BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Masyarakat Tidak Menggunakan Hak Pilihnya Pada Pemilihan Umum Bupati Dan Wakil Bupati Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008 Di Desa Tanjung Anom Kecamatan Pancur Batu Ketua Departemen Ilmu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau sering kali

  disebut Pemilukada, adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat. Pemilukada juga merupakan langkah maju dalam proses demokratisasi lokal di Indonesia. Dimana Pemilukada merupakan sebuah konsekuensi logis diberlakukannya otonomi daerah. Sebelumnya kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Secara sederhana pemilukada adalah merupakan cara individu warga negara yang mendiami suatu wilayah atau daerah tertentu untuk melakukan kontrak politik dengan orang atau partai politik yang diberi mandat menjalankan sebagian hak kewarganegaraan pemilih.

  Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan mekanisme demokratisasi dalam rangka rekrutment pemimpin di daerah, di mana rakyat secara menyeluruh memiliki hak dan kebebasan untuk memilih calon-calon yang didukungnya. Pelaksanaan pemilukada sesungguhnya merupakan tradisi politik dan manivestasi dianutnya paham demokrasi dalam sistem pemerintahan negara kita, serta adanya otonomi daerah yang yang mengizinkan setiap warga negara yang telah memiliki hak pilih di masing-masing daerah di wilayah Indonesia untuk dapat menentukan kepala daerah dan wakil kepala daerahnya seperti yang tertuang dalam

  Pasal 24 ayat (5) UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yaitu “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang

1 Sebuah kehidupan bangsa yang demokratis selalu dilandasi prinsip bersangkutan”.

  bahwa rakyatlah yang berdaulat sehingga rakyat memiliki hak untuk terlibat secara langsung dalam aktivitas politik.

  Ada beberapa argument bagi pemilihan umum kepala daerah terkait dengan kedaulatan rakyat, yaitu mencakup hal-hal sebagai berikut: Pertama, rakyat secara langsung dapat menggunakan hak-haknya secara utuh. Menjadikan kewajiban negara memberikan perlindungan terhadap pilihan rakyat. Salah satu cara hak politik rakyat adalah hak memilih calon pemimpin. Penundaan atau peniadaan hak pilih tidak hanya mengurangi signifikansi nilai-nilai demokrasi dalam pemilukada tetapi juga mengancam legitimasi pemimpin daerah. Kedua , wujud nyata asas pertanggungjawaban dan akuntabilitas publik seorang pemimpin merupakan landasan 1 yang sangat penting guna menjaga kelangsungan sebuah kepemimpinan politik.

  Undang-undang Otonomi Daerah Terbaru, Yogyakarta: Pusataka Pelajar, 2005, hal.28 Melalui pemilukada, maka seseorang kepala daerah harus dapat mempertanggungjawabkan kepemimpinan kepada rakyat yang memilih. Tingkat penerimaan rakyat kepada kepala daerah merupakan jaminan bagi peningkatan partisipasi politik rakyat yang akan menjaga kelanggengan sebuah kepemimpinan.

  Ketiga , menciptakan suasana kondusif bagi terciptanya hubungan sinergi antara

  pemerintah dan rakyat. Pemerintah akan melaksanakan kehendaknya sesuai dengan kehendak rakyat. Keserasian dan keseimbangan hubungan antara ketiganya membawa pengaruh yang sangat menentukan bagi tegaknya suatu pemerintahan yang

  2 demokratis.

  Sebuah negara yang menganut demokrasi harus melaksanakan pemilihan umum. Dalam demokrasi, pemilihan umum adalah bagian dari perwujutan hak-hak asasi yaitu kebebasan berbicara dan berpendapat, juga kebebasan berserikat. Melalui pemilihan ini pula rakyat membatasi kekuasaan pemerintah, sebab melalui pemilihan rakyat dapat mengangkat dan memberhentikan suatu rezim pemerintahan. Selain itu partisipasi politik merupakan aspek penting lainya dalam sebuah tatanan negara yang demokratis, dan sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Budiardjo secara umum mengartikan partisipasi politik sebagai suatu kegiatan seseorang atau sekelompok orang yang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu 2 dengan jalan memilih pemimpin negara secara langsung atau tidak langsung

  

Joko Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005, hal.128- 129 mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kebijakan ini mencakup seperti memberikan suara pada pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi salah satu anggota partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan dengan pejabat pemerintah

  3 atau anggota parlemen atau sebagainya.

  Berbicara mengenai perilaku pemilih sedikit banyak mempunyai kesamaan dengan konsep partisipasi politik. Partisipasi politik merupakan berbicara mengenai kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum. Herbert McClosky, dalam International

  

Encyclopedia of The Sosial Science , menyebutkan bahwa partisipasi politik adalah

  kegiatan-kegiatan sukarela dari warga negara masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung terlibat

  4

  dalam proses pembentukan kebijakan umum. Sedangkan perilaku politik seseorang adalah pikiran dan tindakan yang berkaitan dengan pemerintah. Perilaku politik juga meliputi tanggapan-tanggapan seperti persepsi dan juga meliputi tindakan-tindakan nyata seperti pemberian suara, protes, lobi an lain sebagainya.

  Secara sederhana menurut Almond, jenis partisipasi politik terbagi menjadi 3 dua: Pertama, partisipasi secara konvensional di mana prosedur dan waktu 4 Miriam Budiardjo, Partisipasi Dan Partai Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1998, hal.2

Herbert McClosky, dalam Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka

  Utama,2008. Hal. 367 partisipasinya diketahui publik secara pasti oleh semua warga. Kedua, partisipasi secara non-konvensional. Artinya,prosedur dan waktu partisipasi ditentukan sendiri

  5 oleh anggota masyarakat yang melakukan partisipasi itu sendiri.

  Sehingga dalam penelitian ini penulis merasa tertarik untuk meneliti faktor- faktor yang mempengaruhi tingginya jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihanya. Keikutsertaan dan ketidakikutsertaan masyarakat dalam pemilu menunjukkan sejauhmana tingkat partisipasi konvensional warga negara. Seseorang yang ikut mencoblos dalam pemilu secara sederhana menunjukan komitment partisipasi warga. Tapi orang yang tidak menggunakan hak memilihnya dalam pemilu bukan berarti ia tidak punya kepedulian terhadap masalah-masalah publik. Bisa jadi ia ingin mengatakan penolakan atau ketidakpuasan terhadap kinerja elite politik di pemerintahan maupun partai dengan cara golput. Golput sendiri dapat berupa tindakan diam dengan tidak menggunakan hak memilihnya, dimana diam bukan berarti tidak memiliki sikap politik. Diam itu sendiri dapat dikatakan sebagai sikap politik, sebab dengan diam tidak berarti bahwa yang bersangkutan tidak memiliki pengkhayatan terhadap objek atau persoalan tertentu yang ada di sekitarnya. Diam adalah salah satu pilihan sikap. Oleh karena itu dibalik sikap itu terdapat suatu

  6 5 pertimbangan dan perasaan-perasaan tertentu atas objek yang ada di sekitarnya.

  

G.Almond dalam P. Antonius Sitepu, Sistem Politik Indonesia. Medan: Pustaka Bangsa

6 Press,2006.Hal.131-132 Sudijono Sastroatmojo. Perilaku Politik. Semarang. IKIP Semarang Press. 1995. Hal 5

  Rakyat memiliki kedaulatan penuh atas hak politiknya. Salah satu hak politik rakyat adalah memilih calon pemimpinnya. Penundaan atau peniadaan hak pilih tidak hanya mengurangi secara signifikan nilai-nilai demokrasi dalam pemilihan langsung. Namun bahkan setiap saat mengancam legitimasi pemimpin daerah. Perlu dikatagorikan bahwa ada beberapa katagori disebut pemilih resmi yang ditentukan oleh pemerintah. Diantaranya ada dua katagori yang relevan, yaitu katagori suara tak sah dan katagori yang tidak menggunakan hak pilihnya. Dalam banyak media massa

  7 dua katagori ini dijadikan satu, dan golput dinyatakan termasuk di dalamnya .

  Sehingga dapat saya simpulkan bahwa ada dua jenis golongan putih (golput), yaitu:

  

Pertama golput yang tidak disengaja, yang terdiri dari suara tidak sah. Kedua, golput

yang sengaja, yang terdiri dari pemilih yang tidak menggunkan hak pilihnya.

  Kelahiran golput dalam sistem politik di Indonesia diawali dengan keprihatinan yang mendalam terhadap perilaku politik elite yang hanya bercerita tentang kekuasaan dan bagaimana mempertahankannya. Golput ditandai dengan tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu (waktu itu tahun 1971). Terdapat dekonstruksi terhadap mainstream perilaku politik sebagai manivestasi pembangkaan sipil. Taktik ini dimaksudkan sebagai perimbangan posisi tawar menawar antara elite dengan kontituen pemilih yang selama ini timpang. Delegitimasi pemilu mungkin 7 saja terjadi dalam bentuk angka statistic persentase jumlah perolehan suara. Semakin

  Mariam Budiarjo. Op.Cit, Hal 488 rendah persentase jumlah pemilih dibanding angka golput menjadi penanda awal

  8 bahwa pemenang pemilu tidak kredibel di mata rakyat.

  Menurut Muhammad Asfar dalam Presiden Golput yang merupakan hasil penelitianya pada pertengahan 2003 terdapat para pemilih yang memastikan tidak

  9

  akan menggunakan hak pilihnya pada pemilu 2004 alias golput. Asfar menggambarkan bahwasanya ada bebrapa faktor yang mempengaruhi perilaku golput di Indonesia. Pertama, karakteristik kepribadian dan pengalaman sosial politik, persepsi dan evaluasi terhadap sistem politik dan sistem pemilu. Kedua, faktor sistem politik dan pemilu. Ketiga, rendahnya kepercayaan politik masyarakat. Keempat, latar belakang sosial ekonomi.

  Di Indonesia sendiri baru memberlakukan pemilihan kepala daerah secara langsung ketika dikeluarkannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan petunjuk pelaksanaannya tertuang dalam Peraturan Pemerintahan No. 6 Tahun 2005 tentang tata cara pemilihan, pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah . Undang-Undang ini memberikan perubahan yang sangat signifikan dalam tata pemerintahan dan bahkan adanya pemilihan kepala daerah secara langsung. Ini berarti semangat untuk memberikan 8 kesempatan yang seluasnya bagi masyarakat daerah untuk berbenah sesuai dengan

  iakses pada tanggal 15 9 maret 2012 pukul 22.00wib Muhammad Asfar. Presiden Golput. JP Press. Surabaya, 2004, hal 58 keinginanya. Dan pada akhirnya setiap kepala daerah akan terasa lebih dekat dengan rakyatnya. Artinya, semua kebijakan yang akan diambil kepala daerah benar-benar berdasarkan kubutuhan rakyat yang sesungguhnya. Selain itu setiap kandidat calon kepala daerah tentunya akan berusaha bersaing untuk merebut suara pemilih dalam memenangkan kompetisi pemilukada tersebut. Dalam iklim politik yang penuh dengan persaingan terbuka dan transparan, setiap kontestan membutuhkan suatu metode yang dapat memfasilitasi mereka dalam memasarkan inisiatif politik, gagasan politik, isu politik, ideologi partai, karakteristik pemimpin dan program kerja kepada

  10

  masyarakat. Salah satu kelemahan pemilihan kepala daerah secara langsung ialah aktifitas rakyat terganggu, kesibukan warga menjalankan aktivitas sehari-hari dengan mudah bisa terganggu karena pelaksanaan pemilihan secara langsung ini.

  Kabupaten Deli Serdang sebagai salah satu kabupaten yang ada di Indonesia juga sepertinya tidak mau ketinggalan dengan pemilihan kepala daerah secara langsung tersebut. Hal ini dapat kita lihat dengan antusiasme para putra dan putri daerah Kabupaten Deli Serdang maupun tokoh-tokoh masyarakat yang mencalonkan diri pada pemilukada yang dilaksanakan pada 27 Oktober 2008. Dimana ada sembilan pasangan calon yang bertarung dalam pemilihan tersebut. Berikut ini adalah daftar pasangan calon kepla daerah Kabupaten Deli Serdang yang ditetapkan oleh Komisi 10 Pemilihan Umum Kabupaten Deli Serdang tahun 2008:

  Firmanzah, Marketing Politik:Yayasan Obor Indonesia,2007,hal.21

  Tabel1.1 Daftar Nama Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

  No.Urut Nama Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

  Latar Belakang Calon

  1 H. SIHABUDIN, SE dan Ir. SURIA DARMA GINTING, SP.MM

  Independent

  2 H. WAGIRIN ARMAN dan Hj. CHAIRIAH SUDJONO GIATMO,

  SE Partai Golkar

  3 SAIFUL ANWAR, S.Sos, MSP dan SUGITO

  Independent

  4 Drs. T. AKHMAD THALA'A dan SATRYA YUDHA WIBOWO, ST

  PKS

  5 Drs. H. AMRI TAMBUNAN dan ZAINUDDIN MARS

  Partai Demokrat

  6 RUBEN TARIGAN, SE dan DEDI IRWANSYAH, SE

  PDI-P

  7 Drs. H. HASAIDDIN DAULAY dan Independent

  Drs. H. PUTRAMA ALKHAIRI

  H. M. SUPRIYANTO Independent 8 dan DICKY ZULKARNAIN, SE

  Drs. RABU ALAM SYAHPUTRA Independent 9 dan Ir. RAHMAD SETIA BUDI, M.Sc

  Sumber: KPUD Kabupaten Deli Serdang

  Kabupaten Deli Serdang terdiri dari 22 kecamatan, 394 desa dan 1.181.807 jumlah pemilih tetap pada pemilihan Bupati tahun 2008. Salah satu kecamatan yang menarik untuk diteliti adalah Kecamatan Pancur Batu. Di mana Kecamatan Pancur Batu ini terdiri dari 25 desa dengan masing-masing desa tersebut memiliki ciri khas, ras, dan agama yang berbeda dan masyarakatnya sangat memegang teguh kekhasannya tersebut. Alasan lain mengapa Kecamatan Pancur Batu menjadi menarik untuk dijadikan tempat penelitian adalah karena tingkat partisipasi pemilih di daerah ini termasuk rendah dalam setiap pemilihan umum bila dibandingkan dengan daerah atau kecamatan lainya yang ada di Kabupaten Deli Serdang. Berikut ini adalah perbandingan tingkat partisipasi pemilih di Kecamatan Pancur Batu dalam setiap pemilihan umum:

  Tabel 1.2 Perbandingan Tingkat Partisipasi Pemilih Dalam Pemilu

  No Pemilu Jumlah

  DPT Jumlah

  Suara sah Jumlah

  Suara tidak sah Partisipasi

  Pemilih (%)

  1 Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara 2008

  49.490 28.623 430 58,7

  2 Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Deli Serdang 2008

  55.694 24.460 140 55,8

  3 Presiden dan Wakil Presiden 2009

  58.882 35.005 871 60,9 Sumber: KPUD Kabupaten Deli Serdang.

  Diawali pada pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara pada bulan April 2008, jumlah pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) adalah 49.490 pemilih, dimana jumlah suara sah 28.623 dan suara tidak sah 430 suara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat partisipasi masyarakat pada pemilu gubernur dan wakil gubernur ini 58,7%. Pada pemilihan umum Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Deli Serdang yang dilaksanakan pada Oktober 2008, jumlah pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) 55.694 pemilih dimana jumlah suara sah 24.460 dan suara tidak sah 140 suara. Dengan demikian partisipasi masyarakat pada pemilu bupati dan wakil bupati 55,8 %. Pada pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan pada tahun 2009, jumlah pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) 58.882 pemilih, dimana jumlah suara sah 35.005 dan suara tidak sah 871 suara. Dengan demikian partisipasi

  11 masyarakat pada pemilu Presiden dan Wakil Presiden 60,93 %.

  Tingginya persentasi pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya di daerah ini pada setiap pemilihan umum menjadikan saya tertarik untuk mengetahui alasan masyarakat di Desa Tanjung Anom Kecamatan Pancur Batu tidak mempergunakan hak pilihnya pada pemilihan umum. Untuk menganalisis faktor-faktor tersebut peneliti menggunakan pendekatan behavioralism atau pendekatan tingkah laku, yang merupakan salah satu pendekatan ilmu politik guna memahami realitas fenomena politik.

  Berdasarkan pemaparan data di atas dapat dilihat bahwa pada pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Deli Serdang tahun 2008 merupakan pemilihan umum dengan tingkat partisipasi pemilih yang terrendah yaitu hanya 55,80%, dan sebanyak 44,20% pemilih yang tidak menguunakan hak pilihnya. Tindakan untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum yang dilakukan oleh masyarakat tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor.Oleh karena itu dalam 11 penelitian ini peneliti akan berusaha untuk menemukan faktor-faktor penyebab

  Data Resmi KPU Deli Serdang masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilinya pada pemilihan umum sekaligus meneliti kecendrungan partisipasi politik masyarakatnya. Untuk itu peneliti akan melakukan penelitian dengan judul: FAKTOR-FAKTOR YANG

  

MEMPENGARUHI MASYARAKAT TIDAK MENGGUNAKAN HAK

PILIHNYA PADA PEMILIHAN UMUM BUPATI DAN WAKIL BUPATI KABUPATEN DELI SERDANG TAHUN 2008 DI DESA TANJUNG ANOM KECAMATAN PANCUR BATU.

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas maka dengan demikian permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pemilih di Desa Tanjung Anom

  Kecamatan Pancur Batu untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Deli Serdang 2008?

C. Pembatasan Masalah

  Agar penelitian terfokus terhadap permasalahanya, akan lebih baik jika dibuat pembatasan masalah. Pada penelitian ini adapun masalah yang ingin diteliti adalah:

  1. Penelitian ini akan melihat bagaimana pendapat masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya (terdaftar di Daftar Pemilih Tetap) pada Pemilihan

  Umum Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Deli Serdang 2008 di Desa Tanjung Anom Kecamatan Pancur Batu 2. Analisis studi pada penelitian ini akan lebih terfokus pada perolehan suara hasil Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Deli Serdang

  2008.

D. Tujuan Penelitian

  Adapun yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Memahami faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat di Desa Tanjung

  Anom Kecamatan Pancur Batu untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Deli Serdang 2008.

2. Mengetahui tingkat partisipasi masyarakat di Desa Tanjung Anom Kecamatan

  Pancur Batu pada Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Deli Serdang 2008.

E. Manfaat Penelitian

  Selain beberapa tujuan, sebuah penelitian juga diarahkan agar banyak berdayaguna dan memiliki manfaat bagi peneliti maupun masyarakat luas oleh sebab itu adapun manfaat dari penelitian ini antara lain ialah : 1.

  Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan berfikir secara sistematis dalam melihat fenomena politik yang terjadi di masyarakat.

  2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi untuk menambah khasanah keilmuan dan mengembangkan konsep maupun teori yang berhubungan dengan partisipasi politik masyarakat.

  3. Bagi pembaca, diharapkan penelitian ini dapat menambah informasi dan pengetahuan tentang prilaku pemilih dan factor-faktor yang mempengaruhinya.

  4. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan kesimpulan tentang partisipasi politik masyarakat multikultural agar dapat meminimalisir terjadinya golongan putih (Golput) 5. Bagi masyarakat hasil penelitian ini dapat menjadikan sebagai sarana pendidikan politik dan menjadi sarana pembelajaran dalam memberikan pilihan pada pemilukada.

F. Kerangka Teori F.1 Perilaku Golongan Putih (Golput) F.1.1 Pengertian Golongan Putih (Golput)

  Golongan Putih (Golput) merupakan ketidakhadiran seseorang dalam pemilihan umum untuk ikut serta menentukan pilihannya dalam bilik suara yang berkaitan dengan kepuasan dan ketidakpuasan pemilih. Menurut Arbi Sanit Golput dalam pemilihan umum merupakan muara bagi sikap kritis dan kekecewaan ataupun ketidakpuasan warga masyarakat terhadap proses politik yang mereka alamai atau mereka rasakan. Walaupun begitu, bukan berarti bahwa setiap orang yang kecewa secara langsung bergabung dengan golput. Golput menjadi pilihan bagi mereka yang mempunyai gambaran jelas tentang hambatan perkembangan demokrasi di dalam kehidupan politik. Mereka paham tentang fungsi pemilihan umum terhadap penciptaan legitimasi sistem politik. Oleh karena itu mereka secara sadar menggunakan hak pilih tanpa mengikuti peraturan yang berlaku dengan maksud membatalkan penyerahan suaranya kepada kontestan pemilihan umum dengan jalan menusuk lebih dari satu tanda gambar atau menusuk kartu di luar suara gambar

  12

  kontestan. Dalam konteks lain golput adalah suatu sikap politikyang tidak menggunkan hak pilih pada saat hari H pemilihan umum karena faktor tidak adanya

  13 motivasi.

  Menurut pandangan Mc Closky, golput merupakan suatu sikap acuh tidak acuh dan tidak tertarik oleh, atau kurang paham mengenai masalah politik, ada juga karena tidak yakin bahwa usaha untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah akan berhasil dan ada juga yang sengaja tidak memanfaatkan kesempatan memilih karena kebetulan berada dalam lingkungan minoritas dimana ketidakikutsertaan merupakan hal terpuji. Ada sekelompok sarjana lainya yang mengemukakan bahwa mungkin saja 12 orang tidak ikut memilih dalam pemilihan umum karena berpendapat bahwa keadaan

  Arbi Sanit (Eds). Aneka Pandangan Fenomena Politik Golput. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 13 1991. Hal.32 Muhammad Asfar,Op.Cit, Hal. 34 yang ada tidak terlalu buruk dan dia percaya bahwa siapapun yang akan dipilih tidak akan merubah keadaan itu, sehingga dia tidak merasa perlu untuk memanfaatkan hak pilihnya. Golput adalah gerakan protes politik yang berakar kepeda segenap bangsa, akan tetapi semuanya dapat dipulangkan kepada demokrasi. Sasaran protes mereka adalah pemilu, akan tetapi tujuannya ialah mewujudkan demokrasi disegenap kehidupan masyarakat dan kenegaraan sebagai cita-cita kemerdekaan.

  F.1.2. Bentuk-Bentuk Perilaku Golongan Putih (Golput)

  Ada beberapa katagori disebut pemilih resmi yang ditentukan oleh pemerintah. Diantaranya ada dua katagori yang relevan, yaitu katagori suara tak sah dan katagori yang tidak menggunakan hak pilihnya. Dalam banyak media massa dua

  14

  katagori ini dijadikan satu, dan golput dinyatakan termasuk di dalamnya . Sehingga dapat saya simpulkan bahwa ada dua jenis golongan putih (golput), yaitu: Pertama golput yang tidak disengaja, yang terdiri dari suara tidak sah. Kedua, golput yang sengaja, yang terdiri dari pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya. Di balik golput setidaknya terdapat dua kecendrungan, yaitu:

  a. Bentuk Penolakan Politik Pemilihan umum sebagai proses dalam mencari pemimpin baru yang berkualitas dan sesuai dengan pilihan rakyat menjadi terdelegitimasikan oleh aksi 14 mogok dan aksi apatis masyarakat untuk tidak memilih. Itu artinya, siapapun calon Mariam Budiarjo. Loc.Cit. pemimpin pilihan rakyat belum menunjukan keinginan mayoritas warga. Pada umumnya perilaku golput ini lebih sering disebut dengan Golput pasif, tidak datang ke Tempat Pemunggutan Suara (TPS) karena dorongan pribadi dan untuk diri sendiri tanpa berusaha mempengaruhi orang lain.

  b. Bentuk Pembangkangan Sipil Motif Golput katagori ini bukan sekedar apatisme, melainkan sebuah kritik.

  Reproduksi wacana golput menjadi sarana kritik dan ruang koreksi bagi laju demokrasi bangsa. Hal ini karena perilaku memutuskan tidak memilih di dasarkan

  15 pada penilaian-penilaian terhadap para elite politik.

  F.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Golongan Putih (Golput)

  Berikut ini akan dipaparkan beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang untuk tidak menggunakan hak pilihnya dilihat dari perspektif tingkah laku dan perspektif struktur ataupun sistem yang diterapkan, antara lain:

  1. Faktor Psikologis

  15 diakses pada tangga 14 Maret 2012 pukul 13.00WIB.

  Penjelasan tidak memilih dari faktor psikologis pada dasarnya dikelompokkan dalam dua katagori. Pertama, berkaitan dengan cirri-ciri kepribadian seseorang.

  Dimana bahwa perilaku tidak memilih disebabkan oleh kepribadian yang tidak toleran, otoriter, tak acuh, perasaan tidak aman, perasaan khawatir, kurang mempunyai tanggung jawab secara pribadi dan semacamnya. Orang yang mempunyai kepribadian yang tidak toleran atau tak acuh cendrung untuk tidak memilih serta menarik diri dari pencaturan politik langsung, karena tidak berhubungan dengan kepentingannya. Dimana keputusan seseorang untuk ikut memilih atau tidak ditentukan oleh kedekatan dengan partai atau kandidat yang ada. Ciri-ciri kepribadian ini umumnya diperoleh sejak lahir bahkan lebih bersifat keturunan dan muncul secara konsisten dalam setiap perilaku. Kedua, berkaitan dengan orientasi kepribadian seseorang. Dimana bahwa perilaku tidak memilih disebabkan oleh orientasi kepribadian pemilih, yang secara konseptual menunjukan karakteristik apatis, anomi, dan alienasi. Apatis sebenarnya merupakan jelmaan atau pengembangan lebih jauh dari kepribadian otoriter, ditandai dengan tiadanya minat terhadap persoalan- persoalan politik. Hal ini bisa disebabkan oleh rendahnya sosialisasi politik atau rendahnya proses transformasi budaya politik dari satu generasi ke generasi berikutnya serta adanya perasaan bahwa aktifitas politik tidak menyebabkan perasaan tidak berguna. Mereka melihat bahwa aktivitas politik sebagai sesuatu yang sia-sia, karena mereka merasa tidak mungkin mempengaruhi peristiwa atau kebijakan politik.

  Bagi pemilih semacam ini, memilih atau tidak memilih tidak mempunyai pengaruh apa-apa, karena keputusan-keputusan politik seringkali berada di luar kontrol para pemilih. Anomi menunjukan pada sikap tidak mampu, terutama pada keputusan yang dapat diantisipasi. Individu-individu mengakui kegiatan politik sebagai sesuatu yang berguna. Ia merasa bahwa ia benar-benar tidak dapat mempengaruhi peristiwa- peristiwa dan kekuatan-kekuatan politik. Sedangkan alienasi merupakan perasaan keterasingan secara aktif dan merupakan perasaan tidak percaya terhadap pemerintah. Seseorang merasa dirinya tidak terlibat dalam banyak urusan politik. Pemerintah diangap tidak mempunyai pengaruh, terutama pengaruh baik terhadap kehidupan seseorang.

  2. Faktor Latar Belakang Status Sosial-Ekonomi Menempatkan variabel status sosial-ekonomi sebagai variabel penjelasan perilaku golput selalu mengandung makna ganda. Pada satu sisi variabel status sosial- ekonomi memang dapat diletakkan sebagi variabel independen untuk menjelaskan perilaku golput atau perilaku tidak memilih tersebut. Namun pada satu sisi lain, variabel tersebut dapat juga dapat digunakan sebagai indikator untuk mengukur karakteristik pemilih golput itu sendiri. Setidaknya ada tiga indikator yang bisa digunakan untuk mengukur variabel status sosial-ekonomi, yaitu tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan tingkat pekerjaan. Lazimnya variabel status sosial-ekonomi digunakan untuk menjelaskan perilaku memilih. Namun, dengan menggunakan proporsi yang berlawanan, pada saat yang sama variabel tersebut sebenarnya juga dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku tidak memilih. Artinya, jika tinggi tingkat pendidikan berhubungan dengan kehadiran memilih, itu berarti rendahnya tingkat pendidikan seseorang berhubungan dengan ketidakhadiran pemilih.

  3. Faktor Kepercayaan Politik Faktor ini menjelaskan bagaimana masyarakat membuat pilihan politiknya dalam hal ini tidak menggunakan hak pilihnya ditentukan dengan pertimbangan secara tidak langsung dari kinerja pemerintah selama ini. Semakin seseorang mengetahui informasi politik, semakin banyak mereka mengetahui kekurangan- kekurangan atau praktek-praktek buruk yang dilakukan pemerintah. Dapat disimpulkan bahwa, seseorang yang mempunyai tingkat efikasi (informasi politik) tinggi dan menganggap pemerintah tidak dapat dipercaya (kepercayaan politik randah), maka mereka akan menunjukan derajat yang tinggi dalam aktivitas tidak memilih. Sementara itu, mereka yang memiliki tingkat efikasinya tinggi dan merasa percaya terhadap pemerintah, maka akan menunjukan derajat yang tingi dalam aktivitas hak-hak sipil. Namun jika variabel efikasi (informasi politik) rendah, maka kedua hubungan ini tidak berlaku.

  4. Faktor Sistem Politik Konsep sistem disini tidak semata-mata dalam pengertian prosedur dan aturan main, tetapi lebih mengarah pada kebijakan pemerintah dan kinerjanya dalam mengimplementasikan berbagai kebijakan tersebut. Salah satunya adalah sistem politik yang sedang dikembangkan oleh rezim yang berkuasa dinilai tidak mampu membangun demokrasi yang sehat, baik ditingkat elite maupun massa. Ketidakpercayaan pada sistem politik yang ada dapat mempengaruhi tingginya angka ketidakhadiran pemilih. Dimana alasan pemilih tidak hadir dalam pemilihan umum karena merasa puas dengan keadaan yang ada. Ketidakhadiran pada saat pemilu merupakan petanda rendahnya kepercayaan pada sistem politik. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi atau penyebab rendahnya kepercayaan politik ialah: Pertama, tidak berfungsinya lembaga perwakilan rakyat. Kedua, tidak berfungsinya lembaga peradilan. Ketiga, praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh pemerintah. Keempat, praktik-praktik kebohongan dan inkonsistensi yang dilakukan oleh pemerintah. Kelima, berbagai kebijakan politik pemerintahaan yang tidak kondusif.

  5. Sistem Pemilihan Umum Sikap tidak memilih juga berkaitan dengan persepsi dan evaluasi terhadap sistem dan penyelenggaraan pemilu. Dengan sistem pemilu yang tidak jelas dinilai tidak akan menjanjikan perubahan apapun. Pemilu hanyalah sebagai symbol bahwa kehidupan politik dujalankan melalui cara demokrasi, namun pemilu itu sendiri tidak dijalankan dengan semangat dan cara-cara demokratis. Fungsi pemilu lebih berperan sebagai upaya untuk memproduksi kekuasaan dari pada implementasi kehidupan berdemokrasi. Artinya pemilu lebih dimaknai sebagai sarana untuk mempertahankan status quo penguasa dibandingkan sebagai sarana untuk melakukan perubahan politik.

16 Selain faktor-faktor di atas, Lipset membagi faktor-faktor yang mempengaruhi

  kehadiran dan ketiakhadiran pemilih ke dalam empat katagori, yaitu: 1. Berkaitan dengan kebijakan pemerintah.

  Kelompok yang mempunyai kepentingan secara langsung dengan kebijakan pemerintah, seperti pegawai negeri, para pensiunan, petani dan semacamnya, menunjukan tingkat kehadiran yang lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak mempunyai kepentingan secara langsung dengan kebijakan pemerintah, seperti kaum buruh, buruh tani, buruh bangunan dan lain sebagainya.

  2. Akses terhadap informasi. Seseorang yang mempunyai akses terhadap informasi yang lebih lengkap akan cendrung tinggi tingkat kehadiranya. Akses informasi ini biasanya berkaitan dengan tingkat pendidikan, di samping keterlibatannya dalam organisasi-organisasi sosial 16 kemasyarakatan.

  Muhammad Asfar. Op.Cit, hal 42

  3. Berkaitan dengan adanya tekanan untuk memilih atau tidak memilih dari kelompok tertentu.

  Jika tekanan kelompok tertentu untuk tidak memilih begitu kuat dan calon pemilih terpengaruh, maka hal ini akan didikapi dengan tidak hadir dalam pemilihan umum.

  4. Berkaitan dengan adanya tekanan menyilang (cross pressure) Ketika seseorang ditekan untuk memilih partai yang berbeda, mereka mungkin menyelesaikan konflik ini dengan menarik diri sama sekali dalam pemilihan umum.

F. 2 Teori Partisipasi Politik F.2.1 Pengertian Partisipasi Politik

  Partisipasi politik merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara yang demokratis, namun merupakan sebuah ciri khas adanya modrenisasi politik.

  Partisipasi politik juga merupakan kegiatan yang dilakukan warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah.

  Budiardjo secara umum mengartikan partisipasi politik sebagai suatu kegiatan seseorang atau sekelompok orang yang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pemimpin Negara secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kebijakan ini mencakup seperti memberikan suara pada pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi salah satu anggota partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan dengan

  17 pejabat pemerintah atau anggota parlemen atau sebagainya.

  Berbicara mengenai partisipasi politik yakni berbicara mengenai kegiatan- kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalm proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum. Herbert McClosky, dalam International

  

Encyclopedia of The Sosial Science , menyebutkan bahwa partisipasi politik adalah

  kegiatan-kegiatan sukarela dari warga negara masyarakat melaui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung terlibat

  18 dalam proses pembentukan kebijakan umum.

  Selain pandapat dari ahli sebelumya, Samuel P.Huntington dan Joan. H. Nelson mengatakan bahwa partisipasi politik adalah sebuah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah, karena partisipasi bisa bersifat individu atau

  17 18 Miriam Budiardjo. Partisipasi Dan Partai Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.1998. hal.2 Herbert McClosky. dalam Miriam Budiardjo. Dasar-dasar Ilmu Politik. Op.Cit. Hal. 367 kolektif, terorganisi atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan

  19 kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.

  Jika dikaji dalam ruang lingkup yang lebih luas lagi, partisipasi politik itu akan menjadi bervariasi bersamaan dengan perbedaan-perbedaan sistem politik yang berlangsung dalam suatu negara, akan tetapi pola dasarnya adalah sama. Penelitian Milbrath membuktikan ini, sehingga ia menyimpulkan bahwa partisipasi politik bervariasi yang berkaitan dengan empat faktor, yaitu: pertama, sejauhmana orang menerima berkaitan perangsang politik. Kedua, karakteristik pribadi seseorang.

  

Ketiga , karakteristik sosial seseorang. Keempat, keadaan politik atau lingkungan

  politik dalam mana seseorang dapat menemukan dirinya sendiri. Keempat hal tersebut yang menjadi dasar dari pada individu untuk berpartisipasi dalam sistem

  20 politik.

  Partisipasi sebagai suatu kegiatan politik dapat dibedakan menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Yang termasuk kedalam partisipasi aktif adalah mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, megajukan suatu alternatife kebijakan umum yang berlainan dengan kebijakan yang dibuat pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan, membayar pajak dan 19 memilih pimpinan pemerintahan. Partisipasi aktif merupakan kegiatan yang

  

Samuel P.Huntington dan Joen Nelson. Partisipasi Politik Di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka 20 Cipta,1990.Hal.2

Michael Rush dan Philip Althoff. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: CV.Rajawali. 2001. Hal 165 berorientasi pada proses input dan output politik. Sebaliknya partisipasi pasif merujuk pada kegiatan yang menaati pemerintah, menerima dan melaksanakan saja setiap keputusan pemerintah. Partisipasi pasif berorientasi kepada proses output. Disamping itu terdapat sejumlah masyarakat yang tidak tergolong kedalam katagori aktif maupun pasif karena mereka menganggap masyarakat dan sistem politik yang ada telah menyimpang dari apa yang mereka cita-citakan. Kelompok ini disebut

  21 apatis atau golongan putih (golput).

  F.2.2 Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik

  Secara sederhana menurut Gabriel A. Almond, jenis partisipasi politik dapat dibedakan atas dua bentuk yaitu:

  1. Partisipasi secara konvensional, yaitu seuatu bentuk partisipasi di mana prosedur dan waktu partisipasinya diketahui publik secara pasti oleh semua warga.

  2. Partisipasi secara non-konvensional, yaitu suatu bentuk partisipasi di mana prosedur dan waktu partisipasi ditentukan sendiri oleh anggota masyarakat

  22 yang melakukan partisipasi itu sendiri.

  Adapun rincian dari pandangan Almond tentang dua bentuk partisipasi politik dapat dilihat pada tabel berikut: 21 Tabel 1.3 22 Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widya Sarana.1992. Hal.182 G.Almond dalam P. Antonius Sitepu. Loc.Cit.

  Bentuk-bentuk Partisipasi Politik Konvensional Non-Konvensional

   Pemberian Suara  Diskusi politik  Kegiatan kampanye  Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan  Komunikasi dengan pejabat politik

   Pengajuan petisi  Demonstrasi  Konfrontasi  Mogok  Tindak kekerasan terhadap benda (perusakan, pemboman, pembakaran)  Tindak kekerasan terhadap manusia (penculikan, Pembunuhan)  Perang Gerilya  Revolusi Sumber: Gabriel A. Almond (dalam Leo Agustino, 2007:61)

  Jenis partisipasi yang pertama, terutama pemilu dan kampanye. Keikutsertaan dan ketidakikutsertaan masyarakat dalam pemilu menunjukkan sejauhmana tingkat partisipasi konvensional warga negara. Seseorang yang ikut mencoblos dalam pemilu secara sederhana menunjukan komitment partisipasi warga. Tapi orang yang tidak menggunakan hak memilihnya dalam pemilu bukan berarti ia tidak punya kepedulian terhadap masalah-masalah publik. Bisa jadi ia ingin mengatakan penolakan atau ketidakpuasan terhadap kinerja elite politik di pemerintahan maupun partai dengan cara golput.

  Di Indonesia istilah Golput lebih dikenal daripada istilah apati dalam setiap pemyelenggaraan pemilu. Istilah ini muncul tahun 1970-an, mengacu pada sikap dan tindakan politik untuk tidak berpartisipasi dalam pemilihan umum Orde Baru karena dinilai tidak demokratis. Golput adalah proses politik, merupakan refleksi ketidakpercayaan terhadap partai politik dan pemerintahan yang menggunakan

  23 pemilu untuk melegitimasi rezim otoritarian.

  Sementara bentuk partisipasi politik yang kedua, biasanya terkait dengan aspirasi politik seseorang yang merasa diabaikan oleh institusi demokrasi, dan karenanya menyalurkannya melalui protes sosial atau demonstrasi. Wujud dari protes sosial ini juga beragam, seperti memboikot, mogok, petisi, dialog, turun ke jalan, bahkan tidak jarang merusak fasilitas umum.

  Selain itu Michael Rush dan Philip Althoff juga mengajukan hierarki partisipasi politik sebagai suatu tipologi politik. Hierarki tertinggi dari partisipasi politik menurut Rush dan Althoff adalah menduduki jabatan politik atau administratif. Sedangkan hierarki terendah dari suatu partisipasi politik adalah orang yang apati secara total, yaitu orang yang tidak melakukan aktifitas politik apapun. Semakin tinggi hierarki partisipasi politik maka semakin kecil kuantitas dari 23 keterlibatan orang-orang, seperti yang diperlihatkan dalam tabel hierarki partisipasi

  

Lihat,Saiful Muzani, Mitos Golput, dalam KOMPAS, 25 Mei 2004, hal 4, dalam Jurnal Politea, Husnul Isa Harahap, Partisipasi Politik Masyarakat Kota Binjai (Studi Analisis Terhadap Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Langsung Tahun 2004 Tahap 1 . Hal. 46 politik di bawah ini dimana garis vertikal segitiga menunjukan hierarki, sedangkan garis horizontalnya menunjukan kuantitas dari keterlibatan orang-orang.

  Tabel 1.4 Hierarki Partisipasi Politik

  Menduduki jabatan politik atau administratif Mencari jabatan politik atau administratif Keanggotaan aktif suatu organisasi politik Keanggotaan pasif suatu organisasi politik

  Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dan sebagainya Partisipasi dalam diskusi politik informal, minat umum dalam politik

  Voting (Pemberian Suara)

Apati total

  Sumber: Diadaptasi Michael Rush dan Philip Althoff (Dalam Damsar,2010:184)

  F.2.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik

  Ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang ataupun masyarakat untuk mengambil keputusan dalam pemilihan umum. Berikut ini adalah beberapa faktor yang yang mempengaruhi tinggi-rendahnya partisipasi politik, yaitu:

  1. Pendidikan Tinggi rendahnya tingkat pendidikan seseorang akan banyak mempengaruhi keinginan seseorang (manusia) dalam memenuhi kehidupan. R.Hayar mengatakan bahwa pendidikan itu adalah usaha untuk membentuk manusia menjadi partisipan yang bertanggung jawab dalam politik dan kekuasaan. Pendidikan politik itu merupakan proses mempengaruhi individu agar dapat memperoleh informasi lebih lengkap, wawasan yang jernih dan keterampilan yang mantap. Oleh karena itu, pendidikan tinggi bisa memberikan informasi tentang politik dan persoalan-persoalan politik, bisa mengembangkan kecakapan menganalisa, dan menciptakan minat dan kemampuan berpolitik. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat menjadikan semakin tinggi tingkat kesadaran politiknya. Demikian juga sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikannya, maka semakin rendah pula tingkat kesadaran politiknya.

  2. Status Sosial Ekonomi Tingkat partisipasi politik memiliki hubungan yang erat dengan pertumbuhan sosial ekonomi. Artinya bahwa kemajuan sosial ekonomi suatu negara dapat mendorong tingginya tingkat partisipasi politik masyarakat. Partisipasi ini juga tentunya berhubungan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat, sehingga apa yang dilakukan oleh masyarakat dalam partisipasi politiknya menunjukan derajat kepentingan mereka. Kedudukan sosial tertentu misalnya orang yang memiliki jabatan atau kedudukan tinggi dalam masyarakat akan memiliki tingkat partisipasi politik yang cendrung lebih tinggi dari pada orang yang hanya memiliki status sosial yang rendah. Orang yang berstatus sosial ekonomi tinggi lebih aktif daripada yang bersatatus rendah.

  Setidaknya ada dua indikator yang biasa digunakan untuk mengukur variabel status sosial ekonomi, yaitu tingkat pendapatan dan tingkat pekerjaan. Lazimnya variabel status sosial ekonomi digunakan untuk menjelaskan perilaku pemilih. Namun dengan dengan menggunakan preposisi yang berlawanan, pada saat yang sama variabel tersebut sebenarnya juga dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku tidak memilih pada masyarakat. Artinya, jika tingginya tingkat pendapatan berhubungan dengan kehadiran pemilih, itu berarti rendahnya tingkat pendapatan berhubungan dengan ketidakhadiran pemilih, begitu juga dengan indikator tingkat pekerjaan.

3. Aktifitas Kampanye Dan Media Massa

  Biasanya kampanye-kampanye politik hanya dapat mencapai pengikut setia partai dengan memperkuat komitmen mereka untuk memberikan suara. Namun demikian yang menjadi persoalan dalam kaitannya dengan tingkat dan bentuk

  24 partisipasi politik masyarakat adalah terletak dalam kedudukan partisipasi tersebut.

24 Mochtar mas’oed dan Collin Mac Andrews, Perbandingan Sistem Politik, Gajah Mada University,

  Yogyakarta,1986, hal. 49

  Media massa berfungsi sebagai penyampaian informasi tentang perkembangan politik nasional maupun lokal. Media massa, baik cetak maupun elektronik, mempunyai pengaruh kuat tidak saja bagi masyarakat tetapi juga bagi pemerintah. Media massa dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh berbagai

  25 kebijakan dan media massa juga mencerminkan jiwa zaman dari suatu pemberitaan.

  Media massa juga mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dikarenakan para calon kandidat menyampaikan visi dan misinya melalui media yang ada, baik itu media elektronik seperti tv, radio, dan media cetak lainya seperti koran atau majalah.

Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Masyarakat Tidak Menggunakan Hak Pilihnya Pada Pemilihan Umum Bupati Dan Wakil Bupati Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008 Di Desa Tanjung Anom Kecamatan Pancur Batu Ketua Departemen Ilmu Politik

3 68 129

Faktorfaktoryang Mempengaruhi Remaja Merokok Di Desa Tanjung Anom Kecamatan Pancur Batu Tahun 2012

0 59 71

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Masyarakat Tidak Menggunakan Hak Pilihnya Pada Pemilihan Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Sumatera Utara Tahun 2013 (Studi Kasus : Kecamatan Bandar Kabupaten Simalungun)

2 62 126

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Remaja Merokok Di Desa Tanjung Anom Kecamatan Pancur Batu Tahun 2012

0 32 71

Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Masyarakat Untuk Tidak Memilih Pada Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur Secara Langsung Tahun 2008 Di Kecamatan Pamatang Sidamanik Kabupaten Simalungun

0 34 96

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pasangan Usia Subur (PUS) Tidak Menggunakan Alat Kontrasepsi Di Dusun II Desa Tanjung Anom Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang

7 110 68

Pengetahuan dan Sikap Suami Terhadap Kesehatan Reproduksi Wanita di Dusun III Desa Tanjung Anom Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang Tahun 2010

0 27 83

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian Ke Non Pertanian Di Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar

1 2 13

BAB I PENDAHULUAN 1.4 Latar Belakang - Faktor-Faktor Penyebab Anak Bekerja Di Desa Baru, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang

0 0 9

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN A. Gambaran Umum - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Masyarakat Tidak Menggunakan Hak Pilihnya Pada Pemilihan Umum Bupati Dan Wakil Bupati Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008 Di Desa Tanjung Anom Kecamatan Pancur Batu Ketua

0 0 18