BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Koagulasi Koagulasi adalah proses komplek pembentukan bekuan darah (David L dkk, 2009). Koagulasi sendiri merupakan bagian dari system homeostasis. Sistem homeostasis tersebut terdiri dari sistem vaskuler, trombosit, dan pembeku

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Koagulasi Koagulasi adalah proses komplek pembentukan bekuan darah (David L dkk, 2009).

  Koagulasi sendiri merupakan bagian dari system homeostasis. Sistem homeostasis tersebut terdiri dari sistem vaskuler, trombosit, dan pembekuan darah (Laffan, 1996; Gustinawati R, 2003; Tony L, 1992; Silman E, 1992; Gastineau, 2002).

  Koagulasi dimulai dengan terdapatnya kerusakan pembuluh darah pada lapisan endothel. Trombosit kemudian membentuk gumpalan untuk menutup daerah yang rusak; hal ini disebut hemostasis primer. Hemostasis sekunder terjadi secara simultan dengan adanya protein dalam plasma disebut faktor koagulasi untuk membentuk benang-benang fibrin yang memperkuat gumpalan dari trombosit.

  Secara klasik proses pembekuan dibagi dalam tiga jalur yaitu jalur intrinsik, ekstrinsik dan jalur bersama. Jalur intrinsik ( contact activation pathways) dan jalur ekstrinsik (tissue factor), keduanya mengaktivasi jalur bersama dari faktor X, trombin dan fibrin. Disamping itu juga membutuhkan kofaktor seperti vitamin K , ion kalsium dan phospholipid untuk menjaga fungsi pembekuan darah. Selain itu ada mekanisme penghambatan proses koagulasi oleh inhibitor yaitu protein C (sebagai kofaktor inhibitor), antitrombin dan TFPI (tissue factor pathway inhibitor). Bila terdapat abnormalitas dari inhibitor mengakibatkan peningkatan trombosis. Dan proses yang tak kalah penting adalah fibrinolisis. Fibrinolisis adalah proses degradasi dan penyerapan dari bekuan darah (produk dari koagulasi). Enzim utama yang berperan adalah plasmin yang mengatur bermacam-macam aktivator dan inhibitor (laffan, 1996; Gastineau, 2002; David L, 2009). Skema pembekuan darah dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

  Sumber : Despopulos. Color Atlas of Physiology, Thieme, 2003.

2.2 Koagulopati pada Trauma Kematian pada trauma masih menjadi masalah besar dalam kesehatan masyarakat.

  Kematian yang terjadi pada saat awal trauma biasanya disebabkan oleh adanya perdarahan dalam jumlah besar (Sauaia, 1995). Koagulopati adalah proses patologis yang menyebabkan kegagalan hemostasis atau mekanisme untuk menghentikan dan mencegah perdarahan (Brohi, 2007). Beberapa literatur menyebutkan koagulopati akut pada trauma (ATC) adalah suatu kondisi dimana dijumpai 6 kondisi yaitu : trauma jaringan, syok, hemodilusi, hipotermia, asidemia, dan inflamasi (Hess, 2008).

2.2.1 Hemodilusi

  Pada penelitian yang dilakukan di Jerman, diberikan cairan dalam jumlah besar (rata- rata 2200 ml) dan dijumpai efek dilusi yang jelas. Penelitian ini juga menemukan bahwa lebih dari 50% pasien tersebut mengalami koagulopati pada pemberian cairan lebih dari 3 liter kristaloid pada saat fase prehospital (Maegele, 2007).

  Hipotermia sedang dan berat dijumpai pada < 9% pasien trauma (Farkash U, 2002; Shafi S, 2005). Meskipun terdapat hubungan antara hipotermia, syok dan beratnya cedera (Injury Severity), hal ini merupakan faktor prediktif yang lemah (odds ratio 1,19)( Shafi S, 2005). Bagaimanapun, gangguan pembekuan darah yang signifikan dijumpai pada temperatur dibawah 33 C (Wolberg, 2004; Meng, 2003; Martini, 2005).

  2.2.3 Asidemia Kondisi asidemia berdampak terhadap fungsi koagulasi protease (Brohi, 2007).

  Penelitian secara in Vitro yang dilakukan Meng (2003) mendapati bahwa terdapat sedikit hubungan yang signifikan antara penurunan fungsi protease pada pH 7,2. Bagaimanapun, pada penelitian hewan coba yang dilakukan Martini (2007) menemukan bahwa efek asidemia pada fungsi koagulasi tidak bersifat reversible hanya dengan koreksi keadaan asidosis.

  2.2.4 Syok dan Hipoperfusi

  Kondisi syok dan hipoperfusi jaringan merupakan faktor resiko independen yang kuat terhadap terjadinya poor outcomes pada trauma ( Siegel, 1990; Rutherford, 1992; Davis, 1996; Eberhard, 2000). Penelitian Martini (2007) menemukan bahwa 2% pasien dengan Base Excess < 6mEq/L mengalami pemanjangan waktu pembekuan. 20% pasien dengan Base excess> 6mEq/L mengalami pemanjangan waktu pembekuan. Pada penelitian tersebut kadar Fibrinogen dan Trombosit pasien dalam keadaan normal.

  2.2.5 Konsumsi faktor koagulasi

  Konsumsi faktor kogulasi selalu dianggap sebagai penyebab terjadinya koagulopati pada trauma. Degenarasi thrombin dan derajat trauma berhubungan secara linear dengan aktivasi dari tissue factor dependent extrinsic pathway (Brohi, 2007) Hubungan kesemua faktor tersebut diatas dapat dilihat pada gambar berikut.

  Coagulopathy / ATC) Sumber : Maegele M, Acute Traumatic Coagulopathy : Incidence,risk stratification and therapeutic options, World J Emerg Med, Vol 1, No.1, 2010. P-13

2.3 Diagnosis Koagulopati

  Pemeriksaan laboratorium yang akan didapatkan pada pasien multiple trauma disertai koagulopati adalah (Toni L, 1992; Gustinawati, 2003) :

1. Penurunan jumlah trombosit darah tepi 2.

  Pemanjangan masa plasma protrombin 3. Pemanjangan masa tromboplastin parsial Teraktivasi 4. Pemanjangan masa thrombin 5. Penurunan kadar fibrinogen plasma.

  Sedangkan pada DIC pemeriksaan laboratorium menunjukkan kondisi ke-5 hal di atas terjadi bersama-sama (Silman E, 1992; Tony L, 1992; Laffan, 1996; Gastineau, 2002). Jumlah trombosit darah tepi berkurang akibat trombosit terperangkap oleh fibrin sewaktu pembentukan mikrotrombi yang terus-menerus yang di lain pihak tidak dimbangi oleh kecepatan produksinya. Selain itu juga karena terjadinya agregasi trombosit yang diaktifkan oleh trombin. Pemanjangan masa protrombin plasma terutama karena menurunnya aktivitas faktor- faktor pembekuan pada jalur ekstrinsik dan jalur bersama yaitu fibrinogen, protrombin, faktor V, X, dan VII. Pemanjangan masa tromboplastin parsial teraktivasi terutama akibat oleh menurunnya aktivitas faktor-faktor pembekuan pada jalur intrinsik dan jalur bersama yaitu fibrinogen, protrombin, faktor V,X,VIII,IX,XI dan

  XII (Silman E, 1992; Tony L, 1992; Laffan, 1996; Gastineau, 2002). Pemecahan fibrinogen menjadi produk degradasi fibrinogen hal itulah yang menjadi kausa penurunan kadar fibrinogen secara kuantitas (Silman E, 1992; Tony L, 1992; Takhahoshi H, 1997). Tes-tes untuk sistem pembekuan darah dapat digolongkan atas tes saring dan tes khusus. Tes saring penting untuk menjamin integritas secara keseluruhan sistem koagulasi dan untuk menentukan di mana letak kelainan dari jalur intrinsik, ekstrinsik dan jalur bersama, yang meliputi (Gustinawati R, 2003; David L dkk, 2009) : ekstrinsik dan bersama (factor V,VII, X, Protrombin dan Fibrinogen). Nilai rujukan normal adalah 11-15 detik. Hal-hal yang dapat mempengaruhi hasil adalah penggunaan antikoagulan oral, heparin, kepekaan reagen tromboplastin, kadar kasium dan tehnik pemeriksaan yang salah. Interprestasi memanjang pada : a. Penanganan terhadap obat-obat antikoagulan oral

  b. Penyakit hati

  c. Defisiensi vitamin K

  d. Defisiensi Faktor V, VII, X, protrombin dan fibrinogen

  2. Tes APTT ( Activated Partial Thromboplastin Time) adalah tes saring terhadap jalur intrinsik dan bersama yang digunakan untuk mendeteksi defisiensi terhadap semua faktor dari jalur intrinsik dan bersama (faktor V,VII,IX, XII, prekalikren, kininogen, protrombin dan fibrinogen). Nilai rujukan normal aPTT adalah 20-40 detik. Hal-hal yang dapat mempengaruhi hasil tes ini adalah heparin, kepekaan reagen tromboplastin, kadar kasium dan tehnik pemeriksaan yang salah. Interprestasi memanjang pada :

  a. Defisiensi satu atau lebih dari faktor-faktor koagulasi intrinsik dan jalur bersama ( F.XII, XI, IX, VIII, X, V, Protrombin dan fibrinogen)

  b. DIC

  c. Penyakit hati

  d. Hemofilia

  3. Tes TT (Thrombin Time) adalah tes yang mengukur waktu yang dibutuhkan untuk membentuk bekuan dari plasma setelah penambahan trombin dalam sejumlah fibrinogen normal. Hal-hal yang dapat mempengaruhi hasil adalah penggunaan antikoagulan oral, heparin, kadar dan fungsi fibrinogen dan tehnik pemeriksaan yang salah. Interprestasi memanjang pada :

  a. Penurunan nilai fibrinogen

  b. Disfungsi molekul fibrinogen

  c. Terapi heparin

  d. Peninggian produk degradasi fibrinogen (FDP)

  4. Tes fibrinogen, adalah tes yang dipakai untuk mengukur kadar (kuantitas) fibrinogen dan tidak dapat mendeteksi adanya kelainan fungsi fibrinogen.

  Interprestasi memanjang pada : b. Heparin lebih daripada 5 U.S.P unit/ ml

  5. International Normalized Ratio (INR) adalah satuan yang didapatkan sebagai perbandingan antara PT pasien yang diperiksa dengan PT normal. Nilai normalnya adalah 0,8-1,2 Fritsma dkk, 2002). Koagulopati adalah proses patologis yang menyebabkan kegagalan hemostasis atau mekanisme untuk menghentikan dan mencegah perdarahan. Koagulopati (+) apabila dijumpai minimal 2 dari tanda berikut (Brohi, 2003) : a.

  Prothrombin Time (PT) > 18 detik b.

  Activated Partial Thromboplastin Time (aPTT) > 36 detik c.

  INR > 1,6

2.4 Koagulopati sebagai indikator morbiditas dan mortalitas pada pasien multipel trauma

  Keadaan yang dikenal dengan koagulopati terjadi pada pasien dengan multipel trauma. Penelitian yang dilakukan oleh Kapsch dkk dan Mc Namara dkk menunjukkan koagulopati yang terjadi pada pasien trauma baik kecelakaan ataupun peperangan. Penelitian yang dilakukan oleh Ferrara dkk (1990) dan Garrison (1996) menemukan bahwa Prothrombin Time merupakan faktor independen yang berhubungan dengan kematian pada pasien perdarahan akibat trauma yang mendapatkan transfusi darah secara masif. Penyebab primer terjadinya koagulopati pada trauma akibat dari cedera kepala, transfusi darah yang masif, dan resusitasi cairan yang dilakukan dalam jumlah besar.

  Beberapa penelitian retrospektif yang dilakukan menggunakan pemeriksaan

  Prothrombin Time (PT) dan Activated Partial Thromboplastin Time (PTT) untuk

  mendiagnosis keadaan koagulopati (Brohi, 2003; McLeod, 2003; Maegele, 2007; Brohi, 2007). Brohi (2003, 2007) menggunakan PT > 18 detik dan PTT > 60 detik sebagai batasan untuk koagulopati. Rugeri (2007) menggunakan INR > 1,6 dan PTT > 60 detik sebagai defenisi koagulopati. Pada studi Miami, 28% pasien dengan nilai PT abnormal dibandingkan dengan 8% PTT abnormal. Dari studi diatas didapati Odds

  Ratio (OR) pasien meninggal dengan PTT abnormal sebesar 4, 26 dibandingkan dengan OR pasien dengan PT abnormal sebesar 1,54 (McLeod, 2003).

  Pasien yang tiba di ruang IGD dengan kondisi koagulasi tiga sampai 4 kali lebih sering meninggal dunia dibandingkan tanpa koagulopati (Brohi, 2003; McLeod, pertama masuk Rumah Sakit (Maegele, 2007).Permasalahan yang timbul dari penggunaan PT dan PTT adalah waktu yang diperlukan untuk diagnosis koagulopati memakan waktu 20-60 menit disebagian besar center trauma (Brohi, 2007).Penelitian terakhir melaporkan penggunaan rotational Thromboelastometry (RoTEM) untuk mendiagnosis koagulopati akut pada trauma (Rugeri dkk, 2007).

2.5 Biokimia laktat

  Dalam keadaan normal, dengan sumber daya jaringan dan oksigenasi yang cukup, akan lebih banyak energi seluler diekstraksi secara aerob melalui siklus asam sitrat dan rantai transport elektron. Dalam hal ini, sel-sel mengubah piruvat menjadi asetil CoA melalui oksidatif dekarboksilasi.

  Pyruvate + NAD+ + CoA  Acetyl CoA + CO2 + NADH

  Sebaliknya, ketika perfusi di jaringan menjadi tidak adekuat, maka terjadilah metabolisme anaerob untuk menghasilkan beberapa energi meskipun dalam jumlah yang sedikit. Pada kasus ini, piruvat di metabolisme menjadi laktat, yang akhirnya menghasilkan ATP yang lebih sedikit (2 vs 36) dibandingkan dengan proses normal yaitu melalui mekanisme aerob.

  Produksi laktat terjadi pada semua jaringan, yaitu muskuloskeletal, otak, sel- sel darah merah, dan ginjal. Meskipun dalam kondisi dibawah normal yaitu disaat kaya akan oksigen, proses ini tetap terjadi dalam kadar yang sama. Kadar laktat dalam tubuh manusia normal, mampu dibersihkan dengan sangat cepat dengan kecepatan rata-rata diatas 320mmol/L/jam. Sebagian besar dimetabolisme dihati dan di ubah kembali dari laktat menjadi pyruvat. Tindakan ini menjaga kadar basal dari laktat tetap dibawah 1 mmol/L, baik di pembuluh darah arteri maupun vena.(Andra et al, 2007).

  Latihan berat, kejang, dan menggigil adalah contoh kondisi umum yang juga dapat menyebabkan asidosis laktat. Dalam kasus ini, tubuh membersihkan laktat dengan cepat dan peningkatan serum yang signifikan umumnya tidak terjadi. Dalam kondisi metabolik tertentu, peningkatan laktat karena penggunaan oksigen yang tidak adekuat lebih jarang dibandingkan dari pada suplai oksigen yang tidak memadai. Klinisi yang baik dapat memperkirakan hal ini sebagai salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada pasien. Daripada memikirkan laktat saja sebagai produk dari kurang adekuatnya perfusi darah, mungkin akan lebih baik di instalasi gawat darurat untuk pasien dengan trauma atau sepsis. Penurunan jumlah darah, kehilangan darah, septik shock, dan SIRS dapat mempengaruhi kadar laktat. Dengan mengetahui peningkatan kadar laktat pada pasien lebih awal, dapat memberikan informasi berharga yang membantu menjadi pegangan dalam menentukan penilaian dan penanganan selanjutnya (Huckabee, 1961).

2.6 Serum laktat sebagai indikator morbiditas dan mortalitas pada pasien multipel trauma

  Keadaan persistent asidosis laktat dikaitkan dengan meningkatnya kegagalan pernapasan, kegagalan organ multipel dan kematian setelah multipel trauma. Peningkatan tingkat laktat mencerminkan hipoksia jaringan dan metabolisme anaerobik berlangsung dalam tubuh dan biasanya diatasi dengan resusitasi yang memadai.

  Nilai kadar laktat normal pada pasien kritis masih kontroversi. Kadar laktat pada orang sehat sebesar 1 ± 0,5 mmol/L. Brinkman (2003) mengemukakan bahwa hiperlaktatemia terbagi dalam tiga kategori, yaitu hiperlaktatemia ringan (2,1-5 mmol/l), berat (≥ 5 mmol/L), dan asidosis laktat (≥ 5 mmol/L). Jean Pierre (2005) menyebutkan bahwa kadar laktat darah arteri ≥ 1,5 mmol/L sudah disebut hiperlaktatemia. Sedangkan Cohen (1976) dan Franklin (2006) menyebutkan defenisi hiperlaktatemia pada pasien kritis apabila kadar laktat darah > 2 mmol/L.

  Keadaan asidosis laktat menandakan adanya cedera jaringan paru terbuka atau klenik, mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan muskuloskeletal trauma. Penelitian yang dilakukan oleh Andra dkk (2007) menandapatkan bahwa peningkatan laktat serum memiliki outcome yang buruk pada trauma poli dan pasien multipel trauma. Andra mendapatkan bahwa penilaian kadar serum laktat secara berulang diperkirakan untuk membantu memprediksi morbiditas dan mortalitas pada korban trauma.

  Beberapa penelitian yang lain menunjukkan manfaat pengukuran laktat pada pasien trauma dan kritis dapat dijadikan bukti bahwa pengukuran kadar serum laktat dapat digunakan sebagai titik akhir tindakan resusitasi. Penelitian yang dilakukan Abramson dkk (1993) secara prospektif meneliti 76 pasien multipel trauma yang dirawat di ICU dan dilakukan pemeriksaan laktat dan bersihan laktat dalam 48 jam. Pada 27 pasien yang memiliki kadar laktat normal (< 2 mmol/L) dalam 24 jam dapat bertahan hidup dan hanya 3 dari 22 pasien (13,6%) pasien yang kadar laktat tidak pertama setelah resusitasi bertujuan untuk meningkatkan pasokan oksigen dan curah jantung. Pada pasien yang membutuhkan waktu normalisasi 24 - 48 jam didapatkan angka mortalitasnya sebesar 25% dan tidak ada pasien yang hidup apabila kadar laktat pasien diatas normal sampai lewat 48 jam (Abramson, 1993). Pada pasien yang membutuhkan waktu normalisasi kadar laktat 24 - 48 jam didapatkan angka mortalitasnya sebesar 25% dan tidak ada pasien yang hidup apabila kadar laktat pasien diatas normal sampai lewat 48 jam. Sehingga Abramson menyimpulkan bahwa normalisasi kadar laktat pada 24 jam pertama setelah resusitasi bertujuan untuk meningkatkan pasokan oksigen dan curah jantung (Abramson, 1993). Hal yang sama juga dikemukakan Shapiro dkk (2005) yang meneliti 1,278 pasien multipel trauma. Pada pasien multipel trauma yang mengalami infeksi, menunjukkan bahwa kadar laktat yang meningkat akan meningkatkan mortalitas. Dia mendapati bahwa kadar laktat kurang dari 2.5 mmol/L memiliki angka mortalitas 4.9%, sedangkan kadar > 4,5 mmol/L akan meningkatkan mortalitas menjadi 28,

  4%. Konsentrasi laktat A ≥ 4 mmol/ L memiliki sensitifitas 36% (95% CI 27-45%) dan spesifisitas 92% (95% CI) terhadap kejadian meninggal dunia.

  Waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan kadar laktat kembali ke dalam nilai normal dapat menjadi indikator dalam menentukan prognosis pada pasien dengan multipel trauma. Dokter yang bertugas di bagian emergensi dan tenaga kesehatan emergensi harusnya dapat memberikan perhatian yang lebih pada saat resusitasi pada pasien trauma. Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk bersihan laktat, semakin tinggi kemungkinan multi organ failure dan mortalitas. Sehingga kadar serum asam laktat yang meningkat dapat mengarahkan dokter yang merawat untuk waktu yang aman dan benar dari setiap intervensi bedah. Identifikasi awal dan tindakan resusitasi agresif ditujukan untuk memperbaiki disfungsi metabolik sehingga meningkatkan kelangsungan hidup dan mengurangi komplikasi pada pasien multipel trauma.

2.7 Multiple Organ Dysfunction (MODS)

  Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) didefinisikan sebagai perkembangan

  kekacauan fisiologis yang berpotensi reversibel yang melibatkan dua atau lebih sistem organ tidak terlibat dalam gangguan yang mengakibatkan perawatan ICU, dan timbul setelah gangguan fisiologis yang berpotensi mengancam nyawa. (Vincent, 1996). Sementara gagal nafas merupakan keadaan yang tidak memadai dalam pertukaran gas keduanya tidak dapat dipertahankan dalam rentang normal mereka (Burt, 2009). Sepsis merupakan komplikasi yang berpotensi m engancam nyawa dari infeksi. Sepsis terjadi ketika bahan kimia yang dilepaskan ke dalam aliran darah untuk melawan infeksi memicu peradangan di seluruh tubuh. Peradangan ini dapat memicu aliran perubahan yang dapat merusak beberapa sistem organ, menyebabkan mereka gagal (Mayo Foundation for Medical Education and Research, 2014).

2.8 Trauma

  2.8.1 Pendahuluan

  Trauma merupakan penyebab paling umum kematian pada orang usia 16-44 tahun di seluruh dunia (WHO, 2004). Proporsi terbesar dari kematian (1,2 juta pertahun) kecelakaan di jalan raya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi bahwa pada tahun 2020, cedera lalu lintas menduduki peringkat ketiga dalam penyebab kematian dini dan kecacatan (Peden, 2004).

  Perdarahan yang tidak terkontontrol merupakan penyebab kematian pada lebih dari 50% kasus trauma pada 24 jam pertama (Sauaia, 1995). Laporan WHO 2004 mengutip angka kematian untuk dewasa, yaitu mereka dengan cedera skor keparahan (ISS) dari 9 atau lebih tinggi (Mock, 2004). ISS akan diuraikan secara lebih rinci dalam bagian berikutnya. Keseluruhan angka kematian, termasuk pra-rumah sakit dan di rumah sakit, adalah 35% di negara-negara berpenghasilan tinggi, namun meningkat menjadi 55% di negara berpenghasilan menengah dan 63% di negara berpenghasilan rendah. Lebih serius pasien cedera (ISS 15-24) mencapai rumah sakit menunjukkan peningkatan enam kali lipat dalam mortalitas pada pasien berpenghasilan ekonomi rendah.

  2.8.2 Defenisi Multipel Trauma

  Multipel trauma adalah kondisi seseorang yang telah mengalami beberapa seperti cedera kepala serius selain luka bakar yang serius. Atau dengan kata lain multipel trauma atau politrauma didefenisikan sebagai terdapatnya 2 atau lebih kecederaan secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan kematian dan memberi dampak pada fisik, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial dan disabilitas fungsional (Lamichhane, 2011).

  Multipel trauma atau politrauma adalah suatu istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan pasien yang mengalami suatu cedera berat yang diikuti dengan cedera yang lain, misalnya dua atau lebih cedera berat yang dialami pada minimal dua adalah pada keadaan trauma yang bisa disertai dengan shock dan atau perdarahan serta keadaan yang dapat membahayakan jiwa seseorang (Kroupa J, 1990). Beberapa penelitian terdahulu, diantaranya Border dan kawan-kawan mendefinisikan multipel trauma adalah cedera yang cukup signifikan mengenai dua atau lebih regio tubuh. Tscherne dan kawan-kawan mengatakan multipel trauma adalah dua atau lebih cedera berat dengan salah satunya atau semuanya dapat mengancam jiwa. Beberapa penulis mendefinisikan multipel trauma menggunakan pengukuran yang lebih objektif yaitu dengan menggunakan scoring Injury Severity Score ( ISS ), dimana dikatakan multipel trauma bila nilai ISS 15 sampai 26 atau lebih besar (Nerida E, 2013).

  Kematian yang disebabkan oleh trauma itu secara klasik memiliki 3 penyebaran, yang berhubungan antara waktu kejadian dengan penanganan efektif yang dilakukan untuk mengatasi mortalitas : 1.

  Immediate deaths ( kematian yang segera ) Dimana pasien meninggal oleh karena trauma sebelum sampai ke rumah sakit.

  Misalnya cedera kepala berat, atau trauma spinal cord. Hanya sedikit dari pasien ini yang dapat hidup sampai ke rumah sakit, karena hampir 60% dari kasus ini pasien meninggal bersamaan dengan saat kejadian.

  2. Early deaths Dimana pasien meninggal beberapa jam pertama setelah trauma. Sebagian disebabkan oleh perdarahan organ dalam dan sebagian lagi disebabkan oleh cedera sistem saraf pusat. Hampir semua kasus pada trauma ini potensial dapat ditangani. Bagaimanapun, pada umumnya setiap kasus membutuhkan pertolongan dan perawatan definitif yang sesuai di pusat-pusat trauma. Khususnya pada institusi yang dapat melakukan resusitasi segera, identifikasi trauma, dan sarana pelayanan operasi selama 24 jam.

  3. Late deaths Dimana pasien meninggal beberapa hari atau minggu setelah trauma. Sepuluh sampai dua puluh persen (10%-20%) dari seluruh kematian kasus trauma terjadi pada periode ini. Kematian pada periode ini mayoritas disebabkan oleh karena infeksi dan kegagalan multipel organ. Trauma kepala paling banyak dicatat pada pasien multipel trauma dengan kombinasi dari kondisi yang cacat seperti amputasi, kelainan pendengaran dan penglihatan, post-traumatic stress syndrome dan kondisi kelainan jiwa yang lain (David, 2008).

  Dalam sistem kesehatan yang canggih, korban dibawa ke rumah sakit terdekat kemudian dilakukan manajemen komprehensif di instalasi gawat darurat. Pengobatan berpusat pada evaluasi, resusitasi dan stabilisasi. Fase ini menyatu ke perawatan definitif dalam operasi, dengan mengontrol jalan napas, ventilasi, dan bedah (pengelolaan perdarahan). Penanganan cedera diprioritaskan untuk mengobati cedera yang mengancam nyawa terlebih dahulu, mengikuti urutan ABCDE (ATLS, 2008). Pengecualian ini adalah korban yang menderita perdarahan perifer. Hal ini telah menyebabkan pengembangan dari urutan CABC, di mana C merupakan singkatan untuk bencana perdarahan (Hodgetts, 2002). Mengancam jiwa, perdarahan eksternal dikendalikan, maka urutan ABC yang biasa diikuti.

  Pada korban dengan obstruksi jalan napas dalam beberapa menit, mengamankan jalan napas pasien selalu menjadi prioritas. Setelah jalan napas terbuka, korban harus diberi oksigen dan dipasang ventilasi jika napas tidak memadai (ATLS, 2004).

  Selama manajemen berlangsung, asumsi selalu dibuat dimana kerusakan servikal dan tulang belakang mungkin dapat terjadi. Stabilitas tulang belakang leher harus dilindungi sampai leher dijamin bebas dari risiko cedera (Hodgetts, 2006).

  2.8.3.1 Airway

  Jalan napas dibuka awalnya dengan 'manuver tangan ' angkat dagu dan dorong rahang, kepala tidak boleh dimanipulasi dan harus dalam posisi netral. Jika darah, air liur atau muntah ada dalam saluran napas, suction harus digunakan. Jika secara manual, teknik yang digunakan tidak memadai, saluran udara orofaringeal atau nasofaring (NP) pada jalan napas harus hati-hati ditempatkan untuk mencegah aspek

  posterior lidah menghalangi faring. Jika manuver ini tidak berhasil, ada perangkat

  seperti Laringeal Mask Airway (LMA), yang dapat dimasukkan ke dalam situasi sulit tertentu (Hodgetts, 2002).

  Pengamanan jalan nafas secara definitif dengan intubasi atau krikotiroidotomi sangat sulit dilakukan dalam kondisi korban terjebak.

  2.8.3.2 Breathing

  Setelah jalan napas dibuka dan aman, penilaian pernapasan korban dibuat. Jika bernapas baik, oksigen diberikan dengan laju alir 5 L/menit. Jika ada keraguan bahwa pernapasan tidak memadai, maka ventilasi harus didukung dengan bag-valve-mask (BVM). Ini harus memiliki reservoir yang melekat dengan oksigen mengalir dari 15 L / menit. Kecukupan oksigenasi harus dinilai oleh penilaian klinis seperti warna bibir dapat dinilai oleh penilaian klinis ekspansi dada dan suara napas, atau penggunaan elektronik end tidal karbon dioksida (EtCO2) monitor (Clasper, 2004).

2.8.3.3 Circulation

  Perdarahan eksternal dikendalikan terutama oleh tekanan langsung dengan dressing, dan anggota tubuh di elevasi jika memungkinkan. Metode lain yang digunakan adalah penggunaan tourniquet, dressintag hemostatik juga dapat digunakan pada setiap tahap (Hodgetts, 2002).

  Torniket tidak dianjurkan dalam perawatan pra-rumah sakit, karena signifikan menimbulkan risiko komplikasi serius. Tidak tepat diterapkan torniket dalam perdarahan karena hasil di distal ekstremitas menjadi iskemia, dan menyebabkan kerusakan tekanan langsung pada kulit, otot dan saraf. Namun, dengan cedera ekstremitas dapat mengakibatkan perdarahan (Hodgetts, 2006).

  

Shock cenderung merupakan hasil dari perdarahan yang tidak terkendali baik

eksternal atau ke internal (dada, perut, panggul, dan beberapa tulang panjang).

  Kehilangan cardiac output juga dapat disebabkan oleh tension pneumothorax atau tamponade jantung. Tamponade jantung paling sering dikaitkan dengan trauma tembus dada pada garis putting anterior atau scapula posterior.

  Syok berat menyebabkan aktivitas listrik pulseless (PEA) atau henti jantung asystolic merupakan indikasi untuk thoracostomy bilateral dan atau pembukaan clam-

  shell dada.

  Resusitasi adalah usaha dalam memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian oksigen dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen kepada otak, jantung dan alat-alat vital lainnya. Ini adalah prosedur darurat menyelamatkan nyawa yang dilakukan ketika pernapasan seseorang atau detak jantung telah berhenti. Hal ini mungkin terjadi setelah sengatan listrik, serangan jantung, atau tenggelam (Hazinski MF; Samson R; Schexnayder S, 2010). Berdasarkan Advanced Trauma Life Support (2008), dosis awal pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada dewasa dan 20 mL/kg pada anak dengan tetesan cepat. Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap pemberian cairan awal:

  1. Respon cepat

  • Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenance
  • Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau pemberian darah

  • Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif mungkin masih diperlukan

  2. Respon sementara

  • Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan pemberian darah
  • Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan operatif
  • Konsultasikan pada ahli bedah

  3. Tanpa respon

  • Konsultasikan pada ahli bedah
  • Perlu tindakan operatif sangat segera
  • Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade jantung atau kontusio miokard
  • Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya (ATLS, 2008)

2.8.3.4 Disability

  Dinilai menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) dan penilaian untuk ukuran pupil dan ketidaksamaan.

  2.8.4 Secondary survey

  Survei sekunder adalah pemeriksaan secara rinci, evaluasi head-to-toe untuk mengidentifikasi semua cedera yang tidak dijumpai di primary survey. Ini terjadi setelah survei primer selesai, jika pasien cukup stabil dan tidak membutuhkan perawatan definitif (JRCALC, 2008). Pentingnya survei sekunder adalah bahwa luka ringan dapat ditemukan selama survei primer dan resusitasi, tapi menyebabkan jangka panjang morbiditas jika diabaikan, misalnya dislokasi sendi kecil. Komponen dari survei sekunder adalah: 1.

  Riwayat cedera 2. Pemeriksaan fisik 3. Pemeriksaan neurologis 4. Tes diagnostik lebih lanjut 5. Evaluasi ulang

  2.8.5 Trauma servikal dan tulang belakang

  Hanya 2% - 3% dari trauma tumpul yang menyebabkan cedera servikal, tetapi potensi untuk cedera neurologik membuatnya harus dikenal dengan baik dan penanganannya sulit. Tulang servikal subaxial (C3-C7) adalah tempat dimana terjadi dua-pertiga dari semua fraktur servikal dan tiga perempat dari semua dislokasi servikal. Seperti halnya permasalahan besar, sering klasifikasi memfokuskan pada mekanisme cedera, dan tidak memperhatikan stabilitas ligament-ligament dan defisit neurologik. Baru-baru ini sebuah sistim klasifikasi juga telah dikembangkan, sama halnya seperti klasifikasi torakolumbal TLIC, yang dikenal dengan nama subaxial injury classification (SLIC), yang memfokuskan pada : morfologi cedera, defisit neurologik dan integritas

  discoligament complex (DLC), untuk memberikan petunjuk penanganan pada cedera servikal (Sastrodiningrat, 2012).

  Morfologi cedera pada SLIC sama dengan cedera torakolumbal: kompresi, distraksi, dan rotasi/ translasi, dengan memberikan skor angka yang meningkat sesuai dengan derajat keparahan. Defisit neurologik juga diklasifikasikan dengan cara yang sama. DLC berbeda dengan PLC, karena pada tulang servikal, anterior lungitudinal

  ligament (ALL) dan diskus intervertebralis juga terlibat bersama posterior longitudinal ligament (PLL), ligamentum flavum, ligamentum supraspinosum,

  ligamentum interspinosum, dan kapsul faset. Alignment faset yang abnormal dan pelebaran anterior disc space merupakan tanda kerusakan DLC. Sebaliknya, ligamentum interspinosum merupakan komponen yang paling lemah dari DLC, jadi pelebaran interspace saja tidak merupakan DLC compromise pada tulang servikal. Total skor ≤ 3 ditangani non operatif, sedangkan skor ≥ 5 memerlukan intervensi bedah (Sastrodiningrat, 2012).

2.8.6 Cedera kepala ( Traumatic Brain injury)

  Cedera kepala adalah trauma yang mengenai kepala, dapat menyebabkan gangguan struktural dan atau gangguan fungsional sementara atau menetap. Center for Disease

  Control and Prevention (CDC) memperkirakan, setiap tahun di Amerika Serikat

  paling tidak 1.4 juta orang mengalami TBI. Dari jumlah ini kira-kira 1,1 juta orang ditolong dan diizinkan pulang dari Unit Gawat Darurat, 235.000 dirawat di rumah sakit dan 50.000 meninggal dunia.

  Penyebab utama dari kematian yang berhubungan dengan TBI adalah kecelakaan lalu lintas, jatuh dan penyerangan / perkelahian (assaults). Klasifikasi mengenai berat ringannya TBI sangat penting untuk mengarti dan menjelaskan penanggulangan TBI. Beberapa sistem skoring dapat menilai status neurologik awal pada pasien TBI, diantaranya Glasgow Coma Scale (GCS), Trauma Score, Trauma Score Revised, dan

  Abbreviated Injury Scale (AIS). GCS terlepas dari berbagai kekurangannya,

  merupakan sistem yang paling banyak dipakai. GCS sederhana, merupakan skala akhirnya. Secara sederhana juga dapat mengklasifikasikan berat ringannya penderita TBI. TBI ringan, GCS 13-15, TBI sedang, GCS 9-12, dan TBI berat, GCS 3-8 (Sastrodiningrat, 2012).

  TBI memicu sederetan kejadian pada tingkat selular dan molekular sehingga menimbulkan histochemical responses, molecular responses, dan genetic response yang menyebabkan secondary insult, terutama keadaan iskemia, dan memperberat cedera otak primer (primary braindamage). Akan tetapi sebaliknya, beberapa dari

  responses ini ada yang bersifat neuroprotective (Sastrodiningrat, 2012).

2.8.7 Trauma toraks

  Trauma toraks bisa terbagi dua yaitu :

  a) Trauma toraks yang langsung dapat mengancam jiwa 1.

  Tension pneumothorax Terjadi karena adanya one way valve (fenomena pentil) dimana kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau dari luar melalui dinding dada, masuk kedalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi. Sehingga tekanan intra pleura meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke kontralateral dan menghambat pengembalian darah vena ke jantung, dan akan menekan paru kontralateral.

  2. Pericardial tamponade Sering disebabkan oleh luka tembus, namun cedera tumpul juga dapat menyebabkan perikardium terisi darah, baik dari jantung, pembuluh darah besar maupun dari pembuluh darah perikardium.

  3. Open pneumothorax (Pneumotoraks Terbuka) Defek atau luka yang besar pada dinding dada akan menyebabkan pneumothoraks terbuka. Tekanan intrapleura akan sama dengan tekanan atmosfer. Jika defek pada dinding dada lebih besar dari 2/3 diameter trakea maka udara akan cenderung mengalir melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan dengan trachea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.

  4. Hemotoraks masif Terjadi bila terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1500cc di dalam rongga pleura. Sering disebabkan oleh luka tembus yang merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru.

  Flail chest Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Terjadi bila adanya fraktur iga yang multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur (Oakley, 1998).

  b) Trauma toraks yang potensial dapat mengancam jiwa 1.

  Ruptur aorta Sering menyebabkan kematian segera setelah kecelakaan mobil dengan tabrakan frontal atau jatuh dari ketinggian. Untuk penderita yang selamat sesampainya dirumah sakit kemungkinan sering dapat diselamatkan bila ruptur aorta dapat diidentifikasi dan secepatnya dilakukan operasi (Williams, 2004).

  2. Cedera tracheobronkial Sering disebabkan oleh cedera tumpul dan terjadi pada 1 inci dari karina.

  Sering ditemukan hemoptisis, emfisema subkutis dan tension pneumothoraks dengan pergeseran mediastinum. Adanya pneumothoraks dengan gelembung udara yang banyak pada WSD setelah dipasang selang dada harus dicurigai adanya cedera trakeo bronkial.

  3. Cedera tumpul jantung Dapat menyebabkan kontusio otot jantung, ruptur atrium atau ventrikel ataupun kebocoran katup.

  4. Cedera diafragma Ruptur diafragma traumatik lebih sering terdiagnosa pada sisi kiri karena obliterasi hepar pada sisi kanan atau adanya hepar pada sisi kanan sehingga mengurangi kemungkinan terdiagnosisnya ataupun terjadinya ruptur diafragma kanan.

  5. Kontusio paru Merupakan kelainan yang paling sering ditemukan pada pada golongan

  potentially lethal chest injury . Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian.

2.8.8 Trauma abdomen

  Secara anatomi abdomen dibagi 3 bagian ( Tintinalli’s Emergency Medicine, 2004) : 1.

  Rongga peritoneum : terdiri dari liver, lien, gaster, usus halus, sebagian duodenum, dan sebagian usus besar

  Retroperitoneum : terdiri dari ginjal, ureter, pankreas, aorta dan vena cava.

  3. Rongga pelvis : terdiri dari vesica urinaria, rectum dan genitalia interna pada wanita Trauma abdomen juga dapat dibagi dua yaitu :

  1. Trauma tumpul ( Blunt abdominal trauma )

  2. Trauma tembus ( Penetrating abdominal trauma ) Trauma abdomen trauma merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas dari sebagian besar semua kelompok usia. Jumlah kasus pada pria lebih banyak dijumpai dari wanita. Bagaimanapun penting untuk mengenali tanda trauma abdomen sedini mungkin, karena seringkali kelainan yang timbul seringkali tidak dijumpai pada saat penilaian awal dari pasien trauma (Shapiro MB, Nance ML, Schiller HJ, Hoff WS, Kauder DR, Schwab CW, 2001).

  Pada pasien dengan kesadaran yang baik, pemeriksaan klinis dapat dijadikan acuan untuk menentukan adanya trauma abdomen. Bagaimanapun juga, tanda- tanda peritonitis memerlukan waktu beberapa jam setelah trauma terjadi sebelum dapat dikenali melalui pemeriksaan fisik. Jika pasien dalam keadaan terintubasi, intoksikasi, atau gangguan persyarafan (contohnya tetraplegia), pemeriksaan klinis seringkali tidak bias dipakai untuk pengambilan keputusan apakah pasien akan dilanjutkan dengan pembedahan (Shapiro, 2001). Penelitian serial yang dilakukan oleh Livingston mendapati bahwa dari 90 pasien dengan cairan bebas intra abdomen tanpa cedera solid organ, dijumpai 19% pasien tanpa abdominal tenderness ternyata mempunyai cedera pada intra abdominal. Salah satu contohnya adalah seat belt sign yang merupakan salah satu tanda adanya cedera dari hollow organ (Shapiro, 2001).

  Sonografi dan radiografi konvensional tetap mempunyai tempat untuk trauma abdomen, CT scan abdomen dan pelvik merupakan prosedur pilihan untuk mengevaluasi pasien dengan hemodinamik stabil pada trauma tumpul. CT telah menggantikan Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) sebagai metode pilihan di banyak pusat-pusat trauma di seluruh dunia. Keuntungan utamanya tidak hanya mampu mengungkapkan adanya perdarahan intra-abdominal atau intra-toraks tetapi bisa juga mengidentifikasi organ yang terlibat. Di pusat-pusat di mana CT scan tidak tersedia atau terbatas, sering kali diperlukan evaluasi ulang kondisi pasien. Dalam hal evaluasi klinis saja yang diandalkan untuk menentukan adakah atau tidak pasien memerlukan pembedahan, tingkat laparotomi negatif mungkin sampai 40%. Di pusat-pusat di mana DPL positif dianggap sebagai standar emas untuk memutuskan intervensi, strategi ini adalah angka yang berpotensi tinggi terjadinya nonterapeutik laparotomi. Keterbatasan DPL dalam mendeteksi cedera retroperitoneal terutama jika dilakukan terlalu cepat setelah trauma awal, dapat melewatkan perforasi usus di perut tanpa bukti cedera organ padat. (Githaiga JW; Adwok AJ, 2002).

  Salah satu yang systematic reviews terbesar, yang dilakukan oleh Rodriguez dan rekan kerja, menemukan 10 artikel tentang cairan bebas intraabdomen tanpa cedera organ. Penelitian ini melibatkan 463 pasien dari total 16000 (2,8%) dengan tanda- tanda cairan intra-abdominal bebas tanpa cedera organ padat jelas yang telah dilakukan CT scan untuk trauma tumpul abdomen (Rodriguez C, 1998). Tindakan laparotomi terapi dilakukan pada 122 pasien. Para penulis menyimpulkan bahwa laparotomi diagnostic tidak bisa dibenarkan apabila pasien sadar dan dapat dipantau dengan pemeriksaan fisik berulang (Livingston DH, 1998).

  Konsep laparotomi damage control untuk resusitasi pasien dengan trauma berat mulai dikembangkan pada tahun 1983 oleh Stone dan kawan-kawan di Grady Memorial Hospital A.S.terbukti berhasil menurunkan kematian akibat perdarahan massif yang mulai mengalami koagulopati. Moore dan kawan-kawan pada tahun 1993 mengembangkan teknik laparotomi bertingkat sebagai usaha damage control pada pasien perdarahan masif yang akan mengalami asidosis metabolik, hipotermia, dan koagulopati progresif yang disebut trias kematian atau lingkaran setan perdarahan massif. Rotondo dan kawan-kawan pada tahun 1993 kemudian menamakannya sebagai laparotomi damage kontrol.

  Operasi damage control adalah operasi yang terbatas, singkat dan bertahap sebagai bagian dari usaha penyelamatan jiwa atau resusitasi pada pasien dengan syok hemorragik berat yang telah atau akan mengalami gangguan metabolik pre operatif ataupun intraoperatif yang akan menyebabkan kematian dikamar bedah atau setelah di

  ICU. Ada tiga tahap damage kontrol : Tahap I : Operasi singkat dan terbatas dikamar bedah sebagai bagian dari resusitasi, untuk menghentikan perdarahan dan mencegah kontaminasi, termasuk :

  Menghentikan segera perdarahan luka jantung atau paru Packing perdarahan organ solid, dengan tindakan minimal

  Packing rongga badan yang berdarah bila telah terjadi koagulopati (non surgical bleeding) Reseksi bagian saluran pencernaan yang rusak berat tanpa reanastomosis. Ujung- ujung saluran cerna yang terbuka ditutup cepat dengan klip kulit, tali umbilikal atau jahitan jelujur. Hindari pembuatan kolostomi karena akan membuang waktu. Luka operasi pada leher, torakotomi, laparotomi atau pada tempat eksplorasi ekstremitas kulitnya tidak usah ditutup. Tahap II : Melanjutkan resusitasi di icu, termasuk :

  Mengatasi hipotermi (rewarming) Menstabilkan fungsi kardiovaskuler dengan infus cairan, PRC, inotropik Mengatasi koagulopati kalau kalau masih ada, dan hanya akan berhasil baik bila hipotermia telah diatasi.

  Memperbaiki gagal paru dan ginjal. Tahap III :

  Re operasi atau operasi definitif kalau mungkin Apakah ada cedera lain yang terlewati diagnosisnya, kalau ada segera atasi. Luka insisi operasi laparotomi, torakotomi, dan luka eksplorasi ditutup kembali bila keadaan telah memungkinkan. ( Warko karnadiharja, DSTC, 2010)

2.8.9 Trauma muskuloskeletal

2.8.9.1 Defenisi Fraktur

  Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Solomon, 2010). Fraktur terbuka adalah fraktur dimana terdapat hubungan fragmen fraktur dengan dunia luar, baik ujung fragmen fraktur tersebut yang menembus dari dalam hingga kepermukaan kulit atau kulit dipermukaan yang mengalami penetrasi suatu objek yang tajam dari luar hingga ke dalam (Lamichhane, 2010).

  Setelah patah tulang terjadi maka otot, pembuluh darah, dan jaringan lunak lainnya mengalami kerusakan. Sebuah respon sel dengan sel-sel inflamasi dan sel mesenkimal dibedakan yang menonjol dalam tiga sampai lima hari pertama. Peristiwa biologis yang menyebabkan fraktur yang komplek tidak sepenuhnya dipahami. Kebanyakan patah tulang sembuh dengan cara pembentukan kalus. Dalam

  inflamasi, proliferasi, pembentukan callus, konsolidasi, remodelling.

  Proses penyembuhan suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur sebagai usaha tubuh untuk memperbaiki kerusakan

  • – kerusakan yang dialaminya. Penyembuhan dari fraktur dipengaruhi oleh beberapa faktor lokal dan faktor sistemik, adapun faktor lokal: a) Lokasi fraktur, b) Jenis tulang yang mengalami fraktur, c) Reposisi anatomis dan immobilasi yang stabil, d) Adanya kontak antar fragmen. e) Ada tidaknya infeksi.

  f) Tingkatan dari fraktur. Dan faktor sistemik : a) umur, b) nutrisi, c) riwayat penyakit sistemik, d) hormonal, e) obat-obatan, f) rokok.

2.8.9.2 Klasifikasi Fraktur

  Fraktur dapat dibedakan jenisnya berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar, bentuk patahan tulang, dan lokasi pada tulang fisis. Berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar, fraktur dapat dibagi menjadi : 1.

  Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.

  2. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya Klasifikasi fraktur terbuka yang dibuat oleh Gustillo and Anderson pada tahun 1976 sebagai berikut :

  1. Tipe I a.

  Panjang luka < 1 cm, biasanya luka tusukan atau puncture dimana patokan ujung tulang menembus kulit.

  b.

  Kerusakan jaringan lunak sedikit dan tidak ada tanda-tanda Crushing Injury.

  c.

  Fraktur biasanya simple, tranverse atau oblique pendek dan sedikit comminutive .

  2. Tipe II a.

  Panjang luka > 1 cm dan tidak ada kerusakan jaringan lunak yang luas, flap atau infeksi.

  b.

  Terdapat Crushing Injury ringan – sedang.

  c.

  Fraktur comminutive sedang dan kontaminasi sedang.