BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perkembangan Syarat Menggadai Tanah Harta Pusaka Tinggi Dalam Masyarakat Adat Minangkabau Di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris di mana tanah diperuntukkan bagi

  kemakmuran hidup rakyatnya. Dalam hal ini sesuai Undang-Undang Dasar 1945

  pasal 33 ayat (3) yang berbunyi : “Bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menganut asas unifikasi yang artinya hukum agraria untuk seluruh wilayah tanah air, artinya hanya ada satu sistem yaitu yang ditentukan dalam pasal 5 UUPA,

  “hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan

  1 mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.

  Minangkabau merupakan salah satu wilayah di Indonesia di mana hubungan antara masyarakat dan tanah tidak bisa dipisahkan dari hukum adat. Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku yang berlaku bagi bumi putra dan timur asing yang mempunyai upaya memaksa, lagi pula tidak

  2

  dikodifikasikan. Jadi sistem hukum adat adalah sistem yang tidak tertulis, yang 1 2 A.P. Parlindungan , Konversi Hak – Hak Atas Tanah, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm. 1

  Abdul Manan, Hukum Islam Dalam Berbagai Wacana, (Jakarta : Pustaka Bangsa, 2003), hlm. 35

  1 tumbuh dan berkembang serta terpelihara sesuai dengan kesadaran hukum masyarakatnya, karena hukum adat sifatnya tidak tertulis maka hukum adat senantiasa dapat menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat dan yang berperan dalam melaksanakan hukum adat ini adalah pemuka adat itu sendiri sebagai pemimpin yang disegani dan berpengaruh

  3 dalam lingkungan masyarakatnya.

  Peradaban manusia sejak dahulu di dalam sejarah sudah menjelaskan bagaimana cara untuk mempertahankan kelangsungan keturunannya dengan mempersiapkan lahan pertanian atau harta benda yang bisa diwariskan bagi keturunan anak cucunya kelak agar bisa menikmati kehidupan yang lebih baik.

  Kebiasaan ini lambat laun menjadi ajaran-ajaran adat pada suku-suku tertentu. Kebiasaan adat lebih dititikberatkan kepada norma-norma adat atau kebiasaan leluhur yang kesemuanya merujuk kepada hak otoritas kepala suku apakah itu laki-laki

  4 ataupun perempuan, klan matriarki atau patriarki.

  Hukum adat Minangkabau tanah harta pusaka tinggi merupakan harta kekayaan yang harus dipertahankan karena wibawa kaum ditentukan dari luas tanah yang dimiliki kaum tersebut dan untuk menandakan bahwa ia orang Minangkabau

  5

  asli sesuai dengan pepatah adat yaitu : 3 Edison Piliang dan Nasrun Marajo Sungut, Budaya Dan Hukum Adat di Minangkabau,

  (Bukit Tinggi : Kristal Multimedia, 2010), hlm. 224 4 Patriarki diartikan sebagai sistim masyarakat yang menelusuri garis keturunan melalui pihak bapak (suami). Sebaliknya matriarki, kelompok masyarakat yang menelusuri garis keturunan melalui

pihak ibu (istri), Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta :

Paramadina, 2001), hlm. 128 5 Mochtar Naim, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau, (Padang : Sri Darma, 1968), hlm. 138

  “ Ado tapian tampek mandi, (ada tepian tempat mandi)

  Ado basasok bajarami , (ada sawah yang menghasilkan) Ado bapandam pakuburan

  , (ada tanah yang khusus digunakan untuk makam keluarga).” Tanah adalah suatu hak yang tidak lepas dari kehidupan manusia. Tanah adalah tempat untuk mencari nafkah, mendirikan rumah atau tempat kediaman, menjadi tempat dikuburnya orang pada waktu meninggal dan juga sumber penghidupan bagi keluarga. Artinya, tanah adalah hal yang sangat diperlukan manusia. Proses pemindahan kekuasaan atas harta pusaka ini dari mamak kemenakan dalam

  6

  istilah adat disebut juga dengan “ Pusako Basalin “ bagi harta pusaka tinggi berlaku ketentuan adat seperti pepatah berikut :

  Tajua indak dimakan bali Tasando indak dimakan gadai

  Artinya : Terjual tidak bisa dibeli Agunan yang tidak dapat digadai.

  Bagi masyarakat adat Minangkabau, tanah harta pusaka tinggi tidak boleh diperjualbelikan atau digadaikan. Perbuatan menggadai tanah harta pusaka tinggi diperbolehkan hanya untuk keperluan kepentingan kaum atau menjaga martabat 6 Pusako Basalin adalah pemindahan harta pusaka yang diturunkan dari satu generasi ke

  

generasi selanjutnya dan tidak boleh dibagi menjadi harta milik pribadi, Djaman Datoek Toeh, Tambo Alam Minangkabau, (Bukit Tinggi : Pustaka Indonesia, 1985), hlm. 16 kaum. Menggadai tanah harta pusaka tinggi harus dilakukan secara musyawarah antar anggota kaum dan harus mendapat persetujuan anggota kaum tersebut untuk menggadai. Adanya larangan ini pada hakikatnya adalah untuk menjaga agar jangan sampai harta pusaka tersebut berpindah keluar dari kekuasaan kaum dan menjadi milik orang lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kaum tersebut. Ada ketentuan adat tanah harta pusaka tinggi itu dapat digadaikan harus memenuhi salah

  7

  satu syarat berikut:

  1. Mayat tabujua di tangah rumah

  artinya tanah pusaka tinggi dapat digadaikan apabila untuk biaya pemakaman.

  2. Rumah gadang katirisan artinya apabila rumah kaum (rumah gadang) perlu diperbaiki (renovasi).

  3. Gadih gadang alun balaki

  artinya untuk mengawinkan perempuan yang telah cukup dewasa yang kalau tidak dikawinkan dapat membuat malu kaumnya atau kepala suku.

  4. Mambangkik batang tarandam

  artinya untuk menegakkan penghulu karena penghulu sebelumnya telah meninggal. Jika tidak ada karena sebab yang 4 (empat) perkara tersebut, tanah harta pusaka tinggi tersebut tidak boleh dijual atau digadaikan. Sebelum melakukan hal tersebut, supaya dicari terlebih dahulu jalan lain, jika sudah habis tenggang (waktu) dan tidak dapat juga, barulah dilakukan menggadai tanah harta pusaka tinggi tersebut.

  Sesungguhnya diizinkan menggadai dengan sebab yang empat tersebut, apabila hendak melakukan perbuatan itu tidak boleh dengan sengaja. Penghulu yang mengepalai kampung itu wajib menyuruh kaumnya berusaha mencari bermacam - macam jalan sebelum menggadai, namun bila usaha kaumnya tidak berhasil dan 7 A.A.Navis, Alam Terkembang Menjadi Guru Adat Dan Kebudayaan Minangkabau, (Jakarta:

  Grafitifers, 1984) , hlm. 101 harus melangsungkan atau membiayai salah satu dari 4 (empat) penyebab tersebut maka dengan persetujuan seluruh kaum barulah harta pusaka tinggi itu dapat

  8 digadaikan menurut adat nagari itu.

  Gadai ini dapat dilaksanakan dengan syarat semua anggota kaum harta pusaka tinggi tersebut sudah sepakat. Harta yang digadaikan dapat ditebus kembali dan tetap menjadi milik ahli warisnya. Gadai tidak tertebus dianggap hina. Disamping itu manggadai biasanya tidak jatuh pada suku lain melainkan kepada kaum “sabarek

  9 sapikua” (seberat sepikul) yang bertetangga masih dalam suku itu juga.

  Si penggadai memperoleh sejumlah emas, rupiah atau uang yang diukur dengan luas harta yang digadaikan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.

  Bila sawah yang menjadi jaminan atau sebagai sando (sandra), maka boleh ditebusi oleh si penggadai paling kurang sudah dua kali panen. Jika sudah dua kali turun kesawah tidak juga ditebusi, maka hasil tetap dipungut oleh orang yang memberi

  10 uang atau emas tadi.

  Selama itu pemegang gadai berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah tersebut. Pemegang gadai adalah orang yang menyerahkan sejumlah emas, rupiah atau uang kepada pemilik tanah yang memperoleh hak gadai atas tanah yang dimaksud, hak gadai itu berakhir dengan penebusan emas, rupiah atau uang yang menjadi tebusan itu sebanyak yang pernah 8 Ibrahim Dt.Sanggoeno Diradjo, Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang,

  (Bukit Tinggi : Kristal Multimedia, 2010), hlm. 239 9 10 Ibid, hlm. 7 Ibid diserahkan oleh pemegang gadai, dengan demikian maka jelaslah bahwa sungguhpun pemilik tanahnya sama-sama menerima sejumlah emas, rupiah atau uang dari pihak

  11 lain, hak gadai itu bukanlah hak jaminan atau hak tanggungan.

  Orang yang banyak harta yang berupa materiil dikatakan orang berada atau orang kaya, tetapi menurut pandangan adat di Minangkabau, orang berada atau banyak harta ditinjau dari banyaknya harta pusaka tinggi turun temurun yang dimilikinya. Dari status adat, orang atau kaum lebih terpandang jika memiliki banyak

  12 harta pusaka yang bukan karena dibeli.

  Yang dimaksud harato pusako tinggi ialah segala harta pusaka yang diwarisi

  13

  secara turun temurun sebagaimana dalam pepatah adat menyatakan sebagai berikut:

  Birik-birik tabang ka sawah

  (birik-birik terbang ke sawah)

  Dari sawah tabang ka halaman

  (dari sawah terbang kehalaman)

  Basuo di tanah bato

  (bertemu ditanah bata)

  Dari niniak turun ka mamak

  (dari ninik turun ke mamak)

  Dari mamak turun ka kamanakan (dari mamak turun kemenakan) Patah tumbuah hilang baganti

  (patah tumbuh hilang berganti)

  Pusako baitu juo (pusaka demikian juga)

  Tanah harta pusaka tinggi ini merupakan jaminan untuk kehidupan dan biaya anak kemenakan di Minangkabau, terutama untuk kehidupan masyarakat yang berlatar belakang kehidupan agraris di dusun dan nagari. 11 12 Dirman, Perundang-Undangan Agraria di Indonesia, (Jakarta : J.B.Wolters, 1958), hlm. 108

  Azmi Bagindo, Cimbuak – Forum Silaturahmi dan Komunikasi Masyarakat Minangkabau, Bukit Tinggi tanggal 1 April 2008 13 M.Nasroen, Dasar Falsafah Adat Minangkabau, (Bulan Bintang : Jakarta, 1971), hlm. 41 Tanah di Minangkabau merupakan suatu pengikat untuk berdirinya suatu organisasi (kaum) dan penggunaan tanah tersebut dapat dilakukan secara bersama

  14 sehingga akan menjamin kelangsungan hidup organisasi (kaum) tersebut.

  Selama ini penyebutan tentang harta di Minangkabau sering tertuju penafsirannya kepada harta yang berupa materiil saja seperti sawah, ladang, tabek (kolam ikan), rumah gadang, bukit, hutan yang diwariskan secara turun temurun kepada anak/kemanakan perempuan, balai (tempat berkumpul), mesjid atau langgar

  15 (surau), tanah pemakaman dinikmati pemakaiannya oleh seluruh anggota kaum.

  Di samping harta yang berupa materiil ini ada pula harta yang berupa immateriil yakni sako (gelar pusaka) merupakan kekayaan tanpa wujud memegang peranan yang sangat menentukan dalam kehidupan masyarakat di Minangkabau seperti pemberian gelar penghulu (datuak) diberi dengan menggunakan upacara adat yang menghabiskan biaya yang cukup banyak, peralatan atau perlengkapan penghulu (datuak) semua harta tersebut diwariskan secara turun temurun kepada anak laki-laki

  16 dari saudara perempuan.

  Pusako

  (pusaka) atau harta pusaka adalah segala kekayaan berwujud (materiil) yang diwariskan nantinya kepada anak kemanakan. Harta Pusaka adalah harta milik bersama (kolektif) yang tidak boleh dibagi menjadi hak perorangan oleh orang yang menerima pusaka, melainkan wajib selamanya menjadi hak bersama 14 Iskandar Kamal, Beberapa Aspek Dari Hukum Kewarisan Matrilineal ke Bilateral di

  Minangkabau, dalam Mukhtar Naim, (Padang : Center for Minangkabau studies, 1968), hlm. 12 15 16 Edison Piliang dan Nasrun Marajo Sunggut, Op Cit, hlm. 305 Ibid, hlm. 6

  dalam kaum yang menerima pusaka secara turun temurun, semua anggota kaum sama berhak atas pemakaian harta tersebut, dan diawasi dan dipelihara oleh Mamak Kepala

  17 Waris untuk kelangsungan hidup para kemenakan anggota kaum.

  Seseorang yang sedang memegang dan mengusahai harta pusaka tersebut adalah sebagai peminjam pakai dan ia tidak berhak mengalihkan dan melakukan perbuatan hukum lainnya atas harta pusaka tersebut dengan cara apapun juga, bila ia meninggal dunia maka dengan sendirinya harta tersebut kembali kepada kaumnya.

  Hasil keputusan rapat yang dilakukan oleh ninik mamak, cadiak pandai, alim ulama di Bukit Tinggi pada tahun 1952 dan dikuatkan dalam Seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan di Padang pada tahun 1968 menyimpulkan mengenai harta pusaka di Minangkabau dibedakan atas empat bahagian yaitu :

  1. Harta Pusaka Tinggi

  2. Harta Pusaka Rendah

  3. Harta Pencaharian

  4. Harta Suarang Harta pusaka tinggi adalah segala harta pusaka yang diwarisi secara turun temurun dari orang-orang tua terdahulu, yang tidak diketahui lagi siapa yang pertama-tama memperoleh atau mendapatkan harta yang diwarisi secara turun temurun dari beberapa generasi menurut garis keturunan ibu. Masyarakat adat Minangkabau menganut sistem matrilineal, mereka hidup dalam masyarakat yang kekerabatannya dihitung menurut garis ibu semata-mata dan pusaka serta waris 17 Ibid, hlm. 7 diturunkan menurut garis ibu pula sehingga seorang anak tidak menerima warisan dari ayahnya melainkan dari ibu, mamak atau bibinya.

  Harta pusaka tinggi diturunkan jauh lebih tinggi yaitu dari ninik (nenek perempuan) diwariskan ke uwo, dari uwo ke mande (ibu) dan dari mamak ke

  18 kemenakan.

  Harta pusaka rendah adalah harta hasil pencaharian suami istri dalam suatu perkawinan dan apabila perkawinan tersebut terhenti karena perceraian atau karena meninggal salah satu pihak maka harta yang didapat selama perkawinan dalam masyarakat adat di Minangkabau dibagi dua, apabila yang meninggal suami maka setengah menjadi hak kemanakan dalam kaumnya, apabila yang meninggal istri maka setengah menjadi hak ibu atau saudara perempuannya dan sisa setengah menjadi hak

  19 istri/suami dan anaknya.

  Harta pewarisan yang pada awalnya adalah merupakan harta pusaka rendah akan menjadi harta pusaka tinggi bila telah diwariskan berdasarkan sistem matrilineal dalam kaitannya dengan penambahan harta pusaka tinggi yang berfungsi sebagai pengikat diantara sesama kaum yang biasanya berbentuk rumah gadang dan tanah pusaka. Tanah ini merupakan suatu pengikat untuk berdirinya suatu organisasi (kaum) dan penggunaan tanah tersebut dapat dilakukan secara bersama sehingga akan

  20 menjamin kelangsungan hidup organisasi (kaum) tersebut.

  18 19 Edison Piliang dan Nasrun Marajo Sunggut, Op Cit, hlm. 264 hlm. 268 20 Ibid, Iskandar Kamal, Op Cit, hlm. 12

  Pada masa sekarang ini tanah harta pusaka tinggi yang merupakan milik kaum keadaannya tidak lagi sama seperti masa dahulu. Dalam beberapa hal tanah harta pusaka tinggi tersebut telah mengalami pengurangan yang disebabkan oleh makin bertambahnya jumlah anggota kaum sehingga dalam kaum tersebut didirikan lagi penghulu yang tercipta dua atau tiga mamak kepala kaum yang baru yang berakibat harus dibaginya tanah harta pusaka tinggi yang lama untuk mamak kepala kaum yang baru tersebut.

  Tanah harta pusaka tinggi sebagai alat pemersatu keluarga yang kepemilikan secara kolektif dapat dalam bentuk samande atau seibu, dalam bentuk (ganggam

  21

  22 bauntuak

  ) , sajurai , seperut (saparuik), sesuku, senagari masih tetap berfungsi dengan baik, sebagai simbol kebersamaan dan kebanggaan keluarga dalam sistem kekerabatan matrilinial di Minangkabau tetap bertahan.

  Dalam perkembangan di masyarakat Minangkabau, gadai dapat terjadi diluar empat syarat adat yang telah ditetapkan dan yang menjadi syarat mutlak untuk terlaksananya gadai adalah kata sepakat dengan ahli waris yang bersangkutan dengan

  23 pusaka tersebut.

  Istilah gadai tanah dikenal juga sebagai menjual gadai, manggadai,

  24 mamagang 21 atau pagang gadai. Berkaitan dengan pagang gadai ini, perlu juga

  Ganggam bauntuk adalah peruntukan tanah ulayat kaum oleh mamak kepala kepada anggota kaumnya secara hirarkis diperuntukkan perumahan dan usaha lain di mana mamak kepala warisnya menggali penggunaan tanah tersebut, Amir MS,Pewarisan Harato Pusako Tinggi Dan Pencaharian (Citra Harta Prima : Jakarta, 2011), hlm. 29 22 23 Sajurai adalah sama berasal dari satu perut seorang nenek (Uwo)

  Idrus Hamkimy Dt. Rajo Penghulu, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, (Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 129 24 adalah suatu transaksi di mana seseorang menyerahkan sebidang tanah Pegang gadai kepada orang lain dengan menerima sejumlah uang tertentu dengan ketentuan bahwa tanah tersebut disimak bunyi pasal 7-UU 56 Prp thn 1960 (Undang-Undang Pokok Agraria-UUPA) yang berbunyi : “Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih, wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen”.

  Bila dilihat isi dari UUPA yang dikutip di atas tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Minangkabau dalam hal pagang gadai.

  Oleh karena itu pagang gadai di Minangkabau masih tetap seperti semula dan masih berlangsung secara asas kekeluargaan. Bahkan gadai dalam adat dirasakan suatu upaya pertolongan darurat yang berfungsi sosial. Sebab harta pusaka tinggi itu dapat berfungsi membantu kesulitan hidup dalam kaum masing-masing yang sama - sama memiliki tanah harta pusaka tinggi.

  Orang dalam kampuang atau orang dalam suku berhak melarang atau membatalkan orang menggadaikan tanah harta pusaka tinggi kalau tidak menurut aturan adat yang berlaku di Minangkabau. Apabila perbuatan itu dilakukan juga, dengan tidak mau mengindahkan larangan adat, maka perbuatan kedua belah pihak itu, baik si penggadai maupun si yang menerima gadai dinyatakan salah dan batal hukumnya.

  Apabila pekerjaan yang salah itu disetujui oleh penghulu atau tokoh masyarakat, maka yang menyepakati pekerjaan itu dinyatakan salah juga menurut

  akan dikembalikan kepada yang menyerahkan (pemilik) tanah dengan mengembalikan jumlah uang yang diterima pemilik tanah, Amir MS, Op Cit, hlm. 149 aturan adat di Minangkabau, yaitu melanggar larangan adat tentang penjagaan tanah harta pusaka tinggi di dalam nagari.

  Pihak-pihak yang menyetujui hal tersebut dianggap sengaja mau menghilangkan atau melenyapkan harta pusaka tinggi orang yang menggadai tersebut. Sebab kalau tidak disetujuinya, niscaya tidak akan ada pihak lain melakukan gadai harta pusaka tinggi, meskipun sudah ada kesepakatan seluruh ahli warisnya.

  Apabila orang dalam kampuang atau orang dalam suku yang tahu tetapi tidak melarang perbuatan orang yang suka menggadaikan tanah harta pusaka tinggi maka akan mendatangkan kesusahan kepada orang sekampungnya atau kepada orang sesukunya sebab dengan banyak digadaikannya tanah harta pusaka tinggi tersebut ahli waris menjadi kekurangan tanah harta pusaka tinggi dalam sekaum dan memberi aib atau malu kepada orang sekampung atau sesukunya.

  Seandainya harta pusaka tinggi mereka sudah habis dijual atau digadaikan dengan jalan yang tidak sesuai dengan ketentuan aturan adat, orang sekaum atau sesuku itu ditakutkan akan menjadi orang jahat, menipu, atau menjadi pencuri, penyamun dan lain-lain yang memberi kesusahan serta malu kepada orang sekampung dan sesuku. Begitulah aturan orang-orang tua yang memiliki tanah harta pusaka tinggi itu dahulunya, supaya harta itu terpelihara tetap ada dan dinikmati hasilnya sampai kepada anak cucunya dan selanjutnya.

  Di masa sekarang aturan pemeliharaan tanah harta pusaka tinggi telah hampir hilang, sebab tidak dijaga lagi dengan sebaik-baiknya oleh penghulu dan pihak-pihak yang berkompeten di dalam sebuah nagari.

  Pada masa mamaknya atau di masa niniknya banyak memiliki tanah harta pusaka tinggi pada masa sekarang tanah harta pusaka tinggi tersebut sudah tinggal sedikit karena telah habis terjual atau digadaikan, dengan tidak menurut aturan yang berlaku oleh adat di Minangkabau. Begitu juga dengan orang-orang di dalam

  kampuang

  itu sendiri, mereka memudahkan tentang bagaimana tata cara menggadai tanah harta pusaka tinggi secara adat yang seharusnya berlaku.

  Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, perlu suatu penelitian lebih lanjut mengenai “Perkembangan Syarat Menggadai Tanah Harta Pusaka Tinggi Dalam Masyarakat Adat Minangkabau Di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak”

  B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

  1. Bagaimana pelaksanaan gadai tanah harta pusaka tinggi di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak?

  2. Faktor - faktor apa saja yang menyebabkan dilakukannya gadai atas tanah harta pusaka tinggi di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak?

  3. Bagaimana dampak dari adanya perkembangan syarat adat menggadai tanah harta pusaka tinggi di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak?

  C. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukan di atas, adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut :

  1. Untuk mengetahui pelaksanaan gadai tanah harta pusaka tinggi di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak.

  2. Untuk mengetahui factor-faktor yang menyebabkan dilakukannya gadai tanah harta pusaka tinggi di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak.

  3. Untuk mengetahui dampak dari adanya perkembangan syarat adat menggadai tanah harta pusaka tinggi di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak.

  Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keadaan tentang gadai tanah harta pusaka tinggi di Minangkabau. Dalam pelaksanaannya yang masih tumbuh dan berkembang di masyarakat tapi kurang diperhatikan oleh sistem hukum yang ada.

  Kajian penelitian ini diharap bermanfaat untuk pelaksanaan gadai di tengah- tengah masyarakat saat ini di mana apabila pelaksanaan gadai terus dilakukan maka perlu disusun aturan dengan tidak merubah aturan gadai pada dasarnya agar mengikat pihak yang bersangkutan untuk menghindari terjadinya sengketa dikemudian hari.

D. Manfaat Penelitian

  Kajian penelitian diharapkan bermanfaat terhadap pelaksanaan, faktor penyebab serta dampak terhadap perilaku gadai tanah yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Secara ilmiah agar menambah wawasan berfikir agar gadai tanah yang dilakukan jangan sampai mengandung unsur pemerasan karena hal itu bertentangan dengan Undang-Undang.

  Penelitian merupakan satu rangkaian yang hendak dicapai bersama sehingga dapat dimanfaatkan sebagai kerangka landasan dalam membuat kebijakan hukum dalam membentuk peraturan baru. Sebab secara ilmiah pun menurut Thomas Khun, setiap revolusi sains itu akan mengubah perspektif historis masyarakat yang

  25

  mengalaminya. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis dan praktis, yaitu :

  1. Manfaat Teoritis

  Penelitian ini diharapkan dapat memberi dan menghasilkan kemanfaatan dalam bidang pengetahuan dan menjadi bahan lebih lanjut untuk melahirkan peraturan pelaksanaan mengenai Perkembangan Syarat Menggadai Tanah Harta Pusaka Tinggi Dalam Masyarakat Adat Minangkabau di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak.

  2. Manfaat Praktis.

  Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memberikan masukan kepada para akademis, praktisi maupun bagi pihak terkait mengenai Perkembangan Syarat Menggadai Tanah Harta Pusaka Tinggi Dalam Masyarakat Adat Minangkabau di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak.

E. Keaslian Penelitian

  Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di Program Magister Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul tentang “Perkembangan Syarat Menggadai Tanah Harta Pusaka Tinggi Dalam Masyarakat Adat Minangkabau di Kabupaten 25 Thomas S.Khun, The Structure of Scientific Revolution, (California,Berkeley : 1962), hlm.

  

Xi diterjemahkan oleh penerbit PT Remaja Rosdakarya, Bandung, dengan judul Peran Paradigma

Dalam Revolusi sains.

  Agam Nagari Kamang Mudiak” akan tetapi kalaupun ada yang membahas mengenai gadai di mana objek kasus dan perumusan masalah tidaklah sama, penelitian yang membahas mengenai gadai yaitu :

  Refliza, NIM 117011073, mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara tahun 2011, berjudul “Kajian Hukum Atas Gadai Tanah Dalam Masyarakat Minangkabau di Kecamatan Sungayang Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 56/PRP/1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian” Dengan perumusan masalah sebagai berikut :

  a. Bagaimana keberadaan gadai tanah dalam masyarakat Minangkabau di Kecamatan Sungayang?

  b. Bagaimana pelaksanaan pasal 7 Undang-Undang No.56 Prp/1960 di Kecamatan Sungayang?

  c. Bagaimana penyelesaian sengketa gadai tanah yang telah berlangsung 7 tahun atau lebih di Kecamatan Sungayang? Oleh karena itu penelitian yang dilakukan ini jelas dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena senantiasa memperhatikan ketentuan- ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

  Sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian, maka diperlukan landasan teori sebagai upaya untuk mengidentifikasi teori-teori hukum, asas-asas hukum serta norma-norma hukum. Dalam menjawab permasalahan tersebut di atas dalam kerangka konseptual dibutuhkan pendekatan secara teoritik yaitu melalui pendekatan kepustakaan dengan menggunakan buku-buku khusus yang berkaitan dengan gadai tanah harta pusaka tinggi di Minangkabau.

  Kerangka teori sangat diperlukan dalam penulisan ilmiah ini menempati kedudukan yang penting karena memberikan sarana kepada kita untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang dibicarakan secara lebih baik.

  Teori merupakan bagian yang sangat penting dari penelitian ini. Dengan demikian, tentunya akan memudahkan dalam menyusun arah dan tujuannya. Teori bertujuan menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang

  26

  dapat menunjukkan ketidaksesuaian atau ketidakbenarannya. Teori mampu meningkatkan keberhasilan penelitian karena teori mampu menghubungkan setiap penemuan-penemuan yang nampaknya berbeda ke dalam suatu keseluruhan dan memperjelas proses-proses yang terjadi di dalamnya.

  Teori dapat memberikan penjelasan terhadap hubungan-hubungan yang diamati dalam suatu penelitian. Menurut M. Solly Lubis, bahwa : “teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetap merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang 26 J.J.J. M, Wuisman, Penyunting M.Hisyam, Asas-Asas Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial,

  (Jakarta: FE UI,1996), hlm.203 dijelaskan. Suatu penjelasan walau bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung

  27

  oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.” Teori hukum boleh disebut sebagai kelanjutan dari usaha mempelajari hukum positif. Pada saat orang mempelajari hukum positif, maka ia sepanjang waktu dihadapkan pada peraturan-peraturan hukum dengan segala cabang kegiatan dan permasalahannya. Menurut Radbruch, tugas teori hukum adalah “membikin jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang

  28

  tertinggi.” Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir, pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan pegangan teoristis, yang mungkin ia setujui ataupun tidak disetujuinya. Sedangkan tujuan dari kerangka teori menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan dan menginterprestasikan hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-

  29 hasil penelitian yang terdahulu.

  Bagi suatu penelitian, teori dan kerangka teori mempunyai kegunaan.

  30 Kegunaan tersebut paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut:

  a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya; b. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur, konsep-konsep serta mengembangkan defenisi-defenisi; c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah 27 diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti; 28 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Bandung : CV.Mandar Maju, 1994), hlm. 27 29 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 260 30 Ashshofa Burhan, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), hlm. 19 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta ; UI Press, 1986), hlm. 121 d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor- faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.

  Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa ”dalam setiap proses perubahan senantiasa akan dijumpai faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan, baik yang berasal dari dalam masyarakat maupun dari luar masyarakat akan tetapi yang lebih penting adalah identifikasi terhadap faktor yang mendorong perubahan atau yang

  31

  menghalanginya.” Teori menjabarkan arah serta jalan pikiran yang sesuai dengan bentuk kerangka yang relevan serta yang dapat menerangkan masalah-masalah tersebut.

  Adapun kerangka teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Roscoe Pound menyatakan bahwa kontrol sosial diperlukan untuk mengendalikan perilaku antisosial yang bertentangan dengan kaidah-kaidah ketertiban sosial. Hukum saja tidak cukup, ia membutuhkan dukungan dari institusi keluarga, pendidikan, moral, dan agama. Hukum adalah sistem ajaran dengan unsur ideal dan empiris, yang menggabungkan teori hukum kodrat dan positivistik.

  Hukum kodrati dari setiap masa pada dasarnya berupa sebuah hukum kodrati yang “positif”, versi ideal dari hukum positif pada masa dan tempat tertentu, “naturalisasi” untuk kepentingan kontrol sosial manakala kekuatan yang ditetapkan oleh masyarakat yang terorganisasi tidak lagi dianggap sebagai alat pembenar yang memadai. 31 Soerjono Soekanto, et all, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, (Jakarta : Bina Aksara,

  1993), hlm. 17

  Fungsi lain dari hukum adalah sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial (social engineering). Keadilan bukanlah hubungan sosial yang ideal atau beberapa bentuk kebajikan. Ia merupakan suatu hal dari “penyesuaian-penyesuaian hubungan tadi dan penataan perilaku sehingga tercipta kebaikan, alat yang memuaskan keinginan manusia untuk memiliki dan mengerjakan sesuatu, melampaui berbagai kemungkinan terjadinya ketegangan, inti teorinya terletak pada konsep “kepentingan” juga berusaha menghormati berbagai kepentingan sesuai dengan batas- batas yang diakui dan ditetapkan.

  Kebutuhan akan adanya kontrol sosial bersumber dari fakta mengenai kelangkaan yang mendorong kebutuhan untuk menciptakan sebuah sistem hukum yang mampu mengklasifikasikan berbagai kepentingan serta menyahihkan sebagian dari kepentingan-kepentingan itu. Ia menyatakan bahwa hukum tidak melahirkan kepentingan, melainkan menemukannya dan menjamin keamanannya. Adanya tumpang tindih dari berbagai kelompok kepentingan, yaitu antara kepentingan individual atau personal dengan kepentingan public atau sosial. Semua itu diamankan melalui dan ditetapkan dengan status “hak hukum”.

  Hukum yang menitik beratkan hukum pada kedisiplinan dengan teorinya yaitu: “Law as a tool of social engineering” (Bahwa Hukum adalah alat untuk

  32 memperbaharui atau merekayasa masyarakat). 32 Sebagai teori pendamping yaitu : http://anaaimestarlight.blogspot.com/2012/05/teori-hukum-roscoe-pound-1870-1964.html a. Teori Eugen Ehrlich bahwa hukum positive berbeda dengan hukum yang hidup atau (living law), hukum positive hanya akan efektif jika ia selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat atau pola-pola kebudayaan (culture patterns), pusat perkembangan hukum bukan terletak pada badan- badan legeslatif, keputusan-keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum tapi justru terletak pada kehidupan masyarakat itu sendiri (Soemitro : 1984)

  b. Teori Keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls yang hidup pada awal

  33

  abad 21 lebih menekankan pada keadilan sosial. John Rawls melihat kepentingan utama dari teori keadilan adalah sebagai jaminan stabilitas hidup manusia dan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan bersama. John Rawls mempercayai struktur masyarakat yang adil adalah stuktur masyarakat asli di mana hak dasar, kebebasan, kekuasaan, kewibawaan, kesempatan, pendapatan dan kesejahteraan terpenuhi. John Rawls berpendapat bahwa yang menyebabkan ketidakadilan adalah situasi sosial sehingga perlu diperiksa kembali mana prinsip keadilan yang akan digunakan untuk membentuk situasi masyarakat yang baik, teratur, tertib sehingga tercipta hidup yang harmonis.

  Ketidakadilan adalah situasi sosial sehingga perlu diperiksa kembali mana prinsip - prinsip keadilan yang dapat digunakan untuk membentuk situasi masyarakat yang baik. Koreksi atas ketidakadilan dilakukan dengan cara mengembalikan (call for 33 Hari Chand, Modern Jurisprudence, ( Kuala Lumpur : International Law Book Review,

  1994), hlm. 278

  redress

  ) masyarakat pada posisi asli (people on original position). Dalam posisi dasar inilah kemudian dibuat persetujuan asli (original agreement) antara anggota

  34 masyarakat secara sederajat.

  Menurut masyarakat di Minangkabau dalam menggadai tanah harta pusaka tinggi harus memenuhi syarat adat yang sudah berlaku. Gadai tanah harta pusaka tinggi selama ini tidak memiliki batasan atau tidak terikat dalam jangka waktu tertentu.

2. Konsepsi

  Konsep termasuk bagian dari sebuah teori. Konsep dapat diartikan pula perencanaan yang dapat membuat kerelevanan hubungan terhadap realitas. Tujuan dari konsepsi sendiri agar terhindar dari kesalahpahaman ataupun kesalahpengertian penafsiran terhadap setiap istilah yang digunakan terutama dalam judul penelitian, bukanlah untuk keperluan mengkomunikasikannya semata-mata dengan pihak lain. Sehingga tidak menimbulkan salah tafsir, tetapi juga demi menuntun agar di dalam

  35

  menangani proses penelitian yang dimaksud Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan antara teori dan observasi, antara abstraksi dengan realitas. Jadi di dalam penelitian ini diartikan beberapa pemahaman konsep dasar atau istilah agar di dalam pelaksanaanya diperoleh hasil penelitian yang sesuai, bermanfaat dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu: 34 35 Ibid

  Faisal Sanapiah, Format-Format Penelitian Sosial, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), hlm.107-108 a. Hukum adat Minangkabau adalah hukum adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Minangkabau di Nagari Kamang Mudiak Kecamatan Kamang Magek Kabupaten Agam. Proses perubahan sosial di Minangkabau pada umumnya terjadi akibat penemuan-penemuan ilmu pengetahuan yang merubah pola hidup yang dulunya bersifat agraris kearah perdagangan membawa pengaruh pada keluarga dan masyarakat. Pertambahan penduduk menyebabkan daya dukung tanah sebagai sumber ekonomi tidak lagi mencukupi kebutuhan masyarakatnya.

  b. Harta Pusaka Tinggi adalah segala harta pusaka yang diwariskan secara turun temurun dari orang terdahulu dari beberapa generasi menurut garis keturunan ibu menjadi kepunyaan kaum secara bersama-sama (kolektif) semua anggota kaum sama berhak atas harta pusaka tersebut.

  c. Gadai dalam hukum adat Minangkabau adalah pemindahan hak garapan atas sebidang tanah sementara dari pemilik kepada orang lain dengan menerima sejumlah uang, emas atau rupiah yang disepakati antara pemilik tanah dengan pemegang gadai.

  d. Objek barang gadai adalah barang tidak bergerak seperti sawah, ladang, gurun, bukit, kolam ikan.

  Berbeda dengan hukum yang berlaku di Indonesia pasal 1150 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang berpiutang ialah barang bergerak misalnya mobil, sepeda motor, televisi dan sebagainya kalau terhadap barang tetap atau barang tidak bergerak pemindahan hak sementara menurut pasal 1162 KUHPerdata disebut Hak Tanggungan.

  e. Gadai yang sah adalah gadai yang telah disetujui oleh segenap ahli waris, satu orang saja tidak menyetujui gadai menjadi batal demi hukum.

  f. Penerima Gadai adalah orang yang sanggup memberi sejumlah uang, emas atau rupiah sesuai kesepakatan dan penerima gadai punya hak pertama untuk menggarap tanah gadaian kecuali jika dia mau menyerahkan garapan kepada orang lain. Penerima gadai tidak boleh menggadaikan lagi tanah yang dipegangnya pada orang lain tanpa seizin pemilik tanah. Sekarang karena ada pengaruh hukum Barat pemegang gadai boleh menggadaikan lagi (herverpanding) pada pihak lain.

  36 G. Metode Penelitian

  Dalam penelitian ini metode merupakan unsur paling utama dan didasarkan pada fakta dan pemikiran yang logis sehingga apa yang diuraikan merupakan suatu kebenaran. Metodelogi penelitian adalah ilmu tentang metode-metode yang akan digunakan dalam melakukan suatu penelitian. Penelitian hukum pada dasarnya dibagi dalam 2 (dua) jenis penelitian yaitu penelitian empiris dan penelitian normatif. yang dimaksud dengan penelitian empiris adalah penelitian secara langsung di masyarakat melalui wawancara langsung sedangkan yang dimaksud dengan penelitian normatif merupakan penelitian dengan menggunakan data sekunder sehingga disebut pula penelitian kepustakaan. 36 Djaman Datoek Toeh, Op Cit, hlm. 117

  Penelitian ini merupakan penelitian Yuridis Sosiologis di mana merupakan suatu proses atau gejala yang terjadi dan berkembang pada masyarakat yang tidak sesuai dengan hukum adat yang berlaku, penelitian ini diharapkan berguna menyelesaikan permasalahan yang ada. Oleh sebab itu langkah-langkah tersebut harus sesuai dan saling mendukung antara peraturan hukum yang ada dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat sehingga tercapai suatu data yang akurat dan nyata yang kemudian data ini diolah untuk mendapatkan suatu hasil penelitian yang baik dan benar serta memberikan kesimpulan yang tidak meragukan. Maka dalam penulisan membutuhkan data yang akurat baik data primer maupun data sekunder. Adapun data tersebut diperoleh dengan melakukan pendekatan sebagai berikut :

1. Jenis Dan Sifat Penelitian

  Jenis penelitian yang dipergunakan adalah Yuridis Empiris/Sosiologis, yaitu mengemukakan apa yang ada berdasarkan fakta empirik dengan mengemukakan

  37

  pernyataan mengenai hal apa yang terjadi. Dengan menceritakan kejadian serta aturan-aturan yang sudah berlaku yang memiliki akibat dikemudian hari dan perbandingan yang terjadi pada saat ini.

  Yuridis Empiris/Sosiologis ini bertujuan untuk memahami bahwa hukum itu tidak semata-mata sebagai satu perangkat aturan perundang-undangan yang bersifat normatif belaka, akan tetapi hukum dipahami sebagai perilaku masyarakat dengan

37 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Surabaya : Kencana Prenada Media, 2005),

  hlm. 27 gejala-gejala dan membentuk pola dalam kehidupan masyarakat yang selalu berinteraksi dengan aspek ekonomi, sosial dan budaya.

2. Metode Pendekatan

  Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Deskriptif Analitis yaitu penelitian yang berusaha menghubungkan antara norma atau aturan yang berlaku dengan kenyataan yang ada di masyarakat. Penelitian berusaha menemukan proses

  38 bekerjanya hukum.

  Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji mengatakan penelitian dalam pelaksanaannya diperlukan dan ditentukan alat-alatnya, jangka waktu, cara-cara yang dapat ditempuh apabila mendapat kesulitan dalam proses penelitian. Penelitian dilakukan secara metodoligis, sistematis dan konsisten. Metodologis yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu

  39 kerangka tertentu.

  Atas permasalahan yang dikemukakan metode pendekatan Deskriptif Analisis, karena penelitian ini memberikan gambaran tentang suatu keadaan atau gejala yang diteliti yang menekankan pada fakta sebagaimana aturan yang berlaku dengan keadaan yang sebenarnya, selanjutnya data dan fakta diolah yang mendapatkan suatu penafsiran. Dan diharapkan akan memperoleh suatu gambaran

  38 39 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI-Press, 1984), hlm. 52 Soerjono Soekanto dan Sri, Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Radja Grafindo Persada, 2001), hlm. 42 yang bersifat menyeluruh dan sistematis, kemudian dilakukan suatu analisis terhadap data yang diperoleh dan pada akhirnya didapat pemecahan masalah.

  3. Lokasi Penelitian

  Pemilihan lokasi penelitian di nagari Kamang Mudiak Kabupaten Agam sebagai lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan masih ada pelaksanaan gadai terhadap tanah harta pusaka tinggi sampai saat ini di luar 4 (empat) syarat yang diperbolehkan menurut adat di Minangkabau. Nagari Kamang Mudiak yang terdiri dari 8 (delapan) jorong sebagai sampel dalam penelitian.

  4. Populasi dan Sampel Penelitian

  Populasi adalah warga masyarakat di 8 jorong di nagari Kamang Mudiak, Kabupaten Agam yang pernah melaksanakan gadai tanah harta pusaka tinggi.

  Sampel penelitian diambil 2 (dua) orang yang pernah melaksanakan gadai di setiap nagari yang diambil dari 8 jorong. Penentuan pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara kelayakan (purposive sampling) dan diperkirakan dapat menjawab permasalahan yang akan diteliti karena di 8 jorong tersebut di mana penduduknya adalah masyarakat yang homogen dari segi budaya, agama, bahasa belum banyak percampuran dari luar, sehingga diharapkan penelitian ini mendapat hasil yang lebih akurat.

  5. Teknik Pengumpulan Data

  Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data primer dan data sekunder adalah sebagai berikut : a. Penelitian lapangan yaitu data yang diperoleh secara langsung dari lapangan yang dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan langsung kepada responden.

  b. Penelitian kepustakaan agar dapat membandingkan teori dan kenyataan yang terjadi di lapangan. Melalui studi kepustakaan ini diusahakan pengumpulan data melalui mempelajari buku-buku, artikel-artikel, majalah, surat kabar, internet serta referensi lain yang berkaitan dan berhubungan dengan penelitian ini, bertujuan mendapat data sekunder.

  6. Alat Pengumpulan Data

  Teknik yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini, adalah dengan : a. studi dokumen

  b. wawancara : 1) terhadap 16 orang responden 2) terhadap nara sumber :

  a) Kepala Suku

  b) Wali Jorong

  c) Wali Nagari

  d) Kerapatan Adat Nagari (KAN)

  7. Analisis Data

  Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data merupakan penelaahan dan penguraian data, sehingga data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah dalam penelitian. Data sekunder yang diperoleh kemudian disusun secara urut dan sistematis, untuk selanjutnya dianalisis menggunakan metode kualitatif yang dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan, yakni cara berfikir yang dimulai dari hal yang bersifat khusus untuk selanjutnya menarik hal-hal yang umum sebagai kesimpulan dan disajikan.