Peranan Marker Koagulasi Sebagai Prediktor Outcome Pada Penderita Trauma Kapitis

(1)

PERANAN MARKER KOAGULASI

SEBAGAI PREDIKTOR OUTCOME PADA

PENDERITA TRAUMA KAPITIS

T E S I S

Oleh :

Alfansuri Kadri

Nomor Register CHS : 16311

DEPARTEMEN NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP H. ADAM

MALIK

MEDAN

2008


(2)

PERANAN MARKER KOAGULASI SEBAGAI

PREDIKTOR OUTCOME PADA PENDERITA

TRAUMA KAPITIS

T E S I S

Untuk memperoleh gelar spesialis dalam program studi Ilmu Penyakit Saraf pada Program Pendidikan Dokter Spesialis I

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan

Oleh :

Alfansuri Kadri

Nomor Register CHS : 16311

DEPARTEMEN NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP H. ADAM MALIK

MEDAN


(3)

Telah diuji pada :

23 Desember 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

1. Prof. Dr. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K)

2. Prof. dr. Darulkutni Nasution, Sp.S(K)

3. Dr. Darlan Djali Chan, Sp.S

4. Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K)

5. Dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K)

6. Dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp,S

7. Dr. Aldy. S. Rambe, Sp.S

8. Dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S

9. Dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S

10. Dr. Cut Aria Arina, Sp.S

11. Dr. Kiki M. Iqbal, Sp.S


(4)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkah, rahmat dan HidayahNya yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.

Shalawat dan salam bagi Junjungan Rasulullah Muhammad SAW, keluarga dan sahabatnya yang telah menunjuki kita dari alam kesesatan ke alam yang penuh ilmu pengetahuan.

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan salah satu tugas akhir dalam Program Pendidikan Spesialisasi di Bidang Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. H. Chairuddin P.Lubis, DTM&H, Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan spesialisasi.

Yang terhormat Prof. dr. T. Bahri Anwar, Sp.JP(K) (Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara saat penulis diterima sebagai PPDS), yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program pendidikan Dokter Spesialis Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.


(5)

Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah, Sp.PD (KGEH), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan spesialisasi.

Yang terhormat Prof. dr. Darulkutni Nasution, Sp.S(K) (Kepala Bagian Neurologi saat penulis diterima sebagai PPDS), yang telah menerima saya untuk menjadi peserta didik serta memberikan bimbingan selama mengikuti program pendidikan spesialisasi ini.

Yang terhormat Ketua Departemen/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK USU, Prof. Dr.dr.Hasan Sjahrir, Sp.S(K), yang telah memberikan kesempatan, kepercayaan serta bimbingan selama mengikuti program pendidikan spesialisasi ini.

Yang terhormat dr. H.Hasanuddin Rambe, Sp.S(K), (Ketua Program Studi Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara saat penulis diterima sebagai PPDS), yang telah bersedia menerima penulis menjadi peserta didik serta banyak memberi bimbingan dalam menjalankan proses pendidikan.

Yang terhormat Ketua Program Studi Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dr. H. Rusli Dhanu, Sp.S(K) yang telah memberikan kesempatan , bimbingan dan arahan dalam menjalani pendidikan spesialisasi ini.

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K) dan Prof. Dr.dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K), selaku pembimbing yang dengan sepenuh hati telah


(6)

mendorong, membimbing dan mengarahkan penulis sejak dari perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis ini.

Kepada guru-guru saya, dr. Syawaluddin Nasution, Sp.S(K). (alm)., dr. Ahmad Syukri Batubara, Sp.S(K) (alm)., dr.LBM Sitorus, Sp.S., dr. Darlan Djali Chan, SpS., dr.Yuneldi Anwar, Sp.S(K)., dr. Irsan NHN Lubis, Sp.S., dr Dadan Hamdani, Sp.S., dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S., dr. Aldy S. Rambe, Sp.S., dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S., dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S, dr. Cut Aria Arina, Sp.S., dr. Kiki M Iqbal Sp.S dan lain-lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, baik di Departemen Neurologi maupun Departemen/SMF lainnya di lingkungan FK – USU / RSUP H. Adam Malik Medan, terimakasih yang setulus-tulusnya penulis sampaikan atas segala bimbingan dan didikan yang telah penulis terima.

Kepada Direktur Rumah Sakit H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan spesialisasi ini sampai selesai.

Ucapan terima kasih penulis kepada seluruh teman sejawat PPDS-I Departemen Neurologi FK-USU/RSUP. H. Adam Malik Medan, yang terus memberi dorongan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan studi. Bapak Amran Sitorus, Sukirman Aribowo dan seluruh perawat di SMF Neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan yang membantu penulis dalam pelayanan pasien sehari-hari.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada kedua orang tua saya, dr. A.Kadri dan drg. Taqwa D. Kadri yang telah membesarkan saya dengan penuh kasih sayang, membekali saya dengan


(7)

pendidikan , kebiasaan hidup disiplin, jujur, kerja keras dan bertanggungjawab, memberikan bimbingan, dorongan, semangat dan nasehat serta do’a yang tulus agar penulis tetap sabar dan tegar dalam mengikuti pendidikan sampai selesai.

Teristimewa kepada istriku tercinta drg. Indri Lubis yang dengan sabar dan penuh pengertian, mendampingi dengan penuh cinta dan kasih saying dalam suka dan duka, saya ucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada mertua saya. Drg. H.Mukmar Lubis dan Elfrida Siregar atas nasihat, doa , semangat dan pengertiannya selama penulis menyelesaikan pendidikan ini.

Kepada saudara-saudaraku beserta seluruh keluarga yang senantiasa membantu, memberi dorongan, pengertian, kasih sayang dan do’a dalam menyelesaikan pendidikan ini penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Kepada semua rekan dan sahabat yang tak mungkin saya sebutkan satu persatu yang telah membantu saya sekecil apapun, saya haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga Allah Tuhan Semesta Alam selalu melimpahkan Rahmat dan Hidayahnya Kepada kita semua.

Dengan segala keterbatasan, penulis menyadari dalam penelitian dan penulisan tesis ini masih dijumpai banyak kekurangan, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak untuk kebaikan dimasa yang akan datang.


(8)

Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Amin .

Wassalamualaikum Wr.Wb

Medan, Desember 2008


(9)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap : dr. Alfansuri Kadri

Tempat /Tanggal Lahir : Medan, 09 November 1978

Agama : Islam

Pekerjaan : Staf Pengajar Departemen Neurologi

NIP : 132 303 386

Pangkat / Golongan : Penata Muda Tkt I / III B

Nama Ayah : dr. A.Kadri

Nama Ibu : drg. Taqwa D. Kadri

Nama Istri : drg. Indri Lubis

Riwayat Pendidikan

1. Sekolah Dasar SD Harapan I – Medan, tamat tahun 1991

2. Sekolah Menengah Pertama di SMP Harapan I – Medan , tamat tahun 1994

3. Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri I – Medan, tamat tahun 1997 4. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara tamat tahun 2003

Riwayat Pekerjaan :


(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN

KATA PENGANTAR ………... i

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ………... vi

DAFTAR ISI ……….. vii

DAFTAR SINGKATAN ……… xiii

DAFTAR LAMBANG ………... xiv

DAFTAR TABEL ……….. xv

DAFTAR GAMBAR ………. xix

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xx

ABSTRAK ………. xxi

ABSTRACT ………. xxii

BAB I. PENDAHULUAN ………. 1

1.1. Latar Belakang ………. 1

1.2. Perumusan Masalah ………... 11

1.3. Tujuan Penelitian ………. 11

1.3.1. Tujuan Umum ………... 11

1.3.2. Tujuan Khusus ………. 11

1.4. Hipotesis ……… 12

1.5. Manfaat Penelitian ……….. 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……… 13

II.1. TRAUMA KAPITIS ……….. 13

II.1.1. Definisi ………. 13

II.1.2. Epidemiologi ………... 13

II.1.3. Klasifikasi ……… 15

II.1.4. Patofisiologi ……… 17

II.1.4.1. Cedera kepala primer (Primary Brain Injury) ……….. 17


(11)

II.1.4.2. Cedera kepala sekunder

(Secondary Brain Injury) …………. 18

II.2. HEMOSTASIS ……….. 19

II.2.1. Sistem Koagulasi ………... 19

II.2.2. Sistem Fibrinolisis ………. 24

II.2.3. Koagulopati ………. 25

II.3. KOAGULOPATI PADA TRAUMA KAPITIS ……… 26

II.4. OUTCOME DARI PENDERITA TRAUMA KAPITIS ……….. 29

II.4.1. GLASGOW OUTCOME SCALE ……… 30

II.5. KERANGKA KONSEPSIONAL ………. 33

BAB III METODE PENELITIAN ………. 34

III.1.TEMPAT DAN WAKTU ……….. 34

III.2. SUBJEK PENELITIAN ……….. 34

III.2.1. Populasi sasaran ………... 34

III.2.2. Populasi terjangkau……… 34

III.2.3. Besar sampel ………. 34

III.2.4. Kriteria Inklusi ………. 35

III.2.5. Kriteria Eksklusi ………..35

III.3. Batasan operasional ……….. 35

III.4. Rancangan Penelitian ………..40

III.5. Pelaksanaan Penelitian ……… 40

III.5.1. Instrumen ……… 40

III.5.2. Pengambilan sampel………. 40

III.5.3. Kerangka Operasional ……….. 41

III.5.4. Variabel yang diamati ………... 42

III.6. Analisa statistik ……….. 42

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………45

IV.1. HASIL PENELITIAN ………. 45

IV.1.1. Karakteristik Penelitian ………... 45

IV.1.2. Karakteristik demografi sampel Penelitian ……….. 45


(12)

IV.1.3. Distribusi sampel berdasarkan nilai

Glasgow Coma Scale (GCS) …………. 47 IV.1.4. Distribusi sampel berdasarkan

gambaran Head CT-scan……… 47

IV.1.5. Distribusi sampel berdasarkan ada

tidaknya perdarahan pada Head

CT-scan ………. 48

IV.1.6. Distribusi sampel berdasarkan nilai

Glasgow Outcome Scale (GOS) ……... 49

IV.1.7. Perbedaan rerata marker koagulasi

laboratorium pada kedua jenis kelamin

………. 49

IV.1.8. Hubungan antara Glasgow Outcome

Scale (GOS) dengan Glasgow Coma Scale (GCS) ……….. 50 IV.1.9. Hubungan antara Glasgow Coma Scale

(GCS) dengan penyebab trauma kapitis ……….. ………. 52

IV.1.10. Hubungan antara GCS dengan

gambaran Head CT-scan ………. 53 IV.1.11. Hubungan antara GCS dengan ada

tidaknya perdarahan pada gambaran Head CT-scan ……….. 53 IV.1.12. Hubungan antara GCS dengan tingkat

Pendidikan ……… 54

IV.1.13. Hubungan antara GCS dengan

pekerjaan ……… 55

IV.1.14. Hubungan antara GCS dengan jenis

Kelamin ……….. 57 IV.1.15. Hubungan antara GOS dengan jenis

Kelamin ……….. 57 IV.1.16. Hubungan antara GOS dengan suku .. 57


(13)

IV.1.17. Hubungan GOS dengan penyebab trauma kapitis ………. 58

IV.1.18. Hubungan antara GOS dengan

gambaran Head CT-scan ……… 58

IV.1.19. Hubungan antara GOS dengan ada tidaknya perdarahan pada gambaran Head CT Scan ……… 60

IV.1.20. Hubungan antara GOS dengan tingkat

Pendidikan ………. 61 IV.1.21 Hubungan antara GOS dengan

pekerjaan ………. 61

IV.1.22. Pengaruh nilai GCS terhadap rerata

nilai marker koagulasi laboratorium ……….. 63 IV.1.23. Pengaruh rerata marker koagulasi labo- ratorium terhadap nilai GOS ………. 63 IV.1.24. Pengaruh rerata marker koagulasi labo- ratorium terhadap gambaran Head

CT-scan ……….. 64

IV.1.25. Pengaruh rerata marker koagulasi labo- ratorium terhadap ada tidaknya perda-

rahan pada gambaran Head CT-scan .. 68 IV.1.26. Pengaruh penyebab trauma kapitis

terhadap rerata nilai marker koagulasi laboratorium ……… 69 IV.1.27. Perbandingan antara rerata marker

koagulasi laboratorium dengan usia … 73 IV.1.28. Pengaruh usia terhadap ada tidaknya

perdarahan pada gambaran Head CT -

scan ……… 79

IV.1.29. Perbedaan rerata usia pada kedua jenis penyebab trauma kapitis ……….. 79


(14)

IV.1.30. Pengaruh rerata marker koagulasi laboratorium terhadap nilai GOS, untuk

kelompok GCS 13-15 ……… 80

IV.1.31. Pengaruh rerata marker koagulasi laboratorium terhadap nilai GOS, untuk kelompok GCS 9-12 ……… 81

IV.1.32. Pengaruh rerata marker koagulasi laboratorium terhadap nilai GOS, untuk kelompok GCS ≤ 8 ………. 82

IV.1.33. Perbedaan rerata usia pada masing- masing kelompok GOS ……….. 83.

IV.2. PEMBAHASAN ……….. 84

IV.2.1. Karakteristik demografi subjek penelitian ……… 84

IV.2.2. Hubungan antara variabel demografi dengan outcome ………. 85

IV.2.3. Marker koagulasi laboratorium sebagai prediktor outcome ………. 87

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……….. 95

V.1. KESIMPULAN ………. 95

V.2. SARAN ………. 96

DAFTAR PUSTAKA ……… 97


(15)

DAFTAR SINGKATAN

ABI : Acquired Brain Injury

aPTT : Activated Partial Thromboplastin Time AT III : Antithrombin III

CT : Computed tomography CVD : Cerebrovascular disease

DIC : Disseminated intravascular coagulation FDP : Fibrin Degradation Product

FK : Fakultas Kedokteran

GCS : Glasgow Coma Scale

GOS : Glasgow Outcome Scale

Hb : Hemoglobin

KLL : Kecelakaan Lalu Lintas

LACI : Lipoprotein-associated coagulation inhibitor MRI : Magnetic Resonance Imaging

PAI : Plasminogen activator inhibitor

PC : Protein C

PHI : Progressive hemorrhagic injury PIC : Plasmin inhibitor complex

PT : Prothrombin Time

PTT : Partial Thromboplastin Time ROC : Receiver Operating Characteristic SF : Soluble fibrin

SKG : Skala Koma Glasgow

TAT : Thrombin-antithrombin complex

TM : Thrombomodulin

tPA : Tissue plasminogen activator TT : Thrombin Time


(16)

DAFTAR LAMBANG

N = Besar sampel

Zα = Nilai baku normal berdasarkan nilai α yang telah ditentukan å 1,96 d = Besarnya penyimpangan yang masih bisa ditolerir

% = Persen

p = Tingkat kemaknaaan Ca2+ = Ion Kalsium


(17)

DAFTAR TABEL

HALAMAN

Tabel 1. Stratifikasi resiko pada penderita dengan

trauma kapitis ………. 16

Tabel 2. Karakteristik demografi sampel penelitian ……… 46 Tabel 3. Distribusi sampel berdasarkan nilai GCS ……….. 47 Tabel 4. Distribusi sampel berdasarkan gambaran

Head CT-scan ………. 48

Tabel 5. Distribusi sampel berdasarkan ada tidaknya

perdarahan pada Head CT-scan ……… 48

Tabel 6. Distribusi sampel berdasarkan nilai Glasgow

Outcome Scale (GOS) ……….. 49

Tabel 7. Perbedaan rerata marker koagulasi laboratorium

pada kedua jenis kelamin ……… 51

Tabel 8. Hubungan antara GOS dengan GCS ……… 52

Tabel 9. Hubungan GCS dengan penyebab trauma

kapitis ………. 52

Tabel 10. Hubungan antara GCS dengan gambaran

Head CT-scan .. ……….. 53

Tabel 11. Hubungan antara GCS dengan ada tidaknya

perdarahan pada gambaran Head CT-scan …… 54 Tabel 12. Hubungan antara GCS dengan tingkat pendidikan 55 Tabel 13. Hubungan antara GCS dengan pekerjaan ………… 56 Tabel 14. Hubungan antara GCS dengan jenis kelamin ……... 56 Tabel 15. Hubungan antara GOS dengan jenis kelamin …….. 57 Tabel 16. Hubungan antara GOS dengan suku ……… 58 Tabel 17. Hubungan antara GOS dengan penyebab trauma


(18)

Tabel 18. Hubungan antara GOS dengan gambaran

Head CT Scan ………. 60

Tabel 19. Hubungan GOS dengan ada tidaknya perdarahan

pada gambaran Head CT scan ……….. 61

Tabel 20. Hubungan GOS dengan tingkat pendidikan ………. 62 Tabel 21. Hubungan antara GOS dengan pekerjaan …………. 62 Tabel 22. Pengaruh nilai GCS terhadap rerata nilai marker

koagulasi laboratorium ………. 65

Tabel 23. Pengaruh rerata marker koagulasi laboratorium …. 66 Tabel 24. Sensitifitas, spesifisitas, positive predictive

value, dan negative predictive value kadar

fibrinogen terhadap outcome baik (skor GOS 4-5)… 67 Tabel 25. Sensitifitas, spesifisitas, positive predictive

value, dan negative predictive value kadar

fibrinogen terhadap outcome buruk (skor GOS 1-3) … 67 Tabel 26. Sensitifitas, spesifisitas, positive predictive value,

dan negative predictive value kadar D-dimer

terhadap outcome baik (skor GOS 4-5) ………….. 67 Tabel 27. Sensitifitas, spesifisitas, positive predictive value,

dan negative predictive value kadar D-dimer terhadap outcome buruk (skor GOS 1-3) ……… 68 Tabel 28. Perbedaan rerata marker koagulasi laboratorium

pada masing masing kelompok gambaran

Head CT scan ………. 70

Tabel 29. Perbedaan rerata marker koagulasi laboratorium pada ada tidaknya perdarahan pada gambaran

Head CT-scan ………..……. 71

Tabel 30. Sensitifitas, spesifisitas, positive predictive value, dan negative predictive value kadar

fibrinogen terhadap ada tidaknya perdarahan pada


(19)

Tabel 31. Sensitifitas, spesifisitas, positive predictive value, dan negative predictive value kadar D-dimer terhadap ada tidaknya perdarahan pada gambaran Head CT scan 72 Tabel 32. Perbedaan rerata marker koagulasi laboratorium

pada kedua jenis penyebab trauma ……… 72 Tabel 33. Perbedaan rerata usia pada perdarahan pada Head

CT scan ……… 79

Tabel 34. Perbedaan rerata usia pada kedua jenis penyebab

trauma kapitis ……… 79

Tabel 35. Pengaruh rerata marker koagulasi laboratorium

terhadap nilai GOS, untuk kelompok GCS 13-15 …. 80 Tabel 36. Pengaruh rerata marker koagulasi laboratorium

Terhadap nilai GOS, untuk kelompok GCS 9-12….. 81 Tabel 37. Pengaruh rerata marker koagulasi laboratorium

Terhadap nilai GOS, untuk kelompok GCS ≤ 8……. 83 Tabel 38. Perbedaan rerata usia pada masing masing


(20)

DAFTAR GAMBAR

HALAMAN

Gambar 1. Ringkasan reaksi-reaksi yang terlibat

dalam hemostasis ………. 22

Gambar 2. Kaskade Koagulasi ……… 23

Gambar 3. Perbandingan antara rerata jumlah trombosit

dengan usia ……….. 73

Gambar 4. Perbandingan antara rerata nilai PT dengan

usia ……… 74

Gambar 5. Perbandingan antara rerata nilai TT dengan

usia ….. ……… 75

Gambar 6 Perbandingan antara rerata nilai aPTT

dengan usia ……… 76

Gambar 7. Perbandingan antara rerata kadar fibrinogen

dengan usia ………..…… 77

Gambar 8. Perbandingan antara rerata kadar D-dimer


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

HALAMAN

Lampiran 1. Surat persetujuan ikut dalam penelitian ……….. 101

Lampiran 2. Lembar pengumpul data penelitian …………... 102

Lampiran 3. GLASGOW OUTCOME SCALE (GOS) ……….. 105

Lampiran 4. Surat Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan

FK-USU ……… 106


(22)

ABSTRAK

Latar Belakang : Trauma kapitis merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak, dewasa, dan masyarakat usia produktif. Disamping upaya untuk mencegah terjadinya trauma kapitis, sangat penting untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi outcome. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peranan marker koagulasi sebagai prediktor outcome pada penderita trauma kapitis.

Metode : Seluruh pasien secara konsekutif, dengan dignosa trauma kapitis yang dirawat di departemen neurologi FK-USU diikutsertakan dalam penelitian ini. Karakteristik demografi turut dicatat pada penelitian ini. Pada seluruh pasien dilakukan perhitungan nilai Glasgow Coma Scale (GCS) pada saat masuk dan juga dilakukan pengukuran marker koagulasi berupa jumlah Trombosit,

Prothrombin Time (PT), Partial Thromboplastin Time (PTT), Thrombin Time (TT), Fibrinogen, dan D-dimer. Untuk pemeriksaan outcome dilakukan dengan pengukuran Glasgow Outcome Scale (GOS) pada saat penderita keluar dari rumah sakit. Kemaknaan statistik adalah apabila p<0,05.

Hasil : Tujuh puluh tujuh pasien trauma kapitis yang terdiri dari 50 orang pria dan 27 orang wanita ikut serta dalam penelitian ini. Keparahan pasien saat masuk yang dinilai dengan GCS merupakan prediktor yang kuat terhadap

outcome (p=0.001). Keparahan pasien saat masuk juga mempunyai hubungan yang bermakna dengan kadar D-dimer (p=0,001), fibrinogen (p=0,001), PT (p=0,001), dan aPTT (p=0,001). Dari berbagai marker koagulasi yang diperiksa pada penelitian ini, kadar D-dimer dan fibrinogen dapat menjadi prediktor yang kuat terhadap outcome pasien (masing-masing p=0,001). Pasien dengan kadar D-dimer yang tinggi dan GCS yang rendah akan mempunyai outcome yang lebih buruk.

Kesimpulan :Marker koagulasi, khususnya kadar fibrinogen dan D-dimer dapat digunakan sebagai prediktor outcome pada penderita trauma kapitis.


(23)

ABSTRACT

Background : Head injury is the main cause of morbidity and mortality in children, adults, and people in productive age. Aside from efforts in preventing head injury, it is very important to determine factors that can influence outcome. The objective of this study is to determine the role of coagulation marker as predictor of outcome in head injury.

Methods : All consecutive patients with diagnosis of head injury in Departement of Neurology Medical Faculty of USU were enrolled in this study. In all patients, Glasgow Coma Scale on admission were calculated, also coagulation markers thrombocyte count, Prothrombin Time (PT), Partial Thromboplastin Time (PTT), Thrombin Time (TT), Fibrinogen, and D-dimer were measured. To determine outcome, Glasgow Outcome Scale (GOS) was used when the patient was discharged from the hospital. Statistical significance was accepted at p < 0,05.

Results : Seventy seven head injury patients, consisted of 50 male and 27 female were enrolled in this study. Severity of patients on admission, measured by using GCS is a strong predictor toward outcome (p=0,001). Severity of patients on admission also has a significant correlation with level of D-dimer (p=0,001), fibrinogen (p=0,001), PT (p=0,001), and aPTT (p=0,001). From several coagulation markers measured in this study, level of D-dimer and fibrinigen can be strong predictors toward patient’s outcome (p=0,001 each). Patients who have high D-dimer level and low GCS will have worse outcome.

Conclusion : coagulation markers, particularly level of fibrinogen and D-dimer can be used a predictor of outcome in head injury patients.

Key Words : head injury, glasgow coma scale, glasgow outcome scale, coagulation marker, outcome


(24)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen (PERDOSSI,2006). Trauma kapitis yang merupakan suatu momok pada kelompok industrial modern, adalah penyebab utama kematian, terutama pada kelompok umur dewasa muda, dan juga penyebab terbesar kecacatan (Mayer dan Rowland, 2000). Penyembuhan dari trauma kapitis sendiri dapat berlangsung sampai 5 tahun setelah trauma kapitis (Khan dkk, 2003).

Di Amerika Serikat, 40 % dari kematian oleh cedera akut disebabkan oleh trauma kapitis. Sekitar 52.000 penduduk meninggal setiap tahun akibat trauma kapitis. Mortality rate untuk trauma kapitis di Amerika serikat diperkirakan 17 per 100.000 penduduk. (Dawodu, 2007)

Setiap tahunnya sekitar 200.000 orang korban trauma kapitis membutuhkan perawatan di rumah sakit. Biaya untuk perawatan diperkirakan sekitar 4 milyar US $ per tahunnya, mencakup ke-hilangan income dari pasien dan orang yang merawat, biaya


(25)

perawatan fase akut dan juga masa pemulihan dan rehabilitasi. (Dawodu, 2007)

Kebanyakan pasien yang mengalami trauma kapitis ringan atau sedang akan pulih setelah beberapa minggu sampai beberapa bulan, tanpa terapi spesifik. Namun, ada juga pasien yang akan terus mengalami gejala kecacatan setelah periode ini, yang mengganggu pekerjaan atau aktifitas sosial. Masih terdapat kontroversi terhadap tingkat morbiditas yang menetap ketika dibandingkan dengan outcome pada pasien dengan trauma kapitis berat (Naalt, 1999)

Memprediksi outcome jangka panjang segera setelah pasien tiba di ruang gawat darurat dapat dilakukan dengan atau tanpa menggunakan imaging, yaitu dengan secara klinis, untuk kepentingan komunikasi antara dokter dan paramedis profesional yang menangani, sehingga dapat dipersiapkan strategi yang tepat untuk pengambilan keputusan dan penatalaksanaan yang terbaik bagi pasien (Signorini dkk, 1999).

Pertanyaan tentang perkiraan yang akurat dari outcome telah lama diikuti oleh berbagai peneliti. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada satupun keseragaman indikator dalam memprediksi outcome pasien. (Kraus dan McArthur, 1996). Trauma kapitis dapat diikuti dengan berbagai macam komplikasi ekstrakranial, yang merupakan kontributor independen terhadap morbiditas dan mortalitas, sehingga perlu untuk mengetahui pengaruh berbagai komplikasi ini terhadap outcome (Lim dkk, 2007 ; Piek dkk, 1992).


(26)

Prognosis dari trauma kapitis selama ini adalah berdasarkan hasil dari pemeriksaan CT-scan dan juga pemeriksaan neurologis, serta belakangan ini juga dikembangkan penggunaan Magnetic Resonance Imaging, cerebral perfusion pressure, cerebral venous oxygen saturation in the jugular veins, dan juga cerebral blood flow. Namun belum ada yang dapat dijadikan indikator yang reliable untuk memprediksi outcome pasien pada saat masuk, yang menandakan belum ada yang dapat secara tepat memperkirakan derajat kerusakan otak. (Takahashi dkk, 1997).

Trauma kapitis dengan perdarahan intrakranial mencapai 50 % dari seluruh kematian karena trauma dan 75 % dari kecelakaan lalu lintas. Hingga 20 % kecelakaan vascular cerebral adalah hemorrhagik. Dengan demikian dibutukan suatu screening test untuk perdarahan intrakranial yang efektif, sensitif, reliable dan juga murah. Salah satu cara screening test yang cukup sensitif dan reliable adalah dengan pemeriksaan marker serum untuk koagulopati. (Hoffmann dkk, 2001).

Telah diketahui bahwa pasien dengan trauma kapitis akan mengalami abnormalitas pada sistem koagulasi dan fibrinolisisnya. Otak mengandung banyak tissue factor (faktor III koagulasi), yang apabila dibebaskan dalam sirkulasi akan memicu jalur koagulasi ekstrinsik. Beberapa laporan telah menyebutkan bahwa pasien trauma kapitis yang mengalami hiperkoaguabilitas pada saat masuk rumah sakit, menderita cedera otak yang parah dan dengan demikian memiliki outcome yang lebih jelek. Hal ini mengindikasikan bahwa


(27)

derajat aktifasi koagulasi, yang ditentukan oleh banyaknya tissue factor yang dilepaskan dari jaringan otak yang cedera, dapat menjadi marker yang dapat diandalkan untuk mengetahui derajat kerusakan otak yang terjadi. Keadaan hiperkoagulabulitas tersebut juga sering diikuti dengan peningkatan aktifitas fibrinolitik (Takahashi dkk, 1997).

Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Vavilala dkk (2001) yang mengukur jumlah trombosit, prothrombin time (PT), partial thromboplastin time (PTT), dan fibrin degradation product (FDP) pada 69 pasien trauma kapitis, didapati hasil bahwa pasien yang mempunyai kadar FDP > 1000 g/mL dengan skor Glasgow Coma Scale (GCS) 7 – 12 berhubungan dengan outcome yang lebih buruk. Dengan demikian dianjurkan untuk memeriksa adanya koagulopati setelah terjadinya trauma kapitis dan terapi agresif dapat dilakukan bila sudah dijumpai tanda suatu koagulopati (Vavilala dkk, 2001).

Pada penelitian yang dilakukan Vandelli dkk (2004) terhadap 501 pasien trauma kapitis yang diambil secara konsekutif didapatkan bahwa dari 461 orang yang hasil Head CT-scan-nya tidak menunjukkan perdarahan, ternyata 50 orang mengalami koagulopati. Temuan ini menyarankan pentingnya pemeriksaan marker koagulasi disamping pemeriksaan Head CT-scan (Vandelli dkk,2004).

Piek dkk (1992) melakukan penelitian terhadap komplikasi ekstrakranial dari trauma kapitis. Mereka mendapatkan 13 jenis komplikasi ekstrakranial dalam 14 hari setelah masuk rumah sakit, dan salah satu komplikasi tersebut adalah koagulopati (jumlah


(28)

trombosit < 50.000 /mm3, prothrombin time > 16 detik, dan partial thromboplastin time > 50 detik). Sebanyak 19 % dari 734 pasien yang mereka teliti menderita komplikasi koagulopati. Data tersebut memberi masukan bahwa komplikasi ekstrakranial mempunyai pengaruh yang cukup tinggi terhadap penentuan outcome (Piek dkk, 1992).

Tissue thromboplastin yang juga dikenal dengan tissue factor mempunyai peranan penting dalam kaskade koagulasi. Faktor tersebut merupakan physiological initiator dari koagulasi saat terpapar dengan darah pada lokasi cedera. Tissue thromboplastin yang memicu koagulasi dapat mengakibatkan kerusakan organ melalui gangguan mirosirkulasi (Bayir dkk, 2006 ; Sawaya, 1987). Aktifitas tissue thromboplastin dapat terjadi pada hampir semua jaringan pada tubuh, dimana otak manusia merupakan sumber tissue thromboplastin yang kaya (Pathak dkk, 2005). Tissue thromboplastin pada otak akan dilepaskan dalam jumlah besar apabila terjadi trauma kapitis ataupun tumor otak (Bayir dkk, 2006).

Dari hasil studi case-control yang dilakukan Pathak dkk (2005) tentang kandungan tissue thromboplastin dari otak setelah trauma kapitis, didapatkan hasil bahwa aktifitas tissue thromboplastin di lobus frontal, parietal, dan temporal pada penderita trauma kapitis secara signifikan lebih tinggi dibanding dengan grup kontrol. Aktifitas tissue thromboplastin juga secara signifikan lebih tinggi pada penderita trauma kapitis berat dibanding dengan trauma kapitis sedang atau ringan. Dengan demikian penelitian ini memberikan data kuantitatif


(29)

tentang pentingnya peran tissue thromboplastin pada koagulopati setelah terjadinya trauma kapitis, ditandai dengan adanya peningkatan aktifitas tissue thromboplastin tersebut (Pathak dkk, 2005).

Pada penelitian yang dilakukan Boto dkk (2006) tentang resiko kematian dini pada trauma kapitis berat, ditemukan bahwa dari 652 sampel yang diteliti , 114 pasien trauma kapitis berat meninggal dalam 48 jam pertama setelah trauma, dan sebesar 80 orang dari kelompok tersebut menderita koagulopati. Sedangkan dari 538 pasien sisanya, sebanyak 362 menderita koagulopati. Dari kedua kelompok tersebut, koagulopati menunjukkan hubungan yang bermakna (p < 0,001) dengan resiko kematian dini pada penderita trauma kapitis berat (Boto dkk, 2006).

Stein dkk (2002) meneliti peranan koagulasi intravaskular sebagai cedera otak sekunder pada trauma kapitis. Mereka melakukan penelitian ini terhadap spesimen jaringan otak dari 3 macam sumber, yaitu otak tikus, babi dan juga manusia (yang diambil saat pembedahan untuk tujuan dekompresi). Dari hasil penelitian tersebut mereka menemukan adanya banyak koagulasi intravaskular pada ketiga jenis sampel dan mikrotrombi juga terbentuk dalam arteriol dan venule berbagai ukuran, yang berkisar antara 10 – 600 m. Walaupun lebih jelas terlihat pada lesi fokal dan lesi yang lebih berat, koagulasi intravaskular juga dapat ditemukan pada lesi yang ringan dan difus. Hasil dari penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa koagulasi intravaskular merupakan respon universal pada trauma kapitis dan


(30)

merupakan suatu cedera sekunder otak yang penting (Stein dkk, 2002).

Trombositopenia juga merupakan faktor resiko untuk terjadinya progressive hemorrhagik injury (PHI) pada trauma kapitis. Pasien dengan PHI mengalami gangguan pada sistem koagulasinya lebih parah dibanding dengan yang non-PHI. Dengan demikian pengobatan dengan agen hemostatik dapat bermanfaat pada pasien seperti ini.(Engström dkk, 2005).

Dari hasil penelitian Hoffmann dkk (2001) pada 319 pasien penderita trauma kapitis, didapatkan bahwa pasien dengan perdarahan intrakranial pada hasil CT-scan lebih cenderung memberikan hasil positif pada pemeriksaan D-dimer (p < 0,001). Pemeriksaan D-dimer pada penelitian ini menunjukkan 21 true-positive dan 4 false-negative, dengan sensitifitas sebesar 84,0 % (95 % CI) dan spesifisitas sebesar 55,8 % (95 % CI). Pada penelitian ini disimpulkan untuk tetap menggunakan CT-scan sebagai alat bantu diagnostik, karena pemeriksaan D-dimer belum cukup sensitif atau belum dapat memprediksi secara akurat adanya perdarahan intrakranial pada pasien trauma kapitis (Hoffmann dkk, 2001).

Takahashi dkk (1997) melakukan penelitian terhadap 70 orang pasien dengan trauma kapitis. Kadar plasma dari 2-plasmin inhibitor-plasmin complex (PIC) dan D-dimer diperiksa, dan hasilnya menunjukkan bahwa pada semua sampel, kadar plasma PIC dan D-dimer jauh lebih tinggi dibanding angka normal, dan kenaikan kadar ini


(31)

berhubungan dengan outcome pasien. Pada pasien yang kadar plasma PIC > 15 g/mL atau kadar D-dimer > 5 g/mL, 92 % mengalami kematian, terlepas dari status kesadaran pada saat masuk. Di lain pihak, pasien yang kadar plasma PIC-nya < 2 g/mL atau D-dimer < 1 g/mL mengalami penyembuhan yang baik. Dengan demikian, kadar plasma PIC dan D-dimer merupakan suatu marker prognostik yang dapat diandalkan pada trauma kapitis, dan pasien dengan outcome buruk dapat diidentifikasi sejak awal masuk rumah sakit (Takahashi dkk, 1997).

Grenander dkk (2001) meneliti tentang pemberian terapi antitrombin pada pasien dengan trauma kapitis untuk melihat apakah pemberian dini dari konsentrat antitrombin dapat mencegah atau secara bermakna mempersingkat waktu terjadinya koagulopati pada pasien trauma kapitis. Sebanyak 26 sampel pasien dengan trauma kapitis diberikan terapi antitrombin dengan dosis 100 IU/kg BB selama 24 jam, dan untuk mengukur hiperkoaguabilitas diukur soluble fibrin (SF), D-dimer, dan thrombin-antithrombin complex (TAT). Sebelum diberikan terapi antitrombin tersebut, kadar SF, D-dimer dan TAT secara nyata meningkat pada pasien, dan setelah diberikan terapi dijumpai penurunan dari kadar marker koagulasi tersebut. Dengan demikian dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pemberian terapi antithrombin pada pasien dengan trauma kapitis dapat mengurangi kondisi hiperkoagulasi yang terjadi (Grenander dkk, 2001).


(32)

Bayir dkk (2006) melakukan studi tentang peranan marker fibrinolitik terhadap outcome pada 62 pasien trauma kapitis. Mereka menilai Skala Koma Glasgow (SKG) dan marker fibrinolitik berupa jumlah trombosit, prothrombine time (PT), partial thromboplastin time (PTT), fibrinogen, dan D-dimer. Dari hasil studi tersebut ditemukan bahwa mortalitas sangat kuat berhubungan dengan SKG, PT, PTT, fibrinogen dan D-dimer. Penurunan jumlah trombosit juga dijumpai walaupun tidak bermakna secara signifikan. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa SKG dan marker fibrinolitik dapat berguna dalam menentukan prognosis pasien dengan trauma kapitis (Bayir dkk, 2006).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Affonseca dkk (2007), tentang gangguan koagulasi pada anak-anak dan remaja dengan trauma kapitis sedang sampai berat, diperoleh hasil, dari 301 pasien yang diteliti, ternyata ditemukan sebesar 77 % mengalami koagulopati. Faktor-faktor yang berhubungan dengan adanya koagulopati adalah keparahan trauma, adanya perdarahan pada Head CT-scan, dan adanya cedera dada/abdomen (Affonseca dkk, 2007).

Vecht dkk (1975) meneliti tentang hubungan DIC dan trauma kapitis. Tes koagulasi darah dilakukan pada saat pasien masuk rumah sakit dan beberapa hari setelahnya pada 34 pasien trauma kapitis sedang dan berat. Jumlah trombosit dan fibrinogen normal pada saat masuk, namun meningkat setelahnya. Nilai PTT memendek pada saat masuk dan memanjang pada hari berikutnya. Aktifitas fibrinolitik juga


(33)

meningkat pada saat masuk. Mereka menyimpulkan bahwa pada 24 jam setelah cedera, aktifasi koagulasi terjadi pada trauma kapitis (Vecht dkk, 1975).

Pada penelitian tentang hubungan antara FDP dengan gambaran Head CT-scan pada pasien trauma kapitis yang dilakukan oleh Ueda dkk (1985), diperoleh hasil bahwa dari 26 pasien yang diteliti, konsentrasi FDP plasma meningkat pada pasien dengan epidural hematoma. Lebih jauh lagi, peningkatan FDP kelihatannya lebih bermakna pada pasien dengan kontusio yang berat dibandingkan yang ringan. Temuan ini menandakan bahwa derajat peningkatan FDP plasma proporsional dengan jumlah kerusakan jaringan otak. (Ueda dkk, 1985)

Antovic dkk (1998) melakukan penelitian pada 120 pasien dengan berbagai jenis cedera otak dan mengukur parameter PT, fibrinogen, aPTT, akitifitas FVII, ATIII, dan D-dimer pada 24 jam pertama setelah cedera otak. Mereka memperoleh hasil bahwa terdapat penurunan yang signifikan dari PT, FVII, dan ATIII, serta peningkatan dari D-dimer, khususnya pada pasien trauma kapitis.

Hal tersebut mirip dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Homma dkk (1998) yang meneliti 31 pasien trauma kapitis yang dibandingkan dengan 27 pasien cerebrovascular disease (CVD). Mereka melakukan pengukuran terhadap TAT, plasmin inhibitor complex (PIC), D-dimer, plasminogen activator inhibitor (PAI-1), tissue plasminogen activator tPA, thrombomodulin (TM) dan protein C (PC)


(34)

pada hari pertama, ketiga dan kelima setelah trauma dan mereka memperoleh hasil bahwa kadar TAT, D-dimer dan PAI-1 lebih tinggi secara bermakna dibanding dengan pada CVD. Dengan demikian mereka menyimpulkan bahwa trauma kapitis menyebabkan aktivasi koagulasi yang lebih tinggi secara bermakna dibanding dengan CVD. (Homma dkk, 1998).

I.2. PERUMUSAN MASALAH

I.2.1. Bagaimanakah gambaran marker koagulasi pada penderita trauma kapitis yang dirawat di Departemen Neurologi FK-USU Medan ?

I.2.2. Apakah marker koagulasi dapat menjadi prediktor terhadap outcome pada penderita trauma kapitis yang dirawat di Departemen Neurologi FK-USU Medan ?

I.3. TUJUAN PENELITIAN I.3.1. Tujuan umum

I.3.1.1. Untuk mengetahui peranan marker koagulasi sebagai prediktor outcome pada penderita trauma kapitis.

I.3.2. Tujuan khusus

I.3.2.1. Untuk mengetahui peranan marker koagulasi sebagai prediktor outcome pada penderita trauma kapitis yang dirawat di Departemen Neurologi FK-USU Medan.


(35)

I.3.2.2. Untuk melihat hubungan antara marker koagulasi dan hasil Head CT-scan pada penderita trauma kapitis yang dirawat di Departemen Neurologi FK-USU Medan.

I.3.2.3. Untuk mengetahui hubungan karakteristik demografi dengan outcome pada penderita trauma kapitis yang dirawat di Departemen Neurologi FK-USU Medan.

I.4. HIPOTHESIS

Marker koagulasi dapat menjadi prediktor outcome pada penderita trauma kapitis.

I.5. MANFAAT PENELITIAN

Dengan mengetahui peranan marker koagulasi sebagai prediktor outcome pada penderita trauma kapitis, maka dapat dijadikan sebagai dasar perencanaan penatalaksanaan dalam rangka upaya untuk peningkatan kualitas hidup pada penderita trauma kapitis dan umumnya bagi masyarakat dapat dijadikan sebagai acuan perencanaan pembiayaan sesuai dengan outcome yang diharapkan.


(36)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. TRAUMA KAPITIS II.1.1. Definisi

Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen (PERDOSSI,2006).

II.1.2. Epidemiologi

Di Amerika Serikat Setiap tahunnya, sekitar 200.000 korban trauma kapitis dirawat di rumah sakit, dan sekitar 52.000 kematian tiap tahunnya terjadi karena trauma kapitis. Mortality rate untuk yang dirawat di rumah sakit adalah 6 per 100.000 penduduk, sedangkan untuk yang di luar rumah sakit adalah 17 per 100.000 penduduk. Pada anak-anak umur 0-14 tahun diperkirakan terdapat kasus trauma kapitis sebesar 475.000 kasus per tahunnya. Kerugian finansial akibat trauma kapitis diperkirakan sebesar 4 milyar US$ setiap tahunnya, meliputi kehilangan income dan juga biaya perawatan dan rehabilitasi berkelanjutan (Dawodu, 2007).

Insidens untuk trauma kapitis ringan adalah 131 per 100.000 penduduk, trauma kapitis sedang sebesar 15 per


(37)

100.000 penduduk, dan trauma kapitis berat sebesar 14 per 100.000 penduduk (Dawodu, 2007).

Terdapat beberapa populasi yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya trauma kapitis, antara lainnya (Dawodu, 2007):

• Usia muda

• Sosio-ekonomi rendah • Tidak menikah

• Pria

• Riwayat penggunaan obat terlarang • Riwayat trauma kapitis sebelumnya

Pria diperkirakan hampir mencapai 2 kali lipat wanita dalam hal menderita trauma kapitis. Perbandingan antara mortality rate antara pria : wanita adalah 3,4 : 1(Dawodu, 2007).

Resiko trauma kapitis paling tinggi terjadi pada rentang umur 15-30 tahun. Kecelakaan adalah hal yang paling sering menyebabkan kematian pada warga Amerika yang berusia lebih muda dari 45 tahun, dan trauma kapitis adalah penyebab utama yang berhubungan dengan kecelakaan. Mortality rate yang tertinggi (3,2 kasus per 100.000 penduduk) ditemukan pada rentang umur 15-24 tahun, sedangkan untuk mortality rate pada kelompok


(38)

manula ( ≥ 65 tahun) adalah sekitar 31,4 per 100.000 penduduk (Dawodu, 2007)

II.1.3. Klasifikasi

Ada beberapa jenis klasifikasi trauma kapitis, tetapi dengan berbagai pertimbangan dari berbagai aspek, maka bagian neurologi menganut pembagian sebagai berikut : (PERDOSSI, 2006)

a. Patologi

i. Komosio serebri

ii. Kontusio serebri iii. Laserasio serebri b. Lokasi lesi

i. Lesi diffus

ii. Lesi kerusakan vaskuler otak iii. Lesi fokal

• Kontusio dan laserasio serebri • Hematoma intrakranial c. Derajat kesadaran berdasarkan SKG :

Minimal 15 Pingsan (-), defisit neurologi (-) Normal

Ringan

13-15 Pingsan < 10 menit, defisit neurologi (-) Normal Sedang 9-12 Pingsan > 10 menit s/d 6 jam, defisit neurologi

(+) Abnormal


(39)

Trauma kapitis dapat juga digolongkan sebagai resiko rendah, sedang atau resiko tinggi berdasarkan faktor resiko dan perkembangan penilaian awal neurologis (Mayer dan Rowland, 2000).

Tabel 1. Stratifikasi resiko pada penderita dengan trauma kapitis

Kategori resiko Karakteristik

Ring a n Pe me riksa a n ne uro lo g i no rma l Tid a k a d a c o ntusio

Tid a k a d a into ksika si o b a t a ta u a lko ho l

Da p a t me ng e luh nye ri ke p a la d a n d izzine ss

Da p a t d ijump a i a b ra si sc a lp , la se ra si a ta u he ma to ma

Tid a k a d a krite ria tra uma se d a ng a ta u b e ra t

Se d a ng SKG 9-14 (b ing ung , le tha rg i, stup o r)

Co nc ussio n

Po stra uma tic a mne sia Munta h

Se izure

Ke mung kina n ta nd a b a sie lr a ta u fra ktus te ng ko ra k ya ng me ne ka n a ta u c e d e ra wa ja h se rius

Into ksika si o b a t a ta u a lko ho l Tid a k a d a riwa ya t c e d e ra a ta u riwa ya t tid a k je la s

Usia < 2 ta hun a ta u ke mung kina n c hild a b use

Be ra t SKG 3-8 (ko ma )

Pe nuruna n p ro g re sif ting ka t ke sa d a ra n

Ta nd a ne uro lo g ik fo ka l

Ce d e ra p e ne tra si te ng ko ra k a ta u fra ktur te ng ko ra k

DIkutip d a ri : Ma ye r SA, Ro wla nd LP. He a d Injury. In : Ro wla nd LP, e d ito r. Me rritt’ s Ne uro lo g y. 10th e d itio n.


(40)

II.1.4. Patofisiologi

Patofisiologi kerusakan otak akibat trauma kapitis dapat dikelompokkan atas 2 stadium yaitu cedera primer atau sekunder (Gilroy, 2000 ; Marik dkk, 2002).

a. Cedera kepala primer (primary brain injury)

Cedera kepala primer merupakan hasil dari kerusakan mekanikal langsung yang terjadi pada saat kejadian trauma (Marik dkk, 2002). Cedera primer dihasilkan oleh tekanan akselerasi dan deselerasi yang merusak kandungan intrakranial oleh karena pergerakan yang tidak seimbang dari tengkorak dan otak (Gilroy, 2000 ; Rizzo, 2002). Patofisiologi cedera kepala primer dapat dibedakan menjadi lesi fokal dan lesi difus. Cedera kepala fokal (focal brain injury) khas berhubungan dengan pukulan terhadap kepala yang menimbulkan kontusio serebral dan hematoma. Cedera fokal mempengaruhi morbiditas dan mortalitas berdasarkan lokasi, ukuran dan progresifitasnya (Marik dkk, 2002). Yang termasuk tipe dari cedera kepala primer ini adalah fraktur tengkorak, hematoma epidural, hematoma subdural, hematoma intraserebral dan diffuse axonal injury (Marik dkk, 2002).

Diffuse axonal injury disebabkan oleh tekanan inersial yang sering berasal dari kecelakaan lalu lintas. Pada


(41)

pasien berumur lebih dari 55 tahun, 80 % mortalitas akibat trauma kapitis terjadi karena diffuse axonal injury. (Widjicks, 2004). Pada praktisnya, diffuse axonal injury dan focal brain lesions sering terjadi bersamaan (Marik dkk, 2002 ; Ropper dan Brown, 2005).

b. Cedera kepala sekunder (secondary brain injury)

Cedera kepala sekunder terjadi setelah trauma awal dan ditandai dengan kerusakan neuron-neuron akibat respon fisiologis sistemik terhadap cedera awal (Marik dkk, 2002).

Faktor sekunder akan memperberat cedera kepala dikarenakan hasil shearing pada laserasi otak, robekan pembuluh darah, spasme vaskular, oedem serebral, hipertensi intrakranial, pengurangan cerebral blood flow, iskemik, hipoksia, dan lainnya yang dapat menimbulkan kerusakan dan kematian neuron (Gilroy 2000).

Sejumlah substansi biokemikal telah terbukti memiliki peranan dalam perkembangan cedera neural setelah trauma kapitis. Substansi in meliputi asam amino eksitatori glutamat dan aspartat, sitokin, dan radikal bebas (Marik dkk, 2002).


(42)

II.2. HEMOSTASIS

Istilah hemostasis menandakan mekanisme yang melibatkan kontrol lokal dari perdarahan (gambar 1). Terdapat 3 sistem saling berinteraksi – dinding pembuluh darah, faktor pembekuan, & platelet. (Kauffman, 1996)

II.2.1. Sistem Koagulasi

Faktor pembekuan dapat diaktivasi oleh fosfolipoprotein dari jaringan yang rusak ke aliran darah secara ekstrinsik, atau secara aktivasi kontak intrinsik dengan terpapar dengan permukaan pembuluh darah yang terdiri dari endothelium. (Kauffman, 1996)

Sistem koagulasi terbagi atas jalur intrinsik dan ekstrinsik. Walaupun terbagi menjadi 2 jalur, namun terdapat interkoneksi antara keduanya. Jalur ekstrinsik mempunyai peran utama dalam memulai koagulasi dalam hemostasis. Faktor VIIa/ tissue factor secara langsung mengaktivasi faktor X. Bentuk yang aktif dari faktor X dan V, dengan adanya kalsium, akan mengkatalisasi pembentukan protrombin menjadi trombin. Sebagai langkah akhir dari kaskade, fibrinogen diubah menjadi fibrin monomer oleh aksi trombin (gambar 2).

Jalur intrinsik membutuhkan faktor-faktor pembekuan VIII, IX, X, XI, dan XII. Juga membutuhkan protein


(43)

prekallikrein dan high-molecular-weight kininogen, juga ion kalsium dan fosfolipid yang dikeluarkan oleh platelet. Penyusun setiap pathway membawa perubahan faktor X (inaktif) ke faktor Xa (“a” menandakan aktif). Inisiasi jalur intrinsik terjadi saat prekallikrein, high-molecular-weight kininogen, faktor XI dan faktor XII terpapar pada permukaan yang rusak. Hal ini disebut fase kontak. Terpaparnya kolagen ke permukaan pembuluh darah merupakan stimulus primer untuk fase kontak.

Pembentukan komponen-komponen fase kontak mengakibatkan perubahan prekallikrein menjadi kallikrein, yang pada akhirnya mengaktifasi faktor XII menjadi faktor XIIa. Faktor XIIa dapat menghidrolisa lebih banyak prekallikrein menjadi kallikrein. Faktor XIIa juga mengaktifkan faktor XI menjadi faktor XIa dan menghasilkan pelepasan bradikinin, vasodilator yang poten, membentuk high-molecular-weight kininogen.

Dengan adanya Ca2+, faktor XIa mengaktifasi faktor IX menjadi faktor IXa. Faktor IX merupakan proenzim yang

mengandung residu vitamin K-dependent

carboxyglutamate (gla), dan aktivitas serine protease teraktifasi mengikuti berikatannya Ca2+ dengan residu gla ini. Beberapa dari serine protease dari kaskade ini (II, VII, IX, dan X) adalah proenzim yang mengandung gla. Faktor IXa


(44)

yang aktif merubah faktor X, yang mengakibatkan aktifasi faktor Xa. Selama -carboxylation, vitamin K perlu direduksi untuk dapat melanjutkan ke tahap selanjutnya.Antikoagulan warfarin menginhibisi reduksi vitamin K dan dengan demikian mencegah terbentuknya sintesa faktor II, VII, IX, dan X.

Jalur ekstrinsik dimulai pada tempat cedera, sebagai respon pembebasan faktor jaringan (faktor III). Faktor jaringan merupakan kofaktor untuk faktor VIIa yang mangkatalisasi aktivasi faktor X. Faktor VIIa, residu gla yang mengandung serine protease, merubah faktor X menjadi faktor Xa dengan cara yang mirip dengan faktor IXa jalur intrinsik. Aktivasi faktor VII terjadi melalui aksi trombin atau faktor Xa. Kemampuan faktor Xa untuk mengaktivasi faktor VII membuat suatu hubungan antara jalur intrinsik dan ekstrinsik. Hubungan tambahan antara kedua jalur ada melalui kemampuan faktor jaringan dan faktor VIIa untuk mengaktifasi faktor IX. Pembentukan kompleks antara faktor VIIa dan faktor jaringan dipercaya merupakan langkah yang penting dalam keseluruhan kaskade koagulasi. Bukti untuk pernyataan ini berasal dari kenyataan bahwa orang-orang dengan defisiensi herediter pada komponen Fase Kontak dari jalur intrinsik tidak menunjukkan masalah pembekuan darah. Mekanisme utama dari inhibisi jalur ekstrinsik terjadi


(45)

pada kompleks faktor jaringan-faktor VIIa-Ca2+-Xa. Suatu protein, lipoprotein-associated coagulation inhibitor (LACI), secara spesifik berikatan pada kompleks ini. LACI tersusun atas 3 tandem domain protease inhibitor. Domain 1 berikatan dengan faktor Xa dan domain 2 berikatan dengan faktor VIIa dengan adanya faktor Xa. (Heesen,1997 ; Widjadjakusumah, 1995)

Gambar 1. Ringkasan reaksi-reaksi yang terlibat dalam hemostasis

Dikutip d a ri : Wid ja ja kusuma h MD. (e d ). 1995. Buku a ja r fisio lo g i ke d o kte ra n (re vie w o f me d ic a l p hysio lo g y) / Willia m F Ga no ng . Ed isi 17. Pe ne rb it Buku Ke d o kte ra n EG C . Ja ka rta .

Ko ntra ksi Ko la g e n Thro mb o p la stin j i

Re a

ksi-re a ksi Aktivita s

Ag g re g a si tro mb o sit

l

Tro mb in

Sumbatan hemostatik Sumbatan hemostatis

Ce d e ra d ind ing p e mb uluh


(46)

Test koagulasi rutin untuk menilai jalur ekstrinsik adalah tes Protrombin Time (PT). Hal ini dilakukan dengan mengukur waktu yang dibutuhkan untuk membentuk clot dengan adanya menambahkan kalsium dan ekstrak jaringan ke plasma. Nilai PT yang normal menandakan kadar normal dari faktor VII, V, X, II dan fibrinogen. (Heesen, 1997)

Partial Thromboplastin Time (PTT) mengacu kepada jalur intrinsik dan tes untuk semua faktor koagulasi kecuali faktor X. Thrombin time (TT) menilai pembentukan trombin dan agregasi fibrin (Heesen, 1997)

Gambar 2. Kaskade Koagulasi

Dikutip d a ri : Ha rta nto H (Ed ). 2004. Tinja ua n Klinis Ha sil Pe me riksa a n La b o ra to rium. Ed isi 11. Pe ne rb it Buku Ke d o kte ra n EGC .Ja ka rta .


(47)

II.2.2. Sistem Fibrinolisis

Sistem pembentukan dan penghancuran fibrin sangat erat berkaitan. Akitifasi koagulasi juga sekaligus mengaktifkan lisis fibrin. Fibrinolisis, proses fisiologis untuk menghilangkan deposit fibrin yang tidak diinginkan, menandakan pemecahan fibrin dengan enzim secara progresif menjadi fragmen-fragmen yang larut. Fragmen-fragmen ini kemudian akan dibuang dari sirkulasi oleh makrofag dari reticuloendothelial system (RES). Aksi sistem fibrinolitik ini melancarkan kembali aliran darah dalam pembuluh yang sebelumnya tersumbat oleh thrombus.

Aktifasi sistem fibrinolisis oleh plasminogen activator seperti tissue plasminogen activator (t-PA) menghasilkan konversi plasminogen menjadi plasmin, mengakibatkan disolusi fibrin, dan/atau fibrinogen. Fibrin degradation products (FDP) dibentuk setelah degradasi fibrin dan fibrinogen oleh plasmin. D-dimer adalah fragmen dari cross-linked fibrin yang dihancurkan plasmin dan meningkat konsentrasinya pada saat onset fibrinolisis (Heesen, 1997).


(48)

II.2.3. Koagulopati

Gangguan hemostasis dapat menyertai berbagai macam penyakit, yang disebabkan oleh pelepasan substansi thromboplastik, juga reaksi antigen-antibodi selama transfusi, bisa ular, kelainan pembuluh darah karena infeksi, abnormalitas arteriovenous, aneurisma dan graft vaskular. (Kauffman, 1996)

Gangguan hemostasis mengakibatkan aktifasi jalur koagulasi intrinsik dan/atau ekstrinsik dan stimulasi platelet yang begitu besar sehingga tidak dapat diatasi oleh sistem feedback normal. Terdapat trombosis lokal dan disseminated pada microvasculature, juga pada vena-vena kecil dan arteriole, bahkan terkadang juga pada pembuluh darah besar. Dengan adanya oklusi pembuluh darah, dapat terjadi kerusakan iskemik pada organ. Eritrosit yang melalui pembuluh yang mengalami oklusi dapat menderita kerusakan, menghasilkan fragmen sel yang disebut dengan schistocytes, yang dapat menyebabkan microangiopathic hemolytic anemia. Lisis dari trombus pada jaringan yang infark dapat mengakibatkan perdarahan lokal dari pembuluh darah yang rusak. Pendarahan ini dapat diperburuk dengan berkurangnya faktor koagulasi dan platelet, serta dengan adanya FDP yang berfungsi sebagai antikoagulan dan platelet inhibitor. Apabila diadakan pembedahan pada situasi


(49)

ini, dapat mendapat penyulit berupa perdarahan yang berlebihan.( Kauffman, 1996).

Kelainan ini, yang pertama kali dijabarkan pada tahun 1950, dengan sebutan “intermediary mechanism of disease” oleh McKay, juga dikenal dengan berbagai sinonim, salah satunya yang paling sering digunakan adalah disseminated intravascular coagulation (DIC). (Kauffman, 1996)

II.3. KOAGULOPATI PADA TRAUMA KAPITIS

Koagulopati merupakan fenomena yang sering ditemukan pada pasien trauma kapitis (Nekludov, 2007). Patogenesis koagulopati pada pasien trauma adalah kompleks. Penyebab pastinya susah untuk diidentifikasi dan biasanya terjadi multifaktorial. Cedera jaringan, anoksia, dan shock akan mengaktifasi sistem koagulasi, yang pada gilirannya mengaktifasi fibrinolisis. Terjadinya trombi intravaskular yang multipel sehubungan dengan daerah yang focal necrosis pada berbagai organ vital adalah mirip dengan temuan pada pasien dengan DIC. Apakah perubahan ini menggambarkan DIC yang sebenarnya masih belum jelas. Namun, aktifasi normal dari sistem koagulasi dan fibrinolitik mengakibatkan konsumsi platelet dan faktor koagulasi, dan perdarahan yang berkelanjutan mengakibatkan penurunan yang lebih jauh dari bahan hemostatik ini dari sirkulasi (Spahn dkk, 2005).


(50)

Pada penelitian yang dilakukan oleh Brohi dkk ( 2007), terhadap 208 pasien dengan trauma kapitis diperoleh hasil bahwa pasien tanpa hipoperfusi jaringan tidak mengalami koagulopati. Selain itu, kadar protein C yang rendah berhubungan dengan pemanjangan PTT dan PT dan juga hiperfibrinolisis dengan kadar D-dimer yang tinggi. Mereka menyimpulkan bahwa koagulopati traumatik dini terjadi hanya apabila terjadi hipoperfusi jaringan, dan kadar protein C pada saat masuk dapat menjadi prediktor outcome pada penderita trauma kapitis (Brohi dkk, 2007).

Jaringan otak merupakan stimulator yang poten dari DIC. Cedera jaringan otak, bersamaan dengan cedera sel endotel dari pembuluh darah lokal, dapat mengakibatkan DIC, yang juga dapat dieksaserbasi oleh pelepasan katekolamin. Abnormalitas pada tes untuk koagulopati sering dijumpai setelah cedera otak. Bahkan, pada pasien trauma kapitis yang fungsi koagulasinya normal pada darah vena perifer, pada darah vena jugularisnya dapat mengalami koagulopati lokal. (Kauffman, 1996)

Bukti lain adanya DIC diperoleh dari hasil otopsi. Microthrombi tidak dapat dideteksi tanpa pewarnaan khusus , namun dengan menggunakan fibrin stain terlihat banyak dijumpai terutama pada jaringan otak, paru-paru dan ginjal. Trombus yang lebih besar juga dapat dijumpai, demikian juga


(51)

infark dan perdarahan sekunder yang merupakan tanda suatu DIC. (Kauffman, 1996)

Keparahan dari abnormalitas hemostatis mencerminkan keparahan cedera otak, dan juga kemampuan ketahanan hidup dari pasien. Dari pengalaman didapati bahwa FDP dan skor DIC adalah prediktor terbaik dari outcome, TT dan PTT adalah intermediate, dan PT adalah prediktor outcome yang buruk. Sebagian peneliti mengatakan bahwa PTT dan fibrinogen merupakan prediktor yang paling penting. (Kauffman, 1996)

Disseminated intravascular coagulation pada trauma kapitis terjadi karena pelepasan thromboplastin jaringan yang terjadi setelah trauma (Preston dkk, 1974). Tromboplastin yang terlepas akan mengaktifasi mekanisme koagulasi dan fibrin thrombi akan terbentuk dalam pembuluh darah kecil di seluruh tubuh. Terdapat pengurangan yang progresif dari platelet dan faktor pembekuan yang mengakibatkan kecenderungan untuk terjadinya suatu perdarahan. Kecenderungan berdarah ini dapat meningkatkan perdarahan intrakranial dan juga di bagian tubuh lain. Apabila tidak dilakukan pembedahan, DIC dapat diterapi dengan heparin intravena (Gilroy, 2000, Sawaya, 1987).


(52)

II.4. OUTCOME DARI PENDERITA TRAUMA KAPITIS

Perkiraan outcome setelah terjadinya trauma kapitis merupakan suatu masalah yang sangat besar, terutama pada pasien dengan trauma yang serius (Mayer dan Rowland, 2000). Evaluasi outcome fungsional setelah keluar dari rumah sakit pada individu dengan acquired brain injury menjadi bagian penting suatu program rehabilitasi. Evaluasi merupakan jalan terbaik untuk mengukur keefektifan pengobatan sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan untuk rehabilitasi. Banyak faktor yang telah mempengaruhi outcome. Terlepas dari tehnik dan metode yang digunakan pada rehabilitasi akut dan post-akut, outcome pasien pada saat masuk ditentukan oleh variabel-variabel : skor SKG pada saat masuk, length of coma, lamanya post traumatic amnesia, dukungan keluarga dan juga tingkat sosio-ekonomi (Leon-Carrion, 2006). Dalamnya koma, temuan CT, dan umur merupakan variabel demografi dan medis yang paling prediktif untuk late outcome (Wartenberg dan Mayer, 2007 ; Mayer dan Rowland, 2000).

Trauma kapitis dengan perdarahan intrakranial mencapai 50 % dari seluruh kematian karena trauma dan 75 % kecelakaan lalu lintas. Hingga 20 % kecelakaan vascular cerebral adalah hemorrhagik. Dengan demikian dibutukan suatu screening test untuk perdarahan intrakranial yang efektif, sensitif, reliable dan juga murah. Salah satu cara screening test yang cukup sensitif


(53)

dan reliable adalah dengan pemeriksaan marker serum untuk koagulopati. (Hoffmann dkk, 2001).

Usia tua telah lama dikenal sebagai prediktor independen dari outcome yang lebih buruk pada trauma kapitis. Pada penelitian yang dilakukan oleh Thompson dkk (2006) dijumpai bahwa angka mortalitas pada pasien usia tua dengan trauma kapitis ringan secara signifikan lebih tinggi dibanding dengan usia muda. Pasien trauma usia tua juga mempunyai ketergantungan yang lebih besar, dan juga lama rawatan di rumah sakit yang lebih lama. Selain itu pasien usia tua juga menderita defisit neurologi yang lebih lama pulih sehingga biaya perawatannya juga lebih besar ( Thompson dkk, 2006).

Otak mengandung tissue factor (faktor III koagulasi) yang cukup banyak, yang apabila dilepaskan ke dalam sirkulasi karena adanya kerusakan blood brain barrier, akan mengakibatkan terjadinya jalur koagulasi ekstrinsik. Hipothesis yang dapat diterima adalah bahwa derajat intravascular coagulation sebanding dengan banyaknya jaringan otak yang rusak akibat cedera otak. (Hoffmann dkk, 2001).

II.4.1. GLASGOW OUTCOME SCALE

Glasgow Outcome Scale (GOS) adalah skala yang digunakan untuk mengukur outcome setelah trauma kapitis. Skala ini diciptakan oleh Jennet dkk pada tahun 1975 dan


(54)

dipakai untuk mengalokasikan orang-orang yang menderita cedera otak akut pada cedera otak traumatik maupun non-traumatik ke dalam kategori outcome. Skala ini menggam-barkan disabilitas dan kecacatan dibandingkan gangguan; yang difokuskan pada bagaimana trauma mempengaruhi fungsi pada kehidupan (Leon-Carrion, 2006).

Skala yang asli terdiri dari 5 tingkatan sebagai berikut (Leon-Carrion, 2006 ; Capruso dan Levin, 1996) :

1. Meninggal 2. Vegetative State

Tanda dari vegetative state adalah ketiadaan fungsi kognitif yang ditunjukkan oleh hilangnya komunikasi total, yang menandakan bahwa korteks serebral tidak berfungsi lagi. Tidak seperti pada pasien koma, pasien pada keadaan vegetative state memiliki respon buka mata, gerakan bola mata, dan siklus tidur-bangun. Meskipun pasien dengan vegetative state dapat menunjukkan berbagai aksi motorik yang reflektif, kebiasaan ini tidak dapat menunjukkan kesadaran.

3. Severe disability

Pasien sadar, namun membutuhkan pertolongan. Meskipun tingkat ketergantungan bervariasi, yang termasuk dalam kategori ini adalah pasien yang bergantung kepada seorang caregiver untuk seluruh


(55)

aktivitas sepanjang hari. Pasien yang tidak dapat ditinggal sendiri dan tidak dapat merawat diri mereka sendiri selama interval 24 jam termasuk kategori ini. 4. Moderate disability

Pasien dalam kategori ini dapat tinggal sendiri, namun memiliki tingkat kecacatan fisik dan kognitif yang membatasi mereka dibandingkan tingkat kehidupan sebelum trauma. Banyak pasien pada kategori ini dapat kembali bekerja, meskipun dalam pekerjaan mereka diberikan kelonggaran khusus dan asisten untuk mereka, dan tidak dapat memikul pekerjaan sebesar tanggung jawab mereka sebelum sakit.

5. Good recovery

Pada kategori ini pasien tidak bergantung dan dapat kembali pada pekerjaan atau aktifitas mereka sebelum sakit tanpa adanya keterbatasan mayor. Pasien dapat menderita defisit neurologi atau kognitif ringan yang menetap, namun tidak mengganggu keseluruhan fungsi. Pasien dalam kategori ini kompeten bersosialisasi dan mampu membawa diri dengan baik tanpa perubahan kepribadian yang berarti.

Tingkatan ini dapat dikelompokkan menjadi outcome buruk (GOS 1-3) dan baik (GOS 4-5) (Leon-Carrion, 2006).


(56)

II.5. KERANGKA KONSEPSIONAL

TRAUMA KAPITIS

Ce d e ra d ind ing p e mb uluh d a ra h o ta k

Pe le p a sa n Tissue

Fa c to r /

Thro mb o p la stin

Ko a g ulo p a Aktifita s Ko a g ula si

Vavilala dkk (2001) å pasien trauma kapitis yang mempunyai kadar FDP > 1000 g/mL dengan skor GCS 7 – 12 berhubungan dengan outcome yang lebih buruk

Vandelli dkk (2004) å

pemeriksaan marker koagulasi

disamping pemeriksaan Head CT-scan dalam memprediksi outcome pada pasien trauma kapitis.

Piek dkk (1992) å komplikasi ekstrakranial dari trauma kapitis mempunyai pengaruh yang cukup tinggi terhadap penentuan

outcome.

Bayir dkk (2006) å marker fibrinolitik dapat berguna dalam menentukan prognosis pasien dengan trauma kapitis

Hoffmann dkk (2001) å pemeriksaan

D-dimer untuk memprediksi adanya perdarahan intrakranial pada pasien trauma kapitis.

Marke r Koagulasi

Jumla h Pro thro mb in

Pa rtia l

Thro mb o p la stin Time

Thro mb in

D-d ime r Fib rino g e n

Takahashi dkk (1997) å kadar plasma PIC

dan D-dimer merupakan suatu marker prognostik yang dapat diandalkan pada trauma kapitis,


(57)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1. Tempat dan waktu

Penelitian dilakukan di Departemen Neurologi FK-USU dari Januari 2008 s/d Mei 2008 atau sampai jumlah subjek penelitian tercukupi.

III.2. Subjek penelitian

Subjek penelitian diambil dari populasi pasien yang dirawat di Departemen Neurologi FK-USU. Penentuan subjek penelitian dilakukan dengan metode non-random sampling secara konsekutif.

III.2.1. Populasi sasaran

Semua penderita trauma kapitis yang ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, neurologis, dan Head CT-scan.

III.2.2. Populasi terjangkau

Semua penderita trauma kapitis yang ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, neurologis, dan Head CT-scan, yang dirawat di Departemen Neurologi FK-USU Medan.

III.2.3. Besar sampel :

Besar sampel dihitung menurut rumus (Madiyono dkk, 2002) :


(58)

Z = nilai baku normal berdasarkan nilai yang telah ditentukan = 1,96

p = proporsi penderita trauma kapitis = 0,24 q = 1 – p = 1 – 0,24 = 0,76

d = tingkat ketepatan absolut = 15 % III.2.4. Kriteria Inklusi :

1. Semua penderita trauma kapitis yang dirawat di Departemen neurologi FK-USU Medan.

2. Usia ≥ 15 tahun

3. Telah dilakukan Head CT-scan

4. Memberikan persetujuan untuk ikut dalam penelitian ini. III.2.5. Kriteria Eksklusi :

1. Penderita dengan penyakit psikiatri atau mental retardasi 2. Penderita dengan afasia

3. Penderita dengan penyakit yang dapat menyebabkan gangguan sistem koagulasi (seperti hemofilia, Disseminated Intravascular Coagulation, Von Willebrand disease, Idiopathic Thrombocytopenia Purpura).

4. Penderita yang menggunakan obat-obatan anti-koagulan dan anti-thrombotik.

III.3. Batasan operasional :

a. Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan


(59)

fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen. (PERDOSSI, 2006).

b. Outcome adalah keadaan pasien saat keluar dari rumah sakit. Untuk pengukuran outcome pada pasien trauma kapitis dalam penelitian ini digunakan Glasgow Outcome Scale (GOS) (Leon-Carrion, 2006).

c. Glasgow Coma Scale (GCS) atau Skala Koma Glasgow adalah suatu skala yang digunakan secara luas sebagai pengukuran klinis semikuantitatif dari tingkat kesadaran berdasarkan keadaan buka mata dan respon verbal dan motorik penderita (Mayer dan Rowland, 2000).

Skala Koma Glasgow yang digunakan pada peneltian ini adalah SKG untuk dewasa (PERDOSSI, 2006) :

Skala Koma Glasgow Buka Ma ta

4 Sp o nta n

3 De ng a n p e rinta h ve rb a l 2 De ng a n nye ri

1 Tid a k a d a Re sp o n Re sp o n Mo to rik Te rb a ik

6 Me nurut p e rinta h 5 Da p a t me lo ka lisa si nye ri 4 Fle ksi te rha d a p ja ri

3 Fle ksi a b no rma l (d e ko rtika si) 2 Ekste nsi (d e se re b ra si)

1 Tid a k a d a re sp o n Re sp o n Ve rb a l Te rb a ik

5 Orie nta si b a ik d a n b e rb ic a ra 4 Diso rie nta si d a n b e rb ic a ra 3 Ka ta -ka ta ya ng tid a k te p a t,

me na ng is

2 Sua ra ya ng tid a k b e ra rti 1 Tid a k a d a re sp o n


(60)

d. Glasgow Outcome Scale (GOS) adalah skala untuk mengukur outcome setelah terjadinya trauma kapitis yang digunakan secara luas. Tingkatan dari outcome pada skala ini dikelompokkan menjadi outcome jelek (GOS 1-3) dan outcome baik (GOS 4-5) (Leon-Carrion, 2006).

GLASGOW OUTCOME SCALE : 1 = Death

2 = Vegetatif state 3 = Severe Disability 4 = Moderate Disability 5 = Good Recovery e. Head CT-scan.

Head CT-scan yang digunakan adalah X-ray CT-system, merk Hitachi seri W450.

Penilaian gambaran Head CT-scan dikelompokkan menjadi (Wardlaw dkk, 2002) :

• Normal

Mild focal injury (dijumpai adanya kontusio kecil pada hanya satu area di otak).

Medium focal injury (dijumpai beberapa kontusio pada 1 atau 2 area yang berdekatan di otak, atau dijumpai subdural hematom / epidural hematom kecil).

Mild / moderate diffuse injury (dijumpai beberapa kontusio kecil atau hematom, tapi tidak pada daerah


(61)

yang berdekatan, namun sebagian besar otak kelihatannya normal).

Massive focal injury (dijumpai epidural / subdural hematom besar atau kontusio berat)

Massive diffuse injury (dijumpai edema otak menyeluruh atau banyak kontusio di beberapa area). f. Marker Koagulasi yang termasuk dalam penelitian ini

adalah : hitung jumlah trombosit, prothrombin time (PT), thrombin time (TT), partial thromboplastin time (PTT), kadar fibrinogen dan kadar D-dimer (Bayir, 2006, Engstrom 2005).

Nilai normal untuk masing-masing marker koagulasi adalah : (Hartanto, 2004)

Jumlah Trombosit Waktu protrombin (PT)

Waktu tromboplastin parsial (PTT) Waktu pembekuan trombin (TT) Fibrinogen

D-Dimer

150.000 – 450.000 /mm3

11 – 13 detik 60 – 85 detik

10 -15 detik atau 1,3 kali waktu kontrol 150 – 450 mg/dl

0-300 ng/ml

g. Hitung Jumlah Trombosit adalah : tes diagnostik untuk menentukan jumlah trombosit dalam darah seseorang. Trombosit adalah sel darah yang berbentuk diskus yang dibentuk dalam sumsum tulang dan terlibat dalam proses pembekuan darah. Dalam keadaan normal terdapat sekitar 150.000 – 450.000 trombosit dalam tiap mikroliter darah. (Thomas, 1988)


(62)

h.

Prothrombin Time adalah tes untuk melihat waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan clot setelah zat thrombo-plastin dan kalsium ditambahkan ke dalam plasma. (Thomas, 1988)

i. Thrombin Time adalah : tes untuk melihat waktu perubahan fibrinogen menjadi fibrin oleh thrombin, dimana dilakukan pengukuran waktu pembekuan plasma yang dicampur dengan larutan thrombin. (Thomas, 1988)

j. Partial Thromboplastin Time adalah : waktu yang dibutuhkan plasma untuk membentuk clot fibrin setelah ditambahkan kalsium dan reagen fosfolipid ; digunakan untuk mengevaluasi jalur koagulasi intrinsik. (Thomas, 1988)

k. Fibrinogen adalah suatu protein yang terdapat dalam plasma darah yang dengan bantuan thrombin dan dengan adanya ion kalsium akan diubah menjadi fibrin. (Thomas, 1988)

l. D-dimer adalah : fragmen yang terbentuk dari hasil degradasi clot darah. (Thomas, 1988)

m. Koagulopati adalah : gangguan mekanisme pembekuan darah. (Thomas, 1988)

III.4. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang (cross sectional) dengan sumber data primer yang diperoleh dari


(63)

semua penderita trauma kapitis yang dirawat di Departemen Neurologi FK-USU Medan, yang memenuhi kriteria inklusi-eksklusi.

III.5. Pelaksanaan Penelitian III.5.1. Instrumen

1. Glasgow Coma Scale 2. Glasgow Outcome Scale

3. Head CT-scan Merk Hitachi seri W 450.

4. Alat Organon Teknika dan Coag-A-Mate MTX untuk memeriksa marker koagulasi.

III.5.2. Pengambilan sampel

Semua penderita trauma kapitis yang dirawat di Departemen Neurologi FK-USU Medan yang diagnosanya ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis neurologis dan Head-CT

scan untuk menentukan ada tidaknya perdarahan

intrakranial, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dijadikan sampel pada penelitian ini. Selanjutnya semua sampel dilakukan pemeriksaan Glasgow Coma Scale dan marker koagulasi (Jumlah Trombosit, Prothrombin Time (PT), Partial Thromboplastin Time (PTT), Thrombin Time (TT), Fibrinogen, dan D-dimer). Sedangkan untuk pemeriksaan outcome dilakukan dengan pengukuran Glasgow Outcome Scale pada saat penderita keluar dari rumah sakit.


(64)

III.5.3. Kerangka Operasional

• Ana mne sis

• Pe me riksa a n Fisik

• Pe me riksa a n Ne uro lo g is

• Pe me riksa a n GCS He a d C Tsc a n Pa sie n Tra uma Ka p itis

ya ng ma suk ke IGD

Krite ria Inklusi Krite ria Eksklusi

Pe me riksa a n Ma rke r Ko a g ula si : Hitung jumla h Tro mb o sit, PT, PTT, TT, Fib rino g e n, D-Dime r.

Pe me riksa a n GOS p a d a sa a t ke lua r d a ri ruma h

kit

Ana lisa Da ta

III.5.4. Variabel yang diamati

Variabel bebas : Marker Koagulasi : Jumlah Trombosit, Prothrombin Time (PT), Partial Ha sil


(65)

Thromboplastin Time (PTT), Thrombin Time (TT), Fibrinogen, dan D-dimer.

Variabel terikat : Glasgow Outcome Scale (GOS) III.6. Analisa statistik

(a) Data hasil penelitian akan dianalisa secara statistik dengan bantuan program komputer SPSS versi 15.0 for Windows.

(b) Gambaran karateristik penderita disajikan dalam bentuk deskriptif.

(c) Uji t-independent digunakan untuk melihat :

1. Perbedaan rerata marker koagulasi laboratorium pada kedua jenis kelamin.

2. Perbedaan rerata marker koagulasi pada kedua jenis penyebab trauma.

3. Perbedaan rerata usia pada ada tidaknya perdarahan pada Head CT-scan.

4. Perbedaan rerata usia pada kedua jenis penyebab trauma.

(d) Uji One-way anova digunakan untuk melihat :

1. Perbedaan rerata marker koagulasi laboratorium pada masing-masing kelompok GCS.

2. Perbedaan rerata marker koagulasi laboratorium pada masing-masing kelompok GOS.


(66)

3. Perbedaan rerata marker koagulasi laboratorium pada masing-masing kelompok gambaran Head CT-scan. 4. Perbedaan rerata marker koagulasi laboratorium pada

ada tidaknya perdarahan pada gambaran Head CT-scan.

5. Perbandingan rerata marker koagulasi laboratorium terhadap rerata usia.

6. Perbedaan rerata marker koagulasi laboratorium pada masing-masing kelompok GOS, untuk kelompok GCS 13-15.

7. Perbedaan rerata marker koagulasi laboratorium pada masing-masing kelompok GOS, untuk kelompok GCS 9-12.

8. Perbedaan rerata marker koagulasi laboratorium pada masing-masing kelompok GOS, untuk kelompok GCS ≤ 8.

9. Perbedaan rerata usia pada masing-masing kelompok GOS.

(e) Uji Chi-square digunakan untuk melihat : 1. Hubungan antara GOS dengan GCS

2. Hubungan antara GCS dengan penyebab kecelakaan 3. Hubungan antara GCS dengan ada tidaknya

perdarahan pada gambaran Head CT-scan.


(67)

5. Hubungan antara GCS dengan pekerjaan. 6. Hubungan antara GCS dengan jenis kelamin 7. Hubungan antara GOS dengan jenis kelamin

8. Hubungan antara GOS dengan penyebab kecelakaan 9. Hubungan antara GOS dengan gambaran Head

CT-scan.

10. Hubungan antara GOS dengan ada tidaknya perdarahan pada gambaran Head CT-scan.

11. Hubungan antara GOS dengan tingkat pendidikan. 12. Hubungan antara GOS dengan pekerjaan.

(f) Sensitifitas, spesifisitas, positive predictive value, negative predictive value digunakan pada :

1. Kadar fibrinogen dengan outcome baik dan buruk 2. Kadar D-dimer dengan outcome baik dan buruk

3. Kadar fibrinogen dengan ada tidaknya perdarahan pada gambaran Head CT-scan.

4. Kadar D-dimer dengan ada tidaknya perdarahan pada gambaran Head CT-scan.


(68)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV.I. HASIL PENELITIAN

IV.1.1. Karakteristik Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan sejak bulan Februari 2008 sampai bulan Mei 2008. Dari seluruh penderita trauma kapitis yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan dari bulan Februari sampai Mei 2008, terdapat 77 orang penderita trauma kapitis yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi untuk dijadikan sebagai sampel penelitian

IV.1.2. Karakteristik demografi sampel penelitian

Pada penelitian ini didapati sejumlah 77 orang penderita trauma kapitis yang dianalisa, terdiri dari 50 orang (64,9%) pria dan 27 orang (35,1 %) wanita (tabel 2). Rentang usia sampel adalah 15 tahun hingga 75 tahun, dimana usia sampel yang terbanyak adalah usia 18 tahun sebanyak 7 orang (9,1%) dengan rerata umur sampel adalah 32,13 tahun. (Tabel 1)

Dari sampel didapati suku bangsa yang terbanyak adalah suku Batak, yaitu sebanyak 36 orang (46,8 %) dan tingkat pendidikan sampel yang terbanyak adalah pada kelompok pendidikan SMA sebanyak 47 orang (61 %). Penyebab trauma yang paling sering adalah kecelakaan lalu lintas sebanyak 68 orang (88,3 %)


(69)

Tabel 2. Karakteristik demografi sampel penelitian

Karakteristik sampel n % Mean ± SD

Jenis Kelamin • Pria • Wanita

50 27

64,9 35,1

Umur 32,13 ±15,19

Status perkawinan • Menikah

• Belum menikah

42 35

54,5 45,5 Suku

• Batak • Jawa • Melayu • Minang • Aceh

36 23 6 5 7 46,8 29,9 7,8 6,5 9,1 Tingkat pendidikan

• SD

• SMP

• SMA

• Perguruan Tinggi

11 13 47 6 14,3 16,9 61,0 7,8 Pekerjaan

• IRT

• Wiraswasta • Pelajar • Pensiunan

• PNS

• Peg. Swasta

11 29 25 3 4 5 14,3 37,7 32,5 3,9 5,2 6,5 Penyebab trauma kapitis

• KLL

• Penyebab lain

68 9

88,3 11,7


(70)

IV.1.3. Distribusi sampel berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale (GCS)

Dari 77 sampel yang diamati, ditemukan sampel yang terbanyak berada pada kelompok GCS 13-15 sebanyak 45 orang (58,4 %), diikuti dengan kelompok GCS 9-12 sebanyak 24 orang (31,2 %), dan yang paling sedikit adalah pada kelompok GCS ≤ 8 sebanyak 8 orang (10,4 %). Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Distribusi sampel berdasarkan nilai GCS

Glasgow Coma Scale n %

13-15 45 58,4

9-12 24 31,2

≤ 8 8 10,4

Total 77 100,0

IV.1.4. Distribusi sampel berdasarkan gambaran Head CT-scan

Berdasarkan gambaran Head CT-scan, maka distribusi sampel terbanyak terletak pada kelompok yang memiliki gambaran Head CT-scan normal, sebanyak 33 orang (42,9 %), diikuti dengan mild/moderate diffuse sebanyak 14 orang (18,2 %), medium focal injury sebanyak 13 orang (16,9 %), massive focal injury sebanyak 7 orang (9,1 %), mild focal injury sebanyak 6 orang (7,8 %), dan yang paling sedikit adalah massive diffuse injury sebanyak 4 orang (5,2 %). Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.


(1)

Ueda S., Fujitsu K., Fujino H., Sekino T., Kuwabara T. 1985. Correlation

between plasma fibrin-fibrinogen degradation product values and CT

findings in head injury. JNNP. 48:58-60.

Vandelli, A., Fabbri, A., Servadei, F., Marchesini, G. 2004. Coagulopathy

and NICE recommendations for patients with mild head injury. J

Neurol Neurosurg Psychiatry. 75,1787-1788.

Vavilala, M., Dunbar, P., Rivara, F.P., Lam, A.M. 2001. Coagulopathy

predicts poor outcome following head injury in children less than 16

years of age. J Neurosurg Anesthesiol. 13,13-18.

Vecht C.J., Smit Sibinga T., Minderhoud J.M.. 1975. Disseminated

intravascular coagulation and head injury. JNNP. 38:567-571.

Wardlaw, J.M., Easton, V.J., Statham, P. 2002. Which CT features help

predict outcome after head injury ? J Neurol Neurosurg Psychiatry.

72:188-92.

Wartenberg, K.E., Mayer, S.A. 2007. Trauma. In : Brust JCM. (ed). Current

diagnosis & treatment in neurology. pp 175-90. McGraw-Hill

Company Inc. United States of America.

Widjajakusumah, M.D. (ed). 1995. Buku ajar fisiologi kedokteran (review of

medical physiology) / William F Ganong. Edisi 17. Penerbit Buku

Kedokteran EGC. Jakarta.


(2)

LAMPIRAN 1

SURAT PERSETUJUAN IKUT DALAM PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :

Jenis Kelamin :

Umur :

Pekerjaan :

Alamat :

Setelah mendapatkan keterangan secara terperinci dan jelas mengenai penelitian “PERANAN MARKER KOAGULASI SEBAGAI PREDIKTOR

OUTCOME PADA PENDERITA TRAUMA KAPITIS” dan setelah mendapatkan

kesempatan mengajukan pertanyaan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan penelitian tersebut, maka dengan ini saya secara sukarela dan tanpa paksaan menyatakan kesediaan saya ikut dalam penelitian tersebut.

Tanggal,


(3)

LAMPIRAN 2

LEMBAR PENGUMPUL DATA PENELITIAN

IDENTITAS PRIBADI

No urut

:

No. MR

:

Tgl. MRS

:

Jam MRS

:

Nama

:

Umur

: tahun

Jenis Kelamin

:

1. Pria

2. Wanita

Suku bangsa

:

Pendidikan

:

Pekerjaan

:

Status

:

1. Kawin

2. Tidak Kawin

PEMERIKSAAN FISIK NEUROLOGIS

Pemeriksa Umum : Kesadaran

SKALA KOMA GLASGOW (SKG)

Buka

mata

Spontan

4

Dengan

perintah

verbal

3

Dengan

nyeri

2

Tidak

ada

respon

1

Respon Verbal

Orientasi baik dan berbicara

5

Disorientasi

dan

berbicara

4

Kata-

kata

yang

tidak

tepat,

menangis

3

Suara

yang

tidak

berarti

2

Tak

ada

respon

1

Respon

Motorik

Menurut

perintah

6

Dapat

melokalisasi

nyeri

5

Fleksi

terhadap

nyeri 4

Fleksi

abnormal

(dekortikasi)

3

Ekstensi

(deserebrasi)

2

Tidak

ada

respon

1


(4)

STATUS PRESENS

Tekanan darah : mmHg

Suhu : °C

Denyut nadi : X / menit

Pernafasan : X / menit

III. HASIL PEMERIKSAAN MARKER KOAGULASI

Jumlah hitung Trombosit : /mm3

Prothrombin Time (PT) : detik(C: detik) Thrombine Time (TT) : detik(C : detik) Partial Thromboplastin Time (PTT) : detik(C : detik)

Fibrinogen : mg/dL

D-dimer : ng/mL

IV. HASIL PEMERIKSAAN CT-SCAN KEPALA

……… ……… ……… ……… ……… ……… ………

KESAN :

……… ………. ……….

Gambaran Head CT Scan : 1. Normal

2. Mild focal injury (dijumpai adanya kontusio kecil pada hanya satu area di otak).

3. Medium focal injury (dijumpai beberapa kontusio pada 1 atau 2 area yang berdekatan di otak atau dijumpai subdural hematoma epidural hematoma kecil).


(5)

4. Mild/moderate difuse (dijumpai beberapa kontusio kecil atau hematoma tapi tidak pada daerah yang berdekatan, tapi sebagian besar otak kelihatannya normal.

5. Massive focal injury (dijumpai epidural/subdural hematoma besar atau kontusio berat atau parenchymal hematomas).

6. Massive diffuse injury (dijumpai edema otak menyeluruh atau banyak kontusio dibeberapa area).


(6)

LAMPIRAN 3

GLASGOW OUTCOMES SCALE (GOS)

1. = Death

2. = Vegetative State

• Tidak dapat berinteraksi dengan lingkungan • Tidak ada respon

3. = Severe Disability

Dapat mengikuti perintah/tidak dapat hidup secara independent (perlu bantuan)

4 = Moderate Disability

Dapat hidup secara independent/tidak dapat kembali bekerja atau sekolah

5 = Good Recovery

Dapat kembali bekerja atau sekolah

Nilai GOS saat keluar rumah sakit =

Dikutip dari : Jones,RD.,Rizzo,M.2004.Head Trauma and Traumatic Brain Injury. In : Rizzo, M.,Eslinger,P.J.(eds).Principles and Practice of Behaviral Neurology and Neuropsychology. pp. 615-31. WB Saunders Company Philadelphia