Kompleksitas Keamanan Kawasan dan Implik (2)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Alasan pemilihan judul

Tesis ini akan menjelaskan tentang kompleksitas keamanan di kawasan Asia Timur dan implikasinya terhadap peningkatan kekuatan senjata nuklir Korea Utara. Kompleksitas keamanan yang terjadi di kawasan Asia Timur di uraikan dengan menjelaskan hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan, Cina dan Amerika Serikat, Jepang dan Amerika Serikat, Cina dengan Jepang serta pola aksi reaksi atas berbagai kebijakan dari negara-negara tersebut. Setelah menguraikan berbagai kompleksitas keamanan tersebut, penulis akan memberikan analisis tentang implikasi ia terhadap peningkatan kekuatan senjata nuklir Korea Utara.

Kondisi internasional yang tidak stabil pasca Perang Dingin memberikan pengaruh terhadap kawasan Asia Timur. Negara-negara di Asia Timur mulai mengarahkan perhatian kepada perkembangan keadaan sekitar yang dianggap dapat menjadi sumber ancaman dan mencari cara untuk mengatasinya. Jepang memilih untuk tetap menjadi mitra keamanan Amerika Serikat, konfrontasi antara Korea Utara dan Korea Selatan terus terjadi, dan peningkatan kekuatan militer Cina dianggap semakin menambah kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur. 1

Sejarah Perang Dingin masih membekas dan memberikan suatu kondisi di mana rivalitas antarnegara dalam kawasan tertentu masih berlangsung. Di Asia Timur, dinamika keamanan kawasan umumnya berkisar pada tiga isu utama: masalah Jepang dengan negara-negara tetangganya, ketegangan hubungan antara Cina dan Jepang, dan perang yang tidak kunjung selesai antara dua negara di Semenanjung Korea. Potensi konflik kawasan dirasakan oleh negara-negara Asia Timur sebagai ancaman yang besar.Oleh karena itu, negara-negara di Asia Timur berusaha untuk terus memajukan pertahanan

1 A. Agung & Y. Mochammad, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006, p. 144.

nasional masing-masing dengan meningkatkan kekuatan militer, khususnya dalam senjata nuklir. 2

Senjata nuklir ditujukan sebagai strategi untuk mengimbangi lawan-lawan yang dinilai memiliki kemampuan militer yang lebih baik. Strategi nuklir tidak hanya berimbas pada perimbangan kekuatan; ia juga dapat diimplementasikan sebagai kemampuan penangkalan yang memutus logika klasik mengenai perang. 3 Ronald Smith menulis bahwa dampak utama dari usaha suatu negara meningkatkan anggaran militernya adalah munculnya konflik bersenjata dan aliansi-aliansi yang terbangun antarnegara. 4 Peningkatan anggaran militer Cina,misalnya, dan polaritas kekuatan antara Jepang dan Amerika Serikat dapat dipengaruhi oleh faktor keamanan baik di ruang lingkup global maupun regional. Pengaruh dari kondisi eksternal, dalam hal ini stabilitas keamanan wilayah, sangat dipengaruhi oleh negara-negara yang berada di dalam wilayah tersebut. Masalah stabilitas keamanan di kawasan Asia Timur berada dalam kondisi potensial untuk konflik yang sangat mungkin terjadi.

Beberapa aspek di atas menjadi sangat menarik untuk diteliti. Penelitian dengan tema senjata nuklir Korea Utara sangat beragam dan bervariasi, khususnya dalam analisis tentang dampak pengembangan senjata nuklir tersebut terhadap kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur. Pada umumnya, penelitian yang sudah ada berfokus pada fakta bahwa pengembangan senjata nuklir Korea Utara memberikan implikasi terhadap kompleksitas keamanan Asia Timur. Artinya, senjata nuklir Korea Utara yang memberikan pengaruh signifikan terhadap eskalasi konflik senjata di kawasan Asia Timur. Namun, penelitian ini mencoba menguraikan analisis yang berbeda, yaitu bahwa dalam kondisi tertentu kompleksitas keamanan Asia Timur-lah yang menyebabkan perkembangan senjata nuklir Korea Utara terus meningkat. Ini didasarkan pada asumsi bahwa peningkatan kekuatan militer sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, termasuk kompleksitas keamanan kawasan.

Selain itu, konstelasi politik global dewasa ini juga menciptakan suatu kondisi di mana keamanan kawasan sangat mempengaruhi perilaku politik luar negeri negara-

2 B. Buzan & O. Waever, Regions and Powers: The Structure of International Security, Cambridge University Press, New York, 2003, p. 152.

3 R. Powell, Nuclear Deterrence Theory: the Search for Credibility, Cambridge University Press, New York, 1990, p. 20.

4 R.P. Smith,‘Models of Military Expenditure, Journal of Applied Econometrics, vol. 4, no. 4, 1989, p. 346.

negara dalam kawasan tersebut, khususnya dalam aspek kebijakan militer. Ini menjadi semacam pola dan skema interaksi antarnegara yang berada dalam suatu kawasan tertentu, yang sangat menarik untuk diidentifikasi dan diteliti sebagai sebuah kajian dalam studi hubungan internasional.

1.2 Latar belakang masalah

Sistem internasional pasca Perang Dingin mengalami transformasi dari bipolaritas (Amerika Serikat dan Uni Sovyet sebagai kutub-kutubnya) menjadi multipolaritas (kekuatan yang sama di antara negara-negara dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai payung universal) atau unipolaritas (Amerika Serikat sebagai adidaya yang masih menentukan berbagai keputusan dalam tataran internasional). 5 Berakhirnya Perang Dingin memunculkan kondisi ketidakstabilan sistem internasionalyang diwarnai oleh kejahatan internasional seperti terorisme, penyeludupan manusia, senjata, kejahatan lingkungan, kejahatan hak asasi manusia, proliferasi senjata pemusnah massal dan sebagainya, dan berkembangnya isu keamanan internasional. 6

Asia Timur juga terpengaruh oleh ketidakstabilan sistem internasional. Keadaan kawasan Asia Timur sampai saat ini masih tidak kondusif, konfrontasi di Semenanjung Korea, dan Jepang yang memilih untuk tetap menjadi mitra keamanan Amerika Serikat semakin menambah kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur. Cina juga lebih bebas melakukan kegiatan politik keamanannya. Semua hal ini mendorong negara-negara di kawasan Asia Timur untuk lebih memikirkan urusan keamanan kawasan. 7

Potensi konflik kawasan, khususnya menyangkut senjata nuklir, dinilai oleh negara- negara Asia Timur sebagai ancaman yang besar. Kepemilikan senjata nuklir menjadi permasalahan sendiri bagi keamanan dunia ketika senjata nuklir ditujukan sebagai strategi untuk mengimbangi lawan-lawan yang dinilai memiliki kemampuan militer yang lebih baik. Secara komprehensif, revolusi nuklir ini memutus pemahaman bahwa usaha untuk mencapai kepentingan tidaklah harus dengan penggunaan atau ancaman militer sebagai sebuah usaha, namun dapat dititikberatkan pada bentuk defense nuklir. 8 Faktor yang

5 S. Nuraeni, dkk., Regionalisme Dalam Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, p. 22.

6 Agung & Mochammad, p.12. 7 Agung & Mochammad, p.144. 8 Powell, p. 20.

paling fundamental dalam konteks ini adalah bahwa negara merupakan organisasi politis yang berdasarkan wilayah tertentu. Lokasi negara mempengaruhi perilakunya terhadap negara lain dan batas-batasnya menetapkan wilayah yang biasanya diakui sebagai bagian yang ia kontrol. Hubungan-hubungan hukum di antara negara-negara merupakan faktor-

faktor penting yang mempengaruhi cara negara berurusan satu sama lain. 9 Isu-isu yang mengancam kelangsungan hidup suatu unit kolektif tertentu akan dipandang sebagi ancaman yang eksistensial. Untuk itu, diperlukan tindakan untuk memprioritaskan dan menggunakan sarana-sarana yang ada untuk menangani masalah isu tersebut sesegera mungkin, termasuk meningkatkan kekuatan militer. 10

Konflik bersenjata mempunyai efek langsung dan nyata dalam peningkatan anggaran serta pengeluaran belanja militer suatu negara. Konflik bersenjata tidak harus selalu diartikan sebagai pertempuran antarnegara secara terbuka, tetapi juga dapat dimaknai sebagai perlombaan senjata, konflik wilayah, ancaman kekuatan militer suatu negara yang kemudian dapat disebut sebagai non-combat conflict. 11 Peningkatan anggaran militer suatu negara, termasuk Cina, dapat dipengaruhi oleh faktor keamanan baik di ruang lingkup global maupun regional. Pada tahun 2015, anggaran belanja pertahanan Cina sudah mencapai angka sekitar $141 milyar, meningkat 10,1 % dari tahun 2014 yang berjumlah sekitar $130 milyar. Peningkatan ini dilakukan Cina untuk merespon

ketegangan di kawasan Asia Timur dan konflik Laut Cina Selatan. 12 Kebijakan pemerintah Cina untuk menaikkan anggaran pertahanan telah menarik perhatian dunia internasional dan menimbulkan kecemasan sejumlah negara. Negara-negara di kawasan Asia Timur sangat serius dalam melihat perkembangan militer Cina. Mereka terus menekan program pengembangan militer Cina dengan kritik bahwa jumlah anggaran

9 B. Russett, International Region and the International System: A Study in Political Ecology, 1967, sebagaimana dikutip dari W.D. Coplin, Introduction to International Politics: A Theorical Overview, Syracuse

University Press, New York,1992, p. 226. 10 B. Buzan, People, States and Fear: An Agenda For International Security Studies in The Post Cold War

Era, Harvester Wheatsheaf, Hempstead, 1991, pp. 2-3. 11 Smith, p. 346.

12 J. Ruwitch,‘China to raise defense budget 10.1 percent this year in high-tech drive,’ Reuters(daring), 5 March 2015,< http://www.reuters.com/article/2015/03/05/us-china-parliament-defence-

idUSKBN0M100Z20150305 >, diakses 23 Maret 2015.

militer Cina yang besar dapat memicu instabilitas kawasan serta menyulut kemarahan negara-negara di Asia Timur yang dapat mengakibatkan terjadinya perang. 13

Menurut konsep balance of power, kemunculan kekuatan yang dominan potensial di kawasan cenderung akan membuat tatanan sistem menjadi tidak stabil. Hal ini kemudian menyebabkan tindakan penyeimbangan kekuatan oleh negara-negara lain dalam sistem. Terdapat dua kemungkinan utama yang muncul atas kondisi ini, yaitu negara-negara di kawasan akan bergabung dengan kekuatan dominan (bandwagoning) atau membentuk aliansi baru untuk mengimbangi kekuatan yang ada (balancing). 14 Dalam kasus kawasan Asia Timur, terlihat potensi Cina sebagai kekuatan global baru di kawasan. Cina diprediksi akan menunjukkan kebijakan-kebijakan luar negeri asertif dengan dukungan kapabilitas kekuatan militer dan ekonomi. Ini menimbulkan kekhawatiran sejumlah negara di Asia Timur yang segera merasa perlu menjaga stabilitas keamanan domestic mereka.

Kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur, khususnya antara Cina dengan Jepang, Korea Utara dan Korea Selatan, menjadi sangat menarik. Keempat negara ini memegang peranan kunci dalam stabilitas kawasan dilihat dari kapabilitas militer yang mereka miliki dan daya tawar politik masing-masing. Kondisi ini menyebabkan terjadinya security dilemma, yaitu kondisi di mana keinginan suatu negara untuk memperkuat militer dianggap sebagai ancaman sehingga menimbulkan respon negara lain juga dengan memperkuat militer yang dimiliki. Akhirnya terjadi perlombaan senjata yang berasal dari saling curiga antarnegara di kawasan. 15

Dalam kasus Korea Utara, peningkatan senjata nuklir negara ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang keamanan kawasan Asia Timur dan perkembangannya dari waktu ke waktu. Perilaku satu negara dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu sejarah, geopolitik, ekonomi, dan politik domestik. Setiap permasalahan, khususnya dalam bidang keamanan, merupakan hasil dari faktor-faktor yang saling berhubungan ini, tetapi faktor geopolitik dan politik domestik umumnya lebih penting daripada faktor-faktor lain. Keputusan Amerika Serikat dan Uni Soviet untuk menduduki Semenanjung Korea pada akhir Perang

13 A.J. Purwanto, ‘Peningkatan Anggaran Militer Cina dan Implikasinya terhadap Keamanan di Asia Timur,’ SPEKTRUM – Jurnal Ilmu Politik dan Hubungan Internasional, vol. 7, no. 1, Juni 2010, p. 3.

14 S.M. Walt, ‘Alliance Formations and The Balance of Power,’International Security, vol. 9, no. 4, Spring 1985, p. 4.

15 K.N. Waltz, Theory of International Politics, Addison Wesley, Reading, 1979, p. 118.

Dunia II, misalnya, menghasilkan konfrontasi antara kedua negara besar tersebut. Setelah Amerika Serikat memerangi Cina dalam Perang Korea, hubungan bipolar antara Cina- Soviet dan aliansi Amerika Serikat-Jepang merupakan hal yang menentukan secara mendasar masalah keamanan di Asia Timur. 16

Ketergantungan Korea Utara terhadap Uni Soviet dan Cina juga termasuk hal-hal yang menentukan perkembangan senjata nuklir negara tersebut. Korea Utara menyakini senjata nuklir akan dapat menangkal serangan Amerika Serikat dan membuat ia lebih kuat dari Korea Selatan. Senjata nuklir juga dianggap memberikan jaminan keamanan bagi Korea Utara yang selama ini tidak ditawarkan oleh negara manapun atau komunitas internasional. Singkatnya, dengan melihat kondisi keamanan yang kompleks di kawasan Asia Timur, Korea Utara berharap bahwa pengembangan senjata nuklir menjadi sumber keamanan yang efektif. 17

1.3 Pertanyaan penelitian

Bagaimana kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur berimplikasi terhadap peningkatan kekuatan senjata nuklir Korea Utara ?

1.4 Tinjauan pustaka

Secara umum bisa dikatakan bahwa penelitian dengan topik senjata nuklir Korea Utara sangat banyak dan bervariasi, khususnya analisis dampak pengembangan senjata nuklir Korea Utara terhadap kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur. Di antara penelitian itu adalah Crisis on the Korean Peninsula, How to Deal With A Nuclear North Korea yang ditulis oleh Michael O’Hanlon dan Mike Mochizuki. Dalam buku ini ditulis bahwa Cina, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat menghadapi situasi dilematis dalam upaya mengambil kebijakan untuk menyelesaikan krisis yang terjadi di Asia Timur, khususnya konflik Semenanjung Korea. Penjelasan dalam buku ini secara komprehensif mengurai kompleksitas yang terjadi di kawasan Asia Timur, di mana sikap rezim Korea

16 B.J. Ahn, ‘Semenanjung Korea dan Keamanan Asia Timur,’Masalah Keamanan Asia, CSIS, Jakarta, 1990, p. 59.

17 J. Kuhn, Global Security Issues in North Korea: Multilateralism in Northeast Asia, Task Forces, Washington, D.C., 2010, p. 38.

Utara yang terus meningkatkan kemampuan senjata nuklir dinilai sangat berbahaya bagi keamanan kawasan Asia Timur. 18

O’Hanlon dan Mochizuki menganjurkan agar negara-negara dan organisasi internasional menggunakan pendekatan non-militer dalam menghadapi rezim Korea Utara. Kebijakan memberikan hukuman dinilai sangat berisiko tinggi dan tidak tepat, berdasarkan perhitungan bahwa kebijakan militer yang keras akan memicu Korea Utara bertindak secara tidak rasional dan dikhawatirkan menggunakan kemampuan senjata nuklirnya. Pilihan yang mungkin dapat ditempuh adalah menerapkan kebijakan yang lebih bersahabat dengan cara membangun dialog antara Amerika Serikat, Cina, Jepang, Korea Selatan dan Korea Utara. Kompleksitas inilah yang kemudian menjadi menarik untuk dianalisis lebih lanjut dalam konteks situasi keamanan di kawasan Asia Timur. 19

Dalam artikel yang berjudul North Korea’s Nuclear Strategy and Interface between International and Domestic Politics,Samuel Kim berpendapat bahwa pasca Perang Dingin, nuklir menjadi sebuah kekuatan dan strategi dalam kebijakan nasional.Ini terlihat dari kemampuan Amerika Serikat sebagai sebuah kekuatan adidaya yang memiliki anggaran militer sangat tinggi dan menjadikan nuklir sebagai alat untuk menekan negara lain, termasuk Korea Utara. Selain itu, ketakutan Korea Utara akan kekuatan nuklir dan kemampuan militer Amerika Serikat juga tampak ketika Amerika Serikat menjalin aliansi militer dengan Korea Selatan dan Jepang. 20

Dalam artikel ini, Kim menggunakan pendekatan sejarah dan geopolitik untuk mengetahui apa, mengapa, dan bagaimana Korea Utara berupaya mengembangkan senjata nuklir, yang secara tidak langsung akhirnya mempengaruhi interdepedensi dan interaksi negara itu dengan Amerika Serikat. Kim meyakini bahwa sekalipun pengimbangan senjata nuklir dapat dianggap sebagai kebijakan politik domestik, peningkatan senjata nuklir Korea Utara memberikan implikasi terhadap kondisi internasional. Menurut Kim, pola keamanan dalam senjata nuklir berada pada dua level yang berbeda, yaitu level domestik dan level internasional. Secara singkat, Kim menjelaskan bahwa kondisi konflik

18 M. O’Hanlon & M. Mochizuki,Crisis on the Korean Peninsula, How to Deal With A Nuclear North Korea, Mc-Graw Hill, New York, 2003, pp. 2-4.

19 O’Hanlon & Mochizuki, pp. 2-4. 20 S. Kim, ‘North Korea’s Nuclear Strategy and Interface between International and Domestic Politics,’

Asian Perspective, vol. 34, no. 1, 2010, pp. 49-85.

antarnegara yang berada dalam suatu kawasan dan kepentingan tertentu, khususnya yang berada pada level krisis, tidak terlepas dari kondisi domestik negara-negara tersebut.

Hubungan antara Korea Utara dan Amerika Serikat menjadi sangat relevan untuk dijadikan contoh analisis bahwa konflik tidak terlepas dari keyakinan bahwa kebijakan politik domestik suatu negara, khususnya dalam antisipasi pergerakan musuh, akan menimbulkan berbagai persepsi ancaman, seperti yang terjadi di kawasan Asia Timur. Penelitian Kim menjelaskan peranan kebijakan politik domestik yang berpengaruh pada kebijakan keamanan negara dalam level internasional. Meski demikian, bagaimana formulasi kebijakan sistem pemerintahan domestik bekerja dan bagaimana proses internal pemerintahan domestik kurang dianalisis dalam artikel ini.

Pendapat Kim hanya bersifat satu arah dan mengabaikan aspek implikasi balik dari sebuah kebijakan domestik negara, khususnya yang terjadi pada kasus pengembangan nuklir Korea Utara. Inilah yang menurut penulis merupakan sebuah ketimpangan analisis ketika dihadapkan dengan fakta yang terjadi di kawasan Asia Timur. Menurut penulis, sistem pemerintahan Korea Utara berperan penting dalam segala kebijakan yang berkaitan dengan senjata nuklir. Selain itu, kompleksitas yang terjadi sebenarnya lebih rumit daripada hanya sekedar pengaruh kebijakan pada level domestik negara terhadap situasi di level internasional. Penulis beranggapan bahwa kebijakan dalam level domestik tidak hanya mempengaruhi level internasional saja, tetapi juga memberikan implikasi balik terhadap kebijakan domestik negara tersebut.

1.5 Landasan teoritik

Penulis akan menggunakan teori kompleksitas keamanan kawasan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Keamanan kawasan adalah suatu kondisi yang terbentuk dari pola hubungan amity (persahabatan) dan enmity (permusuhan) yang merupakan efek perseteruan di masa lalu (faktor sejarah), geopolitik, dan interaksi antarnegara dalam suatu ruang lingkup atau area yang terbatas. Barry Buzan dan Ole Waever mendefinisikan kompleksitas keamanan kawasan sebagai sebuah kelompok negara dalam suatu kawasan tertentu, di mana fokus utama dari aspek keamanan berhubungan erat dan terikat antara satu negara dengan yang lainnya. 21 Buzan dan Waever menulis:

21 Buzan &Waever, p. 44.

The central idea in Regional Security Complexs is that, since most threats travel more easily over short distances than long ones, security interdependence is normally into regionally based clusters: security complexes … Process of securitization and thus the degree of security interdependence are more intense between actors inside such complexes than they are between actors inside the complex and outside of it. 22

Dari kutipan di atas, dapat diketahui bahwa dalam situasi tertentu ancaman akan selalu ada, baik dalam skala jarak dekat maupun jarak jauh. Interdependesi keamanan dalam suatu kawasan akan selalu terjadi sehingga keamanan menjadi semakin kompleks. Ini menyebabkan meningkatnya intensitas hubungan keamanan negara-negara yang terlibat, baik secara langsung di dalam maupun di luar kompleksitas keamanan yang ada.

Dalam mendefinisikan region dalam pengertian teori kompleksitas keamanan kawasan, Buzan dan Waever lebih melihat bahwa definisi region didasarkan pada jangkauan pengaruhnya terhadap sebuah isu keamanan. 23 Secara tidak langsung, region dalam konsep Buzan dan Waever bukanlah region yang berarti teritori saja, tetapi juga merupakan konsep kawasan atau sekumpulan unit yang memiliki proses sekuritisasi, desekuritisasi dan interaksi antara keduanya yang saling terhubung. Konsep ini pada akhirnya menyakini bahwa masalah keamanan negara-negara dalam kawasan tertentu tidak dapat dianalisis secara terpisah. 24

Secara singkat, teori kompleksitas keamanan kawasan berfokus pada unsur-unsur penting dalam pembentukan kompleksitas keamanan dalam kawasan tertentu. Buzan dan Waever berpendapat bahwa saling ketergantungan dan hubungan keamanan antarnegara dalam kawasan tertentu terjadi karena beberapa faktor seperti geografis, etnisitas, dan budaya masyarakat di suatu wilayah yang kemudian akan menimbulkan kompleksitas keamanan kawasan. Secara khusus, ini akan mempengaruhi perkembangan ekonomi dan sistem politik yang akhirnya akan menimbulkan saling ketergantungan antarnegara dan akan bermuara pada munculnya sistem pertahanan keamanan kawasan. 25

Terbentuknya pola ketergantungan antarnegara dalam kompleks keamanan kawasan tidak secara langsung menghilangkan hubungan yang selalu diwarnai persaingan dan

22 Buzan &Waever, pp. 3-4. 23 Buzan, p. 90.

24 D.A. Lake & P.M. Morgan, Regional Organs: Building Security in a New World, Pennsylvannia State University Press, Pennsylvannia, 1997, p. 20.

25 B. Buzan & K.M. Lemaitre, The European Security Order Recast: Scenarios for the Post Cold War Era, Pinter, London, 1990, p. 34.

kecurigaan, perimbangan kekuatan, aliansi kekuatan, dan masuknya kekuatan eksternal. 26 Terdapat empat hal yang menjadi pembentuk struktur dasar dari kompleksitas keamanan

kawasan, yaitu kedekatan geografis, anarkisme kawasan, polaritas kekuatan, dan konstruksi sosial berupa amity dan enmity (lihat Gambar 1).

Gambar 1. Kompleksitas keamanan kawasan 27

kede

ko

mp

lek

sit r

pola

Gambar di atas menjelaskan tentang aspek-aspek yang terbentuk dalam kompleksitas keamanan kawasan yang saling berhubungan dan memberikan aksi reaksi dan timbal balik. Kedekatan geografis merupakan tempat di mana hubungan keamanan di antara negara terbentuk dan saling memiliki keterikatan. Ancaman akan terasa semakin besar karena faktor kedekatan jarak. Di kawasan Asia Timur, letak geografis Cina, Korea Utara, Korea Selatan, dan Jepang sangat dekat. Posisi perbatasan ini menjadi tempat yang sangat potensial untuk terjadinya konflik bersenjata. Anarkisme kawasan mengakibatkan minimnya dialog dan proses komunikasi dalam bentuk kerja sama atau perjanjian bilateral maupun multilateral sehingga mengakibatkan tingginya kecurigaan. Anarkisme kawasan juga ditunjukkan dengan tidak adanya otoritas yang berwenang dalam proses penyelesaian secara damai apabila terjadi konflik di antara negara-negara kawasan Asia Timur.

Polaritas kekuatan menunjukkan distribusi kekuatan yang tidak merata di antara negara-negara di kawasan. Polaritas di Asia Timur terlihat jelas ketika dukungan Amerika

26 Buzan & Waever, p. 47. 27 Buzan & Waever, p. 53.

Serikat terhadap Korea Selatan dan Jepang menjadikan Korea Utara dan Cina berupaya mengandalkan dan meningkatkan kekuatan untuk bisa mengimbangi mereka. Polaritas yang tidak seimbang ini akan berimplikasi pada pembentukan poros negara militer lemah dan negara militer kuat, di mana negara militer lemah pada akhirnya cenderung sangat rentan akan ancaman dari negara militer kuat.

Konstruksi sosial yang diperlihatkan melalui pola persahabatan dan permusuhan mendasari terbentuknya keamanan kawasan karena akan berujung kepada formulasi kedekatan negara dalam suatu kawasan. Kondisi keamanan di kawasan menjadi kompleks karena faktor kedekatan geografis dan keamanan nasional suatu negara yang dihasilkan atas dasar persepsi terhadap keamanan nasional negara lain. 28 Pola persahabatan terlihat antara Korea Utara dengan Cina, di mana kerja sama ekonomi dan infrastruktur di berbagai bidang mulai dilakukan secara bertahap sejak tahun 2000. Cina juga secara rutin memberikan bantuan ekonomi, pangan dan kemanusiaan kepada Korea Utara. Cina adalah investor asing terbesar di Korea Utara. Dalam bidang transportasi sebagai sarana infrastuktur industri, misalnya, Cina telah mengeluarkan biaya sekitar $23,7 juta. 29

Pola persahabatan dan permusuhan ini memicu keterlibatan pihak eksternal, yakni Amerika Serikat, dalam aliansi pertahanan dengan Jepang dan Korea Selatan di kawasan Asia Timur. Hubungan antarnegara dalam kompleksitas keamanan selalu diwarnai oleh persaingan dalam perimbangan kekuatan, aliansi keamanan, serta masuknya kekuatan eksternal. Keterlibatan pihak eksternal bisa mengambil bentuk masuknya negara luar ke dalam wilayah regional ketika terjadi konflik ataupun dibangunnya suatu kerja sama atau aliansi antara negara luar dengan satu atau beberapa negara dalam kawasan. 30

Kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur yang terdiri dari empat aspek utama berupa kedekatan geografis, anarkisme kawasan, polaritas kekuatan dan konstruksi sosial yang diperlihatkan melalui pola persahabatan dan permusuhan menyebabkan terjadinya security dilemma ketika satu atau sekelompok negara meningkatkan kapabilitas dan kemampuan militer demi tujuan keamanannya dengan mengurangi tingkat keamanan negara lainnya di sekitarnya. 31 Keadaan dilematis tersebut ditandai dengan adanya aliansi

28 Buzan & Waever, p. 190. 29 C. Nam, Beijing and the 1961 PRC-DPRK Security treaty, Naval Postgraduate School, California, 2010, p. 64. 30 Buzan & Waever, p. 47. 31 R.Jervis,‘Cooperation under the Security Dilemma,’World Politics, vol. 30, no. 2, January 1978, p. 169.

militer dan peningkatan anggaran militer negara yang pada akhirnya menciptakan kompleksitas keamanan. Ketika suatu negara mengalami perasaan takut dan terancam, secara tidak langsung negara tersebut akan berupaya guna melindungi kepentingan nasional akibat adanya ancaman dari aliansi militer dan peningkatan kekuatan militer negara lain. Bentuk aksi reaksi yang bisa dilakukan ketika terjadi security dilemma adalah melakukan kerja sama atau aliansi keamanan apabila suatu negara tidak mampu meningkatkan kapabilitas militernya sendiri. 32 Korea Utara menganggap keamanan kawasan yang kompleks akan membahayakan keamanannya sehingga ia berupaya mengembangkan senjata nuklir untuk meningkatkan pertahanan dan keamanan serta mengimbangi keunggulan militer negara-negara lain di kawasan Asia Timur.

Munculnya rasa saling memusuhi juga dipengaruhi oleh faktor sejarah yang kental. Faktor ini bisa membawa sentimen negatif ke arah permusuhan. Kompleksitas keamanan merupakan sebuah fenomena empirik yang didasarkan kepada faktor sejarah, kedekatan kondisi geografis dan perwujudan dari hasil interaksi antarnegara. Unsur-unsur ini memiliki posisi yang sejajar dan saling melengkapi; mereka dapat diposisikan sebagai unit penjelas bagi hubungan yang terjadi di suatu kawasan tertentu.

Selain itu, dalam teori kompleksitas keamanan kawasan terdapat dua variabel yang saling mempengaruhi, yaitu variabel internal dan variabel eksternal. Variabel internal diukur dengan menggunakan indikator letak geografis, interaksi antarnegara, serta kesamaan sistem budaya, ekonomi, sosial dan politik negara-negara dalam kawasan. 33 Dengan indikator-indikator ini kemudian akan terlihat implikasi selanjutnya, yaitu apakah pengembangan sejata nuklir Korea Utara akan mengarah pada terbentuknya kerja sama pengaturan keamanan, khususnya dalam hal persenjataan militer. Sementara itu, variabel eksternal di sini berupa lingkungan internasional di sekitar negara-negara yang berada dalam kompleks keamanan kawasan. Selain kondisi keamanan di kawasan Asia Timur, yang perlu diperhatikan juga adalah isu-isu yang sedang berkembang. Korea Utara menyakini bahwa aliansi pertahanan AS dengan Jepang dan kedekatan Amerika Serikat dengan Korea Selatan merupakan ancaman terhadap keberadaan Korea Utara. Selain itu, menurut Korea Utara, Cina juga memiliki ambisi untuk menjadi kekuatan ekonomi dan militer yang dominan di kawasan Asia Timur. Pengembangan senjata nuklir Korea Utara

32 Jervis, pp. 167-169. 33 Buzan & Waever, p. 190.

merupakan sebuah aksi-reaksi yang dilakukan untuk mempertahankan keamanan dan kepentingan nasional negeri tersebut.

1.6 Argumen utama

Kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur yang terdiri dari aspek-aspek utama berupa kedekatan geografis, anarkisme kawasan, polaritas kekuatan dan konstruksi sosial yang diperlihatkan melalui pola amity (persahabatan) dan enmity (permusuhan), berimplikasi pada terjadinya security dilemma di kawasan Asia Timur. Keadaan dilematis ini ditandai dengan adanya aliansi militer dan peningkatan anggaran militer negara-negara serta anarkisme kawasan yang pada akhirnya menciptakan kompleksitas keamanan. Dalam kompleksitas keamanan ini, bila suatu negara takut dan terancam, ia akan berupaya meningkatkan kapabilitas militernya untuk melindungi kepentingan nasional akibat adanya ancaman dari kekuatan militer negara lain. Korea Utara menganggap keamanan kawasan yang kompleks membahayakan keamanannya, sehingga ia berupaya mengembangkan kebijakan senjata nuklir untuk meningkatkan pertahanan dan keamanan serta mengimbangi keunggulan militer negara-negara lain di kawasan Asia Timur.

1.7 Sistematika penulisan

Tesis ini akan terdiri dari lima bab. Setelah Bab Pertama ini, Bab Kedua akan memberikan gambaran mengenai kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur. Di sini akan diperlihatkan keadaan persenjataan militer Cina, Korea Utara, Korea Selatan dan Jepang, aliansi militer di kawasan Asia Timur, anarkisme kawasan dan respon Amerika Serikat terhadap kompleksitas keamanan kawasan di Asia Timur.

Bab Ketiga akan membahas tentang nuklir di Korea Utara sebelum dan sesudah Perang Dingin. Di sini akan ditunjukkan strategi peningkatan kekuatan senjata nuklir yang dilakukan Korea Utara, pandangan negara tersebut terhadap kehadiran militer Amerika Serikat di Korea Selatan dan Jepang, serta perkiraan kekuatan nyata nuklir Korea Utara. Sebagai inti tesis, Bab Keempat akan menjelaskan kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur dan implikasinya terhadap peningkatan kekuatan senjata nuklir Korea Utara. Dalam bab ini juga akan dianalisis pola aksi reaksi dari peningkatan kekuatan senjata nuklir Korea Utara terhadap kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur. Tesis ini Bab Ketiga akan membahas tentang nuklir di Korea Utara sebelum dan sesudah Perang Dingin. Di sini akan ditunjukkan strategi peningkatan kekuatan senjata nuklir yang dilakukan Korea Utara, pandangan negara tersebut terhadap kehadiran militer Amerika Serikat di Korea Selatan dan Jepang, serta perkiraan kekuatan nyata nuklir Korea Utara. Sebagai inti tesis, Bab Keempat akan menjelaskan kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur dan implikasinya terhadap peningkatan kekuatan senjata nuklir Korea Utara. Dalam bab ini juga akan dianalisis pola aksi reaksi dari peningkatan kekuatan senjata nuklir Korea Utara terhadap kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur. Tesis ini

Al Syahrin, M. Najeri. 2015. Kompleksitas Keamanan Kawasan dan Implikasinya Terhadap Program Pengembangan Senjata Nuklir. Tesis. Universitas Gadjah Mada.

BAB II KOMPLEKSITAS KEAMANAN KAWASAN ASIA TIMUR

Bab ini akan membahas tentang kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur. Asia Timur merupakan kawasan yang terdiri dari Republik Rakyat Cina, Taiwan, Mongolia, Jepang, Korea Utara, dan Korea Selatan. Penelitian ini hanya difokuskan kepada empat negara saja, yaitu Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Korea Utara. Alasan utamanya adalah karena keempat negara ini memiliki pengaruh kuat di kawasan tidak hanya dalam bidang perekonomian, tetapi juga dari kekuatan dan peran militernya. Selain itu, empat negara ini juga memiliki kebijakan keamanan yang saling berkaitan satu sama lain, utamanya dalam perundingan dan perjanjian mengenai permasalahan program pengembangan nuklir Korea Utara.

Pembahasan tentang kompleksitas keamanan kawasan tersebut dilakukan dengan memberikan deskripsi tentang hubungan antarnegara di kawasan Asia Timur. Tetapi, akan diuraikan terlebih dahulu permasalahan di Semenanjung Korea, interaksi antarkawasan, dan peranan kekuatan global di kawasan Asia Timur. Berikutnya, akan dibahas mengenai aliansi militer antara Amerika Serikat dengan Jepang dan Korea Selatan serta analisis tentang peningkatan anggaran militer Cina, Jepang, dan Korea Selatan. Uraian mengenai anarkisme kawasan dan hambatan dalam pembentukan kerja sama dan institusi kawasan Asia Timur akan menjadi penutup bab ini.

2.1 Hubungan keamanan antarnegara di kawasan Asia Timur

Keamanan merupakan sebuah fenomena tidak berdiri sendiri. Keamanan kawasan dipengaruhi oleh intervensi, interaksi, dan persepsi antaranegara dalam kawasan tertentu maupun yang berada di luar kawasan. Dalam kawasan Asia Timur, keamanan suatu negara tidak bisa dipisahkan dengan keamanan negara lainnya, baik dalam skala kawasan maupun global, karena kawasan merupakan arena di mana keamanan nasional dan Keamanan merupakan sebuah fenomena tidak berdiri sendiri. Keamanan kawasan dipengaruhi oleh intervensi, interaksi, dan persepsi antaranegara dalam kawasan tertentu maupun yang berada di luar kawasan. Dalam kawasan Asia Timur, keamanan suatu negara tidak bisa dipisahkan dengan keamanan negara lainnya, baik dalam skala kawasan maupun global, karena kawasan merupakan arena di mana keamanan nasional dan

Perang Dingin telah membuktikan bahwa perseteruan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet memberikan pengaruh signifikan terhadap ketegangan di Semenanjung Korea antara Korea Selatan dan Korea Utara.

Menurut Barry Buzan, terdapat beberapa aspek yang berpengaruh dalam pembentukan kompleksitas keamanan kawasan, yaitu kondisi keamanan yang tidak stabil dalam tingkat domestik, hubungan antarnegara dalam satu kawasan, interaksi antarkawasan, dan peran kekuatan global. Berdasarkan aspek-aspek tersebut, dapat dipahami bahwa sekuritisasi maupun desekuritasasi merupakan proses interaksi terhadap keamanan negara lain. Dengan demikian, untuk memahami kompleksitas keamanan kawasan, tidak cukup hanya dengan memahami keamanan satu negara saja, tetapi juga harus memahami keamanan negara lain. Selain itu, perlu dipahami juga bagaimana interaksi antarkawasan dan peran kekuatan global agar bisa mencerminkan kompleksitas keamanan kawasan secara utuh dan komprehensif. 35

Semenanjung Korea berada dalam tahap peralihan dari sistem Perang Dingin menuju sistem peredaan peperangan dalam konstelasi politik internasional yang tengah berubah. Serangkaian peristiwa politik yang berkembang di Semenanjung Korea bukanlah sekedar permasalahan domestik bangsa Korea, tetapi juga menjadi permasalahan eksternal yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan implikasi terhadap keamanan masing-masing negara di kawasan Asia Timur. Pertentangan antarnegara besar yang termanifestasi dalam Perang Dingin berpengaruh terhadap situasi keamanan di Semenanjung Korea. Berakhirnya Perang Dingin secara tidak langsung juga membawa konsekuensi yang berpengaruh pada hubungan dua Korea. 36

Pembagian Semenanjung Korea oleh Sekutu pada tahun 1945 dan perkembangan kedua negara Korea menjadi bukti adanya persaingan ideologi pada masa Perang Dingin. Dengan pembagian itu, kedua negara Korea dikuasai oleh dua negara adidaya, yang kemudian berkembang menjadi negara pemimpin pada masa Perang Dingin. Keadaan

34 Buzan, p. 43. 35 Buzan p. 43. 36 Y.S.Yoon & M. Mas’oed, ‘Politik Luar Negeri Korea,’ dalam M. Syamsuddin, dkk. (eds.), Politik dan

Pemerintahan Korea, INAKOS, Yogyakarta, 2010, p. 101.

tersebut berlangsung lama dan secara khusus memberikan pengaruh terhadap politik luar negeri Korea Selatan dan Korea Utara. 37 Pemisahan dua Korea pada tahun 1945 semakin memperlebar sifat ketidaksamaan sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang dimiliki masing-masing negara. Pembedan itu tidak hanya mencakup ideologi politik, tetapi juga prinsip ekonomi, nilai masyarakat, cara kehidupan, seni budaya, dan teknologi. Pembedaan antara Korea Utara dan Korea Selatan semakin mempertajam hubungan pertentangan dan konfliktual antara keduanya. Sekalipun terdapat persetujuan gencatan senjata yang ditandatangani secara resmi pada 27 Juli 1953, konflik dan pertentangan kekuatan militer sering terjadi sehingga hubungan antara keduanya masih tidak harmonis. 38

Proses perdamaian Semenanjung Korea selalu diupayakan, salah satunya dengan program reunifikasi nasional antara dua Korea. Pernyataan bersama antara kedua Korea pada 4 Juli 1972 merupakan kemajuan besar yang menuntun pada penyatuan kembali Semenanjung Korea. Dalam pernyataan bersama tersebut, kedua pihak menyatakan pentingnya usaha untuk memulihkan kembali hegemonitas bangsa, terlepas dari sistem politik dan ideologi yang berbeda. Berbagai upaya dilakukan untuk menunjang kebijakan tersebut, antara lain melalui kebijakan penyambungan saluran telepon dan penyelenggaraan pertemuan komite kerja antarKorea secara bergantian. Selain itu, juga diupayakan adanya dialog langsung antara dua negara, reuni keluarga yang terpisah, dan pertukaran rombongan kebudayaan antarKorea pada tahun 1985. 39

Dalam melakukan upaya reunifikasi, Korea Utara cenderung menggunakan cara penaklukan langsung melalui kebijakan militer. Ini cenderung berbeda dengan yang ditempuh oleh Korea Selatan, yang menggunakan cara-cara yang lebih halus dengan dialog dan pendekatan diplomatik. Perhatian terhadap masalah reunifikasi Korea menjadi isu penting bagi peneliti dan akademisi di Korea Selatan. Segala cara dan upaya dilakukan untuk mencapai proses reunifikasi, utamanya dilakukan dengan pengembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Namun, upaya-upaya tersebut tidak membuahkan hasil

37 Yoon & Mas’oed, p. 91. 38 Y.S.Yoon & M. Mas’oed, ‘Hubungan Antara Dua Korea Sebelum Kegagalan Sunshine Policy,’ dalam M.

Syamsuddin, dkk. (eds.), Politik dan Pemerintahan Korea, INAKOS, Yogyakarta, 2010, p. 165. 39 Y.S. Yoon & N.A. Setiani, Sejarah Korea Sejak Masa Awal Abad Hingga Masa Kontemporer, Gadjah

Mada University Press, Yogyakarta, 2003, p. 192.

maksimal, karena rezim otoriter Korea Utara sangat keras dan sulit untuk berdialog. 40 Upaya Korea Utara untuk menyatukan Semenanjung Korea melalui serangan militer

dinilai oleh Robert Myers adalah untuk mencapai kepentingan lain, yaitu kepentingan ekonomi. Taktik ini dipakai oleh Korea Utara dalam menghadapi Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Dengan keadaan ekonomi Korea Selatan yang stabil, Korea Utara secara tidak langsung melakukan pemerasaan dengan dalih melakukan serangan militer. 41 Permasalahan domestik berkenaan dengan perbedaan sistem politik dan ekonomi serta isu reunifikasi antara dua Korea inilah yang dinilai sebagai salah satu faktor yang paling berpengaruh dalam pembentukan kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur.

Setelah berakhirnya Perang Dingin, wilayah Asia Timur menjadi pusat perhatian internasional. Posisi strategis kawasan ini semakin bertambah penting karena terjadi persaingan antara Amerika Serikat, Jepang, dan Cina untuk mengusahakan kepentingan nasional masing-masing. 42 Berbeda dengan masa Perang Dingin, lingkungan politik internasional di wilayah Asia Timur jauh berkembang ke dalam berbagai macam bentuk sebagai akibat dari hubungan multilateral antara negara-negara berkepentingan tersebut yang mencoba melepaskan diri dari hubungan permusuhan dan konfliktual. Walaupun demikian, unsur-unsur konflik dan ancaman keamanan masih berlangsung di Semenanjung Korea seperti di masa Perang Dingin. Dalam hal ini, Semenanjung Korea merupakan faktor penting dalam upaya mendorong perdamaian dan stabilitas keamanan di kawasan Asia Timur. Korea Selatan dan Korea Utara merupakan dua negara yang memiliki posisi strategis di kawasan Asia Timur, yang sangat penting sebagai penghubung antarnegara, terutama dengan Jepang, Cina, dan Rusia. Posisi geografis Semenanjung Korea yang strategis tersebut menyebabkan kedua Korea dalam sepanjang sejarah masing-masing sangat penting dari sudut strategi. 43

Selain itu, terdapat banyak isu utama yang menjadi faktor penting dalam kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur. Misalnya, perundingan normalisasi hubungan diplomatik antara Korea Utara dan Korea Selatan, Korea Utara dan Amerika

40 R.J. Myers, Korea in the Cross Currents: A Century of Struggle and the Crisis of Reunification, Palgrave, New York, 2001, p. 136.

41 Myers, p. 141. 42 Yoon & Mas’oed, Politik Luar Negeri Korea, p. 103. 43 Y.S. Yoon, ‘Negara Korea dan Pokok-Pokok Permasalahan,’ dalam M. Syamsuddin, dkk. (eds.), Politik

dan Pemerintahan Korea, INAKOS, Yogyakarta, 2010, p. 8.

Serikat, Korea Utara dan Jepang, serta penyelesaian isu proliferasi senjata nuklir yang dianggap menimbulkan situasi darurat dan mempersulit jaminan keamanan dan perdamaian di Asia Timur. 44 Keamanan Semenanjung Korea tergantung pada keseimbangan global dan kawasan, karena kepentingan-kepentingan geopolitis Cina, Jepang, dan Amerika Serikat saling bertemu di kawasan Asia Timur. Korea Utara terletak pada poros keamanan Asia Timur. Secara geografis negara ini memiliki posisi yang strategis di tengah kawasan Asia Timur di mana Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea Selatan berinteraksi dalam mencapai kepentingan masing-masing. 45

Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan menilai bahwa Korea Utara tetap menjadi ancaman yang paling mengkhawatirkan bagi keamanan kawasan. Peluang terciptanya perang nuklir masih menjadi kendala utama dalam upaya stabilisasi keamanan kawasan Asia Timur. Rezim Korea Utara dinilai selalu melakukan provokasi yang menghawatirkan bagi negara-negara di kawasan. Pada tahun 2010, Korea Utara melakukan serangan ke pulau Yeonpyeong sebagai reaksi atas latihan gabungan antara Amerika Serikat dan Korea Selatan. Kebijakan luar negeri Korea Utara dinilai semakin provokatif dan menimbulkan kecemasan bagi negara-negara di kawasan. 46

Selain itu, kerumitan hubungan antara Cina dan Korea Selatan, Jepang dan Korea Utara juga semakin menambah kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur. Cina dan Korea Selatan mencurigai upaya Jepang yang ingin merevisi sejarah pendudukannya di Semenanjung Korea dan sebagian wilayah Cina pada awal abad ke-20. Cina dan Korea Selatan juga terlibat dalam sengketa wilayah dengan Jepang soal sejumlah pulau di Laut Cina Timur serta perairan antara Jepang dan Korea Selatan. Sementara itu, hubungan Cina dan Korea Selatan juga tidak sepenuhnya mulus. Cina telah menyampaikan keberatannya atas rencana penempatan sistem antirudal canggih Korea Selatan yang

44 Y.S.Yoon & M. Mas’oed, ‘Politik Internasional Korea dalam Masyarakat Internasional yang Cepat Berubah,’ dalam M. Syamsuddin, dkk. (eds.), Politik dan Pemerintahan Korea, INAKOS, Yogyakarta, 2010, p.

102. 45 S. Kim, The International Relations of Northeast Asia, Rowman & Littlefield, Maryland, 2004, p. 283.

46 P.J. Saunders, Extended Deterrence and Security in East Asia: A U.S.-Japan-South Korea Dialogue, Centre for National Interest, Washington, D.C., 2012, pp. 15-16.

dipasang untuk mewaspadai ancaman nuklir Korea Utara. Hal tersebut dinilai Cina sebagai mencerminkan keinginan Amerika Serikat untuk mengawasi Cina. 47

Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut, Menteri Luar Negeri Cina, Jepang, dan Korea Selatan menggelar pertemuan trilateral yang diharapkan bisa menjadi bentuk kerja sama baru bagi ketiga negara pasca Perang Dunia II. Para menteri bersepakat untuk mengkoordinasikan kebijakan mereka dalam berbagai aspek. Pada masa pemerintahan Xi Jinping, Cina memprioritaskan hubungan dengan Korea Selatan sambil juga tetap menjaga hubungan dengan Korea Utara. Para analis mengatakan bahwa Korea Selatan sedang mencari cara untuk menyeimbangkan kekuatan dengan hubungan yang semakin dekat dengan Cina. 48

Cina dianggap menjadi ancaman baru bagi Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat. Permasalahan ini dikarenakan kekuatan ekonomi dan perkembangan militer Cina yang semakin meningkat di kawasan. Amerika Serikat dan Jepang selalu khawatir akan perkembangan kekuatan militer Cina. Atas respon terhadap permasalahan tersebut, Amerika Serikat sangat aktif membentuk aliansi militer di kawasan Asia Timur untuk membendung kekuatan dan pengaruh Cina. Selain menjalin aliansi militer dengan Jepang, Amerika Serikat juga menjalin aliansi militer dengan Korea Selatan. Bagi Korea Selatan, Cina tidak selalu menjadi sebuah ancaman yang paling mengkhawatirkan bagi keamanan nasionalnya. Ancaman yang nyata bagi Korea Selatan bukanlah Cina, tetapi Korea Utara. Dalam aliansinya dengan Amerika Serikat, Korea Selatan tidak selalu merespon aktif segala kebijakan yang berkaitan dengan Cina. Bahkan Korea Selatan dan Cina sama-sama memiliki sifat sentimen terhadap Jepang. Di sisi yang lain, Jepang telah memberikan respon yang aktif terkait dengan permasalahan Cina. Bagi Jepang, peningkatan kekuatan militer Cina memberikan ancaman yang serius terhadap keamanan nasionalnya di kawasan Asia Timur. 49

47 J.Y. Kwaak, ‘Menlu Negara Asia Timur Ingin Kurangi Ketegangan,’ The Wall Street Journal Indonesia (daring), 23 Maret 2015, < http://indo.wsj.com/posts/2015/03/23/menlu-negara-asia-timur-ingin-kurangi-

tegangan/ >, diakses pada 28 Maret 2015.

48 J. Makinen & S. Borowiec, ‘Will meeting of China, Japan and South Korea yield goodwill or more grumbling?,’ Los Angeles Times (daring), 20 March 2015, < http://www.latimes.com /world/asia/la-fg-japan-

china-korea-diplomats-20150320-story.html#page=1 >, diakses pada 28 Maret 2015. 49 Y.W. Goo & S.H. Lee, ‘Military Alliances and Reality of Regional Integration: Japan, South Korea, the

US vs. China, North Korea,’ Journal of Economics Integration, vol. 29, no. 2, June 2014, p. 337.

Hubungan antara Jepang dan Korea Selatan juga tidak selalu harmonis, meskipun keduanya sama-sama merupakan mitra keamanan Amerika Serikat. Jepang merasa bahwa Cina dan Korea Utara merupakan ancaman serius bagi stabilitas keamanan kawasan, sementara bagi Cina dan Korea Utara, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan merupakan ancaman. Kerumitan pola hubungan antarnegara di kawasan ini semakin meningkatkan kecurigaan dan menambah kompleksitas keamanan di kawasan Asia Timur.

Ketika perhatian internasional tersita oleh permasalahan Semenanjung Korea dan hubungan rivalitas antarnegara, terdapat beberapa perkembangan positif dalam kerja sama Amerika Serikat dengan Jepang dan Korea Selatan. Upaya tersebut terlihat dengan adanya perjanjian kawasan yang lebih luas, yaitu kerja sama keamanan kawasan antara Amerika Serikat-Jepang-Korea Selatan dengan ASEAN dalam bentuk ASEAN Regional Forum. Kerja sama antara ketiga negara tersebut dengan kawasan lainnya dianggap sebagi perkembangan penting dalam upaya menjaga stabilitas keamanan kawasan Asia Timur secara lebih luas. 50

Selain Jepang dan Korea Selatan, Cina juga secara aktif melakukan kerja sama antarkawasan. Secara bertahap sejak tahun 2000 hingga 2003, misalnya, dilakukan pembahasan kerja sama Free Trade Area (FTA) Cina-ASEAN. Cina sangat agresif dalam mendorong kerja sama tersebut, karena ia berharap melalui peningkatan hubungan ekonomi kekhawatiran ASEAN terhadap peningkatan militer Cina dapat berkurang. Di samping itu, kerja sama ekonomi juga diharapkan Cina untuk mengimbangi kemajuan Amerika Serikat dan Jepang di kawasan Asia Tenggara. Secara ekonomi Cina juga berharap kerja sama ini akan mempermudah jalan bagi Cina untuk mendapatkan bahan- bahan mentah dari kawasan Asia Tenggara. Sebaliknya, ASEAN berharap kerja sama ini akan membuka jalan bagi negara-negara anggotanya untuk menjual produk mereka dan mendorong Cina untuk melakukan investasi langsung ke Asia Tenggara. 51

Rivalitas antara Jepang dan Cina tidak hanya terjadi di kawasan Asia Timur saja, tetapi juga di kawasan Asia Tenggara. Kesediaan Cina untuk membuka kesempatan untuk mengembangkan FTA dengan ASEAN membuat Jepang mengusulkan perjanjian

50 N. Yamaguchi, ‘Trilateral Security Cooperation: Opportunities, Challenges, and Tasks,’ dalam R.A. Cossa (ed.), U.S-Korea-Japan Relations: Building Toward a Virtual Alliance, CSIS Press, Washington, D.C.,

1999, p. 4. 51 B. Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong terhadap Dinamika, Realitas dan Masa

Depan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, p. 251.

kemitraan ekonomi dengan ASEAN pada tahun 2002. Jepang tidak ingin kalah bersaing dengan Cina di kawasan Asia Tenggara. 52 Selama beberapa tahun terakhir, hubungan internasional di kawasan Asia Timur mengalami beberapa perubahan yang cukup dinamis. Perubahan tersebut dapat dipantau pada meningkatnya hubungan negara-negara kawasan Asia Timur dengan kawasan lainnya, termasuk dengan kawasan Asia Tenggara.

Selain interaksi antarkawasan dan rivalitas Cina dengan Jepang, permasalahan Semenanjung Korea juga menjadi salah satu faktor penting dalam dinamika kawasan Asia Timur. Korea Utara merupakan negara yang tidak selalu bisa lepas dari kepentingan asing. Eksistensi Korea sebagai negara otonom merupakan salah satu contoh dari sistem perimbangan kekuasaan. Pembagian Korea menjadi dua negara sangat berkaitan dengan kepentingan negara-negara besar, khususnya Amerika Serikat. 53 Berakhirnya Perang Dingin selama lebih dari dua dekade tidak mengubah pandangan Amerika Serikat terhadap Korea Utara; rezim Korea Utara masih dianggap sebagai rezim yang otoriter dan selalu berupaya mengembangkan kekuatan nuklir untuk mengancam negara di sekitarnya. Karakter yang melekat pada Korea Utara inilah yang selalu menjadi landasan Amerika Serikat dalam melakukan upaya diplomasi dan perundingan dengan negara tersebut. 54 Korea Utara dinilai menggunakan isu senjata nuklir sebagai manuver politik untuk meningkatkan posisi tawar di dunia internasional, khususnya terhadap Amerika Serikat dan negara aliansinya di kawasan Asia Timur. Berdasarkan persepsi tersebut Amerika Serikat mengkategorikan Korea Utara sebagai negara “poros setan” (axis of evil). Konsep ini merupakan bagian dari agenda strategi politik Amerika Serikat dalam membangun opini internasional untuk menjatuhkan kredibilitas Korea Utara. 55

Sepanjang masa akhir Perang Dingin, hubungan antara Amerika Serikat dan Korea Utara juga semakin tidak membaik, namun upaya untuk melakukan normalisasi hubungan terus dilakukan oleh Amerika Serikat. Salah satu upaya rekonsiliasi konflik di kawasan Semenanjung Korea adalah menyepakati kerangka kerja sama keamanan senjata nuklir.