BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1. Gagal Jantung 2.1.1. Definisi Gagal Jantung - Analisis BUN Sebagai Prediktor Mortalitas Pasien Gagal Jantung RSUP Haji Adam Malik

  

Tinjauan Pustaka

2.1. Gagal Jantung

2.1.1. Definisi Gagal Jantung

  Gagal jantung adalah keadaan dimana jantung tidak lagi mampu memompa darah dalam jumlah yang memadai ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh walaupun darah balik masih normal (Lily.et al.2003). Sebagai pompa, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kerja jantung. Faktor-faktor tersebut adalah kontraktilitas miokard, denyut jantung (kekuatan, irama, dan kecepatan pompa jantung), beban awal dan beban akhir.

  Beban awal (preload) merupakan beban yang diterima ventrikel kiri saat akhir diastol. Hal ini sama dengan volume akhir diastolik ventrikel kiri ( Left

  

ventricular end diastolic volume ) dan tekanan pada akhir diastol disebut tenanan

akhir pengisian akhir diastol ventrikel kiri (left ventricular filling pressure).

  Beban awal ditentukan oleh jumlah darah yang kembali dari sistem vena ke atrium kanan dan dipompakan ke paru-paru untuk kembali ke ventrikel kiri. Beban akhir merupakan beban yang dihadapi otot jantung saat berkontraksi memompa darah keluar ventrikel kiri menuju aorta.

  Gagal jantung merupakan keadaan klinis dan bukan suatu diagnosis, sehingga penyebabnya harus tetap dicari. Hukum Frank-Starling menyatakan, energi kontraksi sebanding dengan panjang awal serat otot jantung. Sehingga dengan diregangnya otot, timbul peningkatan tegangan sampai maksimal dan kemudian menurun dengan semakin bertambahnya regangan. Pada keadaan fisiologis semakin besar volume ventrikel selama diastolik, semakin teregang serat jantung sebelum stimulasi, dan akan semakin besar pula kekuatan kontraksi berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa, peningkatan ventricular output berhubungan dengan preload (peregangan serat-serat miokardium sebelum

  

Ventricular stroke volume dipengaruhi oleh preload, afterload dan kontraktilitas

  miokardium. Stroke volume akan meningkat bila terjadi peningkatan preload, penurunan afterload, atau peningkatan kontraktilitas

2.1.2. Etiologi Gagal Jantung

  Gagal jantung paling sering diakibatkan oleh kegagalan kontraktilitas miokard, seperti yang terjadi pada infark miokardium, hipertensi dan kardiomiopati. Namun pada kondisi tertentu, bahkan miokardium dengan kontraktilitas yang baik tidak dapat memenuhi kebutuhan darah sistemik keseluruh tubuh untuk memenuhi seluruh kebutuhan metabolik tubuh. Kondisi ini dapat disebabkan oleh masalah-masalah mekanik, misalnya pada regurgitasi katup berat, fistuloa arteriovena, defisienti tiamin, hipertiroid.

  Hipertensi dan jantung koroner merupakan penyebab terbanyak gagal jantung. Faktor resiko independen gagal jantung serupa dengan faktor resiko pada penyakit jantung koroner antara lain peningkatan kolesterol, hipertensi dan diabetes. Selain itu pemberian obat-obatan seperti beta bloker dan antagonis kalsium dapat menekan kontraktilitas miokard dan obat kemoterapeutik seperti doksorubicin dapat menyebabkan kerusakan miokard. Kerusakan miokard juga dapat disebabkan oleh konsumsi alkohol dalam jumlah besar yang bersifat kardiotoksik.

  Aritmia juga dapat mengurangi efesiensi jantung, seperti yang terjadi pada fibrilasi atrium atau disosiasi dari kontraksi ventrikel (blok jantung). Takikardia baik itu venrikel maupun atrium dapat menurunkan waktu pengisian ventrikel, meningkatkan beban kerja miokardium dan kebutuhan oksigen sehingga menyebabkan iskemia miokard, dan bila hal tersebut terjadi dalam waktu lama dapat menyebabkan dilatasi ventrikel .

Tabel 2.1. Symptom dan Gejala Klinis Pasien Gagal Jantung

  Gejala klinis dominan Symptom Tanda

  Edema/ kongesti perifer Sesak nafas, kelelahan, fatigue, anorexia

  Edema perifer, kenaikan tekanan vena jugularis, hepatomegali, ascites, kongesti air. Cachexia

  Edema paru Gagal nafas saat beristirahat Suara cracles dan rales paru, efusi pleura, takipnea

  Syok kardiogenik Confusion, kelemahan, akral dingin

  Perfusi perifer yang kurang, tekanan darah sistolik < 90 mmHg, anuria atau oligouria

  Tekanan darah yang tinggi (gagal jantung hipertensif)

  Sesak nafas Biasanya disertai dengan kenaikan tekanan darah, hipertofi ventrikel kiri, preservasi fraksi ejeksi

  Gagal jantung kanan Sesak nafas,

  fatigue

  Terdapat bukti gagal jantung kanan, peningkatan tekana vena jugularis, edema perifer, hepatomegali

Tabel 2.2. Staging gagal jantung menurut ACC/AHA (staging gagal jantung berdasarkan struktur dan kerusakan otot jantung)

  Stage A Resiko besar gagal jantung, tidak teridentifikasi abnormalitas struktural dan fungsional, tidak ada gejala dan tanda gagal jantung.

  Stage B Berkembangnya penyakit struktural jantung yang berhubungan erat dengan timbulnya gagal jantung, tapi tidak terdapat gejala dan tanda- tanda gagal jantung. Stage C Gejala gagal jantung berhubungan dengan perubahan strukural jantung Stage D Terdapat kelainan struktural yang berat dan terdapat gejala gagal jantung pada saat beristirahat.

  Tabel. 2.3. Staging gagal jantung berdasarkan NYHA (severitas gejala gagal jantung berdasarkan aktivitas fisik) Kelas 1 Tidak ada batasan saat melakukan aktivitas fisik. Kegiatan fisik normal tidak menimbulkan fatig, palpitasi dan dispnea.

  Kelas 2 Sedikit limitasi pada aktivitas fisik. Timbul gejala seperti fatig, palpitasi dan dispnea ringan saat aktivitas fisik normal. Gejala hilang saat beristirahat. Kelas 3 Aktivitas fisik sangat terbatas. Aktivitas fisik yang lebih ringan dari biasanya sudah menimbulkan gejala, namun gejala hilang saat beristirahat.

  Kelas 4 Gejala-gejala sudah ada sewaktu beristirahat, dan aktivitas fisik yang ringan akan memperberat gejala.

2.1.5. Patofisiologi Gagal Jantung

  Bila terjadi gangguan kontraktilitas miokard primer atau beban hemodinamik berlebihan diberikan pada ventrikel normal, jantung akan mengadakan sejumlah mikanisme adaptasi untuk mempertahankan curah jantung dan tekanan darah.

  Beberapa mekanisme adaptif tersebut antara lain sekresi neurohormonal, aktivasi sistem renin angiotensin, aktivasi sistem saraf simpatik. peptida natriuretik, ADH dan endothelin, makanisme frank starling, dan hipertropi miokard. Tiap mekanisme kompensasi jatung berikut memberikan manfaat hemodinamik segera, namun dengan konsekuensi yang merugikan dalam jangka panjang, yang akan berperan dalam perkembangan menjadi gagal jantung kronis. Misalnya, hipertrofi miokard akan meningkatkan massa elemen kontraktil dan memperbaiki kontraksi sistolik namun akan meningkatkan kekakuan dinding ventikel dan fungsi diastolik. Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer. (Yogiantoro, 2006).

  Aktivasi sistem saraf simpatis pada gagal jantung, melalui stimulasi baroreseptor, dapat mengingkatkan kecepatan detak jantung, vasokonstriksi pembuluh darah akibat perangsangan reseptor alfa dan menghasilkan peningkatan kontraktilitas miokard pada awalnya. Refleks simpatis bekerja maksimal dalam jangka waktu 30 detik. (Guyton, 2007) Peningkatan kecepatan detak jantung dan kontraktilitas secara langsung meningkatan curah jantung. Vasokonstriksi vaskular mangakibatkan peningkatan aliran balik darah ke jantung, sehingga meningkatkan beban awal dan meningkatkan stroke volume melalui mekanisme frank starling. Konstriksi arteriol pada gagal jantung meningkatkan tahananan pembuluh perifer sehingga membantu memelihara tekanan darah. Adanya darah diredistribusikan ke alat-alat vital (jantung dan otak) dan dikurangi ke organ-organ perifer seperti kulit, organ-organ splanknik dan ginjal. Namun pada aktivasi sistem RAA dan neurohormonal berikutnya menyebabkan peningkatan tonus vena (preload jantung) dan arteri (afterload jantung), meningkatkan norepinefrin plasma, retensi progresif natrium dan air.

  Penurunan perfusi dari jantung akan menyebabkan stimulasi sistem renin angiotensin aldosteron (RAA) yang menyebabkan peningkatan kadar renin, angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor kuat pada arteriol eferen ginjal yang menstimulasi pelepasan norepenefrin dari ujung saraf simpatik, menghambat tonus vagal dan membatu pelepasan aldosteron dari adrenal, sehingga dapat menyebabkan retensi natrium dan air di dalam tubuh.

  Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan sistem endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin disekresi oleh juxtaglomerulus aparatus ginjal sebagai respon glomerulus underperfusion atau penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem saraf simpatetik (Gray, et al. 2005). ACE (Angiotensin Converting Enzyme) memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi hati, yang oleh hormon renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I (dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida yang sangat aktif). Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan tekanan darah karena bersifat sebagai vasokonstriktor melalui dua jalur, yaitu:

  a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis) sehingga urin menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkan, volume cairan instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga meningkatkan tekanan darah.

  b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah (Gray, et al. 2005).

  Penurunan curah jantung pada gagal jantung dirasakan oleh baroreseptor yang berada sinus karotis dan arkus aorta sebagai suatu penurunan perfusi. Reseptor- reseptor ini lalu menguragi laju pelepasan rangsang sebanding dengan penurunan tekanan darah. Sinyal tersebut akan dihantarkan melalui saraf kranial

  IX dan X ke pusat pengendalian kardiovaskuler di medula oblongata.

  Perptida natriuretik memiliki berbagai efek pada jantung, ginjal dan sistem saraf pusat. Beberapa jenis peptida natriuretik seperti peptida natriuretik atrial (Atrial Natriuretic Peptide / ANP) dilepaskan jantung sebagai respon peregangan, menyebabkan natriuresis dan dilatasi. Selain itu juga akan dilepaskan peptida natriuretik otak (brain natriuretic peptide / BNP) juga dilepaskan dari ventrikel jantug dengan kerja yang serupa dengan ANP. Peptida natriuretik bekerja sebagai antagonis fisiologis terhadap efek angiotensin II, sekresi aldosteron dan reabsorbsi natrium ginjal.

  Endothelin merupakan peptida vasokonstriktor poten yang disekresikan oleh sel endothelial vaskular yang membantu retensi natrium di ginjal. Konstriksi vena sistemik dan retensi natrium kan meningkatkan tekanan serta volume akhir diastolik ventrikel, pemanjangan sarkomer dan kontraksi miofibril diperkuat (makanisme Frank Starling). beberapa jam atau hari. Normalnya ginjal menerima suplai darah sebanyak 1100ml/ menit atau sekitar 20 – 25% dari curah jantung. Tujuan utama dari tingginya aliran darah ke ginjal adalah untuk menyediakan cukup plasma untuk mengimbangi laju filtrasi glomerulus yang tinggi yang dibutuhkan untuk pengaturan volume cairan tubuh dan konsentrasi suatu zat terlarut secara efektif.

  Oleh karena itu penurunan darah ke ginjal akan menurunkan GRF (Glomerular

  

Filtration Rate ). Hal ini akan mengakibatkan terjadinya oligouria, yang berarti

  menurunnya keluaran urin dibawah tingkat asupan air dan zat terlarut. Jika aliran darah ginjal sangat menurun, dapat terjadi penghentian total keluaran urin, yang disebut anuria.

  Ginjal dapat mengkompensasi kekurangan aliran darah ginjal pada keadaan aliran darah ginjal sekitar 20-25% keadaan normal. Ketika aliran darah ginjal menurun, maka GFR dan jumlah natrium klorida yang difiltrasi oleh glomerulus akan ikut menurun termasuk penurunan filtrasi BUN.

  ↑sekresi aldosteron Perfusi ginjal

  ↓ Refleks baroreseptor

  Curah jantung ↓ (FE < 45%)

  Kontraktilitas miokard ↓

  ↑aktivitas simpatis ↑pelepasan renin ↑angiotensin II

  ↑resistensi perifer venokonstriksi

  ↑denyut jantung vasokonstiksi

  ↑ Kontraksi otot jantung ↑volume darah

  ↑tekanan diastolik akhir ventikel kiri (preload)

  ↑aliran balik vena vasodilator

  ↑tekanan diastolik (afterload)

  ↑curah jantung (kompensasi) remodelling jantung

  1. Radiografi toraks seringkali menunjukkan kardiomegali (rasio kardiotorasik (CTR) > 50%, terutama apabila gagal jantung sudah kronis.

  Ukuran jantung yang normal belum tentu menyingkirkan diagnosis dan bisa didapatkan pada kejadian gagal jantung kiri akut, seperti yang terjadi pada infark miokard, regurgitasi katup akut dan defek septum pascainfark. Kardiomegali dapat disebabkan oleh dilatasi venrikel kiri atau kanan atau terkadang efusi perikardium.

  2. Elektrokardiografi memperlihatkan beberapa abnormalitas pada sebagian pasien (80-90%), termasuk gelombang Q, perubahan ST-T segmen, hipertrofi LV, gangguan konduksi dan aritmia.

  3. Ekokardiografi harus dilakukan pada pasien dengan dugaan klinis gagal jantung. Dimensi ruang jantung, fungsi ventrikel (sistolik dan diastolik) dan abnormalitas gerakan dinding dapat dinilai, dan penyakit katup jantung dapat disingkirkan.

  4. Tes darah direkomendasikan untk menyingkirkan anemia dan menilai fungsi ginjal. Disfungsi tiroid ( hiper- maupun hipotiroid) dapat menyebabkan gagal jantung. Pengukuran kadar tropinin T, natriuretik peptida, BUN juga dapat dilakukan untuk mengetahui penyebab serta progresivitas gagal jantung.

  5. Kateterisasi jantung dapat dilakukan pada kasus dugaan jantung koroner.

  6. Tes latihan fisik dapat dilakukan untuk menilai adanya iskemia miokard dan pada beberapa kasus untuk mengukur batas toleransi tubuh dalam melakukan latihan aerobik yang sering menurun pada kasus gagal jantung.

  BUN menggambarkan berapa banyak kadar urea yang beredar dalam darah, yang merupakan hasil metabolisme protein yang disirkulasikan di dalam darah. Normalnya, urea terbentuk di dalam hati dan di bawa ke ginjal untuk diekskresikan. Urea akan mengalami filtrasi di glomerulus dan sebagian akan direabsorbsi di tubulus. Karena BUN akan dieksresikan melalui ginjal, maka pemeriksaan BUN dapat digunakan sebagai tes fungsi ginjal.

  Nilai normal BUN: a.

  Dewasa: 6-20 mg/ dl atau 2,1-7,1 mmol/L b. Orang tua (>60 tahun) : 8-23 mg/ dl atau 2,9-8,2 mmol /L c. Anak-anak : 5-18 mg/dl atau 1,8-6,4 mmol/L

  Nilai BUN dapat meningkat pada keadaan-keaadan tertentu, seperti: 1.

  Gangguan fungsi ginjal yang disebabkan oleh keadaan-keadaan seperti berikut:

  • Gagal jantung kongestif
  • Keadaan syok
  • Dehidrasi •
  • Infark miokardium akut

  Stres

  2. Gagal ginjal kronik seperti pada glomerulonefritis dan pyelonefritis

  3. Obstuksi saluran kemih

  4. Diabetes melitus dengan ketoasidosis

  5. Pendarahan saluran cerna

  6. Konsumsi protein yang tinggi

  7. Katabolisme protein yang tinggi seperti pada pasien kanker

  8. Pemakaian steroid jangka panjang

  1. Gagal liver seperti pada pasien-pasien hepatitis, keracunan obat-obatan dan zat-zat tertentu

  2. Akromegali

  3. Malnutrisi dan diet randah protein

  4. Syndrome of Inapropriate Antidiuretic Hormone (SIADH) Ureum direabsorbsi secara pasif di tubulus, tetapi jauh lebih sedikit daripada ion klorida. Ketika air direabsorbsi dari tubulus (melalui osmosis bersamaan dengan osmosis natrium), konsentrasi ureum didalam tubulus meningkat. Hal ini menimbulkan gradien konsentrasi yang menyebabkan reabsorbsi natrium. Ureum tidak dapat memasuki tubulus semudah air. Pada beberapa bagian nefron, terutama di duktus koligentes medula internal, reabsorpsi pasif uerum difasilitasi oleh pengangkut ureum spesifik. Ureum yang tersisa akan dimasukkan kedalam urin, menyebabkan ginjal mengeksresi sejumlah besar produk buangan metabolisme ini.

  Produk hasil metabolisme lainnya, misalnya kreatinin, adalah molekul yang lebih besar daripada ureum dan pada dasarnya tidak permeabel terhadap membran tubulus. Oleh karena itu, kreatinin yang telah difiltrasi hampir tidak ada yang direabsorbsi, sehingga semua kreatinin yang difiltrasi oleh glomerulus akan disekresikan kedalam urin.

2.2.1. Tranpor Urea ginjal

  Sisa nitrogen hasil metabolisme tubuh pada disekresikan terutama dalam bentuk urea (90%), suatu molekul yang mudah terlarut di dalam air. Mekanisme yang terjadi dalam proses reabsorbsi urea ginjal berperan penting dalam mengatur konsentrasi urine di ginjal. Telah dibuktikan bahwa peningkatan kecepatan ekskresi urea hampir seluruhnya bergantung pada kecepatan filtrasi glomerulus dan reabsorbsi tubular. Urea direabsorbsi melalui dua mekanisme: pertama sekali direabsorbsi. Karena reabsorbsi urea pada bagian ini bergantung pada konsentrasi cairan ( concentration dependent), maka jika ada suatu hal yang menyebabkan peningkatan reabsorbsi air, maka hal tersebut akan disertai dengan peningktan reabsorbsi pasif urea pada bagian ini.

  Mekanisme kedua berada di bagian distal nefron (inner medullary collecting duct ). Hal ini bergantung pada peningkatan sekresi hormon antidiuretik. Peningkatan jumlah AVP (Arginine Vasopressin) akan meningkatkan reabsorbsi urea pada segmen ini, khususnya pada bagian terminal dari inner medullary

  

collecting duct . Proses peningkatan reabsorbsi ini diperantarai oleh suatu

  transporter tertentu yang diatur oleh gen UT-A dan UT-B. Transporter urea juga terdapat pada organ ekstrarenal, misalnya di jantung, namun peranannya masih belum diketahui secara pasti.

  Pada ginjal jumlah transporter urea ini diatur oleh AVP, glukokortikoid, dan mineral kortikoid. Pada bagian distal nerfon, penyerapan urea ini bersifat flow

  

dependent ; penurunan kecepatan aliran cairan pada bagian distal ini akan

  menyebabkan perlambatan kecepatan aliran cairan tubular di tubulus pengumpul (collecting duct), yang akan menyebabkan terjadinya peningkatan reabsorbsi urea. Menarikanya, AVP juga mengatur transpor air pada ginjal, juga berada pada nerfon distalis, namun melalui kanal dan mekanisme yang berbeda.

2.2.2. Transpor Air

  Kanal air aquaphorin memperantarai pergerakan air melewati membran lipid bilayer. Aquaphorin2 ditemukan pada sel prinsipal tubulus pengumpul sebagai kanal utama reabsorbsi air melewati membran apikal sel. Melalui reseptor V2 yang terdapat pada membran basolateral tubulus pengumpul, AVP bekerja menatur kecepatan vesikel-vesikel yang berisi aquaphorin-2 ke membran apikal dan menyebabkan peningkatan permeabilitas membran terhadap air. bagian distal nefron yang akan menginduksi reabsorbsi air. Sebaliknya, supresi AVP akan menurunkan eksositosis kanal aquaphorin-2, dan akan meningkatkan klirens air dari ginjal.

2.2.3. Argrinine Vasopressor Peptide

  AVP merupakan suatu polipeptida yang dihasilkan oleh sel neurosekretori di bagian paraventrikuler dan supraoptik hipotalamus dan disekresikan melalui kelenjar pituitary posterior. Hiperosmolaritas plasma yang dikenali oleh osmoreseptor merupakan stimulus utama sekresi AVP. Ambang batas tekanan osmotik untuk pelepasan AVP kedalam darah adalah 280-290 msom/kg. Selain itu, stimulasi nonosmotik juga dapat meningkatkan pelepasan AVP, misalnya pada penurunan volume sirkulasi darah dan sekresi angiotensin II. Sensor baroreseptor pada karotid sinus memperantarai pelepasan AVP yang terkait pada volume sirkulasi darah. Namun bila dibandingkan dengan stimulasi osmoreseptor, stimulasi baroreseptor tidak terlalu sensitif, dimana hanya pada perubahan volume darah yang signifikan dan menyebabkan hipotensilah yang memicu stimulasi ini berlangsung.

  Mekanisme kerja AVP ini diatur oleh reseptor vasopressin, misalnya reseptor V1a, V1b dan V2. Reseptor v2 terutama terdapat pada pemukaan basolateral duktus koligentes dan mengatur transpor air melalui ekspresi aquaphorine-2. Bersamaan dengan terjadinya hipoosmolaritas dan penurunan efektivitas volume sirkulasi tubuh ( misalnya pada keadaan hipotermia terus menerus dan gagal jantung) akan menyebakan pelepasan AVP secara terus menerus, walaupun seharusnya penurunan osmolaritas plasma dibawah normal sehatusnya menginhibisi sekresi AVP. AVP dimetabolisme dengan cepat, dengan waktu paruh dalam sirkulasi darah kurang dari 20 menit.

  Melihat kembali pada mekanisme AVP yang telah diketahui, maka kegagalan pompa pada ventrikel kiri akan meningkatkan sekresi AVP dari peningkatan regulasi transporter urea pada tubulus pengumpul, oleh karena itu peningkatan kadar AVP akan diikuti oleh peningkatan BUN.

  2.2.3 Sistem Renin Angiotensin Aldosteron

  Sistem RAAS merupakan suatu sistem regulasi kompeks di dalam tubuh yang melibatkan pengaturan kardiovaskular, hemodinamik dan sistem ginjal. Kortex juxtamedular ginjal merupakan sumber utama pelepasan renin. Angiotensin II berikatan dengan beberapa kelas angiotensin reseptor, yaitu AT-1 dan AT-2. AT-1A ditemukan pada pembuluh darah, otak dan organ tubuh lainnya. Sementara AT-1B banyak ditemukan pada hipofisis anterior dan korteks adrenal. Selain efek tidak langsungnya melalui induksi pelepasan aldosteron, angiotensin

  II juga memiliki efek antidiuretik langsung kepada nefron. Aktivasi AT-1 meningkatkan aktivitas pertukaran natrium-hidrogen di membran apikal nefron.

  Pertama sekali angiotensin II akan meningkatkan absorbsi sodium dan air pada tubulus proksimal dan akan menyebabkan meningkatnya konsentrasi urea yang telah terfiltrasi pada tubulus proksimal. Hal ini akan meningkatkan reabsorbsi pasif urea melewati gradien konsentrasi tubulus. Kedua, peningkatan reabsorbsi air pada tubulus proksimal akan menurunkan volume cairan yang melewati bagian distal, sehingga akan mengakibatkan kecepatan aliran tubulus akan berkurang pada tubulus pengumpul, yang mengakibatkan peningkatan reabsorbsi urea yang bersifat flow dependent.

  2.2.4. Sistem Saraf Simpatis

  Sistem saraf simpatis memiliki peranan penting dalam mengatur konsentrasi natrium dan air di dalam tubuh. Sistem saraf simpatis ginjal berhubungan secara langsung dengan membran dasar peritubular (peritubular basement membrane). Sel juxtaglomerulus juga diinervasi langsung oleh saraf simpatis. Adanya perubahan pada saraf simpatis ginjal, akan langsung tubulus, saraf simpatis juga menginervasi arteri aferen dan eferen ginjal sehingga akan mempengaruhi hemodinamik ginjal dengan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah. Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis akan meningkatkan reabsorbsi sodium di tubulus ginjal.

  2.2. Gambar Skema Hubungan Gagal Jantung dengan Peningkatan BUN

Gagal Jantung

  ↑ Pelepasan AVP ↑ Aktivitas

  ↑aktivitas simpatis RAAS

  (Agrinine Vasopressin Peptide)

  Peningktan jumlah

  ↑Reabsorbsi ↑Reabsorbsi flow

  transporter urea di concentration

dependent urea di

tubulus pengumpul dependent urea di

  tubulus distal padal medula internal. tubulus proximal renal

  

↑ BUN