Tinjauan Yuridis Mengenai Pergeseran Kewarisan Harta Pusaka Rendah Dalam Masyarakat Adat Minangkabau

(1)

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PERGESERAN KEWARISAN

HARTA PUSAKA RENDAH DALAM MASYARAKAT

ADAT MINANGKABAU

T E S I S

Oleh

RINA MULYA SARI

067011125/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 9


(2)

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PERGESERAN KEWARISAN

HARTA PUSAKA RENDAH DALAM MASYARAKAT

ADAT MINANGKABAU

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

RINA MULYA SARI

067011125/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 9


(3)

ABSTRACT

This research is a departure and the assumption that the people follow traditional Minangkabau matrilineal system that is an order of the community in which kinship is calculated according to the mother solely. One of the characteristics to the mamak nephew the brother to the mother child sister. Included in this legacy low.

Along with changes in social structures that cause a shift in the system occur inheriting property in the main indigenous Minangkabau. Shift in the structure of extended family to family due to the core factors entrance religion of Ilsma, the function changes the household, economy and education. And the shofting role and mamak urang main sumando where property is not inherited by the nephew mamak but to his son.

Any disputes that arise due to frictionb system low inheritance solved gradually in the environment indigenous Minangkabau, known by the term ‘Bajanjang nalak, batanggo i’urun” the consensus agreement which is the characteristic life Minangkabau society, Adat Nagari Office and District Court.

Research in understanding the problems that have been formulated, used a qualitative approach. To obtain primary and secondary data uses observation amd interviews. Technique of analysis used is descriptibe analysis.

Conclusion of this research is that this shift has become a fact of life and received and applied in general un the indigenous Minangkabau position where the importance of property in the main viability daily. One form of this is friction and increasing disoutes between the mamak and between children and niece and nephew to lower inheritance in West Sumatra in general.


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR ISTILAH ... x

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR DIAGRAM ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian... 11

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 12

G. Metode Penelitian ... 28

a. Sifat Penelitian ... 28

b. Lokasi Penelitian ... 29


(5)

d. Tekhnik Pengumpulan Data ... 29

e. Alat Pengumpulan Data ... 30

f. Analisa Data ... 30

BAB II HUKUM YANG HIDUP MENGENAI PEMBAGIAN HARTA PUSAKA RENDAH DALAM MASYARAKAT MINANGKABAU DI KOTA PADANG... ... 33 A. Tinjauan Umum Lokasi Penelitian... 33

1. Sejarah Kota Padang ... 33

2. Jumlah Penduduk Kota Padang Berdasarkan Kecamatan... 35

B. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Terhadap Harta Pusaka Rendah 36 1. Ruang Lingkup Pengertian Harta Pusaka Rendah ... 36

2. Hukum Yang Mengatur Pembagian Harta Pusaka Rendah .... 39

3. Hukum Waris Islam ... 44

4. Ahli Waris Menurut Adat Minangkabau... 50

5. Cara Pewarisan Dalam Masyarakat Adat Minangkabau ... 58

6. Metode Pewarisan Harta Pusaka Rendah ... 72

BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA PERGESERAN DALAM PELAKSANAAN PEWARISAN HARTA PUSAKA RENDAH PADA MASYARAKAT ADAT MINANGKABAU... 79

A. Faktor Agama ... 80

B. Faktor Perubahan Atau Pergeseran Peranan Mamak Dan Urang Sumando Dalam Kehidupan Rumah Tangga Di Minangkabau ... 82

C. Perubahan Fungsi Rumah Gadang ... 86


(6)

E. Faktor Pendidikan ... 88

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA YANG TERJADI DALAM MEMBAGI HARTA PUSAKA RENDAH PADA MASYARAKAT MINANGKABAU... 89

A. Musyawarah Mufakat ... 89

B. Tinjauan Mengenai Peradilan Adat Pertama Di Lingkungan Adat Minangkabau... 92

C. Tinjauan Keputusan Yuridis Mengenai Pewarisan Harta Pusaka Rendah Di Pengadilan ... 95

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 108

A. Kesimpulan ... 108

B. Saran... 110


(7)

DAFTAR ISTILAH

¾ Alue adalah alur atau jalur jalan yang benar.

¾ Ganggam Bauntuak adalah peruntukan tanah ulayat kaum oleh mamak kepala

kepada anggota kaumnya secara hirarkis menurut perumahan dan usaha lain dimana mamak kepala warisnya menggali penggunaan tanah tersebut.

¾ Harta Dapatan adalah tanah yang diperoleh dengan cara dapatan, hak

penggunaan tanah bersifat sementara. Ttanah tersebut hanya diberikan sebagian untuk digunakan dalam kegiatan pertanian.

¾ Harta Pembaoan adalah tanah yang diperoleh melalui pembaoan ini maksudnya,

dimana anak laki-laki yang sudah berkeluarga (berumah tangga) juga boleh menerima sebahagian lahan yang digunakan bersifat sementara.

¾ Harta Suarang adalah harta yang dimiliki oleh seseorang baik oleh suami maupun oleh istri sebelum terjadinya perkawinan. Setelah terjadinya perkawinan, status harta ini masih milik masing-masing. Jadi harta suarang ini merupakan harta pembawaan dari suami dan isteri merupakan harta tepatan. Karena harta ini milik suarang atau milik pribadi, maka harta itu dapat diberikannya pada orang lain tanpa terikat pada suami atau isterinya.

¾ Mamak adalah semua saudara laki-laki dari ibu

¾ Panghulu adalah seorang yang telah diangkat oleh seluruh anggota keluarga

sebagai kepala suku atau kepala kaumnya ¾ Patuik adalah pantas, sesuai atau masuk akal

Alue patuik artinya orang minang harus dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya. Tujuan utama dari prinsip Alue Patuik ini adalah untuk menciptakan keadilan dalam masyarakat dan sekaligus menghindari sengketa antara anggota masyarakat.


(8)

¾ Panghulu Pucuk adalah seorang yang terkemuka atau pemimpin dari warga kampungnya.

Setelah nenek moyang orang minang mempunyai tempat tinggal yang tetap, maka untuk menjamin kerukunan, ketertiban, perdamaian, dan kesejahteraan keluarga, dibentuklah semacam pemerintahan suku, tiap suku dikepalai oleh penghulu suku

¾ Rumah gadang adalah adalah rumah bersama, disebut juga “Rumah Adat” dari

keluarga besar menurut garis keturunan ibu. Rumah itu terdiri dari beberapa ruang dan tiap-tiap ruang didiami oleh seorang ibu yang membpunyai beberapa orang anak, sehingga rumah gadang adakalanya mempunyao anggota sampai 80 orang. ¾ Sajurai adalah sama berasal dari satu perut seorang nenek “uo”.

Biasanya nanak beserta semua anak-cucnya menempati sebuah Rumah gadang dilinkungan rumah-rumah biasa disekelilingnya.

¾ Samande adalah anak-anak yang lahir dari seorang ibu.

Mande = Ibu atau disebut juga dengan istilah amai – ayai – biayai – bundo – andeh – mama – mami – amak – ummi dan ibu.

¾ Saparuik adalah sama berasal dari perut seorang “gaek” yang sama dan masih

merupakan bagian dari suku yang sama.

¾ Sasuku adalah sama berasal dari seorang “niniek” yang sama.

Artinya semua keturunan dari ninek kebawah yang dihitung menurut garis ibu yaitu : Niniek menurunkan gaek

Gaek menurunkan Nenek (Uo) Nenek menurunkan Mande

Mande menurunkan anak (laki-laki dan perempuan)

¾ Sumando adalah hubungan adat yang terjadi antara seorang laki-laki dalam suatu suku dengan kaum keluarga suku lainnya di Minangkabau, sebagai akibat perkawinannya dengan seorang perempuan dalam suku tersebut.

¾ Seperiduan : seperinduan sama srtinya dengan “samande”, artinya berasal dari

“satu induk” atau satu ibu. Istilah ini khas mencerminkan “garis keturunan matrilineal”

¾ Tungganai adalah saudara lelaki tertua dari ibu.

Dalam urusan seperinduan, maupun dalam urursan mamak-kemenakan maka tungganai itulah yang harus turun tangan. Tujuannya adalah agar ada kerukunan


(9)

dalam lingkungan , baik dalam harta pusaka, urusan perkawinan, urusan pegang gadai, urusan bimbingan kemenakan dan sebagainya.

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Jumlah Penduduk menurut Agama dan Kecamatan Number of Population by Religion and Sub District 2007) ... 35 2. Jumlah Perkara Perdata Yang Diterima Dan Diputuskan Di


(10)

DAFTAR DIAGRAM

Nomor Judul Halaman

1. Lapisan Kekerabatan Dan Kewarisan ... 56


(11)

ABSTRACT

This research is a departure and the assumption that the people follow traditional Minangkabau matrilineal system that is an order of the community in which kinship is calculated according to the mother solely. One of the characteristics to the mamak nephew the brother to the mother child sister. Included in this legacy low.

Along with changes in social structures that cause a shift in the system occur inheriting property in the main indigenous Minangkabau. Shift in the structure of extended family to family due to the core factors entrance religion of Ilsma, the function changes the household, economy and education. And the shofting role and mamak urang main sumando where property is not inherited by the nephew mamak but to his son.

Any disputes that arise due to frictionb system low inheritance solved gradually in the environment indigenous Minangkabau, known by the term ‘Bajanjang nalak, batanggo i’urun” the consensus agreement which is the characteristic life Minangkabau society, Adat Nagari Office and District Court.

Research in understanding the problems that have been formulated, used a qualitative approach. To obtain primary and secondary data uses observation amd interviews. Technique of analysis used is descriptibe analysis.

Conclusion of this research is that this shift has become a fact of life and received and applied in general un the indigenous Minangkabau position where the importance of property in the main viability daily. One form of this is friction and increasing disoutes between the mamak and between children and niece and nephew to lower inheritance in West Sumatra in general.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku yang berlaku bagi bumi putra dan timur asing, yang mempunyai upaya memaksa lagi pula tidak di kodifikasikan.1 Jadi sistem hukum adat adalah sistem yang tidak tertulis, yang tumbuh dan berkembang serta terpelihara karena sesuai dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena hukum adat sifatnya tidak tertulis, maka hukum adat senantiasa dapat menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Yang berperan melaksanakan hukum adat ini adalah pemuka adat itu sendiri sebagai pemimpin yang disegani dan berpengaruh dalam lingkungan masyarakatnya.2

Pentingnya masalah hukum kewarisan ini dapat dibuktikan melalui pesan Nabi kepada umatnya untuk mempelajarinya. Seperti sabda beliau yang diriwayatkan Ahmad Ibnu Hambal :

“Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang banyak, karena aku adalah manusia yang suatu ketika mati dan ilmu pun akan hilang hampir-hampir dua orang bersengketa dalam faraid dan masalahnya, maka tidak menjumpai orang yang memberitahukan bagaimana penyelesaiannya “

1 Abdul Manan,

Hukum Islam Dalam Berbagai wacana, Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003

2


(13)

Hukum waris adat Minangkabau merupakan masalah yang sangat menarik disebabkan sistem kekerabatannya yang mempengaruhi pola kewarisan adat Minangkabau. Tetapi akhir-akhir ini banyak faktor-faktor yang mempengaruhi pola kewarisan adat Minangkabau, antara lain perubahan dalam lapangan pertanian, stuktur pola menetap, sistem ekonomi dan pengaruh agama islam yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Minangkabau. Perlu dicatat bahwa perubahan penting terhadap bidang lain. Hal ini perlu dikaji dan dipertanyakan bagaimana dampak dan pengaruhnya terhadap system kepemilikan harta pewarisan dan bagaimana pula pola dari system pewarisan dari harta pencaharian tersebut.

Masyarakat adat Minangkabau menganut sistem matrilineal, mereka hidup dalam suatu ketertiban masyarakat yang didalamnya kekerabatan dihitung menurut garis ibu semata-mata dan pusaka serta waris diturunkan menurut garis ibu pula, ini berarti bahwa anak laki-laki dan perempuan termasuk keluarga, klan dan perkauman ibunya, justru itu seorang anak tidak menerima warisan dari ayahnya melainkan dari ibu, mamak dan bibinya.

Ada enam ciri sistem matrilineal dalam masyarakat adat Minangkabau yaitu : 1) Keturunan dihitung menurut garis ibu.

2) Suku terbentuk menurut garis ibu.

3) Tiap orang diharuskan kawin dengan orang diluar sukunya (eksogami). 4) Kekuasaan dalam suku ditangan ibu dan mamak.


(14)

6) Hak-hak dan pusaka di wariskan oleh mamak kepada keponakannya yaitu dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.3

Dari enam ciri sistem matrilineal yang dikemukakan di atas terlihat bahwa system pewarisan harta pusaka berkaitan erat dalam sistem matrilineal yang diatur dalam masyarakat adat Minangkabau. Sistem matrilineal yang diatur dalam masyarakat adat Minangkabau. Sistem matrilineal ini telah lama sekali menjadi sistem sosial yang disebut dengan adat yaitu kebiasaan umum yang lama kelamaan menjadi suatu keharusan yang dirasakan sebagai norma oleh masyarakat. Di dalam sistem matrilineal dikenal dua macam harta pusaka. Pertama harta pusaka tinggi yaitu harta bersama dalam kaum yang diterima secara turun-temurun dari nenek moyang, kedua harta pencaharian yang disebut juga sebagai harta pusaka rendah (hasil pencaharian suami istri).

Dalam masyarakat adat Minagkabau, tanah pusaka tinggi tidak boleh di perjualbelikan, hanya boleh digadaikan. Untuk digadaikan pun harus memenuhi keempat atau salah satu syarat berikut :

1) Mayat tabujua di tangah rumah artinya tanah pusaka tinggi dapat digadaikan apabila untuk biaya pemakaman.

2) Rumah Gadang katirisan artinya apabila rumah kaum perlu diperbaiki

3) Gadih gadang alun balaki artinya untuk mengawinkan perempuan yang telah

cukup dewasa, yang kalau tidak dikawinkan dapat memalukan

3 Muhamad Radjab,

System Kekerabatan di Minangkabau, Center for Minangkabau Studies, 1969, hal.17


(15)

4) Mambangkik batang tarandam artinya untuk menegakkan penghulu karena penghulu sebelumnya telah meninggal. Dan yang menjadi syarat mutlak untuk terlaksananya adalah kata sepakat dengan ahli waris yang bersangkutan dengan pusaka tersebut.4

Harta bersama diwariskan kepada generasi berikutnya secara utuh tanpa membagi-baginya sebagai suatu warisan, dengan kata lain sistem pewarisan bersifat kolektif bahwa setiap anggota kaum adalah ahli waris. Pembedaannya hanya dilakukan menurut prioritas jauh dekatnya ahli waris dari pewaris. Sistem pewarisan diatas terbentuk karena dalam kaum itu terdapat kelompok-kelompok matrilineal yang dikepalai oleh masing-masing mamak. Oleh sebab itu waris seorang ibu adalah anaknya sedangkan waris seorang mamak adalah kemenakannya. Anak dari seorang ibu adalah kemenakan dari seorang laki-laki dari kaum itu yang merupakan generasi penerus yang akan melanjutkan sistem matrilineal dalam masyarakat adat Minangkabau.

Harta pusaka rendah/harta suarang adalah harta hasil karya atau pencaharian suami istri dalam suatu perkawinan. Seorang laki-laki yang berusaha bersama istrinya dan mendapatkan harta selama bersuami istri maka harta yang didapat tersebut mempunyai kedudukan tersendiri dalam masyarakat adat Minangkabau yang disebut dengan harta pencaharian. Apabila pada suatu waktu perkawinan tersebut terhenti baik karena perceraian atau karena meninggalanya salah satu pihak, maka menurut

4

H. Idrus Hamkimy DT. Rajo Penghulu, Pokok-pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, PT.Remaja Rosdakarya, bandung, 2004, Hal 129


(16)

norma adat harta peninggalan itu dibagi dua, baik ada atau tidak adanya anak dalam perkawinan itu. Separohnya menjadi hak dari suami atau kemenakan dalam kaumnya dan separuh lagi untuk istri ataupun anaknya. Bagian dari suami istri adalah merupakan harta pencaharian baginya adapun sistem pewarisan dari harta pencaharian ini dalam kehidupan masyarakat tetap tunduk pada sistem matrilineal sebagai konsep dasar adat Minangkabau. Jika suami sebagai pemegang hak harta pencaharian itu meninggal maka akan diwariskan kepada kemenakannya sedangkan bila istri meninggal maka akan diwariskan pada ibunya si istri, saudaranya atau anak-anaknya. Dengan demikian harta pewarisan yang pada awalnya adalah merupakan pusaka rendah akan menjadi pusaka tinggi bila telah diwariskan berdasarkan sistem matrilineal yang dianut dalam masyarakat adat Minangkabau.5

Disinilah letaknya bahwa sistem pewarisan harta pencaharian dalam kehidupan masyarakat adat Minangkabau mempunyai peranan penting yaitu dalam kaitannya dengan penambahan harta pusaka tinggi berfungsi sebagai pengikat diantara sesama kaum. Biasanya harta pusaka tersebut berbentuk rumah gadang dan yang terbesar adalah tanah pusaka. Tanah ini merupakan suatu pengikat untuk berdirinya suatu organisasi dan penggunaan tanah itu dilakukan secara komunal sehingga akan menjamin kelangsungan organisasi klan tersebut.6

5 Iskandar Kamal,

Beberapa aspek dari hukum kewarisan Matrilineal ke Bilateral di Minangkabau, dalam Mukhtar Naim, (center for Minangkabau studies : Padang, 1968), hal.12

6


(17)

Namun kenyataannya pada saat ini sistem pewarisan harta peninggalan dalam masyarakat adat Minangkabau telah mengalami pergeseran seiring dengan perubahan struktur sosial yang terjadi dalam masyarakat itu.

Menurut adat Minangkabau dalam sebuah rumah gadang, mamak mempunyai tanggung jawab sebagai pemelihara harta dan pemberi kesejahteraan kepada warga rumah gadang itu. Segala yang berhubungan dengan rumah gadang umumnya berada di bawah kontrol mamak, kedudukan suami dalam adat Minagkabau hanyalah sebagai semendo dalam keluarga istrinya, dia hanyalah seorang pendatang dan tidak mempunyai hak dalam arti luas untuk menentukan corak rumah tangga istrinya.

Kemudian ternyata ajaran adat itu secara evolutif telah mengalami berbagai perubahan. Hubungan mamak dan kemenakan semakin melonggar sedangkan hubungan ayah dan anak semakin kuat. Perubahan ini diikuti pula dengan semakin berkurangnya peranan keluarga luas (extended family) dalam rumah tangga Minangkabau, lalu kecendrungan untuk hidup dalam bentuk keluarga inti (nuclear family) semakin meningkat.

Proses perubahan sosial di Minangkabau sudah lama berlangsung diantaranya juga terlihat perubahan dalam struktur kekerabatan matrilineal itu sendiri. Terjadi perubahan dalam Minangkabau pada umumnya akibat penemuan-penemuan ilmu pengetahuaan di bidang teknologi serta perubahan pola hidup yang dulunya bersifat murni agraris kearah perdagangan membawa pengaruh besar terhadap kehidupan keluarga dan masyarakat pada umumnya.


(18)

Pertambahan penduduk akan menyebabkan daya dukung tanah sebagai sumber ekonomi tidak lagi mencukupi perubahan di lapangan pertanian merubah pola hubungan manusianya, disamping itu makin berkurangnya rumah gadang dan mendiami rumah sendiri.

Ikatan keluarga luas semakin melemah sebaliknya peranan bapak dalam keluarga semakin menguat. Kekuasaan dari tangan mamak kearah kekuasaan bapak semakin terasa terhadap istri dan anaknya.

Jika dulu fungsinya tidak lebih dari urang semendo jemputan untuk tujuan memperkembangkan keturunan yang sekarang mempunyai kewajiban lebih sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

Seiring dengan perkembangan di atas, pola menetappun mengalami perubahan menjadi pola menetap dimana suami istri mempunyai alamat tersendiri, dari pola menetap dimana pasangan suami istri akut tinggal dirumah lingkunagan si istri. Juga ada kecendrungan pola menetap dimana pasangan suami istri mendirikan rumah tangga di luar lingkungan keluarga luasnya.

Agama Islam yang dianut sebagian besar masyarakat adat Minangkabau turut memberi warna, bahwa dalam ajarannya seorang bapak merupakan pemimpin bagi keluarganya dan ajaran kewarisan Islam menempatkan anak-anak, istri, ibu-bapak sebagai ahli waris utama.

Dari uraian di atas telah terlihat beberapa perubahan yang pada dasarnya merupakan pergeseran yang terjadi dalam sistem matrilineal itu sendiri seperti berkurang dan melemahnya peranan keluarga luas matrilineal, hal ini berarti bahwa


(19)

keluarga inti sebagai kesatuan semakin penting. Tanah pusaka yang berfungsi sebagai pengikat orang sekelompok dan sebagai sumber ekonomi tidak lagi bisa diandalkan atau mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup anggota kaumnya yang makin lama makin bertambah, maka tentunya harta pencaharian milik pribadi (harta suarang) menjadi semakin penting dalam kedudukannya dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

Pergeseran sistem sosial dalam masyarakat minangkabau tersebut menyebabkan pula terjadinya pergeseran dalam sistem pewarisan, pergeseran sistem pewarisan ini ditandai dengan hasil keputusan rapat yaitu :

1. Rapat yang dilakukan oleh ninik mamak, alim ulama, di Bukit Tinggi pada tahun 1952.

2. Dikuatkan lagi dalam seminar hukum adat minangkabau yang di adakan di padang pada tahun 1968, yang kesimpulannya adalah :

a. Terhadap harta pencaharian berlaku hukum faraidh. Dan terhadap harta pusaka berlaku hukum adat.

b. Meyerukan kepada seluruh hakim di Sumatera Barat dan Riau supaya memperhatikan ketetapan seminar ini.

c. Harta pusaka di Minangkabau merupakan harta badan hukum yang diurus dan diwakili oleh mamak kepala waris diluar dan di dalam pengadilan

d. Anak kemenakan dan mamak kepala waris yang termasuk kedalam badan hukum itu, masing-masingnya bukanlah pemilik dari harta badan hukum itu. e. Harta pencaharian diwarisi oleh ahli waris mernurut hukum faraidh.


(20)

f. Yang dimaksud dengan harta pencaharian (bagi wanita yang bersuami) ialah seperdua dari harta yang diperdapat oleh seorang selama dalam perkawinannya. Ditambah dengan harta bawaan/tepatannya sendiri.

g. Seorang dibenarkan berwasiat baik kepada kemenakannya maupun kepada yang lainnya hanya sebanyak-banyaknya sampai sepertiga dari harta pencahariannya.7.

Atas dasar latar belakang inilah yang menyebabkan penulis tertarik menelitinya, yaitu apakah harta pencaharian masih diperuntukan atau diwariskan kepada kemenakan atau kepada anak? Apakah pewarisan harta tersebut berpedoman kepada norma adat atau norma agama Islam? Apakah harta pencaharian yang diperoleh keluarga inti menjadi milik istri, anak atau bapak ?

Oleh karenanya penulis akan menuangkan dalam bentuk sebuah tesis yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PERGESERAN HUKUM PEWARISAN HARTA PENCAHARIAN DALAM MASYARAKAT ADAT MINANGKABAU”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah :

1. Bagaimana hukum yang hidup mengenai pembagian harta pusaka rendah dalam masyarakat minangkabau di kota padang?

7. Amir M.S.

Tanya Jawab Adat Minangkabau, Hubungan Mamak Rumah Dengan Sumando, Cetakan ke-2, PT. Mutiara Sumber Widya.2003, hal 30


(21)

2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya pergeseran dalam pelaksanaan pewarisan harta pusaka rendah pada masyarakat Minangkabau di kota Padang?

3. Bagaimana cara penyelesaian sengketa yang terjadi dalam pembagian harta pusaka rendah pada masyarakat Minangkabau di kota Padang?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaruhnya terhadap hukum kewarisan dan pola kekerabatan pada masyarakat adat Minagkabau.

2. Untuk mengetahui bagaimana hal tersebut menggeser hukum kewarisan harta pencaharian masyarakat adat Minagkabau.

3. Untuk mengetahui cara penyelesaian sengketa harta pencaharian yang terjadi pada masyarakat adat Minangkabau .

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis.

a. Secara Teoritis.

Penelitian ini diharapkan dapat memberukan kontribusi dalam bidang ilmu pengetahuan Hukum Waris, khususnya hukum waris adat terutama yang berhubungan dengan pembagian warisan pada masyarakat Minagkabau


(22)

b. Secara Praktis.

Diharapkan penelitian ini kelak dapat dipergunakan manfaatnya untuk dapat di terapkan dalam pengambilan kebijaksanaan dan pelaksanaan kewarisan, khususnya pada masyarakat adat Minangkabau.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan khususnya Universitas Sumatera Utara, yang melakukan penelitian yang berhubungan dengan adat Minangkabau memang telah ada, tetapi yang melakukan penelitian mengenai pergeseran harta pusaka rendah belum pernah ditemukan judul atau penelitian tentang pergeseran harta pusaka rendah tersebut, oleh sebab itulah saya melaukan Penelitian dengan judul “TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PERGESERAN HUKUM PEWARISAN HARTA PENCAHARIAN DALAM MASYARAKAT ADAT MINANGKABAU”. Dengan demikian bahwa penelitian ini adalah asli, untuk itu penulis dapat mempertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan, yang dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu, maka teori hukum dapat ditentukan dengan lebih jauh sebagai suatu keseluruhan pernyataan-pernyataan yang saling berkaitan dan berkenaan dengan hukum. Dengan itu harus cukup menguraikan tentang apa yang diartikan dengan unsur teori dan harus mengarahkan diri kepada


(23)

unsur hukum. Teori juga merupakan sebuah desain langkah-langkah penelitian yang berhubungan dengan kepustakaan, isu kebijakan maupun narasumber penting lainnya. Sebuah teori harus diuji dengan menghadapkannya kepada fakta-fakta yang kemudian harus dapat menunjukan kebenarannya.

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menstrukturisasikan penemuan-penemuan selama penelitian, membuat beberapa pemikiran, ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan dan pertanyaan-pertanyaan. Hal ini berarti teori merupakan suatu penjelasan yang bersifat rasional serta harus berkesesuaian dengan objek yang dipermasalahkan dan harus didukung dengan adanya fakta yang bersifat emoiris agar dapat diuji kebenarannya.

a. Pengertian Hukum Kewarisan

Sebagai salah satu seorang anggota masyarakat, maka kalau kita berbicara tentang seseorang yang meninggal dunia, arah dan jalan pikiran kita tentu akan menuju kepada masalah warisan. Pada umumnya masyarakat selalu menghendakai adanya suatu peraturan yang menyangkut tentang warisan dan harta peninggalan dari orang yang telah meninggal dunia, yakni hukum yang mengatur mengenai masalah-masalah apakah dan bagaimanakah bermacam-macam hak dan kewajiban-kewajiban yang menyangkut harta kekayaan seseorang pada saat yang bersangkutan meninggal dunia akan berpindah kepada orang lain yang masih hidup.

Seperti kita ketahui bahwa sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat di Indonesia ini memiliki kondisi kekeluargaan yang berbeda-beda, selain perbedaan suku bangsa juga adanya perbedaan agama dari inilah keadaan warisan dari


(24)

masyarakat itu tergantung dari masyarakat tertentu yang ada kaitannya dengan kondisi kekeluargaan serta membawa dampak pada kekayaan dalam masyarakat tersebut.

R. Subekti beranggapan seperti halnya dengan hukum perkawinan, begitu pula hukum waris Indonesia beraneka ragam. Disamping hukum waris menurut hukum Adat, berlaku hukum waris menurut agama Islam dan hukum waris menurut Kitab undang-Undang Hukum Perdata ( Burgelijk Wetboek )8.

b. Hukum Kewarisan Adat Minangkabau

Adat Minangkabau adalah aturan hidup bermasyarakat di Minangkabau yang diciptakan oleh leluhurnya, yaitu Datuak Perpatieh Nan Sabatang dan Datuak Katumanggung. Ajaran-ajarannya membedakan secara tajam antara manusia dengan hewan di dalam tingkah laku dan perbuatan, yang didasarkan kepada ajaran-ajaran berbudi baik dan bermoral mulia sesama manusia dan alam lingkungannya.9

Dalam sistem kekerabatan matrilineal terdapat tiga unsur yang paling dominan, yaitu10. :

1. Garis keturunan menurut garis ibu

2. Perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan istilah eksogami matrilineal.

8. R, Subekti,

Kaitan Undang-undang Perkawinan Dengan Penyusunan Hukum Waris, dikutip dari Surini ahlan, Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat Pewarisan Menurut Undang-Undang, Kencana, Jakarta, 2005, Hal 2

9 H. Idrus Hakimy DT Rajo Penghulu,

Op cit, hal 13

10. Amir MS,

Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang (buku I), Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 2003, hal 23


(25)

3. Ibu memegang peran sentral dalam pendidikan, pengaman kekayaan, dan kesejahteraan keluarga.

Namun bila diperhatikan dari sejarah Minangkabau, terlihat bahwa yang memegang kekuasaan, baik dalam lingkungan bawah, tengah maupun atas adalah tetap laki-laki. Setiap rumah gadang dikepalai oleh tungganai. Dalam lingkungan suku yang berkuasa adalah penghulu. Dalam lingkungan nagari kekuasaan berada di tangan penghulu puncuk. Dalam lingkungan Minagkabau yang berkuasa adalah Rajo nan tigo silo. Keseluruhan adalah laki-laki. Dalam Dewan Mentri yang dikenal dengan Basa Ampek Balai, semuanya juga laki-laki. Demikian pula semua pimpinan nagari yang disebut orang empat jenis juga laki-laki. Dapat dikatakan bahwa seluruh bentuk kekuasaan di luar rumah tangga, baik yang menyangkut bidang politik atau mewakili keluarga dalam forum umum adalah laki-laki.11

Ada beberapa bentuk kekuasaan terpegang di tangan perempuan seperti kekuasaan ke dalam di rumah gadang 12, dalam mengurus harta pusaka dan dalam setiap upacara perkawinan. Namun bila diperhatikan kekuasaan yang dipegang oleh perempuan tersebut, ternyata bahwa pada umumnya kekuasaan itu mempunyai hubungan yang rapat dengan peranannya dalam kelangsungan keturunan dan tidak akan menempatkannya pada pusat kekuasaan. Jadi sesungguhnya kedudukan wanita yang dominant di dalam rumah tangga sama sekali tidak memojokkan kaum lelaki.

11 Amir Syarifuddin

, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta Gunung Agung, 1984, hal 183

12 Rumah gadang adalah rumah bersama, disebut juga “Rumah Adat” dari keluarga besar

menurut garis keturunan ibu. Rumah itu terdiri dari beberapa ruang dan tiap-tiap ruang didiami oleh seorang ibu yang membpunyai beberapa orang anak, sehingga rumah gadang adakalanya mempunyao anggota sampai 80 orang.


(26)

Tujuan utama sistem matrilineal adalah untuk menunjang tinggi martabat manusia dengan memberikan emansipasi seimbang (persamaan hak) kepada lelaki dan perempuan. Seorang perempuan berhak melarang atau menolak kesepakatan-kesepakatan yang diambil di luar sepengetahuannya. Ia juga berhak mengajukan usul-usul dan saran-saran dalam rapat keluarga, kaum dan nagari. Bahkan dewasa ini kedudukannya telah bertambah kokoh di tengah-tengah masyarakat, mereka juga mendapat tempat dalam organisasi KAN (Kerapatan Adat Nagari)13

Rumah gadang atau rumah besar adalah ciri dari suatu keluarga besar (extended family). Kekerabatan matrilineal Minangkabau adalah dalam bentuk keluarga besar. Oleh karena itu salah satu ciri dari sistem kekerabatan matrilineal Minagkabau ialah adanya rumah gadang.

Pengertian keluarga di Minangkabau adalah kerabat terdiri dari nenek perempuan dan saudara-saudaranya, anak laki-laki dan perempuan dari nenek perempuan terdiri dari ibu dan saudara laki-laki dan perempuan dan seluruh anak ibu dan anak saudara-saudaranya yang perempuan. Keluarga adalah kesatuan terkecil dalam unit kekerabatan menurut garis keibuan14

Nenek moyang dahulu menginginkan supaya keluarga besar itu berada dalam satu tempat tertentu. Karena itulah tempat tinggal dibuat sedemikian rupa supaya dapat menampung seluruh keluarga besar. Dari rumah itulah diatur segala sesuatu

13 B. Nurdin Yakub,

Hukum Kekerabatan Minangkabau, pustaka Indonesia, Bukittinggi, 1995, hal 51

14 Sayfnir Abu Nain, Rosnida, Ishaq Thaher

, Kedudukuan dan Peranan WanitaDalam Kebudayaan Suku Bangsa Minangkabau, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998 hal 47


(27)

yang menyangkut dengan kehidupan keluarga. Dalam hal ini rumah gadang bukan hanya dipandang sebagai fisik dalam bentuk tempat tinggal, tetapi juga dari segi pusat administrasi pemerintahan kerabat matrilineal.

Dalam perkembangannya dan kenyataanya rumah gadang mengalami dilemma. Dalam hal ini semakin berkembangnya anggota keluarga, keadaan rumah gadang tidak lagi dapat menampungnya. Untuk maksud menampung penambahan anggota ini perlu dibangun rumah baru. Supaya kontrol terhadap anggota yang merupakan salah satu fungsi rumah gadang itu tercapai, rumah baru tersebut harus disekitar rumah gadang, yaitu tanah pusaka. Hal ini berarti mengurangi areal tanah pertanian yang dapat dijadikan tulang punggung rumah gadang.15

Hal ini menyebabkan banyaknya masyarakat Minagkabau yang merantau dengan cara berdagang dan karena semakin menyusutnya tanah pusaka, berarti pula melemahkan fungsi rumah gadang itu sendiri.

Pengaruh dari luar daerah mempercepat hilangnya fungsi rumah gadang. Pengaruh yang dari dalam ialah dari hukum Islam yang menuntut tanggung jawab seorang laki-laki terhadap anak dan istrinya. Pada waktu ini ternyata bahwa kewajiban utama seseorang laki-laki adalah untuk kehidupan anak dan istrinya. disamping itu urang sumando sudah mempunyai kedudukan yang kuat di rumah istrinya. Sumando yang sudah menetap yang telah mempunyai kekuasaan di rumah gadang untuk hidup dengan keluarga inti.

15


(28)

Sewaktu anggota keluarga sudah berkembang, maka hasil dari harta pusaka, kalau tidak akan kurang dari kebutuhan keluarga, setidaknya tidak akan berlebih untuk memperkembang harta pusaka yang ada itu. Dalam keadaan demikian, laki-laki dalam keluarga itu berusaha keluar dari lingkungan harta pusaka, dengan begitu kehidupan ekonomi yang semula berada di sekitar harta pusaka yang sudah ada, bergerak kearah kehidupan yang berada di luar lingkungan harta pusaka, yang sebelumnya dua bentuk harta itu berbaur dalam bentuk harta kaum. Selanjutnya mulailah pemisahan harta pencaharian dari harta pusaka.

Adanya pemisahan harta pencaharian itu dianggap oleh sebagian masyarakat Minangkabau sebagai titik awal dari pemilikan perorangan dalam harta di Minangkabau. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya pemilikan perorangan tersebut. Diantaranya yang dianggap pokok adalah sistem ekonomi modern yang menyebabkan seseorang berusaha diluar harta pusaka.16 Namun dalam hal pemisahan harta pencaharian itu, faktor kesadaran akan tanggung jawab terhadap anak sebagai pengaruh agama islam lebih menentukan.

Adanya pemisahan pemisahan harta pencaharian menyebabkan timbulnya pengakuan akan adanya hak anak pada harta tersebut. Mula-mula adanya hak anak atas harta pencaharian ayahnya melalui lembaga hibah, kemudian berangsur-angsur adanya pengesahan formal dari putusan dan kesepakatan bersama para ninik mamak,dan alim ulama dalam pertemuan yang diadakan di Bukit tinggi 1952. dalam pertemuan itu ditetapkan bahwa harta pusaka diturunkan secara adat dan harta

16


(29)

pencaharian dibagi menurut hukum waris Islam. Kesepakatan tahun 1952 itu dikuatkan lagi dalam seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan di Padang pada tahun 1968.

Dengan adanya berbagai perubahan tersebut di atas, maka lambat laun system kewarisan matrilineal akan bergeser dan menjadi sistem kewarisan bilateral. Dimana sistem pewarisan keluarga luas menjadi sistem keluarga inti untuk masalah harta pusaka rendah.

Hukum adat Minangkabau mempunyai asas-asas tertentu dalam kewarisan, asas-asas itu banyak bersandar kepada sistem kekerabatan, karena hukum kewarisan suatu masyarakat ditentukan oleh struktur kemasyarakatan. Sistem kewarisan berdasarkan kepada pengertian keluarga karena kewarisan itu adalah peralihan sesuatu baik berwujud benda atau bukan benda dari suatu generasi dalam keluarga berdasarkan pada perkawinan, karena keluarga tersebut dibentuk melalui perkawinan. Dengan demikian, kekeluargaan dan perkawinan menentukan bentuk sistem kemasyarakatan.17

Adat Minangkabau mempunyai pengertian tersendiri tentang keluarga dan tentang cara-cara perkawinan. Dari kedua hal ini muncul ciri khas struktur kemasyarakatan Minangkabau yang menimbulkan bentuk atau asas tersendiri pula dalam hukum kewarisan. Beberapa asas pokok dari hukum kewarisan Minagkabau yaitu :18

17 Iskandar Kamal.,

Op Cit, hal 153

18


(30)

1. Asas unilateral adalah hak kewarisan hanya berlaku dalam satu garis kekerabatan dan satu garis kekerabatan disini ialah garis kekerabatan ibu dan kebawah di teruskan kepada anak cucu melalui anak perempuan.

2. Asas kolektif berarti bahwa yang berhak atas harta pusaka bukanlah ornag perorangan, tetapi suatu kelompok secara bersama-sama. Berdasarkan asas ini maka harta tidak dibagi-bagi dan disampaikan kepada kelompok-kelompok penerimanya dalam bentuk kesatuan yang tidak terbagi.

3. Asas keutamaan berarti bahwa dalam penerimaannya harta pusaka/penerima peranan untuk mengurus harta pusaka terdapat tingkatan-tingkatan hak yang menyebabkan satu pihak lebih berhak itu masih ada, maka yang lain belum akan menerima.

c. Pergeseran Pewarisan Harta Pencaharian Di Lingkungan Adat Minangkabau

1) Pemisahan Harta Pencaharian dari Harta Pusaka.

Harta pusaka sebagai unsur pokok dalam organisasi kekerabatan matrilineal Minangkabau,19 menurut asalnya diperoleh oleh nenek moyang yang mula-mula mendiami suatu tempat. Di tempat itu mereka mengolah hutan tinggi menjadi tanah pertanian dan dan perumahan.

Pengertian keluarga menurut sistem matrilineal terbatas pada ibu dan anak-anaknya baik laki-laki atau perempuan berikutnya kebawah bersama anak-anak dari anak perempuannya. Keseluruhannya berada dalam suatu tempat tinggal dalam

19.


(31)

bentuk rumah gadang. Harta yang diperoleh oleh ibu asal itu dipergunakan untuk kepentingan seluruh keluarga dalam rumah itu dan menjadi milik bersama bagi seluruh anggota tersebut. Harta itulah yang disebut harta pusaka. Harta tersebut melekat pada rumah.

Pada waktu kehidupan masih sederhana, tanah pusaka masih banyak dan anggota keluarga belum berkembang, maka kehidupan di rumah itu dapat dibiayai dengan hasil yang diperoleh dari harta pusaka itu. Setiap laki-laki dewasa di rumah itu berkewajiban untuk memperkembangkan harta pusaka. Usaha pengembangan dapat ditempuh dengan hasil yang diperoleh dari harta pusaka. Hal tersebut mulanya memungkinkan karena hasil harta pusaka melebihi kebutuhan keluarga itu. Di samping itu ditempuh pula dengan jalan menaruko tanah ulayat kaum.

Dengan demikian terlihat bahwa di tangan suatu keluarga terdapat dua bentuk harta. Pertama harta yang sudah ada yang diperolehnya sebagai peninggalan generasi sebelumnya di rumah itu. Harta itu disebut harta pusaka dalam arti sebenarnya. Kedua harta yang didapatnya sendiri melalui hasil usahanya baik secara menaruko (menggarap tanah mati) atau melalui hasil yang diperoleh dari harta pusaka. Harta yang demikian kemudian disebut dengan harta pencaharian. Walaupun pada waktu itu telah kelihatan bentuk harta pencaharian, namun harta pencaharian itu masih terkait secara rapat dengan harta pusaka.

Terkaitnya harta pencaharian dengan harta pusaka pada waktu itu adalah karena seluruh harta pencaharian itu berasal dari harta kaum. Pada bentuknya yang pertama karena modal usaha seluruhnya berasal dari harta pusaka. Pada bentuknya


(32)

yang kedua yaitu hasil teruko, karena diteruko dari tanah ulayat kaum maka berarti modal usahanya juga dari harta pusaka. Itulah sebabnya harta pencaharian yang diperoleh seseorang pada waktu meninggalnya akan digabungkan ke dalan harta pusaka. Anak kemenakan kemudian mendapatkannya sebagai harta pusaka yang tidak terpisah dari harta yang diperoleh dari generasi sebelumnya.

Dari segi penggunaan, tidak ada perbedaan antara harta yang didapat melalui pusaka dengan yang didapat melalui usahanya, sendiri. Keduanya dipergunakan untuk kepentingan keluarga matrilinealnya. Pada bentuknya yang pertama yaitu harta pusaka,memang digunakan untuk kepentingan keluarga matrilinealnya. Dalam bentuknya yang kedua yaitu harta pencaharian, karena modalnya dari harta pusaka, maka wajarlah dipergunakan untuk keluarga matrilinealnya. Oleh karena itu tidak ada yang mendorong seseorang untuk membawa harta itu keluar dari lingkungan harta. kaumnya.2 0

Sewaktu anggota keluarga sudah berkembang, maka hasil dari harta pusaka tidak lagi mencukupi kebutuhan keluarga. Dalam keadaan demikian,laki-laki dalam keluarga itu berusaha keluar lingkungan harta pusaka, terutama bila tanah ulayat kaum yang akan diterukopun sudah tidak ada. Dengan begitu kehidupan ekonomi yang semula berada disekitar harta pusaka yang sudah ada, bergerak kearah kehidupan yang berada diluar lingkungan harta pusaka.

Terpisahnya pengertian Mata pencaharian dari harta pusaka dapat dipastikan berlaku semenjak Islam masuk di Minangkabau. Tetapi karena kuat pengaruh adat

20


(33)

yang berlaku maka tidak begitu saja harta pencaharian dapat diwariskan kepada anak istri. Anak dan istri hanya sebatas dapat menikmati semasa hidup di surga, karena sistem perkawinannya semendo.

Karena terdorong dari tanggungjawab dari suami, sesuai dengan pengaruh agama Islam yang mengajarkan agar seorang ayah bertanggungjawab pada anaknya, maka timbul dorongan untuk mengeluarkan hasil usahanya sendiri dari kelompok harta pusaka. Sebelumnya dua bentuk harta itu berbaur dalam bentuk harta kaum. Selanjutnya mulailah pemisahan harta pencaharian dari harta pusaka.

Pepatah adat yang berbunyi: "anak dipangku kemenakan dibimbing" diperkirakan munculnya sesudah Islam masuk Minangkabau dan mulai timbul kesadaran untuk membiayai kehidupan anak dan istri, disamping tidak melepaskan tanggungjawab kepada kemenakan. Adanya tugas ganda itu memberatkan tanggungjawab seorang laki-laki Minangkabau. Selanjutnya timbul gagasan untuk membagi fungsi harta yang dimiliki seseorang sebagaimana tergambar dalam pepatah adat sebagai berikut:21

Padang bernama Penjaringan Tempat bertemu rang bertiga Merurdingkan adat dan lembaga

Anak dipangku dengan pencaharian Kemenakan dibimbing dengan pusaka Orang kampong ditenggang dengan bicara

21


(34)

Dari pepatah tersebut diatas, nyata bahwa pemisahan harta pencaharian dari harta pusaka tersebut hakekatnya adalah pemisahan dalam fungsi dan kegunaan dari harta. tersebut. Harta pusaka sepenuhnya dipergunakan untuk kepentingan keluarga matrilineal. Dengan pemisahan itu dimaksudkan bahwa dalam harta pencaharian ada kebebasan pribadi yang berusaha, untuk menggunakan bagi kepentingan pribadi tanpa memerlukan persetujuan atau izin dari pihak keluarga matrilineal.

Terpisahnya harta pencaharian seseorang dari harta pusaka berlaku secara berangsur-angsur dan baru sampai pada tahap akhir dengan adanya pengesahan formal dari putusan dan kesepakatan bersama para ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai dalam pertemuan yang diadakan di Bukittinggi pada tahun 1952. Kesepakatan tahun 1952 itu dikuatkan lagi dalam Seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan di Padang pada tahun 1968.

Dalam hubungannya dengan hak penggunaan harta pencaharian dapat dibagi dua macam. Pertama: Harta pencaharian yang bersumber dari harta pusaka seperti menggarap tanah pusaka dalam bentuk genggam beruntuk atau menaruko tanah ulayat kaum. Dalam hal ini kebebasan seseorang masih dibatasi oleh kepentingan kaum, karena bagaimanapun juga hak kaum masih terdapat di dalamnnya.

Kedua, harta pencaharian yang tidak bersumber dari harta pusaka seperti yang diperoleh dari menjual jasa atau hasil penjualan jasa itu. Dalam hal ini kebebasan yang berusaha tidak dibatasi kaum, karena hal keluarga matrilineal sama sekali tidak terdapat di dalamnya. Kebebasan pribadi berlaku dalam harta pencaharian dalam bentuk terakhir itu.


(35)

Adanya kebebasan pribadi dalam menggunakan harta pencaharian, besar sekali pengaruhnya atas si laki-laki untuk berusaha, karena ia meyakini bahwa apa yang diperolehnya dari usahanya itu adalah untuk kepentingan sendiri bagi, keluarganya. Segi kelemahan dari kebebasan pribadi dalam harta pencaharian ialah tidak terjaminnya kelestarian harta itu, karena bila seseorang bebas dalam memamfaatkan harta yang diperolehnya, juga bebas untuk bertindak mengalihkan harta itu, tanpa ada hak orang lain untuk mengawasinya.

Dalam hal menjaga kelestarian harta, sifat kolektif dari harta pusaka, dengan berlakunya pepatah adat: "jual tidak dimakan beli, gadai tidak dimakan sando", sangat menyulitkan untuk melepaskan harta itu keluar lingkungan keluarga, sehingga harta pusaka dapat bertahan.22

Walaupun dari segi luas arealnya harta pusaka dapat bertahan, namun dari segi kegunaanya tidak lagi dapat mencukupi bagi kepentingan anggota keluarga. Hal ini mendorong anggota keluarga mengembangkan usahanya diluar harta pusaka. Kalau dulunya pengembangan harta diluar lingkungan harta pusaka dalam rangka memperbanyak harta pusaka, maka dengan terpisahnya pengertian harta pencaharian itu, usaha tidak lagi berarti memperluas harta pusaka, tetapi yang jelas lapangan harta pencaharian- semakin berkembang. Dalam perkembangan selanjutnya terlihat bahwa harta pencaharian lebih berperan dan lebih penting artinya dari harta pusaka itu sendiri23

22 Hamka,

Adat Minangkabau dan Hukum Pusakanya, Mukhtar Naim (ed), (Center for Minangkabau Studies: Padang, 1968), hal. 30.

23 Herman Sihombing,

Pembinaan Hukum Waris Dan Hukum Tanah Di Minangkabau, Mukhtar Naim (ed), Center For Minangkabau Studies, Padang, 1968, hal 69.


(36)

2. Kerangka Konsepsi

Agar tidak terjadi kesalah fahaman terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam tesis ini, maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu sebagai berikut:

Hukum adalah peraturan yang dibuat oleh suatu kekuasaan atau adat yang dianggap berlaku oleh dan untuk orang banyak : Undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat, ketentuan, kaedah, patokan keputusan hakim24

Warisan adalah : soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang meninggal 25

Hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 171 huruf (a) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Hukum kewarisan baru dapat berlaku jika pewaris adalah beragama Islam dan yang menerima juga beragama Islam. Dengan demikian pelaksanaan hukum waris bagi umat islam merupakan Ibadah.

Hukum waris adat adalah waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immaterele goerderen) dari suatu angkatan manusia (generalite) kepada turunannya 26

24 Hoetomo

, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Mitra Pelajar, Surabaya, Hal 188

25 Wirjono Prodjodikoro,

Hukum Warisan Di Indonesia, Sumur Bandung, hal 3P

26


(37)

Mengenai pengertian Pusaka Rendah ada beberapa pendapat antara lain menurut Amir M.S dalam bukunya yang berjudul “Adat Minangkabau Pola Dan Tujuan Hidup Orang Minang” Harta Pusaka Rendah adalah: segala harta hasil pencaharian dari bapak bersama ibu (orang tua kita) selama ikatan perkawinan, ditambah dengan pemberian mamak dan tungganai kepada kemenakannya dari hasil pencaharian mamak dan tungganai itu sendiri.

Harta pencaharian yang merupakan penghasilan wanita yang menikah merupakan penghasilan kedua suami istri yang terikat dalam perkawinan dan selama perkawinan. Bila terjadi perceraian (hidup atau karena meninggal dunia) maka harta pencaharian wanita tersebut adalah seperdua dari seluruh pengahasilan kedua suami istri itu . rumusan adat Minagkabau mengenai hal ini adalah : “sekutu di balah, suarang dibagi”27

Sedangkan menurut Salmi Saleh,S.H dalam bukunya “Minangkabau Menjawab Tantangan Jaman” harta pusaka rendah adalah hasil pencarian mamak yang diberikan kepada dunsanak atau kemenakannya yang tidak dimaksudkan sebagai harta susuak. Harta pusaka rendah yang diberikan mamak ini bisa dijual belikan, tetapi tentunya atas persetujuan mamak. Tetapi kalau sudah digabungkan kepada pusaka tinggi, harta pencaharian mamak ini tidak lagi dikatakan sebagai pusaka rendah, karena dia sudah menjadi pusaka tinggi dan menjadi milik kaum yang diatur secara adat.

27 Amir M.S “

Tanya Jawab Adat Minagkabau (Hubungan Mamak Rumah Dengan Sumando” Mutiara Sumber Widya,2003,hal 29


(38)

Harta pusaka rendah adalah harta hasil karya atau pencaharian suami istri dalam suatu perkawinan. Seorang laki-laki yang berusaha bersama istrinya dan mendapatkan harta selama bersuami istri maka harta yang di dapat tersebut mempunyai kedudukan tersendiri dalam masyarakat adat minagkabau yang disebut dengan harta pencaharian. Apabila pada suatu waktu perkawinan tersebut terhenti baik karena perceraian atau karena meninggalnya salah satu pihak, maka menurut norma adat harta peninggalan tersebut dibagi dua, separohnya menjadi hak dari suami atau kemenakannya dalam kaumnya, dan separuh lagi untuk istri maupun anaknya.28

Jika dilihat dari Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang berkenaan dengan persoalan harta kekayaan suami isteri (akan dapat mempunyai hubungan kewarisn) itu termuat dalam pasal 35, 36, dan 37. pasal-pasal itu berbunyi : Pasal 35 : (1) Harta benda yang diperoleh dalam perkawinan menjadi harta bersama. (2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di

bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 36 : (1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

28


(39)

Pasal 37 : Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

Jika dilihat menurut UU Nomor 1 tahun 1974 yaitu Undang-undang perkawinan dengan harta pusaka rendah pada masyarakat Minangkabau sejalan beriringan. Pada penjelasan diatas dapat kita lihat bahwa harta yang diperoleh pada saat terjadinya perkawinan merupakan harta bersama, dimana pengolahan dan peruntukannya sama seperti yang diterapkan dalam masyarakat Minagkabau. yaitu harta bersama dikelola oleh para pihak secara bersama, sedangkan harta yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan dikuasai oleh masing-masing pihak. Jika terjadinya perceraian baik itu cerai hidup ataupun mati pada masyarakat Minangkabau juga menerapkan harta bersama diwariskan sesuai dengan hukumnya masing-masing.

Masyarakat adalah pergaulan hidup manusia, sehimpunan manusia yang hidup bersama dalam suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang tertentu: orang banyak, khalayak ramai. 29

G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif analisis,30 karena metode yang digunakan untuk menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kemudian akan menghubungkan

29 Hoetomo,

Op Cit, hal 188

30 Bambang Waluyo,

Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, Hal 8, menyatakan bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal di daerah tertentu dan pada saat tertentu.


(40)

dengan keadaan atau fenomena dalam praktek yang pelaksanaan hukumnya berhubungan dengan pelaksanaan pembagian warisan pada masyrakat adat Minangkabau.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris. Penggunaan pendekatan yuridis empiris sebagai pendekatan masalah dengan melihat ketentuan-ketentuan yang ada, untuk melihat bagaimana ketentuan yang mengatur tentang pembagian warisan pada masyarakat adat Minangkabau dan bagaimana pelaksanaan dari peraturan tersebut dalam kenyataan yang berkembang dalam masyarakat adat Minagkabau.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Kota Padang, dengan pertimbangan bahwa masyarakat di kota padang cukup heterogen jika dilihat dari aspek suku bangsa, penduduk,pekerjaan dan agama. Disamping itu akses untuk mendapat keadilan melalui pengadilan lebih mudah dimana faktor-faktor tersebut sangat dominan dalam mempengaruhi sikap dan prilaku masyarakat adat Minangkabau dalam pembagian harta pusaka rendah. Di karenakan kota padang cukup luas dan terdiri dari 11 kecamatan maka dipiilih 3 kecamatan sebagai sampel, yaitu kecamatan Kuranji, kecamatan Naggalo, dan kecamatan Koto tengah.

3. Populasi dan Sampel Penelitian

Yang menjadi sumber dalam penelitian ini adalah masyarakat adat Minangkabau yang pernah melakukan pembagian harta warisan yang berdomisili di


(41)

Kota Padang. Adapun penarikan sampel dilakukan dengan cara wawancara yaitu dengan menentukan jumlah sampel penelitian sebanyak 15 (lima belas) orang masyarakat adat minangkabau dari keseluruhan populasi yang diperkirakan dapat mewakili.

Untuk melengkapi data penelitian, diperlukan tambahan informasi dari nara sumber yaitu orang yang dianggap mengetahui dan berkompeten dengan objek penelitian sebagai informan yang terdiri dari :

1. Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) 2. Wakil Ketua Kerapatan Adat Nagari 3. Ketua Pengadilan Negeri Padang 4. Hakim Pengadilan Negeri Padang

4. Tekhnik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan tesis ini, maka penulis menggunakan 2 (dua) metode, yakni :

1. Penelitian Kepustakaan. ( Library Research)

Yaitu pengumpulan data skunder baik baik berupa peraturan per Undang-undangan dan dokumen yang berkaitan dengan objek yang diteliti31 yang berkaitan dengan pelaksanaan pembagian warisan pada masyarakat adat Minangkabau.

31


(42)

2. Studi Lapangan ( Field Research)

Yaitu pengumpulan data primer yang di peroleh langsung dari informan dan responden dengan cara menggunakan kuisioner terbuka. Dan untuk melengkapi data-data yang dibutuhkan juga dilakukan wawancara32

5. Alat Pengumpulan Data

Alat yang dipakai dalam pengumpulan data dalam penelitian ini adalah : a. Studi dokumen, yaitu mempelajari serta menganalisa bahan pustaka (data

sekunder).

b. Wawancara, dilakukan secara langsung dengan informan dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide).

6. Analisis Data

Analisa data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang di teliti 33 Untuk kebutuhan analisis data dalam penelitian ini semua data primer dan data skunder yang diperoleh dikumpulkan dan selanjutnya kedua jenis data itu dikelompokkan sesuai dengan data yang sejenis. Sedangkan evaluasi data dilakukan secara kualitatif.

32 Lexy J. Moleong,

Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1990, menyatakan analisi data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat di temukan tema dan dapat di rumuskan hipotesis kerja seperti yang di sarankan oleh data.

33 Heru Irianto dan Burhan Bungin,

Pokok-pokok Penting Tentang Wawancara, dalam Burhan Bungin (Ed), Metodologi Penelitian Kualitatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal 143, menyatakan wawancara adalah proses percakapan dengan maksud untuk mengontruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, motivasi, perasaan, dan sebagainya yang dilakukan dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dengan orang yang di wawancarai (interviewee)


(43)

Untuk selanjutnya data yang terkumpul dipilah-pilah dan diolah, kemudian dianalisis dan ditafsirkan secara logis dan sistimatis dengan menggunakan metode induktif 34 . dengan metode ini diperoleh kesesuaian antara pelaksanaan pembagian warisan pada masyarakat adat Minangkabau dengan peraturan perundang-undangan dan peraturan adat yang berlaku. Atas dasar pembahasan dan analisis ini maka dapat ditarik kesimpulan yang dapat digunakan dalam menjawab permasalahan dan tujuan penelitian.

34

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta 1997 hal 10, menggunakan prosedur induktif yaitu proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) berupa asas umum. Dalam prosedur induktif setiap proposisi itu hanya boleh dianggap benar kalau proposisi itu diperoleh dari hasil penarikan kesimpulan dari proposisi-proposisi yang berkebenaran empiris.


(44)

BAB II

HUKUM YANG HIDUP MENGENAI PEMBAGIAN HARTA PUSAKA RENDAH DALAM MASYARAKAT MINANGKABAU DI KOTA PADANG

A. Tinjauan Umum Lokasi Penelitian 1. Sejarah Kota Padang

Kota padang adalah salah satu kota tertua di pantai barat Sumatera di Lautan Hindia. Menurut umber sejarah pada awalnya (sebelum abad ke-17) kota padang dihuni oleh para nelayan, petani garam dan pedagang. Ketika itu Padang belum begitu penting karena arus perdagangan orang Minang mengarah ke pantai timur melalui sungai-sungai besar. Namun sejak Selat Malaka tidak lagi aman dari persaingan dagang yang jeras oleh bangsa asing serta banyaknya peperangan dan pembajakan, maka arus perdagangan berpindah ke pantai barat Pulau Sumatera.

Suku Aceh adalah kelompok pertama yang datang setelah malaka ditaklukkan oleh Portugis pada akhir abad ke XVI. Sejak saat itu pantai Tiku, Pariaman dan Inderapura yang dikuasai oleh raja-raja muda wakil Pagaruyung berubah menjadi pelabuhan-pelabuhan penting karena posisinya dekat dengan sumber-sumber komoditi seperti lada, cengkeh, pala dan emas.

Kemudian Belanda datang mengincar Padang karena muaranya yang bagus dan cukup besar serta udaranya yang nyaman dan berhasil menguasainya pada tahun 1660 melalui perjanjian dengan raja-raja muda wakil dari pagaruyung. Tahun 1667 membuat Loji yang berfungsi sebagai gudang sekaligus tangsi dan daerah sekitarnya dikuasai pula demi alasan keamanan.


(45)

Akhirnya pada tanggal 20 Mei 1784 belanda menetapkan Padang sebagai pusat kedudukan dan perdagangan di Sumatera Barat. Kota Padang menjadi lebih ramai setelah adanya Pelabuhan Teluk Bayur, Semen dan Batubara (di Sawahlunto), serta Jalur Kereta Api. Namun yang menjadi hari Jadi Kota Padang adalah tanggal 7 Agustus, karena pada tanggal 7 Agustus 1669 terjadi penyebuan besar-besaran terhadap Loji Belanda di Kepalo Koto Natang Arau yang dilandasi oleh semangat patriotisme dan rasa cinta tanah air dalam mengusir penjajah dari bumi Nusantara.

Pada awalnya luas kota Padang adalah 33 Km2, yang terdiri dari 3 Kecamatan dan 13 buah kampung, yaitu Kecamatan Padang Barat, Padang Selatan, dan Padang Timur. Dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun1980 tanggal 21 Maret 1980 wilayah Kota Padang menjadi 694,96 Km2, yang terdiri dari 11 Kecamatan dan 103 kelurahan. Dengan Keluarnya Peraturan daerah Kota Padang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Pembentukan organisasi kelurahan maka jumlah kelurahan di Kota Padang menjadi 104 kelurahan.35

35


(46)

2. Jumlah Penduduk kota Padang Berdasarkan Kecamatan

Tabel 1. Jumlah Penduduk menurut Agama dan Kecamatan Number of Population byReligion and Sub District 2007

Kecamatan Sub District Islam Moeslem Katholik Catholic Protestan Protestan Hindu Hindu Budha Budha Lainnya Others Jumlah Total

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

01. Bungus Teluk Kabung 23.500 18 70 2 2 - 23.592

02. Lubuk Kilangan 42.439 105 36 3 2 - 42.585

03. Lubuk Begalung 101.390 919 1.629 144 240 - 104.323

04. Padang Selatan 52.203 4.446 2.175 330 2.812 - 61.967

05. Padang Timur 82.927 718 1.462 30 142 - 85.279

06. Padang Barat 53.164 3.712 1.017 487 1.722 - 60.102

07. Padang Utara 73.684 356 449 41 86 - 74.667

08. Nanggalo 57.322 102 83 6 10 - 57.523

09 Kuranji 117.551 59 72 5 7 - 117.694

10 Pauh 52.299 83 114 6 0 - 52.502

11. Koto Tangah 156.561 399 914 13 69 - 157.956

Padang 2007 2006 2005 2004 813.043 795.298 777.053 756.014 10.917 11.318 11.292 10.774 8.071 6.833 6.740 6.815 1.067 1.133 1.117 1.003 5.092 5.158 5.142 10134 0 0 0 0 838.190 819.740 801.344 784.740

Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Padang Source : BPS Statistics of Padang


(47)

B. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Terhadap Harta Pusaka Rendah 1. Ruang Lingkup Pengertian Harta Pusaka Rendah

Harta pusaka di Minangkabau terbagi atas dua. Pertama disebut harta pusaka tinggi dan kedua disebut harta pusaka rendah. Masing-masing harta pusaka ini memiliki konsekwensi waris yang berbeda. Harta pusaka tinggi diwariskan secara turun temurun untuk dimiliki secara kolektif oleh kaum atau suku sedangkan harta pusaka rendah diwariskan kepada individu untuk menjadi milik individu tersebut.

Harta pusaka rendah merupakan harta milik orang tua, harta ini tidak membedakan mana harta Harta pusaka rendah merupakan harta milik orang tua. Harta ini tidak dibedakan mana yang merupakan harta bersama dan mana pula yang merupakan harta bawaan. Dalam bahasa sehari-hari disebut dengan “harto carian bapak jo mande” (harta pencaharian bapak dan ibu).

Beranjak dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa perlakuan terhadap harta yang dimiliki tidak begitu dipersoalkan antara harta bersama dengan harta bawaan. Walaupun secara konsepsional masing-masing harta itu memiliki pengertian yang berbeda namun dalam prakteknya masyarakat tidak membedakan. Hal ini terbukti apabila salah seorang dari orang tua meninggal, status harta yang ditinggalkan tidak dipersoalkan oleh ahli waris apakah ia harta bersama atau harta bawaan. Ahli waris yang ada hanya menyatakan bahwa harta yang ditinggalkan oleh orang tua mereka adalah harta warisan. Maka dari itu, mereka berhak mewarisinya.

Hampir sama dengan pengertian harta pusaka rendah di atas, terdapat juga masyarakat yang mengelompokkan harta pusaka rendah menjadi beberapa kelompok.


(48)

Pada dasarnya, kelompok-kelompok tersebut merupakan penjabaran dari defenisi harta pusaka rendah sebagai harta milik seseorang yang diwariskan kepada anak-anaknya. Di antaranya dikemukakan sebagai berikut.

a. Pusako Tali Darah

Pusako tali darah adalah harta pusaka yang diperoleh dari hasil usaha ibu bapak dan diwariskan kepada keturunannya. Keturunan yang dimaksud di sini adalah anak kandung. Sesuai dengan sebutannya yaitu, bertali darah. Oleh sebab itu, apabila terdapat anak-anak lain yang tidak berasal dari ibu dan bapak yang mengusahakan harta tersebut (bukan anak kandung) maka anak itu tidak berhak mendapat harta pusaka ini.

Sebagai contoh, seorang suami atau seorang isteri mempunyai harta sebidang tanah yang diperoleh atas usaha bersama dan memiliki beberapa orang anak. Pada saat yang bersamaan, karena sesuatu hal suami itu menikah lagi dan mempunyai anak. Apabila suami dimaksud meninggal maka harta berupa sebidang tanah tadi adalah harta warisan untuk beberapa orang anaknya dengan isteri yang turut serta memperoleh harta itu. Adapun anak dari suami dengan isteri berikutnya tidak berhak atas sebidang tanah yang ditinggalkan disebabkan ibu dari anak itu tidak ikut dalam memperoleh harta tersebut.

b. Pusako Tali Aka

Pusako tali aka mempunyai arti harta pusaka yang berasal dari hasil usaha mamak. Harta ini terbagi lagi menjadi dua bagian. Pertama, harta yang diperoleh oleh mamak atas hasil usahanya semata dan kedua harta yang diperoleh oleh mamak atas


(49)

hasil usaha mamak dengan saudara perempuannya. Dengan kata lain, terdapat semacam modal usaha yang bersumber dari saudara perempuannya. Harta yang diperoleh oleh mamak dari hasil usahanya semata menjadi harta harta pusako tali darah bagi anak-anaknya. Oleh karena itu, jika mamak tadi meninggal maka harta ini akan menjadi milik anak-anaknya. Namun apabila harta yang diperoleh oleh mamak berasal atas bantuan atau kerjasama dari saudara perempuan maka kemenakan dari mamak tersebut (anak dari saudara perempuan) berhak atas harta yang diperoleh. Pewarisan dari mamak ke kemenakan seperti inilah yang disebut dengan pusako tali aka.

Sebagai contoh, sebidang tanah milik saudara perempuan diolah oleh seorang mamak. Dari hasil pengolahan yang dilakukan mamak terhadap sebidang tanah itu dapat pula dibeli oleh mamak sebidang tanah lainnya. Apabila mamak ini meninggal maka sebidang tanah yang telah dibeli tadi, di samping menjadi hak anaknya sebagai pusako tali darah juga terdapat hak dari anak saudara perempuannya sebagai pusako tali aka.

c. Pusako Tali Budi

Pusako tali budi merupakan harta hasil usaha seseorang yang diberikan kepada orang lain di luar keluarga disebabkan adanya hubungan baik. Pemberian ini ada yang kepemilikannya langsung menjadi hak orang yang diberi dan ada juga kepemilikannya yang dihubungkan dengan syarat tertentu. Kepemilikan langsung maksudnya setelah harta diberikan maka harta tersebut seketika itu juga langsung menjadi hak milik orang yang diberi. Adapun kepemilikan yang dihubungkan dengan


(50)

syarat, umumnya dilakukan dengan perjanjian dimana harta menjadi hak milik orang yang diberi sepanjang ia masih hidup. Apabila orang yang diberi harta telah meninggal maka kepemilikan atas harta yang diberikan kepadanya beralih kembali kepada keluarga atau ahli waris pemberi harta. Sebagai contoh, sebidang tanah atas tali budi diberikan kepada seseorang. Apabila tidak ditentukan lain maka sebidang tanah itu langsung menjadi milik seseorang tersebut. Namun apabila ditentukan lain maka kepemilikan seseorang yang diberi itu akan berakhir seiring dengan meninggalnya ia untuk kemudian beralih kembali menjadi milik si pemberi harta atau ahli waris si pemberi harta.

Berdasarkan uraian di atas tergambar bahwa harta pusako tali darah, pusako tali aka, dan pusako tali budi selama tidak ditentukan lain merupakan harta pusaka rendah. Dari itu cukup jelas bahwa harta pusaka rendah adalah harta yang benar-benar milik seseorang atau tidak tercampur dengan harta milik orang lain sehingga apabila terjadi peristiwa kematian maka akan beralih menjadi harta milik ahli waris.36

2. Hukum Yang Mengatur Pembagian Harta Pusaka Rendah

Telah sejak lama perobahan-perobahan struktur sosial Minangkabau disorot sebagai telah melemahnya ciri matrilineal dari susunan kekerabatannya. Perkembangannya antara lain mencerminkan semakin senggangnya hubungan seseorang dengan kemenakannya, serta dengan konsekwensinya semakin kokohnya

36 . Ahmad Syafruddin,

Makalah Metode Pewarisan Harta Pusaka Rendah, Kajian Yuridis Sosiologis, Padang, hal 2


(51)

hubungan dengan anaknya, proses perobahan ini bagaimanapun membawa berbagai masalah konflik kedalam kehidupan sosialnya .

Cara membagi harta benda seseorang yang telah meninggal merupakan satu diantara masalah tersebut. Ini tidak hanya merupakan masalah penerapan hukumnya saja, tetapi juga masalah pertentangan sistem hukumnya sendiri. Menurut hukum waris adat Minangkabau, harta peninggalan jatuh ketangan anggota kerabat dari garis keturunan keibuan, yang dalam hal ini adalah anak dari saudara yang meninggal, yaitu kemenakan-kemenakannya, sedangkan harta yang telah menjadi pusaka, diwarisi secara komunal yaitu dimiliki secara bersama-sama oleh para ahli waris . demikianlah pokok-pokok dari sistem kewarisan adat Minangkabau

Sebaliknya, kepentingan dari anak-anak dari yang meninggal mendapat perhatian yang utama dalam sistem kewarisan menurut Islam. Sistem ini hanya memungkinkan sikemenakan memperoleh warisan dari mendiang makanya, bila orang-orang yang lebih berhak mewarisi (yaitu anak-anak serta turun-turunan mereka, mereka, ayah dan ibu dan saudara-saudara dari mamaknya yang meninggal) telah lebih dulu meninggal. Sedangkan harta yang diwarisi dibagi-bagi diantara para ahli waris menurut cara-cara dan urutan-urutan pembagian tertentu.

Komplikasi yang ditimbulkan oleh kedua sistem kewarisan ini yaitu sistem kewarisan matrilineal komunal menurut hukum adat minangkabau dan sistem kewarisan bilateral individual menurut hukum Islam diperbesar oleh gejala-gejala perkembangan kehidupan masyarakat Minangkabau sendiri 37

37 Lembaga Pembinaan Hukum Nasional,

Pola-Pola Kewarisan Di Sumatera Barat Dewasa Ini, Fakultas Hukum Dan Pengetahuan Masyarakat Universitas andalas Padang ,1971


(52)

Semakin kuatnya kehidupan dalam satuan keluarga, yang terdiri dari suami, isteri, dan anak-anak mereka, antara lain berhubungan erat dengan cara pencaharian nafkah. Biaya hidup lama-lama tidak lagi lagi ditutup dengan menggarap harta pusaka kaum atau kerabat. Harta yang diperdapat dari hasil pencaharian ini di belanjakan untuk keperluan membiayai anggota-anggota keluarganya. Pembagian warisan yang berasal dari harta pencaharian inipun menjadi tantangan bagi berlakunya hukum kewarisan adat.38

Dengan demikian timbul dorongan untuk mengeluarkan hasil usahanya sendiri dari kelompok harta pusaka, yang sebelumnya dua bentuk harta itu berbaur dalam bentuk harta kaum. Selanjutnya mulailah pemisahan harta pencaharian dari harta pusaka. Kemudian dijelaskan pula bahwa harta pusaka yang sudah terlepas dari harta pencaharian tidak termasuk dalam lingkungan harta warisan yang harus mengikuti hukum faraidh.39

Pengertian “sesuai hukum faraidh” sebagaimana sering disebut bahwa pengertian yang sebenarnya dalam tinjauan dan pengertian orang yang mengetahui, bukan faraidh menurut pengertian awam yang berlaku di Minangkabau. Menurut pengertian awam sesuai dengan hukum faraidh ialah pewarisan untuk anak-anak, sebagai imbangan pewarisan secara adat ialah pewarisan untuk kemenakan. Atas

38 Iskandar Kamal,

Beberapa Aspek Dari Hukum Kewarisan Dalam Mochter Naim (Ed),

Menggali Tanah Dan Hukum Waris Mingangkabau, Center For Minangkabau Studies Press, Padang, 1968, Hal 158

39


(53)

dasar anggapan awam ini, bila harta pencaharian telah diwarisi oleh anak tanpa memperhatikan cara pembagiannya, maka yang demikian telah sesuai dengan hukum faraidh.40

Pewarisan harta pencaharian pada waktu ini dalam lingkungan adat Minagkabau sudah berbeda dengan pewarisan harta pusaka menurut adat lama. Menurut adat lama pewarisan berlaku menurut sistem matrilineal, yaitu pewarisan hanya melalui garis kerabat perempuan saja. Pada waktu ini sistem pewarisan demikian hanya diberlakukan terhadap harta pusaka.41

Dari hasil penelitian diketahui pula pada prakteknya, bahwa masyarakt Minangkabau menganggap penyelesaian harta warisan dalam bentuk harta pencaharian adalah persoalan keluarga yang dapat diselesaikan bersama oleh anggota keluarga, meski mereka tidak mengalami kesukaran dalam penyelesaian warisan tersebut. Kenyataan ini menunjukkan bahwa peranan pengadilan tidak banyak dalam penyelesaian harta pencahariaan, karena pada umumnya dapat diselesaikan di rumah masing-masing secara kekeluargaan. Timbulnya sengketa dalam hal ini disebabkan oleh adanya pihak yang ingin menguasai harta secara perorangan dan menuntut bagiannya atas harta warisan.

Menurut kenyataan yang berlaku di lingkungan Adat Minangkabau terdapat 2 cara dalam penyelesaian harta warisan yaitu :

40 Wawancara Khusus Dengan Sarwono, SH, M.H, Hakim Pengadilan Negeri Padang, tanggal

27 Februari 2009, dan ini senada diucapkan oleh Alidir Datuk Mudo, Ketua Karapatan Adat Nagari Koto Tangah, tanggal 27 Januari 2009

41


(54)

1. Harta warisan dimiliki bersama oleh ahli waris yang berhak. Hal ini berarti bahwa dalam peristiwa kematian itu tidak dilakukan pembagian harta warisan secara nyata. Bentuk tidak dibaginya harta warisan itu ada 3 kemungkinan.

a. Harta warisan tidak dibagi karena memeng tidak ada yang pantas untuk dibagi.

b. Ada harta yang mungkin dibagi di kalangan ahli waris, tetapi harta tersebut tidak dapat dibagi secara terpisah seperti rumah dan tanah. c. Harta warisan ada dan dapat dibagi tetapi tidak diadakan

pembagian karena memang ahli waris tidak menginginkannya untuk membagi harta tersebut secara terpecah – pecah.

Tidak terbaginya harta warisan biasanya berlaku pada harta peninggalan yang besar yang pada umumnya dalam bentuk barang yang tidak bergerak atau barang berharga lainnya. Sedangkan barang yang kecil – kecil dan dapat berpindah – pindah, diadakan pembagian secara kekeluargaan sesuai dengan bentuk kegunaannya.

2. Bentuk kedua dari harta pencarian ialah secara terbagi, dengan arti kata setiap ahli waris menerima haknya secara perorangan. Cara ini berlaku terhadap barang yang bergerak dan barang yang tidak bergerak. Inilah yang mengikuti azas individual dalam kewarisan.

Dalam pelaksanan azas individual tersebut, dari segi penentuan porsi bagian masing – masing terdapat dua cara, pertama membaginya sesuai dengan perincian dalam hukum Faraid dengan arti murni secara ilmu


(55)

faraid. Kedua membaginya menurut perdamaian dan musyawarah bersama dari seluruh yang berhak atas dasar keperluan masing – masing dan atas kerelaan bersama.42

Dalam uraian tersebut dapat disimpulkan dua hal pokok perbedaan antara apa yang secara teoritis dikehendaki oleh hukum kewarisan Islam dengan apa yang secara nyata terjadi dalam pewarisan harta pencaharian.

Pertama adanya kesepakatan di antara ahli waris yang berhak untuk memiliki bersama harta warisan dan tidak mengadakan pembagian secara nyata, yang menurut lahirnya dianggap tidak sejalan dengan azas individual yang dikehendaki oleh ajaran Islam.

Kedua adanya keinginan bersama ahli waris untuk menggunakan hak mereka atas harta warisan menurut mereka sepakati, yang mungkin dalam beberapa hal tidak persis seperti yang dikehendaki hukum faraid.

Dua perbedaan tersebut diatas adalah merupakan kelainan dari pelaksanaan hukum kewarisan dalam lingkungan adat Minangkabau43

3. Hukum Waris Islam

Hukum Islam merupakan bagian dari hukum positif (tata hukum) di Indonesia. Di antara banya bidang di dalam hukum Islam, misalnya hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum perwakafan, terdapat perbedaan keadaan berlakunya. Berlakunya hukum perkawinan Islam bagi orang Islam di Indonesia

42 Amir Syarifuddin,

Op Cit, hal 310

43


(56)

berbeda dengan berlakunya hukum kewarisan Islam bagi orang Islam di Indonesia. Berlakunya hukum perkawinan Islam bagi orang Islam bersifat memaksa. Padahal sesungguhnya, dilihat dari sudut pandangan ajaran Islam, baik hukum perkawinan maupun kewarisan merupakan hukum yang bersifat memaksa. Artinya, hukum yang tidak dapat disampingi dengan cara apapun.

Dalam literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan Hukum Kewarisan Islam seperti : Faraid, Fikh Mawaris, dan Hukum Al-waris. Kata yang lazim dipakai adalah Faraid.

Hukuum kewarisan ialah himpunan aturan-aturan hukum yang mengatur tentang siapa ali waris yang berhak mewarisi harta peninggalan seorang yang mati meninggalkan harta peninggalan. Bagaimana kedudukan masing-masing ahli waris serta bagaimana/berapa perolehan masing-masing ahli waris secara adil dan sempurna. Jadi hukum kewarisan adalah hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur tentang penyelisaian nasib kekayaan seseorang setelah meninggal dunia. 44

Definisi lain yang berkaitan dengan hukum kewarisan Islam disampaikan oleh Muhammad Asy-Syarbini, yakni Ilmu Fiqhi yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang tata cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan mengenai bagian-bagian wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak pusaka. 45

44

T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris (Hukum Warisan Dalam Syari’at Islam), Bulan Bintang, Jakarta, Cetakan Pertama, 1973, hal 18, dikutip dari Pahing Sambiring, Hukum Islam II Bidang Hukum Waris Islam (Faraid), Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan,2002, hal 1

45 Muhammad Asy-syarbini, Mughnil Muhtez, Jus III hal 3, Dikutip dari A. Rahmad


(57)

Dalam Pasal 171 huruf (a) kompilasi Hukum Islam, Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa pembagiannya masing-masing. Hukum kewarisan baru dapat berlaku jika pewaris adalah beragama Islam dan yang menerima juga beragama Islam. Dengan demikian pelaksanaan hukum waris bagi umat Islam merupakan Ibadah.

Dari definisi-definisi yang ada mengenai Hukum Kewarisan Islam apat diambil kesimpulan bahwa Hukum Kewarisan Islam menitikberatkan pada segi orang yang mewaris, berapa bagian masing-masing ahli waris , dan cara perhitungan harta peninggalan.

Kewarisan Islam sebagai bagian dari syari’at islam tidak dapat dipisahkan dengan aspek-aspek lain dari ajaran islam. Karena penyusunan kaidah-kaidah harus didasarkan pada sumber yang sama seperti halnya aspek-aspek yang lain dari ajaran Islam tersebut. Sumber-sumber Islam itu adalah Al-Qur’an, Sunnah Rasul dan Ijtihad. Ketiga sumber ini pula yang menjadi sumber hukum kewarisan Islam.46 Penggunaan ketiga sumber ini didasarkan kepada ayat Al-Qur’an sendiri dan hadits Nabi. Salah satu ayat yang menyinggung tentang hal ini adalah Al-Qur’an Surah An-Nisa (4):59, yang terjemahannya :

“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya) dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)...”

46 Abdul Ghofur Anshori,

Hukum Kewarisan islam di Indonesia Eksistensi dan Adaptabilitas, Ekonisia, Yogyakarta,2002, hal 6


(58)

Ayat ini memberi pengertian bahwa orang mukmin diharuskan untuk mengikuti atau taat kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri. Hak ini dapat diberikan pengertian, bahwa seorang mukmin senantiasa dalam memecahkan berbagai aspek harus mengikuti, dan didasarkan pada ketiga sumber tersebut. Karena itu pengertian taat kepada Allah, dimaknakan dengan sumber Sunnah, dan Ulil Amri dimaknakan sebagai sumber Ijtihad para Mujtahid.47

Sebagai hukum agama yang terutama bersumber kepada wahyu Allah yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW, hukum kewarisan Islam mengandung berbagai asas yang dalam beberapa hal berlaku pula dalam hukum kewarisan yang bersumber dari akal manusia. Berbagai asas hukum ini memperlihatkan bentuk karakteristik dari hukum kewarisan Islam itu.

Asas-asas hukum kewarisan Islam yang dapat disalurkan dari Al-Quran dan Hadist seperti tersebut diatas adalah : (1) Ijbari, (2) Bilateral, (3) Individual, (4) Keadilan berimbang, (5) Akibat kematian.48

1. Asas Ijbari

Asas Ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah SWT tanpa tergantung pada kehendak dari pewaris ahli waris.

47

Ibid, hal 6

48 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam,

Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal 128


(1)

kemungkinan untuk memberikan hibah atau hibah wasiat kepada kemenakannya jika dalam kenyataannya memerlukan bantuan. Dalam pelaksanaan pewarisan harta pencaharian ini diperlukan pemahaman yang dalam mengenai ajaran Islam sebagai sistem sosial baik dikalangan masyarakat umum maupun dilingkungan pengemban amanat rakyat.

2. Berbagai faktor yang menjadi penyebab bergesernya pewarisan harta pusaka rendah dalam masyarakat adat Minangkabau, diharapkan dengan perkembangan zaman yang terjadi janganlah sampai menghapuskan ciri khas dari budaya adat Minangkabau yang mempunyai falsafah yang menyatakan “anak dipangku kemenakan di bimbing” .dimana berdasarkan sistem keturunan menurut adat

Minangkabau, maka seorang yang merupakan masyarakat adat Minangkabau sebenarnya mempunyai dua orang pelindung, yaitu yang pertama merupakan mamak, dan yang kedua merupakan ayah. Dengan demikian dengan hal pewarisan mamak akan tetap berusaha melindungi kemenakannya dengan memberikan warisan tentunya dengan portie yang tertentu yang layak bagi kemenakan dan tidak merugikan ahli waris sebenarnya dan ayahpun akan demikian pula.

3. Dari kenyataan yang terjadi pada pembagian pewarisan harta pusaka tinggi secara ganggam bauntuak, pambaoan dan dapatan yang jangka waktunya sering tidak di tentukan oleh kaum, dan pembagiannya dilakukan tidak secara tertulis sehingga tidak jarang terjadi percampuran harta pusaka tinggi dan pusaka rendah yang kerap menimbulkan sengketa diantara keluarga. Maka sebaiknya dalam


(2)

perpindahan harta dilakukan dengan menggunakan akta Notaris, sehingga status harta dan ahli waris relatif lebih jelas karena adanya kepastian hukum dari akta tersebut. Dengan demikian diharapkan dapat mengurangi terjadinya sengketa di dalam kehidupan berkeluarga mengenai pembagian harta (meskipun pada akhirnya dapat diselesaikan secara musyawarah dan mufakat, atau yang bersangku paut dengan harta


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Alihsyahbana, St. Takdir, System Matriaki Minangkabau dan Kedudukan Perempuan, Internasional seminar on Minangkabau, Jakarta 1980

Aliumar Tasyrif dan Hamdan Faisal, Hukum Adat dan Lembaga-lembaga Hukum Adat di Sumatera Barat, Proyek Kerja Sama Badan Pembinaan hukum Nasional, Fakultas Hukum Universitas Andalas, 1978

Anwar Chairul, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Rineka

Cipta, Jakarta, 1997,

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan nadan Pusat Statistik Padang, Padang dalam Angka, 2007

Beckmann, Keebet Von Benda , Goyahnya Tangga Azfentyu Alufakal, Grasindo,

Jakarta, 2000

DT. Rajo Penghulu H. Idrus Hamkimy, Pokok-pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, PT.Remaja Rosdakarya, bandung, 2004,

Haar Teer, Asas-asas dan susunan Hukum Adat, Terjemahan Subakti Pusponoto,

Jakarta : Pradnya Paramita

Hakimy, Idrus, Pokok-pokok Pengetahuan hukum Adat Minangkabau, Bandung,

Remadja, 1984.

__________, “Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau”, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991.

Hamka, A d a t M i n a n g k a b a u d a n H u k u m P u s a k a n y a , M ukht ar Na im (ed), (Center for Minangkabau Studies: Padang, 1968.

Hoetomo,M.A, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Mitra Buku Pelajar Surabaya. Irianto, Heru dan Bungin, Burhan, Pokok-Pokok Penting Tentang Wawancara, Dalam

Burhan Bungin (Ed) Metodologi Penelitian Kualitatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2001


(4)

Iskandar Dr Kemal, Beberapa aspek dari hukum kewarisan Matrilineal ke Bilateral di Minangkabau, dalam Mukhtar Naim, (center for Minangkabau studies :

Padang, 1968)

Jahja, Hukum Waris dan Tanah dan Praktek-praktek Peradilan, dalam Mochtar Naim

(ed) (Center for Minangkabau Studies: Padang, 1968

Koesnoe,Moll, Catatan-Catatan Terhadap hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press, Surabaya, 1979

Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, Pola-Pola Kewarisan Di Sumatera Barat Dewasa Ini, Fakultas Hukum Dan Pengetahuan Masyarakat Universitas

Andalas Padang ,1971

Mahadi, Kasus peradilan terhadap Dr. Muchtar ini di kutip dalam beberapa sendi hukum di Indonesia, seksama, Jakarta, 1954

Mahyuddin H Suardi, Rahman Drs Rustam, Hukum Adat Minangkabau Dalam Sejarah Perkembangan Nagari Rao-Rao, Yayasan Gebu Minangkabau,

Jakarta, 2002

Manan,Abdul, Hukum Islam Dalam Berbagai wacana, Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003

Moleong J Lexy, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1990.

MS, Amir, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang (buku I), Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 2003

__________, Tanya Jawab Adat Minangkabau, Hubungan Mamak Rumah Dengan Sumando, Cetakan ke-2, PT. Mutiara Sumber Widya.2003, hal 30

Nain, Syafnir Abu, Rosnida, Ishaq Thaher, Kedudukuan dan Peranan WanitaDalam Kebudayaan Suku Bangsa Minangkabau, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998

Nasroen, Dasar Falsafah Adat Minangkabau, Bulan Bintang, Jakarta, 1971.

Radjab Muhamad, system kekerabatan di Minangkabau, center for Minangkabau


(5)

Saleh Salmi, Minangkabau Menjawab Tantangan Jaman, LAHP Medan, 2002

Samad, Duski, Adat Basandi Syarak Nilai Dan Aplikasinya Menuju Kembali Ke Nagari Dan Surau, Kartika Insane Lestari Presss, Jakarta, 2003

Schrieke, B, Indonesian Sociological Studies, (Bandung: Sumur Bandung,

1980)

Sembiring, Pahing, Hukum Islam II, Bidang hukum Waris Islam ( Faraidh), Fakultas

hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2002

__________, “Islam dan Adat Minangkabau”, Tintamas, Jakarta, 1982.

Sihombing Herman dan Salim Mahjuddin, Hukum Adat Minangkabau Dalam Keputusan Pengadilan Negeri di Sumatera Barat, Alumni, Bandung, 1975

Sjarif, Surini, Ahlan, Elmiyah, Nurul Hukum Kewarisan Perdata Barat Pewarisan Menurut Undang-Undang, Kencana, Jakarta, 2005

Soepomo, R, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2003 Sunggono,Bambang, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta

1997.

Syarifuddin, Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta Gunung Agung, 1984

Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1996.

Wignjosoebroto, Sutandyo tth “ Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu ? “, Kertas Kerja, Univ. Airlangga, Surabaya.

Yakub B. Nurdin, Hukum Kekerabatan Minangkabau, pustaka Indonesia, Bukittinggi, 1995

Zainuddin H Musyair, Implementasi Pemerintahan Nagari Berdasarkan Asal Usul Adat Minangkabau, Ombak, Yogyakarta ,2008

B. Peraturan Perundang-undangan

Peraturan daerah Sumatera barat Nomor 9 tahun 2000, Tentang Pokok Pemerintahan Nagari


(6)

123

Putusan Pengadilan Negeri Padang Nomor 100/Pdt.G/2001 PN.PDG Putusan Pengadilan Nomor 112/PDT.G/2001. PN. PDG

Pengadilan Tinggi Padang Nomor 124/PDT/ 2002/ PT. PDG Putusan ahkamah Agung nomor 1807 K/ Pdt/ 2003.

C. Makalah

Syarifuddin Ahmad, Metode Pewarisan Harta Pusaka Rendah Kajian Yuridis Sosiologis, Padang,

D. Internet

Internet, Http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunair-gdl-s3-1997 Internet, Http://palantaminang.wordpress.com/2008/11/21,

Internet, Http://ethnotourism.blogspot.com/2009-01-11-archive-html

Internet,Http://groups.google.com/group/jasuda/browse-thread/b..ga?hl=en&le=UTF-8&q,

Internet,http://www.komisiyudisial.go.id/Buletin/Buletin%20Vol%20I/No%203%20 Des%202006/P.p