BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Penambahan Alkanolamida Terhadap Karakteristik Pematangan Dan Kekerasan Vulkanisat Karet Alam Berpengisi Kaolin
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
KARET ALAM DAN VULKANISASI
Karet Alam adalah polimer hidrokarbon yang berasal dari emulsi kesusuan
(dikenal sebagai lateks) pohon karet, Hevea brasiliensis (Euphorbiaceae). Ini
dilakukan dengan cara melukai kulit pohon karet sehingga menghasilkan lateks
karet alam. Melalui serangkaian proses lateks karet alam diubah menjadi karet
kering (dry rubber) yang kenyal. Bahan baku karet kering ini kurang memiliki
manfaat mekanis karena sifatnya yang lembut (plastis), lemah, dan lain
sebagainya.
Vulkanisasi adalah suatu proses dimana molekul karet yang linier
mengalami reaksi sambung silang sulfur (sulfur-crosslinking) sehingga menjadi
molekul polimer yang membentuk rangkaian tiga dimensi. Reaksi ini merubah
karet yang bersifat plastis (lembut) dan lemah menjadi karet yang elastis, keras
dan kuat. Vulkanisasi juga dikenal dengan proses pematangan (curing/cure), dan
molekul karet yang sudah tersambung silang (crosslinked rubber) dirujuk sebagai
vulkanisat karet (rubber vulcanizate) [11]. Vulkanisat karet tidak lagi bersifat
lengket (tacky), tidak melarut tetapi hanya mengembang di dalam pelarut organik
tertentu.
Gambar 2.1 Reaksi Vulkanisasi dan Ikatan Sambung Silang
Universitas Sumatera Utara
Tidak seperti awal ditemukannya oleh Charles Goodyear di tahun 1939,
dimana reaksi sambung silang oleh sulfur ini memerlukan waktu yang relatif
sangat lama. Dewasa ini dengan ditambahkannya bahan pencepat (accelerator
agent) ke dalam ramuan karet maka proses vulkanisasi hanya memerlukan waktu
dalam hitungan menit saja. Sistem vulkanisasi yang terakhir ini dikenal sebagai
sistem vulkanisasi sulfur terakselerasi. Secara umum sistem ini diklassifikasikan
menjadi 3 (tiga) yaitu pemvulkanisasian konvensional, semi-efisien, dan efisien.
Sistem vulanisasi efisien adalah sistem vulkanisasi dimana jumlah sulfur
yang rendah dan jumlah bahan pemercepat yang tinggi atau pematangan tanpa
sulfur digunakan pada vulkanisat yang mana dibutuhkan tahanan panas dan
tahanan kembali yang sangat tinggi. Pada sistem pematangan konvensional,
jumlah sulfur tinggi dan bahan pemercepat sedikit. Sistem vulkanisasi
konvensional memberikan kelenturan dan sifat-sifat dinamis yang lebih baik
tetapi tahanan panas dan tahanan kembali yang buruk. Untuk tingkat yang
optimum dari sifat-sifat mekanik dan dinamis vulkanisat dengan panas,
pengembalian, kelenturan, dan sifat-sifat dinamis tingkat menengah, disebut
vulkanisasi semi efisien dengan tingkat menengah bahan pemercepat dan sulfur
digunakan.
Untuk tujuan pembedaan, ketiga sistem ini dibedakan berdasarkan
perbandingan antara jumlah sulfur dan jumlah bahan pencepat yang ditambahkan
ke ramuan karet. Sebagai contoh sistem konvensional mengandung lebih banyak
sulfur dibandingkan bahan pencepat. Sistem efisien mengandung bahan pencepat
lebih banyak, sedangkan sistem semi-efisien jumlah sulfur dan bahan pencepat
adalah sama banyak atau hampir sama banyak. Formulasi bagi ketiga sistem
tersebut ditunjukkan oleh tabel 2.1. berikut ini :
Tabel 2.1. Pengklasifikasian Sistem Vulkanisasi Sulfur Terakselerasi [4].
Sisitim
Komposisi sulfur Komposisi bahan
Nilai E
Vulkanisasi
(bsk)*
pencepat (bsk)*
Konvensional
2,0 – 3,5
1,2 – 0,4
8 – 25
Semi-efisien
1,0 – 1,7
2,5 – 1,2
4–8
Efisien
0,4 – 0,8
5,0 – 2,0
1,5 - 4
*) bsk = bagian per-seratus bagian karet.
Universitas Sumatera Utara
Pada sistem vulkanisasi konvensional akan menghasilkan ikatan silang
jenis polisulfida yang fleksibel, sehingga ketahanan letih (fatique) dan ketahanan
retak lenturnya baik serta kekuatan tarik (tensile strength) yang tinggi. Tetapi
ketahanan usang pada suhu tinggi (heat ageing) sangat rendah karena ikatan
polisulfida tidak mantap pada suhu tinggi.
Pada sistem vulkanisasi efisien karena jumlah belerangnya lebih kecil
daripada jumlah bahan pencepat maka setiap ikatan silang mengandung sedikit
mungkin jumlah atom belerang. Hampir 80 persen ikatan silang yang terbentuk
yaitu jenis monosulfida yang mempunyai sifat tahan suhu tinggi namun ketahanan
letih dan retak lenturnya rendah. Ikatan monosulfida tahan panas tetapi tidak
fleksibel dan sekali ikatan tersebut putus tidak ada yang menggantikannya.
Sistem vulkanisasi semi efisien disusun untuk memperbaiki kelemahan
kedua sistem vulkanisasi di atas. Sistem vulkanisasi semi efisien menghasilkan
ketahanan retak lentur dan letih serta ketahanan usang yang baik. Selain itu,
sistem ini memiliki ketahanan reversi yang tinggi pada karet alam dan
memberikan pampatan tetap yang rendah, sehingga cocok untuk pembuatan
barang karet berukuran besar dan tebal yang menghendaki sifat kelenturan yang
baik [5].
Untuk tujuan pembedaan antara sistem efisien dengan yang tidak efisien
(sistem konvensional), digunakan faktor efisiensi sambung silang (E). Faktor ini
diartikan sebagai jumlah bilangan atom sulfur per satu sambung silang yang
terbentuk. Nilai E yang lebih rendah berarti penggunaan sulfur sebagai bahan
penyambung silang adalah lebih efisien [7]. Perbandingan ketiga jenis sistem
vulkanisasi tersebut, dari segi struktur vulkanisat karet dan beberapa sifat akhir
ditunjukkan pada tabel 2.2. Disebabkan sistem efisien menggunakan sulfur paling
sedikit, maka sistem ini cenderung membentuk mayoritas struktur ikatan
monosulfida serta menghasilkan tingkat reaksi kimia rantai utama yang rendah.
Sistem ini juga meminimisasi ataupun meniadakan reversi (penurunan sifat-sifat
elastisitas dan kekuatan sebagai akibat oksidasi karena panas dan penuaan (aging)
dari vulkanisat karet), kecuali untuk suhu vulkanisasi yang terlalu tinggi.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2. Struktur dan Sifat-Sifat Vulkanisat Karet (Ismail & Hashim, 1998).
Sistem Pemvulkanisasian
Konvensional
Semi-efisien
Efisien
Sambung silang di-, polisulfida, %
95
50
20
Sambung silang monosulfida, %
5
50
80
Konsentrasi siklis sulfida
Tinggi
Sedang
Rendah
Tahanan koyak
Tinggi
Sedang
Rendah
Ketahanan degradasi karena panas
Rendah
Sedang
Tinggi
Ketahanan reversi
Rendah
Sedang
Tinggi
Set mampatan, % (22 jam / 70 oC)
30
20
10
Struktur dan Sifat vulkanisat
Karet alam (Natural Rubber) dapat divulkanisasi dengan memakai salah
satu dari sistem sulfur terakselerasi diatas, tetapi ramuan sistem semi-efisien
ataupun sistem efisien lebih disarankan [4] karena menghasilkan vulkanisat karet
alam dengan sifat ketahanan penuaan yang lebih baik.
NATURAL RUBBER
Gambar 2.2. Mekanisme Reaksi Vulkanisasi
Universitas Sumatera Utara
2.2
KOMPON KARET (RUBBER COMPOUNDING)
Sebelum mengalami proses vulkanisasi, karet dan sejumlah bahan ramuan
terlebih dahulu mengalami proses pencampuran (mixing), sehingga membentuk
suatu persenyawaan/kompon karet (a rubber compound). Pencampuran dilakukan
dengan menggunakan alat pencampur penggulung-dua (two-roll mill), dimana
pada alat tersebut karet terlebih dahulu diubah menjadi bahan yang plastis
(lembut), sehingga bahan-bahan ramuan dapat tersebar secara merata dalam phasa
karet. Pelembutan karet ini dirujuk sebagai proses mastikasi. Selain karet yang
merupakan bahan dasar, bahan ramuan yang terlibat pencampuran adalah :
•
bahan penyambung silang, seperti sulfur.
•
pengaktif pencepat (accelerator activator), seperti ZnO dan asam stearat.
•
pencepat reaksi sambung silang (accelerator), seperti merkaptobenzotiazolil disuldida (MBTS), N-Sikloheksil-2-benzol tiazolsulfenamida
(CBS).
•
penahan degradasi sifat-sifat karet (antidegradant), seperti N-isopropil-N´fenil-p-fenilin diamina (IPPD).
Setelah proses pencampuran selesai maka diperoleh kompon karet yang siap
untuk divulkanisasi pada suhu 140 – 180 oC, selama waktu vulkanisasi optimum.
Penentuan waktu vulkanisasi yang optimum dilakukan dengan menggunakan alat
Rheometer atau Curemeter. Sejumlah tertentu dari sampel kompon karet (lebih
kurang lima gram) dimasukkan kedalam cakram (disc) dari rheometer lalu
dimatangkan/divulkanisasi pada suhu setting 150 oC dan waktu setting 30 menit.
Keluaran (output) dari alat rheometer ini adalah berupa rheograf yang memuat
informasi-informasi karaktersitik pematangan (cure characteristics) yang
diperlukan untuk pemrosesan kompon karet seperti, Torque (tork) maksimum dan
minimum, waktu skorj (scorch time), dan t90. T90 adalah waktu yang diperlukan
untuk mencapai 0.90 (Tork maksimum – Tork minimum), dan t90 dirujuk sebagai
waktu pematangan (vulkanisasi) yang optimum, yaitu waktu pematangan atau
derajat pematangan yang akan menghasilkan vulkanisat karet dengan sifat-sifat
karet yang optimum [7].
Universitas Sumatera Utara
2.3
PENGUATAN KARET (RUBBER REINFORCEMENT)
Setelah informasi mengenai waktu pematangan optimum diketahui, maka
untuk tahap selanjutnya kompon karet divulkanisasi pada suhu setting 150 oC
selama t90 (menit). Melalui reaksi vulkanisasi akan diperoleh suatu vulkanisat
karet yang kaku (stiff), kuat dan elastis. Kekakuan, kekuatan dan keelastisan dari
vulkanisat karet, yang diindikasikan oleh sifat-sifat uji tarik (tensile properties)
nya, masih dapat ditingkatkan lagi dengan menambahkan pengisi penguat
(reinforcing filler) ke dalam kompon karet. Sebagai contoh vulkanisat karet
sintetik SBR tak berpengisi (gum vulcanizate) memiliki kekuatan tarik (tensile
strength) yang tidak akan melebihi 22 kgf/cm2, tetapi dengan menambahkan
carbon black (salah satu pengisi penguat) sebesar 50,0 bagian per-seratus bagian
karet SBR tersebut maka kekuatan tariknya akan menjadi 250 kgf/cm2 [2].
Penambahan pengisi-pengisi penguat untuk tujuan penguatan karet
(rubber reinforcement) dilakukan pada saat komponding/pencampuran. Penguatan
(reinforcement) disebabkan oleh daya interaksi antara karet dengan pengisi
penguat. Daya ini berupa daya Van der Waals yang lemah sampai kepada ikatanikatan kimia yang kuat. Semakin kuat daya interaksi antara karet dengan pengisi
penguat maka semakin tinggi pula derajad penguatan (degree of reinforcement)
yang dihasilkan oleh pengisi penguat tersebut. Peningkatan daya interaksi antara
karet dengan pengisi penguat dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu seperti jenis
dan ukuran partikel pengisi penguat, sifat-sifat kimia dan fisika dari karet dan
pengisi penguat, dan sifat geometri (porositas dan struktur) dari pengisi penguat.
Dengan pertimbangan harganya yang murah, maka dalam industri karet
penggunaan Kaolin hanya bertujuan untuk memurahkan ongkos produk saja,
bukan untuk menguatkan karet. Setiap jenis pengisi memberikan sifat-sifat
tertentu kepada karet sebagai akibat dari permukaan kimianya yang spesifik.
Akibat kehadiran gugus silanol pada permukaannya, maka partikel pengisi Kaolin
adalah lebih polar (berkutub) dibanding carbon black, sehingga interaksi nya
dengan karet hidrokarbon akan menjadi lemah. Sebaliknya, partikel-partikel
Kaolin cenderung untuk berinteraksi sesamanya, dan membentuk partikel dengan
ukuran yang lebih besar (aggregate). Selama interaksi Kaolin dengan molekul
karet adalah lebih lemah dari interaksi Kaolin dengan Kaolin, maka yang terjadi
Universitas Sumatera Utara
adalah pembentukan aggregat Kaolin yang besar (agglomerate), penyebaran
(dispersi) partikel Kaolin didalam phasa karet yang tidak merata, dan ini berakibat
kepada effek penguatan (reinforcing effect) dari Kaolin menjadi rendah.
2.4
PENGISI-PENGISI SELAIN KARBON BLACK
Dalam sains dan teknologi karet, pengisi dapat dikelompokkan sebagai
pengisi hitam dan pengisi putih. Pengisi hitam adalah carbon black, sedangkan
pengisi putih adalah kalsium karbonat, Kaolin, silika, talc, wollastonite, mika, dan
diatomit. Dari kesemuanya, pengisi putih yang paling luas digunakan secara
jumlah dan kegunaan adalah kalsium karbonat, Kaolin dan silika.
Kaolin merupakan persenyawaan aluminosilikat. Kristal-kristal Kaolin
diikat melalui ikatan hidrogen dari lapisan oktahedral yang menghadap gugus
oksigen dari lapisan yang berdekatan. Kaolin diklasifikasikan sebagai salah satu
“keras” atau “lembut” sehubungan kepada ukuran-ukuran partikel mereka dan
pengerasan pada karet. Kaolin yang keras akan mempunyai ukuran partikel ratarata sekitar 250 – 500 nm, dan akan memberikan modulus yang tinggi, kekuatan
tarik yang tinggi, kekakuan, dan tahan abrasi yang baik terhadap kompon-kompon
karet. Kaolin yang lembut mempunyai ukuran partikel rata-rata sekitar 1000-2000
nm dan digunakan dimana pengisi yang tinggi (untuk ekonomi) dan kecepatan
ekstrusi lebih cepat lebih penting dibanding kekuatan.
2.5
KAOLIN SEBAGAI PENGISI PENGUAT
Kaolin merupakan pengisi putih yang paling banyak digunakan, karena
memiliki beberapa kelebihan, terutama karena harganya yang murah. Kaolin,
yang mempunyai rumus molekul Al2O3.SiO2.2H2O, merupakan bahan mineral
yang disediakan dengan empat cara berbeda (Dubois, 1987; Barlow, 1988), yaitu
pengapungan udara (air-floated), pembasuhan air (water-washed), kalsinasi
(calcined), dan modifikasi kimia. Kaolin jenis pengapungan udara yang paling
banyak digunakan bagi pengomponan karet.
Kaolin yang disediakan secara pengapungan udara dapat dibagi menjadi
dua, yaitu Kaolin keras dan Kaolin lembut. Kaolin keras dalam pengomponan
karet menghasilkan kekakuan yang lebih tinggi, sedangkan Kaolin lembut lebih
Universitas Sumatera Utara
sering digunakan untuk operasi ekstrusi. Kaolin hasil kalsinasi jarang digunakan
dalam industri karet, kecuali dalam pembuatan kabel, sedangkan Kaolin hasil
modifikasi kimia menghasilkan viskositas Mooney, dan set mampatan yang
rendah [6].
Sama seperti pengisi-pengisi putih lainnya, mineral Kaolin bersifat polar,
sehingga kurang serasi dengan karet yang berifat non polar. Effek kepolaran ini
akan membuat interaksi antara pengisi Kaolin menjadi kurang kuat, dan
pendispersian yang kurang merata bagi Kaolin di dalam molekul karet.
2.6
ALKANOLAMIDA SEBAGAI BAHAN PENYERASI
Agar efisiensi penguatan dari Kaolin menjadi lebih baik, maka perlu
penambahan bahan yang dapat mengurangi kepolaran dari Kaolin. Untuk itu
Alkanolamida akan ditambahkan ke dalam kompon karet alam berpengisi Kaolin
pada saat komponding dengan memakai two-roll mill. Alkanolamida adalah
senyawa-senyawa amida tersier yang dapat diperoleh melalui proses sintesa yang
disebut dengan amidasi, yaitu mereaksikan senyawa-senyawa turunan minyak
sawit dengan dietanolamida menggunakan katalis CH3ONa. Amida minyak sawit
hasil sintesa tersebut memiliki sifat gabungan antara rantai hidrokarbon yang
panjang
(CnHm)
yang
bersifat
non
polar
dan
gugus amida {(-
CON(C2H4OH)2} yang polar, seperti diilustrasikan pada gambar 2.3. berikut :
Gambar 2.3. Struktur Alkanolamida
Keunikan dari sifat gabungan yang dimiliki oleh amida-amida asam lemak
tersebut memungkinkan bahan-bahan tersebut untuk digunakan sebagai
bahan-bahan penyerasi pada proses penguatan karet alam dengan
Kaolin.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4. Reaksi Pembentukan Alkanolamida
Diharapkan dengan ditambahkannya alkanolamida
ke dalam kompon karet
berpengisi Kaolin, maka interaksi antara Kaolin dengan karet alam
menjadi lebih kuat, dengan asumsi rantai karbon panjang yang non polar
akan berinteraksi dengan molekul karet alam yang non polar, sedangkan
gugus amida yang polar akan berinteraksi dengan Kaolin yang juga
polar,
sehingga
akan
terbentuk
ikatan/interaksi
karet
alam—
(alkanolamida)—Kaolin, seperti pada gambar 2.5. berikut :
Gambar 2.5. Struktur Karet Alam - Alkanolamida – Kaolin
2.7
ANALISA BIAYA
Tabel 2.3 Perhitungan Ekonomi
No
Nama Bahan
Harga
Keterangan
1
Diethanolamin P.A
Rp 1.725.000
botol/larutan 1 L
2
Natrium Metoksida
Rp 1.250.000
botol/padatan 250 gr
3
Natrium klorida P.A
Rp 250.000
botol/padatan 1 Kg
4
Natrium Sulfat Anhidrous
Rp 350.000
botol/padatan 1 Kg
5
Dietil eter
Rp 1.650.000
botol/larutan 5 L
6
Metanol teknis
Rp 20.000
botol/larutan 1 L
7
RBDPS
RP 5.000
padatan 1 Kg
Diketahui :
BM RBDPS = 835,922 gr/mol
Universitas Sumatera Utara
BM Diethanolamin = 105 gr/mol
BM Alkanolamida = 352,973 gr/mol
Massa RBDPS yang digunakan = 91,6 gr
Massa Diethanolamin = 42,16 gr
Mol RBDPS = 91,6 / 835,922 = 0,109 mol
Mol Diethanolamin = 42,16 / 105 = 0,401 mol
RBDPS
+ 3 Diethanolamin → 3 Alkanolamida + Gliserol
Awal
0,109
0,401
Reaksi
0,109
0,327
0,327
0,109
0
0,074
0,327
0,109
Sisa
-
-
Massa Alkanolamida yang dihasilkan = 0,327 mol x 352,973 gr/mol = 116 gr
Basis : Produksi 116 gram alkanolamida
Biaya produksi antara lain :
I.
Biaya Bahan Baku
II.
Biaya Maintenance Peralatan
III.
Biaya Tenaga Kerja
I. Biaya Bahan Baku
-
RBDPS
RBDPS yang digunakan adalah sebanyak 91,6 gr. Maka biaya produksinya adalah
:
91,6 gr x Rp 5000/1000 gr = Rp 458
-
Diethanolamin
Diethanolamin yang digunakan adalah sebanyak 42,16 gr. Maka biaya
produksinya adalah :
42,16 gr x
-
1
1,097 𝑔𝑟/𝑚𝑙
x Rp 1.725.000/1000 ml = Rp 66.295
Natrium Metoksida
Natrium Metoksida yang digunkan adalah sebanyak 10 gr. Maka biaya
produksinya adalah :
10 gr x Rp 1.250.000/250 gr = Rp 50.000
-
Metanol
Universitas Sumatera Utara
Methanol yang digunakan adalah sebanyak 40 ml. Maka biaya produksinya
adalah :
40 ml x Rp 20.000/1000 ml = Rp 800
-
Dietil eter
Dietil eter yang digunakan adalah sebanyak 200 ml. Maka biaya produksinya
adalah:
200 ml x Rp 1.650.000/5000 ml = Rp 66.000
-
Natrium Sulfat Anhidrous
Natrium Sulfat Anhidrous yang digunakan adalah sebanyak 20 gr. Maka biaya
produksinya adalah :
20 gr x Rp 350.000/1000 gr = Rp 7000
-
NaCl
NaCl yang digunakan adalah sebanyak 50 ml. Maka biaya produksinya adalah :
50 ml x 2,16 gr/ml x Rp 250.000/1000 gr = Rp 27.000
Maka, total biaya bahan baku adalah = Rp 458 + Rp 66.295 + Rp 50.000 + Rp
800 + Rp 66.000 + Rp 7000 + Rp 27.000 = Rp 217.553
II. Biaya Maintenance Peralatan
Asumsi biaya maintenance peralatan sebesar 10% dari total biaya bahan baku,
maka:
Biaya maintenance peralatan = 0,1 x Rp 217.553 = Rp 21.755
III. Biaya Tenaga Kerja
Asumsi biaya tenaga kerja sebesar 100% dari total biaya bahan baku, maka :
Biaya tenaga kerja = 100% x Rp 217.553 = Rp 217.553
Maka, total biaya produksi ; Rp 217.553 + Rp 21.755 + Rp 217.553 = Rp
456.861
Biaya produksi per alkanolamida yang dihasilkan = Rp 456.861 / 116 gr
= Rp 3.938/gr
Target keuntungan = 15%, maka keuntungan = 0,15 x Rp 3.938 = Rp 590/gr
Jadi, harga jual produk adalah = Rp 3.938 + Rp 590 = Rp 4.528/gr
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
KARET ALAM DAN VULKANISASI
Karet Alam adalah polimer hidrokarbon yang berasal dari emulsi kesusuan
(dikenal sebagai lateks) pohon karet, Hevea brasiliensis (Euphorbiaceae). Ini
dilakukan dengan cara melukai kulit pohon karet sehingga menghasilkan lateks
karet alam. Melalui serangkaian proses lateks karet alam diubah menjadi karet
kering (dry rubber) yang kenyal. Bahan baku karet kering ini kurang memiliki
manfaat mekanis karena sifatnya yang lembut (plastis), lemah, dan lain
sebagainya.
Vulkanisasi adalah suatu proses dimana molekul karet yang linier
mengalami reaksi sambung silang sulfur (sulfur-crosslinking) sehingga menjadi
molekul polimer yang membentuk rangkaian tiga dimensi. Reaksi ini merubah
karet yang bersifat plastis (lembut) dan lemah menjadi karet yang elastis, keras
dan kuat. Vulkanisasi juga dikenal dengan proses pematangan (curing/cure), dan
molekul karet yang sudah tersambung silang (crosslinked rubber) dirujuk sebagai
vulkanisat karet (rubber vulcanizate) [11]. Vulkanisat karet tidak lagi bersifat
lengket (tacky), tidak melarut tetapi hanya mengembang di dalam pelarut organik
tertentu.
Gambar 2.1 Reaksi Vulkanisasi dan Ikatan Sambung Silang
Universitas Sumatera Utara
Tidak seperti awal ditemukannya oleh Charles Goodyear di tahun 1939,
dimana reaksi sambung silang oleh sulfur ini memerlukan waktu yang relatif
sangat lama. Dewasa ini dengan ditambahkannya bahan pencepat (accelerator
agent) ke dalam ramuan karet maka proses vulkanisasi hanya memerlukan waktu
dalam hitungan menit saja. Sistem vulkanisasi yang terakhir ini dikenal sebagai
sistem vulkanisasi sulfur terakselerasi. Secara umum sistem ini diklassifikasikan
menjadi 3 (tiga) yaitu pemvulkanisasian konvensional, semi-efisien, dan efisien.
Sistem vulanisasi efisien adalah sistem vulkanisasi dimana jumlah sulfur
yang rendah dan jumlah bahan pemercepat yang tinggi atau pematangan tanpa
sulfur digunakan pada vulkanisat yang mana dibutuhkan tahanan panas dan
tahanan kembali yang sangat tinggi. Pada sistem pematangan konvensional,
jumlah sulfur tinggi dan bahan pemercepat sedikit. Sistem vulkanisasi
konvensional memberikan kelenturan dan sifat-sifat dinamis yang lebih baik
tetapi tahanan panas dan tahanan kembali yang buruk. Untuk tingkat yang
optimum dari sifat-sifat mekanik dan dinamis vulkanisat dengan panas,
pengembalian, kelenturan, dan sifat-sifat dinamis tingkat menengah, disebut
vulkanisasi semi efisien dengan tingkat menengah bahan pemercepat dan sulfur
digunakan.
Untuk tujuan pembedaan, ketiga sistem ini dibedakan berdasarkan
perbandingan antara jumlah sulfur dan jumlah bahan pencepat yang ditambahkan
ke ramuan karet. Sebagai contoh sistem konvensional mengandung lebih banyak
sulfur dibandingkan bahan pencepat. Sistem efisien mengandung bahan pencepat
lebih banyak, sedangkan sistem semi-efisien jumlah sulfur dan bahan pencepat
adalah sama banyak atau hampir sama banyak. Formulasi bagi ketiga sistem
tersebut ditunjukkan oleh tabel 2.1. berikut ini :
Tabel 2.1. Pengklasifikasian Sistem Vulkanisasi Sulfur Terakselerasi [4].
Sisitim
Komposisi sulfur Komposisi bahan
Nilai E
Vulkanisasi
(bsk)*
pencepat (bsk)*
Konvensional
2,0 – 3,5
1,2 – 0,4
8 – 25
Semi-efisien
1,0 – 1,7
2,5 – 1,2
4–8
Efisien
0,4 – 0,8
5,0 – 2,0
1,5 - 4
*) bsk = bagian per-seratus bagian karet.
Universitas Sumatera Utara
Pada sistem vulkanisasi konvensional akan menghasilkan ikatan silang
jenis polisulfida yang fleksibel, sehingga ketahanan letih (fatique) dan ketahanan
retak lenturnya baik serta kekuatan tarik (tensile strength) yang tinggi. Tetapi
ketahanan usang pada suhu tinggi (heat ageing) sangat rendah karena ikatan
polisulfida tidak mantap pada suhu tinggi.
Pada sistem vulkanisasi efisien karena jumlah belerangnya lebih kecil
daripada jumlah bahan pencepat maka setiap ikatan silang mengandung sedikit
mungkin jumlah atom belerang. Hampir 80 persen ikatan silang yang terbentuk
yaitu jenis monosulfida yang mempunyai sifat tahan suhu tinggi namun ketahanan
letih dan retak lenturnya rendah. Ikatan monosulfida tahan panas tetapi tidak
fleksibel dan sekali ikatan tersebut putus tidak ada yang menggantikannya.
Sistem vulkanisasi semi efisien disusun untuk memperbaiki kelemahan
kedua sistem vulkanisasi di atas. Sistem vulkanisasi semi efisien menghasilkan
ketahanan retak lentur dan letih serta ketahanan usang yang baik. Selain itu,
sistem ini memiliki ketahanan reversi yang tinggi pada karet alam dan
memberikan pampatan tetap yang rendah, sehingga cocok untuk pembuatan
barang karet berukuran besar dan tebal yang menghendaki sifat kelenturan yang
baik [5].
Untuk tujuan pembedaan antara sistem efisien dengan yang tidak efisien
(sistem konvensional), digunakan faktor efisiensi sambung silang (E). Faktor ini
diartikan sebagai jumlah bilangan atom sulfur per satu sambung silang yang
terbentuk. Nilai E yang lebih rendah berarti penggunaan sulfur sebagai bahan
penyambung silang adalah lebih efisien [7]. Perbandingan ketiga jenis sistem
vulkanisasi tersebut, dari segi struktur vulkanisat karet dan beberapa sifat akhir
ditunjukkan pada tabel 2.2. Disebabkan sistem efisien menggunakan sulfur paling
sedikit, maka sistem ini cenderung membentuk mayoritas struktur ikatan
monosulfida serta menghasilkan tingkat reaksi kimia rantai utama yang rendah.
Sistem ini juga meminimisasi ataupun meniadakan reversi (penurunan sifat-sifat
elastisitas dan kekuatan sebagai akibat oksidasi karena panas dan penuaan (aging)
dari vulkanisat karet), kecuali untuk suhu vulkanisasi yang terlalu tinggi.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2. Struktur dan Sifat-Sifat Vulkanisat Karet (Ismail & Hashim, 1998).
Sistem Pemvulkanisasian
Konvensional
Semi-efisien
Efisien
Sambung silang di-, polisulfida, %
95
50
20
Sambung silang monosulfida, %
5
50
80
Konsentrasi siklis sulfida
Tinggi
Sedang
Rendah
Tahanan koyak
Tinggi
Sedang
Rendah
Ketahanan degradasi karena panas
Rendah
Sedang
Tinggi
Ketahanan reversi
Rendah
Sedang
Tinggi
Set mampatan, % (22 jam / 70 oC)
30
20
10
Struktur dan Sifat vulkanisat
Karet alam (Natural Rubber) dapat divulkanisasi dengan memakai salah
satu dari sistem sulfur terakselerasi diatas, tetapi ramuan sistem semi-efisien
ataupun sistem efisien lebih disarankan [4] karena menghasilkan vulkanisat karet
alam dengan sifat ketahanan penuaan yang lebih baik.
NATURAL RUBBER
Gambar 2.2. Mekanisme Reaksi Vulkanisasi
Universitas Sumatera Utara
2.2
KOMPON KARET (RUBBER COMPOUNDING)
Sebelum mengalami proses vulkanisasi, karet dan sejumlah bahan ramuan
terlebih dahulu mengalami proses pencampuran (mixing), sehingga membentuk
suatu persenyawaan/kompon karet (a rubber compound). Pencampuran dilakukan
dengan menggunakan alat pencampur penggulung-dua (two-roll mill), dimana
pada alat tersebut karet terlebih dahulu diubah menjadi bahan yang plastis
(lembut), sehingga bahan-bahan ramuan dapat tersebar secara merata dalam phasa
karet. Pelembutan karet ini dirujuk sebagai proses mastikasi. Selain karet yang
merupakan bahan dasar, bahan ramuan yang terlibat pencampuran adalah :
•
bahan penyambung silang, seperti sulfur.
•
pengaktif pencepat (accelerator activator), seperti ZnO dan asam stearat.
•
pencepat reaksi sambung silang (accelerator), seperti merkaptobenzotiazolil disuldida (MBTS), N-Sikloheksil-2-benzol tiazolsulfenamida
(CBS).
•
penahan degradasi sifat-sifat karet (antidegradant), seperti N-isopropil-N´fenil-p-fenilin diamina (IPPD).
Setelah proses pencampuran selesai maka diperoleh kompon karet yang siap
untuk divulkanisasi pada suhu 140 – 180 oC, selama waktu vulkanisasi optimum.
Penentuan waktu vulkanisasi yang optimum dilakukan dengan menggunakan alat
Rheometer atau Curemeter. Sejumlah tertentu dari sampel kompon karet (lebih
kurang lima gram) dimasukkan kedalam cakram (disc) dari rheometer lalu
dimatangkan/divulkanisasi pada suhu setting 150 oC dan waktu setting 30 menit.
Keluaran (output) dari alat rheometer ini adalah berupa rheograf yang memuat
informasi-informasi karaktersitik pematangan (cure characteristics) yang
diperlukan untuk pemrosesan kompon karet seperti, Torque (tork) maksimum dan
minimum, waktu skorj (scorch time), dan t90. T90 adalah waktu yang diperlukan
untuk mencapai 0.90 (Tork maksimum – Tork minimum), dan t90 dirujuk sebagai
waktu pematangan (vulkanisasi) yang optimum, yaitu waktu pematangan atau
derajat pematangan yang akan menghasilkan vulkanisat karet dengan sifat-sifat
karet yang optimum [7].
Universitas Sumatera Utara
2.3
PENGUATAN KARET (RUBBER REINFORCEMENT)
Setelah informasi mengenai waktu pematangan optimum diketahui, maka
untuk tahap selanjutnya kompon karet divulkanisasi pada suhu setting 150 oC
selama t90 (menit). Melalui reaksi vulkanisasi akan diperoleh suatu vulkanisat
karet yang kaku (stiff), kuat dan elastis. Kekakuan, kekuatan dan keelastisan dari
vulkanisat karet, yang diindikasikan oleh sifat-sifat uji tarik (tensile properties)
nya, masih dapat ditingkatkan lagi dengan menambahkan pengisi penguat
(reinforcing filler) ke dalam kompon karet. Sebagai contoh vulkanisat karet
sintetik SBR tak berpengisi (gum vulcanizate) memiliki kekuatan tarik (tensile
strength) yang tidak akan melebihi 22 kgf/cm2, tetapi dengan menambahkan
carbon black (salah satu pengisi penguat) sebesar 50,0 bagian per-seratus bagian
karet SBR tersebut maka kekuatan tariknya akan menjadi 250 kgf/cm2 [2].
Penambahan pengisi-pengisi penguat untuk tujuan penguatan karet
(rubber reinforcement) dilakukan pada saat komponding/pencampuran. Penguatan
(reinforcement) disebabkan oleh daya interaksi antara karet dengan pengisi
penguat. Daya ini berupa daya Van der Waals yang lemah sampai kepada ikatanikatan kimia yang kuat. Semakin kuat daya interaksi antara karet dengan pengisi
penguat maka semakin tinggi pula derajad penguatan (degree of reinforcement)
yang dihasilkan oleh pengisi penguat tersebut. Peningkatan daya interaksi antara
karet dengan pengisi penguat dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu seperti jenis
dan ukuran partikel pengisi penguat, sifat-sifat kimia dan fisika dari karet dan
pengisi penguat, dan sifat geometri (porositas dan struktur) dari pengisi penguat.
Dengan pertimbangan harganya yang murah, maka dalam industri karet
penggunaan Kaolin hanya bertujuan untuk memurahkan ongkos produk saja,
bukan untuk menguatkan karet. Setiap jenis pengisi memberikan sifat-sifat
tertentu kepada karet sebagai akibat dari permukaan kimianya yang spesifik.
Akibat kehadiran gugus silanol pada permukaannya, maka partikel pengisi Kaolin
adalah lebih polar (berkutub) dibanding carbon black, sehingga interaksi nya
dengan karet hidrokarbon akan menjadi lemah. Sebaliknya, partikel-partikel
Kaolin cenderung untuk berinteraksi sesamanya, dan membentuk partikel dengan
ukuran yang lebih besar (aggregate). Selama interaksi Kaolin dengan molekul
karet adalah lebih lemah dari interaksi Kaolin dengan Kaolin, maka yang terjadi
Universitas Sumatera Utara
adalah pembentukan aggregat Kaolin yang besar (agglomerate), penyebaran
(dispersi) partikel Kaolin didalam phasa karet yang tidak merata, dan ini berakibat
kepada effek penguatan (reinforcing effect) dari Kaolin menjadi rendah.
2.4
PENGISI-PENGISI SELAIN KARBON BLACK
Dalam sains dan teknologi karet, pengisi dapat dikelompokkan sebagai
pengisi hitam dan pengisi putih. Pengisi hitam adalah carbon black, sedangkan
pengisi putih adalah kalsium karbonat, Kaolin, silika, talc, wollastonite, mika, dan
diatomit. Dari kesemuanya, pengisi putih yang paling luas digunakan secara
jumlah dan kegunaan adalah kalsium karbonat, Kaolin dan silika.
Kaolin merupakan persenyawaan aluminosilikat. Kristal-kristal Kaolin
diikat melalui ikatan hidrogen dari lapisan oktahedral yang menghadap gugus
oksigen dari lapisan yang berdekatan. Kaolin diklasifikasikan sebagai salah satu
“keras” atau “lembut” sehubungan kepada ukuran-ukuran partikel mereka dan
pengerasan pada karet. Kaolin yang keras akan mempunyai ukuran partikel ratarata sekitar 250 – 500 nm, dan akan memberikan modulus yang tinggi, kekuatan
tarik yang tinggi, kekakuan, dan tahan abrasi yang baik terhadap kompon-kompon
karet. Kaolin yang lembut mempunyai ukuran partikel rata-rata sekitar 1000-2000
nm dan digunakan dimana pengisi yang tinggi (untuk ekonomi) dan kecepatan
ekstrusi lebih cepat lebih penting dibanding kekuatan.
2.5
KAOLIN SEBAGAI PENGISI PENGUAT
Kaolin merupakan pengisi putih yang paling banyak digunakan, karena
memiliki beberapa kelebihan, terutama karena harganya yang murah. Kaolin,
yang mempunyai rumus molekul Al2O3.SiO2.2H2O, merupakan bahan mineral
yang disediakan dengan empat cara berbeda (Dubois, 1987; Barlow, 1988), yaitu
pengapungan udara (air-floated), pembasuhan air (water-washed), kalsinasi
(calcined), dan modifikasi kimia. Kaolin jenis pengapungan udara yang paling
banyak digunakan bagi pengomponan karet.
Kaolin yang disediakan secara pengapungan udara dapat dibagi menjadi
dua, yaitu Kaolin keras dan Kaolin lembut. Kaolin keras dalam pengomponan
karet menghasilkan kekakuan yang lebih tinggi, sedangkan Kaolin lembut lebih
Universitas Sumatera Utara
sering digunakan untuk operasi ekstrusi. Kaolin hasil kalsinasi jarang digunakan
dalam industri karet, kecuali dalam pembuatan kabel, sedangkan Kaolin hasil
modifikasi kimia menghasilkan viskositas Mooney, dan set mampatan yang
rendah [6].
Sama seperti pengisi-pengisi putih lainnya, mineral Kaolin bersifat polar,
sehingga kurang serasi dengan karet yang berifat non polar. Effek kepolaran ini
akan membuat interaksi antara pengisi Kaolin menjadi kurang kuat, dan
pendispersian yang kurang merata bagi Kaolin di dalam molekul karet.
2.6
ALKANOLAMIDA SEBAGAI BAHAN PENYERASI
Agar efisiensi penguatan dari Kaolin menjadi lebih baik, maka perlu
penambahan bahan yang dapat mengurangi kepolaran dari Kaolin. Untuk itu
Alkanolamida akan ditambahkan ke dalam kompon karet alam berpengisi Kaolin
pada saat komponding dengan memakai two-roll mill. Alkanolamida adalah
senyawa-senyawa amida tersier yang dapat diperoleh melalui proses sintesa yang
disebut dengan amidasi, yaitu mereaksikan senyawa-senyawa turunan minyak
sawit dengan dietanolamida menggunakan katalis CH3ONa. Amida minyak sawit
hasil sintesa tersebut memiliki sifat gabungan antara rantai hidrokarbon yang
panjang
(CnHm)
yang
bersifat
non
polar
dan
gugus amida {(-
CON(C2H4OH)2} yang polar, seperti diilustrasikan pada gambar 2.3. berikut :
Gambar 2.3. Struktur Alkanolamida
Keunikan dari sifat gabungan yang dimiliki oleh amida-amida asam lemak
tersebut memungkinkan bahan-bahan tersebut untuk digunakan sebagai
bahan-bahan penyerasi pada proses penguatan karet alam dengan
Kaolin.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4. Reaksi Pembentukan Alkanolamida
Diharapkan dengan ditambahkannya alkanolamida
ke dalam kompon karet
berpengisi Kaolin, maka interaksi antara Kaolin dengan karet alam
menjadi lebih kuat, dengan asumsi rantai karbon panjang yang non polar
akan berinteraksi dengan molekul karet alam yang non polar, sedangkan
gugus amida yang polar akan berinteraksi dengan Kaolin yang juga
polar,
sehingga
akan
terbentuk
ikatan/interaksi
karet
alam—
(alkanolamida)—Kaolin, seperti pada gambar 2.5. berikut :
Gambar 2.5. Struktur Karet Alam - Alkanolamida – Kaolin
2.7
ANALISA BIAYA
Tabel 2.3 Perhitungan Ekonomi
No
Nama Bahan
Harga
Keterangan
1
Diethanolamin P.A
Rp 1.725.000
botol/larutan 1 L
2
Natrium Metoksida
Rp 1.250.000
botol/padatan 250 gr
3
Natrium klorida P.A
Rp 250.000
botol/padatan 1 Kg
4
Natrium Sulfat Anhidrous
Rp 350.000
botol/padatan 1 Kg
5
Dietil eter
Rp 1.650.000
botol/larutan 5 L
6
Metanol teknis
Rp 20.000
botol/larutan 1 L
7
RBDPS
RP 5.000
padatan 1 Kg
Diketahui :
BM RBDPS = 835,922 gr/mol
Universitas Sumatera Utara
BM Diethanolamin = 105 gr/mol
BM Alkanolamida = 352,973 gr/mol
Massa RBDPS yang digunakan = 91,6 gr
Massa Diethanolamin = 42,16 gr
Mol RBDPS = 91,6 / 835,922 = 0,109 mol
Mol Diethanolamin = 42,16 / 105 = 0,401 mol
RBDPS
+ 3 Diethanolamin → 3 Alkanolamida + Gliserol
Awal
0,109
0,401
Reaksi
0,109
0,327
0,327
0,109
0
0,074
0,327
0,109
Sisa
-
-
Massa Alkanolamida yang dihasilkan = 0,327 mol x 352,973 gr/mol = 116 gr
Basis : Produksi 116 gram alkanolamida
Biaya produksi antara lain :
I.
Biaya Bahan Baku
II.
Biaya Maintenance Peralatan
III.
Biaya Tenaga Kerja
I. Biaya Bahan Baku
-
RBDPS
RBDPS yang digunakan adalah sebanyak 91,6 gr. Maka biaya produksinya adalah
:
91,6 gr x Rp 5000/1000 gr = Rp 458
-
Diethanolamin
Diethanolamin yang digunakan adalah sebanyak 42,16 gr. Maka biaya
produksinya adalah :
42,16 gr x
-
1
1,097 𝑔𝑟/𝑚𝑙
x Rp 1.725.000/1000 ml = Rp 66.295
Natrium Metoksida
Natrium Metoksida yang digunkan adalah sebanyak 10 gr. Maka biaya
produksinya adalah :
10 gr x Rp 1.250.000/250 gr = Rp 50.000
-
Metanol
Universitas Sumatera Utara
Methanol yang digunakan adalah sebanyak 40 ml. Maka biaya produksinya
adalah :
40 ml x Rp 20.000/1000 ml = Rp 800
-
Dietil eter
Dietil eter yang digunakan adalah sebanyak 200 ml. Maka biaya produksinya
adalah:
200 ml x Rp 1.650.000/5000 ml = Rp 66.000
-
Natrium Sulfat Anhidrous
Natrium Sulfat Anhidrous yang digunakan adalah sebanyak 20 gr. Maka biaya
produksinya adalah :
20 gr x Rp 350.000/1000 gr = Rp 7000
-
NaCl
NaCl yang digunakan adalah sebanyak 50 ml. Maka biaya produksinya adalah :
50 ml x 2,16 gr/ml x Rp 250.000/1000 gr = Rp 27.000
Maka, total biaya bahan baku adalah = Rp 458 + Rp 66.295 + Rp 50.000 + Rp
800 + Rp 66.000 + Rp 7000 + Rp 27.000 = Rp 217.553
II. Biaya Maintenance Peralatan
Asumsi biaya maintenance peralatan sebesar 10% dari total biaya bahan baku,
maka:
Biaya maintenance peralatan = 0,1 x Rp 217.553 = Rp 21.755
III. Biaya Tenaga Kerja
Asumsi biaya tenaga kerja sebesar 100% dari total biaya bahan baku, maka :
Biaya tenaga kerja = 100% x Rp 217.553 = Rp 217.553
Maka, total biaya produksi ; Rp 217.553 + Rp 21.755 + Rp 217.553 = Rp
456.861
Biaya produksi per alkanolamida yang dihasilkan = Rp 456.861 / 116 gr
= Rp 3.938/gr
Target keuntungan = 15%, maka keuntungan = 0,15 x Rp 3.938 = Rp 590/gr
Jadi, harga jual produk adalah = Rp 3.938 + Rp 590 = Rp 4.528/gr
Universitas Sumatera Utara