peran perempuan dalam dunia politik di I (1)

Perempuan dalam Politik di Indonesia, masih “Hiasan” kah?
PERAN perempuan dalam ranah politik di Indonesia bisa dikatakan masih minim, dan aspirasi
kaum perempuan cenderung diabaikan. Di Indonesia negara yang masih cenderung Patriarkal
suara perempuan kurang didengarkan, meski di zaman modern ini telah banyak pergerakan
perempuan mulai dari organisasi hingga partai politik, namun dalam prakteknya suara
perempuan diredam oleh kepentingan kaum laki-laki. Sejarah, budaya dan ideologi dapat
dikatakan sebagai latar belakang keterpurukan peran perempuan dalam politik di Indonesia.
Sebagaimana diketahui bahwa budaya di Indonesia yang pada umumnya menempatkan posisi
pada perempuan sebagai pihak yang berperan untuk mengurusi aktivitas non politis seperti
mengurus rumah tangga, anak dan sebagai pendamping kaum laki-laki membentuk sebuah
konstruksi yang menyulitkan perempuan untuk bergerak ikut serta dalam ranah sosial politik.

Selain itu ideologi Islam yang merupakan pengaruh terbesar dalam sosial, budaya dan politik di
Indonesia yang tidak menyokong keberadaan perempuan untuk menyelami politik. Pemimpin
dalam islam adalah harus seorang kaum laki-laki, sedangkan perempuan tidak diwajibkan atau
malah tidak bisa mengambil peran untuk ikut aktif layaknya kaum laki-laki. Pengaruh ideologis
inilah yang sangat mewarnai perpolitikan Indonesia. Padahal pada faktanya kaum perempuan
adalah masyarakat mayoritas di Indonesia dan tentunya perempuan punya segudang aspirasi
untuk disampaikan dan dilaksanakan, walau beberapa aspirasi dapat disampaikan melalui kaum
laki-laki yang memimpin dan mampu mendengarkan suara perempuan, tetap saja laki-laki
bukanlah perempuan walau kaum laki-laki selembut dan mempunyai jiwa feminim namun lakilaki tidak dapat mempunyai cita dan rasa perempuan.


Hal ini lah yang menyebabkan mengapa perempuan harus menjadi bagian dalam politik,
pemerintahan dan pengambilan kebijakan. Karena hanya kaum perempuan lah yang mampu
mengerti permasalahan mereka dan bagaimana cara penyelesaiannya. Kebanyakan suara aspirasi
dari perempuan tidak tersampaikan dalam pembuatan kebijakan di pemerintahan karena perlunya
representatif yang menampung aspirasi kaum perempuan. Nyatanya, perempuan mempunyai
porsi wajib sebesar 30 persen di parlemen namun tidak semua tempat yang disediakan itu terisi
oleh perempuan. Saat ini hanya sekitar 10 persen kursi di parlemen yang diisi perempuan.
Mengingat latar belakang sejarah dan kultural tadi serta diperparah dengan konstruksi sosial di
tengah masyarakat memang bisa dikatakan politik adalah hal yang sulit bagi kaum mayoritas
yang termarginalisasikan ini.

Pada saat ini peraturan yang mewajibkan harus adanya representatif perempuan dalam partai
politik juga sering di salah gunakan. Sebagai contoh parpol yang kekurangan anggota perempuan
merekrut seseorang yang mempunyai tingkat popularitas yang tinggi dan diharapkan
pengaruhnya dapat meningkatkan popularitas parpol tersebut. Tentunya salah konsepsi parpol
yang tidak mementingkan kualitas intelektual anggotanya yang akan maju sebagai wakil rakyat

untuk menyuarakan aspirasi rakyat di pemerintahan nanti memberikan dampak buruk atas
representatif politik di dalam pengambilan kebijakan. Namun hal ini didukung juga dengan

masih awamnya masyarakat Indonesia dalam memilih wakilnya nanti di pemerintahan. Begitu
juga perempuan, banyak artis perempuan yang bisa dikatakan “bodoh” dalam intelektual
politiknya terpilih hanya karena popularitas, di sisi lain parpol menjadikan artis perempuan
tersebut sebagai pajangan untuk dapat meningkatkan popularitas parpol dan hanya demi
terpenuhi aturan untuk parpol yang mewajibkan adanya representatif perempuan. Perempuan
dalam hal ini menjadi subjek politik partai dan tidak dapat bergerak dengan membawa aspirasi
perempuan, dapat dikatakan bahwa perempuan dalam perpolitikan Indonesia masih menjadi
“hiasan” partai politik.