Gambaran Penerapan Pedoman Tata Laksana Gagal Jantung European Society of Cardiology Terhadap Pasien Gagal Jantung Periode Januari 2013 – Juni 2014 di RSUP H. Adam Malik
Oleh:
KHALIS HAMDANI 110100336
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2014
(2)
GAMBARAN PENERAPAN PEDOMAN TATA LAKSANA GAGAL JANTUNG EUROPEAN SOCIETY OF CARDIOLOGY TERHADAP PASIEN
GAGAL JANTUNG PERIODE JANUARI 2013 – JUNI 2014 DI RSUP H. ADAM MALIK
Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran
Oleh:
KHALIS HAMDANI 110100336
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2014
(3)
LEMBAR PENGESAHAN
GAMBARAN PENERAPAN PEDOMAN TATA LAKSANA GAGAL JANTUNG
EUROPEAN SOCIETY OF CARDIOLOGY TERHADAP PASIEN GAGAL
JANTUNG PERIODE JANUARI 2013 – JUNI 2014 DI RSUP H. ADAM MALIK Nama : Khalis Hamdani
NIM : 110100336
Pembimbing Penguji I
dr. Andika Sitepu, Sp. JP(K), FIHA Nenni Dwi Aprianti Lubis, S.P., M.Si. NIP. 197911122008011004 NIP. 197604102003122002
Penguji II
dr. Rini Savitri Daulay, M.Ked.Ped, Sp.A NIP. 197909282005012004
Medan, 20Desember 2014
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH NIP. 19540220 198011 1 001
(4)
ABSTRAK
Gagal jantung merupakan sindroma klinis yang kompleks dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Tujuan dari pengobatan pada pasien yang telah didiagnosis gagal jantung adalah untuk meringankan gejala dan tanda, mencegah rawat inap, dan meningkatkan kelangsungan hidup. Penanganan gagal jantung juga harus dilakukan dengan prosedur yang sesuai dan tepat untuk meningkatkan keberhasilan penatalaksanaan gagal jantung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan pedoman tata laksana gagal jantung
European Society of Cardiology (ESC) terhadap pasien gagal jantung kronis di
RSUP H. Adam Malik Medan.
Penelitian ini merupakan studi cross-sectionalyang bersifat deskriptif
observasional terhadap 97 data rekam medis pasien gagal jantung kronis dengan penurunan fraksi ejeksi (≤ 40%) yang datang berobat ke RSUP H. Adam Malik pada Januari 2013 – Juni 2014. Penerapan pedoman tata laksana dinilai berdasarkan: (1) peresepan obat (“ya” atau “tidak”), dan (2) guideline adherence indicator (GAI), baik GAI-3 ataupun GAI-5, dimana menghitung perbandingan
obat yang diresepkan dengan obat yang diindikasikanolehpedoman tata laksana gagal jantung ESC.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa GAI-3 dan GAI-5 yang terbanyak adalah kategori moderate, yaitu masing-masing sebanyak 45,4% dan 59,8%.
Selain itu, untuk penggunaan setiap obat yang diindikasikan adalah:ACE-i atau ARB 78,4%, Beta-blocker 61,9%, MRA 61,9%, Furosemid 89,7%, dan Digoxin 26,8%.
Penelitian ini memperlihatkan bahwa penerapan pedoman tata laksana gagal jantungEuropean Society of Cardiologydalam penatalaksanaan gagal
jantung kronis masih perlu ditingkatkan.
(5)
ABSTRACT
Heart failure is a complex clinical syndrome and a major cause of morbidity and mortality worldwide. The aim of treatment in patients who have been diagnosed with heart failure is to relieve symptoms and signs, preventing hospitalization, and improve survival. The treatment of heart failure should also be applied appropriately and properly in order to improvethe management of heart failure. This study aims to evaluate the adherence toEuropean Society of Cardiology (ESC) guidelinesfor the management of chronic heart failure patients at H. Adam Malik Hospital.
This study is an observational descriptive cross-sectional study with 97 medical record data of chronic heart failure patients with reduced ejection
fraction (≤ 40%) who visited H. Adam Malik Hospital in period of January 2013 – June 2014. The guideline adherence was assessed by: (1) drugs prescribing (“yes” or “no”), and (2) guideline adherence indicator (GAI), which considers GAI-3 or GAI-5, by calculating the proportion as the number of drugs prescribed by number of drugs indicated according to ESC guidelines.
The results showed that the predominant category of GAI-3 and GAI-5 are moderate.Furthermore, the use of each indicated drugs are: ACE-i or ARB 78,4%, Beta-blockers 61,9%, MRA 61,9%, Furosemide 89,7%, and Digoxin 26,8%.
This study demonstrate that the adherence to European Society of Cardiology guidelines for the treatment of chronic heart failure is still need to be improved.
(6)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah dan anugerah yang diberikan-Nya sepanjang hidup penulis, serta atas bimbingan, petunjuk dan rahmat-Nya yang sempurna senantiasa menyertai sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini dengan judul “Gambaran Penerapan Pedoman Tata Laksana Gagal Jantung European Society of Cardiology terhadap
Pasien Gagal Jantung Januari 2013 - Juni 2014 di RSUP H. Adam Malik”. Karya Tulis Ilmiah ini disusun dalam rangka mengajukan penelitian selanjutnya sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dalam proses penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis banyak mendapatkan dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada para pihak yang turut membantu dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini, antara lain kepada :
1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. dr. Andika Sitepu, Sp.JP(K), FIHA, selaku dosen pembimbing yang dengan sepenuh hati telah meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyusun Karya Tulis Ilmiah ini.
3. Ibu Nenni Dwi Aprianti Lubis, S.P., M.Si selaku dosen penguji I dan dr. Rini Savitri Daulay, M.Ked.Ped, Sp.A selaku dosen penguji II yang telah memberikan saran dan masukan yang membangun dalam KTI ini.
4. dr. Siska Mayasari Lubis, Sp.A, selaku dosen penasehat akademik yang telah mengarahkan dan memberi banyak masukan bagi penulis.
5. Ayahanda dr. Hamdani Oesman, M.Kes dan Ibunda drh. Falmuriati Muhammad, Nenenda Cahaya Asriati, Kakanda Fani Hamdani, Adinda Hashfi Hamdani dan Zehan Hamdani yang selalu mendukung, memberikan doa serta cinta kasihnya yang tiada henti kepada penulis.
(7)
6. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Fatma Diana yang selalu memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan Karya Tulis Ilmiah ini. Akhir kata, semoga Karya Tulis Ilmiah ini bermanfaat dan dapat dilanjutkan ke seminar hasil.
(8)
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
ABSTRAK ... iv
ABSTRACT ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
DAFTAR ISTILAH ... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan Penelitian ... 3
1.3.1. Tujuan umum ... 3
1.3.2. Tujuan khusus ... 3
1.4. Manfaat Penelitian ... 3
1.4.1. Di bidang akademik/ilmiah ... 3
1.4.2. Di bidang pelayanan kesehatan ... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1. Gagal Jantung ... 5
2.1.1. Definisi ... 5
2.1.2. Faktor risiko ... 5
2.1.3. Etiologi ... 6
2.1.4. Patofisiologi ... 7
2.1.5. Gejala dan tanda klinis ... 9
2.1.6. Diagnosis ... 11
2.1.7. Penatalaksanaan ... 12
2.1.7.1.ACE-inhibitor ... 12
2.1.7.2.ARB ... 13
2.1.7.3.Beta-blocker ... 14
2.1.7.4.MRA ... 14
2.1.7.5.Diuretik ... 15
2.1.7.6.Digitalis ... 15
2.2. Pedoman Tata Laksana Gagal Jantung ... 17
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 19
3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 19
3.2. Definisi Operasional ... 19
3.2.1. Gagal jantung ... 19
3.2.2. Penilaian penerapan pedoman tata laksana ... 20
3.2.3. ACE-inhibitor ... 23
3.2.4. ARB ... 23
(9)
3.2.6. MRA ... 23
3.2.7. Diuretik ... 24
3.2.8. Digitalis ... 24
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ... 25
4.1. Jenis Penelitian ... 25
4.2. Tempat dan Waktu penelitian ... 25
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 25
4.3.1. Populasi penelitian ... 25
4.3.2. Sampel penelitian ... 25
4.4. Metode Pengumpulan Data ... 26
4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 27
4.5.1. Metode pengolahan data ... 27
4.5.2. Metode analisis data ... 28
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 30
5.1. Hasil Penelitian ... 30
5.1.1. Deskripsi lokasi penelitian ... 30
5.1.2. Deskripsi karakteristik sampel ... 30
5.1.2.1.Umur ... 30
5.1.2.2.Jenis kelamin ... 31
5.1.2.3.Denyut jantung ... 31
5.1.2.4.Tekanan darah sistolik ... 31
5.1.2.5.Tekanan darah diastolik ... 31
5.1.2.6.Etiologi ... 32
5.1.2.7.Komorbid ... 32
5.1.2.8.Gejala dan tanda ... 33
5.1.2.9.Gambaran ekokardiografi ... 33
5.1.3. Tata laksana ... 33
5.1.3.1.Gagal jantung ... 33
5.1.3.2.Non-gagal jantung ... 34
5.1.3.3.Karakteristik pasien gagal jantung dan GAI ... 35
5.2. Pembahasan ... 37
5.2.1. Umur ... 37
5.2.2. Jenis kelamin ... 38
5.2.3. Denyut jantung ... 38
5.2.4. Tekanan darah sistolik ... 39
5.2.5. Tekanan darah diastolik ... 39
5.2.6. Etiologi ... 39
5.2.7. Komorbid ... 40
5.2.8. Gejala dan tanda ... 40
5.2.9. Gambaran ekokardiografi ... 40
5.2.10.Tata laksana ... 41
5.2.10.1.Gagal jantung ... 41
5.2.10.2.Non-gagal jantung ... 43
(10)
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 45
6.1. Kesimpulan ... 45
6.2. Saran ... 45
DAFTAR PUSTAKA ... 47
(11)
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Gejala dan tanda klinis ... 10
Tabel 3.1. Algoritma penilaian penerapan pedoman tata laksana gagal jantung ... 21
Tabel 5.1. Distribusi karakteristik berdasarkan umur ... 30
Tabel 5.2. Distribusi karakteristik berdasarkan jenis kelamin ... 31
Tabel 5.3. Distribusi karakteristik berdasarkan tekanan darah sistolik ... 31
Tabel 5.4. Distribusi karakteristik berdasarkan tekanan darah diastolik ... 32
Tabel 5.5. Distribusi karakteristik berdasarkan etiologi... 32
Tabel 5.6. Distribusi karakteristik berdasarkan komorbid ... 32
Tabel 5.7. Distribusi karakteristik berdasarkan gejala dan tanda ... 33
Tabel 5.8. Distribusi karakteristik tata laksana gagal jantung ... 33
Tabel 5.9. Distribusi karakteristik tata laksana gagal jantung berdasarkan GAI-3 dan GAI-5 ... 34
Tabel 5.10. Distribusi karakteristik tata laksana non-gagal jantung ... 34
Tabel 5.11. Distribusi karakteristik dan GAI-3 ... 36
(12)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Mekanisme kompensasi neurohormonal ...9
Gambar 2.2. Algoritma tata laksana gagal jantung kronik ...16
Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian ...19
(13)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup ... 57
Lampiran 2 Data Induk Penelitian ... 59
Lampiran 3 Hasil Output Data Penelitian ... 71
Lampiran 4 Surat Izin Studi Pendahuluan ... 99
Lampiran 5 Ethical Clearance ... 100
(14)
DAFTAR ISTILAH
ACE Angiotensin converting enzyme
ACE-i Angiotensin converting enzyme inhibitor
AF Atrial fibrilasi
AHA American Heart Association
AKI Acute kidney injury
AngI Angiotensin I
AngII Angiotensin II
ARB Angiotensin receptor blocker
AT1 AngiotensinII type Ireceptor
AV Atrioventrikular
BNP B-type natriuretic peptides
BPH Benign prostatic hyperplasia
CAD Coronary artery disease
CHD Congenital heart disease
CKD Chronic kidney disease
DM Diabetes melitus
EKG Elektrokardiografi
ESC European Society of Cardiology
GAI Guideline adherence indicator
GI Gastrointestinal
HHD Hipertensive heart disease
ISDN Isosorbid dinitrat
ISPA Infeksi saluran nafas akut
IQR Interquartile range
LV Left ventricle
MRA Mineralocorticoid receptor antagonist
NT-proBNP N-terminal pro-B-Natriuretic peptide
NYHA New York Heart Association
OAD Oral antidiabetic drug
OP Orthopnoea
(15)
PPOK Penyakit paru obstruktif kronis RAA Renin-angiotensin-aldosteron SVT Supraventrikular takikardi TVJ Tekanan vena jugularis
(16)
ABSTRAK
Gagal jantung merupakan sindroma klinis yang kompleks dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Tujuan dari pengobatan pada pasien yang telah didiagnosis gagal jantung adalah untuk meringankan gejala dan tanda, mencegah rawat inap, dan meningkatkan kelangsungan hidup. Penanganan gagal jantung juga harus dilakukan dengan prosedur yang sesuai dan tepat untuk meningkatkan keberhasilan penatalaksanaan gagal jantung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan pedoman tata laksana gagal jantung
European Society of Cardiology (ESC) terhadap pasien gagal jantung kronis di
RSUP H. Adam Malik Medan.
Penelitian ini merupakan studi cross-sectionalyang bersifat deskriptif
observasional terhadap 97 data rekam medis pasien gagal jantung kronis dengan penurunan fraksi ejeksi (≤ 40%) yang datang berobat ke RSUP H. Adam Malik pada Januari 2013 – Juni 2014. Penerapan pedoman tata laksana dinilai berdasarkan: (1) peresepan obat (“ya” atau “tidak”), dan (2) guideline adherence indicator (GAI), baik GAI-3 ataupun GAI-5, dimana menghitung perbandingan
obat yang diresepkan dengan obat yang diindikasikanolehpedoman tata laksana gagal jantung ESC.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa GAI-3 dan GAI-5 yang terbanyak adalah kategori moderate, yaitu masing-masing sebanyak 45,4% dan 59,8%.
Selain itu, untuk penggunaan setiap obat yang diindikasikan adalah:ACE-i atau ARB 78,4%, Beta-blocker 61,9%, MRA 61,9%, Furosemid 89,7%, dan Digoxin 26,8%.
Penelitian ini memperlihatkan bahwa penerapan pedoman tata laksana gagal jantungEuropean Society of Cardiologydalam penatalaksanaan gagal
jantung kronis masih perlu ditingkatkan.
(17)
ABSTRACT
Heart failure is a complex clinical syndrome and a major cause of morbidity and mortality worldwide. The aim of treatment in patients who have been diagnosed with heart failure is to relieve symptoms and signs, preventing hospitalization, and improve survival. The treatment of heart failure should also be applied appropriately and properly in order to improvethe management of heart failure. This study aims to evaluate the adherence toEuropean Society of Cardiology (ESC) guidelinesfor the management of chronic heart failure patients at H. Adam Malik Hospital.
This study is an observational descriptive cross-sectional study with 97 medical record data of chronic heart failure patients with reduced ejection
fraction (≤ 40%) who visited H. Adam Malik Hospital in period of January 2013 – June 2014. The guideline adherence was assessed by: (1) drugs prescribing (“yes” or “no”), and (2) guideline adherence indicator (GAI), which considers GAI-3 or GAI-5, by calculating the proportion as the number of drugs prescribed by number of drugs indicated according to ESC guidelines.
The results showed that the predominant category of GAI-3 and GAI-5 are moderate.Furthermore, the use of each indicated drugs are: ACE-i or ARB 78,4%, Beta-blockers 61,9%, MRA 61,9%, Furosemide 89,7%, and Digoxin 26,8%.
This study demonstrate that the adherence to European Society of Cardiology guidelines for the treatment of chronic heart failure is still need to be improved.
(18)
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Gagal jantung merupakan sindroma klinis yang kompleks dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia (Bleumink, et al., 2004). Gagal jantung, secara klinis, didefinisikan sebagai suatu sindrom dengan gejala yang khusus seperti sesak nafas, kelelahan, edema pre-tibial dan tanda seperti peningkatan tekanan vena jugularis, ronki basah, dan displace apex beat yang
disebabkan oleh kelainan struktur dan fungsi jantung (McMurray, et al., 2012). Di dunia, 23 juta jiwa mengalami gagal jantung (Mann, 2012). Penderita gagal jantung di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 5,1 juta jiwa dan prevalensi gagal jantung meningkat dengan bertambahnya usia. Prevalensi gagal jantung di Amerika Serikat sekitar 1-2% untuk usia 45-54 tahun dan lebih dari 6% untuk usia di atas 65 tahun (Go, et al., 2013). Penelitian yang dilakukan di Rotterdam, Belanda, juga melaporkan bahwa prevalensi meningkat dengan bertambahnya usia, sebagai berikut: prevalensi gagal jantung 0,7% pada usia 55-64 tahun, 2,7% pada usia 65-74 tahun, 13% pada usia 75-84 tahun, dan lebih dari 10% pada usia di atas 85 tahun (Mosterd, et al., 1999).
Cowie, et al. (1999) juga menyatakan bahwa angka kejadian gagal jantung terus meningkat dengan bertambahnya usia. 0,02 insiden per 1000 populasi per tahun pada usia 25-34 tahun dan mencapai 11,6 insiden per 1000 populasi per tahun pada usia di atas 85 tahun. Angka kejadian gagal jantung juga lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan. Menurut Bleumink, et al. (2004) 5-year survival rate gagal jantung hanya 35%. Stewart, et al. (2001) juga melaporkan
bahwa angka kematian karena gagal jantung lebih tinggi daripada kanker prostat, payudara, kolon, kandung kemih.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riskesdas (2013), prevalensi gagal jantung sekitar 0,13%. Prevalensi di Sumatera Utara sendiri sekitar 0,13% dengan prevalensi tertinggi pada penderita usia 65-74 tahun. Menurut Sumartono, Sirait,Holy dan Thabrany (2011) prevalensi gagal jantung sekitar 3,9% yang
(19)
sebelumnya belum pernah terdiagnosis dengan prevalensi tertinggi pada penderita usia di atas usia 75 tahun.
Gagal jantung merupakan manifestasi terakhir dan terburuk yang dapat terjadi pada hampir semua jenis penyakit jantung seperti infark miokard, penyakit jantung koroner, penyakit katup jantung, hipertensi, penyakit jantung bawaan dan kardiomiopati (Chatterjee dan Fifer, 2011). Semua kondisi yang dapat menyebabkan perubahan pada stuktur dan fungsi jantung dapat menjadi faktor predisposisi untuk berkembang menjadi gagal jantung. Penyakit jantung koroner menjadi penyebab utama pada 60-75% kasus gagal jantung dan hipertensi menjadi faktor komorbid utama pada 75% pasien (Mann, 2012). Menurut Cowie, et al. (1999) etiologi utama gagal jantung disebabkan penyakit jantung koroner sebanyak 36%, tidak diketahui 34%, hipertensi 14%, penyakit jantung katup 7%, fibrilasi atrium 5%, lain-lain 5%.
Penanganan gagal jantungrumit, sehinggasetiap doktermembutuhkan pengalaman dan pengetahuan tentang pedoman tata laksana yang berlaku saat ini (Shoukat, et al., 2011). Tujuan dari pengobatan pada pasien yang telah didiagnosis gagal jantung adalah untuk meringankan gejala dan tanda (seperti edema), mencegah rawat inap, dan meningkatkan kelangsungan hidup (McMurray, et al., 2012). Penanganan gagal jantung juga harus dilakukan dengan prosedur yang sesuai dan tepat untuk meningkatkan keberhasilan penatalaksanaan pasien gagal jantung (Maggioni, et al., 2013).
Walaupun ketersediaan pedoman tata laksana gagal jantung yang lengkap secara luas, penatalaksaan gagal jantung yang dilakukan oleh dokter masih kurang optimal (Shoukat, et al., 2011). Padahaldalam penelitian yang dilakukan oleh Komajda, et al. (2005) menyatakan bahwa kepatuhan terhadap penerapan pedoman tata laksana gagal jantung menjadi prediktor yang kuat terhadap kurangnya kejadian rawat inap.
Pedoman tatalaksana gagal jantung European Society of Cardiology(McMurray, et al., 2012) merekomendasikan beberapa pengobatan
terhadap pasien gagal jantung, sebagai contohnya, Beta-blocker, ACE-inhibitor (Angiotensin receptor blocker, jika tidak toleran terhadap ACE-i) dan
(20)
Mineralocorticoid/aldosteron receptor antagonists. Beta-blocker dan
ACE-inhibitor harus segera diberikan apabila telah didiagnosis gagal jantung. Obat diuretik juga dapat diberikan pada pasien yang mengalami tanda dan gejala kongestif.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas dan belum adanya penelitian penerapan pedoman tatalaksana gagal jantung european society of cardiology
yang dilakukan di Indonesia. Maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul, penerapan pedoman tatalaksana gagal jantung european society of cardiology terhadap pasien gagal jantung di RSUP H. Adam Malik Medan.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana penerapan pedoman tatalaksana gagal jantung european society of cardiology terhadap pasien gagal jantung di RSUP H. Adam Malik
Medan?
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum
Mengetahui penerapan pedoman tatalaksana gagal jantung European Society of Cardiology terhadap pasien gagal jantung di RSUP H. Adam Malik Medan.
1.3.2. Tujuan khusus
1. Mengetahui karakteristik pasien gagal jantung di RSUP H. Adam Malik Medan.
2. Mengetahui tata laksana gagal jantung di RSUP H. Adam Malik Medan. 1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Di bidang akademik/ilmiah
1. Sebagai bahan bacaan dan pengajaran terutama dalam hal penatalaksanaan gagal jantung.
2. Hasil penelitian ini dapat menjadi titik tolak serta sebagai sumber referensi dalam menambah literatur studi untuk penelitian berikutnya.
(21)
1.4.2. Di bidang pelayanan kesehatan
Sebagai bahan bacaan dan referensi bagi dokter untuk meningkatkan kualitas dalam penatalaksanaan gagal jantung.
(22)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gagal Jantung
2.1.1. Definisi
Gagal jantung, secara klinis, didefinisikan sebagai suatu sindrom dengan gejala yang khusus seperti sesak nafas, kelelahan, edema pre-tibial dan tanda seperti peningkatan tekanan vena jugularis, ronki basah, dan displace apex beat
yang disebabkan oleh kelainan struktur dan fungsi jantung (European Society of Cardiology, 2012).
2.1.2. Faktor risiko
Beberapa keadaan dapat berhubungan dengan kecenderungan terhadap penyakit jantung struktural seperti usia, hipertensi, diabetes melitus, obesitas, sindrom metabolik, penyakit jantung koroner, infark miokard, hipertropi ventrikel kiri, anemia, kelainan jantung katup dan kardiomiopati.Yancy, et al. (2013) menyebutkan hipertensi, diabetes melitus, sindrom metabolik, dan penyakit aterosklerotik merupakan faktor risiko yang penting untuk gagal jantung.
Kejadian gagal jantung lebih sering pada pasien yang menderita hipertensi kronis dan usia lanjut. Hipertensi dapat menjadi berkembang penyakit jantung dan gagal jantung melalui dua cara, yaitu hipertrofi ventikel kiri dan penyakit jantung koroner. Walaupun risiko gagal jantung karena hipertensi lebih sedikit dibandingkan dengan penyakit jantung koroner, tetapi hipertensi lebih sering ditemukan daripada miokard. Pengobatan hipertensi jangka panjang dapat menurunkan risiko gagal jantung sekitar 50% (Mosterd dan Hoes, 2007; Abrahamdan Hasan, 2007; Yancy, et al., 2013).
Pasien dengan diabetes melitus secara nyata meningkatkan kemungkinan risiko untuk berkembang menjadi gagal jantung walaupun tanpa penyakit jantung struktural sebelumnya. Diabetes mellitus juga mengganggu outcome dari tata
(23)
Pengobatan yang tepat untuk hipertensi, diabetes melitus dan dislipidemia pada pasien sindroma metabolik dapat mengurangi risiko gagal jantung secara signifikan (Yancy, et al., 2013).Pasien dengan penyakit aterosklerotik seperti pada arteri koroner, serebral, dan pembuluh darah perifer, dapat berkembang menjadi gagal jantung dan harus dikontrol risiko vaskularnya (Yancy, et al., 2013).Pada penelitian yang dilakukan oleh Brouwers, et al. (2013), selama follow-up, gagal
jantung terjadi pada usia lebih tua, cenderung laki-laki dan memiliki BMI, tekanan darah, dan denyut jantung yang tinggi, penurunan fungsi ginjal dan memiliki faktor risiko kardiovaskular seperti hipertensi, diabetes melitus, dan hiperkolesterolemia.
2.1.3. Etiologi
Etiologi gagal jantung dapat dikelompokkan karena gangguan kontraktilitas ventrikel, peningkatan afterload, dan gangguan relaksasi dan
pengisian ventrikel. Gagal jantung yang disebabkan karena gangguan kontraktilitas ventrikel dan peningkatan afterload yang kronis disebut dengan
gagal jantung sistolik (gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi), sedangkan gagal jantung yang disebakan karena gangguan relaksasi dan pengisian ventrikel disebut dengan gagal jantung diastolik (gagal jantung tanpa penurunan fraksi ejeksi) (Chatterjee dan Fifer, 2011).
Gangguan kontraktilitas ventrikel pada gagal jantung dengan penurunan ejeksi fraksi dapat disebabkan oleh penyakit jantung koroner seperti infark miokard atau iskemik miokard transient, volume overload yang kronis seperti
regurgitasi mitral atau regurgitasi aorta dan dilated cardiomyopathies. Sedangkan
gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi karena peningkatan afterload dapat
disebabkan oleh stenosis aorta yang sudah lanjut dan hipertensi yang tidak terkontrol (Chatterjee dan Fifer, 2011).
Gagal jantung diastolik (gagal jantung tanpa penurunan ejeksi fraksi) karena gangguan relaksasi dan pengisian ventrikel dapat disebabakan olehhipertropi ventrikel kiri, restrictive cardiomyopathy, fibrosis miokard,
(24)
Yancy, et al. (2013) menyebutkan beberapa penyebab gagal jantung karena abnormalitas struktur jantung seperti dilated cardiomyopathies, familial cardiomyopathies, kardiomiopati karena penyebab endokrin dan metabolik
(obesitas, diabetes, penyakit tiroid, akromegali dan insuffisiensi growth hormon),
toxic cardiomyopathy (alkoholik, kokain, terapi kanker), tachycardia-induced cardiomyopathy, miokarditis dan kardiomiopati karena inflammasi (miokarditis,
AIDS, penyakit chagas), inflammation-induced cardiomyopathy (miokarditis
hipersensitivitas, reumatologik), kardiomiopati peripartum, kardiomiopati karena kelebihan besi, amyloidosis, sarkoidosis jantung, stress (takotsubo) cardiomyopathy. Menurut Cowie, et al. (1999) etiologi utama gagal jantung
disebabkan penyakit jantung koroner sebanyak 36%, tidak diketahui 34%, hipertensi 14%, penyakit jantung katup 7%, fibrilasi atrium 5%, lain-lain 5%. 2.1.4. Patofisiologi
Beberapa mekanisme kompensasi terjadi pada penderita gagal jantung untuk menanggulangi akibat dari penurunan curah jantung dan membantu menjaga tekanan darah untuk perfusi ke organ vital (Triposkiadis, et al., 2009; Chatterjee dan Fifer, 2011; Mann, 2012).
Mekanisme Frank-Starling merupakan salah satu kompensasi yang terjadi pada jantung ketika ventrikel tidak mampu memompa secara adekuat, sehingga isi sekuncup lebih rendah dari normal. Isi sekuncup yang rendah ini menyebabkan volume yang tersisa setelah kontraksi jantung (end-systolic volume) menjadi lebih
banyak, sehingga darah yang akan berada di dalam ventrikel selama fase diastolik akan lebih banyak. Volume yang tinggi pada fase diastolik ini menyebabkan peningkatan regangan miofiber di jantung yang akan menginduksi kontraksi yang lebih kuat, sehingga isi sekuncup lebih besar. Tetapi mekanisme ini tidak dapat terpenuhi pada kasus gagal jantung yang sudah parah (Triposkiadis, et al., 2009; Chatterjee dan Fifer, 2011; Mann, 2012).
Mekanisme neurohormonal juga teraktivasi sebagai kompensasi terhadap penurunan fungsi miokard dan untuk menjaga homeostasis kardiovaskular. Beberapa mekanisme neurohormonal ini adalah sistem saraf simpatis, sistem
(25)
renin-angiotensin-aldosteron, sistem sitokin (Triposkiadis, et al., 2009; Chatterjee dan Fifer, 2011; Mann, 2012).
Penurunan curah jantung yang terjadi pada gagal jantung akan mengaktifkan sistem saraf simpatis. Regulasi sistem saraf simpatis ini diatur oleh baroreseptor pada arcus aorticus dan sinus carotid, baroreseptor kardiopulmonari,
cardiovascular low-threshold polymodal receptor, dan peripheral chemoreceptors. Ketika terjadi penurunan curah jantung, aktivitas baroreseptor
yang berada pada arcus aorticus dan sinus carotid berkurang terhadap curah jantung, sehingga sinyal afferen yang dihantarkan melalui N.XII dan N.X ke sistem saraf pusat pada pusat kardiovaskular di medulla oblongata berkurang. Berkurangnya sinyal ini menyebabkan berkurangnya respon parasimpatis, sehingga terjadi peningkatan respon simpatis seperti peningkatan denyut jantung, penigkatan kontraktilitas jantung, penurunan kapasitas vena dan vasokonstriksi pembuluh darah melalui stimulasi reseptor-α. Sinyal effren dari aktivasi respon simpatis berjalan melalui saraf autonomik atau somatis (Triposkiadis, et al., 2009; Chatterjee dan Fifer, 2011; Mann, 2012).
Peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas oleh stimulasi reseptor β1 -adrenergik akan meningkatkan curah jantung. Vasokonstriksi vena akan meningkatkan jumlah darah yang kembali ke jantung, sehingga memperbesar
preload dan peningkatan isi sekuncup melalui mekanisme Frank-Starling.
Vasokonstriksi arteri akan meningkatkan tahanan sirkulasi perifer, sehingga mekanisme ini semua akan membantu menjaga tekanan darah untuk mempertahan kan perfusi ke organ-oragan vital (Triposkiadis, et al., 2009; Chatterjee dan Fifer, 2011; Mann, 2012).
Selain mekanisme sistem saraf simpatis, sistem RAA juga diaktivasi kemudian pada gagal jantung. Mekasnisme ini teraktivasi oleh karena beberapa kondisi seperti: (1) hipoperfusi ginjal, (2) berkurangnya filtrasi natrium mencapai macula densa pada tubulus distal, (3) stimulasi reseptor-β2 jukstaglomerulus karena aktivasi sistem saraf simpatis. Sehingga akan menyebabkan peningkatan sekresi renin dari sel jukstaglomerulus (Triposkiadis, et al., 2009; Chatterjee dan Fifer, 2011; Mann, 2012).
(26)
Renin berfungsi untuk memecah angiotensin menjadi angiotensin I (AngI), yang kemudian akan dipecah lagi oleh angiotensin converting enzyme (ACE) membentuk angiotensin II. Angiotensin II (AngII) merupakan vasokonstriktor yang poten, sehingga meningkatkan tahanan sirkulasi perifer untuk mempertahankan tekanan darah. AngII juga berperan dalam peningkatan tekanan intravaskular dengan cara merangsang pusat haus di hipotalamus dan merangsang korteks adrenal untuk meningkatkan sekresi aldosteron (Triposkiadis, et al., 2009; Chatterjee dan Fifer, 2011; Mann, 2012).
Mekanisme kompensasi neurohormonal ini pada awalnya bermanfaat, tetapi aktivasi jangka panjang mempunyai efek yang merusak terhadap struktur dan kondisi jantung, sehingga memperburuk gagal jantung itu sendiri (Triposkiadis, et al., 2009; Chatterjee dan Fifer, 2011; Mann, 2012).
Gambar 2.1. Mekanisme kompensasi neurohormonal (Mann, 2012) 2.1.5. Gejala dan tanda klinis
Dispnoea merupakan gejala yang paling jelas pada penderita gagal jantung, terutama saat sedang melakukan kegiatan. Dispnoea terjadi karena peningkatan tekanan vena pulmonari lebih dari 20 mmHg sehingga menyebakan cairan bergeser ke jaringan interstisium paru dan kongesti parenkim paru. Hal ini menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga meningkatkan usaha
pernafasan. Penumpukan cairan ke interstitial juga akan menekan dinding bronkiolus dan alveolus yang akan meningkatkan tahanan terhadap laju udara.
(27)
Dispnoea juga dapat terjadi, walaupun tanpa ada kongesti di paru, karena penurunan pasokan darah ke otot-otot respiratori dan juga penumpukan asam laktat (Chatterjee dan Fifer, 2011).
Orthopnoea adalah sesak nafas yang dirasakan ketika penderita dalam posisi berbaring dan membaik ketika duduk. Hal ini terjadi karena redistribusi cairan intravaskular dari abdomen dan ekstremitas bawah menuju ke paru setelah berbaring (Chatterjee dan Fifer, 2011).
Paroxysmal nocturnal dispnoea adalah sesak nafas yang terjadi ketika penderita telah tertidur sekitar 2-3 jam. Gejala ini timbul karena reabsorbsi cairan interstitial pada edema ekstremitas bawah ke dalam sirkulasi, sehingga meningkatkan cairan intravaskular dan meningkatkan preload (Chatterjee dan
Fifer, 2011).
Gejala lain yang dapat dijumpai adalah seperti gangguan mental status karena hipoperfusi ke jaringan otak. Gangguan produksi juga terjadi pada penderita, seperti nocturia karena peningkatan perfusi darah ke ginjal ketika berbaring. Periferal edema dan nyeri perut terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatik vena (Chatterjee dan Fifer, 2011).
Tanda klinis yang dapat dijumpai pada penderita gagal jantung adalah seperti diaforesis, takikardia, takipnoea, ronki basah, S3 gallop, S4 gallop, peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali (Chatterjee dan Fifer, 2011). Tabel 2.1. Gejala dan tanda klinis (McMurray, et al., 2012)
Gejala
Khas Kurang khas
Dispnoea Batuk malam hari
Orthopnoea Mengi
Paroxysmal nocturnal dispnoea Peningkatan berat badan (>2kg/minggu) Toleransi aktivitas berkurang Penurunan berat badan (pada gagal jantung tingkat lanjut)
Lelah, letih Kembung
Edema pre-tibial Hilang nafsu makan
Kebingungan Depresi Palpitasi
Pingsan Tanda
(28)
Peningkatan TVJ Edema perifer (tibial, sakral, skrotal)
Reflux hepatojugular Ronki basah
S3 gallop (irama gallop) Efusi pleura
Laterally displaced apical impulse Takikardia
Bising jantung Aritmia
Takipnoea (>16x/min) Hepatomegali
Asites
Cachexia 2.1.6. Diagnosis
Diagnosis gagal jantung ditentukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lain seperti ekokardiografi, elektrokardiografi, chest x-ray
dan pemeriksaan natriuretik peptida. Berdasarkan sistematik review yang dilakukan oleh Jant, et al. (2009), banyak dari gejala dan tanda yang dapat muncul pada pasien gagal jantung memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang bervariasi. Misalnya dispnoea merupakan gejala yang hanya memiliki sensitivitas tinggi 87% dibandingkan gejala dan tanda yang lain, tetapi hanya memiliki spesifisitas 51%. Sedangkan gejala klinis yang lain memiliki spesifisitas yang tinggi, tetapi sensitivitas yang rendah, seperti orthopnoea 89%, edema 72%, peningkatan tekanan vena jugularis 70%, kardiomegali 85%, suara jantung tambahan 99%, ronki basah 81%, dan hepatomegali 97%. Dengan sensitivitas masing-masing 44% (orthopnoea), 53% (edema), 52% (peningkatan TVJ), 27% (kardiomegali), 11% (suara jantung tambahan), 51% (ronki basah), 17% (hepatomegali). Selain gejala klinis yang telah disebutkan, riwayat infark miokard juga memiliki spesifisitas yang tinggi sekitar 89%, tetapi sensitivitas yang hanya 26%.
Elektrokardiografi digunakan untuk menentukan ritme jantung, denyut jantung, morfologi dan durasi QRS dan kelainan lain yang dapat terdeteksi. EKG juga digunakan untuk membantu dalam menentukan penatalaksanaan. EKG yang normal dapat menyingkirkan kemungkinan gagal jantung sistolik (McMurray, et al., 2012). Jant, et al. (2009) EKG memilikki sensitivitas yang tinggi sekitar 89%, sedangkan spesifisitasnya hanya 56%.
Pemeriksaan B-type natriuretic peptides (BNP) juga memiliki sensitivitas
(29)
BNP tidak dapat menegakkan diagnosis gagal jantung, tetapi kadar BNP yang normal dapat menyingkirkan diagnosis gagal jantung. Pemeriksaan natriuretik peptida lain seperti N-terminal pro-B-Natriuretic peptide (NT-proBNP) juga
memiliki sensitivitas yang tinggi 93% dan spesifisitas yang bervariasi, tetapi spesifisitas yang lebih rendah daripada BNP (Jant, et al., 2009).
Chestx-ray memiliki spesifisitas sekitar 76-83% dan sensitivitas sekitar
67-68%. Penemuan chest x-ray yang abnormal dapat membantu dalam menegakkan diagnosis, tetapi chest x-ray yang normal tidak dapat menyingkirkan diagnosis gagal jantung (Jant, et al., 2009).
Ekokardiografi merupakan alat diagnostik yang berguna dalam mendiagnosis pasien gagal jantung. Ekokardiografi ini digunakan untuk menilai struktur dan fungsi jantung, mengukur fraksi ejeksi, dalam mendiagnosis gagal jantung dan penentuan penatalaksanaannya (McMurray, et al., 2012). Menurut Jant, et al. (2009) pemeriksaan ekokardiografi harus segera dilakukan pada pasien dengan gejala klinis yang dicurigai gagal jantung dan memiliki salah satu kondisi sebagai berikut: Riwayat infark miokard, ronki basah, laki-laki dengan edema pre-tibial.
2.1.7. Penatalaksanaan
2.1.7.1. ACE-inhibitor (angiotensin converting enzyme inhibitor) Mekanisme :
Sistem renin-angiotensin berperan penting terhadap homeostasis kardiovaskular. Efektor utama ini adalah angiotensin II (AngII), yang dibentuk dari pemecahan Angiotensin I oleh ACE (angiotensin converting enzyme). ACE-i
menghambat perubahan AngI menjadi AngII, sehingga terjadi efek vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Efek vasodilatasi terjadi pada vena dan arteri, sehingga akan menurunkan preload dan afterload yang akan mengurangi beban
jantung. Berkurangnya sekresi aldosteron akan menyebabkan terjadi ekskresi air dan natrium yang juga akan mengurangi beban jantung. ACE-i juga menghambat degradasi bradikinin, substansi P dan enfekalin. Bradikinin juga berperan terhadap
(30)
efek vasodilatasi melalui stimulasi NO dan prostaglandin (Nafrialdi, 2009; Yamin, et al., 2011).
ACE-i memiliki efek samping seperti, hipotensi, batuk kering, hiperkalemia, edema angioneurotik, gagal ginjal akut, proteinuria dan efek teratogenik. Kontraindikasi penggunaan ACE-i berupa riwayat angioedema, stenosis arteri renalis bilateraldan hamil (Nafrialdi, 2009; McMurray, et al., 2012).
Efek antiremodelling:
Pembentukan AngII, sebagai respon dari stimulus patologi, berperan penting dalam proses pengembangan hipertrofi jantung yang patologis. AngII akan mengaktifkan GPCR (G-protein coupled receptor), yang akan menyebabkan
disosiasi Gαq. Aktivasi yang berlebih dari reseptor AngII AT1 dan Gαq akan menyebabkan hipertrofi jantung pada hewan percobaan yang berhubungan dengan perubahan ekspresi gen dan/atau disfungsi jantung dan kematian prematur (McMullen dan Jennings, 2007).
AngII, di otak, akan menyebabkan feedback positif dengan cara
meningkatkan jumlah reseptor AngII AT1, inhibisi NO dan meningkatkan produksi anion superoksida, sehingga akan meningkatkan laju simpatis dan perburukan gagal jantung (Triposkiadis, et al., 2009).Efek AngII terhadap perburukan gagal jantung (i.e remodelling jantung) itu sendiri akan dihambat oleh
ACE-i dengan mengurangi hipertrofi miokard dan penurunan preload (Setiawati
dan Nafrialdi, 2009).
2.1.7.2. ARB (angiotensin reseptor blocker) Mekanisme:
ARB bekerja dengan cara menghambat reseptor AngII, sehingga akan memberikan efek yang mirip dengan ACE-i. ARB tidak mempengaruhi metabolisme bradikinin, sehingga tidak memiliki efek samping batuk kering dan angioedema. ARB digunakan sebagai alternatif dari ACE-i(Nafrialdi, 2009).
(31)
Pada penelitian yang dilakukan oleh Aleksova (2012) terhadap ARB (i.e candesartan) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan yang signifikan terhadap fraksi ejeksi ventrikel kiri, penurunan diameter volumeend-diastolic ventrikel kiri,
penurunan kadar aldosteron, penurunan kadar B-natriuretic peptide.
2.1.7.3. Beta-blocker Mekanisme:
Beta-blocker menghambat efek simpatis yang terjadi karena stimulasi reseptor adrenergik-β. Stimulasi reseptor adrenergik-β1 akan meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas jantung. Tetapi efek ini akan dihambat oleh beta-blocker sehingga akan menurukan denyut jantung dan kontraktilitas jantung. Efek ini juga akan mengurangi beban jantung dan oxygen demand. Beta-blocker juga
akan menghambat pelepasan renin, dan produksi AngII dan aldosteron, dengan menghambat reseptor adrenergik-β1 yang ada pada sel jukstaglomerulus ginjal (Lόpez-Sendόn, et al., 2004; Nafrialdi, 2009).
Beta-blocker juga memiliki efek samping seperti bradikardi yang berlebihan, penurunan fungsi kontraksi ventrikel, bronkokonstriksi, memperburuk kontrol diabetes, kelelahan dan kontraindikasi pada asma dan second- atau third-degree AV block (Nafrialdi, 2009; McMurray, et al., 2012).
Efek antiremodelling:
disosiasi Gαq, yang berperan dalam proses hipertofi jantungseperti yang telah dijelaskan sebelumnya, juga dapat disebabkan oleh norepinefrin. Beberapa literatur (Engelhardt, 2005; Setiawati dan Nafrialdi, 2009;Triposkiadis, et al., 2009; van Berlo, 2013) juga menyatakan bahwa aktivasi berlebihan reseptor adrenergik-β1 akan menyebabkan hipertrofi dan apoptosis ventrikel jantung.
Bersama dengan ACE-inhibitor/ARB, beta-blocker akan memberikan efek antiremodelling. Beta-blocker juga dapat menurunkan angka kematian dan
meningkatkan fungsi sistolik jantung (Engelhardt, 2005; McMurray, et al., 2012).
(32)
Mekanisme:
MRA bekerja dengan cara menghambat reseptor aldosteron pada tubulus colligens renalis kortikal dan bagian distal akhir, sehingga mencegah sekresi K+(Ives, 2007).
MRA memiliki efek samping seperti ginekomastia, mastodinia, gangguan menstruasi, gangguan libido pada pria dan kontraindikasi pada pasien dengan hiperkalemia dan disfungsi ginjal (Nafrialdi, 2009).
Efek antiremodelling:
Spironolakton dapat mencegah remodelling matriks ekstraselular (Mann,
2012). Pada uji klinis terhadap pasien gagal jantung yang telah menerima ACE-I dan diuretik, spironolakton dapat mengurangi angka mortalitas dan memperbaiki gejala gagal jantung (Chatterjee dan Fifer, 2011). Eplerenon, MRA yang lebih spesifik, telah menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup pasien gagal jantung yang telah infark miokard akut (Chatterjee dan Fifer, 2011).
2.1.7.5. Diuretik Mekanisme:
Loop diuretic bekerja dengan menghambat simporter (kotransport) Na+
-K+-2Cl- dan menghambat resorpsi air dan elektrolit secara reversibel pada ansa Henle asenden bagian epitel tebal. Tiazid bekerja dengan cara menghambat transporter Na+-Cl- pada tubulus distal ginjal (Nafrialdi, 2009; Mann, 2012).
Efek samping loop diuretic dan thiazid adalah hipokalemia,
hiponatremia, hipomagnesemia dan hiperkalsemia (Nafrialdi, 2009). 2.1.7.6. Digitalis
Mekanisme:
Digitalis menghambat pompa Na+-K+-ATPase pada membran sel otot jantung, sehingga meningkatkan kadar Na+ intrasel. Peningkatan ini akan mengurangi pertukaran Na+-Ca+ selama repolarisasi dan relaksasi, sehingga Ca+ intrasel meningkat. Ca+ intrasel ini akan masuk ke dalam retikulum sarkoplasmik, sehingga kadar Ca+ dalam retikulum sarkoplasmik akan meningkat. Jumlah Ca+
(33)
yang banyak dalam retikulum sarkoplasmik ini akan menyebabkan kontraktilitas jantung meningkat. Efek ini disebut inotropik positif (Setiawati dan Nafrialdi, 2009).
Dalam dosis terapi (1-2 ng/mL), digitalis akan meningkatkan tonus vagal dan menurunkan aktivitas simpatis pada nodus SA dan AV. Hal ini akan menimbulkan bradikardia sinus dan/atau perpanjangan konduksi AV bahkan sampai blok AV. Efek ini disebut kronotropik negatif (Setiawati dan Nafrialdi, 2009).
(34)
2.2. Pedoman Tata Laksana Gagal Jantung
Pedoman tata laksana merupakan ringkasan dan evaluasi dari semua penelitian yang tersedia untuk membantu dokter dalam menentukan penatalaksanaan yang terbaik untuk pasien, dengan mempertimbangkan dampak dari outcome serta juga rasio risiko-manfaat sarana tata laksana tertentu
(McMurray, et al., 2012).
Sejumlah besar pedoman telah dikeluarkan oleh ESC dan juga beberapa perkumpulan oraganisasi lain seperti ACCF/AHA (American College of Cardiology Foundation/American Heart Association), HFSA (Heart Failure Society of American), CCS (Canadian Cardiovascular Society), dan (ISHLT) International Society for Heart and Lung Transplantation.
Penerapan pedoman tata laksana gagal jantung berpengaruh terhadap
outcome secara positif. Komajda, et al. (2005) menyebutkan bahwa kepatuhan
terhadap penerapan pedoman tata laksana gagal jantung menjadi prediktor yang kuat terhadap kurangnya kejadian rawat inap. Penerapan farmakoterapi yang baik berkaitan dengan prognosis yang lebih baik pada pasien gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi, terlepas dari umur dan jenis kelamin (Störk, et al., 2008). Penerapan pedoman gagal jantung akut yang terdekompensasi menunjukkan penurunan angka kematian, jangka waktu yang pendek, dalam tiga bulan (Braun, et al., 2009). Richardson, et al. (2010) juga menyatakan penurunan angka kematian pada usia lanjut dengan sebesar ≤ 6,1% dan angka kematian sekitar 20% pada pasien tanpa pengobatan. Menurut Frankenstein, et al. (2010), peningkatan penatalaksanaan berdasarkan pedoman tata laksana menurunkan angka kematian 1 tahun menjadi 14,1-4,8% antara tahun 1994-2000 dan 2001-2007, dan angka kematian 3 tahun menjadi 29,5-10,9%.Zugck, et al.(2012) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa penerapan GAI-3 yang baik diprediksi memberikan perubahan yang menguntungkan terhadap fraksi ejeksi ventrikel kiri dan diameter
end-diastolic diameter setelah 1 tahun.Pada penelitian yang dilakukan oleh Yoo,
et al. (2014) juga menyatakan bahwa penerapan pedoman tata laksana gagal jatung berhubungan dengan outcome yang lebih baik.
(35)
Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan itu juga, maka penerapan pedoman tata laksana merupakan hal yang penting dalam penatalaksanaan terhadap pasien gagal jantung. Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui bagaimana penerapan pedoman tata laksana gagal jantung dalam dunia klinis (Komajda, et al., 2005; Reibis, et al., 2006; Peters-Klimm, et al., 2008; Erhardt, et al., 2008; Störk, et al., 2008; Braun, et al., 2009; Frankenstein, et al., 2010; Maggioni, et al., 2010; Shoukat, et al., 2011; Zugck, et al., 2012; Maggioni, et al., 2013; Maggioni, et al., 2013; Yoo, et al., 2014; Ajuluchukwu, Anyika dan Raji, 2014).
(36)
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penulisan karya tulis ilmiah yang telah diuraikan sebelumnya, maka kerangka konsep penelitian ini adalah sebagai berikut :
Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian 3.2. Definisi Operasional
3.2.1. Gagal jantung a. Definisi :
Gagal jantung adalah sindroma klinis akibat kelainan struktur dan fungsi jantung yang terjadi secara kronis dan dengan penurunan fraksi
Pedoman tatalaksana gagal jantung European Society of Cardiology 2012
− ACE-inhibitor/ARB
− Beta-blocker
− MRA
− Diuretik
− Digitalis
Penerapan pedoman tata laksana gagal jantung European Society of Cardiology 2012
(37)
ejeksi ≤ 40% yangdidiagnosis berdasarkan anamnesis (penyakit jantung terdahulu), gejala klinis(tabel tanda dan gejala), dan pemeriksaan ekokardiografi (penurunan fraksi ejeksi ≤ 40%).
b. Alat ukur : Rekam Medis. c. Hasil pengukuran :
Hasil pengukuran dinyatakan dengan dua cara
- Ya Pasien didiagnosis gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi ≤ 40% berdasarkan anamnesis, gejala klinis dan pemeriksaan ekokardiografi oleh dokter.
- Tidak Pasien tidak didiagnosis gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi ≤ 40% berdasarkan anamnesis, geja la klinis dan pemeriksaan ekokardiografi oleh dokter.
d. Skala ukur : Pengukuran dinyatakan dalam skala nominal. 3.2.2. Penilaian penerapan pedoman tata laksana
a. Definisi :
Penilaian terhadap dokter dalam menerapkan pedoman tata laksana gagal jantung ESC 2012, berdasarkan kriteria yang diindikasikan oleh ESC, dalam penggunaan ACE-inhibitor/ARB, Beta-blocker, Mineralocorticoid receptor antagonist, Diuretik, Digitalis (Komajda, et al., 2005).
b. Alat ukur :
1) ‘Algoritma penilaian penerapan pedoman tata laksana gagal jantung’.
2) Guideline adherence indicator-3 (GAI-3).
3) Guideline adherence indicator-5 (GAI-5).
c. Cara ukur :
1) Menggunakan algoritma pada tabel 3.1. untuk menentukan apakah obat yang direkomendasikan ESC diresepkan kepada pasien (Komajda, et al., 2005).
(38)
Tabel 3.1. Algoritma penilaian penerapan pedoman tata laksana gagal jantung (Komajda, et al., 2005; Störk, et al., 2008)
Kelas terapi Kriteria penerapan pedoman tata laksana gagal jantung
Hasil ukur penerapan pedoman tata laksana
gagal jantung ACE-inhibitor /
ARB
APABILA NYHA kelas II-IV, MAKA pedoman dapat diterapkan
APABILA pedoman dapat diterapkan DAN ACE-i/ARB diresepkan, MAKA penerapan pedoman terpenuhi
APABILA pedoman dapat diterapkan DAN ACE-i/ARB ‘TIDAK’ diresepkan, MAKA penerapan pedoman tidak terpenuhi
Beta-blocker APABILA NYHA kelas II-IV, DAN ‘TIDAK’ terdiagnosis asma, MAKA pedoman dapat diterapkan
APABILA pedoman dapat diterapkan DAN Beta-blocker diresepkan, MAKA penerapan pedoman terpenuhi
APABILA pedoman dapat diterapkan DAN Beta-blocker ‘TIDAK’ diresepkan, MAKA penerapan pedoman tidak terpenuhi
MRA APABILA NYHA kelas II-IV,
MAKA pedoman dapat diterapkan
APABILA pedoman dapat diterapkan DAN MRA diresepkan, MAKA penerapan pedoman terpenuhi
APABILA pedoman dapat diterapkan DAN MRA ‘TIDAK’ diresepkan, MAKA penerapan pedoman tidak terpenuhi
Diuretik APABILA NYHA kelas II-IV, DAN ‘YA’ dispnoea atau edema, MAKA pedoman dapat diterapkan
APABILA pedoman dapat diterapkan DAN Diuretik diresepkan, MAKA penerapan pedoman terpenuhi
APABILA pedoman dapat diterapkan DAN Diuretik ‘TIDAK’ diresepkan, MAKA penerapan pedoman tidak terpenuhi
(39)
Kelas terapi Kriteria penerapan pedoman tata laksana gagal jantung
Hasil ukur penerapan pedoman tata laksana
gagal jantung Digitalis APABILA NYHA kelas II-IV, DAN
‘TIDAK’ bradikardi (<50x/menit), MAKA pedoman dapat diterapkan
APABILA pedoman dapat diterapkan DAN Digitalis diresepkan, MAKA penerapan pedoman terpenuhi
APABILA pedoman dapat diterapkan DAN Digitalis ‘TIDAK’ diresepkan, MAKA penerapan pedoman tidak terpenuhi
2) Menghitung perbandingan obat yang diresepkan dengan obat yang diindikasikanberdasarkan 3 kelas terapi (yaitu, ACE-i/ARB, Beta-blocker, MRA) pada setiap pasien(Komajda, et al., 2005):
0/3[0%]; 1/3[33%]; 2/3[67%]; 3/3[100%]
3) Menghitung perbandingan obat yang diresepkan dengan obat yang diindikasikan berdasarkan 5 kelas terapi(yaitu, ACE-i/ARB, Beta-blocker, MRA, Diuretik, Digitalis) pada setiap pasien(Komajda, et al., 2005):
0/5[0%]; 1/5[20%]; 2/5[40%]; 3/5[60%]; 4/5[80%]; 5/5[100%] d. Hasil ukur :
1) Ya () / Tidak ()
2) - High adherence (100%), - Moderate adherence (50-67%), - Low adherence (0-33%). 3) - High adherence (80-100%),
- Moderate adherence (40-60%), - Low adherence (0-20%). e. Skala ukur :
1) Pengukuran dinyatakan dalam skala nominal. 2) Pengukuran dinyatakan dalam skala ordinal. 3) Pengukuran dinyatakan dalam skala ordinal.
(40)
3.2.3. ACE-inhibitor
a. Defisini : Obat penghambat Angiotensin-converting enzyme.
b. Sediaan : Captopril, Enalapril, Lisinopril, Ramipril, Trandolapril.
c. Alat ukur : Rekam medis. d. Hasil pengukuran : Ya () / Tidak ()
e. Skala ukur : Pengukuran dinyatakan dalam skala nominal. 3.2.4. ARB (angiotensin receptor blocker)
a. Definisi : - Obat penghambat reseptor angiotensin II
- ARB digunakan sebagai terapi alternatif kepada pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap ACE-inhibitor.
b. Sediaan : Candesartan, Valsartan, Losartan. c. Alat ukur : Rekam medis.
d. Hasil pengukuran : Ya () / Tidak ()
e. Skala ukur : Pengukuran dinyatakan dalam skala nominal. 3.2.5. Beta-blocker
a. Definisi : Obat penghambat adrenoseptor β.
b. Sediaan : Bisoprolol, Carvedilol, Metoprolol succinate, Nebivolol.
c. Alat ukur : Rekam medis. d. Hasil pengukuran : Ya () / Tidak ()
e. Skala ukur : Pengukuran dinyatakan dalam skala nominal. 3.2.6. MRA (mineralocorticoid receptor antagonist)
a. Definisi : Obat penghambat reseptor mineralokortikoid. b. Sediaan : Spironolakton, Eplerenon.
c. Alat ukur : Rekam medis. d. Hasil pengukuran : Ya () / Tidak ()
(41)
3.2.7. Diuretik
a. Definisi : Obat untuk meningkatkan ekskresi cairan melalui urin.
b. Sediaan : Furosemide, Bumetanide, Torasemide, Bendroflumethiazide, Hydrochlorothiazide, Metolazone, Indapamidec.
c. Alat ukur : Rekam medis. d. Hasil pengukuran : Ya () / Tidak ()
e. Skala ukur : Pengukuran dinyatakan dalam skala nominal. 3.2.8. Digitalis
a. Definisi : Obat untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan mengurangi frekuensi denyut jantung.
b. Sediaan : Digoxin. c. Alat ukur : Rekam medis. d. Hasil pengukuran : Ya () / Tidak ()
(42)
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan studi cross-sectional yang bersifat deskriptif
observasional untuk menilai bagaimana penerapan pedoman tatalaksana gagal jantung european society of cardiologyterhadap pasien gagal jantung di RSUP H.
Adam Malik.
4.2. Tempat dan Waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik pada bulan Juli hingga September 2014. RSUP H. Adam Malik dipilih sebagai tempat penelitian karena merupakan rumah sakit tipe A dan menjadi rumah sakit rujukan utama untuk wilayah Sumatera Utara dan sekitarnya.
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi penelitian
Populasi target pada penelitian ini adalah semua pasien gagal jantung kronis dengan penurunan fraksi ejeksi. Sedangkan populasi terjangkau adalah pasien gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi yang datang berobat ke RSUP H. Adam Malik pada periode Januari 2013 – Juni 2014. 4.3.2. Sampel penelitian
Sampel penelitian ini merupakan pasien gagal jantung kronis dengan penurunan fraksi ejeksi yang diambil dari populasi terjangkau dan memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi berikut:
Kriteria inklusi: - Usia > 18 tahun.
- Pasien gagal jantung kronis. - Penurunan fraksi ejeksi ≤ 40%.
- Rekam medis lengkap dan ekokardiografi. - Pasien rawat jalan.
(43)
Kriteria eksklusi: - Asma.
- Hipotensi yang simtomatik (tekanan sistolik < 90 mmHg).
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini diambil dengan metode
consecutive sampling yang merupakan jenis non-probability sampling dimana
semua pasien gagal jantung yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk kriteria eksklusi dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subyek yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 2011).
Perhitungan untuk menentukan perkiraan besar sampel dengan menggunakan rumus (Madiyono, et al., 2011):
�= ��
���
��
Keterangan : n = jumlah subyek
Zα = tingkat kemaknaan α, nilai 95% = 1,96
P = proporsi keadaan yang akan dicari, P= 63% (Komajda, et al., 2005) d = tingkat ketetapan absolut yang dikehendaki, d= 10%
Q = (1-P)
Berdasarkan rumus diatas, maka jumlah sampel dalam penelitian ini adalah :
�= (�,��)
�(�,��)(�,�)
(�,�)�
�= ��,����� ≈ ��������
4.4. Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data rekam medis pasien gagal jantung yang diperoleh dari bagian instalasi
(44)
rekam medis RSUP H. Adam Malik. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi menggunakan rekam medis.
Gambar 4.1. Alur kerja penelitian 4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data
4.5.1. Metode pengolahan data
Proses pengolahan data yang diperoleh pada penelitian ini akan diproses menggunakan program SPSS (Statistic Package for Social Science) dengan
tahap-tahap sebagai berikut (Notoatmodjo, 2012): 1. Editing
Editing dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan ketepatan data.
Rekam Medis Pasien Gagal Jantung di RSUP H. Adam Malik
Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Pasien Gagal Jantung Kronis dengan Penurunan Fraksi Ejeksi
Pengolahan Data
Analisis Data
− ACE-inhibitor/ARB
− Beta-blocker
− MRA
− Diuretik
(45)
2. Coding
Selanjutnya dilakukan coding, yaitu mengubah data berbentuk kalimat atau
huruf menjadi data angka atau bilangan. 3. Data Entry
Kemudian dimasukkan ke dalam program SPSS. 4. Cleaning
Dilakukan pengecekan kembali untuk menghindari kemungkinan kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi.
5. Saving
Data yang telah dimasukkan dan telah diperiksa disimpan dalam folder. 4.5.2. Metode analisis data
Data yang telah diolah selanjutnya dilakukan analisis. Analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut (Bower, 2003; Wahyuni, 2007; Notoatmodjo, 2012):
1. Analisis Univariat (Analisis deskriptif)
Bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian.
2. Analisis bivariat
Analisis ini dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi.
Tahapan yang dilakukan dalam analisis bivariat antara lain:
a) Analisis proporsi atau presentase, dengan membandingkan distribusi silang antara dua variabel yang bersangkutan.
b) Analisis dari hasil uji statistik:
− Data nominal atau data ordinal pada kedua variabel akan dipakai uji chi-square/x2atau Fisher’s exact test (statistika non-parametrik).
− Uji ANOVA satu arah (statistika parametrik) digunakan untuk membandingkan perbedaan rata-rata pada lebih dari dua kelompok data.
(46)
− Uji Kruskal-Wallis (statistika non-parametrik) digunakan sebagai alternatif apabila asumsi terhadap uji ANOVA tidak terpenuhi.
− Dari hasil uji statistik akan dapat disimpulkan adanya hubungan dua variabel bermakna atau tidak bermakna. Nilai p<0,05 menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara dua variabel.
(47)
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Deskripsi lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di bagian Instalasi Rekam Medis Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik. Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik berlokasi di Jalan Bunga Lau No. 17, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Rumah Sakit ini merupakan rumah sakit umum pemerintah tipe A dan menjadi rumah sakit rujukan utama untuk wilayah Sumatera Utara dan sekitarnya.Total kunjungan pasien gagal jantung yang berobat rawat jalan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan selama periode 1 Januari 2013 – 30 Juni 2014 berjumlah 4.437 pasien.
5.1.2. Deskripsi karakteristik sampel
Sampel dalam penelitian ini berjumlah 97 orang. Semua sampel merupakan pasien gagal jantung yang berobat rawat jalan di Poliklinik Kardiologi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi.
5.1.2.1. Distribusi karakteristikberdasarkan umur
Umur rata-rata pasien adalah 55,64 ± 11,765 tahun dengan umur termuda adalah 19 tahun dan umur tertua adalah 80 tahun.
Tabel 5.1. Distribusi karakteristik berdasarkan umur
Umur Frekuensi (n) Persentase (%)
19-28 tahun 2 2,1
29-38 tahun 5 5,2
39-48 tahun 19 19,6
49-58 tahun 25 25,8
59-68 tahun 33 34
69-78 tahun 11 11,3
(48)
Berdasarkan tabel 5.1. dapat dilihat bahwa pasien gagal jantung terbanyak adalah kelompok usia 59-68 tahun, yaitu sebanyak 33 orang (34%). 5.1.2.2. Distribusi karakteristik berdasarkan jenis kelamin
Sebagian besar pasien gagal jantung adalah laki-laki, yaitu sebanyak 78 orang (80,4%).
Tabel 5.2.Distribusi karakteristik berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin Frekuensi (n) Persentase (%)
Laki-laki 78 80,4
Perempuan 19 19,6
5.1.2.3. Distribusi karakteristik berdasarkan denyut jantung
Denyut jantung rata-rata pasien adalah 86,28 ± 19,81kali/menit. Denyut jantung tercepat adalah 162 kali/menit, dan denyut jantung terlambat adalah 59 kali/menit.
5.1.2.4. Distribusi karakteristik berdasarkan tekanan darah sistolik
Tekanan darah sistolik rata-rata adalah 124,42 ± 23,39 mmHg. Tekanan sistolik tertinggi adalah 220 mmHg, dan tekanan sistolik terendah adalah 90 mmHg.
Tabel 5.3. Distribusi karakteristik berdasarkantekanan darah sistolik (Mancia, et al., 2013)
Tekanan Sistolik Frekuensi (n) Persentase (%)
Optimal 39 40,2
Normal 23 23,7
High Normal 15 15,5
Hipertensi Grade 1 12 12,4
Hipertensi Grade 2 6 6,2
Hipertensi Grade 3 2 2,1
Berdasarkan tabel 5.4. dapat dilihat bahwa tekanan darah sistolik yang paling banyak adalah optimal (<120 mmHg), yaitu 39 orang (40,2%).
5.1.2.5. Distribusi karakteristik berdasarkan tekanan darah diastolik
Tekanan diastolik tertinggi adalah 147 mmHg, dan tekanan diastolik terendah adalah 50 mmHg.
(49)
Tabel 5.4.Distribusi karakteristik berdasarkan tekanan darah diastolik(Mancia, et al., 2013)
Tekanan Sistolik Frekuensi (n) Persentase (%)
Optimal 42 43,3
Normal 27 27,8
High Normal 2 2,1
Hipertensi Grade 1 12 12,4
Hipertensi Grade 2 10 10,3
Hipertensi Grade 3 4 4,1
Berdasarkan tabel 5.5. dapat dilihat bahwa tekanan darah diastolik yang paling banyak adalah optimal (<80 mmHg), yaitu42 orang (43,3%). Tekanan darah diastolik rata-rata adalah 80,22 ± 16,57mmHg.
5.1.2.6. Distribusi karakteristik berdasarkan etiologi
Berdasarkan tabel 5.6. dapat dilihat bahwa etiologi gagal jantung tersering adalah CAD sebanyak 65 kasus (67%), dan etiologi HHD berjumlah 46 kasus (47,4%).
Tabel 5.5. Distribusi karakteristik berdasarkan etiologi
Etiologi Frekuensi (n) Persentase (%)
CAD 65 67
HHD 46 47,4
Kelainan katup 15 15,5
Kardiomiopati 7 7,2
CHD 2 2,1
5.1.2.7. Distribusi karakteristik berdasarkan komorbid
Berdasarkan tabel 5.7. dapat dilihat bahwa penyakit penyerta yang paling sering dijumpai adalah hipertensi, yaitu 20 kasus (20,6%). AF dan DM tipe 2 masing-masing berjumlah 19 (19,6%) dan 10 (10,3) kasus.
Tabel 5.6. Distribusi karakteristik berdasarkankomorbid
Komorbid Frekuensi (n) Persentase (%)
Atrial Fibrilasi 19 19.6
Hipertensi 20 20.6
SVT 1 1
Riwayat Stroke 3 3.1
Efusi Perikard 3 3.1
LV Trombus 2 2.1
(50)
Komorbid Frekuensi (n) Persentase (%)
ISPA 9 9,3
DM tipe 2 10 10,3
Urolithiasis 2 2,1
BPH 1 1
Hipertiroid 1 1
AKI/CKD 5 5,2
Congestive Hepatopathy 1 1
Spondilolistesis Lumbalis 1 1
Dispepsia 1 1
5.1.2.8. Distribusi karakteristik berdasarkan gejala dan tanda
Berdasarkan tabel 5.8. dapat dilihat bahwa dispnoea merupakan gejala yang paling sering yang dikeluhkan oleh 87 orang (89,7%).
Tabel 5.7. Distribusi karakteristik berdasarkan gejala dan tanda
Tanda dan Gejala Frekuensi (n) Persentase (%)
Dispnoea 87 89,7
PND 31 32
OP 20 20,6
Edema pre-tibial 18 18,6
Ronki basah 20 20,6
Peningkatan TVJ 11 11,3
Palpitasi 6 6,2
5.1.2.9. Distribusi karakteristik berdasarkan gambaran ekokardiografi
Fraksi ejeksi rata-rata pasien adalah 32,77 ± 6,12%. Fraksi ejeksi tertinggi adalah 40%, dan fraksi ejeksi terendah adalah 14,8%.
5.1.3. Tata laksana 5.1.3.1. Gagal jantung
Penggunaan obat-obat gagal jantung yang paling banyak diresepkan adalah furosemid, yaitu sebanyak 87 orang (89,7%). Penggunaan obat ACE-i/ARB sebanyak 76 orang (78,4%), Βeta-blocker dan MRA masing-masing sebanyak 60 orang (61,9%).
Tabel 5.8. Distribusi tata laksana gagal jantung
Nama Obat Frekuensi (n) Persentase (%)
ACE-i
Captopril 57 58,8
(51)
Nama Obat Frekuensi (n) Persentase (%)
Lisinopril 2 2,1
ARB
Candesartan 8 8,2
Valsartan 3 3,1
Βeta-blocker
Bisoprolol 60 61,9
MRA
Spironolakton 60 61,9
Diuretik
Furosemid 87 89,7
Digitalis
Digoxin 26 26,8
Tata laksana gagal jantung terbanyak berdasarkan GAI-3 dan GAI-5 adalah moderatemasing-masing sebanyak 44 orang (45,4%) dan 58 orang
(59,8%). Niali median GAI-3 lebih tinggi, yaitu 67% (33-100%), dibandingkan dengan GAI-5.
Tabel 5.9. Distribusi tata laksana gagal jantung berdasarkan GAI-3 dan GAI-5
Low Moderate High Median(IQR)
GAI-3 28 (28,9%) 44 (45,4%) 25 (25,8%) 67% (33-100%)
GAI-5 36 (37,1%) 58 (59,8%) 3 (3,1%) 60% (60-80%)
5.1.3.2. Non-gagal jantung
Antiplatelet merupakan obat yang banyak digunakan berdampingan dengan obat gagal jantung, yaitu pada 65 orang (66%).
Tabel 5.10. Distribusi tata laksana non-gagal jantung
Nama Obat Frekuensi (n) Persentase (%)
Antikoagulan
Warfarin 32 33
Antiplatelet
Aspirin 51 52,6
Clopidogrel 2 2,1
Aspirin+Clopidogrel 11 11,3
Nitrat Organik
ISDN 40 41,2
Statin
Simvastatin 44 45,4
Atorvastatin 1 1
Antiaritmia
Amiodarone 2 2,1
Elektrolit
(52)
Nama Obat Frekuensi (n) Persentase (%)
K L-Aspartat 4 4,1
Ca Channel-Blocker
Amlodipine 6 6,2
Analgesik
Meloxicam 2 2,1
Parasetamol 1 1
Antibiotik
Ciprofloxacin 5 5,2
Cefadroxil 2 2,1
Vitamin
B-Complex 6 6,2
C 1 1
OAD
Metformin 1 1
Glicazide 1 1
Obat batuk
Codein 2 2,1
Glyceryl Guaiacolate 1 1
Antivertigo
Beta-histine 1 1
Obat GI
Ranitidine 13 13,4
Sucralfat 3 3,1
Laxadine 4 4,1
Anxiolitik
Alprazolam 3 3,1
Clobazam 1 1
Obat Hiperurisemia
Allopurinol 3 3,1
5.1.3.3. Distribusi karakteristik pasien gagal jantung dan GAI
Komorbid hipertensi dan GAI-3, umur dan GAI-5, etiologi kardiomiopati dan GAI-5 masing-masing memiliki nilai p < 0,05.
Tabel 5.11. Distribusi karakteristik pasien gagal jantungdan GAI-3
(53)
Low n=25
Moderate n=44
High
n=28 P-values
Umurrerata, (IK) 56 (51-61,3) 56 (52,5-60) 54(50-58) 0,731 Jenis Kelamin
0,678
Laki-laki 20 (80%) 34 (77,3%) 24 (85,7%)
Perempuan 5 (20%) 10 (22,7%) 4 (14,3%)
Fraksi ejeksi 32,77 ±6,12 % 0,410
Sistol 124,42 ±23,39 mmHg 0,070
Diastol 80,22 ±16,57 mmHg 0,405
Denyut jantung 86,28 ± 19,81 kali/menit 0,963
Etiologi
CAD 15 (60%) 29 (65,9%) 21 (75%) 0,499
HHD 11 (44%) 19 (43,2%) 16 (57,1%) 0,473
Kelainan katup 7 (28%) 5 (11,4%) 3 (10,7%) 0,159
Kardiomiopati 0 5 (11,4%) 2 (7,1%) 0,276
CHD 0 1 (2,3%) 1 (3,6%) 1,000
Komorbid
AF 6 (24%) 7 (15,9%) 6 (21,4%) 0,688
Hipertensi 2 (8%) 7 (15,9%) 11 (39,3%) 0,011
DM tipe 2 4 (16%) 2 (4,5%) 4 (14,3%) 0,194
Gejala& Tanda
Dispnoea 23 (92%) 38 (86,4%) 26 (92,9%) 0,692
PND 7 (28%) 13 (29,5%) 11 (39,3%) 0,610
OP 4 (16%) 11 (25%) 5 (17,9%) 0,615
Edema pretibial 4 (16%) 8 (18,2%) 6 (21,4%) 0,876
TVJ 1 (4%) 7 (15,9%) 3 (10,7%) 0,391
Ronki Basah 5 (20%) 10 (22,7%) 5 (17,9%) 0,880
Palpitasi 1 (4%) 4 (9,1%) 1 (3,6%) 0,652
Tabel 5.12. Distribusi karakteristik pasien gagal jantung dan GAI-5
Guideline adherence indicator-5 Low n=3 Moderate n=58 High n=36 P-values Umurrerata, (IK) 69(55,6-83,0) 56,6(53,3-59,9) 52,9(49,5-56) 0,041 Jenis Kelamin
0,795
Laki-laki 3 (100%) 45 (77,6%) 30 (83,3%)
Perempuan 0 13 (22,4%) 6 (16,7%)
(54)
Sistol 124,42 ± 23,39 mmHg 0,352
Diastol 80,22 ± 16,57 mmHg 0,236
Denyut jantung 86,28 ± 19,81 kali/menit 0,104
Etiologi
CAD 3 (100%) 40 (69%) 22 (61,1%) 0,519
HHD 2 (66,7%) 27 (46,6%) 17 (47,2%) 0,870
Kelainan katup 0 8 (13,8%) 7 (19,4%) 0,739
Kardiomiopati 0 1 (1,7%) 6 (16,7%) 0,028
CHD 0 0 2 (5,6%) 0,197
Komorbid
AF 0 11 (19%) 8 (22,2%) 0,893
Hipertensi 0 9 (15,5%) 11 (30,6%) 0,211
DM tipe 2 0 7 (12,1%) 3 (8,3%) 0,810
Gejala& Tanda
Dispnoea 2 (66,7%) 52 (89,7%) 33 (91,7%) 0,406
PND 0 18 (31%) 13 (36,1%) 0,606
OP 0 12 (20,7%) 8 (22,2%) 1,000
Edema pretibial 0 9 (15,5%) 9 (25%) 0,401
TVJ 0 7 (12,1%) 4 (11,1%) 1,000
Ronki Basah 1 (33,3%) 10 (17,2%) 9 (25%) 0,427
Palpitasi 0 3 (5,2%) 3 (8,3%) 0,730
5.2. Pembahasan
5.2.1. Distribusi karakteristik berdasarkan umur
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa kelompok usia yang paling banyak menderita gagal jantung adalah kelompok usia 59-68 tahun. Hasil hampir sesuai dengan data Riskesdas (2013) dengan prevalensi terbesar untuk kelompok usia 65-74 tahun. Tetapi, hal ini tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Cowie, et al. (1999) dan Mosterd, et al. (1999), dimana kelompok usia 75-84 tahun merupakan kelompok usia dengan prevalensi gagal jantung terbesar, dan penelitian yang dilakukan oleh Bleumink, et al. (2004) kelompok usia ≥ 85 tahun memil iki prevalensi terbesar.Hal ini dapat terjadi berhubungan dengan angka harapan hidup di negara Indonesia yang lebih rendah, yaitu 70 tahun (Badan Pusat Statistik, 2013).
Selain itu, dari hasil penelitian ini juga didapatkan bahwa jumlah pasien gagal jantung meningkat seiring dengan bertambahnya usia mulai dari kelompok
(55)
usia 19-28 tahun sebanyak 2 orang (2,1%) menjadi 33 orang (34%) pada kelompok usia 59-68 tahun. Hasil ini sesuai dengan penelitian Cowie, et al. (1999), Mosterd, et al. (1999), Bleumink, et al. (2004) dan Riskesdas (2013). Hal ini berhubungan dengan penelitian Cowie, et al. (1999) dan Bleumink, et al. (2004) yang menyebutkan bahwa angka kejadian gagal jantung meningkat seiring bertambahnya usia.
Selain peningkatan jumlah pasien seiring dengan bertambahnya usia, juga diperoleh penurunan jumlah pasien gagal jantung pada kelompok usia ≥ 69 tahun, hasil ini juga sejalan dengan hasil Riskesdas (2013), yang mana terjadi penurunan prevalensi gagal jantung pada kelompok usia ≥ 75 tahun.
5.2.2. Distribusi karakteristik berdasarkan jenis kelamin
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa gagal jantung lebih banyak diderita oleh laki-laki, yaitu sebanyak 78 orang (80,4%), dibandingkan dengan perempuan 19,6%. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Bleumink, et al. (2004), dimana prevalensi laki-laki yang menderita gagal jantung lebih besar dibandingkan dengan perempuan. Dalam penelitian Peters-Klimm, et al. (2008)juga menyebutkan laki-laki memiliki proporsi yang terbesar.Maggioni, et al. (2010) dan Maggioni, et al. (2013) juga melaporkan bahwa pasien gagal jantung perempuan masing-masing hanya 29,7% dan 28,8%.Hal ini berkaitan dengan penelitian Bleumink, et al. (2004) yang menyebutkan bahwa angka kejadian gagal jantung dua kali lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan. Tetapi, hasil ini berbeda dengan data Riskesdas (2013), dimana prevalensi laki-laki sama dengan prevalensi perempuan.
5.2.3. Distribusi karakteristik berdasarkan denyut jantung
Berdasarkan penelitian ini didapatkan bahwa denyut jantung rata-rata pasien gagal jantung adalah sekitar 86,28 kali/menit dengan standar deviasi 19,813. Pada penelitian Davies, et al. (2001)didapatkan bahwa denyut nadi rata-rata adalah 77,3 kali/menit dengan standar deviasi 17,8. Denyut jantung yang lebih cepat ini dapat terjadi karena pada penelitian ini AF merupakan komorbid yang cukup sering juga ditemui.
(56)
5.2.4. Distribusi karakteristik berdasarkan tekanan darah sistolik
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa tekanan darah sistolik rata-rata pasien gagal jantung adalah 124,42 mmHg dengan standar deviasi 23,397. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Davies, et al. (2001), yaitu 148,4± 21,1 mmHg.
5.2.5. Distribusi karakteristik berdasarkan tekanan darah diastolik
Berdasarkan penelitian ini didapatkan bahwa tekanan darah diastolik rata-rata pasien gagal jantung adalah 80,22 mmHg dengan standar deviasi 16,567. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Davies, et al. (2001), yaitu 87,1± 12,3 mmHg.Tekanan darah sistolik dan diastolik yang lebih rendah ini dapat terjadi karena pada penelitian ini kebanyakan adalah pasien hipertensi terkontrol.
5.2.6. Distribusi karakteristik berdasarkan etiologi
Berdasarkan penelitian ini didapatkan bahwa secara keseluruhan
coronary artery disease(CAD) merupakan etiologi gagal jantung yang paling
sering dengan proporsi sebesar 67%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Cowie, et al. (1999), dimana mereka memperoleh CADmerupakan etiologi paling sering dengan proporsi 36%.Komajda, et al. (2005) juga melaporkan bahwa etiologi yang paling sering adalah CAD 68%. Hal yang sama juga dilaporkan dalam penelitian Störk, et al. (2008), dimana CAD merupakan etiologi tersering dengan proporsi 50,7%. Penelitian dengan studi cohort yang
dilakukan oleh Frankenstein, et al. (2010), pada tahun 1994-2000 dan 2001-2007 CAD merupakan etiologi tersering masing-masing dengan proporsi48,5% dan 36,3% orang.Peters-Klimm, et al.(2008) juga melaporkan dalam penelitiannya bahwa CAD merupakan penyebab yang paling banyak sekitar 44,3%.Maggioni, et al. (2010) juga melaporkan bahwa etiologi tersering adalah CAD 40,5%. Maggioni, et al. (2013) juga menyatakan CAD adalah etiologi tersering dengan proporsi sebesar 43%. Seperti yang disebutkan dalam pedoman tata laksana gagal jantung ESC (McMurray, et al., 2012), CAD merupakan penyebab tersering, yaitu sekitar dua per tiga kasus gagal jantung penurunan fraksi ejeksi. Yancy, et al.
(57)
(2013) juga menyebutkan CAD merupakan penyebab tersering gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi.
5.2.7. Distribusi karakteristik berdasarkan komorbid
Pada penelitian ini, hipertensi dan AF merupakan komorbid yang paling sering, yaitu masing-masing sebanyak 20,6% (20 kasus) dan19,6% (19 kasus). Hal ini sesuai dengan Oudejans (2012) yang menyatakan bahwa hipertensi dan AF merupakan dua komorbid yang paling sering, yaitu hipertensi 43%, AF 38%. Oudejans, et al. (2011) jugamelaporkan hal yang sama bahwa hipertensi dan AF juga sering ditemukan, masing-masing 41% dan 38%. Yoo, et al. (2014) juga menyatakan bahwa penderita hipertensi juga cukup tinggi oleh 58,4%, tetapi AF hanya diderita oleh 29,5%. Laporan Peters-Klimm, et al. (2008) menyatakan bahwa hipertensi merupakan komorbid yang terbanyak sekitar 76,1%, tetapi AF hanya diderita oleh 19,8% orang. Reibis, et al. (2006) juga melaporkan bahwa sekitar 67,4% pasien gagal jantung menderita hipertensi. Penelitian dengan studi
cohort yang dilakukan oleh Frankenstein, et al. (2010), pada tahun 1994-2000 dan
2001-2007 hipertensi diderita oleh masing-masing 40,9% dan 59,9% orang. Maggioni, et al. (2013) juga melaporkan bahwa hipertensi merupakan komorbid tersering sebesar 58,2%. Yancy, et al. (2013) menyebutkan bahwa kejadiangagal jantung lebih sering pada pasien hipertensi yang sudah lama dan usia lanjut.
5.2.8. Distribusi karakteristik berdasarkan gejala dan tanda
Berdasarkan penelitian ini didapatkan bahwa gejala dan tanda yang paling sering dikeluhkan adalah dispnoea sebanyak 87 kasus (89,7%). Hal ini sesuai dengan Oudejans (2012),Oudejans, et al. (2011), dan Kelder, et al. (2011) yang menyatakan keluhan dispnoea merupakan tanda dan gejala yang paling banyak dikeluhkan, yaitu masing-masing sebanyak 95%, 93%, dan 72,5%.Sistematik review yang dilakukan oleh Jant, et al. (2009), menyatakan gejala dispnoea memiliki sensitivitas tinggi 87%.
(58)
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa rata-rata fraksi ejeksi sampel adalah 32,77%± 6,12 %. Hal ini sejalan dengan laporan Peters-Klimm, et al. (2008) yang melaporkan nilai rata-rata fraksi ejeksi adalah 33,3% ± 6,9%. 5.2.10. Tata laksana
5.2.10.1. Gagal jantung
Berdasarkan penelitian ini didapatkan bahwa penggunaan obat gagal jantung yang paling banyak diresepkan adalah furosemid (89,7%), tetapi untuk penggunaan obat gagal jantung yang wajib dan harus diberikan kepada pasien gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi,seperti yang direkomendasikan ESC (McMurray, et al., 2012), yaitu3 obat antagonis neurohormonal (ACE-i/ARB, Beta-blocker, dan MRA) masih rendah peresepannya. Hal ini juga sejalan dengan yang dilaporkan oleh Komajda, et al. (2003) dan Störk, et al. (2008) bahwa diuretik merupakan penggunaan obat yang lebih sering digunakan dibandingkan dengan obat-obat antagonis neurohormonal, yaitumasing-masing sebanyak87,9% dan 78,9%.
Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Komajda, et al. (2003) dan Komajda, et al. (2005), dimana penggunaan yang paling banyak adalah ACE-i/ARB, yaitu masing-masing sebanyak 85,9% dan 86,6%. Hal serupa juga dilaporkan oleh Yoo, et al. (2014), dimana peresepan obat yang paling sering adalah ACE-i/ARB mencapai 89,7%.
Dalam penelitian ini sendiri diperoleh bahwa penggunaan obat antagonis neurohormonal, seperti ACE-i/ARB sebanyak 78,4%dan Beta-blocker sebanyak 61,9%, sejalan dengan Störk, et al. (2008) yang melaporkan penggunaan ACE-i/ARB dan Beta-blocker masing-masing sebanyak 74,3% dan 63,2%.Hal yang sejalan juga dilaporkan dalam penelitian Peters-Klimm, et al. (2008), dimana peresepan terbanyak ACE-i/ARB sudah sekitar 80%, tetapi untuk pemberian Beta-blocker sudah lebih tinggi, yaitu sekitar 75%.
Pada penelitian ini penggunaan MRA sudah lebih tinggi, yaitu 61,9%, dibandingkan dengan laporan oleh Störk, et al. (2008) dan Komajda, et al. (2005), masing-masing sebanyak 26,5% dan 28%. Hal ini juga sejalan dengan penelitian
(59)
Yoo, et al. (2014) dan Peters-Klimm, et al. (2008), dimana penggunaan MRA sekitar65,9% dan 57%.
Berdasarkan penelitian ini penggunaan digitalis adalah sebanyak 26,8%. Hal ini sesuai dengan penelitian Maggioni, et al. (2013), dimana penggunaan hanya 23,9%. Tetapi, hasil ini ini tidak sesuai dengan beberapa laporan penelitian oleh Komajda, et al. (2005), Peters-Klimm, et al. (2008), Störk, et al. (2008), dan Frankenstein, et al. (2010), dimana penggunaan digitalis lebih tinggi, yaitu masing-masing sebesar 41%, 38%, 43,2% dan 34,6%.
Selain itu juga perlu dilihat bahwa berdasarkan laporan oleh Maggioni, et al. (2013),yang menyatakan bahwa penggunaan ACE-I/ARB, Beta-blocker, dan MRA sudah cukup baik, yaitu masing-masing 92,2%, 92,7%, dan 67%. Selain itu, dalam penelitian Maggioni, et al. (2013) lainnya, yang membagi hasilnya berdasarkan daerah demografi, menyebutkan bahwa penggunaan ACE-i/ARB dan Beta-blocker sudah cukup tinggi dan konsisten untuk setiap daerahnya, dimana penggunaan ACE-i/ARB terendahdi daerah Eropa Selatan berkisar 86,9%, tertinggi di daerah Eropa Timur 91,5%, dan penggunaan Beta-blocker terendah di daerah Eropa Selatan 84,4%, tertinggi di daerah Eropa Barat 91,4%
Berdasarkan penelitian ini didapatkan bahwa GAI-3 kategori moderate
merupakan yang terbanyak, yaitu 45,4 %. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Komajda, et al. (2005) danStörk, et al. (2008), dimana GAI-3 kategori high adalah yang paling banyak, yaitu masing-masing 45,6% dan 38%.
Penelitian ini didapatkan bahwa GAI-5 kategori moderate juga
merupakan yang terbanyak, yaitu 59,8 %. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Störk, et al. (2008), dimana GAI-5 kategori high adalah yang
paling banyak, yaitu 47%.
Pada penelitian ini, nilai median GAI-3 dan GAI-5 digunakan untuk menilai kualitas farmakoterapisecara keseluruhan (Störk, et al., 2008). Penggunaan nilai median lebih dipilih dibandingkan nilai rerata pada data dengan skalaordinal (Manikandan, 2011). Pada penelitian ini diperoleh bahwa nilai median GAI-3 adalah 67% (33-100%). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Störk, et al. (2008), dimana median GAI-3 juga67% (33-100%).
(1)
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 1.872a 2 .392 .502
Likelihood Ratio 1.322 2 .516 .502
Fisher's Exact Test 2.267 .406
Linear-by-Linear Association .758b 1 .384 .534 .287
N of Valid Cases 97
a. 3 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .31. b. The standardized statistic is -.870.
37. PND dengan Kategori GAI-5
Kategori GAI-5
Total Low Moderate High
PND Ya 0 18 13 31
Tidak 3 40 23 66
Total 3 58 36 97
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 1.717a 2 .424 .520
Likelihood Ratio 2.613 2 .271 .317
Fisher's Exact Test 1.265 .606
Linear-by-Linear Association .987b 1 .321 .417 .214
N of Valid Cases 97
a. 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .96. b. The standardized statistic is -.993.
38. OP dengan Kategori GAI-5
Kategori GAI-5
Total Low Moderate High
OP Ya 0 12 8 20
Tidak 3 46 28 77
Total 3 58 36 97
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .836a 2 .658 .774
Likelihood Ratio 1.441 2 .486 .720
Fisher's Exact Test .400 1.000
(2)
N of Valid Cases 97
a. 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .62. b. The standardized statistic is -.558.
39. Edema Pre-tibial dengan Kategori GAI-5
Kategori GAI-5
Total Low Moderate High
Edema Pretibial Ya 0 9 9 18
Tidak 3 49 27 79
Total 3 58 36 97
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 2.027a 2 .363 .344
Likelihood Ratio 2.517 2 .284 .278
Fisher's Exact Test 1.573 .401
Linear-by-Linear Association 1.951b 1 .163 .223 .123
N of Valid Cases 97
a. 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .56. b. The standardized statistic is -1.397.
40. Peningkatan TVJ dengan kategori GAI-5
Kategori GAI-5
Total Low Moderate High
Peningkatan TVJ Ya 0 7 4 11
Tidak 3 51 32 86
Total 3 58 36 97
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .416a 2 .812 1.000
Likelihood Ratio .754 2 .686 1.000
Fisher's Exact Test .202 1.000
Linear-by-Linear Association .024b 1 .878 1.000 .557
N of Valid Cases 97
a. 3 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .34. b. The standardized statistic is -.153.
41. Ronki Basah dengan Kategori GAI-5
(3)
Ronki Basah Ya 1 10 9 20
Tidak 2 48 27 77
Total 3 58 36 97
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 1.123a 2 .570 .579
Likelihood Ratio 1.087 2 .581 .774
Fisher's Exact Test 1.609 .427
Linear-by-Linear Association .311b 1 .577 .643 .372
N of Valid Cases 97
a. 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .62. b. The standardized statistic is -.558.
42. Palpitasi dengan GAI-5
Kategori GAI-5
Total Low Moderate High
Palpitasi Ya 0 3 3 6
Tidak 3 55 33 91
Total 3 58 36 97
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .587a 2 .746 .730
Likelihood Ratio .751 2 .687 .730
Fisher's Exact Test .852 .730
Linear-by-Linear Association .564b 1 .452 .694 .357
N of Valid Cases 97
a. 4 cells (66.7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .19. b. The standardized statistic is -.751.
(4)
LAMPIRAN 4
(5)
LAMPIRAN 5
(6)