BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Gagal Jantung - Hubungan Kadar Natrium Darah Dengan Derajat Functional Class Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif Di Rsup H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2012

Gagal Jantung

  2. 1. 1. Definisi Menurut Panggabean (2009) gagal jantung adalah suatu sindrom klinis

  (sekumpulan tanda dan gejala), ditandai oleh sesak napas dan kelelahan (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. Secara umum, definisi dari gagal jantung adalah suatu kondisi dimana ada fungsi jantung yang abnormal yang bertanggung jawab atas gagalnya jantung untuk memompa darah pada keadaan seimbang dengan keperluan metabolik jaringan (Francis et al., 2008).

  Gagal jantung kongestif adalah suatu sindrom klinis yang kompleks dengan karakter disfungsi ventrikel kiri, ventrikel kanan atau keduanya dan dihasilkan perubahan dalam pengaturan neurohormonal (Deedwania dan Carbajal, 2009). Menurut Dorland (2010), gagal jantung kongestif adalah sindrom klinis akibat penyakit jantung, ditandai adanya kesulitan bernapas serta retensi abnormal natrium dan air, yang sering menyebabkan edema. 2. 1. 2. Epidemiologi

  Kejadian gagal jantung dari tahun ke tahun mengalami peningkatan jumlah. Di Eropa, kejadian gagal jantung berkisar 0,4%-2% dan meningkat pada usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun (Ghanie, 2009). Dari data NHLBI, insidensi gagal jantung mendekati 10 per 1000 populasi setelah umur 65 tahun dimana tujuh puluh lima persen dari kasus gagal jantung mempunyai riwayat hipertensi terlebih dahulu (Lloyd-Jones et al., 2010). Penelitian terakhir menunjukkan terdapat peningkatan prevalensi gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal (Alwi, 2011). Pada tahun 2006, kematian akibat gagal jantung di Amerika Serikat sebanyak 282.754 dimana laki-laki sebanyak 159.167 sedangkan perempuan sebanyak 123.587 (Lloyd-Jones et al., 2010).

  550,000 pasien.Pada studi jantung Framingharm menunjukkan bahwa laki-laki, yang mempunyai simptom klinis dari gagal jantung kongestif yang berkembang, mendapat probabilitas kematian 62% dalam waktu 5 tahun dari onset simptom. Studi lain menunjukkan bahwa pasien dengan gagal jantung kongestif dengan derajat fungsional NYHA (New York Heart Association) kelas IV mempunyai angka kematian 40-50% tiap tahun (Deedwania dan Carbajal, 2009). 2. 1. 3. Etiologi

  Pada gagal jantung akut terdapat banyak penyebab dan faktor pencetus, antara lain (Gheorghiade, Filippatos, dan Felker, 2012) : 1)

  Penyakit jantung iskemik

  a) Sindrom koroner akut

  b) Komplikasi mekanik dari infark akut

  c) Infark ventrikel kanan

  2) Valvular

  a) Stenosis valvular

  b) Regurgitasi valvular

  c) Endokarditis

  d) Diseksi aorta

  3) Miopati

  a) Post-partum kardiomiopati

  b) Miokarditis akut

  4) Hipertensi/aritmia

  a) Hipertensi

  b) Aritmia akut

  5) Gagal sirkulasi

  a) Septikemia

  b) Tiroktoksikosis

  c) Anemia

  Tamponade

  g) Asma/PPOK

  Pengurangan volume sekuncup menghasilkan pengosongan ruang yang tidak komplit, sehingga darah yang terakumulasi pada ventrikel selama diastol lebih tinggi daripada normal. Hal ini meningkatkan serat jantung, bertindak lewat mekanisme Frank-Starling, menginduksi volume sekuncup yang lebih besar pada kontraksi selanjutnya, yang mana membantu mengosongkan ventrikel kiri yang membesar dan memelihara forward cardiac output (Chatterjee dan Fifer, 2011).

  1)

  Penurunan cardiac output mengakibatkan terjadinya mekanisme kompensasi (Ramani et al., 2010). Beberapa mekanisme kompensasi alami bekerja pada pasien dengan gagal jantung untuk mengatasi menurunnya volume sekuncup dan membantu mempertahankan tekanan darah secukupnya untuk perfusi organ vital (Chatterjee dan Fifer, 2011). Kompensasi ini termasuk :

  2. 1. 4. Mekanisme Kompensasi Pada pasien gagal jantung kongestif ada tiga variabel yang terganggu, yaitu : (1) relaksasi dan pengisian ventrikel (fungsi diastolik), (2) kontraktilitas jantung, dan (3) afterload (Figueroa dan Peters, 2006). Hal tersebut mengakibatkan penurunan cardiac output sebagai respon awal hemodinamik.

  h)

  f) Disfungsi ginjal

  f) Emboli paru

  e) Operasi

  d) Gangguan cerebrovaskular

  c) Infeksi, terutama pneumonia

  b) Volume overload

  a) Tidak patuh minum obat

  6) Dekompensasi pada gagal jantung kronik

Penyalahgunaan obat atau alkohol

Mekanisme Frank-Starling

  yang berat dengan kontraktilitas yang menurun, kurvanya mungkin mendekati datar pada volume diastolik yang tinggi. Secara bersamaan pada sirkumtansi, peningkatan bermakna dari volume diastolik akhir dan tekanan (dimana ditransmisikan secara retrograd ke atrium kiri, vena pulmonar, dan kapiler) dapat menghasilkan kongesti paru dan edema (Chatterjee dan Fifer, 2011). 2)

Perubahan neurohormonal

  Istilah neurohormonal merefleksikan bahwa banyak molekul berelaborasi pada pada gagal jantung, diproduksi oleh sistem neuroendokrin (Mann, 2012). Sebagai respon penurunan cardiac output, mekanisme kompensasi neurohormonal diaktifkan. Mekanisme ini berjalan untuk meningkatkan tahanan perifer sistemik, yang membantu untuk mempertahankan perfusi arteri ke organ vital walaupun cardiac output berkurang. Peningkatan tahanan perifer total yang diinduksi oleh mekanisme kompensasi ini dapat hampir menyeimbangkan turunnya cardiac output, dan pada derajat awal gagal jantung dapat mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal (Chatterjee dan Fifer, 2011).

  a)

Sistem saraf adrenergik

  Menurunnya cardiac output pada gagal jantung dideteksi oleh baroreseptor pada sinus carotis dan lengkung aorta. Reseptor ini mengurangi tingkat pemberian sinyal dalam proporsi untuk penurunan tekanan darah, dan sinyal ditransmisikan oleh saraf kranial ke-9 dan ke-10 ke pusat pengaturan kardiovaskular di medula. Hasilnya, keluaran simpatetik ke jantung dan sirkulasi perifer meningkat (Chatterjee dan Fifer, 2011). Aktivasi sistem saraf simpatik terjadi bersamaan dengan penurunan kekuatan parasimpatis (Mann, 2012). Ada 3 konsekuensi segera, yaitu : (1) peningkatan denyut jantung, (2) penambahan kontraktilitas ventrikel,dan (3) vasokonstriksi akibat dari stimulasi reseptor- α pada vena dan arteri sistemik (Chatterjee dan Fifer, 2011).

  b) Sistem renin-angiotensin-aldosteron

  Rangsangan utama pada sekresi renin dari sel jukstaglomerular adalah secara cepat dipecah lagi oleh enzim angiotensin-converting (ACE) untuk membentuk angiotensin II. Peningkatan angiotensin II mengkonstriksi arteriol dan meningkatkan tahanan perifer sistemik (Chatterjee dan Fifer, 2011). Angiotensin II juga menstimulasi pelepasan aldosteron dari korteks adrenal (Francis et al., 2008). Aldosteron mengakibatkan reabsorpsi natrium dari tubulus kontortus distal ke ginjal, mengakibatkan penambahan volume intravaskular (Chatterjee dan Fifer, 2011).

  c)

Hormon antidiuretik

  Hormon ini berkontribusi dalam peningkatan volume intravaskular karena meningkatkan retensi air pada nefron distal. Peningkatan volume intravaskular mengakibatkan penambahan preload ventrikel kiri dan cardiac output. Peningkatan angiotensin II dan aldosteron yang kronis dapat menimbulkan produksi sitokin, aktivasi makrofag, dan stimulasi fibroblas, mengakibatkan fibrosis dan adverse remodeling jantung (Chatterjee dan Fifer, 2011).

  d)

Peptida natriuretik

  Peptida natriuretik adalah hormon yang menguntungkan, dimana disekresi pada gagal jantung sebagai respon meningkatnya tekanan intrakardiak (Chatterjee dan Fifer, 2011). Peptida natriuretik meningkat pada pasien gagal jantung. ANP (Atrial Natriuretic Peptide) normalnya disintesis dan disimpan di atrium, serta dilepas ke sirkulasi selama distensi atrium (Francis et al, 2008). Kerja dari peptida natriuretik ini menghasilkan ekskresi pada garam dan air, vasodilatasi, inhibisi sekresi renin dan antagonis efek angiotensin II pada aldosteron dan vasopressin (Chatterjee dan Fifer, 2011). BNP (B-type

  

Natriuretic Peptide ) paling banyak disintesis oleh ventrikel dan dilepas pada

  saat disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung tahap awal. ANP dan BNP mengakibatkan vasodilatasi dan natriuresis lewat aktivasi reseptor guanylate

  cyclase (Francis et al., 2008).

  3) Hipertrofi ventrikel dan remodeling

  Hipertrofi miosit miokardiak terjadi untuk memenuhi kebutuhan dari ataupun kombinasi dari keduanya (Francis et al., 2008). Proses remodeling dari ventrikel kiri juga penting dalam mempengaruhi miosit kardiak, volume komponen miosit dan nonmiosit pada miokardiak, serta geometri dan susunan ruang ventrikel kiri (Mann, 2012).

  Peningkatan yang mendukung dalam tekanan dinding (bersamaan dengan neurohormonal dan perubahan sitokin) menstimulasi perkembangan hipertrofi miokardiak dan deposisi matriks ekstraseluler. Peningkatan masa dari serat otot ini membantu mempertahankan kekuatan kontraksi dan meniadakan tekanan dinding ventrikel. Akan tetapi karena meningkatnya kekakuan dari dinding yang hipertrofi, keuntungan ini datang pada saat peningkatan tekanan ventrikel diastolik daripada saat normal, yang mana ditransmisikan ke atrium kiri dan vaskularisasi pulmonal (Chatterjee dan Fijer, 2011).

  2. 1. 5. Klasifikasi Klasifikasi fungsional gagal jantung menurut New York Heart Association (NYHA) (McMurray et al., 2012).

  1. Kelas I Tidak ada keterbatasan aktivitas fisik. Aktivitas fisik yang biasa tidak menyebabkan kelelahan, palpitasi, atau dispnea.

  2. Kelas II Ada sedikit keterbatasan aktivitas fisik. Nyaman saat istirahat, tetapi aktivitas fisik yang biasa menyebabkan kelelahan, palpitasi atau dispnea.

  3. Kelas III Ada keterbatasan aktivitas fisik yang nyata. Aktivitas fisik yang sedikit saja menyebabkan kelelahan, palpitasi atau dispnea.

  4. Kelas IV Tidak mampu melakukan aktivitas fisik apapun tanpa ketidaknyamanan.

  Gejala insufisiensi jantung saat istirahat. Jika melakukan aktivitas fisik, ketidaknyamanan meningkat.

Natrium

  2. 2. 1. Fisiologi Natrium merupakan kation terbanyak yang terdapat pada cairan ekstraseluler (Guyton, 2006). Karena natrium merupakan kompartemen ekstraseluler yang terbanyak, jumlah natrium dalam tubuh merefleksikan volume cairan ekstraseluler. Mekanisme pengaturan volume normal memastikan pengeluaran natrium seimbang dengan pemasukan natrium. Perubahan pada konsentrasi natrium umumnya menunjukkan terganggunya homeostatis air, sedangkan perubahan pada kadar natrium bermanifestasi menjadi berkurangnya atau bertambahnya volume cairan ekstraseluler dan secara tidak langsung keseimbangan natrium menjadi abnormal (Singer dan Brenner, 2005).

  Gambar 1. Pompa Natrium-Kalium Sumber : Kjell Lundin, 2012

  Pemasukan diet natrium menghasilkan penambahan volume cairan ekstraseluler, yang mana akan ditingkatkan ekskresi natrium pada ginjal untuk mempertahankan keseimbangan natrium (Singer dan Brenner, 2005). Ekskresi adalah 40-220 mmol/24 jam (Yaswir dan Ferawati, 2012).

  Gambar 2. Proses Transpor Sepanjang Nefron Sumber : Color Atlas of Physiology, 2003

  2. 3. 2. Etiologi Hiponatremia Hiponatremia, umumnya didefinisikan sebagai konsentrasi serum natrium

  <135mmol/L ( Madan, Novak dan Rich, 2011). Kehilangan natrium klorida pada cairan ekstrasel atau penambahan air yang berlebihan pada cairan ekstrasel akan menyebabkan penurunan konsentrasi natrium plasma (Yaswir dan Ferawati, 2012). Hiponatremia disebabkan oleh banyak penyebab, antara lain : a.

  Pseudohiponatremia i.

  Osmolalitas plasma normal a.

  Hiperlipidemia b.

  Hiperproteinemia c. Reseksi pasca transuretral tumor prostat ii. Osmolalitas plasma meningkat

  Manitol b. Hiponatremia hipoosmolalitas i.

  Kehilangan natrium primer (penambahan air sekunder) a.

  Dari kulit : keringat, luka bakar b.

  Dari saluran cerna : muntah, drainase selang, fistula, diare, obstruksi c.

  Dari ginjal : diuretik, osmosis diuresis, hipoaldosteronisme, nekrosis tubular akut non-oligurik ii.

  Penambahan air primer (kehilangan natrium sekunder) a.

  Polidipsi primer b.

  Menurunnya pemasukan natrium c. Pelepasan hormon antidiuretik d.

  Defisiensi glukokortikoid e. Hipotiroidisme

  f. Insufisiensi ginjal kronik iii. Penambahan natrium primer (dilewati oleh penambahan air sekunder) a.

  Gagal jantung b.

  Sirosis hepar c. Sindrom nefrotik

  Penyebab hiponatremia paling banyak bersamaan dengan osmolalitas plasma yang rendah (Singer dan Brenner, 2005).

  2. 3. Hubungan Kadar Natrium dengan Gagal Jantung Kongestif

  Dari semua pasien yang diterima di rumah sakit dengan diagnosa gagal jantung, 18-27% akan mengalami hiponatremia pada awal penerimaan (Romanovsky, Bagshaw, dan Rosner, 2011). Kadar natrium darah dikenal

  

sebagai prediktor outcome pada pasien gagal jantung kronik.Pada percobaan

ACTIV in CHF (Acute and Chronic Therapeutic Impact of a Vasopressin

Antagonist in Congestive Heart Failure ), 21% pasien yang dihospitalisasi karena

gagal jantung dekompensata akut mengalami hiponatremia pada batas bawah mortalitas (Madan, Novak, dan Rich, 2011). Hiponatremia dapat mengidentifikasi sebuah populasi dengan profil patofisiologi yang berbeda dari pasien normonatremia. Hal ini menunjukkan banyaknya aktivasi renin- angiotensin-aldosteron atau sistem saraf simpatis dan/atau pelepasan vasopressin (Gheorghiade et al., 2007).

  Pada gagal jantung kongestif, umumnya terjadi hiponatremia dilusional

yang hipervolemik akibat kelebihan cairan (Abraham, 2008). Pada umumnya,

  mekanisme utamanya adalah hiponatremia dilusional yang dipicu oleh osmolalitas yang independen pada sekresi AVP (Tada et al., 2011). Sedangkan

  

pada pemakaian obat-obatan yang mengurangi cairan ekstraseluler yang

mengakibatkan pengurangan garam yang berlebih, seperti diuretik, dapat

mengakibatkan hiponatremia deplesional (Abraham, 2008).

  Pada gagal jantung, pengurangan pengisian arteri yang efektif mengakibatkan penurunan pada regangan baroreseptor, sebuah mekanisme yang memediasi pelepasan vasopressin (Chrysohoou, Tousoulis, dan Stefanadis, 2012). Pada gagal jantung kongestif, hiponatremia terjadi bersamaan dengan berlebihnya aktivasi hormon baroreceptor-mediated, termasuk arginine

  vasopressin (AVP), katekolamin, dan sistem renin-angiotensin-aldosteron (Tada

et al ., 2011). AVP disintesis di nukleus supraoptik dan paraventrikular pada

  hipotalamus dan disimpan di lobus posterior kelenjar pituitari. Efek utama pada ginjal adalah meningkatkan permeabilitas air pada membran luminal dari tubulus kolektivus kortikal dan medula, yang mana mengakibatkan reabsorpsi air. Stimulus utama dari AVP adalah hiperosmolaritas dan pengurangan volume sirkulasi. Pelepasan AVP berkurang dengan terjadinya hipoosmolalitas. Peningkatan AVP mengakibatkan hiponatremia pada pasien gagal jantung, dimana bersamaan dengan dua mekanisme penyebab, yaitu : (i) mekanisme

  

feedback yang abnormal dan (ii) baroreceptor feedback. Peningkatan sekresi

  AVP dan pengikatan terhadap reseptor V2 menghasilkan retensi air bebas dan hiponatremia.Pada pasien gagal jantung kongestif, ada deviasi pada mekanisme dimana pada NYHA I: 4.9 +/- 0.8 pmol/l, pada NYHA II: 5.5 +/-0.9 pmol/l, pada NYHA III: 13.4 +/- 2.6 pmol/l, sedangkan pada NYHA IV: 26.9 +/- 5.6 pmol/l (Nakamura et al., 2006).

  Remodeling miokardium sebagai respon terhadap reabsorpsi air yang

  berlebihan, dimana mengembangkan preload ventrikular dan mengubah fungsi

  

gap junction , dapat berkontribusi terhadap osmolalitas yang rendah pada pasien

  dengan fungsi ginjal yang normal. Dalam kondisi ini, meskipun kadar natrium darah tetap rendah, kadar natrium tubuh total meningkat dan ada peningkatan volume cairan ekstraseluler (Chrysohoou, Tousoulis, dan Stefanadis, 2012). Hiponatremia pada gagal jantung juga merupakan tanda terganggunya perfusi ginjal (Madan, Novak, dan Rich, 2011).

  Obat diuretik meningkatkan ekskresi air dan natrium, dengan demikian dapat mengurangi gejala kongestif dan secara teori membantu mengoptimalkan kontraktilitas jantung (Romanovsky, Bagshaw, dan Rosner, 2011). Pada umumnya, NYHA dengan kelas yang lebih tinggi, bersamaan dengan meningkatnya penggunaan loop diuretic dan keperluan dosis, merupakan karakteristik pasien dengan hiponatremia (Balling et al., 2011). Pada populasi umum, diuretik yang menginduksi hiponatremia sangat banyak, dengan thiazid dihitung atas 63% dari kasus hiponatremia yang parah, loop diuretic atas 6%, dan spironolakton atas 1% (Romanovsky, Bagshaw, dan Rosner, 2011). Umumnya, pasien yang menerima thiazid, aktivitas AVP yang berlebihan, hipokalemia, dan pemasukan air yang berlebihan ditemukan baik, secara tunggal atau bersamaan, muncul untuk berkontribusi dalam perkembangan hiponatremia.

  

Loop diuretic , dimana bekerja pada medula dan korteks dari ansa henle asenden

  tebal, sering memperburuk hiponatermia oleh karena diuresis isotonik dengan hilangnya garam (Kumar et al., 2007).

  Pada studi Outcomes of a Prospective Trial of Intravenous Milrinone for

  

Exacerbations of Chronic Heart Failure (OPTIME-CHF), kadar natrium darah

  rendah dalam kuartil pertama (101.90–141.50 mmol/L) banyak terdapat pada dengan jumlah pasien gagal jantung kronik sebanyak 992 orang, ditemukan lebih banyak pasien dengan NYHA kelas II (78,4%) dibandingkan dengan NYHA kelas III (21,6%) dengan kadar natrium darah

  ≤ 138 mmol/L (Vazquez et al, 2009). Menurut De Wolfe et al. (2008), rata-rata pasien memiliki derajat fungsional NYHA kelas II dengan kadar serum natrium normal lebih banyak (87%) dibandingkan dengan kadar serum natrium yang rendah (13%).Subjek penelitian yang mengalami hiponatremia mempunyai WHO functional class yang buruk, dimana hiponatremia terjadi pada 85% subjek penelitian yang mempunyai derajat III-IV dan pada grup dengan kadar natrium yang normal mempunyai proporsi yang sama pada kelas I-II dan III-IV (Forfia et al., 2008).

  Pada pasien gagal jantung yang dihospitalisasi, hiponatremia juga tejadi bersamaan dengan tekanan darah sistolik yang rendah, BNP yang meninggi, dan kemungkinan penggunaan agen inotropik yang meninggi (Chrysohoou, Tousoulis, dan Stefanadis, 2012). Menurut Balling et al. (2011), pasien gagal jantung dengan hiponatremia, secara signifikan mempunyai detak jantung dan tekanan darah sistolik rata-rata yang rendah. Gejala yang parah dengan NYHA kelas III-IV lebih sering terjadi pada pasien hiponatremia dibandingkan dengan pasien normonatremia.

  Pada penelitian Meta-Analysis Global Group in Chronic heart failure (MAGGIC), pasien dengan hiponatremia adalah pasien yang lebih tua, lebih sering terkena diabetes mellitus dan fibrilasi atrium, dan mempunyai status klinis yang buruk, yaitu derajat functional class NYHA yang lebih besar (NYHA kelas

  III-IV), dibandingkan dengan pasien tanpa hiponatremia. Pasien gagal jantung dengan pengurangan fraksi ejeksi lebih lebih banyak tidak terjadi hiponatremia pada NYHA kelas I-II, sedangkan terjadinya hiponatremia lebih banyak terjadi pada NYHA kelas III-IV (Rusinaru et al., 2012). Pada penelitian International

  

Collaborative of NT-proBNP Study , ditemukan pasien yang mempunya gejala

  NYHA kelas IV dengan hiponatremia, tidak menunjukkan tanda overload cairan, seperti meningkatnya tekanan vena jugularis, ritme gallop, edema perifer atau kadar natrium darah rendah sangat banyak ditemukan pada pasien dengan gagal jantung yang parah dengan tingkat NT-proBNP (amino-terminal pro-B-type

  

natriuretic peptide ). Efek pengobatan seperti diuretik dalam pembentukan

  hiponatremia juga telah didiskusikan, meskipun pasien dengan natrium yang rendah pada studi ini tidak cenderung memakai loop diuretic saat presentasi. Menariknya, meskipun pasien dengan hiponatremia pada analisis mereka lebih banyak dengan gejala kelas IV dan NT-proBNP yang meningkat, mereka cenderung tidak menunjukkan tanda overload cairan pada riwayat penyakit mereka dan pemeriksaan fisik atau gambaran radiografi, dibandingkan dengan pasien yang mempunyai kadar natrium normal (Mohammed et al., 2010).

  Hiponatremia juga merupakan tanda meningkatnya kematian jangka pendek dan jangka panjang pada pasien dengan gagal jantung (Madan, Novak dan Rich, 2011). Suatu studi menemukan adanya hubungan bermakna antara kematian dalam rumah sakit pada pasien gagal jantung dengan kadar natrium 135-138 mmol/L, sedangkan studi lain menemukan konsentrasi natrium darah rata-rata 138 mmol/L atau kurang merupakan prediktor mortalitas karena gagalnya pemompaan pada pasien dengan gagal jantung ringan-sedang (Abraham, 2008). Pada penelitian OPTIMIZE-HF, risiko mortalitas secara signifikan mulai meningkat pada kadar natrium darah 138 mmol/L dan dua kali lipat pada pasien dengan kadar natrium darah pada tingkat 132-135 mmol/L (Gheorghiade et al, 2007). Menurut Tribouilloy et al. (2010) dalam Jao dan Chiong (2010), pada penelitian kohort prospektif (n=735) pasien gagal jantung kongestif yang baru pertama kali dihospitalisasi dengan derajat NYHA II-IV, nilai kadar natrium darah saat admisi adalah <136 meq/L, dimana merupakan prediktor independen dari 7-year mortality.