BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Keabsahan Informasi pada Media Sosial sebagai Alat Bukti dalam Pembuktian Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Teknologi informasi memegang peran yang penting baik di masa kini,

  4

  maupun di masa yang akan datang. Menurut Didik J. Rachbini, teknologi informasi dan media elektronika dinilai sebagai simbol pelopor, yang akan mengintegrasikan seluruh sistem dunia, baik dalam aspek sosial, budaya, ekonomi

  5

  dan keuangan. Era globalisasi yang kita lalui menjadi tanda perkembangan teknologi itu sendiri. Globalisasi telah menjadi pendorong lahirnya era

  6

  perkembangan teknologi informasi. Sehingga dampak dari globalisasi dan perkembangan teknologi saat ini dapat kita lihat sendiri yaitu maraknya anak-anak kecil yang sudah memainkan alat-alat elektronik yang canggih. Dimana melalui alat-alat elektronik tersebut kita dapat memasuki dunia yang seolah nyata melalui jaringan internet yang lebih sering kita kenal dengan dunia maya.

  Dengan adanya perkembangan teknologi informasi yang sedemikian rupa, dunia telah memasuki era baru komunikasi, Dengan demikian, teknologi informasi ini telah mengubah perilaku masyarakat global. Di samping itu perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial secara signifikan berlangsung

                                                               4 Agus Raharjo, Cybercrime - Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi , (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 1. 5 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi , (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 1-2. 6 Budi Suharyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyber Crime) : Urgensi demikian cepat. Sehingga dapat dikatakan teknologi informasi saat ini telah menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi

  7

  sarana efektif bagi terjadinya perbuatan-perbuatan melawan hukum. Dengan terjadinya perbuatan melawan hukum tersebut, maka ruang lingkup hukum harus

  8 diperluas untuk dapat menjangkau perbuatan-perbuatan tersebut.

  Kemudian lahirlah suatu era baru yang dikenal dengan hukum telematika. Hukum telematika dapat juga disebut dengan hukum siber. Hal ini didasari pada argumentasi bahwa hukum siber (cyber crime) merupakan kegiatan yang memanfaatkan komputer sebagai media yang didukung oleh sistem telekomunikasi baik itu dial up system, menggunakan jalur telepon, maupun

  9 wireless system yang menggunakan antena khusus nirkabel.

  Pada akhirnya kecanggihan teknologi komputer disadari telah memberikan

  10

  kemudahan, terutama dalam membantu pekerjaan manusia. Namun seiring dengan perkembangan tersebut, ternyata teknologi informasi yang berkembang dalam jaringan internet juga menyebabkan terjadinya kejahatan pada dunia internet itu sendiri. Permasalahan hukum yang yang sering kali kita hadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi dan/atau transaksi

                                                               7 8 Ibid, hlm. 2. 9 Ibid.

  Judhariksawan, Pengantar Hukum Telekomunikasi (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm 12-13. 10 Maskun, Kejahatan Siber (Cyber Crime) Suatu Pengantar, (Jakarta : Kencana, 2013), secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan

  11 perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.

  Tekologi dan Hukum merupakan dua unsur yang saling mempengaruhi dan keduanya juga mempengaruhi masyarakat. Heidegger nerpendapat bahwa di satu sisi teknologi dapat dilihat sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu. Akan tetapi, di sisi lain teknologi juga dapat dilihat sebagai aktivitas manusiawi. Pada dasarnya, setiap teknologi dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan tertentu dan melalui teknologi itu diberikan suatu manfaat dan layanan bagi

  12 manusia termasuk meningkatkan keefisienan dan keefektivitasan kerja.

  Di lain pihak, hukum pada dasarnya merupakan batasan bagi masyarakat dalam bertingkah laku dan terhadap pelanggarannya dikenakan sanksi yang memaksa oleh otoritas tertinggi dalam satu negara. Hukum diperlukan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat dan memberikan keadilan. Ketertiban dan keadilan tersebut dicapai dengan menjaga kepentingan tertentu, baik individu maupun kolektif. Di dalam masyarakat terjadi dinamika dan didalam masyarakat pula muncul kejahatan. Teknologi dan masyarakat bersifat dinamis karena terus berkembang, sedangkan hukum bersifat statis. Teknologi menuntut respon hukum, dan hukum berada di persimpangan: di satu sisi berusaha mengakomodir perkembangan teknologi demi kepentingan masyarakat, tetapi di sisi lain hukum memiliki tanggung jawab untuk tetap menjaga teknologi yang ada sekarang,

                                                               11 12 Budi Suhariyanto, Op. Cit., hlm. 3.

  Josua Sitompul, Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana, sehingga tetap menjaga berbagai kepentingan atau kebutuhan masyarakat luas

  13 yang telah terpenuhi dengan teknologi yang telah ada itu.

  Pesatnya perkembangan dalam teknologi komunikasi yang terjadi, terkhususnya internet menyebabkan kejahatan baru di bidang itu juga muncul, misalnya kejahatan manipulasi data, spionase, sabotase, provokasi, money laudering, hacking, pencurian software maupun perusakan hardware dan berbagai

  14

  macam lainnya. Dalam dunia siber sendiri ada hal yang perlu segera mendapat perhatian dalam masalah penggunaan media internet ini, sebelum lebih jauh

  15

  terlanjur menjadi hutan belantara yang tidak bertuan. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut pelu dibuat suatu perundangan yang mengatur agar tidak menjadi suatu hutan belantara yang tidak bertuan. Dalam prosesnya telah dilihat banyaknya perdebatan mengenai perlu tidaknya aturan yang khusus mengatur tentang cybercrime ini.

  Namun pada akhirnya pada bulan Maret tahun 2008 menjadi tonggak lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam UU ITE ini terdapat bagian tersendiri mengenai perbuatan yang dilarang, yaitu dalam Bab VII dengan rincian sebagai berikut :

    : berita bohong dan menyesatkan, berita

Pasal 27 : asusila, perjudian, penghinaan, pemerasan

  Pasal 28 kebencian permusuhan

                                                               13 14 Ibid, hlm. 32. 15 Budi Suharyanto, Op. Cit., hlm 3 Asril Sitompul, Hukum Internet (Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di

Pasal 29 : ancaman kekerasan dan menakut-nakuti

   Pasal 30 : akses komputer pihak lain tanpa Izin, cracking

   Pasal 31 : penyadapan, perubahan, penghilangan informasi

   Pasal 32 : pemindahan, perusakan dan membuka informasi rahasia

   Pasal 33 : virus, membuat sistem tidak bekerja

   Pasal 35 : menjadikan seolah dokumen otentik

   Tidak hanya hal-hal tersebut yang dapat kita lihat dalam UU ITE ini.

  Dalam pasal 5 ayat (1) UU ITE memuat suatu bentuk perluasan alat bukti diluar

  pasal 184 KUHAP. Dimana dalam UU ITE diakui bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Di mana dalam pasal 5 ayat (2) UU ITE diperjelas bahwa alat bukti yang disebutkan dalam ayat (1) merupakan perluasan alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum acara yang berlaku. UU ITE menegaskan bahwa dalam seluruh hukum acara yang berlaku di Indonesia, Informasi dan Dokumen Elektronik serta hasil cetaknya dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah.

  Tentunya setelah melihat sekilas mengenai tindakan tindakan yang dilarang dalam UU ITE tersebut maka terlihat bahwa media di internet yang paling dekat dan paling sering menjadi ambang batas dalam terjadinya tindak pidana dalam UU ITE adalah media sosial. Dalam hal ini Undang-Undang ITE ini memimiliki sudut pandang yang baru dalam perumusan tindak pidana dibandingkan dengan pandangan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang cenderung kita pandang telah konvensional. Seringnya masyarakat menggunakan media sosial, baik untuk ajang pekerjaan maupun ajang untuk sekedar iseng-iseng dalam menggunakan internet terkadang menjadi sesuatu yang secara tidak sadar mendatangkan akibat-akibat tertentu. Yang mana akibat-akibat yang dimaksud dapat berupa terjadinya suatu tindak pidana yang belum mampu dijangkau oleh KUHP itu sendiri. Hal yang memicu tejadinya kejahatan melalui tindak pidana siber ini pun mayoritas adalah berasal dari keterangan yang ada pada media sosial.

  Keterangan di media sosial termasuk dalam pengertian dari informasi elektronik dalam UU ITE. Pasal 1 ayat 1 UU ITE menjelaskan bahwa “Informasi Elektronik adalah salah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”

  Sehingga banyak kasus-kasus siber yang kita ketahui berkutat pada kasus- kasus yang berawal dari media-media sosial seperti e-mail, facebook, twitter, dan lain sebagainya. Dan dalam jalannya proses persidangan terhadap perkara-perkara cyber itu sendiri, keterangan-keterangan tersebutlah yang menjadi alat bukti dalam persidangan. Seperti dalam kasus Prita Mulyasari dimana alat buktinya berupa hasil cetakan e-mail dari akun milik prita mulya sari. Dan juga pada kasus

16 Benny Handoko pun, alat bukti yang diajukan oleh jaksa pun berupa potongan gambar dari isi posting twitter dengan user @benhan.

  Oleh karena itu, di sini penulis akan menguraikan mengenai penggunaan keterangan di media sosial sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana pencemaran nama baik berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Dalam menguraikan hal tersebut maka penulis akan menguraikan mengenai Ketentuan Tindak Pidana yang diatur dalam Undang-Undang ITE dan kemudian dilajutkan dalam pembahasan mengenai bagaimana Pembuktian Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik dalam Perspektif Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang ITE. Kemudian akan diulas juga tentang penerapan hukum yang telah ada dalam penanganan tindak pidana teknologi informasi, dengan menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1333/Pid.Sus/2013/Pn. Jkt. Sel.

B. Rumusan Masalah 1.

  Bagaimana pengaturan Tindak Pidana berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE? 2. Bagaimana keterangan pada media sosial dapat digunakan sebagai alat bukti dalam pembuktian Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik

  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE? 3. Bagaimana penerapan hukum terhadap penggunaan keterangan pada media sosial sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana khususnya dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.

  1333/Pid.Sus/2013/Pn. Jkt. Sel?

                                                              

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

  Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah: 1.

  Untuk mengkaji mengenai bagaimana informasi pada media sosial dapat digunakan sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana pencemaran nama baik berdasarkan Undang- undang Nomor 11 Tahun 2008.

2. Memberikan sumbangan pemikiran hukum dalam konteks

  Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik dalam prespektif pasal 27 ayat (3) Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang ITE.

  3. Untuk digunakan sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

D. Tinjauan Pustaka

  Dalam skripsi akan dibahas mengenai “Keabsahan Informasi pada Media Sosial sebagai Alat Bukti dalam Pembuktian Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008”. Adapun tinjauan kepustakan dari skripsi ini adalah: 1.

  Keabsahan Penggunaan suatu alat bukti dalam bentuk apapun tentunya membutuhkan sifat yang sah agar dapat digunakan di dalam proses peradilan. Keabsahan merupakan suatu bentuk

  17

  kata sifat yang menunjukkan sifat yang sah . Sehinga dalam menggunakan berbagai alat bukti dalam proses peradilan yang berlaku di Indonesia maka harus dapat dijamin adanya suatu keabsahan dari alat bukti yang diajukan tersebut.

2. Informasi Elektronik

  Berkembangnya era globalisasi membuat muncul bentuk baru dari informasi-informasi yang ada. Informasi elektronik merupakan bentuk baru dari informasi yang ada akibat era globalisasi ini. Dalam Undang-Undang ITE disebutkan pengertian secara rinci dari informasi elektronik, yang merupakan objek kajian dari skripsi ini. Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, symbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat

  18 dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

                                                               17 18 http://kbbi.web.id/absah

Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentan Informasi dan Transaksi

3. Media Sosial

  Akiabat masuknya era globalisasi saat ini, ada sebuah tempat yang menjadi suatu dunia baru yang tidak nyata namun memiliki dampak nyata dalam kehidupan yang nyata. Dunia tersebut biasanya kita kenal sebagai media sosial. Media sosial adalah sebuah media untuk bersosialisasi satu sama lain dan dilakukan secara online melalui jaringan internet yang memungkinkan manusia untuk saling berinteraksi tanpa

  19 dibatasi ruang dan waktu.

  Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai "sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0 , dan yang memungkinkan

  20

  penciptaan dan pertukaran user-generated content" Gamble, Teri, dan Michael dalam Communication Workssebagaimana dikutip Wikipedia menyebutkan, media sosial mempunyai ciri - ciri sebagai berikut : a.

  Pesan yang di sampaikan tidak hanya untuk satu orang saja namun bisa keberbagai banyak orang contohnya pesan melalui SMS ataupun internet

                                                               19 http://www.unpas.ac.id/apa-itu-sosial-media/ b.

  Pesan yang di sampaikan bebas, tanpa harus melalui suatu Gatekeeper c.

  Pesan yang di sampaikan cenderung lebih cepat di banding media lainnya d.

  Penerima pesan yang menentukan waktu interaksi 4. Alat Bukti

  Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan. Adapun Definisi Alat-alat bukti yang sah, adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak

  21 pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.

5. Pembuktian

  Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan Undang-

                                                               21 http://politkum.blogspot.com/2013/05/pengertian-alat-bukti-yang-sah-dalam.html undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa maka terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184, terdakwa dinyatakan “bersalah” dan Kepadanya akan dijatuhkan hukuman.

  Pitlo mengemukakan bahwa pembuktian merupakan suatu cara yang dilakukan oleh suatu pihak baik orang perseorangan maupun badan hukum atas fakta dan hak yang berhubungan dengan kepentingannya. Sedangkan menurut Subekti, yang dimaksud dengan “membuktikan” adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil ataupun dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak dalam suatu persengketaan. Pembuktian dalam Acara Pidana agak berbeda dengan pembuktian dalam Acara Perdata, dimana dalam acara pidana pembuktian bersifat materiil sedangkan untuk Acara Perdata bersifat formil. Oleh karena itu jika dicurigai alat bukti itu dipalsukan, maka persidangan Acara Perdata akan dihentikan untuk menunggu diputus terlebih dahulu suatu kasus Pidana

  22 itu.

                                                               22 M. Yahya Harahap, Pemabahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali , (Jakarta: Sinar

  Menurut Subekti, pembuktian adalah upaya meyakinkan Hakim akan hubungan hukum yang sebenarnya antara para pihak dalam berperkara, dalam hal ini antara bukti- bukti dengan tindak pidana yang didakwakan, dalam mengkonstruksikan hubungan hukum ini, masing-masing pihak menggunakan alat bukti untuk membuktikan dalil-dalilnya dan meyakinkan hakim akan kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan. Dalam bukunya tentang Cybercrime Josua Sitompul jugamemberikan pengertian dari pembuktian yaitu, upaya untuk menemukan kebenaran materil (materiel

  waarheid ) tentang telah terjadi suatu tindak pidana dan jelas

  23 siapa pelakunya.

6. Tindak Pidana

  Tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah strafbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa

                                                               hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam

  

24

  kehidupan masyarakat Dalam bukunya Prof. Moeljatno juga memberikan definisi terhadap tindak pidana. Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan

  25

  tersebut. Definisi lain dari Tindak pidana ini juga dapat kita lihat dari definisi yang diberikan oleh Prof. Bambang Poernomo, yaitu Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar

  26 larangan tersebut.

7. Pencemaran Nama Baik

  Sampai saat ini di Indonesia belum ada definisi hukum yang tepat dan jelas tentang apa yang disebut pencemaran nama

                                                               24 http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-tindak-pidana-dan-unsur.html diakses pada tanggal 25 Juni 25 26 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara,1987) hlm. 54 Babang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1992) hlm.

  baik. Dalam bahasa inggris pencemaran nama baik diartikan sebagai defamation, slander, dan libel. R Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

  (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal 225) dalam penjelasan

  Pasal 310 KUHP, menerangkan bahwa, “menghina” adalah “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Yang diserang ini biasanya merasa “malu” “Kehormatan” yang diserang di sini hanya mengenai kehormatan tentang “nama baik”, bukan “kehormatan” dalam lapangan seksual, kehormatan yang dapat dicemarkan karena tersinggung anggota

  27 kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.

E. Metode Penelitan dan Penulisan 1.

  Tipe Penelitian Penulis dalam menulis skripsi ini menggunakan salah satu tipe

  28

  penelitian hukum yang ada, yaitu Doctrinal Research . Tipe Doctrinal

  Research adalah suatu penelitian hukum yang menganalisis aturan-

  aturan hukum yang berkaitan atau mengatur suatu kategori permasalahan hukum tertentu, menjelaskan permasalahan yang sulit dipahami, menganalisis hubungan antar peraturan perundang-undangan dan dapat dijadikan pertimbangan untuk perkembangan hukum di masa

                                                               27 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt517f3d9f2544a/perbuatan-perbuatan- yang-termasuk-pencemaran-nama-baik diakses pada tanggal 25 Juni 2014 selanjutnya. Tipe penelitian ini dapat dikatakan serupa dengan tipe penelitian hukum normatif yuridis.

  2. Pendekatan Masalah Guna membahas permasalahan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode pendekatan secara yuridis normatif, yang berarti dalam melakukan pembahasannya penuslis mengacu pada statute

  approach, conceptual approach, dan case approach, dengan cara

  mempelajari, memahami, meneliti kasus, serta menganalisa konsep- konsep dalam peraturan erundang-undangan yang berkaitan dengan Keabsahan Informasi Pada Media Sosial sebagai alat bukti dalam tindak pidana pencemaran nama baik berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008.

  3. Sumber Bahan Hukum Bahan-bahan yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini meliputi 2 jenis, yaitu : a.

  Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer berupa ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat normatif seperti peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan maupun ketetapan-ketetapan dari lembaga yang berwenang.

  b.

  Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum seunder berupa sumber-sumber lain yang digunakan untuk memperlengkapi bahan huum primer, sehingga dapat membantu untuk menganalisis permasalahan-permasalahan terkait. Bahan hukum sekunder dapat diperoleh dari surat kabar, majalah, jurnal-jurnal hukum, buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan terkait.

4. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum

  Adapun untuk mempermudah dan memperlancar penulisan skripsi ini, maka dipergunakan beberapa langkah dalam pmengumpulkan dan mengolah bahan hukum yang terkait dengan skripsi ini. Pertama adalah dengan melakukan studi kepustakaan dengan materi yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini dengan cara membaca peraturan-perundang-undangan, buku-buku, surat kabar, majalah, jurnal-jurnal hukum, danliteratur-literatur lainnya yang terkait dengan skripsi ini. Kemudian bahan-bahan yang telah terkumpul tersebut diseleksi berdasarkan klasifikasi prioritas sehubungan dengan rumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya, selanjutnya diolah dan dirumuskan secara sistematis sesuai dengan pokok-pokok bahasan dalam penulisan skripsi ini.

F. Sistematika Penulisan

  Sistematika penulisan dalam skripsi ini diuraikan menjadi 5 Bab yang secara sistematis terdiri dari :

  Bab I, Pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penelitian dan penulisan, dan sistematika penulisan Bab II, merupakan pembahasan dari rumusan masalah yang pertama.

  Dimana dalam bab ini akan ditinjau secara umum definisi dari tindak pidana teknologi informasi. Kemudian pada bab ini juga akan dibahas perihal pengaturan tindak pidana teknologi informasi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentan Informasi dan transaksi elektronik. Karena pembahasan skripsi ini mengarah pada penggunaan keterangan media sosial sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana mencemaran nama baik berdasarkan Undang-Undang

  ITE, maka dalam bagian terakhir pada bab ini akan dibahas mengenai tindak pidana pencemaran nama baik dalam Undang-Undang ITE.

  Bab III, merupakan pembahasan dari permasalahan yang kedua yaitu mengenai kedudukan alat bukti elektronik dalam penanganan tindak pidana teknologi informasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

  ITE. Pada awal bab akan terlebih dahulu dibahas terkait alat bukti secara umum, yakni pengaturan alat bukti yang tentunya diatur dalam KUHAP. Kemudian akan dilanjutkan kepada pembahasan pengaturan alat bukti elektronik dalam sistem hukum pidana Indonesia. Sehingga pada akhir bab ini dapat diketahui penggunaan alat bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana pencemaran nama baik berdasarkan Undang-Undang ITE.

  Bab IV, hasil penelitian dan pembahasan. Dalam bab ini akan ditinjau secara yuridis putusan pengadilan terhadap perkara pidana yang menggunakan keterangan pada media sosial sebagai alat bukti dalam proses pembuktiannya. dalam hal ini, akan ditinjau putusan Nomor : 1333/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Sel. Namun sebelum meninjau hal tersebut terlebih dahulu akan dibahas mengenai penggunaan alat bukti elektronik dalam proses pembuktian di Indonesia, khususnya penggunaan keterangan pada media sosial sebaga alat bukti dalam proses pembuktian perkara pidana.

  Bab V, merupakan bagian akhir dalam penulisan skripsi ini. Sebagai bagian akhir atau penutup penulis akan menguraikan beberapa kesimpulan sebagai hasil dari penelitian dan pembahasan dalam bab-bab sebelumnya, serta akan memberikan beberapa saran bagi perbaikan dan perubahan di masa yang akan datang mengenai tindak pidana cyber terutama terkait pada media sosial yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak terkait.

Dokumen yang terkait

Keabsahan Informasi pada Media Sosial sebagai Alat Bukti dalam Pembuktian Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

2 62 139

Pencemaran Nama Baik Melalui Situs Jejaring Sosial Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

1 37 128

Pencemaran Nama Baik Melalui Situs Jejaring Sosial Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

0 35 128

Tinjauan Hukum Mengenai Rekayasa Foto yang Mengandung Unsur Pencemaran Nama Baik yang Ditampilkan Pada Media Internet Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

0 31 1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Informasi yang Menyesatkan dalam Perdagangan Efek Tanpa Warkat Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN - Tinjauan Yuridis Mengenai Pembuktian Elektronik Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang Dikaitkan Dengan UU No. 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

0 1 22

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perbandingan Tindak Pidana Perzinahan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Hukum Islam

0 0 52

BAB I PENDAHULUAN - Tinjauan Yuridis Mengenai Pembuktian Elektronik Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang Dikaitkan Dengan UU No. 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika Diluar Golongan yang Diatur dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

0 0 27

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Juridis Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Percobaan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dikaitkan Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007

0 0 27