Paradigma Ekonomi Hijau Green Economic d

Paradigma Ekonomi Hijau (Green Economic) dalam Penatagunaan Hutan
untuk mewujudkan
Tata Kelola Hutan yang Baik (Good Forest Governance)
Ida Nurlinda
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
Ida.nurlinda@yahoo.co.id

Abstrak
Pola penatagunaan hutan yang berorientasi pada eksploitasi sumber daya hutan
telah mempercepat laju deforestasi dan degradasi lahan di Indonesia. Setiap
tahunnya, 130.000 km2 hutan Indonesia hancur, sehingga menimbulkan emisi
karbon yang sangat besar yaitu seperlima dari emisi karbon seluruh dunia. Di sisi
lain, begitu banyak orang menggantungkan hidupnya pada sumber daya hutan. Data
World Bank tahun 2004 menunjukkan 1,2 milyar orang di dunia tergantung pada
huta sebagai sumber kehidupannya. Di Indonesia sendiri, diperkirakan 48 juta orang
yang hidupnya bergantung pada sumber daya hutan.
Cara-cara penguasaan dan pemanfaatan hutan yang demikian jelas tidak
berwawasan lingkungan. Pola-pola penguasaan dan pemanfaatan hutan yang
berbasis pada pembangunan ekonomi semata hanya akan menyisakan kemiskinan
dan kerusakan lingkungan. Untuk itu pembangunan sektor kehutanan dan sektorsektor sumber daya alam lainnya harus berparadigma pembangunan ekonomi hijau
(green economic) di mana kegiatan ekonomi tidak saja mampu meningkatkan

kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial, tetapi juga mampu menghilangkan dampak
negatif pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan dan kelangkaan sumber daya
alam. Pembangunan ekonomi hijau merupakan kegiatan ekonomi yang rendah
karbon, tidak mengandalkan bahan bakar fosil, hemat sumber daya alam dan
berkeadilan sosial dalam arti semua rakyat (terutama rakyat yang tinggal di sekitar
di mana sumber daya alam tersebut terletak) mempunyai akses yang sama terhadap
sumber daya alam tersebut.
Kata Kunci:
Sumber Daya Hutan, Paradigma Ekonomi Hijau, Tata Kelola Hutan yang Baik

1

Green Economic Paradigm in Forest Management to Support
Good Forest Governance
Ida Nurlinda
Law School Universitas Padjadjaran
Ida.nurlinda@yahoo.co.id

Abstract
Forest land use pattern which oriented to the exploitation of forest resources has

fasten the land deforestation and degradation in indonesia. Every year, 130.000 km
of Indonesia's forest is wrecked. It caused a huge carbon emission, more precisely,
fifth from all the world's carbon emission. Besides, so many people depend their life
on the forest resources. World Bank's data in 2004 has shown that 1,2 billion of
people in the world depend on forest as their sources of life. In Indonesia it self,
there are approximately 48 million people whose life is depend on the forest
resources.
Those ways of trying to authorize and exploit the forest are clearly not
environmental friendly. The forest authorizing and exploiting pattern which is
oriented to the economic development will only cause poverty and damage to the
environment. Therefore, forest development and other natural resources has to be
green economic paradigm where economic activities could not only improve the
welfare of the people and social justice, but also could erase the negative impact of
the economic growth to the environment and the scarcity of natural resource. Green
economic growth is the economic activity which produces less carbon, don't rely on
fossil fuel, uses less of natural resources, and socially fair which means everyone
(especially someone who lives near to the place where the natural resource are at)
has equal access to the natural resource.
Keywords:
Forest Recources, Green Economic Paradigm, Good Forest Governance

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Hutan tropis Indonesia merupakan hutan tropis terbesar ke-3 di dunia
setelah Brazil dan Kongo. Saat ini luas tutupan hutan di seluruh dunia
berkisar 4 miliar hektar, mewakili 30% luas daratan di bumi. Sekitar 56%
dari hutan tersebut berada di kawasan tropis dan sub tropis, dengan sebaran
terbanyak di Brazil, Kongo, Indonesia, Cina, Rusia dan Amerika/Kanada 1.
1 Agus Purnomo, Menjaga Hutan Kita: Pro-Kontra Kebijakan Moratorium Hutan dan Gambut,
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta, 2012: hlm. 1

2

Di Indonesia, luas kawasan hutan mencapai 99,6 juta ha atau 52,3% dari luas
seluruh wilayah Indonesia2, sehingga hutan Indonesia dapat dikatakan
sebagai salah satu paru-paru dunia yang sangat penting bagi kehidupan
bumi.
Namun kekayaan hutan Indonesia yang sedemikian luas semakin hari
semakin berkurang karena pemanfaatan hutan yang tidak terkendali.
Penguasaan dan pemanfaatan hutan di Indonesia telah mengabaikan aspek
pelestarian dan perlindungan lingkungan serta sumber daya hutan itu sendiri.

Hal ini mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan hidup serta
mempercepat laju deforestasi dan degradasi lahan di Indonesia, yang pada
akhirnya juga menyebabkan berkurangnya luas hutan di Indonesia. Laju
deforestasi hutan di Indonesia mencapai 1,6 sampai 2,1 juta ha per tahun dan
tercatat sebagai negara ketiga tercepat di dunia, yang mengalami
deforestasi3. Setiap menit hutan Indonesia berkurang seluas 6 kali lapangan
sepak bola, dengan kerugian setiap tahunnya mencapai 31 triliun rupiah 4.
Data yang cukup mengerikan; bahkan pada Tahun 2007 Guinness World
Recods menetapkan Indonesia dengan tingkat kehancuran hutan tercepat di
antara negara-negara yang memiliki 90% sisa hutan dunia. Sejalan dengan
hal tersebut, Agus Purnomo5 berpendapat bahwa berkurang/hilangnya hutan
Indonesia cukup signifikan yaitu sekitar 130.000 km2 setiap tahunnya, setara
dengan luas negara Inggris.
Banyak hal yang menyebabkan timbulnya deforestasi dan kerusakan
lahan hutan, antara lain pertumbuhan industri pulp dan kertas yang tidak
didahului dengan pembukaan Hutan Tanaman Industri (HTI). Industri pulp
dan kertas dalam kenyataannya membutuhkan bahan baku pembukaan hutan
secara besar-besaran, masif dan dilakukan secara ilegal. Kerusakan hutan
Indonesia terjadi juga disebabkan terus terjadinya alih fungsi hutan untuk
kepentingan lain seperti pembangunan infrastruktur (jalan raya, bendungan

dsb).

2 Buku Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2011, Kementerian Kehutanan RI, Juni 2012: hlm. 1
3 www.wwf.or.id, My Baby Tree, didownload 14 Mei 2013.
4 Fazrin Rahmadani dan Zenwen Pador: Menyatukan Asa, Memperkuat Tindakan, IHSA-YLBHI-Kemitraan
Partnership, Jakarta, 2009: hlm. 2
5 Agus Purnomo, Op.Cit.: hlm. 3

3

Di Papua misalnya, dengan alasan merevisi tata ruang, terjadi alih fungsi
hutan seluas 800.000 ha menjadi penggunaan non hutan. Hal itu dilakukan
melalui SK Menteri Kehutanan No. 458 Tahun 2012 yang menyetujui
perubahan fungsi kawasan hutan menjadi fungsi non hutan seluas 376.385
ha, perubahan fungsi antar kawasan hutan (hutan lindung/hutan konservasi
berubah menjadi hutan produksi) seluas 395.176 ha; sedangkan perubahan
fungsi

kawasan non hutan menjadi kawasan hutan hanya terjadi seluas


45.258 ha6. Di Provinsi Jambi, dalam kurun waktu 10 tahun sampai Tahun
2012, luas hutan di wilayah tersebut telah berkurang seluas 1 juta ha hanya
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi perusahaan-perusahaan besar. Alih
fungsi hutan juga terjadi provinsi Aceh. Luas kawasan hutan di Provinsi
Aceh saat ini diperkirakan hanya tinggal 3,34 juta ha; namun pemerintah
Provinsi Aceh mengusulkan revisi Tata Ruang Wilayah Provinsi Aceh
(qanun) untuk mengurangi 1,2 juta ha kawasan hutan untuk memfasilitasi
kebutuhan lahan untuk kegiatan pertambangan, perkebunan kelapa sawit dan
karet dan pembangunan infrastruktur7, berupa jalan raya dan sarana
penunjang lainnya.
Dalam konteks paparan di atas, tampak kepentingan pembangunan
nasional, khususnya pembangunan ekonomi seolah-olah menjadi pemicu
utama kerusakan hutan Indonesia. Pertanyaannya, apakah memang harus
demikian? Apakah pembangunan ekonomi yang berbahan baku sumber daya
alam, khususnya hutan, harus selalu berdampak merusak kualitas lingkungan
dan kualitas kawasan hutan? Tidak demikian harapannya tentunya. Berbagai
aturan, kebijakan dan tindakan telah dilakukan oleh pemerintah (terutama)
untuk mengatasi hal tersebut, namun hasilnya memang belum tampak secara
signifikan.
Beberapa upaya pemerintah yang telah dilakukan untuk mengatasi hal

tersebut, ada yang cukup menarik untuk dikaji lebih jauh. Misalnya
kebijakan untuk menerapkan paradigma ekonomi hijau (green economic)
dalam kegiatan pembangunan ekonominya. Pembangunan ekonomi hijau
(green economy) merupakan kegiatan ekonomi yang rendah karbon, tidak
6 www.kompas.com, Janji Presiden Lindungi Hutan Ditagih: Moratorium belum hasilkan Peta Hutan
valid, didownload 19 April 2013
7 Harian Kompas, Hutan Aceh Terancam Perda RTRW, Jakarta, 24 April 2013

4

mengandalkan bahan bakar fosil, hemat sumber daya alam dan berkeadilan
sosial dalam arti semua rakyat (terutama rakyat yang tinggal di sekitar di
mana sumber daya alam tersebut terletak) mempunyai akses yang sama
terhadap sumber daya alam. Kebijakan ini tampak pada terbitnya Instruksi
Presiden No. 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan
Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Moratorium pemberian izin ini berlaku 2 tahun dan berakhir pada tanggal 20
Mei 2013 yang lalu dan telah diperpanjang melalui Inpres No. 6 Tahun 2013
pada tanggal 13 Mei 2013 yang lalu untuk waktu 2 tahun ke depan.
2. Tujuan

Kondisi hutan Indonesia sebagaimana dipaparkan pada uraian latar
belakang di atas, tentu menjadi keprihatinan bersama karena timbulnya
deforestasi menyebabkan kehilangan penyerap karbon dalam jumlah yang
cukup besar. Untuk itu perlu dilakukan kajian yang menelaah upaya-upaya
penatagunaan hutan yang mengacu pada kaidah-kaidah pelestarian dan
perlindungan lingkungan tanpa mengurangi bahkan menghilangkan manfaat
dan

perannya

bagi

pembangunan

ekonomi

Indonesia.

Paradigma


pembangunan ekonomi yang berbasis pelestarian lingkungan atau ekonomi
hijau (green economy) perlu dikaji implementasinya dalam penguasaan dan
pemanfaatan hutan untuk penatagunaan hutan untuk mewujudkan tata kelola
hutan yang baik (Good Forest Governance).
3. Permasalahan
Untuk menajamkan permasalahan yang dikaji, maka dirumuskan
beberapa masalah sebagai berikut:
a. Seberapa jauh paradigma ekonomi hijau (green economic) dapat
diintegrasikan dalam pengaturan penatagunaan hutan di Indonesia?
b. Seberapa jauh kebijakan moratorium pemberian izin pemanfaatan
hutan dan lahan gambut dapat mewujudkan tata kelola hutan yang
baik (good forest governance) di Indonesia?
B. Metode Penelitian
Kajian hukum atas paradigma ekonomi hijau (green economic) dalam
penatagunaan hutan untuk mewujudkan tata kelola hutan yang baik (good forest
governance) dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan juridis

5

normatif dalam arti menggunakan data kepustakaan/sekunder (baik berupa

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier)
sebagai bahan utama penelitian. Sementara sifat penelitian yang dilakukan untuk
mengkaji permasalahan hukum di atas, digunakan sifat deskripsi analitis yang
memaparkan analisa atas data sekunder yang menjadi bahan hukum penelitian.
Untuk menganalisis data sekunder berupa bahan hukum yang digunakan
dalam melakukan kajian hukum atas paradigma ekonomi hijau (green economic)
dalam penatagunaan hutan untuk mewujudkan tata kelola hutan yang baik (good
forest governance), digunakan analisis juridis kualitatif dengan mengandalkan
pada kemampuan abstraksi-teoritis atas bahan-bahan hukum tersebut, dengan
menggunakan metode penafsiran hukum dan konstruksi hukum, terutama
penafsiran sistematis dan penafsiran sosiologis atas peraturan perundangundangan terkait materi kajian.
C. Hasil dan Pembahasan
1. Integrasi Paradigma

Ekonomi

Hijau

(green


economic)

dalam

Pengaturan Penatagunaan Hutan Indonesia
Ekonomi hijau (green economy) pada hakekatnya bukan merupakan hal
yang baru dalam konteks pembangunan berkelanjutan sebagai suatu
paradigma pembangunan di Indonesia. Namun implementasinya seolah jalan
ditempat mengingat kompleksnya permasalahan lingkungan dan pengelolaan
sumber daya alam di Indonesia selama ini. Sebagai sebuah konsep
pembangunan berkelanjutan, ekonomi hijau (green economy) mengemuka
sejalan dengan terus bergulirnya isu kemiskinan yang menyertai isu-isu
lingkungan; bahkan dalam Konferensi Pembangunan Berkelanjutan Juni
2012, yang dikenal dengan Rio+20, ada 2 topik besar yang menjadi fokus
konferensi tersebut yaitu (a) ekonomi hijau (green economy) dalam konteks
pembangunan berkelanjutan untuk penghapusan kemiskinan dan (b)
kerangka institusi untuk pembangunan berkelanjutan8. Hal ini menjadi fokus
konferensi Rio+20 karena masalah-masalah lingkungan kerapkali timbul
disebabkan oleh kondisi masyarakat yang miskin serta lemahnya peran dan
komitmen institusi (terutama institusi pemerintah) untuk mewujudkan
pembangunan berkelanjutan itu sendiri.
8 www.unep.org/wed/greeneconomy, Towards Green Economy, disdownload 3 Juni 2012

6

Beberapa pakar/institusi memberi pengertian atas ekonomi hijau (green
economy) baik dalam konteks pembangunan berkelanjutan maupun dalam
konteks kegiatan ekonomi itu sendiri. United Nation Environment
Programme (UNEP) memberikan pengertian ekonomi hijau sebagai kegiatan
perekonomian yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial
di satu sisi, tetapi di sisi lain mampu menghilangkan dampak negatif
pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan dan kelangkaan sumber daya
alam9. Menelaah pendapat UNEP tersebut, tampak bahwa ekonomi hijau
tidak saja merupakan kegiatan ekonomi yang rendah karbon, tidak
mengandalkan bahan bakar fosil dan hemat sumber daya alam; akan tetapi
tetapi juga merupakan kegiatan ekonomi yang bervisi keadilan sosial.
Artinya, pemanfaatan sumber daya alam, termasuk hutan, sebagai bahan
baku kegiatan ekonomi tidak saja memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi
semata, akan tetapi juga memastikan tersebarnya manfaat kegiatan ekonomi
berbahan baku hutan tersebut kepada masyarakat (khususnya masyarakat
setempat) secara lebih adil dan inklusif.
Dari rumusan UNEP tentang ekonomi hijau (green economy),
mengemuka ciri yang melekat pada ekonomi hijau (green economy) adalah
perdagangan karbon (carbon trading). Sebagaimana mengemuka pula dalam
perundingan tahunan Kerangka Kerja Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim
(UNFCCC/United Nations Framework Convention on Climate Change)
tentang Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan
(REDD/Reducing Emissions from Deforestation and Degradation). Hal ini
tentu merupakan ciri yang buruk dari ekonomi hijau (green economy) karena
isu perdagangan karbon (carbon trading) hanya akan melindungi kegiatan
ekonomi yang menggunakan bahan bakar fosil sebagai pendukung
produktivitas negara maju; sehingga karenanya ekonomi hijau (green
economy) dan perdagangan karbon (carbon trading) ibarat dua sisi mata
uang.
Dengan demikian, untuk menjaga agar ekonomi hijau tetap berorientasi
pada kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial, maka perlu dikaji ciri-ciri

9 ibid

7

ekonomi hijau (green economy). Cato merumuskan ciri-ciri ekonomi hijau
(green economy) sebagai berikut10:
a. Suatu ekonomi hijau merupakan ekonomi yang berbasis lokal;
b. Dalam ekonomi hijau, orang-orang akan berhubungan satu dengan
yang lain lebih dulu dan baru kemudian berdagang. Pasar dipandang
sebagai tempat bersosialisasi dan persahabatan yang menyenangkan
di mana berita dan pandangan politik dipertukarkan seperti halnya
barang dan uang;
c. Ekonomi hijau sangat mungkin melibatkan distribusi aset dengan
menggunakan harta warisan yang ditingkatkan dan pajak capital
gain;
d. Dalam ekonomi hijau, pajak kemungkinan digunakan juga secara
strategis untuk mempengaruhi kekuasaan dan perilaku bisnis.
Dominasi neoliberal dari pembuatan keputusan mengakibatkan
pergeseran pajak dari korporasi ke pendapatan dari penduduk swasta;
e. Ekonomi hijau akan dipandu oleh nilai keberlanjutan daripada oleh
nilai uang;
f. Ekonomi hijau akan meninggalkan kecanduan pada pertumbuhan
ekonomi dan mengarah pada ekonomi steady-state;
g. Ekonomi hijau akan menjadi ekonomi yang ramah di mana hubungan
dan komunitas menjadi pengganti konsumsi dan teknologi;
h. Ekonomi hijau memberi peran yang lebih luas bagi ekonomi informal
dan sistem koperasi dan berbasis komunitas yang saling mendukung;
i. Dalam ekonomi hijau, sistem kesehatan akan fokus pada
pengembangan kesehatan yang baik dan penyediaan perawatan
primer, berbasis lokal daripada obat berteknologi tinggi dan
perusahaan farmasi yang luas;
j. Ekonomi hijau akan menggantikan bahan bakar fosil dan sistem
pertanian intensif dengan pertanian organik dan berbagai sistem
seperti pertanian dengan dukungan komunitas, di mana manusia
terhubung lebih dekat dengan sumber pangannya.

10 Cato, M.S., Green Economics: An Introduction to Theory, Policy and Practice, earthscan, London, 2009,
dalam Sudarsono Soedomo, Ekonomi Hijau: Pendekatan Sosial, Kultural dan Teknologi, makalah pada
Diskusi “Konsep Ekonomi Hijau/Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan untuk Indonesia, Jakarta 14
Juli 2010: hlm. 6-7

8

Pendapat Cato di atas menunjukkan bahwa ekonomi hijau (green
economy)

pada

hakekatnya

berbeda

dengan

ilmu

ekonomi

yang

konvensional, karena ekonomi konvensional lebih berorientasi pada
kuantitas produksi, sedangkan ekonomi hijau (green economy) lebih peduli
pada kualitas manusia dan lingkungannya. Kesejahteraan sosial adalah hal
yang utama dalam ekonomi hijau (green economy), sedangkan kesejahteraan
ekonomi (welfare economics) hanyalah tambahan dari kesejahteraan sosial.
Dengan ciri yang demikian, maka paradigma ekonomi hijau (green
economic) dalam penatagunaan hutan merupakan suatu keniscayaan, karena
hutan tropis Indonesia harus diselamatkan dan masyarakat (komunitas lokal)
harus memperoleh manfaat dari keberadaan hutan di wilayahnya, baik secara
ekonomi maupun secara sosial. Untuk itu, dukungan peraturan perundangundangan yang memadai menjadi suatu keharusan pula. Hal tersebut sejalan
dengan 3 syarat utuk menerapkan ekonomi hijau di Indonesia, sebagaimana
ditegaskan dalam Seminar Nasional “Karpet Merah untuk Ekonomi Hijau”
yang diadakan di Jakarta 20 Februari 2013 yang lalu, yaitu11:
a. Partisipasi masyarakat lokal dan masyarakat adat yang terkena
dampak;
b. Adanya kelembagaan khusus; dan
c. Penataan pertanahan (land governance) termasuk peraturan terkait.
Ketiga syarat di atas saling terkait, tidak dapat berdiri sendiri. Dengan ketiga
syarat tersebut di atas, penerapan paradigma ekonomi hijau dalam
penatagunaan hutan diharapkan dapat mencapai 3 sasaran yaitu12:
a. Tingkat pembangunan ekonomi yang terus tumbuh dan memberikan
lapangan kerja serta mengurangi kemiskinan;
b. Tidak mengabaikan perlindungan lingkungan khususnya fungsi
ekosistem dan keragaman hayati; dan
c. Mengutamakan keadilan sosial.
Syarat dan sasaran ekonomi hijau (green economy) diperlukan untuk
menunjang

dan

menjamin

penatagunaan

hutan

yang

baik

untuk

11 www.redd-indonesia.org.id, Tiga Syarat Penerapan Ekonomi Hijau, didownload 22 Februari 2013.
12 ibid

9

menyelesaikan krisis perubahan iklim, krisis lingkungan hidup dan krisis
sosial yang menimbulkan kemiskinan. Penerapan paradigma ekonomi hijau
(green economic paradigm) diawali di sektor kehutanan melalui program
REDD, yang pada hakekatnya secara sempit merupakan program
pengurangan emisi, sedangkan secara luas dimaksudkan untuk langsung
mengatasi perubahan iklim dan kemiskinan di perdesaan, dan dalam waktu
yang bersamaan melestarikan keanekaragaman-hayati dan menjaga jasa-jasa
ekosistem yang penting13.
Syarat adanya peraturan yang terkait dengan peran dan partisipasi
masyarakat lokal dan masyarakat adat yang terkena dampak, peraturan
tentang penataan pertanahan di kawasan hutan, serta pembentukan
kelembagaan khusus yang menangani ekonomi hijau (green economy)
merupakan hal yang sangat mendesak dirumuskan. Baik Undang-undang
No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (selanjutnya disebut UU PPLH) sebagai undang-undang yang menjadi
landasan utama dalam pengaturan lingkungan, maupun Undang-undang No.
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, tidak memberikan batasan pengertian
baik mengenai ekonomi hijau (green economy) maupun ekonomi lingkungan
itu sendiri. Dalam ketentuan Pasal 1 angka (33) UU PPLH ditegaskan bahwa
instrumen ekonomi lingkungan adalah seperangkat kebijakan ekonomi untuk
mendorong Pemerintah, pemerintah daerah atau setiap orang ke arah
pelestarian fungsi lingkungan hidup. Pengertian tersebut tentunya tidak
memadai untuk ditafsirkan bahwa kebijakan ekonomi tersebut dalam konteks
ekonomi hijau, karena hanya mengarah kepada isu pelestarian fungsi
lingkungan saja, belum mengarah pada isu kesejahteraan dan keadilan sosial
sebagai isu utama dalam ekonomi hijau. Namun dalam konteks penafsiran
hukum yang memperluas (extensif interpretatie) maka pemahaman isu
pelestarian

fungsi

lingkungan

harus

dimaknai

termasuk

juga

isu

kesejahteraan dan isu keadilan sosial14. Untuk itu perlu difikirkan upaya13www.globalcanopy.org.i, Buku REDD+ Mini: Sebuah Panduang Proposal Pemerintah dan Lembaga non
Pemerintah untuk mengurangi Emisi dari Feforestasi dan Degradasi Hutan, Programme (GCP), Oxford,
2009: hlm. 14
14 Ida Nurlinda, Konsep Ekonomi Hijau (Green Economic) dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber
Daya Alam di Indonesia untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan, Artikel pada Jurnal Legal Reiew,

10

upaya pengaturan terkait dengan paradigma ekonomi hijau dalam Revisi
Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang tengah
dilakukan saat ini agar tata kelola kehutanan menjadi baik.

2. Dampak Kebijakan Moratorium Pemberian Izin Pemanfaatan Hutan
dan Lahan Gambut pada Tata Kelola Hutan yang Baik (good forest
governance) di Indonesia
Salah satu kebijakan pemerintah untuk menerapkan paradigma ekonomi
hijau dalam kebijakan penatagunaan hutan adalah moratorium pemberian
izin pemanfaatan hutan dan lahan gambut. Kebijakan tersebut pada awalnya
tertuang pada Inpres No. 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin
Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan
Gambut, yang berlaku 2 tahun sejak Tahun 2011; inpres tersebut kemudian
diperpanjang melalui Inpres No. 6 Tahun 2013 yang berlaku sejak 13 Mei
2013 untuk 2 tahun ke depan.
Inpres tersebut dikenal dengan istilah inpres moratorium hutan dan lahan
gambut. Moratorium dari segi tata bahasa mempunyai makna: kurun waktu
untuk menunda atau menetapkan waktu tunggu sebelum melakukan sesuatu.
Dari segi juridis, moratorium mempunyai makna penundaan pemberian izin
baru, dalam hal ini izin pemanfaatan hutan alam primer dan lahan gambut.
Penundaan pemberian izin tersebut dilakukan pada hutan alam primer dan
lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan
produksi (huta produksi terbatas, hutan produksi tetap/biasa, hutan produksi
yang dapat dikonversi), serta area lain sebagaimana tercantum dalam Peta
Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB), yang merupakan peta indikatif
moratorium, yang menjadi lampiran dari inpres tersebut. PIPIB dievaluasi
setiap 6 bulan sekali.
Lahirnya inpres moratorium didasari oleh komitmen Indonesia untuk
menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan usaha sendiri atau
41% dengan bantuan pihak internasional. Hal ini dikemukakan oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada Pertemuan G-20 bulan September 2009
Vol. 3 No. 1 Tahun 2012, Bandung Juni 2012: hlm. 35

11

dan ditegaskan kembali pada Pertemuan UNFCCC COP-15 di Kopenhagen
Denmark bulan Desember 2009. Selain itu, inpres lahir dalam rangka
menyelesaikan berbagai upaya untuk penyempurnaan tata kelola hutan dan
lahan gambut yang berlangsung dalam upaya penurunan emisi dari
deforestasi dan degradasi hutan.
Inti dari kebijakan moratorium pemberian izin baru pemanfaatan hutan
alam primer dan lahan gambut tersebut adalah untuk15:
a. Penataan tata batas hutan;
b. Evaluasi pemberian konsesi dan validasi izin;
c. Pengembangan tata kelola hutan yang lestari dari segi lingkungan
dan ekonomi.
Ketiga inti kebijakan moratorium ini bermuara pada sinerginya aspek
lingkungan dan aspek ekonomi dalam penguasaan dan pemanfaatan hutan.
Moratorium pemberian izin dilakukan untuk menata tata batas hutan yang
ada, hutan tidak lagi open access, siapa saja boleh menjarah, menggarap dan
memanfaatkan hutan tanpa memperhatikan aspek pelestarian, sehingga hutan
menjadi sumber emisi yang sangat besar. Dalam menata tata batas hutan,
maka evaluasi pemberian konsesi dan validasi pemberian izin menjadi kunci
utamanya, karena pemberian izin yang keliru atau tidak cermat serta tidak
memperhitungkan

serta

mempertimbangkan

kepentingan

lingkungan

(kawasan hutan) akan mengakibatkan terganggunya keseimbangan ekologis
yang sulit dipulihkan16. Setelah izin-izin ditata ulang, maka tata kelola hutan
yang baik (good forest governance) dapat dikembangkan dengan mengacu
pada paradigma ekonomi hijau (green economy), sebagai strategi
pembangunan rendah karbon. Dengan demikian, bukan semata-mata
memenuhi kesepakatan-kesepakatan internasional.
Kebijakan moratorium pemberian izin baru pemanfaatan hutan alam
primer dan lahan gambut harus menjadi titik awal menuju tata kelola hutan
yang baik (good forest governance), yaitu tata kelola hutan yang
mengedepankan dan mensinergikan aspek pelestarian lingkungan dan aspek

15 Agus Purnomo, Op.Cit.: hlm. 60
16 Feby Ivalerina Kartikasari, Maret Priyanta, dkk., Perizinan Terpadu untuk Perbaikan Tata Kelola Hutan
di Indonesia: Studi Kasus Kalimantan Tengah, ICEL, Jakarta, 2012: hlm. 33

12

pemanfaatan ekonominya, dan memberi manfaat yang adil bagi masyarakat,
khususnya masyarakat lokal/adat yang tinggal di kawasan hutan.
Selama kurun waktu 2 tahun pelaksanaan Inpres No. 10 Tahun 2011,
banyak hal yang telah dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan hutan,
menurunkan laju deforestasi dan degradasi hutan. Menurut Menteri
Kehutanan Zulkifli Hasan17, dengan moratorium, kawasan konservasi hutan
dapat terjaga dan laju deforestasi dapat dikurangi, bahkan moratorium tidak
terbukti memperlambat laju perekonomian akibat terhentinya sektor usaha
kehutanan. Ekonomi Indonesia tetap dapat tumbuh di aas 6%. Selanjutnya
Zulkifli Hasan18 menegaskan bahwa moratorium izin hutan dan lahan
gambut telah menurunkan laju deforestasi dan degradasi hutan secara
signifikan. Dari 3,5 juta ha rata-rata per tahun dari tahun 1996 sampai tahun
2003, saat ini (2013) menjadi 450 ribu ha saja. Hal ini berarti deforestasi
hanya tinggal 15% saja.
Namun ternyata waktu 2 tahun yang ditetapkan dalam Inpres No. 10
Tahun 2011 tidak/belum cukup untuk menata hutan yang lestari dan
mewujudkan tata kelola hutan yang baik (good forest governance). Alih
fungsi hutan untuk kegiatan pertambangan, perkebunan kelapa sawit dan
pembangunan infrastruktur di beberapa daerah seperti Aceh dan Papua masih
saja terjadi, sebagaimana dikemukakan pada paparan latar belakang di atas.
Selain itu, moratorium juga belum menghasilkan peta hutan dan lahan
gambut yang valid. Hal ini disebabkan sejumlah instansi terkait belum
menyerahkan data penggunaan hutan dan lahan kepada Badan Informasi
Geospasial (BIG), karena terhalang oleh kelengkapan data pertanahan dari
BPN. Dalam hal ini koordinasi dan sinkronisasi kebijakan antar instansi
menjadi kata kunci mewujudkan tata kelola hutan yang baik. Sepanjang
instansi-instansi terkait dengan kebijakan moratorium ini masih bekerja
secara sektoral (mengedepankan ego sektoral) maka sulit mewujudkan tata
kelola hutan yang baik (good forest governance).
Dalam konteks tenurial (hak-hak masyarakat), moratorium izin hutan dan
lahan gambut juga belum mengubah apa-apa dalam 2 tahun ini. Komisi ad
17 www.bisnisperbankankeuangan, Moratorium Izin Tebang Hutan diperpanjang, didownload 6 April
2013
18 ibid

13

hoc belum dapat menyelesaikan sengketa/konflik tenurial yang ada.
Tumpang tindih klaim atas suatu lahan masih terus terjadi, baik antara
masyarakat dengan pengusaha, dengan pemerintah atau sesama warga
masyarakat itu sendiri. Sengketa/konflik tenurial yang melibatkan kawasan
hutan ini semakin banyak terjadi pada wilayah-wilayah yang pemerintah
daerahnya mengubah tata ruang wilayahnya.

D. Penutup
Untuk mewujudkan tata kelola hutan yang baik dan berparadigma
ekonomi hijau, tentu bukanlah pekerjaan mudah yang dapat terwujud dalam
waktu yang tidak lama. Komitmen semua pihak yang terkait (stakeholders)
untuk mewujudkan tata kelola hutan yang baik merupakan keniscayaan. Dari
sisi yuridis, dasar hukum moratorium yang hanya berbentuk hukum inpres
cukup riskan. Dalam hirarchie peraturan perundang-undangan, tidak ada
bentuk hukum inpres, dengan demikian peningkatan bentuk hukum
peraturan ini menjadi hal yang sangat diperlukan.
Selain itu, pemberian batas waktu (2 tahun) dalam kebijakan moratorium
hutan dan lahan gambut menurut penulis tidak diperlukan. Lebih baik
moratorium disertai peninjauan kembali perizinan yang berbasis pada hal-hal
positif yang telah dicapai, bukan pada pemberian batas waktu. Kalaupun
jangka waktu diberikan, hal itu ditujukan untuk melihat dan mengevaluasi
efektivitas pelaksanaan moratorium tersebut.
Pelaksanaan moratorium pemberian izin pemanfaatan hutan alam primer
dan lahan gambut ini harus tetap disertai pula dengan perangkat instrumen
pencegahan kerusakan lingkungan lainnya sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 14 UU PPLH. Kajian Lingkungan idup Strategis (KLHS) misalnya,
dalam setiap usaha kegiatan ekonomi di kawasan hutan harus tetap
dilaksanakan. Ketaatan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) juga
harus tetap dilaksanakan dalam setiap kegiatan usaha di kawasan hutan,
untuk mencegah terjadinya alih fungsi hutan terus menerus.

Daftar Pustaka

14

Agus Purnomo, Menjaga Hutan Kita: Pro-Kontra Kebijakan Moratorium Hutan
dan Gambut, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta, 2012
Cato, M.S., Green Economics: An Introduction to Theory, Policy and Practice,
earthscan, London, 2009, dalam Sudarsono Soedomo, Ekonomi Hijau:
Pendekatan Sosial, Kultural dan Teknologi, makalah pada Diskusi “Konsep
Ekonomi Hijau/Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan untuk
Indonesia, Jakarta 14 Juli 2010
Fazrin Rahmadani dan Zenwen Pador: Menyatukan Asa, Memperkuat Tindakan,
IHSA-YLBHI-Kemitraan Partnership, Jakarta, 2009
Feby Ivalerina Kartikasari, Maret Priyanta, dkk., Perizinan Terpadu untuk
Perbaikan Tata Kelola Hutan di Indonesia: Studi Kasus Kalimantan Tengah,
ICEL, Jakarta, 2012
Harian Kompas, Hutan Aceh Terancam Perda RTRW, Jakarta, 24 April 2013
Ida Nurlinda, Konsep Ekonomi Hijau (Green Economic) dalam Pengelolaan dan
Pemanfaatan Sumber Daya Alam di Indonesia untuk Mendukung
Pembangunan Berkelanjutan, Artikel pada Jurnal Legal Reiew, Vol. 3 No. 1
Tahun 2012, Bandung Juni 2012
Buku Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2011, Kementerian Kehutanan RI, Juni
2012
www.bisnisperbankankeuangan, Moratorium Izin Tebang Hutan diperpanjang
www.globalcanopy.org.id , Buku REDD+ Mini: Sebuah Panduang Proposal
Pemerintah dan Lembaga non Pemerintah untuk mengurangi Emisi dari
Feforestasi dan Degradasi Hutan, Programme (GCP), Oxford, 2009
www.kompas.com, Janji Presiden Lindungi Hutan Ditagih: Moratorium belum
hasilkan Peta Hutan valid
www.redd-indonesia.org.id, Tiga Syarat Penerapan Ekonomi Hijau
www.unep.org/wed/greeneconomy, Towards Green Economy
www.wwf.or.id, My Baby Tree

-inm-

15

16