Mengatasi IUU Fising Untuk Pembangunan E

Universitas Pertahanan Indonesia
Pengawasan & Law Enforcement Dalam Aspek Perikanan Tangkap :
Mengatasi IUU Fising Untuk Pembangunan Ekonomi Maritim Indonesia
Dosen Pengampu : Laksamana Pertama TNI (Purn) Dr. dr. Harmin Sarana
Oleh :
Prima Tegar Anugrah
120170302012
Program Studi Keamanan Maritim
Fakultas Keamanan Nasional
Bogor
2017

IUU Fishing :
Genderang perang terhadap praktek illegal, unreported and unregulated
fishing atau IUU Fishing, memang sudah dikumandangkan Kementrian Kelautan dan
Perikanan (KKP). Komitmen KKP untuk memerangi pencurian ikan tidak diragukan
lagi. Kegiatan operasi pengawasan pun terus dilakukan serentak, baik di wilayah
barat Indonesia maupun di wilayah timur. KKP tidak sedikit pun surut untuk tetap
memerangi kejahatan di laut Indonesia.
Masuknya kapal – kapal penangkap ikan asing secara illegal sangat
merugikan Indonesia. Bahkan praktek pencurian ikan bisa mengancam kelestarian

pengelolaan

sumber

daya

kelautan

dan

perikanan

di

Indonesia. IUU

fishing dan destructive fishing harus dipandang sebagai extraordinary crime karena
secara nyata telah menyebabkan kerusakan sumber daya kelautan dan perikanan.
Praktek IUU Fishing tersebut menyebabkan kerugian sangat besar di bidang sosial
dan ekonomi masyarakat, terutama nelayan.

Selain IUU fishing, perbuatan yang merusak sumber daya kelautan dan
perikanan seperti menangkap ikan dengan bom atau racun potassium dan cianida
juga sangat merugikan kesejahteraan nelayan. Karena setelah kondisi ekosistem
perairannya mengalami kerusakan maka sumber daya ikan yang ada menjadi tidak
dapat hidup dan tumbuh di tempat tersebut. Akibatnya nelayan menjadi kehilangan
sumber penghidupan. Hal ini merupakan bentuk pemanfaatan sumber daya yang
mengabaikan prinsip – prinsip pengelolaan berkelanjutan. Untuk itu seluruh
komponen bangsa baik pemerintah daerah maupun masyarakat agar meningkatkan
kepedulian terhadap kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan.
Faktor Penyebab Maraknya IUU Fishing :
Saat ini IUU Fishing di Indonesia masih belum bisa 100% diberantas. Karena
meskipun sudah ada Undang – Undang yang mengatur tentang perikanan dan
segala tindak pidananya bagi yang melanggar, para pelaku IUU fishing masih terus
melanjutkan aksinya. Jika ditinjau kembali, ada banyak faktor yang menyebabkan
hal itu terjadi.
Salah satu di antaranya adalah kurang jelas dan tegasnya isi dari UU nomor
31 Tahun 2004 yang mengatur tentang Perikanan. Dapat dilihat pada Pasal 8 dan 9
di mana pelanggaran alat tangkap dan fishing ground hanya dimasukkan dalam
kategori pelanggaran dengan denda Rp 250 juta. Hal semacam itu, seharusnya


masuk kategori pidana dengan sanksi lebih berat. Seharusnya alat tangkapnya juga
disita dan pengawasan pada fishing ground yang dilindungi tersebut lebih
ditingkatkan.
Beberapa pasal yang dianggap “abu – abu” menyangkut pidana dan
pelanggaran pada penggunaan alat tangkap dari UU Perikanan seperti pasal 85 dan
100. Pasal 29 dan 30 tentang Perikanan kurang memperhatikan nasib nelayan dan
kepentingan nasional terhadap pengelolaan sumber daya laut. Dalam Pasal 29 ayat
(1) UU Perikanan tersebut disebutkan bahwa usaha perikanan di wilayah
pengelolaan perikanan RI hanya boleh dilakukan oleh warga negara RI atau badan
hukum Indonesia. Sementara dalam ayat (2) disebutkan pengecualian terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan
hukum asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal
tersebut menyangkut kewajiban negara RI berdasarkan persetujuan internasional
atau ketentuan hukum internasional yang berlaku. Pasal 29 UU Perikanan tersebut
dapat menimbulkan persaingan internal (perang) antar para nelayan Indonesia
sendiri, karena semakin sedikitnya wilayah mereka untuk mencari ikan. Sehingga ke
depannya perlu ada undang – undang yang jelas untuk mengatur wilayah tangkapan
nelayan lokal.
Rambu hukum yang telah ada di Indonesia ternyata tidak menyurutkan
langkah para pelaku IUU fishing untuk berusaha menghindari jeratan hukum.

Pemerintah diharapkan segera menerbitkan peraturan yang dapat menjadi pedoman
dalam menyelesaikan masalah yang bersinggungan dengan IUU fishing. Oleh
karena itu perlu bagi pemerintah untuk mengubah isi undang – undang perikanan
yang telah ada dan mulai menerapkan hukuman yang tegas terhadap pelaku IUU
fishing agar para nelayan Indonesia tidak menderita.
Dampak Perikanan Ilegal :
Maraknya kegiatan perikanan ilegal yang terjadi di perairan Indonesia tidak
hanya memiliki dampak terhadap stok ikan nasional, tetapi juga global. Hal ini akan
menyebabkan keterpurukan ekonomi nasional dan meningkatnya permasalahan
sosial di masyarakat perikanan Indonesia. Sedikitnya terdapat sepuluh masalah
pokok dari aktivitas perikanan ilegal yang telah memberi dampak serius bagi
Indonesia :

Pertama, perikanan ilegal di perairan Indonesia akan mengancam kelestarian
stok ikan nasional bahkan dunia. Praktek perikanan yang tidak dilaporkan atau
laporannya salah (misreported), atau laporannya di bawah standar (under reported),
dan praktek perikanan yang tidak diatur (unregulated) akan menimbulkan masalah
akurasi data tentang stok ikan yang tersedia. Jika data stok ikan tidak akurat, hampir
dipastikan pengelolaan perikanan tidak akan tepat dan akan mengancam kelestarian
stok ikan nasional dan global.

Kedua, perikanan ilegal di perairan Indonesia akan mengurangi kontribusi
perikanan tangkap di wilayah ZEEI atau laut lepas kepada ekonomi nasional (PDB),
di samping juga mendorong hilangnya sumber daya perikanan yang seharusnya
dinikmati oleh Indonesia. Pemerintah mengklaim bahwa kerugian dari praktek
perikanan ilegal mencapai US$ 4 miliar per tahun. Jika diasumsikan harga ikan ilegal
berkisar antara US$ 1.000 – 2.000 per ton maka setiap tahunnya Indonesia
kehilangan sekitar 2 – 4 juta ton ikan.
Ketiga, perikanan ilegal mendorong ke arah penurunan tenaga kerja pada
sektor perikanan nasional, seperti usaha pengumpulan dan pengolahan ikan.
Apabila hal ini tidak secepatnya diselesaikan maka akan mengurangi peluang
generasi muda nelayan untuk mengambil bagian dalam usaha penangkapan ikan.
Keempat, perikanan ilegal akan mengurangi peran tempat pendaratan ikan
nasional (pelabuhan perikanan nasional) dan penerimaan uang pandu pelabuhan.
Karena kapal penangkapan ikan ilegal umumnya tidak mendaratkan ikan hasil
tangkapannya di pelabuhan perikanan nasional. Hal ini akan berdampak secara
nyata terhadap berkurangnya pendapatan nasional dari sektor perikanan.
Kelima, perikanan ilegal akan mengurangi pendapatan dari jasa dan pajak
dari operasi yang sah. Perikanan ilegal akan mengurangi sumber daya perikanan,
yang pada gilirannya akan mengurangi pendapatan dari perusahaan yang memiliki
izin penangkapan yang sah.

Keenam, baik secara langsung maupun tidak langsung, multiplier effects dari
perikanan ilegal memiliki hubungan dengan penangkapan ikan nasional. Karena
aktivitas penangkapan ikan nasional akan otomatis berkurang sejalan dengan
hilangnya potensi sumber daya ikan akibat aktivitas perikanan ilegal. Pada
umumnya ikan yang dicuri dari perairan Indonesia adalah ikan tuna dan ikan pelagis
besar lainnya. Jika setiap industri pengalengan ikan tuna memerlukan bahan baku
minimal 80 – 100 ton per hari atau sekitar 28.000 – 36.000 ton per tahun, maka ikan

yang dicuri tersebut sedikitnya dapat menghidupi 42 industri pengalengan ikan tuna
nasional.
Ketujuh, perikanan ilegal akan berdampak pada kerusakan ekosistem, akibat
hilangnya nilai dari kawasan pantai, misalnya udang yang dekat ke wilayah
penangkapan ikan pantai dan dari area bakau di rusak oleh perikanan ilegal.
Selanjutnya akan berdampak pada pengurangan pendapatan untuk masyarakat
yang melakukan penangkapan ikan di wilayah pantai.
Kedelapan, perikanan ilegal akan meningkatkan konflik dengan armada
nelayan tradisional. Maraknya perikanan ilegal mengganggu keamanan nelayan
Indonesia khususnya nelayan tradisional dalam menangkap ikan di perairan
Indonesia. Nelayan asing selain melakukan penangkapan secara ilegal, mereka juga
sering menembaki nelayan tradisional yang sedang melakukan penangkapan ikan di

daerah penangkapan (fishing ground) yang sama. Selain itu perikanan ilegal juga
akan mendorong ke arah pengurangan pendapatan rumah tangga nelayan dan
selanjutnya akan memperburuk situasi kemiskinan.
Kesembilan, perikanan ilegal berdampak negatif pada stok ikan dan
ketersediaan ikan, yang merupakan sumber protein penting bagi Indonesia.
Pengurangan ketersediaan ikan pada pasar lokal akan mengurangi ketersediaan
protein dan keamanan makanan nasional. Hal ini akan meningkatkan risiko
kekurangan gizi dalam masyarakat, dan berdampak pada rencana pemerintah untuk
meningkatkan nilai konsumsi ikan.
Kesepuluh, perikanan ilegal akan berdampak negative pada isu kesetaraan
gender dalam penangkapan ikan dan pengolahan serta pemasaran hasil
penangkapan ikan. Fakta di beberapa daerah menunjukkan bahwa istri nelayan
memiliki peranan penting dalam aktivitas penangkapan ikan di pantai dan
pengolahan hasil tangkapan, termasuk untuk urusan pemasaran hasil perikanan.
Upaya Yang Telah Dilakukan Pemerintah Untuk Mengatasi IUU Fishing :
Pertama, pemerintah telah menerapkan teknologi VMS (Vessel Monitoring
System), yaitu sistem pengawasan kapal yang berbasis satelit. VMS digunakan
untuk memonitor gerak kapal yang menyangkut posisi kapal, kecepatan kapal, jalur
lintasan


(tracking)

kapal

serta

waktu

terjadinya

pelanggaran.

Untuk

mengimplementasikan VMS telah dibangun Fishing Monitoring Center (FMC) di

kantor pusat Departemen Kelautan dan Perikanan di Jakarta dan Regional
Monitoring Center (RMC) di daerah Ambon dan Batam.
Kedua, pengawasan perikanan dilaksanakan oleh Pengawas Perikanan yang
bertugas untuk mengawasi tertib pelaksanaan peraturan perundang – undangan di

bidang perikanan. Pengawas Perikanan terdiri atas Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) Perikanan dan non PPNS Perikanan. Adapun yang dimaksud dengan non
PPNS Perikanan adalah Pegawai Negeri Sipil lainnya di bidang perikanan yang
bukan penyidik, tetapi diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan.
Ketiga, untuk pengawasan langsung di lapangan terhadap kapal – kapal yang
melakukan kegiatan penangkapan ikan dilakukan dengan menggunakan kapal –
kapal patroli, baik yang dimiliki oleh Departemen Kelautan dan Perikanan maupun
bekerja sama dengan TNI Angkatan Laut, Polisi Air, dan TNI Angkatan Udara.
Keempat,

dengan

membentuk

Pokmawas

(Kelompok

Masyarakat


Pengawas), yaitu pelaksana pengawas di tingkat lapangan yang terdiri dari unsur
tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, nelayan – nelayan ikan, serta
masyarakat kelautan dan perikanan lainnya. Kinerja Pokmawas hanya sekadar
melaporkan segala tindak pelanggaran yang dilakukan di perairan Indonesia.