu contoh kasus Kapitalisasi Lingkungan yang ada di Pulau Lombok yaitu
pelanggaran zonasi wilayah pembangunan resort di Pulau Gili Trawangan oleh para pihak
swasta. Pada Peta Tata Ruang yang tertuang dalam SK Gubernur NTB No. 500 tahun 1992 telah
digambarkan batas-batas zonasi wilayah peruntukkan Resort Pariwisata Gili Trawangan. Peta
Tata Ruang tersebut menggambarkan zonasi-zonasi wilayah peruntukkan akomodasi, wilayah
peruntukkan wisata bahari, wilayah peruntukkan fasilitas penunjang, wilayah peruntukkan
penyangga, wilayah peruntukkan permukiman dan perladangan, wilayah peruntukkan lapangan

golf, dan wilayah peruntukkan tambak yang diperkenankan di Resort Pariwisata Gili Trawangan.
Namun pada kenyataannya zonasi-zonasi yang telah dibuat dilanggar, usaha-usaha akomodasi
menjamur, sehingga pembangunannya tidak hanya dilakukan pada zonasi wilayah peruntukkan
akomodasi saja, melainkan sudah mencapai zonasi wilayah peruntukkan penyangga dan wilayah
permukiman penduduk.
Fenomena ini kemungkinan terjadi dikarenakan banyaknya pihak swasta yang tertarik
dengan Resort Pariwisata Gili Trawangan dan ingin menanamkan infestasinya berupa usaha
akomodasi di Gili Trawangan. Dengan banyaknya pihak yang tertarik untuk menanamkan
investasinya di Gili Trawangan tentu disambut hangat oleh Pemerintah Daerah setempat karena
pertimbangan akan menambah income daerah yang dapat digunakan untuk mengembangkan
Resort Pariwisata Gili Trawangan. Dengan menjamurnya usaha-usaha akomodasi tentu saja
wilayah peruntukkan akomodasi tidak dapat menampung lagi usaha-usaha akomodasi yang ada.
Selain karena keterbatasan lahan wilayah peruntukkan akomodasi, menyebarnya usaha
akomodasi juga dikarenakan pemilik usaha akomodasi ingin menempati lokasi baru yang masih
sepi demi memperoleh pemandangan yang berbeda dengan usaha akomodasi yang lain. Oleh
karena itu, keadaan ini menyebabkan pembangunan usaha akomodasi tidak hanya dilakukan
pada wilayah peruntukkannya, namun juga merambah pada wilayah disekitarnya, yakni
dilakukan pada wilayah peruntukkan penunjang, wilayah peruntukkan penyangga dan wilayah
peruntukkan permukiman; yang notabene wilayah peruntukkan penyangga adalah kawasan hutan
lindung. Keberadaan usaha akomodasi yang melebih batas yang diperkenankan telah


menurunkan daya dukung lingkungan Gili Trawangan, berdampak buruk bagi keseimbangan
ekosistem yang ada.
Dalam tujuan fisik pengembangan pariwisata di NTB tercantum bahwa kepastian dan
kesesuaian tata guna tanah yang diperuntukkan bagi pengembangan obyekobyek pariwisata,
yang dapat diartikan bahwa seluruh tata guna lahan pada Resort Pariwisata Gili Trawangan agar
disusun sedemikian rupa sehingga pengembangan Resort Pariwisata Gili Trawangan dapat terus
berkesinambungan tanpa merusak kelestarian alam aslinya. Untuk menindaklanjutinya kemudian
disusun Surat Keputusan Gubernur Dati I NTB No 500 tahun 1992 tentang Rencana Tata Ruang
Resort Pariwisata Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan, yang sudah memuat peta tata ruang
resort pariwisata Gili Trawangan, termasuk tata guna lahannya. Namun keberadaan Rencana Tata
Ruang tadi tak lebih dari sekedar peta tata ruang wilayah peruntukkan resort pariwisata Gili
Trawangan, karena pada kenyataannya penataan dan pengembangan resort pariwisata Gili
Trawangan telah menyimpang dari apa yang telah direncanakan, terutama pada zonasi wilayah
peruntukkan akomodasi dan persyaratannya.
Dalam tujuan Peraturan Daerah Propinsi Dati I NTB No 9 Tahun 1989 tertulis agar
memelihara keseimbangan lingkungan hidup yang serasi dan aman, yang dapat diartikan sebagai
larangan untuk mengambil atau memindahkan pasir pantai serta segala macam kekayaan laut
untuk keperluan apapun, serta larangan untuk mengotori pantai dengan berbagai macam limbah.
Namun, karena kurang terkontrolnya aktifitas yang dilakukan wisatawan serta warga setempat

ternyata telah mendatangkan kerusakan lingkungan baik daratan maupun wilayah perairan.
Masih terkait dengan banyaknya usaha-usaha akomodasi yang ada di Gili Trawangan ternyata
telah menyebabkan kerusakan lingkungan, baik itu daratan maupun perairan. Pengunjung yang
menginap di usaha-usaha akomodasi tadi secara illegal mengambil kekayaan alam yang ada di
lingkungan tersebut untuk dijadikan cinderamata. Bahkan masyarakat setempat-pun ikut
mengumpulkan kekayaan alam yang berada di dalam lingkungannya untuk kemudian dijual
kepada pengunjung sebagai cinderamata. Hal ini terjadi karena adanya kesempatan bagi mereka
untuk melakukannya dan kurangnya kesadaran penduduk serta wisatawan yang datang untuk
ikut menjaga dan melestarikan lingkungan tempat tinggal mereka. Semua penyimpangan yang
terjadi di Gili Trawangan bermula ketika tidak ditaatinya zonasi dan persyaratan bagi wilayah
peruntukkan akomodasi di Gili Trawangan, penyimpangan ini saling tarik menarik satu sama

lain, penyimpangan yang satu menarik penyimpangan yang lain, yang pada akhirnya
kesemuanya menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan Resort Pariwisata Gili Trawangan.
4.4 Deskripsi Kasus Komodifikasi Kebudayaan
Salah satu contoh Komodifikasi Kebudayaan yang terjadi di PulauLombok adalah
Komodifikasi Pura Batu Bolong demi kegiatan pariwisata. Pura Batu Bolong terletak di wilayah
Pantai Senggigi Kabupaten Lombok Barat, saat ini Pura Batu Bolong sangat dinikmati oleh para
wisatawan karena keunikan maupun pemandangan alam di sekitas pura tersebut. Seperti
namanya Pura Batu Bolong terletak di atas batu hitam Pantai Senggigi yang memiliki lubang

atau lubang di tengah. Dengan posisinya yang mengarah ke laut, pura ini memiliki suasana
keindahan tersendiri, sekilas Pura Batu Bolong ini akan mengingatkan kita pada Pura Tanah Lot
yang ada di Bali, bangunan ibadah yang terletak di bibir pantai dengan posisi mengarah ke laut.
Komodifikasi Pura Batu Bolong dalam konteks pariwisata menjadi hal yang menarik
untuk diteliti lebih mendalam terkait dengan sosial budaya dan segala aspek kehidupan
masyarakat pendukungnya. Kenyataan menunjukkan bahwa kedatangan wisatawan baik lokal
maupun asing sebagai konsumen telah membawa pengaruh terhadap sosial ekonomi masyarakat.
Pura Batu Bolong sebagai daya tarik wisata dikomodifikasi untuk mendapatkan keuntungan
ekonomi. Hal tersebut memunculkan budaya konsumerisme dan kapitalisme yang dapat
menimbulkan komodifikasi pada setiap aspek kehidupan masyarakat. Para kapitalis
menggunakan segala cara untuk mengkomersialkan seluruh ranah kehidupan dan ranah
kebudayaan, termasuk pusaka budaya Pura Batu Bolong.
Saat ini Pura Batu Bolong telah keluar dari kesakralanya karena banyaknya para
wisatawan yang berkunjung di pura ini tanpa memperhatikan tata krama, etika, maupun sikap
yang baik pada saat mengunjungi Pura ini, pada saat masuk di Pura tersebut, wisatawan tidak
menggunakan pakaian yang sopan layaknya memasuki tempat-tempat ibadah pada umumnya,
wisatawan bebas saja memasuki wilayah Pura dengan Menggunakan celana pendek maupun
membuang sampah semabarangan di sekitar Pura. Pura Batu Bolong telah menjadi sebuah
komoditas dengan tujuan untuk dijual ke pasar, sehingga mengakibatkan Pura tersebut telah
keluar dari kesakralannya sebagai tempat ibadah.

4.5 Deskripsi Dampak Kapitalisasi Lingkungan
Dampaknya terhadap lingkungan adalah degradasi fungsi dan manfaat hutan
dan lahan, serta terjadinya banjir dan hilangnya keanekaragaman hayati yang menjadi kekhasan

wilayah tersebut. Dampak lain misalnya berimbas pada daerah resapan air yang mempengaruhi
kualitas air minum bahkan kekeringan.
4.6 Deskripsi Dampak Komodifikasi Kebudayaan
a. Dampak Positif
- Meningkatnya lapangan kerja
- Meningkatkanya lapangan usaha
- Meningkatnya kesejahteraan masyarakat
- Mendorong pertumbuhan sektor perdagangan masyarakat
- Pendapatan daerah meningkat
- Pelestarian budaya-budaya masyarakat lokal, seperti kegiatan keagamaan, adat-istiadat
dan tradisi,
- Diterimanya pengembangan objek wisata dan kedatangan wisatawan olehmasyarakat
lokal.
- Wawasan dan cara pandang masyarakat lebih terbuka
b.


Dampak Negatif
Komersialisasi tempat suci sehingga terjadi pergeseran nilai-nilai tradisi dan pencemaran

kesucian tempat suci Pudarnya identitas dan nilai sejarah Masyarakat menjadi Konsumerisme
dan materialistis (komersial) sehingga nilai-nilai kekeluargaan dan keakraban menjadi hilang dan
terkorbankan. Selain itu, Dampak sosial budaya menurut Cooper (1993) muncul karena industri
pariwisata melibatkan tiga hal, yaitu: Wisatawan, Masyarakat setempat, dan Hubungan
wisatawan dan masyarakat.
Dampak sosial budaya muncul apabila terjadi interaksi antara wisatawan dan masyarakat
ketika (1) wisatawan membutuhkan produk dan membelinya dari masyarakat disertai tuntutantuntutan sesuai dengan keinginannya, (2) pariwisata membawa hubungan yang informal dan
pengusaha pariwisata mengubah sikap spontanitas masyarakat menjadi transaksi komersial, dan
(3) wisatawan dan masyarakat bertatap muka dan bertukar informasi atau ide, menyebabkan
munculnya ide-ide baru.