BAB II LANDASAN TEORI A. Pemilihan Pasangan 1. Pengertian Pemilihan Pasangan - Gambaran Pemilihan Pasangan Pada Tuna Daksa

BAB II LANDASAN TEORI A. Pemilihan Pasangan 1. Pengertian Pemilihan Pasangan Menurut salah satu teori utama pemilihan pasangan, Developmental Process Theories , pemilihan pasangan adalah suatu proses penyaringan orang

  yang tidak memenuhi syarat dan tidak sesuai sampai satu orang dipilih untuk menjadi pasangan hidupnya. Proses pemilihan pasangan yang dilakukan oleh setiap individu, pada umumnya didasari dengan memilih calon yang dapat melengkapi kebutuhan dari individu (Degenova, 2008). Memilih pasangan artinya memilih seseorang yang diharapkan dapat menjadi pasangan hidup, seseorang yang dapat menjadi rekan atau pasangan untuk menjadi suami atau istri dan menjadi orang tua dari anak–anaknya kelak (Lyken dan Tellegen, 1993).

  Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemilihan pasangan adalah suatu proses yang dilakukan oleh setiap individu untuk memilih pasangan hidupnya melalui suatu proses penyaringan orang yang tidak memenuhi syarat atau tidak sesuai sampai akhirnya terpilih calon pasangan hidup yang tepat dan sesuai menurut individu tersebut

  18

2. Proses Pemilihan Pasangan

  

Developmental Process Theories merupakan salah satu teori utama

  pemilihan pasangan, yang dapat menjelaskan proses dan dinamika bagaimana seorang individu memilih pasangan hidupnya. Menurut teori proses perkembangan ini, pemilihan pasangan adalah suatu proses penyaringan orang yang tidak memenuhi syarat dan tidak kompatibel sampai satu orang dipilih untuk menjadi pasangan hidupnya (Degenova, 2008).

  a.

  Area yang ditentukan (The Field of Eligibles) Tahap pertama yang harus dipertimbangkan dalam proses pemilihan pasangan adalah pasangan tersebut sudah memenuhi syarat atau kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Di tahap ini, masing-masing individu akan mulai mencari dan menyaring pasangan yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.

  b.

  Kedekatan (Propinquity) Tahap selanjutnya adalah kedekatan atau propinquity (Davis-Brown, Salamon, & Surra dalam Degenova, 2008). Propinquity atau kedekatan juga dapat mempengaruhi proses pemilihan pasangan. Kedekatan ini tidak berarti hanya kedekatan geografis seperti kedekatan perumahan tetapi juga kedekatan institutional seperti kedekatan lingkungan sekolah, tempat kerja dan lainnya.

  c.

  Daya Tarik (Attraction) Tahap selanjutnya berkaitan dengan daya tarik setiap individu. Secara umum, setiap individu akan tertarik pada individu lain yang mereka anggap menarik. Daya tarik artinya ketertarikan dengan individu lain, baik ketertarikan secara fisik, maupun ketertarikan spesifik dari kepribadian individu.

  d.

  Homogamy dan Heterogamy Individu cenderung akan memilih pasangan yang mempunyai kesamaan dengannya baik dari hal yang pribadi maupun karakteristik sosial (Dressel, Rogler, Procidano, Steven, & Schoen dalam Degenova, 2008). Kecenderungan untuk memilih pasangan yang memilki kesamaan dengan dirinya disebut dengan homogamy dan kecenderungan untuk memilih pasangan yang memiliki perbedaan dengan dirinya disebut dengan heterogamy.

  e.

  Kecocokan (Compability) Kecocokan ini mengacu pada kemampuan individu untuk hidup bersama secara harmonis. Kecocokan ini akan lebih mengarah kepada evaluasi dalam pemilihan pasangan menurut tempramen, sikap dan nilai, kebutuhan, peran dan kebiasaan pribadi. Dalam memilih pasangan, seorang individu akan berusaha untuk memilih pasangan yang mempunyai kecocokan dengan dirinya dalam berbagai hal.

  f.

  Proses Penyaringan (The Filtering Process) Terdapat berbagai variasi proses yang akan dilakukan oleh seorang individu dalam melakukan pemilihan pasangan, individu yang tidak sesuai dengan kriteria yang telah mereka tentukan sebelumnya akan dieliminasi, sedangkan individu yang sesuai akan lanjut ke tahap sampai pada keputusan akhir yaitu pernikahan. Sebelum sampai pada keputusan untuk menikah, beberapa individu melanjutkan ke tahap yang lebih serius seperti pertunangan. Namun, ada juga beberapa individu yang akan langsung berlanjut ke tahap akhir yaitu menikah tanpa melalui tahap trial atau pertunangan.

  Field of Eligibles Propinquity Filter Attraction Filter Physical attraction Personality Compatibility Filter Temperament, Attitudes and Values, Needs, Role, Habit systems. Trial Filter Decision Filter Marriage Gambar 1. Proses Penyaringan Pemilihan Pasangan

  Sumber : Intimate Relationships, Marriage & Families Seven Edition (Degenova, 2008)

3. Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Pasangan

  Menurut Degenova (2008), secara umum ada dua faktor yang mempengaruhi proses pemilihan pasangan seorang individu, yaitu : a.

  Latar Belakang Keluarga Latar belakang keluarga mempengaruhi seluruh diri individu. Latar belakang keluarga juga mempengaruhi kepribadian, sifat, sikap, nilai-nilai dan peran. Dalam mempelajari latar belakang keluarga dari calon pasangan, ada empat hal yang akan diperhatikan, yaitu : 1)

  Status Sosioekonomi Status sosioekonomi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas suatu pernikahan. Kemungkinan kepuasaan pernikahan akan meningkat bila dua orang yang menikah mempunyai status sosioekonomi yang sama.

  2) Pendidikan dan inteligensi

  Terdapat kecenderungan pada individu untuk memilih pasangan yang mempunyai perhatian mengenai pendidikan. Pernikahan dengan latar belakang pendidikan yang sama pada kedua pasangan akan lebih stabil dan cocok.

  3) Ras atau Suku

  Pernikahan antar ras atau antar suku dalam beberapa masyarakat masih menjadi suatu permasalahan. Ada permasalahan yang akan dihadapi ketika seorang individu memilih pasangan yang berbeda ras atau suku dengannya. Permasalahan yang terjadi bukan berasal dari kedua pasangan tersebut, tetapi berasal dari keluarga, teman ataupun masyarakat disekitar.

  4) Agama

  Masalah keyakinan atau agama juga menjadi faktor yang dipertimbangkan dalam memilih pasangan. Terdapat tekanan dari keluarga atau agama untu menikah dengan individu yang memiliki keyakinan atau agama yang sama. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pernikahan yang mempunyai latar belakang keyakinan atau agama yang sama akan lebih stabil.

  b.

  Karakteristik Personal Ketika seorang individu memilih pasangan untuk menghabiskan sisa hidup mereka, kecocokan merupakan sesuatu hal yang penting untuk diperhatikan.

  Ada empat faktor karakteristik personal yang dapat mendukung kecocokan dari pemilihan pasangan, yaitu : 1)

  Sikap dan Tingkah Laku Individu Pemilihan pasangan yang dilakukan oleh setiap individu akan berfokus pada fisik, kepribadian, dan faktor kesehatan mental. Sakit fisik akan memberikan tekanan pada hubungan dan membuat kepuasan dan kestabilan hubungan akan berkurang.

  2) Usia

  Perbedaan usia merupakan salah satu faktor yang dipertimbangan dalam memilih pasangan. Pada umumnya rata–rata perbedaan usia antar pasangan adalah dua tahun. Memilih pasangan yang usianya lebih tua atau lebih muda dari dirinya juga akan mempengaruhi kualitas pernikahan.

  3) Kesamaan Sikap dan Nilai

  Kecocokan dalam suatu hubungan pernikahan akan semakin meningkat bila setiap pasangan dapat membangun kesamaan sikap dan nilai di dalam suatu hubungan dan menghargai hal-hal yang penting bagi mereka. Kecocokan dapat dilihat dalam hal tingkat kesepakatan atu ketidaksepakatan tentang isu-isu pekerjaan, tempat tinggal, masalah keuangan, hubungan dengan mertua atau teman, kehidupan sosial, agama dan filsafat hidup, jenis kelamin, tata krama, kebiasaan hidup, anak dan peran gender. 4)

  Peran Gender dan Kebiasaan Pribadi Secara umum, pasangan yang dapat membagi harapan yang sama mengenai peran di dalam pernikahan. Kecocokan dalam suatu pernikahan dapat diukur dari persamaan harapan dari peran pria dan wanita. Kebiasaan pribadi juga dapat menjadi hambatan dalam keharmonisan pernikahan. Masalah dapat diatasi, jika kedua pasangan memberi toleransi, saling peduli, fleksibel dan rela mengubah diri mereka menjadi lebih baik.

B. Tunadaksa 1. Pengertian Tunadaksa

  Tunadaksa berarti keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir (White House Conference, dalam Somantri, 2007). Tunadaksa juga sering diartikan sebagai akibat kerusakan atau ganguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari dan untuk berdiri sendiri.

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tunadaksa adalah individu yang mengalami kelainan atau gangguan anggota tubuh yang dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan atau pembawaan sejak lahir yang mengakibatkan menurunya kemampuan normal individu dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

2. Klasifikasi Tunadaksa

  Menurut Frances G. Koening (dalam Somantri, 2007), tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a.

  Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau kerusakan yang merupakan keturunan b.

  Kerusakan pada waktu kelahiran c. Infeksi d.

  Kondisi traumatik atau kerusakan traumatik e. Tumor f. Kondisi-kondisi lainnya

  Berdasarkan faktor penyebabnya, tunadaksa dapat diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok, yaitu: a.

  Sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran: b. Sebab-sebab yang timbul pada waktu kelahiran: c. Sebab-sebab sesudah kelahiran: C.

   Dewasa Awal 1. Pengertian Dewasa Awal

  Istilah adult berasal dari kata kerja latin yang artinya “tumbuh menjadi kedewasaan”. Kata adult berasal dari kata adultus yang artinya “telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna” atau “telah menjadi dewasa”. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan, orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya (Hurlock, 2009).

  Dewasa awal adalah individu yang berada pada rentang usia antara 20 hingga 40 tahun dimana terjadi perubahan fisik dan psikologis pada diri individu yang disertai berkurangnya kemampuan reproduktif, dimana individu telah yang menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan baru dalam masyarakat, bekerja dan menjalin hubungan dengan lawan jenis, dan terkadang menyisakan sedikit waktu untuk hal lainnya (Hurlock, 2009).

2. Tugas Perkembangan Dewasa Awal

  Tugas perkembangan pada masa dewasa awal yang harus dipenuhi menurut Havighurst (dalam Hurlock, 2009), yaitu : a.

  Mendapatkan suatu pekerjaan b.

  Memilih seorang pasangan/teman hidup c. Membentuk suatu keluarga d.

  Membesarkan anak-anak e. Mengelola sebuah rumah tangga f. Menerima tanggung jawab sebagai warga negara g.

  Bergabung dengan suatu kelompok sosial yang sesuai D.

  

Gambaran Proses Pemilihan Pasangan pada Dewasa Awal Tunadaksa

  Layaknya individu normal lainnya, individu tunadaksa juga akan melalui masa dewasa awal dan dihadapkan pada tugas-tugas perkembangan dimasa ini diantaranya: mendapatkan pekerjaan, memilih pasangan hidup, belajar hidup bersama membentuk suatu keluarga, membesarkan anak-anak, mengelola rumah tangga, menerima tanggung jawab sebagai warga negara dan bergabung dalam kelompok sosial yang cocok dengan diri mereka (dalam Hurlock, 2009).

  Salah satu tugas perkembangan yang penting yang akan dihadapi di masa dewasa awal adalah pemilihan pasangan. Proses pemilihan pasangan ini menjadi tugas yang penting karena sebelum membentuk suatu keluarga, individu terlebih dahulu harus melakukan pemilihan pasangannya.

  Pada tunadaksa keterbatasan fisik mereka dapat menjadi hambatan mereka dalam memilih pasangan. Bagi tunadaksa sulit untuk dapat berpacaran dan membina hubungan sampai dengan jenjang pernikahan (YLS, 2007). Seperti yang dinyatakan oleh Hurlock (2009) yang menyatakan bahwa dalam pelaksanaan tugas perkembangan dewasa awal terdapat rintangan yang bisa menghambat penguasaan tugas perkembangan. Salah satunya adalah hambatan fisik, seperti cacat yang dialami oleh individu tunadaksa. Kesehatan yang buruk atau hambatan fisik akan menghalangi seseorang untuk mengerjakan apa yang seharusnya dilakukan pada masa perkembangannya dan dapat menggagalkan penguasaan tugas-tugas perkembangan baik itu sebagian atau secara total. Mereka melihat bahwa cacat fisik yang dialami menjadi hambatan bagi pemilihan pasangan dan mencapai pernikahan yang bahagia. Hal ini juga didukung oleh Sinniah (dalam Rifayani, 2012) yang juga menyatakan bahwa individu tunadaksa menemui banyak hambatan pada tugas memilih pasangan hidup.

  Berbeda dengan individu normal, individu tunadaksa memiliki cacat fisik yang menyebabkan berkurangnya daya tarik fisik mereka. Seseorang yang memiliki cacat fisik biasanya akan sangat dirugikan karena tingkat daya tarik fisik yang dirasakan telah berkurang akibat ketidaksempurnaan fisik mereka (dalam Wallisch, 2002). Hal ini menimbulkan kesulitan dalam melakukan pemilihan pasangan, karena seorang individu pada umumnya cenderung lebih memilih pasangan yang menarik secara fisik. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ha Tao, dkk (2011) yang menemukan bahwa individu yang menarik secara fisik memang dinilai sebagai calon pasangan yang lebih diinginkan daripada individu kurang menarik. Cacat fisik pada tunadaksa seringkali membuat mereka menjadi minder dalam pemilihan pasangan karena merasa dirinya terlihat tidak menarik secara fisik dan memiliki banyak. Hal ini

  Pandangan negatif masyarakat juga seringkali menjadi penyebab tunadaksa sulit untuk mendapatkan pasangan. Banyak masyarakat melakukan penolakan karena memandang bahwa memiliki pasangan atau menantu tunadaksa adalah sesuatu hal yang memalukan. Mayoritas masyarakat Indonesia mengatakan bahwa memiliki cacat fisik adalah sebagai suatu aib sehingga terkadang kebanyakan orang menjauhi mereka atau jika mereka bagian dari keluarga maka akan menyembunyikan keberadaannya (Joko, 2011). Penolakan ini juga timbul karena masyarakat menganggap tundaksa sebagai orang yang tidak mampu dalam kehidupan sosial. Adanya keraguan tentang kemampuan tunadaksa dalam mengurus rumah tangganya, mengurus anak dan suaminya kelak. Sehingga seringkali masyarakat menolak tunadaksa sebagai menantu atau pasangan. Hal inilah yang dialami oleh seorang

  Pandangan masyarakat ini menyebabkan individu tunadaksa menjadi minder dan kurang percaya diri dalam memilih pasangan. Kesadaran tentang kondisi fisik mereka yang cacat juga ikut menimbulkan kecemasan dan perasaan khawatir dalam memperoleh pasangan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hastuti (2012) ditemukan bahwa penyandang cacat tubuh (tunadaksa) memiliki kecemasan yang tinggi dalam memperoleh pasangan.

  Perasaan rendah diri, tidak percaya diri dan merasa tidak berdaya seringkali menimbulkan kekhawatiran dan kecemasan pada individu tunadaksa dalam memilih pasangan hidup. Individu tunadaksa mengalami kecemasan akan penolakan keluarga dan lingkungan pasangannya, usia yang semakin bertambah dan belum memiliki gambaran yang jelas mengenai pasangan, cemas akan ditinggalkan oleh pasangannya, tidak dapat memiliki keturunan, cemas jika tidak memperoleh pasangan hidup yang kondisi fisiknya lebih baik dari pada kondisinya.

  Banyak tunadaksa melihat bahwa cacat fisik dan penampilan mereka yang tidak menarik serta pandangan negatif masyarakat menjadi hambatan dalam pemilihan pasangan dan mencapai pernikahan yang bahagia (dalam Rifayani, 2012). Namun diantara mereka ada juga yang dapat memperoleh pasangan dan mencapai kehidupan yang bahagia. Beberapa diantaranya adalah Nick yang saat ini menjadi motivator terkenal, juga ada beberapa artis Ucok Baba, Daus Mini, dan Adul. Mereka yang memiliki keterbatasan fisik namun mereka dapat memperoleh pasangan dan dan dapat menjalani pernikahan.

  Berbagai hambatan yang dialami tunadaksa dalam kehidupannya termasuk dalam pemilihan pasangan lebih banyak bergantung pada sikap penyandang cacat sendiri (Somantri, 2006). Jika mereka memandang bahwa cacat yang mereka alami dan berbagai pandangan negatif yang kerap diterima bukanlah suatu hambatan dalam memilih pasangan maka hal itu tidak akan menghalangi mereka untuk memperoleh pasangan. Namun Kalau mereka dapat menerima kondisi yang ada, perkembangan ke arah hal yang positif pun akan lebih mudah timbul (Adinda, 2011).

E. Paradigma Berpikir

  Dewasa awal tunadaksa

  

Gambaran pemilihan pasangan pada tunadaksa?

Proses 1.

  Area yang ditentukan 2. Kedekatan 3. Daya tarik 4. Homogamy/heterogamy 5. Kecocokan 6. Penyaringan Faktor yang mempengaruhi

  1. Latar belakang keluarga: status soioekonomi, pendidikan, agama, suku atau ras 2. Karakteristik personal: sikap & tingkah laku, usia, kesamaan sikap dan nilai, peran gender & kebiasaan pribadi

  Keterbatasan fisik yang menyebabkan dirinya minder, kurang percaya diri, fisik kurang menarik, lingkungan memandang negatif

  Menghambat pemilihan pasangan