BAB II PELAKSANAAN GADAI TANAH HARTA PUSAKA TINGGI DI NAGARI KAMANG MUDIAK A. Gambaran Singkat Nagari Kamang Mudiak - Perkembangan Syarat Menggadai Tanah Harta Pusaka Tinggi Dalam Masyarakat Adat Minangkabau Di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak

  

BAB II

PELAKSANAAN GADAI TANAH HARTA PUSAKA TINGGI

DI NAGARI KAMANG MUDIAK

A. Gambaran Singkat Nagari Kamang Mudiak Kecamatan Kamang Magek terletak di sebelah Timur dari pusat Pemerintahan Labuak Basuang, Kabupaten Agam. Dengan jarak tempuh ke nagari Kamang Mudiak

  yaitu dari :

  1. Ibukota Propinsi Sumatera Barat yaitu Padang berjarak 112 km ( 4 jam )

  2. Kabupaten Agam berjarak 70 km ( 3 jam )

  3. Kecamatan Kamang Magek 4 km ( ½ jam ) Dengan batas-batas wilayah yaitu : 1. Sebelah Utara berbatas dengan kanagarian Pasir Laweh.

  2. Sebelah Selatan berbatas dengan Kanagarian Kota Tangah dan Kanagarian Magek.

  3. Sebelah Timur dengan Kanagaraian Kamang Hilir.

  4. Sebelah Barat dengan Palupuah (Kotarantang).

  Kecamatan Kamang Magek terdiri dari nagari Kamang Hillia dan Kamang Mudiak dengan luas daerah mencapai 7.766 Ha, yaitu Kamang Hilia 1.502 Ha dan Kamang Mudiak 6.264 Ha. Masing-masing mempunyai hutan nagari (rakyat), hutan

  40 negara (hutan lindung) sawah ladang, serta bukit.

40 Profil Nagari Kamang Mudiak Tahun 2012

  30 Dalam Peta Yang Terdapat Di Bawah Ini Dapat Dilihat Letak Dan Batas Wilayah Pada Peta Agam.

  Nagari

  adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas wilayah tertentu berdasarkan filosofi adat Minangkabau (adat basandi syara’, syara’

  basandi kitabullah ) dan atau berdasarkan asal usul dan adat salingka nagari.

  Pemerintah Nagari adalah Walinagari dan Perangkat Nagari sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Nagari. Walinagari adalah Pimpinan Pemerintah Nagari

  41 41 yang dipilih langsung oleh rakyat.

  Peraturan Daerah Kabupaten Agam Nomor 12 tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari

  Jorong

  adalah bagian dari wilayah nagari. Pemerintahan nagari adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Nagari dan Badan Permusyawaratan Nagari dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistim Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  Pemerintah Nagari adalah Walinagari dan Perangkat Nagari sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Nagari. Walinagari adalah Pimpinan Pemerintah Nagari

  42 yang dipilih langsung oleh rakyat.

  Jorong

  dipimpin oleh Walijorong, di nagari Kamang Mudiak terdapat 8 (delapan) jorong dengan jumlah Kepala Keluarga 2.758 KK dan jumlah penduduk 10.725 jiwa dengan kepadatan penduduk 311 per kilometer.

  Tabel 1: Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin No Umur Laki Perempuan Jumlah (orang) 1 0 – 25 Tahun 2.803 2.879 5.682

  2 26 – 59 Tahun 1.708 1.856 3.564 3 60 – Keatas 729 740 1.469

  Jumlah 5.240 5.475 10.715

  Sumber : data primer yang diolah 29 April 2014

42 Peraturan Daerah Kabupaten Agam Nomor 12 tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari

  Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang masih produktif dilihat dari umur masih banyak. Banyaknya jumlah penduduk yang masih produktif memberi tantangan bagi keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

  Tabel 2 : Tingkat Pendidikan No. Pendidikan Jumlah (orang)

  1 Tidak tamat SD 2.180

  2 Tamat SD 2.118

  3 Tamat SLTP 1.871

  4 Tamat SLTA 1.712

  5 Tamat Akademi (D1-D3) 106

  6 Sarjana : S1 S2 S3

  151

  66

  26 Jumlah 8.230 Sumber : data primer yang diolah 29 April 2014

  Dari tabel tersebut di atas memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat nagari Kamang Mudiak masih banyak hanya menyelesaikan sampai tingkat SLTA bagi kaum wanita tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi karena mereka akan menikah dan harus mengurus rumah tangga.

  Tabel 3: Status Pekerjaaan No. Status Jumlah (orang)

  1 Bersawah 3.734

  2 Berladang 105

  3 Beternak 300

  4 Kolam 350

  5 Buruh Galian C 1.350

  6 Industri Rumah Tangga 543

  7 Buruh 356

  8 Pegawai Negeri Sipil (PNS) 793

  9 Perbankan

  4

  10 Dagang

  97

  11 Jasa 320

  12 Keterampilan 775

  

Jumlah 2.888

  Sumber : data primer yang diolah 29 April 2014 Dari tabel tersebut memperlihatkan bahwa status pekerjaan masyarakat adalah bersawah. Mereka hanya mengharapkan penghasilan dari hasil sawah tersebut di mana sawah yang mereka kerjakan kebanyakan sawah tadah hujan yang hanya mengharap datangnya air hujan untuk pengairannya. Bila hujan tidak ada maka mereka tidak bisa mengerjakan sawah tersebut. Maka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya masyarakat menjadi buruh galian c yaitu memecah batu - batu bukit yang dijual kepada pabrik terdekat.

  Tabel 4: Jumlah Pemilikan Tanah No. Luas sawah yang dikerjakan Jumlah (orang)

  1 Kurang dari 0,1 Ha 312 2 0,1 - 0,5 Ha 544 3 0,6 - 1,0 Ha 664 4 1,1 - 1,5 Ha

  70 Jumlah 1.590 Sumber : data primer yang diolah 29 April 2014

  Dari tabel di atas luas sawah yang dikerjakan dengan kondisi alam yang berbukit di mana pengairan sawah tersebut hanya mengharap dari air hujan tidaklah mampu memenuhi kebutuhan pemilik sawah tersebut. Sehingga untuk mengusahai sawahnya mereka harus membuat irigasi dengan biaya yang besar.

  Kemudian menurut penjelasan yang disampaikan Walinagari Kamang Mudiak Kamang Mudiak terdiri dari 8 jorong seperti yang dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :

  Tabel 5 : Jorong Nagari Kamang Mudiak dan Luas Wilayah Nomor Nama Jorong Luas (Ha)

  1 Pauh 1.509

  2 Durian 903

  3 Aia Tabik 516

  4 Pakan Sinayan 1.028

  5 Bansa 347

  6 Babukik 715

  7 Halalang 807

  8 Padang Kunyik 439

  Jumlah Luas 6.264

  Sumber : data primer yang diolah 29 April 2014

  Nagari

  6

  Nagari

  7 Jumlah Luas 6.264 Sumber : data primer yang diolah 29 April 2014

  9 Tempat Rekreasi

  3

  8 Tempat Gembala Ternak

  2

  7 Tanah Tandus

  6 Kolam, Tambak

  Kamang Mudiak terletak di kaki gunung Merapi dan Singgalang, alamnya berbukit yang membujur dari Barat ke Timur sangat menguntungkan sebagai kekayaan alam yang tak terhingga. Dari bukit (hutan nagari/rakyat) inilah masyarakat mencari bahan-bahan untuk panganan, membuat rumah dan juga sebagai sumber penghidupan di mana penggunaan tanahnya dapat dilihat pada tabel di bawah :

  774 2.480

  5 Hutan : Negara Rakyat

  4 Pertanian 146

  3 Perkebunan 454

  265 1.751

  2 Sawah : Irigasi Tadah Hujan

  1 Pemukiman dan pekarangan 376

  Tabel 6 : Jenis Penggunaan Tanah dan Luas Wilayah Nomor Nama Jorong Luas (Ha)

  Kamang Mudiak tidak terlepas dari bahasan Minangkabau secara umum karena Kamang Mudiak berada di Luhak Agam (Kabupaten Agam) dan Luhak Agam tersebut salah satu dari Luhak Tigo yang berada dalam alam Minangkabau. Luhak digolongkan kepada daerah yang terletak di pedalaman Minangkabau, Luhak Tigo terdiri dari Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, Luhak Limo yang dipercayai sebagai inti alam Minangkabau. Oleh pemerintah Indonesia Luhak tersebut disebut

  43 dengan Kabupaten.

  Menurut J. Dt .Rajo Panghulu hukum adat di Minangkabau terdapat dua hukum (lareh) yaitu hukum adat Budi Chaniago yang disebut lareh nan bunta dan hukum adat Koto Piliang yang disebut lareh nan panjang. Lareh bermakna hukum yaitu tata cara adat yang dipakai secara turun temurun sesuai pepatah adat “dipaturun

  panaikkan”

  untuk menata anak kemanakan. Antara kedua bentuk lareh, terdapat perbedaan dalam bentuk pemerintahan yaitu Budi Chaniago berbentuk demokrasi dan

  44 Koto Piliang berbentuk pemerintahan otokrasi.

  Nagari

  Kamang Mudiak dalam kedudukan adat berada di bawah lareh Budi Chaniago yang bercorak demokrasi dalam adat disebutkan dengan duduk samo randah, tagak samo tinggi.

  Suku dimulai dari keluarga kecil yaitu paruik adalah sebagai satu kesatuan yang terdiri dari beberapa anggota yang dihitung menurut garis ibu (matrilineal) dikepalai oleh kapalo paruik atau tungganai. Bagian terkecil dari paruik adalah

  pariuak

  yang terdiri dari bapak, ibu, anak – anak yang berada dalam satu rumah atau disebut keluarga inti.

  Paruik

  yang ada melahirkan jurai adalah tempat bernaungnya anak kemanakan dalam satu keturunan yang terdiri dari beberapa keluarga nan saparuik.

  43 44 Gusti Asnan, Kamus Sejarah Minangkabau, (PPIM), hlm. 162 Marwan Kari Mangkuto, Adat Salingka Nagari Kanagarian Kamang Mudiak, (Jakarta : Pemerintahan Kanagarian Kamang Mudiak Ikatan Keluarga Kamang Mudiak, 2004), hlm. 17 Gabungan dari nan sajurai disebut sapayuang adalah gabungnan anggota nan sajurai dalam satu kesatuan mereka badunsanak baik secara geneologis maupun teritorial.

  45 Dengan demikian susunan organisasi masyarakat Minangkabau secara hirarki:

  1. pariuak/tungku di pimpin oleh bapak 2. paruik di pimpin oleh mamak 3. jurai dipimpin oleh tungganai 4. kaum dipimpin datuak/mamak kepala waris

  Suku mempunyai seorang pemimpin dengan kekayaan yang tidak dapat dibagi untuk pribadi – pribadi melainkan hak milik kaum dalam suku.

  Adat Minangkabau telah memberikan keutamaan, kemuliaan dan kehormatan terhadap wanita yang disebut bundokanduang (wanita) yaitu untuk menjaga dari segala kemungkinan yang akan menjatuhkan kehormatannya. Untuk itu

  bundokanduang

  memiliki tiga pilar utama yang diberikan oleh adat yaitu : 1. suku dari golongan wanita/ibu 2. rumah gadang diperuntukkan kepada wanita 3. tanah pusaka pewarisan menurut garis wanita/ibu

  Nagari Kamang Mudiak dikenal dengan Nagari Tujuah Toboh, penamaan

  tujuah toboh

  ini berdasarkan kepada dua pengertian sesuai tabel :

45 Marwan Kari Mangkuto, Ibid, hlm. 18

  Tabel 7 : Berdasarkan Jumlah Suku/Genologis No Suku Induk Anak Suku

  1 Tigo Ibu

  a. Budi

  b. Caniago

  c. Sipanjang

  2 Ampek Ibu

  a. Pisang

  b. Payobada

  c. Tanjuang

  d. Simabua

  3 Limo Inyiak

  a. Jambak Bakulah

  b. Jambak Bulian/Jambak Iliran

  c. Jambak Katia Anyia

  d. Jambak Nyiua

  e. Jambak Pantang Bantiang/Jambak Kumbang

  4 Koto Sambilan

  a. Koto Rumah Gadang

  b. Koto Rumah Tinggi

  c. Koto Rumah Panjang

  d. Koto Biaro

  e. Koto Salo

  f. Koto Kepoh

  g. Koto Sigiran/Koto Bawah Surian

  h. Koto Sakek/Koto Baru i. Koto Aua/Koto Anau

  5 Sikumbang tigo Induak

  a. Sikumbang Gadang

  b. Sikumbang Tali Kincir

  c. Sikumbang Kaciak

  6 Piliang duo Induak

  a. Piliang Sani

  b. Piliang Laweh

  7 Melayu nan saibu Urang nan sainduak suku melayu

  Sumber : Wawancara dengan Wali Nagari Kamang Mudiak pada 29 April 2014

  Tabel 8 : Berdasarkan Teritorial Wilayah No Teritorial

  1 Ampek Suku Babukik

  2 Tujuh Suku Halalang

  3 Ampek Suku Padang Kunyik

  4 Anam Suku Bansa-Pakan Sinayan

  5 Anam Suku Durian

  6 Anam Suku Aia Tabik

  7 Tujuah Suku Pauah

  Sumber : Wawancara dengan Wali Nagari Kamang Mudiak pada 29 April 2014 Nagari

  Kamang Mudiak terdiri dari beberapa suku. Suku adalah suatu organisasi di dalam masyarakat matrilineal (berdasarkan garis keturunan ibu) di mana seseorang dikatakan sebagai warga adat Minangkabau apabila mempunyai suku. Suku amat besar faedahnya bagi masyarakat dalam hidup berkeluarga, bakorong

  bakampuang, banagari jo baluhak

  karena suku dapat diketahui asal usul dari warga suku tersebut.

  Masyarakat nagari Kamang Mudiak adalah orang Minang yang telah mendiami nagari ini secara turun temurun, masyarakatnya berada dalam suku/kaum, setiap suku/kaum mempunyai pemimpin yang dalam adat disebut panghulu

  46 (datuak).

  Panghulu

  sebagai pimpinan kaum dalam suku yang dipilih dan diturunkan menurut hak kewarisannya menurut sistem matrilinal yaitu laki-laki dari generasi 46 Wawancara dengan kepala suku pada 2 Mei 2014 yang sesuku, sebab yang akan mengisi adat adalah laki-laki, yang telah diresmikan dengan menyembelih seekor kerbau ”tanduak ditanam, dagiang dilapah, darah

  dikacau” yang duduk samo rendah tagak samo tinggi dengan panghulu lainnya.

  47 Wanita di Minangkabau sebagai lambang kebanggaan dan kemuliaan menjadi

  perantara keturunan, dibesarkan dan dihormati serta diutamakan dan dipelihara martabatnya. Artinya adalah wanita di Minangkabau mempunyai tempat yang menentukan, sebab dari segi kekerabatan yang berlaku adalah kekerabatan matrilinial, untuk itu rumah gadang diperuntukan kepada wanita, begitu juga pusako yang diterima.

48 Pusako sebagai harta mempunyai empat fungsi utama dalam masyarakat adat

  di Minangkabau yaitu sebagai berikut :

  49

  1. untuk menghargai jerih payah nenek moyang yang telah mencancang,

  melateh, merambah jo meneruko

  (mencencang, membuat terasan, merambah dan meneruka) mulai dari ninik zaman dahulu sampai kemande kita sekarang; 2. lambang ikatan kaum yang bertali darah supaya terus terbina hubungan

  “sekaum setali darah”, sehingga pusaka ini menjadi harta sumpah satie (setia), barang siapa melanggar akan merana dan sengsara seumur hidup termakan sumpah nenek moyang dahulu;

  47 Marwan Kari Mangkuto, Op Cit, hlm. 64 48 Ibid, hlm. 63 49 Edison Piliang dan Nasrun Marajo Sungut, Op Cit, hlm. 272 s.d 273

  3. sebagai jaminan kehidupan kaum sejak dahulu hingga sekarang, terutama daerah-daerah di dusun -dusun dan perkampungan dalam yang masih terikat erat dengan tanah (kehidupan agraris);

  4. sebagai lambang kedudukan sosial, untuk kegiatan kemaslahatan kaumnya yang masih satu jorong (desa) dan masyarakat di negerinya (tingkat kabupaten), untuk orang-orang yang sedang kesusahan serta untuk membantu orang-orang yang kehabisan bekal dalam menuntut ilmu.

  Harato salingka kaum

  , maksudnya adalah bahwa setiap kaum mempunyai tanah ulayat masing-masing, sebab tanah merupakan hal yang sangat diperlukan dalam adat sesuai dengan fungsinya tersebut.

  50 Menurut Van Vollenhoven, hubungan masyarakat atas tanah ini disebut dengan hak ulayat.

51 Tanah ulayat, tanah yang sudah ditentukan pemilik-pemiliknya tetapi belum

  diusahakan. Untuk jelasnya dapat dikemukakan yang punya tanah ulayat tersebut hanya nagari dan suku dan di luar dari harta pusaka tinggi. Tanah ulayat nagari yaitu tanah yang dimiliki bersama oleh sebuah nagari dan dikuasai secara bersama oleh penghulu-penghulu yang ada dalam nagari tersebut dan pengawasannya diserahkan kepada Kerapatan Adat Nagari (KAN).

  52

  50 Wawancara dengan wali jorong nagari Kamang Mudiak pada 1 Mei 2014 51 Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan oleh K. Ng. Soebakti Poesponoto, (Jakarta:Pradnya Paramita, 1980), hlm. 71 52 Wawancara dengan ketua KAN nagari Kamang Mudiak pada 30 April 2014

  Demikian pula tanah ulayat suku, dikuasai secara bersama oleh suatu suku dan pengawasannya diserahkan kepada kepala suku. Hak ulayat menurut hukum adat adalah hak yang tertinggi. Seseorang yang menguasai bukanlah memiliki hak ulayat, hanya dapat mempunyai hak sementara. Ketentuan-ketentuan mengenai tanah ulayat

  53

  adalah sebagai berikut:

  1. Memberi hak untuk memungut hasil pada masyarakatnya seperti mengolah tanah, mendirikan tempat pemukiman, menangkap ikan, mengambil kayu perumahan, mengembalakan ternak, mengambil hasil hutan dan lain-lain. Kesemuanya harus setahu atau seizin dari penghulu-penghulu atau yang mengawasi tanah ulayat tersebut.

  2. Hak-hak perseorangan terhadap tanah ulayat dibatasi oleh hak kaumnya. Hak perseorangan tetap diawasi dan jangan sampai terjadi pemakaian hak perseorangan terhadap tanah ulayat itu berpindah tangan seperti jual beli.

  3. Pemegang hak tanah ulayat dapat menunjuk atau menetapkan sebagian dari tanah ulayat untuk kepentingan umum seperti untuk lokasi pembangunan mesjid, sekolah, tempat pemakaman umum, lapangan olah raga dan lain-lain.

  4. Tanah ulayat yang dikerjakan diberi jangka waktu. Tanaman muda tidak diadakan pembagian dengan yang punya hak ulayat, sedangkan tanaman keras yang ditanam, seperdua menjadi hak pemilik ulayat, seperdua untuk orang 53 yang mengerjakan. Bila yang diolah tanah ulayat nagari, maka hasilnya untuk

  Edison Piliang dan Nasrun Marajo Sungut, Op Cit, hlm. 280 s.d. 281 kepentingan nagari. Dulunya untuk mendirikan balairung adat (tempat pertemuan), bangunan mesjid dan lain-lain.

  5. Apabila terjadi permasalahan berat, seperti pembunuhan di tanah ulayat dan yang mati itu bukan anggota warga yang punya ulayat, maka untuk menjaga jangan sampai terjadi permusuhan, yang punya ulayat harus membayar secara adat. Sesuai pepatah adat mengatakan “luko bataweh, bangkak batambak -

  tangih bapujuak, ratok bapanyaba ”.

  6. Orang yang berasal dari nagari lain dapat memperoleh sebidang tanah pada tanah ulayat dan diperbolehkan manaruko (membuka lahan) atas dasar persetujuan kepala kaum terlebih dahulu. Walaupun sudah diberi secara adat, tetapi status tanahnya masih milik wilayah nagari. Sawah yang ditaruko selama enam musim kesawah boleh dimiliki seluruhnya. Setelah itu hasil tanah ulayat tadi seperduanya harus diserahkan kepada yang punya ulayat.

  Pada dasarnya tanah ulayat dimanfaatkan untuk kesejahteraan anak kemenakan, terutama untuk kebutuhan ekonominya. Kalau pemakaian tanah ulayat bersifat produktif seperti untuk dijual hasilnya, maka disini berlaku ketentuan adat

  karimbo babungo kayu, kasawah babungo ampiang, kalauik babungo karang

  (kerimba berbunga kayu, kesawah berbunga emping, kelaut berbunga karang), artinya kita harus mengeluarkan sebahagian hasilnya untuk kepentingan suku dan nagari

  54 demi pembangunan nagari. 54 Wawancara dengan wali nagari Kamang Mudiak 29 April 2014 Sebenarnya tanah ulayat juga merupakan tanah cadangan bagi anak kemenakan, seandainya terjadi pertumbuhan penduduk dari tanah ulayat itulah sumber pendapatan bagi kesejahteraannya dan pembangunan nagari. Bila direnungkan secara mendalam betapa jauhnya pandangan kedepan dari tokoh-tokoh adat Minangkabau pada masa dahulunya.

B. Pengertian, Syarat-Syarat, Jangka Waktu Dan Prosedur Pengikatan Gadai Tanah Harta Pusaka Tinggi di Nagari Kamang Mudiak.

1. Pengertian Gadai

  Dalam hukum adat telah dikenal sebagai salah satu lembaga atau pranata dengan berbagai istilah yang berlaku di masing-masing masyarakatnya, juga telah dikenal sebagai kajian yang termasuk dalam hukum adat. Istilah tersebut antara lain : “adol sande” (Jawa); “ngajual, akad, gade” (Sunda); “dondon” (Tapanuli); “dondon susut” (Mandailing) atau gadai (gade), manggadai (Minangkabau dan menjual gadai

55 Riau dan Jambi).

  Walaupun terdapat penyebutan nama yang berbeda satu daerah dengan daerah lain di masyarakat adat, namun secara prinsipil yang membedakan hanya pelaksanaan transaksinya saja, seperti misalnya di Aceh dilaksanakan dengan Akta yang mencantumkan formula “ijab kabul”, di Tanah Batak transaksi harus dijalankan di atas “nasi ngebul”, di Minangkabau ada kebiasaan yang membeli gadai, setiap

55 Soerojo Wignyodipoera, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta : Haji Masa

  Agung, 1994), hlm. 207 tahunnya memberi kiriman nasi kepada yang menjual gadai. Satu tanda bahwa yang

  56 belakangan ini berhak untuk menebus (pitungguh gadai).

  Gadai tanah dalam hukum adat Minangkabau adalah pemindahan hak garapan atas sebidang tanah sementara dari pemilik kepada orang lain dengan menerima sejumlah uang atau emas yang disepakati antara pemilik tanah dengan pemegang gadai. Gadai tanah dalam masyarakat adat di Minangkabau didahului dengan suatu kesepakatan yang menurut kedua belah pihak dirasa saling mengikat dan saling menguntungkan apabila syarat-syarat gadai sudah terpenuhi maka terlaksanalah gadai tersebut. Pemindahan hak adalah berpindahnya hak, baik hak memiliki, menguasai maupun pemungut hasil, karena terjadinya sesuatu transaksi antara seseorang atau

  57 kelompok kepada pihak lain dan gadai dilaksanakan oleh pihak laki – laki.

  Menurut Sofyan Asnawi dalam Mukhtar Naim, gadai adalah hubungan dengan tanah kepunyaan orang lain yang mempunyai hutang kepadanya, selama hutang tersebut belum dibayar, maka tanah itu tetap berada dalam penguasaan yang meminjamkan uang tadi (pemegang gadai). Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai yang dengan demikian merupakan bunga dari hutang tersebut, penebusan tanah itu tergantung kepada kemauan dan kemampuan yang

  58 mengadaikan itu.

  Menurut Ter Haar gadai itu adalah : perjanjian yang menyebabkan bahwa tanahnya diserahkan untuk menerima tunai sejumlah uang, dengan permufakatan 56

  hlm. 209 57 Ibid, 58 Wawancara dengan wali nagari Kamang Mudiak pada 29 April 2014 Mochtar Naim, Op Cit, hlm. 140

  bahwa si penyerah akan berhak mengembalikan tanah itu kedirinya sendiri dengan jalan membayar sejumlah uang sama, maka perjanjian (transaksi), sedemikian itu oleh Van Vollenhoven dengan konsekwen dinamakan gadai tanah (sawah)

59 Vervanding .

  60 Menurut Boedi Harsono gadai adalah :

  “Hubungan hukum antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain yang telah menerima uang gadai dari padanya. Selama uang gadai belum dikembalikan tanah tersebut dikuasai oleh “pemegang gadai”. Selama itu hak tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai. Pengembalian uang gadai atau yang lazim disebut “penebusan” tergantung pada kemauan dan kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan. Banyak gadai yang berlangsung bertahun- tahun bahkan sampai puluhan tahun karena pemilik tanah belum mampu melakukan penebusan.”

2. Syarat – Syarat Gadai Tanah harta pusaka tinggi di Minangkabau tidak boleh dijual atau digadaikan.

  Yang boleh melaksanakan gadai adalah pihak laki – laki. Dalam melaksanakan gadai harus mendapat persetujuan kaum dan hanya dapat dilakukan apabila memenuhi 4 syarat adat terlebih dahulu yaitu: 1. Mambangkit batang tarandam.

  Diibaratkan mengeluarkan batang pohon yang terendam air. Bila tidak cepat-cepat dikeluarkan, maka batang ini akan menjadi busuk. Identik dengan batang tarandam, maka martabat kaum yang tarandam harus 59 segera dikeluarkan pula, supaya posisinya duduk sama rendah, tegak sama

  Mr.B.Teer Haar, Azas-Azas Dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta : Pradnya Paramita), hlm.93 60 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta : Jambatan, 2002), hlm. 394

  tinggi dengan kaum-kaum lainnya.

  Martabat kaum yang dimaksud ialah gelar pusaka yang dimiliki kaum. Sekarang ini, pengertian tersebut bisa diperluas dengan gelar akademik bidang ilmu pengetahuan. Prestasi akademik seseorang sangat menentukan statusnya di dalam pergaulan masyarakat.

  2. Gadih gadang alun balaki.

  Perempuan dalam struktur masyarakat Minangkabau memiliki kedudukan lebih dari laki-laki, sehingga anak perempuan dan para ibu harus didukung dengan harta pusaka. Faktor pendukung lainnya yang tidak kalah pentingnya ialah suami yang akan melindungi kehidupannya. Segala upaya diusahakan agar anak perempuan mendapatkan suami yang terbaik. Di dalam budaya adat Minangkabau, seorang ibu yang tidak memiliki anak perempuan, disebut sebagai kaum yang punah. Tidak ada orang perempuan yang akan menerima hak Pusaka Tinggi dari kaum tersebut.

  3. Mayek tabujua di tangah rumah.

  Dahulu untuk menguburkan dan mendoakan secara adat anggota kaum keluarga yang meninggal dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kini biaya- biaya tersebut sudah jauh berkurang. Satu hal yang perlu diingat tentang kewajiban si pewaris mayat terbujur tersebut, yaitu utang-utangnya. Utang si mayat harus segera dilunasi, meskipun dengan cara menggadaikan harta pusaka.

  4. Rumah gadang katirisan.

  Rumah gadang adalah lambang eksistensi kaum yang harus dipelihara keadaannya, jangan sampai rusak (katirisan). Bila saat ini rumah gadang tidak lagi berfungsi sebagai tempat tinggal keluarga, namun apabila rumah tersebut tetap dijaga, maka masyarakat akan tetap mengakui bahwa keluarga itu masih menjadi bagian dari warganya. Identik dengan rumah gadang, dalam masyarakat moderen di kota-kota, rumah gadang masih tetap dijadikan lambang prestasi kaum keluarga. Saat ini kepemilikan atau perbaikan rumah gadang sudah biasa menggunakan fasilitas utang (pegang gadai) dari bank.

  Ada beberapa syarat dalam perjanjian gadai yang harus dipenuhi oleh

  61

  penggadai dan pemegang gadai yaitu :

  1. Gadai baru sah apabila disetujui oleh segenap ahli waris, satu orang saja tidak menyetujui gadai menjadi batal demi hukum.

  2. Gadai tidak ada waktu kedaluarsa.

  3. Pihak penggadai punya hak pertama untuk menggarap tanah gadaian kecuali jika dia mau menyerahkan garapan kepada orang lain.

  4. Pemegang gadai tidak boleh menggadaikan lagi tanah yang dipegangnya pada orang lain tanpa seizin pemilik tanah. Sekarang karena ada pengaruh hukum Barat pemegang gadai boleh menggadaikan lagi (herverpanding) pada pihak lain.

61 H. Djaman Datoek Toeh, Tambo Alam Minangkabau, (Bukit Tinggi : Pusaka

  Indonesia,1985), hal. 117

  5. Selama gadai berjalan pemilik tanah gadaian boleh minta tambahan uang gadai pada pemegang gadai tapi pembayaran penebusannya nanti mesti sekaligus.

  6. Jika salah satu pihak yang terkait dalam perjanjian gadai meninggal dunia digantikan oleh ahli warisnya.

3. Jangka Waktu Gadai

  Selain yang empat perkara itu, gadai indak dimakan sando, tajua indak

  62 dimakan bali

  , biasanya gadai (sando) terbagi tiga yaitu:

  Sando biasa,

  a. jangka waktu biasanya dua tahun, boleh ditebus pada tahun ketiga, tujuannya agar orang yang memegang gadai menerima/menikmati hasilnya jika hendak menebus sesudah hasilnya dipungut sesuai pepatah adat:

  Sah gadai baangsak-angsak Sah Piutang batunggu-tunggu Sah barang tasando, sagi indak mungkia (sagi-batas)

  Yang maknanya ialah sebelum orang pandai tulis baca, tanpa dibuat perjanjian sah menggadai, tetapi kalau sudah terlalu lama digadai tidak di tebus, maka gadai tersebut jadi kabur/hilang karena tidak ada perjanjian yang mengikat secara tertulis.

62 B. Nurdin Yakub, Hukum Kekerabatan Minangkabau, ( Bukit Tinggi : CV.Pustaka

  Indonesia, 1995 ), hlm. 63 s.d. 64

  Sando Kudo,

  b. biasanya gadai dilakukan kepada anak atau orang lain yang dekat (keluarga) tidak ditentukan dalam perjanjian mengenai batas waktu kapan akan ditebus kembali.

  Sando agung,

  c. disandokan oleh orang dahulu yang tak tentu lagi berapa tersando dan sudah berapa lamanya tersando. Dalam hal ini soal tebus-menebus harus ada penengahnya yaitu Kerapatan Adat Nagari ( KAN).

  Pada sando kudo dan sando agung, haknya tidak boleh dialihkan kepada orang lain, dan tidak boleh meminta tambah lagi kecuali kalau dialihkan atas kehendak yang memegang hak gadai.

  Tetapi kalau sudah dialihkan kepada orang lain, maka menjadi sando biasa saja namanya. Perjanjian sando kudo dan sando agung itu tidak boleh dicampuri oleh orang lain, melainkan yang berhak menebus sando itu adalah orang yang menggadaikan harta itu sendiri.

  Apabila yang menggadaikan itu meninggal ,maka harta yang menjadi sando

  kuda dan sando agung itu tetap menjadi sando oleh yang memegang atau warisnya.

  Sungguhpun harta itu telah menjadi milik sipemegang atau warisnya bila yang menggadaikan sudah meninggal, tetapi kalau mereka itu hendak menjual atau menggadaikan lagi harta itu, wajiblah lebih dahulu ia memberitahukan dan memperhitungkan kepada ahli waris orang yang menggadaikan dahulu itu. Kalau waris orang itu tiada cakap memegang atau tidak dapat menebus/membeli kembali

  63 hartanya, barulah ia bisa menjual atau menggadaikan kepada orang lain.

  Tetapi bila ia tidak berbuat demikian, meskipun harta itu sudah menjadi miliknya, waris dari yang empunya harta itu dahulu dapat menebus gadai tersebut.

  Maka waris itu akan membayar berapa harga pegang gadai nya maka yang membeli atau yang memegang gadai itu tidak berhak menahan lagi harta itu, yaitu bila harta itu baru saja dikuasainya, kecuali kalau sudah berlangsung dalam hitungan bulan atau bertahun lamanya.

  Apabila harta itu sudah jatuh kembali ke dalam tangan waris yang menggadai karena sudah ditebus sesuai kesepakatan kedua belah pihak menurut adat, maka harta itu tidak boleh digadai kembali oleh warisnya.

  Waris dalam menebus gadai wajib melebihi tebusan harta pegang gadai itu dahulu dan kenaikan itu tidak melebihi dari pada nilai harta pusaka yang digadai, kecuali kalau harta tanah yang di pegangnya itu sudah menjadi naik sebab sudah ditambah atau diperbaikinya.

  Meskipun harga tanah harta pusaka tinggi yang digadaikan pada saat akan ditebus menjadi tinggi harga jualnya pada saat itu, maka tidak boleh diperhitungkan atas kenaikan harga pegang gadai secara tidak wajar. Walaupun demikian pada saat gadai akan ditebus dibayar kelebihannya wajib atas patut orang di tengah (kesepakatan pihak ketiga sebagai penengah kedua belah pihak tanpa ada yang 63 Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, Op Cit, hlm. 246 merasa dirugikan), tidak boleh atas kemauan sebelah pihak saja untuk menetapkan kelebihan penebusan gadai tersebut.

  Jika waris yang mau menebus itu sanggup, membayar kelebihan/kenaikan uang yang memegang itu menurut patut orang di tengah (orang penengah), dengan tidak merubah kebiasaan hukum adat yang berlaku pada nagari tersebut, maka bolehlah ia mendapatkan harta itu kembali menjadi harta pusakanya sebagaimana

  64

  disebut di dalam pepatah adat:

  yang tergadai ditahuri

  (yang tergadai diambil kembali)

  yang terjual ditebusi (yang terjual dibeli kembali) Sando kuda

  dan sando agung itu sama keadaannya, sedikitpun tidak berlainan. Yang menamakan sando kuda itu adalah orang Lareh Bodi Caniago, karena kebesarannya menurut sepanjang adat berarak di atas kuda, dan yang menanam sando agung itu adalah orang Lareh Koto Piliang, sebab yang jadi

  65 kebesarannya di dalam adat adalah bergandang beragung di waktu berhelat.

  Oleh sebab itu pada rumah adat orang Minangkabau, ada suatu rusuk pengatur tonggak, di atas rumah yang menghadap dari tepi ke tengah, dilebihkan orang sedikit rusuk itu menghadap ke tengah, yang oleh orang Lareh Bodi Caniago dinamakan

  sangkutan genderang

  , dan oleh orang Lareh Bodi Caniago Koto Piliang dinamakan

  sangkutan agung .

  64 65 Wawancara dengan Walinagari Kamang Mudiak Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, Op Cit, hlm 274

  Itulah yang dijadikan kias di dalam adat kepada sando gadai, sebab tidak ada lagi harta yang akan digadaikan, mereka terpaksa menggadaikan agung kebesarannya.

  Begitu pula orang kelarasan Bodi Caniago, sampai terpaksa pula menggadaikan kuda yang jadi kebesarannya, sebagaimana aturan yang tersebut di atas tadi.

  Sipenggadai memperoleh sejumlah uang atau emas yang diukur dengan luas harta yang digadaikan dan penafsirannya atas kesepakatan kepada kedua belah pihak.

  Bila sawah yang menjadi jaminan atau sebagai sando (sandra), maka boleh ditebusi oleh si penggadai paling kurang sudah dua kali panen. Jika sudah dua kali turun ke sawah tidak juga ditebusi, maka hasil tetap dipungut oleh orang yang memberi uang atau emas tadi.

  Menurut Undang-Undang No. 56 tahun 1960 Pasal 7, gadai yang telah berumur 7 tahun atau lebih dapat diminta kembali oleh pemiliknya setiap waktu setelah panen, tetapi berumur kurang dari 7 tahun harus ditebus dengan uang tebusan berdasarkan rumus : (7 + ½) - waktu berlangsung hak gadai dikali uang gadai dibagi 7 (tujuh). Dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai itu telah berlangsung 7 tahun maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanahnya tersebut tanpa pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen. Ketentuan ini tidak berlaku untuk hak atas tanah perumahan. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI tanggal 10 Januari 1957 No. 187/K/Sip/56, terhadap tanah bukan tanah pertanian, tambak dan tanaman keras, hak untuk menebus tak mungkin lenyap karena daluwarsa, apabila pemilik meninggal, maka ahli waris tetap berhak untuk dapat menebus.

  Bila dilihat isi dari UUPA yang dikutip di atas tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Minangkabau dalam hal pagang gadai. Pada umumnya yang memegang gadai adalah orang yang kekurangan tanah. Seandainya diberlakukan UUPA itu tentu saja uang si pemegang tidak kembali sedangkan dia kekurangan pula dalam segi harta, tentu saja hal ini tidak adil. Oleh karena itu pagang

  gadai

  di Minangkabau masih tetap seperti semula dan masih berlangsung secara asas kekeluargaan. Bahkan gadai dalam adat dirasakan suatu upaya pertolongan darurat yang berfungsi sosial.

  Dalam adat Minangkabau hak gadai bukan jaminan sebagaimana berlaku pada hak tanggungan/hipotik, sebab dalam gadai menggadai tanah di Minangkabau yang digadaikan beralih kekuasaannya (hak milik), beralih pengnikmatannya kepada pembeli gadai selama masa sebelum ditebusi secara sempurna, sedangkan dalam hak tanggungan tanahnya tetap dinikmati oleh pemilik asal.

  Di nagari Kamang Mudiak gadai tidak memiliki jangka waktu menebus bahkan tidak jarang pula penggadai meminta tambahan gadainya yang berupa emas

  66 atau rupiah.

  Gadai tanah yang terus berkembang di masyarakat pada sekarang ini haruslah diperhitungkan jangka waktunya agar tanah harta pusaka tinggi tidak beralih kepada orang atau pihak lain, peruntukanya tetap sebagai tanah harta pusaka tinggi yang bertujuan untuk membantu kaum dan anak kemanakan. 66 Wawancara dengan Kepala Suku nagari Kamang Mudiak pada 1 Mei 2014

  Walaupun gadai harus terjadi sebaiknya sebelum serah terima (ijab kabul gadai) diperhitungkan berapa banyak hasil yang diterima dari tanah yang digadaikan lalu disesuaikan dengan jumlah uang, emas atau rupiah yang akan diterima kemudian dijumlahkan berapa lama waktu gadai yang bisa disepakati agar tanah yang digadai bisa dikembalikan. Dengan demikian sipenggadai tidak perlu lagi membayar sejumlah uang, emas atau rupiah yang diterimanya pada saat akan menebus tanah gadaian tersebut karena sudah diperhitungkan sejak awal.

  Sipenggadai dan sipenerima gadai dalam hal ini memiliki posisi yang saling menguntungkan, bagi sipenggadai pada saat ia membutuhkan biaya yang harus ada dalam waktu cepat ia menerima dalam bentuk uang, emas atau rupiah dari sipenerima gadai. Kebutuhan sipenggadai terpenuhi sehingga lepas ia dari masalah yang dihadapinya dan bagi sipenerima gadai pada saat ia menerima tanah yang dijadikan benda gadai maka ia sudah bisa menghitung dan mengerjakan tanah tersebut agar dapat menghasilkan sejumlah uang dalam jangka waktu yang telah disepakati agar terpenuhinya minimal sebesar jumlah gadai yang diserahkan.

  Sehingga masing-masing pihak tidak ada yang merasa saling dirugikan, apabila jangka waktu yang telah disepakati telah berakhir, sepemberi gadai tidak perlu lagi menebus gadaiannya dan akan menerima kembali tanah yang dijadikan gadaian dan sipenerima gadai merasa tenang uang, emas atau rupiah yang diberikan kepada sipenggadai sudah kembali walaupun tidak sekaligus diterimanya.

4. Prosedur Pengikatan Gadai Tanah Harta Pusaka Tinggi

  Tabel 9 : Aturan atau Prosedur Mengadaikan Harta Pusaka Tinggi Secara Adat

  No Prosedur Jmlh Responden 1. Harus memenuhi 4 syarat adat.

  5 Ditawarkan kepada yang serumah, saparuik,

  2 2 sesuku, sekampung

  3 Persetujuan kaum

  3

  4 Persetujuan mamak kepala waris

  3

  5 Persetujuan kepala suku

  2

  6 Mengetahui wali jorong, wali nagari, KAN

  1 Jumlah

  16 Sumber : data primer yang diolah 30 April 2014

  Dari tabel tersebut di atas aturan atau prosedur apabila orang hendak mengadaikan harta pusaka tingginya secara adat yang lebih dominan dari 16 jumlah responden 5 responden mengatakan adalah haruslah memenuhi 4 (empat) syarat adat karena alasan yang benar sepanjang adat yang memperbolehkan dilakukan gadai.

  Setelah 4 syarat adat persetujuan kaum dan mamak kepala waris.

  Dalam hal ini prosedur menggadai harta pusaka tinggi secara adat yaitu terlebih dahulu wajib terpenuhinya salah satu 4 syarat adat tersebut kemudian wajib memberitahukan kepada kaumnya yang sama-sama serumah, kalau-kalau ada diantara mereka yang bisa membeli atau memegang harta itu, maka namanya “sepanjang adat memperlegarkan di dalam rumah”.

  Lepas dari yang serumah, baru boleh berkisar kepada yang sebuah perut, lepas dari yang saparuik kepada yang sekampung, lepas sekampung kepada sesuku, lepas dari sesuku baru beralih ke dalam nagari dan seterusnya.

  Apabila tidak dilakukan yang seperti itu, maka pekerjaan itu boleh dibatalkan oleh orang yang berhak memegang harta itu, menurut jenjang masing-masing tadi.

  Kalau belum lepas dari yang serumah,harta telah digadaikan begitu saja kepada orang yang sekampung maka pekerjaan itu salah, “sepanjang adat” dan boleh dibatalkan oleh orang yang serumah tadi

  Sekali-kali dilarang orang yang sekampung atau yang lainnya itu melampui orang serumah itu, meskipun uang orang itu sudah diterima, dia wajib mengembalikan uang itu kembali dan menyerahkan kepada orang yang serumah yang sanggup memegang harta tadi

  Kalau sudah lepas dari yang serumah, belum pula ada yang bisa menerima gadai boleh orang yang sama-sama sesukunya, kalau belum lepas dari yang sama seperut atau dari yang sekampung dengan orang yang akan mengadaikan harta itu, melainkan yang sama dan yang sama sekampung itu yang berhak lebih dahulu memegang harta itu, kemudian selepasnya “berjenjang naik bertangga turun”, dan seterusnya tidak boleh “lampau melampui” atau lompat melompati, melainkan wajib turut lebih dahulu jenjang-jenjangnya sesuai dengan aturan adat.

  ”jenjang”

  Jika ada yang melanggar aturan itu, maka tiap-tiap berhak melarang atau membatalkan hak gadai itu, di mana yang membatalkan harus menyediakan uang/emas untuk pemegang gadai sesuai yang diterima si penggadai. Adapun orang yang membatalkan gadai tersebut wajib menyediakan uang/emas itu tidak lebih dari sebanyak yang diperlukan melepaskan salah satu ”hutang adat”,

  67 apabila harta itu sekedar digadaikan saja.

  Menggadai haruslah terlebih dahulu mendapat persetujuan : 1. Persetujuan dalam kaum.

  Kaum adalah merupakan satu garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah yang bertali darah, yang terdiri dari beberapa paruik, dan beberapa paruik terdiri dari beberapa jurai. Dalam kaum tersebut juga terdapat kemenakan bertali adat (tidak setali darah, melainkan malakok). Jadi dalam hal ini untuk mengadaikan tanah harta pusaka tinggi harus persetujuan dalam kaum yang bertali darah, dan apabila salah satu dari paruik dan jurai tersebut tidak menyetujui maka gadai tersebut tidak sah.

  2. Persetujuan mamak kepala waris.

  Mamak kepala waris adalah laki-laki tertua dalam kaum tersebut, mamak kepala waris berfungsi untuk mengawasi terhadap pelaksanaan segala sesuatu hal mengenai pusaka, khususnya tanah harta pusaka tinggi. Dengan demikian bila mamak kepala waris mengadakan suatu transaksi seperti pegang gadai, sewa menyewa dalam hal ini mamak kepala waris tidak dapat bertindak atas nama sendiri, terlebih dahulu melakukan permufakatan dalam kaumnya, jadi bersama-sama dengan ahli waris dalam kaum.

  3. Persetujuan mamak adat atau penghulu kaum. 67 Wawancara dengan responden pada 30 April 2014

  Mamak adat atau penghulu kaum berkedudukan sebagai pemimpin tertinggi dalam kaumnya dan merupakan pengendali utama dalam masalah tanah harta pusaka tinggi. Jika terjadi sengketa antara pihak luar maka kepala kaum merupakan wakil kaum di dalam maupun di luar pengadilan.penghulu dalam kaum tersebut yang berfungsi dan berperan untuk mengurus seluruh kegiatan kemanakan dalam kaum. Penghulu kaum berperan kuat dalam masalah sako (gelar kebangsaan) dan pusako (harta benda).

  4. Persetujuan penghulu suku.

  Penghulu suku berkedudukan sebagai pucuk pimpinan tertinggi dalam suku yang bersangkutan, yang antara lain berfungsi mengatur pengelolaan tanah suku dalam persukuannya. Kedudukan tersebut juga diakui merupakan syarat harus ikut serta pengolahan tanah di lingkungannya, yang dalam persengketaan merupakan pemegang posisi kunci dalam penyelesaian masalah yang akan ditanggulangi, di mana dalam suku terdiri dari beberapa penghulu kaum, dan dipilih salah satu penghulu kaum tersebut menjadi penghulu suku. Penghulu suku merupakan pelengkap/turut mengetahui dalam proses menggadai.

  5. Persetujuan urang tuo ulayat.

  Urang tuo ulayat

  adalah merupakan urang tua yang ditandai bahwa dia yang pertama kali memegang kekuasaan harta pusaka tinggi, dimana tanah tersebut dipegang oleh rangkayo rajosampono di nagari ketaping, amai saik, rajo dulu,

  rajomangkuto, rajo seleman dinagari ulakan

  . Urang tuo merupakan pelengkap atau turut mengetahui dalam proses menggadai, yang bertujuan untuk mengetahui bahwa kemanakannya menggadaikan.

  6. Mengetahui dari unsur Pemerintahan adalah :

  a. Kerapatan Adat Nagari

  b. Wali nagari

  c. Wali jorong Atauran atau prosedur gadai secara adat pada masa sekarang sudah hampir hilang, 4 syarat adat bukan lagi hal yang paling utama untuk menggadai, kepada siapa gadai harus ditawarkan terlebih dahulu juga sudah tidak diperhatikan, persetujuan kaum, mamak kepala suku tidak diperlukan lagi sehingga tanah harta pusaka tinggi yang bertujuan untuk kebutuhan hidup kaum dan anak kemanakan tidak lagi diperdulikan.

  Benda yang boleh digadaikan adalah berupa : Tabel 10 : Benda Riil

  No Benda riil Jmlh Responden 1 tanah sawah

  10

  2 Ladang 2 3 tabek/kolam ikan 1 4 hutan

  1

  5 Bukit 1 6 rumah dan pekarangan

  1 Jumlah

  16 Sumber : data primer yang diolah 30 April 2014 Dari tabel di atas yang boleh digadaikan berupa tanah sawah, ladang, tabek/kolam ikan, hutan, bukit, rumah pekarangan. Yang lebih banyak di gadaikan orang pada sekarang ini adalah tanah sawah dan ladang karena sawah dan ladang merupakan benda yang apabila dikelola dengan baik bisa menghasilkan uang sehingga penerima gadai lebih memilih benda tersebut.

  Tabel 11 : Benda Kehormatan No Benda kehormatan Jmlah Responden 1 peralatan datuak

  8 2 lambang kebesaran seperti keris baju 8 kebesaran

  Jumlah

  16 Sumber : data primer yang diolah 30April 2014 Benda kehormatan yang dapat digadaikan pada zaman dahulu saat ini tidak lagi dipilih sebagai benda gadai oleh sipenerima gadai karena benda tersebut tidak dapat menghasilkan apa-apa hanya pengeluaran untuk pemeliharaan saja sehingga pada saat ini orang tidak memilihnya sebagai benda gadaian. Dahulu peralatan datuak dan lambang kebesaran merupakan benda yang berharga karena memiliki nilai status kebesaran dan kehormatan.

  Ulayat Penghulu,

  tersebut dalam pepatah adat : anak buah pengulu aia, aia

  pengulu rimbo, rimbo pangulu , artinya ulayat penghulu (tidak boleh pindah tangan).

  Rumah gadang,

  rumah itu adalah rumah adat, dikerjakan bersama-sama oleh kaum dan nagari, jadi bukan milik perorangan.

  Sawah palambuak gadang

  , (sawah kagadangan), Mengambil alih harta pusaka yang telah ditebus oleh dunsanak (saudara) tidak dibolehkan, dalam pepatah adat:

  Kabaulah dalam kandang Siriah lah pulang ka gagangnyo Pinang lah suruik ka tempeknyo

  Artinya: yang empunya datang menjemput, sudah kembali keasalnya, apa bedanya orang bersaudara.

5. Pelaksanaan Gadai Dalam Masyarakat

  Dalam melaksanakan gadai harus sesuai aturan “pusako salingka suku” (pusaka selingkar suku) maksudnya hanya boleh menggadai kepada anggota kaum yang ada di dalam suku yang sama dan tidak boleh dilaksanakan di luar suku.

  Pusako salingka suku

  harus memperhatikan tingkatan yaitu jarak kekerabatan sesuai dengan pepatah yang mengatakan: Tabel 12 : Tingkatan/Jarak Penerima Gadai