BAB I PENDAHULUAN - Tinjauan Yuridis Mengenai Pembuktian Elektronik Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang Dikaitkan Dengan UU No. 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradaban dunia pada masa kini dicirikan dengan fenomena kemajuan teknologi informasi dan globalisasi yang berlangsung di semua bidang kehidupan. Apa yang disebut dengan globalisasi pada dasarnya bermula dari awal abad ke-20,

  yakni pada saat terjadi revolusi transportasi dan elektronika yang menyebarluaskan dan mempercepat perdagangan antar bangsa, disamping

   pertambahan kecepatan lalu lintas barang dan jasa.

  Berkenaan dengan pembangunan teknologi, dewasa ini seperti kemajuan dan perkembangan teknologi informasi melalui internet (interconnection

  

network ), peradaban manusia dihadapkan pada fenomena baru yang mampu

  

  mengubah hampir setiap aspek kehidupan manusia. Kemajuan dan perkembangan teknologi, khususnya telekomunikasi, multimedia dan teknologi informasi (telematika) pada akhirnya dapat merubah tatanan organisasi dan hubungan sosial kemasyarakatan. Hal ini tidak dapat dihindari, karena fleksibilitas dan kemampuan telematika dengan cepat memasuki berbagai aspek kehidupan

  

  manusia. Dengan semakin berkembangnya teknologi komputer dan seiring dengan perkembangan teknologi telekomunikasi dan radio, berbagai komputer dapat dihubungkan untuk membentuk jaringan komputer yang mengarah kepada 1 Juwono Sudarsono, Globalisasi Ekonomi dan Demokrasi Indonesia, artikel dalam

  

Majalah Prisma, No.8 Tahun XIX 1990, LP3ES, Jakarta., seperti dikutip oleh Didik M.Arief

Mansur, Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi (Bandung: PT Refika

Aditama, 2009), hal.1. 2 3 Ibid., hal.2.

  Ibid . perkembangan internet. Secara umum, jaringan komputer ialah gabungan komputer dan alat perangkatnya yang terhubung dengan saluran komunikasi yang memfasilitasi komunikasi di antara pengguna dan memungkinkan para

   penggunanya untuk saling menukar data dan informasi.

  Menurut Soerjono Soekanto, kemajuan di bidang teknologi akan berjalan bersamaan dengan munculnya perubahan-perubahan di bidang kemasyarakatan.

  Perubahan-perubahan di dalam masyarakat dapat mengenai nilai sosial, kaidah- kaidah sosial, pola-pola perilaku, organisasi dan susunan lembaga

  

  kemasyarakatan. Salah satu perubahan pola perilaku masyarakat saat ini adalah mudahnya mendapatkan informasi dan melakukan transaksi menggunakan teknologi komputer dan jaringan internet. Hampir dalam setiap kegiatan manusia menggunakan teknologi komputer, mulai dari yang bentuknya sederhana sampai yang bentuknya rumit. Secara khusus, perkembangan teknologi komputer dan internet memberikan implikasi-implikasi yang signifikan terhadap pengaturan atau pembentukan regulasi dalam ruang siber dan hukum siber serta terhadap

  

  perkembangan kejahatan dalam cyberspace, (cybercrimes). Penggunaan teknologi komputer dan peralatan digital lainnya, serta ditunjang oleh jaringan internet, selain mempermudah pekerjaan manusia juga memberikan dampak negatif yaitu meningkatnya potensi terjadinya tindak pidana. Hal ini dikarenakan, munculnya wadah baru terjadinya tindak pidana, yaitu cyberspace atau sering juga disebut dunia virtual. Selain itu, pada awal pembentukannya, internet berada dalam satu 4 Josua Sitompul, Cyberspace Cybercrimes Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana,

  (Jakarta: PT Tatanusa, 2012), hal. 20 5 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta Rajawali Pers, 1980), hlm.87-88., seperti dikutip oleh Didik M.Arief Mansur, Elisatris Gultom, Op.cit., hal. 3. 6 Josua Sitompul, Op.Cit., hal.26. kontrol administrator yang ketat. Sistem administrator mengontrol secara penuh sistem dan perangkat keras serta perangkat lunak jaringan. Pengguna awal internet adalah anggota komunitas yang dapat diidentifikasi sehingga dalam hal pengguna melakukan penyalahgunaan jaringan atau perangkat, sistem administrator dapat

   segera mengetahuinya dan dapat memberikan sanksi.

  Penggunaan kata cyber dalam cyberspace, cybercrime, dan cyberlaw serta istilah lain yang menggunakan kata cyber seperti cyberpatrol, cyberterrorism, dan

  

cybersex berkembang dari penggunaan terminologi cybernetics oleh Norbert

  Wiener. Esensinya, Cybernetics ialah ilmu pengetahuan tentang mengatur atau mengarahkan sistem mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling kompleks dengan cara memahami sistem dan perilakunya terlebih dahulu dan mengaturnya dari luar sistem melalui berbagai alat, cara, dan metode. Oleh karena itu, dalam konsep cybernetics, kontrol merupakan kunci penting dalam suatu

   sistem.

  Perkembangan teknologi dan internet yang dipengaruhi oleh konsep

  

cybernetics telah melahirkan dunia baru yang dikenal dengan cyberspace,

globalvillage , atau internet yang menandakan dimulainya era baru, yaitu era

  

  digital atau era informasi. Menurut Didik J. Rachbini, teknologi informasi dan media elektronika dinilai sebagai simbol pelopor, yang akan mengintegrasikan seluruh sistem dunia, baik dalam aspek sosial, budaya, ekonomi dan keuangan. Dari sistem-sistem kecil lokal dan nasional, proses globalisasi dalam tahun-tahun terakhir bergerak cepat, bahkan terlalu cepat menuju suatu sistem global. Dunia 7 8 Josua Sitompul, Op.Cit., hal.27. 9 Ibid ., hal. 4.

  Ibid ., hal.31. akan menjadi “global village” yang menyatu, saling tahu dan terbuka, serta saling

  

  bergantung satu sama lain. Menurut McLuhan, Global Village ini kemudian

  

  dikenal dengan cyberspace. yberspace, global village atau internet, merupakan suatu dunia baru yang tercipta karena penyatuan antara manusia dan teknologi berdasarkan ilmu pengetahuan, dan menandakan dimulainya era digital. Sama seperti dalam dunia konvensional, maka dalam cyberspace ‘hidup’ masyarakat (cybersociety) yang terdiri dari jutaan pengguna internet dari segala penjuru dunia

   yang berkomunikasi atau berinteraksi satu sama lain melalui jaringan komputer.

  Di samping itu, perkembangan teknologi telah menyebabkan dunia

  

  menjadi tanpa batas (borderless) , yaitu mengecilnya atau bahkan hilangnya batas-batas wilayah negara dimana informasi dapat dengan cepat diketahui oleh negara lain. Namun disisi lain, dengan mudahnya komunikasi yang terjadi, maka kejahatanpun semakin mudah terjadi. Sehingga teknologi informasi menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif

   perbuatan melawan hukum.

  Salah satu aspek kehidupan manusia yang sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi adalah lalu lintas perdagangan. Kemajuan teknologi mempermudah masyarakat melakukan transaksi keuangan antar negara melalui jasa perbankan tanpa membutuhkan waktu yang lama. Oleh karena itu, kegiatan 10 11 Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal.1. 12 Josua Sitompul, Op.Cit., hal. 31. 13 Ibid ., hal. 31

H. Ahmad Ramli, Cyber Law Dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia. (Bandung: PT Refika Aditama, 2004), hal.1.

14 Ibid .

  transfer dana (pemindahan/ pengiriman/ pembayaran uang) merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting dalam kehidupan modern saat ini. Perkembangan globalisasi di berbagai bidang kehidupan yang ditunjang dengan pesatnya kemajuan teknologi informasi dan elektronik telah memunculkan sistem transfer

   dana elektronik (electronic Funds transfer system, disingkat EFTS).

  Berkembangnya sistem transfer dana elektronik diikuti pula dengan berkembangnya kejahatan teknologi canggih (high tech crime). Dikenallah antara lain istilah cybercrime, EFTcrime , cybankcrime , internetbankingcrime ,

   onlinebusinesscrime , cyber/electronicmoneylaundering.

  Kejahatan transfer dana elektronik (electronic funds transfer crime) tidak hanya ditujukan pada pencurian dana (theft of funds), tetapi juga pada penggunaan, pengungkapan, penghapusan, pencurian atau perusakan data (use,

  

disclosure, alteration, theft, or destruction of data ), atau bertujuan untuk

  mengganggu/mengacaukan atau merusak sistem transfer dana elektroniknya itu

  

  sendiri (disruption or destruction of the EFT system). Sistem transfer dana elektronik juga dapat membantu menyembunyikan atau memindahkan hasil kejahatan, sehingga sering juga disebut kejahatan pencucian uang yang dilakukan

  

  secara elektronik. UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Pasal 3, menyebutkan secara spesifik perbuatan 15 Makalah Pada Seminar Nasional Problematika Perkembangan Hukum Ekonomi dan

  Teknologi, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 29 Mei 2004, seperti dikutip

oleh Barda Nanawi Arief, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime Di

Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 51-52. 16 17 Ibid ., hal. 52.

  Library Of Congress Catalog, Selected Electronic Funds Transfer Issues: Privacy,

Security, And Equity (Washington D.C: U.S Government Printing Office, 1982), hal. 48., seperti

dikutip oleh Ibid., hal.54. 18 Ibid .

  yang dikatakan melakukan tindak pidana pencucian uang, yaitu perbuatan menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain.Dalam melakukan perbuatan yang dikatakan tindak pidana pencucian uang tersebut, seringkali menggunakan transaksi elektronik.

  Hukum pada prinsipnya merupakan pengaturan terhadap sikap tindak (perilaku) seseorang dan masyarakat yang terhadap pelanggarannya dikenakan sanksi oleh negara. Meskipun dunia siber ialah dunia virtual, hukum tetap diperlukan untuk mengatur sikap tindak masyarakat, setidaknya karena dua hal. Pertama masyarakat yang ada di dunia virtual ialah masyarakat yang ada di dunia nyata; masyarakat memiliki nilai dan kepentingan baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang harus dilindungi. Kedua, walaupun terjadi di dunia virtual, transaksi yang dilakukan oleh masyarakat memiliki pengaruh dalam dunia

  

  nyata, baik secara ekonomis maupun non ekonomis. Kondisi inilah yang membuat harus ada pengaturan hukum mengenai aktivitas di cyberspace (dunia virtual/maya) termasuk juga pengaturan atas segala dampak yang ditimbulkannya, baik dampak positif maupun dampak negatif.

  Hukum akan selalu ketinggalan dengan perkembangan masyarakat. Begitu juga dengan kejahatan. Hukum baru muncul setelah ada kejahatan. Dengan munculnya kejahatan yang baru dan dengan modus operandi yang baru, penegak hukum harus memiliki cara untuk mengungkap kejahatan tersebut. Awalnya, 19 Josua Sitompul, Op.Cit., hal.39. masyarakat tidak mengenal apa yang dimaksud dengan cybercrime, namun dengan perkembangan kejahatan di dunia virtual (cyberspace), maka muncullah istilah baru dalam hukum. Sama seperti di dunia konvensional yang penuh dengan permasalahan hukum, cyberspace juga memunculkan permasalahan hukum sehingga diperlukan cyberlaw.

  Salah satu permasalahan dalam dunia virtual (cyberspace) adalah mengenai pembuktian, karena harus membuktikan suatu persoalan yang diasumsikan sebagai maya, sesuatu yang tidak terlihat dan semu. Alat buktinya bersifat elektronik, yaitu dalam bentuk dokumen elektronik, yang belum diatur dalam hukum acara sebagai hukum formal, namun dalam praktek telah dikenal dan banyak digunakan. Bukti merupakan hal mendasar dalam setiap perkara pidana. Oleh karena itu, alat bukti menjadi hal yang sangat menentukan dapat tidaknya seseorang dipidana. Cara yang dipergunakan dalam mencari, memeriksa, mengumpulkan dan menyimpan bukti tersebut dapat saja berbeda antara satu penegak hukum dengan penegak hukum lainnya, namun demikian prosedur untuk melakukan hal tersebut tetap diatur oleh suatu Hukum Acara Pidana yang berlaku dan tentunya harus ditaati. Terjadinya kesalahan dalam mengumpulkan, mengolah dan mempresentasikan bukti dalam persidangan dapat menimbulkan akibat yang

  

  merugikan bagi usaha pembuktian terjadinya suatu tindak pidana, seperti dalam kasus tindak pidana pencucian uang, yang dilakukan oleh terdakwa Ahmad Hanafi alias Ifanq dengan Nomor Perkara 133/Pid.B/2012/PN.Pwk pada tahun 20 Mohamed Chawki, “The Digital Evidence In The Information Era”, Makalah

  

disampaikan pada Cybercrime Conference 2003, Washington, 2003, hal.3.,seperti dikutip oleh

Apreza Darul Putra, “Pengaturan Penggeledahan Dan Penyitaan Bukti Elektronik Dalam

Kerangka Pembaruan Hukum Acara Pidana Indonesia,”( Tesis, Magister Hukum Universitas

Indonesia, Jakarta, 2013), Hal. 1.

  2012, yang telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri Purwakarta menyatakan bahwa terdakwa terbukti telah melakukan tindak pidana pencucian uang, dimana tindak pidana awalnya adalah tindak pidana penipuan di bidang komputer. Dilihat dari fakta-fakta dipersidangan, terdakwa telah menempatkan dan membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan karena terdakwa telah menempatkan uang hasil penjualan pulsa yang didapatnya dengan jalan masuk ke dalam sistem elektronik milik PT. Telkomsel ke dalam transaksi keuangan yang ditempatkannya di rekening BCA KCU Purwakarta atas nama Ahmad Hanafi. Selain itu, terdakwa membeli sebuah mobil Toyota Avanza Veloz dan mentransfer uang kepada saudara iparnya. Oleh majelis hakim, terdakwa diyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencucian uang dengan barang bukti berupa kartu ATM Mandiri Syariah dan alat bukti berupa hasil cetak transaksi transfer dana yang dilakukan oleh terdakwa.

  Pengaturan secara materil tentang bukti elektronik telah diatur dalam beberapa undang-undang khusus seperti dalam UU No. 8 tahun 2008 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, namun aturan secara formilnya belum ada, walaupun dalam prakteknya hakim dalam memutuskan kasus tindak pidana pencucian uang sudah memperhatikan keberadaan alat bukti elektronik ini. Perkembangan teknologi yang sering disalahgunakan dan menjadi media dan sarana yang digunakan dalam tindak pidana pencucian uang, perlu mendapatkan penanganan yang serius, termasuk dalam pembuktiannya. Hal ini dikarenakan pembuktian sangat menentukan apakah seseorang bersalah atau tidak bersalah. Sehingga penulis tertarik mengangkat judul TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PEMBUKTIAN

ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM KASUS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DIKAITKAN DENGAN UU NO.

11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.

  B. Rumusan Masalah

  Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah: 1.

  Bagaimana pengaturan mengenai bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam hukum pidana Indonesia?

  2. Bagaimana aspek hukum pembuktian elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam kasus tindak pidana pencucian uang dikaitkan dengan UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?

  C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

  Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :

  1. Mengetahui dan memahami pengaturan mengenai bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam hukum pidana Indonesia.

  2. Mengetahui aspek hukum pembuktian elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam kasus tindak pidana pencucian uang dikaitkan dengan UU No.

  11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

  Adapun manfaat yang diharapkan dan akan diperoleh dari penulisan ini adalah sebagai berikut :

  1. Manfaat teoritis Sebagai bahan informasi sehingga memperkaya literatur di Indonesia dengan memberikan pengetahuan yang komprehensif tentang pembuktian elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam tindak pidana pencucian uang.

  2. Manfaat praktis Memberikan masukan bagi aparat penegak hukum dalam hal pembuktian elektronik dipandang sebagai alat bukti yang sah dalam kasus Tindak Pidana Pencucian Uang.

D. Keaslian Penulisan

  Setelah ditelusuri seluruh daftar skripsi yang ada di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan arsip yang ada di Departemen Hukum Pidana, tidak ditemukan adanya kesamaan judul ataupun permasalahan dengan judul yang diangkat yaitu tentang ” TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PEMBUKTIAN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM KASUS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DIKAITKAN DENGAN UU NO.11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK”

  Oleh sebab itu, tulisan ini merupakan karya asli yang disusun berdasarkan dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan ilmiah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa skripsi yang disusun ini merupakan asli dan belum pernah di tulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sepanjang yang di telusuri dan diketahui oleh penulis. Kalaupun ada judul yang sama ataupun menyerupai, penulis yakin substansi dan isinya berbeda.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Pembuktian

  Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal.

  Pembuktian secara etimologi berasal dari kata bukti yang berartisesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Kata bukti jikamendapat awalan pe- dan akhiran -an maka berarti proses, perbuatan,dari membuktikan, secara terminologi pembuktian berarti usaha untukmenunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan (Anshoruddin, 2004: 25). Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisipenggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undangundangmembuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat buktiyang dibenarkan oleh undang-undang dan boleh dipergunakan hakimmembuktikan kesalahan yang didakwakan (M.Yahya Harahap, 2005

   :273).

  KBBI memberi arti pembuktian adalah proses, cara, perbuatan membuktikan; usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang

  

  pengadilan . Menurut para ahli seperti, Martiman Prodjohamidjojo, membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Pengertian dari pembuktian itu sendiri adalah cara-cara yang dibenarkan olehundang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkanundang-undang yang boleh dipergunakan hakim untuk

  

  membuktikan kesalahan yangdidakwakan. Sedangkan membuktikan itu sendirimengandung pengertian memberikandasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan gunamemberikan kepastian tentang

   kebenaran peristiwa yang diajukan.

  KUHAP sendiri tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memberikan jenis-jenis alat bukti yang sah menurut 21 Sekar Dianing Pertiwi Soetanto, Perkembangan Alat Bukti Dalam Pembuktian Tindak

  Pidana Pada KUHAP dan Undang-Undang Khusus Di Indonesia , (Skripsi: Universitas Sebelas Maret, Surakarta), hal. 21. 22 Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1997), hal. 151. 23 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, ed. 2, cet.3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal. 273 24 Bambang Waluyo, SistemPembuktiandalamPeradilanIndonesia, Cet.1, (Jakarta: Sinar Grafika,1992), hal.2. hukum. Oleh karena itu, beberapa ahli memberikan pengertian tentang pembuktian. Darwan Prinst menyatakan bahwa pembuktian adalah pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwa yang bersalah

  

  melakukannya sehingga harus mempertanggungjawabkannya. Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo, pembuktian adalah pembuktian secara yuridis tidak lain merupakan pembuktian secara historis. Pembuktian yang bersifat yuridis ini mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkret. Baik dalam pembuktian secara juridis maupun ilmiah, maka membuktikan pada hakikatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu

  

  dianggap benar. Pembuktian dalam perkara pidana sangat menentukan apakah seseorang bersalah dan dapat dikenai pidana atau seseorang dinyatakan tidak bersalah dan tidak dapat dihukum. Dalam hal pembuktian ini, hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti, bahwa seseorang telah melanggar ketentuan hukum pidana (KUHP) atau undang-undang pidana lainnya, harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sedangkan kepentingan terdakwa, berarti bahwa terdakwa harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa sehingga tidak ada seseorang yang tidak bersalah mendapat hukuman, atau kalau memang ia bersalah jangan sampai mendapat hukuman yang terlalu berat, tetapi hukuman itu harus

   seimbang dengan kesalahannya.

  25 Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, (Jakarta: Djambatan, 1998), hal.133. 26 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hal.109. 27 Darwan Prinst,Op.Cit, hal.132-133.

2. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang

  Kejahatan pencucian uang (moneylaundering) pada dasarnya merupakan upaya memproses uang hasil kejahatan dengan bisnis yang sah sehingga uang tersebut bersih atau tampak sebagai uang halal. Dengan demikian asal usul uang itu pun tertutupi. Sampai saat ini, belum ada defenisi yang universal mengenai apa yang dimaksud dengan tindak pidana pencucian uang. Pencucian uang secara umum dapat diartikan sebagai suatu tindakan atau perbuatan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari satu tindak pidana yang kerap dilakukan oleh organisasi kejahatan (crimeorganization) maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika, dan tindak pidana lainnya. Tujuannya adalah menyembunyikan atau mengaburkan asal usul uang haram tersebut sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah. Defenisi pencucian uang terus berkembang sejalan dengan perkembangan kasusnya di dunia internasional. Salah satu defenisi yang menjadi acuan di seluruh dunia termuat dalam The United Nations Convention Against Illicit Trafic In

  

Narcoticas, Drugs, And Psycotropic SubstanceOf 1988 yang kemudian diratifikasi

  di Indonesia dengan UU No 7 tahun 1997. Namun, ada beberapa pendapat yang memberikan pengertian tentang pencucian uang, seperti Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini menggarisbawahi, dewasa ini istilah moneylaundering sudah lazim digunakan untuk menggambarkan usaha-usaha yang dilakukan seseorang atau badan hukum untuk melegalisasi uang ‘kotor’, yang diperoleh dari hasil tindak

  

  pidana. Pengertian lain dari moneylaundering menurut Sarah N. Welling

  

  (1992) : “money laundering is the process by which one conceals the exixtence,

  illegal source, or illegal application of income, and then disguises that income to make it appear legitimate”. (Pencucian uang adalah proses

  dimana seseorang menyembunyikan keberadaan sumber (pendapatan) ilegal atau aplikasi pendapatan ilegal dan kemudian menyamarkan sumber (pendapatan) tersebut agar terlihat seperti sesuai dengan aturan atau hukum yang berlaku).

   Defenisi pencucian uang menurut David Fraser (1992) : “Money laundering is quite simply the process through which “dirty” money (proceeds of crime), is washed through “clean” or legitimate sources and enterprises so that the “bad guys” may more safely enjoy their ill’ gotten gains”. (Pencucian uang kurang lebiih adalah proses di

  mana uang ‘kotor’ (hasil dari tindak pidana) dicuci menjadi “bersih”atau uang kotor yang dibersihkan melalui suatu sumber hukum dan perusahaan yang legal sehingga ‘para penjahat’ dapat dengan amanmenikmati hasil jerih payah tindak pidana mereka).

  Pamela H.Bucy dalam bukunya yang berjudul White Collar Crime: Cases and

   Materials, defenisi “money laundering” diberikan pengertian sebagai berikut : “money laundering is the concealment of the existence, nature of illegal source of illicit fund in such a manner that the funds will appear legitimate if discovered”

  Apapun defenisinya, pada hakekatnya pencucian uang menunjuk pada upaya pelaku untuk mengurangi ataupun menghilangkan risiko ditangkap ataupun uang yang dimilikinya disita sehingga tujuan akhir dari kegiatan ilegal itu yakni memperoleh keuntungan, mengeluarkan serta mengkonsumsi uang tersebut dapat terlaksana, tanpa terjerat oleh aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian 28 29 Aziz Syamsuddin, Op.Cit., hal. 17.

  Sarah N. Welling, “Smurfs, Money Laundering and the United States Criminal Federal

Law ”, seperti dikutip oleh Adrian Sutedi, S.H., M.H., Tindak Pidana Pencucian Uang, (Bandung:

PT Citra Aditya Bakti, 2008), hal. 13 30 31 Ibid .

  Ibid., hal. 14. menyimpan uang hasil kegiatan ilegal adalah sama dengan mencuci uang tersebut, walaupun si pelaku tindak pidana sendiri hanya menyimpan uang tersebut dan

   tidak mengeluarkan uang tersebut karena belum “dicuci”.

  Secara umum, tahap pencucian uang tersebut dibagi menjadi 3, yaitu: pertama, penempatan uang (placement). Placement merupakan upaya menempatkan uang tunai yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana dalam bentuk yang lebih mudah dipindahkan dan tidak dicurigai untuk selanjutnya diproses ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan, sehingga jejak seputar asal-usul dana tersebut dapat dihilangkan. Pada tahap placement ini, pelaku tindak pidana pencucian uang memasukkan dana ilegalnya ke rekening perusahaan fiktif seperti perusahaan bidang perhiasan batu berharga, atau mengubah dana menjadi monetary instruments seperti traveler’scheque,

  

moneyorder , dan negotiableinstruments lainnya kemudian menagih uang itu serta

  mendepositkannya ke dalam rekening-rekening perbankan (bank accounts) tanpa diketahui. Kedua, pelapisan uang (layering). Jumlah dana yang sangat besar dan ditempatkan pada suatu bank tertentu akan menarik perhatian dan menimbulkan kecurigaan pihak otoritas moneter negara bersangkutan akan asal-usulnya. Karena itu, pelaku melakukan pelapisan (layering) atau juga disebut heavy soaping melalui tahap transaksi keuangan untuk memutuskan/ memisahkan hubungan antara dana yang tersimpan di bank dan tindak pidana yang menjadi sumber dana tersebut. Tujuannya, untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana.

  Ketiga, penyatuan uang (integration/ repatriation/ spin dry), yaitu upaya 32 Aziz Syamsuddin, Op.Cit., hal.19. menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah secara hukum, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, untuk membiayai kegiatan-kegiatan bisnis yang sah, atau

  

  bahkan untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana. Media atau sarana yang paling dominan dalam tindak pidana pencucian uang adalah sistem keuangan. Dalam hal ini perbankan banyak digunakan oleh para pelaku kejahatan

  

  tersebut menawarkan berbagai instrumen keuangan , seperti deposito, giro, ataupun tabungan.

3. Pengertian Informasi dan Transaksi elektronik

  KBBImemberikan pengertian informasi sebagai penerangan;

  

  pemberitahuan; kabar atau berita tentang sesuatu. Jika dicermati, informasi bukanlah berasal dari bahasa Indonesia melainkan dari bahasa asing

  “information” yang berasal dari kata dasar “inform” yang secara leksikal artinya

  adalah “to give, imbue or character to;” atau “be the formative principle of”, atau

  

  “to give, imbue or inspire with some spesific quality or character”. Undang- undang Nomor 11 tahun 2008 dalam Pasal 1 angka 1 memberikan pengertian informasi elektronik adalah

  “suatu atau sekumpulan data elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan foto, electric data interchange

  (EDI) , surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau

  sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang 33 mampu memahaminya.” 34 Ibid ., hal.20-21. 36 35 Philips Darwin, Money Laundering, (Sinar Ilmu, 2012), hal. 49.

  Lamgok Hertanto Silalahi, Pembuktian Tindak Pidana Di Bidang Informasi dan Transaksi Elektronik , (Skripsi, Universtitas Sumatera Utara), hal. 24 Menurut Turban, Rainer, dan Potter:

  “Data are raw facts or elementary description of things, events, activities, and transactions that are captured, recoded, stored, and classified, but not organized to covey any specific meaning. Example of data would included bank balance” (Data adalah gambaran dasar, fakta-fakta awal yang belum

  terperinci dari perihal, peristiwa, kegiatan, dan transaksi yang ditangkap, direkam, disimpan dan terklasrifikasi tetapi tidak terorganisir untuk

   menyatakan arti khusus apapun. Contoh data ialah saldo rekening bank).

  Sedangkan Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya (Pasal 1 angka 2 UU ITE)

F. Metode Penelitian

  Metode penelitian ilmiah merupakan realisasi dari rasa ingin tahu manusia dalam taraf keilmuan. Seseorang akan yakin bahwa ada sebab bagi setiap akibat dari gejala yang tampak dan dapat dicari penjelasannya secara ilmiah. Oleh karena itu, perlu bersikap obyektif, karena kesimpulan yang diperoleh hanya akan dapat ditemukan bila dilandasi dengan bukti-bukti yang meyakinkan dan data

   dikumpulkan melalui prosedur yang jelas, sistematis, dan terkontrol.

  Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya. Di samping itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap faktor hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu 37 Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2003), hal. 31, seperti dikutip oleh Lamgok Hertanto Silalahi, Loc.Cit.,hal. 25. 38 Zainuddin Ali, MetodePenelitianHukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 7.

  pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang

  

  bersangkutan. Sudah merupakan ketentuan dalam penyusunan serta penulisan karya ilmiah atau skripsi diperlukan metode penelitian dalam pengajarannya.

  Metode penelitian sebagai suatu hal yang mempunyai cara utama yang digunakan untuk mancapai suatu tujuan. Untuk memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah, penulis dalam melakukan pengumpulan data menerapkan metode pengumpulan data sebagai berikut:

  1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif. yaitu dengan melakukan penelitian kepustakaan yakni penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan, khususnya perundang- undangan dan kepustakan hukum yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang danteknologi informasi. Penelitian yuridis normatif disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinalresearch) atau hukum dikonsepkan sebagai kaedah

  

  Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, penelitian hukum normatif

  

  mencakup :

  a. penelitian terhadap asas-asas hukum;

  b. penelitian terhadap sistematik hukum;

  c. penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal;

  d. perbandingan hukum; dan e. sejarah hukum.

  39 40 Soerjono Soekanto, PengantarPenelitianHukum, (Jakarta: UI Press, 1981), hal. 43.

  Amiruddin dan Zainal Asikin, PengantarMetodePenelitianHukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal.1. 41 , Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif “Suatu Tinjauan Singkat” (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada , 2004), hal. 15.

  2. Sumber Data Untuk menyelesaikan isu mengenai masalah hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya, peneliti memerlukan sumber-sumber penelitian yang disebut bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun sekunder.

42 Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai

  otoritas (autoritatif). Bahan hukum tersebut terdiri atas

   a.

  Peraturan perundang-undangan; : b.

  Catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan; dan c.

  Putusan hakim.

  Sedangkan bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang merupakan dokumen yang tidak resmi.

   1.

  Buku-buku yang berkaitan dengan topik ini, Data sekunder ini mencakup: 2.

  Dokumen-dokumen resmi, 3. Berita-berita hukum di internet, 4. Undang-undang informasi dan transaksi elektronik, 5. Pendapat pakar teknologi informasi/telematika, 6. Hasil penelitian yang berwujud laporan majalah, artikel, dan seminar- seminar atau local karya yang berkaitan dengan topik ini.

  Dalam menjawab permasalahan dalam skripsi ini, data-data yang akan dipakai adalah data sekunder yang berkaitan dengan judul skripsi ini. 42 Peter Mahmud Marzuki, PenelitianHukum, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 141, seperti dikutip oleh Zainuddin Ali, Loc.Cit. 43 Ibid . 44 Ibid .

  3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan

  (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

  4. Analisis Data Analisis data adalah proses menyusun, mengkategorikan data, mencari pola atau thema, dengan maksud untuk memahami maksudnya. Menyusun data

  

  berarti menggolongkannya dalam pola, thema atau kategori. Data sekunder yang telah diperoleh dan disusun secara sistematis kemudian akan dianalisis secara kualitatif.

G. Sistematika Penulisan

  Skripsi ini diuraikan dalam 4 bab dan tiap-tiap bab terbagi atas beberapa sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang digambarkan sebagai berikut:

  BAB I: PENDAHULUAN, bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, tujuan Penulisan dan

   diakses tanggal 07 Desember 2014 pukul 23.30 WIB manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

  BAB II: Pengaturan Mengenai Bukti Elektronik Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam Hukum Pidana Indonesia. Dalam bab ini berisi tentang teori pembuktian dan sistem pembuktian dalam hukum acara pidana Indonesia, ruang lingkup alat bukti dalam hukum pidana Indonesia, dan bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam hukum pidana Indonesia.

  BAB III: Aspek Hukum Pembuktian Elektronik Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang Dikaitkan Dengan UU No.11 Tahun 2008. Dalam bab ini menjelaskan tentang Pembuktian dalam UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan pembuktian elektronik dalam kasus tindak pidana pencucian uangmenurut UU No. 11 tahun 2008.

  BAB IV: Kesimpulan dan Saran. Merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya, yang berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini, yang dilengkapi dengan saran-saran.

Dokumen yang terkait

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan Benalu Kakao (Dendropthoe pentandra (L.) Miq.) - Uji Skrining Fitokimia, Aktivitas Antioksidan Dan Antibakteri Ekstrak Metanol, Etil Asetat Dan N-Heksana Daun Benalu Kakao(Dendrophthoe Pentandra (L.) Miq.)

0 0 28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Konsep dan Ruang Lingkup Perencanaan Transportasi Menurut LPM ITB (1997) , permasalahan transportasi bertambah parah baik di negara - Bangkitan Pergerakan Keluarga pada Perumnas J-City di Kecamatan Medan Johor

1 0 19

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Kota Medan merupakan ibu kota dari Provinsi Sumatera Utara yang secara adminstratif - Bangkitan Pergerakan Keluarga pada Perumnas J-City di Kecamatan Medan Johor

0 0 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Formulasi Tablet Hisap Nanopartikel Daun Sirih Merah (Piper Crocatum Ruiz & Pav.) Secara Granulasi Basah

0 0 14

Sikap Petani Terhadap Kemitraan Kelompok Tani Bunga Sampang Dengan Perusahaan Dagang Rama Putra

0 1 14

BAB II TINJUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN - Sikap Petani Terhadap Kemitraan Kelompok Tani Bunga Sampang Dengan Perusahaan Dagang Rama Putra

0 0 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Posisi Foramen Mentalis Pada Mahasiswa Suku Batak Ditinjau Dari Radiografi Panoramik Di Fkg Usu

0 0 11

b) Pasal 305 KUHP - Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak Dari Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

1 1 19

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang - Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak Dari Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Ta

0 0 29

BAB II PENGATURAN MENGENAI BUKTI ELEKTRONIKSEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Teori Pembuktian atau Sistem Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Indonesia Dilihat dari hukum pembuktian yang dianut oleh Indonesia sekarang, - Tinjauan

0 0 29