MAKALAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN partisipatif 2

MAKALAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN

Dalam proses pembangunan, perencanaan mempunyai peran yang sangat penting. Dengan
perencanaan yang baik diharapkan anggaran yang dimiliki bisa digunakan secara efektif dan efisien.
Tidak dipungkiri bahwa masih banyak kekurangan dan masalah yang terjadi meskipun sudah ada regulasi
yang dipersiapkan pemerintah sebagai petunjuk dalam pelaksanaannya.

Kebutuhan terhadap ketersediaan rencana pembangunan daerah yang
adaptif, aspiratif dan mampu menjadi rujukan pelaksanaan pembangunan di
daerah, menjadi semakin penting dalam era otonomi daerah. Rencana
pembangunan daerah disusun tidak hanya berdasarkan potensi, unggulan dan
kemampuan yang dimiliki masing-masing daerah, tetapi juga harus mampu
bersinergi dengan rencana pembangunan nasional. Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional telah
mengatur keterkaitan berbagai dokumen perencanaan pembangunan yang
menjadi rujukan bagi Pemerintah Daerah untuk menyiapkan berbagai rencana
pembangunan daerah.
Perencanaan pembangunan merupakan suatu proses yang siklik/ berupa siklus yang terus berulang
selama pemerintahan berjalan. Perencanaan digunakan sebagai dasar dalam melaksanakan pekerjaan
pembangunan, pelaksanaan pembangunan dievaluasi kesesuaiannya dengan perencanaan dan
perangkat regulasi yang mengikatnya, kemudian hasil evaluasi (walaupun selama ini belum ada dokumen

‘resmi’ yang menjelaskan rekomendasi tindak lanjut atas evaluasi) digunakan sebagai bahan dalam
penyusunan perencanaan selanjutnnya, begitu seterusnya.
Untuk memudahkan memperoleh gambaran tentang perencanaan pembangunan di Kab. Tabalong, ada
baiknya dilakukan analisa per langkah dalam proses tersebut.

Pelaksanaan musrenbang diawali mulai dari tingkat kelurahan.
Musrenbang tingkat
desa/kelurahan di Kab Tabalong pada dasarnya belum berjalan dengan baik , secara subtantif dan juga
beberapa hal yang bersifat teknis belum berjalan optimal bahkan tidak diimplementasikan. Mulai dari
ketidaktepatan jadwal, ketidakfahaman akan urgensi musrenbang, tidak melaksanakan pra musrenbang,
musrenbang kelurahan di dalam pelaksanaannya tidak ada narasumber yang mewakili dari BAPPEDA
Kabupaten, padahal BAPPEDA menjadi lembaga inti dalam proses penyusunan musrenbang RKPD yang
tugasnya memberikan informasi dan gambaran terkait fokus perencanaan pembangunan. Hasil akhir dari
musrenbang kelurahan belum bisa dikatakan berupa dokumen akan tetapi masih berupa bentuk laporan
pembangunan yang mayoritas orientasinya adalah pembangunan fisik.
Pertanyaannya, apakah musrenbang sudah benar-benar dilaksanakan?, jangan-jangan masih
ada desa yang tidak melaksanakan musrenbang dan segala usulan desa semua dibuat oleh perangkat
desa. Selanjutnya, kalau sudah dilaksanakan, apakah SDM di tingkat desa mempunyai kemampuan
dalam menyusun program kegiatan berdasarkan urutan prioritas kebutuhan desa? (minimal keinginan


yang benar-benar disepakati sebagai kebutuhan), sudahkah mempertimbangkan aspek fisik dan non-fisik
?, kalau belum, saran tindak lanjutnya : BPMPD dan / atau BAPPEDA menyusun panduan penyusunan
Rencana Pembangunan di tingkat Desa (alangkah baiknya berupa manual book), selanjutnya pelatihan
serta pendampingan.
Kesimpulannya, Musrenbang tingkat desa/kelurahan belum dianggap dan diperlakukan
sebagai sesuatu yang penting dan menentukan dalam pelaksanaan pembangunan.
Setelah tahap musrenbang tingkat kelurahan selesai dilaksanakan, berikutnya adalah
musrenbang tingkat kecamatan. Fenomena yang tergambar dalam proses musrenbang kecamatan tidak
jauh berbeda dengan yang terjadi pada musrenbang kelurahan. Musrenbang tingkat kecamatan hanya
sebagai aktivitas yang bersifat formalitas, seolah-olah kegiatan tersebut bersifat bottom-up tapi
realitanya lebih kecenderungan top-down. pemaknaan formalitas dalam konteks yang lain diartikan
bahwa musrenbangcam hanya bersifat seremonial.
Selanjutnya adalah kegiatan forum SKPD. Secara teknis forum SKPD hanya melakukan konfirmasi
dan penyesuaian antara hasil musrenbangcam dengan program SKPD, sederhananya memberikan ruang
untuk terjadinya proses tanya jawab antar seluruh peserta forum SKPD. Memang dalam prosesnya
diberikan ruang untuk saling konfirmasi terkait dengan prioritas kegiatan akan tetapi karena kendali ada
pada Kepala SKPD, akhirnya proses dinamika itu hanya sampai pada titik konfirmasi dan tidak terjadi
proses diskusi yang subtansial.
Hasil akhir dari forum SKPD akan dibahas di forum musrenbang tahap akhir yakni musrenbang
tingkat kota. Musrenbang tingkat Kabupaten merupakan finalisasi yang akhirnya akan menghasilkan

dokumen RKPD. Seluruh tahapan musrenbang yang telah terlaksana merupakan fenomena sistemik
yang melibatkan banyak pihak, dalam hal ini adalah BAPPEDA, DPRD, lembaga pada setiap tingkatan
pemerintah dan tentunya masyarakat. Keluaran yang dihasilkan dalam setiap tahapan musrenbang
merupakan masukan yang kemudian ditetapkan secara resmi oleh penyelenggara pemerintahan daerah
sebagai dokumen Rencana Kerja Pembangunan Daerah.
Secara proses, mungkin sudah bisa dikatakan sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Pertanyaannya, apakah keluaran dari proses tersebut sudah menggambarkan kebutuhan masyarakat
dan daerah?, Apakah hasil Musrenbang di tingkat Desa sudah disusun berdasarkan URUTAN
PRIORITAS bagi Desanya?, Apakah hasil Musrenbang di tingkat Kecamatan sudah disusun berdasarkan
URUTAN PRIORITAS bagi Kecamatannya?. Apakah hasil Musrenbang Kabupaten sudah disusun
berdasarkan URUTAN PRIORITAS?.
Kenapa URUTAN PRIORITAS ini penting ?, karena dana yang dimiliki Pemerintah terbatas,
sehingga APBD dapat digunakan secara efektif dan efisien, tidak terjadi duplikasi dan kegiatan tidak
bermanfaat tidak dijadikan rutinitas/kebiasaan yang selalu muncul disetiap tahun anggaran.

Intervensi dan besarnya peran pemerintah daerah dilihat dari pengendali sesungguhnya dari
musrenbang tersebut. Secara keseluruhan, Badan Perencanaan Pembangunan (BAPPEDA) merupakan
lembaga yang paling bertanggung jawab terhadap berlangsungnya musrenbang. BAPPEDA melakukan
koordinasi seluruh jajaran perangkat daerah untuk menjalankan musrenbang. Di tingkat kecamatan,
peran kantor kecamatan sangat besar bagi berlangsungnya musrenbang tingkat kecamatan. Di tingkat

desa/kelurahan, kantor kelurahan memiliki peran besar untuk memfasilitasi LPMK dalam melakukan
musyawarah pembangunan kelurahan.
Dari keterangan tersebut dapat dipahami bahwa meskipun musrenbang benar-benar mampu
membawa aspirasi masyarakat dalam proses pembuatan keputusan namun peran besar dalam proses
tersebut tetap berada ditangan pemerintah daerah. Banyaknya usulan pembangunan masyarakat yang
tidak terakomodir disebabkan oleh adanya posisi rencana pembangunan yang bersifat kompleks dari
pemkot dan terlalu banyaknya usulan masyarakat yang masuk sehingga harus dipilah dan dipilih
berdasarkan kategori pembidangan dan prioritas atas dasar kategori tersebut. Orientasi holistik menjadi
penting dalam perencanaan pembangunan daerah, karena dengan tingkat kompleksitas yang besar tidak
mungkin kita mengabaikan masalah-masalah yang muncul sebagai tuntutan kebutuhan sosial yang tak
teralakkan.
Selain hal tersebut, gambaran lain yang terlihat adalah peran pemerintah daerah dalam hal ini
BAPPEDA begitu kuat dalam musrenbang. Hal tersebut menunjukan bahwa pada akhirnya musrenbang
kehilangan ruh hakikat dasarnya yakni bersifat bottom up. Kuatnya peran BAPPEDA dalam proses
musrenbang dapat diartikan sebagai para pembuat rencana melakukan usaha untuk mengurangi gejolak
di masyarakat akibat suatu kejadian dengan memberikan arahan yang rasional dan logis tentang kejadian
tersebut dimana arahan tersebut tidak dengan pola pikir masyarakat pada umumnya
Belum holistiknya proses penyusunan rencana kerja pembangunan daerah terlihat dari beberapa
proses tahapan musrenbang, mulai dari musrenbang tingkat kelurahan, musrenbang tingkat kecamatan,
forum SKPD, sampai tahap musrenbang tingkat kota seperti yang telah penulis gambarkan dibeberapa

fenomena penyajian data diawal. Perjalanan dari tiap tahapan proses musrenbang lebih terlihat
formalitas dikarenakan keputusan akhir dari hasil setiap tahapan proses musrenbang otoritas
keputusannya berada pada pemerintahan daerah dalam hal ini adalah BAPPEDA serta forum SKPD. Hal
tersebut bisa dikatakan sebagai formalitas partisipatif, yaitu selama proses transformasi kapasitas
masyarakat dan keterampilan masyarakat tidak dilakukan, maka partisipasi hanya akan terlihat sebagai
formalitas partisipatif, sedangkan realitas sesungguhnya adalah hegemoni dan manipulasi.
Peran SKPD pada hakikatnya terlibat pada setiap tahapan musrenbang, diantaranya tahap
musrenbang kecamatan, tahap forum SKPD, dan tahap musrenbang kota, dari setiap tahapan tersebut
dengan berdasarkan data sekunder dan data primer menunjukan bahwa peran SKPD yang paling
menonjol adalah pada musrenbang tahap forum SKPD. Berdasarkan perspektif pendekatan perencanaan,
forum SKPD lebih tepat disebut sebagai perencanaan teknokratis yang bersifat top down yang
diselaraskan dengan hasil dari pendekatan partisipatif yang bersifat bottom up. Secara konseptual seperti
yang diungkapkan oleh Sutoro Eko (www.ireyoga.org), mengungkapkan bahwa perencanaan teknokratis
mengandung dimensi teori dan metodologi untuk mengelola data, informasi dan aspirasi secara logis,

tepat, dan cermat. Teori dan metodologi mengharuskan agenda perencanaan membuat analisis masalah
dan tujuan secara tepat, sehingga mampu menghasilkan kebijakan yang tepat atau menjawab masalah
dengan benar.
Pendekatan teknokratis dengan pendekatan partisipasi sejatinya tidak saling bertentangan.
Pendekatan teknokratis berupaya melakukan translasi atas pendekatan partisipasi. Para pemimpin

daerah atau politisi sering memberikan respons politik atas partisipasi secara cepat, begitu dialog dengan
masyarakat berlangsung. Sementara pendekatan teknokrasi membutuhkan proses translasi melalui
analisis yang lama, senada dengan lamanya waktu yang dibutuhkan oleh proses partisipatif. Tetapi ada
sebuah prinsip dasar bahwa siapapun yang sabar mengikuti proses maka akan membuatnya menjadi
lebih bijak. Sehingga jika pendekatan teknokrasi dimasukkan dalam proses partisipasi maka akan
menghasilkan perencanaan yang lebih bermakna dan berkualitas. Hal ini misalnya ditempuh dengan
analisis masalah dan penentuan skala prioritas dalam setiap tahapan proses penyusunan RKPD.
Sama halnya seperti yang terjadi dalam proses musrenbang bahwa dalam forum SKPD juga terlihat
nuansa formalitas dan politis dalam melakukan proses penyusunan rencana pembangunan. Serta
berdasarkan data primer bahwa para delegasi yang berada dalam pemerintahan dibawahnya tergambar
lebih mengambil pada posisi yang aman sehingga tidak muncul dinamika kritis. Maka harus dilakukan
proses pembaharuan. Abe (2005, hal.88) memberikan beberapa perspektif agar muncul keseimbangan
dalam proses mempengaruhi sebelum kebijakan itu ditetapkan. Beberapa hal tersebut diantaranya
adalah (1). Perubahan budaya, pembaruan kultur politik di masyarakat, agar bisa lebih menerima
kejujuran politik dan menentang segala bentuk tekanan politik, dan (2). Perubahan tata politik, sehingga
perpolitikan lebih bersifat “poli” dan berorientasi akar rumput, bukan lagi berorientasi elitis. Melibatkan
masyarakat secara langsung akan membawa tiga dampak penting : (1). Terhindar dari peluang terjadinya
manipulasi. Keterlibatan rakyat akan memperjelas apa yang sebetulnya dikehendaki masyarakat. (2).
Member nilai tambah pada legitimasi rumusan perencanaan. Semakin banyak jumlah masyarakat yang
terlibat akan semakin baik. (3). Meningkatkan kesadaran dan keterampilan politik masyarakat.

upaya memecahkan masalah proses penyusunan RKPD perlu diawali dengan memahami realitas
masalah. Realitas yang dihadapi adalah proses penyusunan RKPD yang tidak holistik dan terstruktur
sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Upaya pemecahan masalah tersebut perlu diawali
dengan proses pemahaman akan aturan (strategis maupun teknis) terkait proses penyusunan RKPD
secara menyeluruh sampai tingkat pemerintahan yang paling bawah hal tersebut dimaksudkan agar
semua lapisan masyarakat yang terlibat dalam proses perencanaan pembangunan memahami secara
subtansi maupun teknis. Langkah selanjutnya adalah memahami keinginan dan kebutuhan masyarakat,
pemerintah daerah maupun swasta, langkah ini dimaksudkan agar tercipta keselarasan pembangunan
baik dari perspektif pengelolaan maupun perspektif pendanaan sehingga semua usulan rencana
pembangunan bisa diakomodir. Langkah berikutnya adalah melakukan pemilahan proses penyusunan
RKPD menjadi tiga bagian (proses teknokratis, proses partisipatif dan proses legislasi dan administratif)
hal tersebut untuk memudahakan dalam membangun sebuah sistem (wilayah kerja mana yang harus
melakukan pendekatan partisipatif, membutuhkan konsultasi (teknokratis), serta proses kekuatan
hukum). Langkah selanjutnya adanya ketetapan dan kesepakatan terhadap proses tahapan RKPD hal ini
untuk mewujudkan konsistensi terhadap alur yang komprehensip dan holistik.

Langkah berikutnya adalah melakukan proses orientasi perencanaan, hal ini dalam rangka agar
proses penyusunan RKPD tidak bertentangan antara satu dokumen dengan dokumen lainnya,
memahami pola-pola pendekatan dalam menyusun RKPD. Berikutnya adalah pengumpulan data dan
informasi serta analisis kondisi permasalahan daerah dalam rangka melakukan review terhadap Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), membuat skema prioritas dan target program.
Setelah langkah itu dilakukan kembali lagi kepada proses tahapan ketetapan dan kesepakatan
stakeholders. Langkah berikutnya adalah melakukan forum atau diskusi tentang arah perencanaan
(proses bottom up) hasil yang diinginkan, menyamakan perspektif pembangunan secara kolektif dalam
rangka mencari langkah terbaik. Hasil dari langkah tersebut adalah adanya tolok ukur komprehensip dan
holistik RKPD dilihat dari segala dimensi. Sehingga lankah berikutnaya adalah melakukan monitor, kontrol
dan evaluasi untuk melihat sejauh mana konsistensi terhadap proses tahapan RKPD.

SIMPULAN
Peran BAPPEDA secara keseluruhan sangat dominan dan memiliki otoritas yang penuh dalam
mengendalikan proses penyusunan perencanaan pembangunan termasuk di dalamnya prose
penyusunan RKPD. Tentu fenomena tersebut sedikit keluar dari koridor semangat proses penyusunan
perencanaan pembangunan yang merupakan sebagai wahana untuk mensinkronisasikan dan
merekonsiliasikan pendekatan top-down dengan bottom-up, pendekatan penilaian kebutuhan
masyarakat (community need assessment) dengan penilaian yang bersifat teknis (techical assessment);
resolusi konflik atas berbagai kepentingan pemerintah daerah dan non government stakeholders untuk
pembangunan daerah, antara kebutuhan program pembangunan dengan kemampuan dan kendala
pendanaan, dan wahana untuk mensinergikan berbagai sumber pendanaan pembangunan. Dalam
dimensi lain SKPD juga tidak melakukan peran advokasi untuk memperjuangkan setiap usulan-usulan
pembangunan dari masyarakat yang dihasilkan dari musrenbangkel maupun musrenbangcam sehingga

dapat dikatakan bahwa secara subtansial SKPD tidak berperan seutuhnya
Fakta lain menggambarkan juga bahwa proses penyusunan RKPD juga tidak terlepas dari unsur
kepentingan politik, dimana dalam hal tersebut DPRD menjadi institusi yang memiliki nilai tawar karena
perannya yang bisa melakukan untuk tidak memberikan dukungan terhadap proses penyusunan RKPD.
Dari keseluruhan fakta tersebut diatas menunjukan bahwa dalam proses musrenbang terjadi
pertarungan antara partisipasi dengan teknokratis, seharusnya proses musrenbang bisa bersifat
partisipasi seutuhnya, akan tetapi realitasnya keputusan ditetapkan berdasarkan teknokratis karena
faktor pemerintah daerah dalam hal ini BAPPEDA sebagai pengendali. Hasil penelitian yang penulis
lakukan ada satu variabel yang tahapannya tidak dilalui secara utuh yaitu focus group discussion (FGD)
dikarenakan pada saat melakukan penelitian segala proses tahapan perencanaan RKPD terutama
musrenbang sudah selesai dilaksanakan, atas dasar hal tersebut maka rekomendasi bagi yang akan
melakukan penelitian terhadap proses perencanaan pembangunan daerah dengan pendekatan sof
systems methodology maka focus group discussion (FGD) menjadi variabel penting karena dalam rangka
untuk mendapatkan informasi dan perspektif secara utuh dan komprehensif.

Masalah terkait perencanaan antara lain :
1. Faktor kebiasaan. Penyusunan perencanaan tidak dilakukan melalui kajian kebutuhan yang
benar, tetapi lebih dipengaruhi oleh program atau kegiatan yang ‘biasanya’ dilakukan pada tahun
–tahun sebelumnya tanpa memperhatikan dampak positif dan manfaat yang bisa diambil oleh
Daerah baik oleh Pemerintah maupun masyarakatnya.

2. Profit oriented. Program atau kegiatan yang diusulkan pada saat perencanaan adalah kegiatan
yang diperkirakan bisa memberi manfaat kepada individu dengan mengesampingkan kebutuhan
dan manfaat bagi Daerah. Program atau kegiatan yang tidak memberi manfaat kepada individu
tersebut akhirnya diabaikan meskipun memberi dampak positif bagi Daerah.
3. Pada level makro, muncul masalah yaitu perencanaan yang disusun secara parsial, tidak
terintegrasi karena adanya ego sektoral masing-masing pemangku kepentingan. (Masalah ini
pada level mikro/SKPD juga bisa terjadi )

Ada beberapa pendekatan dalam pengambilan keputusan pada proses perencanaan , antara lain :
1. Pendekatan bottom-up, usulan program dan kegiatan yang disampaikan oleh masyarakat dari
tingkat terbawah sampai ke tingkat teratas.
2. Pendekatan Top-down, yaitu perintah dari Pimpinan (Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota)
untuk dilaksanakan Satker Teknis.
3. Pendekatan Teknokratis, yaitu masukan program / kegiatan melalui pertimbangan Satker Teknis.
4. Pendekatan Politis, yaitu program atau kegiatan terkait visi dan misi Kepala Negara/ Kepala
Daerah serta Anggota DPR/DPRD pada saat Pemilihan Umum.
5. Pendekatan partisipatif