Siapa yang Lebih Berhak Menentukan Kelul

Siapa yang Lebih Berhak Menentukan Kelulusan Siswa?
Daniel Ginting (Universitas Ma Chung)

Isu pendidikan tentang kelulusan siswa sekolah menengah selalu menjadi pemberitaan
hangat di mana-mana. Bahkan di negara Amerika sendiri, isu kelulusan yang didasarkan atas
hasil tes standard yang diujikan secara nasional itu ramai diperdebatkan oleh banyak kalangan
masyarakat di sana. Tak tanggung-tanggung, pemerintah AS dalam upaya penegakan kebijakan
pendidikan itu menjalankan mekanisme reward and punishment. Reward dalam bentuk
dukungan finansial yang besar langsung diberikan kepada pihak-pihak terkait mulai dari guru,
staf administrasi, kepala sekolah, sampai pengawas sekolah atas hasil ujian yang memuaskan.
Sebaliknya, penurunan status akreditasi, pengambilalihan manajemen sekolah, penghentian
kontrak kerja, dan bahkan sampai pada pencabutan ijin penyelenggaraan sekolah merupakan
model punishment bagi sekolah yang dianggap gagal dalam mencapai hasil yang diharapkan.
Kalau pemerintah Amerika mengandalkan hasil tes standard seperti SAT (the Scholastic
Achievement Test), the NAEP (the National Assessment of Educational Progress) dan AP (the
Advanced Placement) sebagai indikator tunggal penentu kelulusan atau kenaikan kelas,

pemerintah Indonesia menerapkan pola a multiple assessment approach yaitu dengan
mempertimbangkan hasil penilaian dari beberapa bentuk evaluasi misalkan dari pemerintah
(Ujian Nasional), dari satuan pendidikan (Ujian Sekolah) dan dari pendidik (nilai rapor).
Penjumlahan dari ketiga jenis evaluasi yang sudah dibobot inilah kemudian menghasilkan Nilai

Akhir , yaitu, sebuah nilai yang dijadikan tolak ukur untuk menentukan kelulusan.

Mengapa baru sekitar tahun 2005 pemerintah melibatkan unsur penilaian dari sekolah
(Ujian Sekolah dan Nilai Rapor) dalam penentuan kelulusan? Hal ini memang tidak terlepas dari
desakan masyarakat atas kebijakan awal yang mengandalkan hasil Ujian Nasional sebagai satusatunya penentu kelulusan. Sebagai respon terhadap aspirasi masyarakat tersebut, maka
dikeluarkanlah PP 32/2013 (pengganti PP no 19/2005) yang menyatakan perlunya keterlibatan
unsur penilaian dari sekolah dalam penentuan kelulusan. Dengan melibatkan unsur penilaian dari
1

sekolah dalam penentuan kelulusan seolah mengisyaratkan satu bentuk pengakuan terhadap andil
sekolah sebagai satuan pendidikan yang paling bertanggung jawab akan proses pendidikan siswa.
Sekalipun suara sekolah mulai didengarkan, urusan kelulusan masih ‘dikendalikan’ oleh
pemerintah, yaitu, dengan cara tetap menjadikan Ujian Nasional sebuah evaluasi yang
berdampak serius bagi masa depan anak (high-stakes test), misalkan, dengan pemberian bobot
yang paling besar (60%) dibandingkan dengan bobot Ujian Sekolah atau bobot nilai rapor.
Akibatnya, siswa masih memiliki kemungkinan besar untuk tidak lulus sekolah bila mereka
gagal dalam Ujian Nasional sekalipun nilainya baik dalam Ujian Sekolah dan nilai rapor. Cara
tersebut diyakini tidak saja memberikan efek positif ( washback effects) misalnya kepada seluruh
siswa dan guru, kepala sekolah,dst) agar lebih termotivasi dan bekerja lebih keras lagi untuk
mempersiapkan diri dalam Ujian Nasional, namun juga memungkinkan pencapaian tujuan

pengukuran kualitas pendidikan nasional. Singkat kata, kuatnya dominasi Ujian Nasional dalam
penentuan kelulusan menyiratkan bahwa penyelenggaraan tes standard ini dianggap sebagai
harga mati atau sebagai satu-satunya bentuk evaluasi yang dapat diandalkan untuk
membandingkan performance masing-masing sekolah sehingga potret kualitas pendidikan
nasional dapat dipetakan; sementara, efek dari hasil ujian tersebut berfungsi sebagai driver untuk
mendorong pihak-pihak terkait untuk mempersiapkan diri lebih baik.
Di pihak lain, pemerintah memandang kepentingan di atas belum sepenuhnya bisa
diserahkan atau dipenuhi oleh sekolah. Kredibilitas Ujian Sekolah sendiri di mata pemerintah
sangat kurang. Lihat saja bobot Ujian Sekolah yang perubahan drastis hanya dalam selang waktu
yang tak lama. Pada tahun 2013 Ujian sekolah diberi bobot 60% sementara nilai rapor 40%.
Namun pada tahun 2014 ini, bobot ujian sekolah turun drastis menjadi 30% sementara bobot
nilai rapor adalah 70%. Penurunan bobot Ujian sekolah ini tidak saja menegaskan rendahnya
kadar validitas hasil Ujian Sekolah bila dibandingkan misalnya dengan nilai rapor apalagi Ujian
Nasional, namun juga makin mempertegas pamornya sebagai jenis evaluasi ‘yang tidak
bertaring’ (low-stakes test) sama sekali. Selain beragamnya corak standard pengukuran dan
model tes yang dikembangkan sekolah, tidak adanya jaminan terhadap mutu pelaksanaan Ujian
Sekolah barangkali merupakan alasan utama mengapa pemerintah tidak bisa mengandalkan
evaluasi sekolah ini.

2


Namun demikian, Ujian Nasional bukan berarti imun dari masalah. Tidak sedikit peneliti
yang telah mengkritisi pelaksanaan tes standard tersebut. Dengan kata lain, kebijakan kelulusan
ini justru berpotensi menumbuhkembangkan distorsi-distorsi proses sosial dalam masyarakat
(Campbell,1979). Pertama, di level sekolah, kelas bukannya lagi menjadi wadah bagi siswa
untuk belajar (the learning class) namun bermetamorfosis menjadi kelas training ( the training
class). Sebagian besar alokasi waktu pengajaran di kelas dikonsentrasikan pada pelatihan

(trainings) ketrampilan menjawab tes pilihan ganda yang mirip di Ujian Nasional. Kegiatan
bimbel di kelas ini hampir merata terjadi di semua sekolah telebih-lebih sekolah yang tingkat
prestasinya rendah (Furaidah, 2013). Padahal kegiatan ini semakin menjauhkan guru dan siswa
dari esensi belajar (learning) itu sendiri, yaitu perubahan perilaku sebagai dampak dari proses
pendampingan yang sadar dan terencana oleh pendidik kepada peserta didik untuk sampai pada
zone proximal development yaitu penguasaan kompetensi-kompetensi yang lebih relevan dan

yang dibutuhkan dalam jenjang pendidikan yang lebih tinggi bahkan dalam kehidupan nyata.
Kedua, kebijakan ini mendorong terjadinya distorsi sosial di tingkat evaluasi sekolah.
Karena tahu bahwa kelulusan sangat ditentukan oleh Ujian Nasional, pelaksanaan Ujian Sekolah
hanyalah demi pemenuhan kewajiban formal saja. Guru menjadi apatis dengan mutu pelaksanaan
Ujian Sekolah. Dibayangi oleh rasa was-was Ujian Nasional, penilaian-penilaian menjadi kurang

obyektif dan cenderung dibuat-buat.
Ketiga, kebijakan itu juga mendorong distorsi sosial sebagaimana teramati dalam
perilaku abnormal di masyarakat. Misalkan, siswa mencari jalan keluar ke dukun atau mencari
kunci jawaban Ujian Nasional. Banyaknya persoalan yang muncul lalu membuat kita bertanya:
siapakah yang lebih berhak untuk mementukan kelulusan bila semua pihak merasa memiliki
kepentingan?
Akar dari isu kelulusan siswa selama ini adalah karena kebijakan selalu memposisikan
siswa sebagai ‘korban’. Dengan predikasi korban berarti siswa menjadi target utama dari efek
kebijakan kelulusan. Padahal siswa hanyalah individu-individu yang kompetensi dan
ketrampilannya dibentuk dan diproses oleh satuan pendidikan. Dengan demikian performance
siswa dalam Ujian Nasional sesungguhnya lebih merefleksikan kualitas satuan pendidikan itu
sendiri. Sementara itu, satuan pendidikan yang sudah mendapatkan haknya berupa ijin
pengelolaan lembaga sudah semestinya mempertanggungjawabkan semua hak proses edukasi di
3

lembaga masing masing kepada pemerintah. Dengan berpijak pada pengertian ini maka sudah
sewajarnya pihak yang lebih terimbas secara langsung dari Ujian Nasional adalah satuan
pendidikan bukan siswa (institutional based high stakes decision ). Beberapa implikasi logis dari
model tata kelola ini adalah sebagai berikut.
Pertama, pemerintah perlu membangun perangkat aturan tentang mekanisme reward and

punishment kepada satuan pendidikan sehubungan dengan hasil Ujian Nasional. Mekanisme ini

bertujuan untuk meningkatkan mutu dari pendidikan yang dilakukan sekolah masing-masing.
Reward mungkin bisa dalam bentuk insentif atau bantuan lainnya yang berhubungan dengan

kegiatan akademik untuk pembinaan mutu pendidikan di satuan pendidikan masing-masing.
Punishment mungkin bisa dalam bentuk pengurangan hak satuan pendidikan seperti penurunan

status akreditasi, dll.
Kedua, karena efek dari kebijakan Ujian Nasional berada dalam level satuan pendidikan,
maka masalah kelulusan dikembalikan sepenuhnya kepada sekolah. Kebijakan ini sangatlah
wajar mengingat keragaman kondisi sekolah di negeri ini. Selain itu, pihak sekolahlah yang lebih
mengerti keadaan siswanya masing-masing demikian juga mengenai standard minimal yang
harus diraih siswa sebagai tolak ukur kelulusan. Definisi kelulusan siswa akan sangat variatif
sesuai dengan keadaan sekolah masing-masing. Bisa saja karena sekolah memiliki ekspektansi
yang tinggi akan hasil Ujian Nasional ( high-stakes test), maka evaluasi pemerintah itu menjadi
penting untuk penentuan kelulusan (high-stakes decisions) dan demikian juga sebaliknya. Ini
adalah kewenangan sekolah masing-masing.
Ketiga, siswa tetap akan memiliki motivasi dalam pengerjaan Ujian Nasional mengingat
pihak sekolah juga mendapat ‘tekanan’ dari atas. Keadaan ini tentunya akan mendorong pihak

sekolah untuk memotivasi siswanya mempersiapkan diri dalam Ujian Nasional dengan baik.
Namun yang membedakan dengan iklim sebelumnya adalah rasa ketakutan dan was was dampak
secara langsung dari Ujian Nasional sudah tidak sekuat dulu lagi.

4