Ringkasan Tentang Hubungan Keuangan Pusa
Ringkasan Tentang Hubungan Keuangan Pusat dan
Daerah di Indonesia Pasca Desentralisasi 1
Oleh:
Kodrat Wibowo, Ph.D2
Universitas Padjadjaran
Disajikan dalam kegiatan “Pelatihan Pendalaman Kompetensi
Bidang Tugas Legislatif Anggota DPRD Kabupaten Sukabumi”,
6-7 Desember, 2004, Sukabumi Jawa Barat, kerjasama antara
Bidang Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Sukabumi dan
Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas
Padjadjaran.
Berdasarkan UU 32/2004 tentang Penyelenggaraan Pemerintah Daerah sebagai
Pengganti/revisi dari UU 22/1999 yang dianggap tidak sesuai lagi dengan
perkembangan pemerintahan.
2
Staf pengajar dan peneliti Universitas Padjadjaran. Sekarang menjabat sebagai
sekretaris LP3E-FE Unpad.
1
UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Prinsip-Prinsip
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
UU ini dibuat sebagai revisi atau pengganti UU No. 22 Tahun 1999
tentang topik yang sama karena pertimbangan tidak sesuainya isi UU
No. 22/1999 ini dengan keadaan terkini di negara Indonesia.
UU No. 32/2004 ini telah merubah beberapa asumsi dasar terkait
dengan pemegang otoritas pemerintahan dan kewenangan
pembangunan di sebuah daerah, juga terkait dengan perubahan
sistem pemilihan kepala daerah. Harapan pemerintah pusat adalah
bahwa dengan revisi itu, masalah kesenjangan antara satu daerah
dengan daerah lain bisa teratasi. Karenanya otonomi daerah secara
utuh pada daerah kabupaten dan kotamadya lebih dibatasi dengan
mengaktifkan kembali hubungan hierarki antara pemerintah propinsi
dengan daerah kabupaten/Kota yang ditiadakan sebelumnya dalam UU
No. 22/1999.3
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah4
Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi,
dekonsentrasi, dan tugas pembantuan berdasarkan amanat UUD 1945.
Isi tentang kewenangan pemerintah pusat yang terdapat dalam PP 25
Tahun 2000 secara tertulis ditekankan secara ekspilisit dalam ayat
tersendiri, dimana kewenangan pemerintah pusat adalah bidang politik
luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,
serta agama sedangkan kewenangan pemerintahan yang diserahkan
kepada daerah terdiri dari dua urusan kewenangan pemerintahan yaitu
urusan wajib dan pilihan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan provinsi mencakup bidang
pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten/kota serta kewenangan
dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya. Sedangkan urusan wajib
bagi pemerintah kabupaten/kota persis sama dengan yang dimiliki
provinsi dengan perbedaan mendasar yaitu masih memungkinkan
adanya intervensi pemerintah provinsi dalam beberapa bidang
tertentu yang sifatnya crucial yaitu:
1. penangulangan masalah sosial,
Bandingkan isi pasal 1 ayat 1 antara kedua UU ini, kemudian terjadi penghilangan
ayat yang menyatakan daerah-daerah tidak mempunyai hubungan hierarki satu
sama lain.
4
Masalah-masalah non-ekonomi seperti sistem pemilihan kepala daerah dan anggota
DPRD tidak akan dibahas dalam makalah ini karena relevansi yang kurang dalam
pembahasan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
3
2
2.
3.
4.
5.
6.
pelayanan bidang ketenagakerjaan
pengembangan koperasi, dan UKM
pelayanan pertanahan
pelayanan administrasi penanaman modal, dan
pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh
kabupaten/kota guna menjamin keseimbangan pembangunan,
terjangkaunya pelayanan pemerintahan yang merata di wilayah
propinsi
Urusan pilihan yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota meliputi urusan pemerintahan yang nyata ada dan
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai
dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah bersangkutan.
Oleh karenanya beberapa bidang lain di luar urusan pemerintahan
yang menjadi wewenang pusat dapat dilimpahkan sebagian atau
ditugaskan sebagian kepada pemerintah daerah sebagai implementasi
hubungan vertikal antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu: (i)
kebijakan pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, (ii)
kebijakan alokasi dana perimbangan (iii) kebijakan konservasi sumber
daya alam, (iv) kebijakan pendayagunaan teknologi tinggi dan
strategis, pemanfaatan kedirgantaraan, kelautan, pertambangan, dan
kehutanan, dan (v) kebijakan pemberian pinjaman daerah atau hibah.
Mengingat banyaknya kasus bertabrakannya kepentingan antar
pemerintah daerah yang bertetangga dalam penyelenggaraan
kewenangan pemerintahannya, UU No. 32/2004 secara eksplisit juga
mengatur pola hubungan horizontal antar pemerintah daerah terutama
dalam bidang penyerasian lingkungan tata ruang dan bagi hasil dari
pemanfaatan SDA.
Sama halnya dengan UU No. 22/1999, pelaksanaan tugas pembantuan
menurut UU pemerintahan daerah dimungkinan tidak hanya dari
pemerintah pusat kepada daerah, tetapi juga dari pusat dan daerah
kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana,
serta SDM dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan
mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan.
Pemerintah daerah memilik hak dan kewajiban tertulis sebagai ramburambu karena pertimbangan banyaknya fungsi daerah yang
overlapping maupun tidak selaras dengan kebijakan pusat atau
propinsi. Dilain pihak, DPRD diperkuat posisinya sebagai salah satu
unsur dalam susunan pemerintahan daerah otonom yang memiliki hakhak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat dalam semua
hearing dengan pihak pemerintah daerah namun dibatasi oleh
kewajiban-kewajiban yang tertulis sebagai rambu-rambu kemungkinan
adanya penyelewengan wewenang dan jabatan.
3
Peran Gubernur dan pemerintah pusat via kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara sebagai dalam intervensinya kepada
pemerintah daerah kabupaten/kota sangat terlihat pada pasal-pasal
yang mengatur masalah kepegawaian daerah. Diantaranya tertulis
bahwa pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian pejabat eselon
II pada pemerintah Kabupaten/kota harus dikonsultasikan dengan
Gubernur5 dan penetapan formasi PNS daerah provinsi/Kabupaten/Kota
dilakukan oleh Mentri Pendayagunaan Aparatur Negara atas usul
Gubernur.6
Keuangan Daerah
Penyelenggaraan tugas pemerintah daerah dan DPRD dibiayai dari dan
atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun
bila urusan pemerintahan di daerah yang bersifat tugas pembantuan
karena sebenarnya adalah kewenangan pusat, tetap dibiayai oleh
Anggaran pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dalam bahasan dana bagi hasil, ditambahkan satu komponen dana
hasil yang bersumber dari pajak yaitu bagi hasil dari pajak penghasilan
(PPh)7. Menenggarai berbagai ketidakpuasan atas proporsi bagi hasil
dari sumber daya alam dari beberapa daerah yang memiliki sumber
daya alam lebih dibandingkan daerah lain, UU No. 32/2004
memungkinkan dasar perhitungan yang lebih proporsional dimana
penetapannya sekarang dilakukan oleh mentri teknis terkait melalui
pertimbangan mendagri.
Ditekankan pula bahwa untuk membiayai kegiatan pemerintahannya,
bila terjadi defisit, daerah dapat melakukan pinjaman yang bersumber
dari pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank dan
non-bank serta masyarakat lewat penerbitan obligasi daerah yang
akan diatur dengan peraturan pemerintah. Adapun yang berwenang
dan bertanggung jawab dalam melakukan pinjaman daerah ini adalah
kepala daerah. Pinjaman luar negeri tidak dapat dilakukan karena
bertentangan dengan kewenangan pemerintah pusat dalam urusan
luar negeri. Pemerintah daerah dapat membentuk dana cadangan
yang diatur dengan pemerintahan daerah. Dalam keadaan dimana
posisi keuangan daerah yang surplus, pemerintah daerah
diperkenankan untuk melakukan penyertaan modal pada badan usaha
milik pemerintah ataupun swasta. Posisi surplus defisit APBD ini wajib
dilaporkan kepada mendagri dan menkeu setiap semester dalam tahun
anggaran berjalan.
5
6
7
Pasal 130 ayat 2 UU No. 32/2004.
Pasal 132, UU No. 32/2004.
PPh Pasal 25, Pasal 29 dan Pasal 21
4
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
UU ini dibuat sebagai revisi atau pengganti UU No. 25 Tahun 1999
tentang topik yang sama karena pertimbangan tidak sesuainya isi UU
No. 25/1999 ini dengan keadaan terkini di negara Indonesia.
Perbedaan signifikan antara UU No. 33/2004 dan UU No. 25/1999
terletak pada kemungkinan lebih proporsionalnya dana perimbangan
antara pusat dan daerah, terlihat dari bertambahnya komponen dana
bagi hasil, dimana hasil pajak penghasilan (PPh) dan pajak dari sektor
pertambangan panas bumi yang merupakan sumber penerimaan pajak
pusat juga dibagi hasilnya dengan daerah. Berikut adalah pokok-pokok
muatan UU No. 33/2004 dibandingkan dengan UU No. 25/1999 8:
a. Penegasan prinsip-prinsip dasar perimbangan keuangan Pemerintah
dan
Pemerintahan
Daerah
sesuai
asas
Desentralisasi,
Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan;
b. Penambahan jenis Dana Bagi Hasil dari sektor Pertambangan Panas
Bumi, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi
Dalam Negeri dan PPh Pasal 21;
c. Pengelompokan Dana Reboisasi yang semula termasuk dalam
komponen Dana Alokasi Khusus menjadi Dana Bagi Hasil;
d. Penyempurnaan prinsip pengalokasian Dana Alokasi Umum;
e. Penyempurnaan prinsip pengalokasian Dana Alokasi Khusus;
f. Penambahan pengaturan Hibah dan Dana Darurat;
g. Penyempurnaan persyaratan dan mekanisme Pinjaman Daerah,
termasuk Obligasi Daerah;
h. Pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan;
i. Penegasan pengaturan Sistem Informasi Keuangan Daerah; dan
j. Prinsip akuntabilitas dan responsibilitas dalam Undang-Undang ini
dipertegas dengan pemberian sanksi.
Prinsip Dasar
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah
suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara
kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah serta pemerataan antar-Daerah secara
proporsional,
demokratis,
adil
dan
transparan
dengan
memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan Daerah, sejalan
dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara
penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan
pengawasan keuangannya.
Tertulis dalam penjelasan UU No. 33/2004, Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
8
5
Penerimaan, Pengeluaran dan Pembiayaan
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah mengatur
penyediaan
sumber-sumber
pembiayaan
berdasarkan
desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Menurut
undang-undang ini penyelenggaraan tugas daerah dalam rangka
desentralisasi
dibiayai
atas
beban
APBD
kecuali
urusan
pemerintahan yang merupakan tugas pembantuan dari pusat.
Adapun sumber-sumber penerimaan daerah diperoleh dari: (i)
Pendapatan Asli Daerah (hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah,
hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan
darah lainnya yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah
yang sah), (ii) Dana Perimbangan, dan (iii) Lain-lain Pendapatan.
Penyerahan atau pelimpahan kewenangan pemerintah pusat atau
penyerahan kewenangan atau penugasan pemerintah pusat kepada
Bupati/Walikota diikuti dengan pembiayaannya.
Tabel 1 Perbandingan Sumber-sumber Penerimaan Daerah menurut UU
No. 25/1999 dan No. 33/2004.
Sumber penerimaan No. 25/1999
Pendapatan Asli Daerah
Pajak daerah
Retribusi daerah
Hasil BUMD dan pengelolaan kekayaan
daerah lainnya yang disahkan
Lain-lain PAD yang sah
o
hasil penjualan kekayaan daerah
o
o
Jasa Giro
Lainnya
Dana Perimbangan
Bagian daerah dari PBB, BPHTB, dan
penerimaan SDA
Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Khusus (DAK)
Pinjaman Daerah
Pinjaman dengan sumber dana dalam
negeri
Pinjaman dengan sumber dana luar
negeri
Sumber penerimaan No. 33/2004
Pendapatan Asli Daerah
Pajak daerah
Retribusi daerah
Hasil BUMD dan pengelolaan kekayaan
daerah lainnya yang disahkan
Lain-lain PAD yang sah
o
hasil penjualan kekayaan daerah
yang tidak dipisahkan
o
Jasa Giro
o
Pendapatan Bunga
o Keuntungan selisih nilai tukar
o
Komisi, potongan dari penjualan
dan atau pengadaan barang/jasa
Dana Perimbangan
Bagian daerah dari PBB, BPHTB, PPh Ps.
25, 29, 21 dan penerimaan SDA
Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Khusus (DAK)
Pembiayaan
Sisa lebih perhitungan anggaran daerah
Pinjaman daerah dengan sumber dana
dalam negeri (termasuk obligasi)
Dana Cadangan Daerah
Lain-lain pendapatan yang sah
Hibah
Dana darurat
Penerimaan-penerimaan yang sesuai dengan UU
yang berlaku
Hasil Penjualan kekayaan daerah yang
dipisahkan 9
Lain-lain pendapatan yang sah
Hibah
Dana darurat
Penerimaan-penerimaan yang sesuai dengan UU
yang berlaku
Sumber: UU-PKPD No. 25/1999 dan No. 33/2004
9
Diantaranya adalah: bagian laba, dividen, dan penjualan saham milik daerah.
6
Dana perimbangan merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal
dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintahan
daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi kepada daerah,
terutama untuk peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat
yang semakin baik.
Dana perimbangan terdiri dari:
1. Dana Bagi Hasil
2. Dana Alokasi Umum
3. Dana Alokasi Khusus
Komponen dana perimbangan tersebut merupakan kelompok sumber
pembiayaan pelaksanaan desentralisasi yang alokasinya tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lain, karena tujuan masing-masing jenis
penerimaan tersebut saling mengisi dan melengkapi.
Tabel 2 Alokasi Pembagian Dana Perimbangan Antara Pemerintah Pusat
dan Daerah
Menurut UU-PKPD (%)
Dana Perimbangan
Pusat
Propinsi
1. Bagian daerah dari:
o PBB
o BPHTB
Pertambangan umum
o Land rent
o Royalty
Pertambangan minyak*****
10
20
20
20
20
84,5
Pertambangan gas*****
69,5
16
16
3
6
Pertambangan Panas Bumi
20
Kehutanan
o Iuran HPH
o Provisi Sumber Daya
Hutan
o Dana Reboisasi
20
Perikanan
o Penguasaan
perikanan
o Hasil perikanan
20
20
16
2. Dana Alokasi Umum
3. Dana Alokasi Khusus
Keterangan:
*
16
16
60
20
Daerah
Daerah
Penghasil
90**
80**
80**
64
64
15,5***
6
30,5***
12
80**
32
80**
64
32
Daerah NonPenghasil*
6****
12****
32****
32****
40**
80**
Dibagi merata ke seluruh kabupaten/
kota di Indonesia
Dibagi merata ke seluruh kabupaten/
kota di Indonesia
Ditetapkan oleh Kepres
Ditentukan dengan PP
yang berada dalam satu propinsi
7
**
untuk seluruh daerah termasuk kabupaten/kota dan
propinsi
*** 0,5% dialokasikan untuk anggaran pendidikan dengan
komposisi: 0,1 provinsi; 0,2 kab/kota penghasil, 0,2
kab/kota lainnya dalam provinsi
**** dibagikan dengan porsi yang sama
***** Realisasi tidak boleh melebihi 130% dari asumsi dasar
harga minyak dan gas bumi dalam APBN tahun berjalan
Sumber: UU-PKPD No.33/2004
1.
Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum (DAU) dialokasikan dengan dasar (i) celah fiskal dan
(ii) alokasi dasar Dengan tujuan terciptanya pemerataan alokasi antar
daerah, perlu diperhatikan bagaimana kemampuan dan potensi daerah.
DAU atas dasar alokasi dasar didasarkan pada jumlah PNS daerah.
Sedangkan DAU atas dasar celah fiskal yang merupakan selisih antara
kebutuhan Daerah (fiscal need) dan potensi Daerah (fiscal capacity),
didasarkan pada jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan
Konstruksi, tingkat PDRB perkapita dan Indeks pembangunan manusia.
Penentuan DAU ini dihitung sedemikian rupa agar perbedaan antara
daerah yang maju dengan daerah yang belum berkembang dapat
diperkecil.
DAU atas dasar celah fiskal untuk daerah provinsi dihitung berdasarkan
perkalian bobot provinsi bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh
provinsi. Untuk daerah Kabupaten/Kota DAU atas dasar celah fiskal
dihitung berdasarkan perkalian bobot daerah kab/kota bersangkutan
dengan jumlah DAU seluruh kab/kota. Bobot provinsi merupakan
perbandingan celah fiskal provinsi bersangkutan dan total celah fiskal
seluruh provinsi. Untuk daerah kabupaten/kota, bobot merupakan
perbandingan celah fiskal kab/kota bersangkutan dan total celah fiskal
seluruh kab/kota. Dasar perhitungan untuk kapasitas fiskal daerah
disediakan oleh lembaga statistik (BPS) atau lembaga pemerintah lain
yang berwenang.
Sebagai ilustrasi, berikut
adalah contoh
penghitungan DAU berdasarkan penjelasan UU No. 33/2004:
1. Contoh perhitungan : Kebutuhan Fiskal sama dengan Kapasitas
Fiskal
Kebutuhan Fiskal =
Rp 100 miliar
Kapasitas Fiskal = Rp 100 miliar
Alokasi Dasar = Rp 50 miliar
Celah Fiskal
= Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal
= Rp 100 miliar – Rp100 miliar = 0
DAU
= Alokasi Dasar
Total DAU
= Rp 50 miliar
8
2. Contoh penghitungan dalam hal celah fiskal negatif maka jumlah
DAU yang diterima Daerah adalah sebesar Alokasi Dasar
setelah diperhitungkan dengan celah fiskalnya. Contoh
perhitungan :
Kebutuhan Fiskal =
Rp 100 miliar
Kapasitas Fiskal = Rp 125 miliar
Alokasi Dasar = Rp 50 miliar
Celah Fiskal
= Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal
= Rp 100 miliar – Rp 125 miliar = Rp-25
miliar (negatif)
DAU
= Alokasi Dasar + Celah Fiskal
Total DAU
= Rp50 miliar + Rp-25 miliar = Rp25 miliar
3. Contoh perhitungan : Celah Fiskal (negatif) melebihi Alokasi Dasar
Kebutuhan Fiskal =
Rp 100 miliar
Kapasitas Fiskal = Rp 175 miliar
Alokasi Dasar = Rp 50 miliar
Celah Fiskal
= Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal
= Rp 100 miliar – Rp 175 miliar = Rp-75
miliar (negatif)
DAU
= Celah Fiskal + Alokasi Dasar
Total DAU
= Rp-75 miliar + Rp 50 miliar = Rp-25 miliar
atau disesuaikan menjadi Rp 0 (nol)
Secara implisit, perhitungan lewat formula sesuai contoh di atas
menunjukkan bahwa alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya
besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU
relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun
kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar.
Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai
faktor pemerataan kapasitas fiskal.
Jumlah Dana Alokasi Umum bagi semua daerah propinsi, kabupaten
dan kotamadya ditetapkan setiap tahun dalam APBN. Jumlah dana
alokasi umum untuk daerah ditetapkan paling sedikit 26% dari
penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN.
2. Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana yang dialokasikan dari APBN
ke Daerah tertentu untuk mendanai kebutuhan khusus yang merupakan
urusan daerah dan juga prioritas nasional antara lain: kebutuhan
kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi atau
prasarana, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi
primer, proyek yang dibiayai donor, pembiayaan reboisasi dan proyek-
9
proyek kemanusiaan. Besarnya Dana Alokasi Khusus ditetapkan setiap
tahun dalam APBN dan dialokasikan kepada daerah tertentu desar
penetapan (i) kriteria umum dengan pertimbangan kemampuan
keuangan daerah dalam APBD, (ii) kriteria khusus dengan pertimbangan
peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah, serta (iii)
kriteria teknis yang ditetapkan kementrian negara/departemen teknis.
Daerah penerimaan DAK wajib menyediakan dana pendamping yang
dianggarkan dalam APBD, minimal 10% dari alokasi DAK kecuali daerah
dengan kemampuan fiskal tertentu.
Aturan Masalah Pinjaman Daerah
Pinjaman daerah hanya bisa didapatkan dari sumber dalam negeri
dengan batasan maksimal 60% dari PDRB tahun bersangkutan, untuk
pinjaman kumulatif keseluruhannya dibatasi oleh peraturan perundangundangan. Tentunya pemerintah pusat dapat memberikan pinjaman pada
daerah dengan uang yang didapat dari pinjaman luar negeri. Pinjaman
daerah dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
(i)
pinjaman jangka pendek yang pelunasannya secara total
(termasuk bunga dan biaya-biaya lain) harus dilunasi dalam
tahun anggaran bersangkutan. Penggunaanya adalah untuk
menutup kekurangan arus kas.
(ii)
Pinjaman jangka menengah yang pelunasannya secara total
harus dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa
jabatan kepala daerah. Penggunaannya untuk membiayai
penyediaan layanan umum yang tak menghasilkan penerimaan.
(iii) Pinjaman jangka panjang yang pelunasannya total harus
dilunasi pada tahun-tahun anggaran berikutnya seusia dengan
persyaratan perjanjian pinjaman. Penggunaannya untuk
membiayai proytek investasi yang menghasilkan penerimaan.
Untuk pinjaman jangka menengah dan panjang, pelaksanaannya wajib
mendapat izin dari DPRD. Khusus untuk jangka panjang, jumlah
kumulatif pokok pinjaman daerah yang wajib dibayar disyaratkan
tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum APBD tahun
sebelumnya. Rasio kemampuan keuangan daerah dalam melakukan
pembiayaan lewat pinjaman daerah dihitung dengan formula Debt
Service Coverage Ratio (DSCR) sebagai berikut:
{PAD + DAU + (DBH – DBHDR)} –
Belanja Wajib
Pokok pinjaman + Bunga + Biaya
Lain
X
DSCR
=
DSCR
= Debt Service Coverage Ratio atau
Kemampuan Membayar Kembali Pinjaman;
Rasio
10
PAD
DAU
DBH
DBHDR
X
=
=
=
=
=
Pendapatan Asli Daerah;
Dana Alokasi Umum;
Dana Bagi Hasil; dan
Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi.
Syarat minimum yang diatur oleh peraturan
perundang-undangan
Bila obligasi daerah dipilih sebagai alternatif pembiayaan oleh daerah,
maka dengan persetujuan DPRD pemerintah daerah dapat menerbitkan
obligasi via peraturan daerah di pasar modal domestik dengan mengikuti
peraturan perundang-undangan di pasar modal.
Penyusunan dan Penetapan APBD
Struktur
APBD terdiri dan Pendapatan Daerah, Belanja Daerah, dan
Pembiayaan. Pendapatan Daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah,
Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan. Adapun Belanja
Daerah diklasifikasikan menurut:
(i) organisasi yang disesuaikan dengan susunan perangkat
daerah/lembaga teknis daerah;
(ii) fungsi terdiri antara lain: layanan umum, ketertiban kemanan,
ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasiliitas umum,
kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan, serta
perlindungan sosial;
(iii) jenis belanja (sifat ekonomi) terdiri dari a.l belanja pegawai,
belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, dan
bantuan sosial.
Selisih lebih Pendapatan Daerah terhadap Belanja daerah disebut
surplus anggaran, dan sebaliknya selisih kurang Pendapatan Daerah
terhadap Belanja Daerah disebut defisit anggaran, di mana jumlah
surplus atau defisit anggaran ini sama dengan jumlah pembiayaan.
Bila surplus akan digunakan untuk penyertaan BUMD atau untuk
membentuk dana cadangan daerah, maka harus lewat persetujuan
DPRD terlebih dahulu. Sumber-sumber pembiayaan yang merupakan
Penerimaan Daerah antara lain seperti sisa lebih perhitungan
anggaran tahun lalu, penerimaan pinjaman dan obligasi serta
penerimaan dan penjualan aset Daerah yang dipisahkan. Sedangkan
11
sumber pembiayaan yang merupakan pengeluaran sepertinya harus
dijelaskan dalam peraturan perundang-undangan kemudian.
Proses Penetapan APBD
Dalam rangka penetapan APBD, kepala daerah menyampaikan
rancangan APBD kepada DPRD untuk mendapatkan persetujuan.
Apabila bagian rancangan APBD tidak disetujui DPRD, Pemerintah
Daerah berkewajiban menyempumakan rancangan APBD tersebut
untuk selanjumya disampaikan kembali kepada DPRD. Jika
rancangan APBD tersebut disepakati Pemerintah Daerah dan DPRD
membahas prioritas dan plafon anggaran sementara.
Dalam pelaksanaannya, tidak tertutup kemungkinan untuk
melakukan perubahan terhadap APBD. Perubahan ini dapat terjadi
sehubungan dengan kebijaksanaan Pemerintah Pusat dan atau
Pemerintah Daerah yang bersifat strategis atau bisajuga berupa
penyesuaian akibat tidak tercapainya target Penerimaan Daerah
yang ditetapkan. Mengenai waktunya, pembahan APBD ditetapkan
paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun anggaran tertentu
berakhir dan hanya dapat dilakukan satu kali tahun anggaran kecuali
keadaan luar biasa yaitu keadaan yang menyebabkan estimasi
penerimaan dan/atau pengeluaran APBD mengalami kenaikan atau
penurunan lebih besar dari 50%--selisih kenaikan antara pendapatan
dan belanja dalam APBD.
Pelaksaanaan APBD
UU No 32/2004 inipun dibandingkan UU No. 25/1999 adalah secara lebih
rinci mengatur pertanggungjawaban, pengendalian, pengawasan, dan
pemeriksaan untuk pelaksanaan APBD hingga Dana Konsentrasi dan
Dana Tugas Pembantuan.
Masalah Peralihan
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa peraturan pelaksanaan
UU No. 25/1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan
daerah masih tetap berlaku sepanjang belum ada penggantian oleh
peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan UU No. 33/2004. Oleh
karenanya beberapa peraturan pelaksanaan UU No. 25/1999 dirasakan
masih relevan dalam implementasinya. Salah satu yang wajib
diketahui oleh pelaku pemerintahan daerah serta anggota DPRD
adalah UU No.34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. 10 Tentunya konsekwensi berikutnya adalah bila
keluar revisi UU No. 34/2000 maka otomatis UU ini tidak berlaku lagi.
Uraian tentang UU No. 34/2000 ini diambil seluruhnya dari bahan modul pengajaran
masalah desentralisasi fiskal dari DR. Armida S. Alisjahbana, SE, MA, yang sekaligus
adalah atasan penulis di Laboratorium Ekonomi dan Studi Pembangunan, LP3E-FE
Unpad.
10
12
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 secara umum berisikan
mengenai berbagai ketentuan-ketentuan pokok yang dapat dijadikan
pedoman kebijakan dan arahan bagi Daerah dalam pelaksanaan
pemungutan pajak dan retribusi, sekaligus menetapkan pengaturan
untuk menjamin penerapan prosedur umum perpajakan daerah dan
retibusi daerah.
Pajak daerah
Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau
badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang
dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaran
pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
Jenis-Jenis Pajak Daerah
Untuk tingkat propinsi ditetapkan 4 jenis pajak, namun meskipun
demikian tidak berarti daerah harus menerapkan keempat jenis
pajak tersebut. Daerah dapat saja hanya menerapkan satu atau
beberapa jenis pajak yang telah ditetapkan, jika potensi pajak
didaerah tersebut dinilai kurang memadai, keempat jenis pajak
tersebut adalah :
1. Pajak Kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air.
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
4. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
permukaan
Sedangkan untuk tingkat kabupaten/kodya, pajak-pajak yang
ditetapkan adalah:
1. Pajak Hotel
2. Pajak Restoran
3. Pajak Hiburan
4. Pajak Reklame
5. Pajak Penerangan Jalan
6. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C
7. Pajak Parkir
Selain yang disebutkan di atas, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
melalui Peraturan Daerah dapat menetapkan pajak dengan syarat
memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Bersifat pajak dan bukan Retribusi;
2. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah Daerah
Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas
yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di
wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan;
13
3. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan
kepentingan umum;
4. Objek pajak bukan merupakan objek pajak Propinsi dan/atau objek
pajak Pusat;
5. Potensinya memadai;
6. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;
7. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan
8. Menjaga kelestarian lingkungan.
Hasil Pajak
Hasil penerimaan pajak propinsi sebagian diperuntukan bagi daerah
kabupaten/kota di wilayah propinsi yang bersangkutan dengan
ketentuan:
Hasil penerimaan pajak bermotor dan kendaraan di atas air serta
bea batik nama kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air
kepada daerha kabupaten/kota paling sedikit 30%.
Hasil penerimaan pajak bahan bakar kendaraan bermotor
diserahkan kepada daerah kabupaten/kota paling sedikit 70%
Hasil dari penerimaan pajak pengambilan dan pemanfaatan air
bawah tanah dan air permukaan diserahkan kepada daerah
kabupaten/kota paling sedikit 70%
Hasil penerimaan pajak kabupaten paling sedikit diperuntukan bagi
desa di wilayah daerah kabupaten yang bersangkutan (10%).
Tarif Pajak
Dalam UU No. 34 Tahun 2000 mengatur Tarif Pajak tertinggi yang dapat
dipungut oleh Daerah untuk tiap jenisnya dan diberlakukan seragam di
seluruh Indonesia. Penetapan tarif pajak paling tinggi bertujuan untuk
memberi perlindungan kapada masyarakat dari penetapan tarif yang
terlalu membebani, sedangkan tarif paling rendah tidak ditetapkan
untuk memberi peluang kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur
sendiri besamya tarif sesuai dengan kondisi masyarakat di Daerahnya.
Tarif pajak tertinggi yang diberlakukan adalah :
1. Pajak Kendaraan bermotor paling sedikit 5%
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air
10%
3. Pajak Bahan Bakar kendaraan bermotor 5%
4. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan 20%
5. Pajak Hotel 10%
6. Pajak restoran 10%
7. Pajak Hiburan 35%
14
8. Pajak Reklame 25%
9. Pajak Penerangan jalan 10%
10.
bahan galian golongan C 20%
11.
Pajak pengambilan
Pajak Parkir 20%
Retribusi Daerah
Retrubusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pambayaran alas
jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau
diberkan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau
badan.
Jenis-jenis Retribusi
1. Retribusi jasa umum, adalah pungutan atas jasa yang disediakan
untuk diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan
dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi
atau badan.
2. Retribusi jasa usaha, adalah pungutan atas jasa yang disediakan
oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip-prinsip
komersial karena pada dasamya dapat pula disediakan oleh
sektor swasta.
3. Retribusi perijinan tertentu, adalah kegiatan tertentu pemerintah
dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan
yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian
dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, penggunaan
sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas
tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga
kelestarian lingkungan.
Beberapa Kesimpulan
o Menurut UU No.33/2004, penyelenggaraan pemerintahan daerah
dilaksanakan berdasarkan pada azas desentralisasi, azas
dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
o Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada Daerah Otonom dengan mencakup kewenangan
dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam
bidang politik Luar Negeri, Pertahanan Keamanan, Peradilan, Moneter
dan Fiskal, Agama, serta kewenangan bidang lain yang diatur oleh
peraturan perundangan yang lebih tinggi.
15
o Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi
dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk
melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan
kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah. Wewenang Propinsi
sebagai daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang
pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota serta kewenangan
dalam
bidang
pemerintahan
tertentu
lainnya.
Sedangkan
kewenangan propinsi sebagai sebagai wilayah administrasi
merupakan
pelaksanaan
kewenangan
pemerintah
yang
dikonsentrasikan pada Gubemur.
o Pelaksanaan
tugas
pembantuan
menurut
Undang-undang
Pemerintahan Daerah dimungkinkan tidak hanya dari Pemerintah
kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada Desa
yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta
sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan
dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
o Penyelenggaraan tugas daerah dalam rangka desentralisasi dibiayai
atas beban APBD. Sumber-sumber penerimaan daerah diperoleh
dari: Pendapatan Asli Daerah (hasil pajak daerah, hasil retribusi
daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan
kekayaan darah lainnya yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan
daerah yang sah), Dana Perimbangan (Bagian daerah, Dana Alokasi
Umum, Dana Alokasi Khusus), dan Lain-lain Penerimaan yang sah.
Sedangkan pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan
dibiayai atas beban APBN.
o Daerah diizinkan untuk membentuk dana cadangan untuk membiayai
kebutuhan dana yang tidak dapat dibebankan dalam satu tahun
anggaran. Pemerintah daerah juga diizinkan untuk melakukan
pinjaman dalam memenuhi kebutuhan dana dalam rangka
pembangunan daerah. Sumber pinjaman ini dapat berasal dari
dalam negeri saja, dengan jenis pinjaman jangka pendek,
menengah, dan jangka panjang. Untuk pinjaman jangka panjang,
jumlah kumulatif pokok pinjaman daerah yang wajib dibayar
disyaratkan tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum
APBD tahun sebelumnya, dan berdasarkan proyeksi penerimaan dan
pengeluaran daerah selama jangka waktu pinjaman.
Referensi
o UU No. 22/1999 Tentang Pemerintahan Daerah
o Penjelasan UU No. 22/1999 Tentang Pemerintahan Daerah
16
o UU No. 25/1999 Tentang Perimbangan Keuaaangan antara
Pemerintahan Pusat dan Daerah
o Penjelasan UU No. 25/1999 Tentang Perimbangan Keuaaangan
antara Pemerintahan Pusat dan Daerah
o UU No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
o Penjelasan UU No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
o UU No. 33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintahan Pusat dan Daerah
o Penjelasan UU No. 33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintahan Pusat dan Daerah
o PP Nomor 104/2000 tentang Dana Perimbangan
o Keputusan Presiden No. 181/2000 mengenai Dana Alokasi
Umum Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Tahun
Anggaran 2001.
o PP
Nomor
105/2000
tentang
Pengelolaan
dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
o PP
Nomor
106/2000
tentang
Pengelolaan
dan
Pertanggungjawaban
Keuangan
dalam
Pelaksanaan
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
o PP Nomor 107/2000 tentang Pinjaman Daerah. Diantara
berbagai hal lainnya, ke-empat PP tersebut menguraikan
berapa besar masing-masing pemerintah daerah mendapat
bagian dari pusat pada tahun anggaran 2001.
o Uu No.34/2000 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
17
Daerah di Indonesia Pasca Desentralisasi 1
Oleh:
Kodrat Wibowo, Ph.D2
Universitas Padjadjaran
Disajikan dalam kegiatan “Pelatihan Pendalaman Kompetensi
Bidang Tugas Legislatif Anggota DPRD Kabupaten Sukabumi”,
6-7 Desember, 2004, Sukabumi Jawa Barat, kerjasama antara
Bidang Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Sukabumi dan
Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas
Padjadjaran.
Berdasarkan UU 32/2004 tentang Penyelenggaraan Pemerintah Daerah sebagai
Pengganti/revisi dari UU 22/1999 yang dianggap tidak sesuai lagi dengan
perkembangan pemerintahan.
2
Staf pengajar dan peneliti Universitas Padjadjaran. Sekarang menjabat sebagai
sekretaris LP3E-FE Unpad.
1
UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Prinsip-Prinsip
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
UU ini dibuat sebagai revisi atau pengganti UU No. 22 Tahun 1999
tentang topik yang sama karena pertimbangan tidak sesuainya isi UU
No. 22/1999 ini dengan keadaan terkini di negara Indonesia.
UU No. 32/2004 ini telah merubah beberapa asumsi dasar terkait
dengan pemegang otoritas pemerintahan dan kewenangan
pembangunan di sebuah daerah, juga terkait dengan perubahan
sistem pemilihan kepala daerah. Harapan pemerintah pusat adalah
bahwa dengan revisi itu, masalah kesenjangan antara satu daerah
dengan daerah lain bisa teratasi. Karenanya otonomi daerah secara
utuh pada daerah kabupaten dan kotamadya lebih dibatasi dengan
mengaktifkan kembali hubungan hierarki antara pemerintah propinsi
dengan daerah kabupaten/Kota yang ditiadakan sebelumnya dalam UU
No. 22/1999.3
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah4
Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi,
dekonsentrasi, dan tugas pembantuan berdasarkan amanat UUD 1945.
Isi tentang kewenangan pemerintah pusat yang terdapat dalam PP 25
Tahun 2000 secara tertulis ditekankan secara ekspilisit dalam ayat
tersendiri, dimana kewenangan pemerintah pusat adalah bidang politik
luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,
serta agama sedangkan kewenangan pemerintahan yang diserahkan
kepada daerah terdiri dari dua urusan kewenangan pemerintahan yaitu
urusan wajib dan pilihan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan provinsi mencakup bidang
pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten/kota serta kewenangan
dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya. Sedangkan urusan wajib
bagi pemerintah kabupaten/kota persis sama dengan yang dimiliki
provinsi dengan perbedaan mendasar yaitu masih memungkinkan
adanya intervensi pemerintah provinsi dalam beberapa bidang
tertentu yang sifatnya crucial yaitu:
1. penangulangan masalah sosial,
Bandingkan isi pasal 1 ayat 1 antara kedua UU ini, kemudian terjadi penghilangan
ayat yang menyatakan daerah-daerah tidak mempunyai hubungan hierarki satu
sama lain.
4
Masalah-masalah non-ekonomi seperti sistem pemilihan kepala daerah dan anggota
DPRD tidak akan dibahas dalam makalah ini karena relevansi yang kurang dalam
pembahasan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
3
2
2.
3.
4.
5.
6.
pelayanan bidang ketenagakerjaan
pengembangan koperasi, dan UKM
pelayanan pertanahan
pelayanan administrasi penanaman modal, dan
pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh
kabupaten/kota guna menjamin keseimbangan pembangunan,
terjangkaunya pelayanan pemerintahan yang merata di wilayah
propinsi
Urusan pilihan yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota meliputi urusan pemerintahan yang nyata ada dan
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai
dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah bersangkutan.
Oleh karenanya beberapa bidang lain di luar urusan pemerintahan
yang menjadi wewenang pusat dapat dilimpahkan sebagian atau
ditugaskan sebagian kepada pemerintah daerah sebagai implementasi
hubungan vertikal antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu: (i)
kebijakan pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, (ii)
kebijakan alokasi dana perimbangan (iii) kebijakan konservasi sumber
daya alam, (iv) kebijakan pendayagunaan teknologi tinggi dan
strategis, pemanfaatan kedirgantaraan, kelautan, pertambangan, dan
kehutanan, dan (v) kebijakan pemberian pinjaman daerah atau hibah.
Mengingat banyaknya kasus bertabrakannya kepentingan antar
pemerintah daerah yang bertetangga dalam penyelenggaraan
kewenangan pemerintahannya, UU No. 32/2004 secara eksplisit juga
mengatur pola hubungan horizontal antar pemerintah daerah terutama
dalam bidang penyerasian lingkungan tata ruang dan bagi hasil dari
pemanfaatan SDA.
Sama halnya dengan UU No. 22/1999, pelaksanaan tugas pembantuan
menurut UU pemerintahan daerah dimungkinan tidak hanya dari
pemerintah pusat kepada daerah, tetapi juga dari pusat dan daerah
kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana,
serta SDM dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan
mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan.
Pemerintah daerah memilik hak dan kewajiban tertulis sebagai ramburambu karena pertimbangan banyaknya fungsi daerah yang
overlapping maupun tidak selaras dengan kebijakan pusat atau
propinsi. Dilain pihak, DPRD diperkuat posisinya sebagai salah satu
unsur dalam susunan pemerintahan daerah otonom yang memiliki hakhak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat dalam semua
hearing dengan pihak pemerintah daerah namun dibatasi oleh
kewajiban-kewajiban yang tertulis sebagai rambu-rambu kemungkinan
adanya penyelewengan wewenang dan jabatan.
3
Peran Gubernur dan pemerintah pusat via kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara sebagai dalam intervensinya kepada
pemerintah daerah kabupaten/kota sangat terlihat pada pasal-pasal
yang mengatur masalah kepegawaian daerah. Diantaranya tertulis
bahwa pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian pejabat eselon
II pada pemerintah Kabupaten/kota harus dikonsultasikan dengan
Gubernur5 dan penetapan formasi PNS daerah provinsi/Kabupaten/Kota
dilakukan oleh Mentri Pendayagunaan Aparatur Negara atas usul
Gubernur.6
Keuangan Daerah
Penyelenggaraan tugas pemerintah daerah dan DPRD dibiayai dari dan
atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun
bila urusan pemerintahan di daerah yang bersifat tugas pembantuan
karena sebenarnya adalah kewenangan pusat, tetap dibiayai oleh
Anggaran pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dalam bahasan dana bagi hasil, ditambahkan satu komponen dana
hasil yang bersumber dari pajak yaitu bagi hasil dari pajak penghasilan
(PPh)7. Menenggarai berbagai ketidakpuasan atas proporsi bagi hasil
dari sumber daya alam dari beberapa daerah yang memiliki sumber
daya alam lebih dibandingkan daerah lain, UU No. 32/2004
memungkinkan dasar perhitungan yang lebih proporsional dimana
penetapannya sekarang dilakukan oleh mentri teknis terkait melalui
pertimbangan mendagri.
Ditekankan pula bahwa untuk membiayai kegiatan pemerintahannya,
bila terjadi defisit, daerah dapat melakukan pinjaman yang bersumber
dari pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank dan
non-bank serta masyarakat lewat penerbitan obligasi daerah yang
akan diatur dengan peraturan pemerintah. Adapun yang berwenang
dan bertanggung jawab dalam melakukan pinjaman daerah ini adalah
kepala daerah. Pinjaman luar negeri tidak dapat dilakukan karena
bertentangan dengan kewenangan pemerintah pusat dalam urusan
luar negeri. Pemerintah daerah dapat membentuk dana cadangan
yang diatur dengan pemerintahan daerah. Dalam keadaan dimana
posisi keuangan daerah yang surplus, pemerintah daerah
diperkenankan untuk melakukan penyertaan modal pada badan usaha
milik pemerintah ataupun swasta. Posisi surplus defisit APBD ini wajib
dilaporkan kepada mendagri dan menkeu setiap semester dalam tahun
anggaran berjalan.
5
6
7
Pasal 130 ayat 2 UU No. 32/2004.
Pasal 132, UU No. 32/2004.
PPh Pasal 25, Pasal 29 dan Pasal 21
4
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
UU ini dibuat sebagai revisi atau pengganti UU No. 25 Tahun 1999
tentang topik yang sama karena pertimbangan tidak sesuainya isi UU
No. 25/1999 ini dengan keadaan terkini di negara Indonesia.
Perbedaan signifikan antara UU No. 33/2004 dan UU No. 25/1999
terletak pada kemungkinan lebih proporsionalnya dana perimbangan
antara pusat dan daerah, terlihat dari bertambahnya komponen dana
bagi hasil, dimana hasil pajak penghasilan (PPh) dan pajak dari sektor
pertambangan panas bumi yang merupakan sumber penerimaan pajak
pusat juga dibagi hasilnya dengan daerah. Berikut adalah pokok-pokok
muatan UU No. 33/2004 dibandingkan dengan UU No. 25/1999 8:
a. Penegasan prinsip-prinsip dasar perimbangan keuangan Pemerintah
dan
Pemerintahan
Daerah
sesuai
asas
Desentralisasi,
Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan;
b. Penambahan jenis Dana Bagi Hasil dari sektor Pertambangan Panas
Bumi, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi
Dalam Negeri dan PPh Pasal 21;
c. Pengelompokan Dana Reboisasi yang semula termasuk dalam
komponen Dana Alokasi Khusus menjadi Dana Bagi Hasil;
d. Penyempurnaan prinsip pengalokasian Dana Alokasi Umum;
e. Penyempurnaan prinsip pengalokasian Dana Alokasi Khusus;
f. Penambahan pengaturan Hibah dan Dana Darurat;
g. Penyempurnaan persyaratan dan mekanisme Pinjaman Daerah,
termasuk Obligasi Daerah;
h. Pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan;
i. Penegasan pengaturan Sistem Informasi Keuangan Daerah; dan
j. Prinsip akuntabilitas dan responsibilitas dalam Undang-Undang ini
dipertegas dengan pemberian sanksi.
Prinsip Dasar
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah
suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara
kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah serta pemerataan antar-Daerah secara
proporsional,
demokratis,
adil
dan
transparan
dengan
memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan Daerah, sejalan
dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara
penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan
pengawasan keuangannya.
Tertulis dalam penjelasan UU No. 33/2004, Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
8
5
Penerimaan, Pengeluaran dan Pembiayaan
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah mengatur
penyediaan
sumber-sumber
pembiayaan
berdasarkan
desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Menurut
undang-undang ini penyelenggaraan tugas daerah dalam rangka
desentralisasi
dibiayai
atas
beban
APBD
kecuali
urusan
pemerintahan yang merupakan tugas pembantuan dari pusat.
Adapun sumber-sumber penerimaan daerah diperoleh dari: (i)
Pendapatan Asli Daerah (hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah,
hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan
darah lainnya yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah
yang sah), (ii) Dana Perimbangan, dan (iii) Lain-lain Pendapatan.
Penyerahan atau pelimpahan kewenangan pemerintah pusat atau
penyerahan kewenangan atau penugasan pemerintah pusat kepada
Bupati/Walikota diikuti dengan pembiayaannya.
Tabel 1 Perbandingan Sumber-sumber Penerimaan Daerah menurut UU
No. 25/1999 dan No. 33/2004.
Sumber penerimaan No. 25/1999
Pendapatan Asli Daerah
Pajak daerah
Retribusi daerah
Hasil BUMD dan pengelolaan kekayaan
daerah lainnya yang disahkan
Lain-lain PAD yang sah
o
hasil penjualan kekayaan daerah
o
o
Jasa Giro
Lainnya
Dana Perimbangan
Bagian daerah dari PBB, BPHTB, dan
penerimaan SDA
Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Khusus (DAK)
Pinjaman Daerah
Pinjaman dengan sumber dana dalam
negeri
Pinjaman dengan sumber dana luar
negeri
Sumber penerimaan No. 33/2004
Pendapatan Asli Daerah
Pajak daerah
Retribusi daerah
Hasil BUMD dan pengelolaan kekayaan
daerah lainnya yang disahkan
Lain-lain PAD yang sah
o
hasil penjualan kekayaan daerah
yang tidak dipisahkan
o
Jasa Giro
o
Pendapatan Bunga
o Keuntungan selisih nilai tukar
o
Komisi, potongan dari penjualan
dan atau pengadaan barang/jasa
Dana Perimbangan
Bagian daerah dari PBB, BPHTB, PPh Ps.
25, 29, 21 dan penerimaan SDA
Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Khusus (DAK)
Pembiayaan
Sisa lebih perhitungan anggaran daerah
Pinjaman daerah dengan sumber dana
dalam negeri (termasuk obligasi)
Dana Cadangan Daerah
Lain-lain pendapatan yang sah
Hibah
Dana darurat
Penerimaan-penerimaan yang sesuai dengan UU
yang berlaku
Hasil Penjualan kekayaan daerah yang
dipisahkan 9
Lain-lain pendapatan yang sah
Hibah
Dana darurat
Penerimaan-penerimaan yang sesuai dengan UU
yang berlaku
Sumber: UU-PKPD No. 25/1999 dan No. 33/2004
9
Diantaranya adalah: bagian laba, dividen, dan penjualan saham milik daerah.
6
Dana perimbangan merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal
dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintahan
daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi kepada daerah,
terutama untuk peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat
yang semakin baik.
Dana perimbangan terdiri dari:
1. Dana Bagi Hasil
2. Dana Alokasi Umum
3. Dana Alokasi Khusus
Komponen dana perimbangan tersebut merupakan kelompok sumber
pembiayaan pelaksanaan desentralisasi yang alokasinya tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lain, karena tujuan masing-masing jenis
penerimaan tersebut saling mengisi dan melengkapi.
Tabel 2 Alokasi Pembagian Dana Perimbangan Antara Pemerintah Pusat
dan Daerah
Menurut UU-PKPD (%)
Dana Perimbangan
Pusat
Propinsi
1. Bagian daerah dari:
o PBB
o BPHTB
Pertambangan umum
o Land rent
o Royalty
Pertambangan minyak*****
10
20
20
20
20
84,5
Pertambangan gas*****
69,5
16
16
3
6
Pertambangan Panas Bumi
20
Kehutanan
o Iuran HPH
o Provisi Sumber Daya
Hutan
o Dana Reboisasi
20
Perikanan
o Penguasaan
perikanan
o Hasil perikanan
20
20
16
2. Dana Alokasi Umum
3. Dana Alokasi Khusus
Keterangan:
*
16
16
60
20
Daerah
Daerah
Penghasil
90**
80**
80**
64
64
15,5***
6
30,5***
12
80**
32
80**
64
32
Daerah NonPenghasil*
6****
12****
32****
32****
40**
80**
Dibagi merata ke seluruh kabupaten/
kota di Indonesia
Dibagi merata ke seluruh kabupaten/
kota di Indonesia
Ditetapkan oleh Kepres
Ditentukan dengan PP
yang berada dalam satu propinsi
7
**
untuk seluruh daerah termasuk kabupaten/kota dan
propinsi
*** 0,5% dialokasikan untuk anggaran pendidikan dengan
komposisi: 0,1 provinsi; 0,2 kab/kota penghasil, 0,2
kab/kota lainnya dalam provinsi
**** dibagikan dengan porsi yang sama
***** Realisasi tidak boleh melebihi 130% dari asumsi dasar
harga minyak dan gas bumi dalam APBN tahun berjalan
Sumber: UU-PKPD No.33/2004
1.
Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum (DAU) dialokasikan dengan dasar (i) celah fiskal dan
(ii) alokasi dasar Dengan tujuan terciptanya pemerataan alokasi antar
daerah, perlu diperhatikan bagaimana kemampuan dan potensi daerah.
DAU atas dasar alokasi dasar didasarkan pada jumlah PNS daerah.
Sedangkan DAU atas dasar celah fiskal yang merupakan selisih antara
kebutuhan Daerah (fiscal need) dan potensi Daerah (fiscal capacity),
didasarkan pada jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan
Konstruksi, tingkat PDRB perkapita dan Indeks pembangunan manusia.
Penentuan DAU ini dihitung sedemikian rupa agar perbedaan antara
daerah yang maju dengan daerah yang belum berkembang dapat
diperkecil.
DAU atas dasar celah fiskal untuk daerah provinsi dihitung berdasarkan
perkalian bobot provinsi bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh
provinsi. Untuk daerah Kabupaten/Kota DAU atas dasar celah fiskal
dihitung berdasarkan perkalian bobot daerah kab/kota bersangkutan
dengan jumlah DAU seluruh kab/kota. Bobot provinsi merupakan
perbandingan celah fiskal provinsi bersangkutan dan total celah fiskal
seluruh provinsi. Untuk daerah kabupaten/kota, bobot merupakan
perbandingan celah fiskal kab/kota bersangkutan dan total celah fiskal
seluruh kab/kota. Dasar perhitungan untuk kapasitas fiskal daerah
disediakan oleh lembaga statistik (BPS) atau lembaga pemerintah lain
yang berwenang.
Sebagai ilustrasi, berikut
adalah contoh
penghitungan DAU berdasarkan penjelasan UU No. 33/2004:
1. Contoh perhitungan : Kebutuhan Fiskal sama dengan Kapasitas
Fiskal
Kebutuhan Fiskal =
Rp 100 miliar
Kapasitas Fiskal = Rp 100 miliar
Alokasi Dasar = Rp 50 miliar
Celah Fiskal
= Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal
= Rp 100 miliar – Rp100 miliar = 0
DAU
= Alokasi Dasar
Total DAU
= Rp 50 miliar
8
2. Contoh penghitungan dalam hal celah fiskal negatif maka jumlah
DAU yang diterima Daerah adalah sebesar Alokasi Dasar
setelah diperhitungkan dengan celah fiskalnya. Contoh
perhitungan :
Kebutuhan Fiskal =
Rp 100 miliar
Kapasitas Fiskal = Rp 125 miliar
Alokasi Dasar = Rp 50 miliar
Celah Fiskal
= Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal
= Rp 100 miliar – Rp 125 miliar = Rp-25
miliar (negatif)
DAU
= Alokasi Dasar + Celah Fiskal
Total DAU
= Rp50 miliar + Rp-25 miliar = Rp25 miliar
3. Contoh perhitungan : Celah Fiskal (negatif) melebihi Alokasi Dasar
Kebutuhan Fiskal =
Rp 100 miliar
Kapasitas Fiskal = Rp 175 miliar
Alokasi Dasar = Rp 50 miliar
Celah Fiskal
= Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal
= Rp 100 miliar – Rp 175 miliar = Rp-75
miliar (negatif)
DAU
= Celah Fiskal + Alokasi Dasar
Total DAU
= Rp-75 miliar + Rp 50 miliar = Rp-25 miliar
atau disesuaikan menjadi Rp 0 (nol)
Secara implisit, perhitungan lewat formula sesuai contoh di atas
menunjukkan bahwa alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya
besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU
relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun
kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar.
Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai
faktor pemerataan kapasitas fiskal.
Jumlah Dana Alokasi Umum bagi semua daerah propinsi, kabupaten
dan kotamadya ditetapkan setiap tahun dalam APBN. Jumlah dana
alokasi umum untuk daerah ditetapkan paling sedikit 26% dari
penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN.
2. Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana yang dialokasikan dari APBN
ke Daerah tertentu untuk mendanai kebutuhan khusus yang merupakan
urusan daerah dan juga prioritas nasional antara lain: kebutuhan
kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi atau
prasarana, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi
primer, proyek yang dibiayai donor, pembiayaan reboisasi dan proyek-
9
proyek kemanusiaan. Besarnya Dana Alokasi Khusus ditetapkan setiap
tahun dalam APBN dan dialokasikan kepada daerah tertentu desar
penetapan (i) kriteria umum dengan pertimbangan kemampuan
keuangan daerah dalam APBD, (ii) kriteria khusus dengan pertimbangan
peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah, serta (iii)
kriteria teknis yang ditetapkan kementrian negara/departemen teknis.
Daerah penerimaan DAK wajib menyediakan dana pendamping yang
dianggarkan dalam APBD, minimal 10% dari alokasi DAK kecuali daerah
dengan kemampuan fiskal tertentu.
Aturan Masalah Pinjaman Daerah
Pinjaman daerah hanya bisa didapatkan dari sumber dalam negeri
dengan batasan maksimal 60% dari PDRB tahun bersangkutan, untuk
pinjaman kumulatif keseluruhannya dibatasi oleh peraturan perundangundangan. Tentunya pemerintah pusat dapat memberikan pinjaman pada
daerah dengan uang yang didapat dari pinjaman luar negeri. Pinjaman
daerah dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
(i)
pinjaman jangka pendek yang pelunasannya secara total
(termasuk bunga dan biaya-biaya lain) harus dilunasi dalam
tahun anggaran bersangkutan. Penggunaanya adalah untuk
menutup kekurangan arus kas.
(ii)
Pinjaman jangka menengah yang pelunasannya secara total
harus dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa
jabatan kepala daerah. Penggunaannya untuk membiayai
penyediaan layanan umum yang tak menghasilkan penerimaan.
(iii) Pinjaman jangka panjang yang pelunasannya total harus
dilunasi pada tahun-tahun anggaran berikutnya seusia dengan
persyaratan perjanjian pinjaman. Penggunaannya untuk
membiayai proytek investasi yang menghasilkan penerimaan.
Untuk pinjaman jangka menengah dan panjang, pelaksanaannya wajib
mendapat izin dari DPRD. Khusus untuk jangka panjang, jumlah
kumulatif pokok pinjaman daerah yang wajib dibayar disyaratkan
tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum APBD tahun
sebelumnya. Rasio kemampuan keuangan daerah dalam melakukan
pembiayaan lewat pinjaman daerah dihitung dengan formula Debt
Service Coverage Ratio (DSCR) sebagai berikut:
{PAD + DAU + (DBH – DBHDR)} –
Belanja Wajib
Pokok pinjaman + Bunga + Biaya
Lain
X
DSCR
=
DSCR
= Debt Service Coverage Ratio atau
Kemampuan Membayar Kembali Pinjaman;
Rasio
10
PAD
DAU
DBH
DBHDR
X
=
=
=
=
=
Pendapatan Asli Daerah;
Dana Alokasi Umum;
Dana Bagi Hasil; dan
Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi.
Syarat minimum yang diatur oleh peraturan
perundang-undangan
Bila obligasi daerah dipilih sebagai alternatif pembiayaan oleh daerah,
maka dengan persetujuan DPRD pemerintah daerah dapat menerbitkan
obligasi via peraturan daerah di pasar modal domestik dengan mengikuti
peraturan perundang-undangan di pasar modal.
Penyusunan dan Penetapan APBD
Struktur
APBD terdiri dan Pendapatan Daerah, Belanja Daerah, dan
Pembiayaan. Pendapatan Daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah,
Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan. Adapun Belanja
Daerah diklasifikasikan menurut:
(i) organisasi yang disesuaikan dengan susunan perangkat
daerah/lembaga teknis daerah;
(ii) fungsi terdiri antara lain: layanan umum, ketertiban kemanan,
ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasiliitas umum,
kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan, serta
perlindungan sosial;
(iii) jenis belanja (sifat ekonomi) terdiri dari a.l belanja pegawai,
belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, dan
bantuan sosial.
Selisih lebih Pendapatan Daerah terhadap Belanja daerah disebut
surplus anggaran, dan sebaliknya selisih kurang Pendapatan Daerah
terhadap Belanja Daerah disebut defisit anggaran, di mana jumlah
surplus atau defisit anggaran ini sama dengan jumlah pembiayaan.
Bila surplus akan digunakan untuk penyertaan BUMD atau untuk
membentuk dana cadangan daerah, maka harus lewat persetujuan
DPRD terlebih dahulu. Sumber-sumber pembiayaan yang merupakan
Penerimaan Daerah antara lain seperti sisa lebih perhitungan
anggaran tahun lalu, penerimaan pinjaman dan obligasi serta
penerimaan dan penjualan aset Daerah yang dipisahkan. Sedangkan
11
sumber pembiayaan yang merupakan pengeluaran sepertinya harus
dijelaskan dalam peraturan perundang-undangan kemudian.
Proses Penetapan APBD
Dalam rangka penetapan APBD, kepala daerah menyampaikan
rancangan APBD kepada DPRD untuk mendapatkan persetujuan.
Apabila bagian rancangan APBD tidak disetujui DPRD, Pemerintah
Daerah berkewajiban menyempumakan rancangan APBD tersebut
untuk selanjumya disampaikan kembali kepada DPRD. Jika
rancangan APBD tersebut disepakati Pemerintah Daerah dan DPRD
membahas prioritas dan plafon anggaran sementara.
Dalam pelaksanaannya, tidak tertutup kemungkinan untuk
melakukan perubahan terhadap APBD. Perubahan ini dapat terjadi
sehubungan dengan kebijaksanaan Pemerintah Pusat dan atau
Pemerintah Daerah yang bersifat strategis atau bisajuga berupa
penyesuaian akibat tidak tercapainya target Penerimaan Daerah
yang ditetapkan. Mengenai waktunya, pembahan APBD ditetapkan
paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun anggaran tertentu
berakhir dan hanya dapat dilakukan satu kali tahun anggaran kecuali
keadaan luar biasa yaitu keadaan yang menyebabkan estimasi
penerimaan dan/atau pengeluaran APBD mengalami kenaikan atau
penurunan lebih besar dari 50%--selisih kenaikan antara pendapatan
dan belanja dalam APBD.
Pelaksaanaan APBD
UU No 32/2004 inipun dibandingkan UU No. 25/1999 adalah secara lebih
rinci mengatur pertanggungjawaban, pengendalian, pengawasan, dan
pemeriksaan untuk pelaksanaan APBD hingga Dana Konsentrasi dan
Dana Tugas Pembantuan.
Masalah Peralihan
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa peraturan pelaksanaan
UU No. 25/1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan
daerah masih tetap berlaku sepanjang belum ada penggantian oleh
peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan UU No. 33/2004. Oleh
karenanya beberapa peraturan pelaksanaan UU No. 25/1999 dirasakan
masih relevan dalam implementasinya. Salah satu yang wajib
diketahui oleh pelaku pemerintahan daerah serta anggota DPRD
adalah UU No.34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. 10 Tentunya konsekwensi berikutnya adalah bila
keluar revisi UU No. 34/2000 maka otomatis UU ini tidak berlaku lagi.
Uraian tentang UU No. 34/2000 ini diambil seluruhnya dari bahan modul pengajaran
masalah desentralisasi fiskal dari DR. Armida S. Alisjahbana, SE, MA, yang sekaligus
adalah atasan penulis di Laboratorium Ekonomi dan Studi Pembangunan, LP3E-FE
Unpad.
10
12
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 secara umum berisikan
mengenai berbagai ketentuan-ketentuan pokok yang dapat dijadikan
pedoman kebijakan dan arahan bagi Daerah dalam pelaksanaan
pemungutan pajak dan retribusi, sekaligus menetapkan pengaturan
untuk menjamin penerapan prosedur umum perpajakan daerah dan
retibusi daerah.
Pajak daerah
Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau
badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang
dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaran
pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
Jenis-Jenis Pajak Daerah
Untuk tingkat propinsi ditetapkan 4 jenis pajak, namun meskipun
demikian tidak berarti daerah harus menerapkan keempat jenis
pajak tersebut. Daerah dapat saja hanya menerapkan satu atau
beberapa jenis pajak yang telah ditetapkan, jika potensi pajak
didaerah tersebut dinilai kurang memadai, keempat jenis pajak
tersebut adalah :
1. Pajak Kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air.
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
4. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
permukaan
Sedangkan untuk tingkat kabupaten/kodya, pajak-pajak yang
ditetapkan adalah:
1. Pajak Hotel
2. Pajak Restoran
3. Pajak Hiburan
4. Pajak Reklame
5. Pajak Penerangan Jalan
6. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C
7. Pajak Parkir
Selain yang disebutkan di atas, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
melalui Peraturan Daerah dapat menetapkan pajak dengan syarat
memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Bersifat pajak dan bukan Retribusi;
2. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah Daerah
Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas
yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di
wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan;
13
3. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan
kepentingan umum;
4. Objek pajak bukan merupakan objek pajak Propinsi dan/atau objek
pajak Pusat;
5. Potensinya memadai;
6. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;
7. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan
8. Menjaga kelestarian lingkungan.
Hasil Pajak
Hasil penerimaan pajak propinsi sebagian diperuntukan bagi daerah
kabupaten/kota di wilayah propinsi yang bersangkutan dengan
ketentuan:
Hasil penerimaan pajak bermotor dan kendaraan di atas air serta
bea batik nama kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air
kepada daerha kabupaten/kota paling sedikit 30%.
Hasil penerimaan pajak bahan bakar kendaraan bermotor
diserahkan kepada daerah kabupaten/kota paling sedikit 70%
Hasil dari penerimaan pajak pengambilan dan pemanfaatan air
bawah tanah dan air permukaan diserahkan kepada daerah
kabupaten/kota paling sedikit 70%
Hasil penerimaan pajak kabupaten paling sedikit diperuntukan bagi
desa di wilayah daerah kabupaten yang bersangkutan (10%).
Tarif Pajak
Dalam UU No. 34 Tahun 2000 mengatur Tarif Pajak tertinggi yang dapat
dipungut oleh Daerah untuk tiap jenisnya dan diberlakukan seragam di
seluruh Indonesia. Penetapan tarif pajak paling tinggi bertujuan untuk
memberi perlindungan kapada masyarakat dari penetapan tarif yang
terlalu membebani, sedangkan tarif paling rendah tidak ditetapkan
untuk memberi peluang kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur
sendiri besamya tarif sesuai dengan kondisi masyarakat di Daerahnya.
Tarif pajak tertinggi yang diberlakukan adalah :
1. Pajak Kendaraan bermotor paling sedikit 5%
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air
10%
3. Pajak Bahan Bakar kendaraan bermotor 5%
4. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan 20%
5. Pajak Hotel 10%
6. Pajak restoran 10%
7. Pajak Hiburan 35%
14
8. Pajak Reklame 25%
9. Pajak Penerangan jalan 10%
10.
bahan galian golongan C 20%
11.
Pajak pengambilan
Pajak Parkir 20%
Retribusi Daerah
Retrubusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pambayaran alas
jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau
diberkan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau
badan.
Jenis-jenis Retribusi
1. Retribusi jasa umum, adalah pungutan atas jasa yang disediakan
untuk diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan
dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi
atau badan.
2. Retribusi jasa usaha, adalah pungutan atas jasa yang disediakan
oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip-prinsip
komersial karena pada dasamya dapat pula disediakan oleh
sektor swasta.
3. Retribusi perijinan tertentu, adalah kegiatan tertentu pemerintah
dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan
yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian
dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, penggunaan
sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas
tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga
kelestarian lingkungan.
Beberapa Kesimpulan
o Menurut UU No.33/2004, penyelenggaraan pemerintahan daerah
dilaksanakan berdasarkan pada azas desentralisasi, azas
dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
o Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada Daerah Otonom dengan mencakup kewenangan
dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam
bidang politik Luar Negeri, Pertahanan Keamanan, Peradilan, Moneter
dan Fiskal, Agama, serta kewenangan bidang lain yang diatur oleh
peraturan perundangan yang lebih tinggi.
15
o Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi
dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk
melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan
kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah. Wewenang Propinsi
sebagai daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang
pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota serta kewenangan
dalam
bidang
pemerintahan
tertentu
lainnya.
Sedangkan
kewenangan propinsi sebagai sebagai wilayah administrasi
merupakan
pelaksanaan
kewenangan
pemerintah
yang
dikonsentrasikan pada Gubemur.
o Pelaksanaan
tugas
pembantuan
menurut
Undang-undang
Pemerintahan Daerah dimungkinkan tidak hanya dari Pemerintah
kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada Desa
yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta
sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan
dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
o Penyelenggaraan tugas daerah dalam rangka desentralisasi dibiayai
atas beban APBD. Sumber-sumber penerimaan daerah diperoleh
dari: Pendapatan Asli Daerah (hasil pajak daerah, hasil retribusi
daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan
kekayaan darah lainnya yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan
daerah yang sah), Dana Perimbangan (Bagian daerah, Dana Alokasi
Umum, Dana Alokasi Khusus), dan Lain-lain Penerimaan yang sah.
Sedangkan pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan
dibiayai atas beban APBN.
o Daerah diizinkan untuk membentuk dana cadangan untuk membiayai
kebutuhan dana yang tidak dapat dibebankan dalam satu tahun
anggaran. Pemerintah daerah juga diizinkan untuk melakukan
pinjaman dalam memenuhi kebutuhan dana dalam rangka
pembangunan daerah. Sumber pinjaman ini dapat berasal dari
dalam negeri saja, dengan jenis pinjaman jangka pendek,
menengah, dan jangka panjang. Untuk pinjaman jangka panjang,
jumlah kumulatif pokok pinjaman daerah yang wajib dibayar
disyaratkan tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum
APBD tahun sebelumnya, dan berdasarkan proyeksi penerimaan dan
pengeluaran daerah selama jangka waktu pinjaman.
Referensi
o UU No. 22/1999 Tentang Pemerintahan Daerah
o Penjelasan UU No. 22/1999 Tentang Pemerintahan Daerah
16
o UU No. 25/1999 Tentang Perimbangan Keuaaangan antara
Pemerintahan Pusat dan Daerah
o Penjelasan UU No. 25/1999 Tentang Perimbangan Keuaaangan
antara Pemerintahan Pusat dan Daerah
o UU No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
o Penjelasan UU No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
o UU No. 33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintahan Pusat dan Daerah
o Penjelasan UU No. 33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintahan Pusat dan Daerah
o PP Nomor 104/2000 tentang Dana Perimbangan
o Keputusan Presiden No. 181/2000 mengenai Dana Alokasi
Umum Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Tahun
Anggaran 2001.
o PP
Nomor
105/2000
tentang
Pengelolaan
dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
o PP
Nomor
106/2000
tentang
Pengelolaan
dan
Pertanggungjawaban
Keuangan
dalam
Pelaksanaan
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
o PP Nomor 107/2000 tentang Pinjaman Daerah. Diantara
berbagai hal lainnya, ke-empat PP tersebut menguraikan
berapa besar masing-masing pemerintah daerah mendapat
bagian dari pusat pada tahun anggaran 2001.
o Uu No.34/2000 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
17